Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kemurnian Keluarga

Ceritanya kok gk ada
gak ada kemana ya sob?

Bau bau update nih
baunya gimana tuh?

Jangan kentang dong hu
trus?

Ditunggu keberlanjutannya, syang cerita bagus ga dilanjutin
siaappp

pa kabar pandu lala hu
hehehehe. kalo yg itu, jujur keteter sob

menanti dengan setiya
enakan menanti dengan riani

Bagus , lanjut mneh....
yooohh

akhirnya.. penasaran rahasa riani njirr
bentar yak

Ayo lanjut oom
yuk
 
Kemurnian Keluarga
Part 06 | Rencana Dimulai


Dulu, aku Ayah, dan Ibu, sering sekali datang ke acara pacuan kuda. Bahkan, jika bisa dibilang, acara tersebut menjadi acara mingguan yang kami lakukan di akhir pekan. Yah meskipun arean pacuan kuda di negara kita tak semewah seperti di film-film mancanegara, akan tetapi suasananya cukup meriah dan menyenangkan. Ada pembukaan seni tari, ada tempat permainan, dan juga ada bazaar makanan.

Namun, seiring bertambahnya usiaku, acara mingguan keluarga itu menjadi sedikit membosankan. Meskipun banyak aneka hiburan disana, akan tetapi rasa menyenangkan itu perlahan-lahan sirna. Tergantikan oleh gadget, ataupun kesibukan lain bersama teman sebaya yang lebih menyenangkan.

“Riani… Rama….” Panggil Ayah sambil melambaikan tangan ketika melihatku dan Ibu tiba di lokasi lomba. Setelah itu, ia meminta Mang Ujo, untuk menyambut kedatangan kami. Menawarkan menu makanan dan minuman, sebelum kami duduk di dalam ruang VIP untuk peserta lomba, di dekat trIbun penonton.

“Aku pesen bakso tetelan, pake iga ama jerohan. Minumnya es jeruk, ama krupuk putih biasa 6 biji ya Mang…” Ucapku memberikan daftar pesanan kepada Mang Ujo.
“Siap Den…” Jawab Mang Ujo sigap, “Kalo Nyonya, mau pesan apa..?”
“Jus alpukat aja Mang…”
“Baik Nyah…”
“Oiya, ini sekalian deh… Tolong beliin jajanan pasar yang ada di warