Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Kisah Cain

Duckkler

Semprot Kecil
Daftar
11 Apr 2017
Post
94
Like diterima
923
Bimabet
Ini tulisan edun.... cerita fiksi yang mungkin bukan fiksi. Hanya bacaan, jangan terlalu serius


"Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah. Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi. "

SUARA itu terngiang-ngiang dalam kepala Cain setiap kali ia memejamkan matanya. Di bawah pohon, di balik batu, di tepi aliran sungai, begitulah Cain mengisi hari-harinya berjalan tanpa tujuan, melangkah ke arah di mana matahari terbit. Timur.

Tubuhnya yang tinggi besar, dengan kulit berwarna coklat tembaga muda, dengan otot-otot yang kekar bergelimang cahaya matahari, karena peluh keringat memenuhi seluruh permukaan tubuhnya. Walaupun angin keras menusuk, batu-batu tajam dan semak duri menantang, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sempurna. Bukankah Cain adalah anak pertama dari Adam dan Hawa, manusia yang diciptakan dengan sempurna?

Demikianlah Hawa pertama kali merasakan sakitnya melahirkan. Kedua kakinya yang putih halus indah itu terpentang lebar, perutnya yang kemarin membuncit besar kini mengecil karena sebagian cairan kantung rahimnya sudah banjir keluar. Seorang diri, di bawah pohon dekat aliran air, Hawa merintih dan menjerit, mendorong bayi keluar dari liang rahimnya. Adam hanya bisa menyaksikan istrinya melahirkan, lantas buru-buru menangkap bayi yang keluar itu, mengorek mulutnya agar lepas segala lendir dan sumbat.

Bayi itu pun menangis keras-keras, mewarisi kekuatan manusia sempurna. Hawa tersenyum lega, memeluk anak lelaki pertamanya sambil berbisik, "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan." Dan mereka menamainya Cain.

Itu adalah masa bahagianya Cain. Tak lama kemudian, ibunya kembali melahirkan anak kedua, Habel. Mereka menjadi keluarga yang istimewa, keluarga pertama dari mahluk sempurna di atas muka bumi. Cain begitu suka kepada pepohonan di sekitarnya -- sejak kecil ia mengikuti Adam untuk memetik dan memanen berbagai biji-bijian dan buah-buahan untuk mekanan mereka. Bukankah ayahnya telah bekerja keras mengolah tanah? Cain takjub melihat bagaimana tunas hijau memecah tanah, menjadi tinggi, dan mengeluarkan biji-biji untuk mereka makan.

Sementara itu, adiknya lebih senang memelihara binatang. Adam telah menamai segala binatang itu menurut kehendaknya, maka mereka berkuasa mengendalikan segala binatang. Habel menyukai binatang, sebagian dijadikan peliharaan, sebagian lain menjadi ternak. Dari waktu ke waktu, Habel mengenali mana binatang yang bisa mereka sembelih, dan sebenarnya Cain tidak suka melihat penyembelihan-penyembelihan itu. Habel melihat binatang itu hanyalah mahluk lain, tapi Cain menghargai setiap mahluk yang bernyawa. Menyembelih adalah membunuh.

Cain juga menyukai alam, sementara Habel suka berada di rumah, membentuk berbagai macam barang dari kayu dan batu, ia sangat terampil. Cain menghabiskan waktunya di ladang, sementara Habel membangun rumah mereka, dan di halaman yang luas itu Habel membangun altar.

Cain tidak pernah benar-benar berpikir soal Tuhan yang selalu diceritakan oleh kedua orang tuanya dengan khidmat. Ia terlalu terpesona dengan alam. Habel lebih tergugah dan tertarik mendengar penuturan tentang Tuhan dan segala hal yang terjadi di Taman Firdaus. Oh betapa hebatnya Taman Firdaus! Habel berulangkali tenggelam dalam khayalnya sendiri, sampai melupakan tugasnya. Cain yang harus menanggung akibatnya; lagi-lagi ia yang harus menyelesaikan segala sesuatu. Huh!

Puncaknya, Adan dan Hawa menyuruh kedua anak mereka memberikan persembahan kepada Tuhan. Habel mempersembahkan korban anak sulung dari kambing dombanya di atas altar -- lagi-lagi penyembelihan kejam, betapa lemak-lemak itu terbakar dengan wangi daging yang memualkan Cain. Ia sendiri dengan setengah hati mengumpulkan hasil tanahnya, lalu membuat persembahan seadanya di atas tanah.

Angin bertiup keras dan membuyarkan segala persembahan Cain. Tapi persembahan Habel, asapnya terlihat lurus, naik ke atas hingga ke langit. Hati Cain menjadi sangat panas dan mukanya menjadi gelap, muram. Bahkan Tuhan menerima persembahan dari si tukang jagal itu!

Cain ingat bisikan itu didengarnya untuk pertama kali: "Mengapa hatimu panas j dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau , tetapi engkau harus berkuasa atasnya."

Menggoda apaan? Dosa apaan? Habel itulah, yang penuh dosa! Penyembelih! Pembunuh! Bagaimana Tuhan bisa menerima persembahan dari si pembunuh?

Demikianlah, kira-kira sebulan yang lalu, Cain bersama Habel di padang. Di sana, Cain memukul Habel sampai adiknya itu mati, ketika seluruh nafsu yang tertumpuk selama ini membanjir keluar, menggelapkan mata, menggelapkan pikiran.

Ketika kesadarannya datang, Cain memandang tangannya sendiri yang berlumuran darah. Tiba-tiba Cain merasa jiwanya terkoyak, suatu rasa sakit yang sangat keras menyengat di dalam -- suatu kesadaran: Aku sudah menjadi pembunuh! Bukan binatang yang dibunuh, melainkan adik sendiri, sesama manusia!

Setelah gemetar hilang, datanglah rasa takut dan rasa bersalah luar biasa. Cain tahu dirinya tidak akan sanggup menemui ayah ibunya lagi. Namun yang paling menakutkan adalah Tuhan kini mengusirnya. Ia terbuang jauh dari tanah yang telah menerima darah Habel dari tangannya. Cain sungguh gentar. Ia tidak tahu nama-nama binatang, tidak pernah mempelajarinya. Selama ini Cain tidak percaya kalau manusia boleh menguasai segala mahluk.

Kini ia terkutuk, terbuang, dan tidak bisa mengendalikan mahluk apapun. Cain berteriak kepada Tuhan dengan putus asa: "Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung. Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi; maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku."

Kenapa Tuhan tidak langsung membunuhnya sekarang juga? Tidak akan ada bedanya, bukan?

Firman Tuhan kepadanya: "Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Kemudian Tuhan menaruh tanda di dahi Cain, seperti tato yang membuatnya seperti mengenakan topeng yang mengerikan. Tidak ada mahluk apapun yang berani membunuh Cain, karena akan dibalaskan tujuh kali lipat.

Tentu saja, beberapa mahluk terlalu bodoh dan tidak mengerti melihat tanda. Beberapa kali binatang buas menyerang Cain di waktu malam, namun tidak ada satupun yang tetap hidup dalam jarak satu meter di sekitar Cain. Semua keganasan mahluk buas itu kembali tujuh kali lipat kepada diri mereka sendiri, seketika membinasakan mereka.

Cain berjalan melintasi padang dan hutan dan pegunungan, hingga tiba di dataran luas di kaki gunung. Di sana, di tepi sungai, Cain melihat segerombolan mahluk seperti manusia membopong beberapa mahluk yang berambut panjang. Mereka bungkuk, kulitnya berbulu tapi tidak seperti monyet-monyet di pohon. Bulu mereka halus, dari jauh hampir seperti manusia. Mata Cain setajam burung elang, ia bisa memperhatikan gerombolan itu dari jarak ratusan meter.

Mungkin sangat mirip manusia, karena mereka juga membawa benda-benda dari kayu dan batu yang diikat oleh suluh-suluh pohon. Gerombolan itu menyeret empat mahluk berambut panjang yang keras meronta-ronta. Salah satu dari mereka menghantam kepala mahluk yang berambut panjang. Darah seketika muncrat membasahi tanah; tubuhnya tidak lagi meronta. Mati.

Cain tertegun. Bagaimana mungkin ia membiarkan pembunuhan terjadi di depan matanya? Ia berlari, sambil mengamati apa yang gerombolan itu lakukan kemudian. Cain tertegun, melihat salah satu dari ketiga mahluk berambut panjang itu dibuat terlentang di atas rumput tebal, dada mereka bulat berisi, kaki yang kekar dan berbulu. Telanjang. Rambut hitam. Matanya besar. Marah. Mulutnya menyeringai.

Tetapi gerombolan itu menekan tubuh mahluk itu ke tanah, dan memegangi kakinya mengangkang. Kemudian, satu per satu mahluk-mahluk itu berlutut di antara kaki yang terbuka. Alat kelaminnya menegang keras, menonjol dari balik bulu-bulu lebat di selangkangan. Tidak begitu besar, mungkin hanya sebesar jari manis. Mahluk itu menghujamkan alat kelaminnya memasuki tubuh mahluk di bawahnya.

Cain berhenti.

Apa nama mahluk-mahluk itu? Mahluk penghuni gua, di dalam tanah. Kalau tidak salah, ayah memberi nama mereka... Cain tidak dapat mengingatnya. Mungkin Terra? Cain tidak yakin. Yang terlentang itu Terra betina, sedang yang sedang menindihnya adalah Terra jantan.

Cain melihat mahluk-mahluk bersetubuh di sana sini, apakah itu kucing atau anjing atau sapi. Tapi Terra melakukannya dengan kekerasan yang paling mengerikan. Terra betina yang terlentang itu kelihatan sangat buas, hingga akhirnya gerombolan Terra jantan menghantam kepalanya dengan palu dari kayu dan batu. Darah kembali muncrat dan tubuh Terra itu diam tak bergerak lagi.

Cain berlari kembali, sementara gerombolan itu mulai menindih Terra betina ketiga terlentang. Sebelum mereka dapat berlutut di depan selangkangan yang mengangkang, Cain sudah tiba di sana. Mahluk-mahluk itu terkejut, dan marah karena gangguan yang datang. Cain bersiap.

Satu Terra jantan yang tubuhnya paling besar berlari menghampiri Cain, palu dari batu dan kayunya terayun kuat... Dan seketika, menghantam kepalanya sendiri hingga hancur. Nyawanya langsung hilang saat itu juga! Mahluk Terra jantan lainnya menjadi semakin marah, gerombolan itu melupakan kedua Terra betina yang tersisa, beramai-ramai mereka menyerang Cain.

Dalam waktu singkat, tak ada satupun Terra jantan yang masih hidup. Semuanya mati dengan kepala pecah, darah membasahi tanah dan aliran air di dekat sana. Cain melangkahi mayat-mayat itu, menemui kedua Terra betina yang menggigil ketakutan. Kulit mereka putih abu-abu, rambut mereka kotor tercampur lumpur.

Cain menarik kedua Terra itu berdiri setengah membungkuk.

"Tidak, tidak. Berdiri seperti ini," kata Cain berusaha meluruskan kedua Terra betina ini. Nampaknya mereka tidak pernah berdiri tegak lurus. Hanya sebentar saja mereka bisa berdiri tegak, setelah itu kembali membungkuk, berjalan seperti monyet di atas tanah. Apa boleh buat.

Mereka mengikuti Cain dengan patuh, meneruskan perjalanan ke timur, ke arah pegunungan. Di sana ada lebih banyak binatang buas, tetapi tidak ada satu pun yang mampu menyentuh sehelai rambut Cain. Dua betina itu sangat ketakutan, mereka gemetar sambil merangkul kedua kaki Cain yang tinggi besar -- kedua Terra betina hanya setinggi dada Cain saja.

Tiga hari kemudian, Cain menemukan ada sumber mata air di atas gunung, menjadi sumber kali kecil berair jernih. Di sisinya ada sebidang tanah berumput yang luas, dan di sisi utara ada sebuah gua yang cukup dalam dan kering. Tidak ada mahluk atau binatang lain di tempat itu, maka Cain memutuskan untuk membuat tempat tinggalnya di sana.

Kedua Terra betina itu dengan cepat menjadi jinak dan patuh, dan mereka nampaknya nyaman dengan gua tempat tinggal ini -- mereka kan memang adalah mahluk-mahluk penghuni gua. Cain mengajari mereka berkomunikasi dengan perkataan dan gerakan tangan, "angkat ini", "bawa ke sana", "ambil itu" -- dan mulai mengajari mereka bahasa manusia. Herannya, kedua Terra itu mengerti.

Hal berikutnya, Cain menyuruh mereka untuk lebih sering mandi di kali berair jernih -- dan ternyata keduanya adalah mahluk yang indah, dengan rambut pirang keemasan. Tubuh mereka berkulit putih kemerahan, dengan bulu-bulu halus berwarna putih. Keduanya mempunyai susu yang besar, dengan putingnya berwarna kemerahan, dan di selangkangan mereka berbulu lebat berwarna pirang sama seperti rambutnya.

Cain terpana. Mereka tentu saja masih jauh, jauh lebih buruk dibandingkan Hawa ibunya. Perempuan manusia yang sempurna, yang bentuk tubuhnya sangat indah, kulitnya keemasan, dengan dada yang besar dan penuh, dan selalu membuat ayahnya bergairah. Bukan hanya sekali dua saja Cain melihat kedua orang tuanya bersetubuh, dengan gerakan perlahan, penuh sentuhan. Itulah cara manusia.

Jauh berbeda dengan kebrutalan para Terra itu. Mereka bukan manusia. Tetapi kedua Terra ini, apakah mungkin mereka bisa belajar cara-cara manusia?

Cain menghabiskan waktu untuk membuat ladang dan menanami dengan pohon -- tapi seringkali gagal. Tanah tidak mau memberikan hasilnya. Cain kemudian turun ke kaki gunung dan mulai memburu binatang liar yang dapat ditemuinya. Ia meniru para Terra itu membuat senjata dari kayu dan batu, hanya hasilnya jauh lebih baik. Ia juga membuat kapak untuk menebang pohon yang agak kecil, kemudian menyeretnya ke atas dan membuat pintu gua, seperti pintu rumahnya.

Betapa Cain merindukan rumah! Tanpa terasa, tiga tahun berlalu. Cain memberi nama kedua Terra itu Ramla dan Sienna, mereka kini telah memakai baju dari kulit binatang dan sudah bisa berjalan tegak sepanjang hari. Cain mengajari mereka cara bercocok tanam, bagaimana menabur benih, memelihara, dan bagaimana memetik hasilnya. Ia juga mengajari mereka cara membuat api -- Ramla dan Sienna sangat terpesona dengan api, yang menyala di atas bokor berisi minyak yang diperas dari biji-bijian, dengan sumbu terbuat dari batang tanaman yang tumbuh di atas air.

Setiap kali matahari terbenam, Cain bersama Ramla dan Sienna masuk ke dalam gua, memakan beberapa buah-buahan, lalu berbaring bertiga. Tubuh kedua Terra itu hangat dan nyaman untuk dipeluk, dan mereka merintih-rintih ketika tangan Cain meremas buah dada besar dan empuk di sebelah kiri dan kanannya.

Pada suatu malam, udara terasa sangat panas, gerah. Seperti biasa Cain bertelanjang dada, tapi kini Ramla dan Sienna juga bertelanjang bulat, tidur di sebelah kiri dan kanan Cain. Ia merasakan tubuh kedua Terra itu sangat nyaman dan hangat, jadi Cain memeluk dan menjamah kedua Terra itu bergantian, meremas dada, meremas pantat.

Tak lama, Cain merasakan alat kelaminnya sendiri menjadi tegak mengeras. Ramla menyadari tonjolan di selangkangan Cain, terus menyentuhnya, membuka kain yang menutupi alat kelamin manusia, yang besar, merah berurat, kepalanya basah berlendir.

Ramla tersenyum, ia terus terlentang dan mengangkang lebar-lebar.
"Tuan boleh terus ke sini," katanya terbata-bata. Ramla memang lebih lancar berbicara dibandingkan Sienna.

Cain berlutut di hadapan kedua kaki yang mengangkang. Ujung alat kelaminnya basah, berada di depan kelamin Ramla yang mungil. Cain menggeserkan kepala kelaminnya sehingga lendir itu membasahi bibir kelamin Ramla. Terra itu berdesah lirih, mengangkang makin lebar.

Perlahan, seperti seharusnya manusia, Cain menekan kelaminnya menerobos masuk. Ramla menjerit, matanya membelalak, tapi ia mempertahankan kedua kakinya tetap mengangkang lebar, berusaha menerima kelamin tuannya masuk seluruhnya.

Untuk pertama kalinya Cain merasakan kenikmatan berkelamin -- walaupun ia tidak berkelamin dengan sesama manusia. Tubuhnya bergerak, mulanya perlahan, menjadi semakin cepat. Batang kelaminnya dengan gagah keluar dan kembali menerobos masuk, setiap kali membuat Ramla menjerit. Mulanya jeritan sakit, digantikan jeritan nafsu karena kenikmatan hubungan badan.

Malam itu adalah milik Ramla.

Malam berikutnya, Sienna yang mengangkang lebar, menjerit ketika batang kelamin tuannya menerobos masuk liangnya yang rapat mungil berwarna merah muda.

Setelah itu, apakah artinya manusia dan apa bedanya dengan Terra? Tidak ada lagi kehalusan dan sentuhan. Cain menancapkan kelaminnya dengan berbagai cara, dengan kebuasan dan keganasan binatang buas, yang disambut dengan nafsu sama besarnya oleh Ramla dan Sienna. Hampir setiap malam, kecuali saat Ramla atau Sienna mengeluarkan darah dari kelamin mereka, sehingga sepanjang malam mereka hanya duduk di tepi gua, di atas lubang yang diisi rumput kering, selama beberapa hari.

Beberapa waktu kemudian, terjadilah keajaiban lain dalam hidup Cain. Ramla dan Sienna tidak lagi mengeluarkan darah, sebaliknya perut mereka mulai membuncit -- sama seperti Hawa dahulu hamil dan melahirkan Habel. Cain tidak habis pikir, bukankah ia adalah manusia, sedangkan kedua Terra ini bukan?

Tetapi, akibatnya ia tidak lagi bisa terus tinggal di atas gunung. Cain melihat ke arah matahari terbit, terus ke sebelah timur di balik gunung. Ada dataran yang luas, tempat yang disebut Ramla dan Sienna sebagai Nod. Ia membawa kedua istrinya turun gunung, dan melangkah menuju ke dataran itu perlahan-lahan. Sebulan kemudian baru mereka tiba di sana, sedikit agak jauh dari tepi sungai Cain membuat rumah panggung dari kayu.

Tak lama, tibalah saat Ramla dan Sienna melahirkan -- hampir berbarengan. Ramla yang pertama, ia menjerit keras dan mengangkang lebar-lebar untuk melahirkan anaknya. Darah mengalir dengan deras dari alat kelaminnya, hingga akhirnya anak itu keluar, tetapi Ramla juga tidak bergerak lagi, tidak bernyawa lagi. Anak yang dilahirkan itu juga membiru, rupanya selama ini ari-ari membelit lehernya hingga anak itu sudah mati saat dilahirkan.

Belum habis rasa sedih memenuhi Cain, Sienna menjerit keras, dan juga melahirkan. Sekali lagi Cain melihat Sienna, yang kini menjadi istrinya, mengangkang dan mengerang, air dan darah keluar, membasahi alas dari rerumputan kering di rumah mereka.

Sienna berhasil melalui proses itu, Cain terus memotong tali ari-arinya, dan mengorek mulut bayi yang keluar, anaknya itu. "namanya Henokh! Haaaa haaa.... namanya Henokh!" itulah anak sulung Cain. Sienna tersenyum letih, tapi ia bersemangat lagi ketika Cain memberikan Henokh ke dadanya, bayi itu terus terlelap di dada ibunya.

Tiga bulan kemudian, dengan kekuatan manusia sempurnanya, Cain terus membuat pagar besar mengelilingi daratan itu, dan menyelesaikannya dalam waktu beberapa tahun. Sementara itu, segera setelah Henokh agak besar, Cain dengan penuh cinta merenggangkan paha istrinya, dan memasukkan kembali kelaminnya dalam-dalam, membuat istrinya menjerit-jerit dalam kenikmatan birahi.

Cain juga berkelana agak jauh dan kembali menemukan kumpulan mahluk Terra, kembali menyelamatkan Terra betina. Ia membawa para Terra betina itu ke kotanya, yang diberi nama Henokh seperti nama anaknya, dan bersama Sienna mengatur mereka untuk hidup seperti manusia.

Cain juga menghamili lagi beberapa Terra betina, dan mereka bersama-sama mengerjakan tanah yang luas. Anak-anak mereka semakin besar, Henokh menjadi dewasa dan mengambil istrinya dari anak-anak perempuan Cain yang terlahir, hingga Henokh juga menjadi ayah dari Irad.

Irad menjadi ayah dari Mehuyael, dan Mehuyael menjadi ayah dari Metusael. Keturunan Cain semakin banyak, semakin memenuhi kota Henokh dengan rumah-rumah, jalanan, dan tempat berkumpul. Metusael juga menjadi dewasa dan mengambil istri yang melahirkan Lamekh.

Lamekh ini mempunyai dua orang istri yang satu namanya Ada, dan yang lain namanya Zila. Dari Ada lahirlah Yabal, yang tinggalnya di dalam kemah dan memelihara ternak di luar kota Henokh. Kemudian, lahir adiknya Yubal, yang menjadi pemusik -- dialah yang membuat kecapi dan suling.

Dari Zila, Lamekh mendapatkan anak lelaki bernama Tubal-Kain, bapa semua tukang tembaga dan tukang besi. Kemudian lahir pula anak perempuan bernama Naama.

Saat itu tidak ada lagi manusia atau Terra -- lelaki dengan bernafsu meraba istri mereka, meremas dadanya, pantatnya, merenggangkan paha mereka, dan memasukkan alat kelamin dengan kekuatan penuh, sebagaimana semua mahluk menginginkan dan melakukannya.

Manusia yang dilahirkan menjadi semakin tinggi dan besar, tapi tidak kehilangan keganasan asalnya. Pembunuhan dilakukan dengan bangga oleh Lamekh, merasa sebagai keturunan Cain yang mempunyai tanda di dahinya. Kalau Cain dibalaskan tujuh kali lipat, Lamekh akan membalas tujuh puluh kali lipat, katanya.

....lanjut?
 
dilain riwayat...namanya khabil dan kabil...kabil anak pertama adam yg berkembar dgn anak perempuan adam yg sangat cantik...begitu juga khabil mempunyai saudara kembar perempuan...adam mengawin silangkan mereka...itulah yg menjadi sebab cemburunya kabil hingga membunuh khabil...sorry bro ini versi yg ane tau...lanjut dgn versi ente bro
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd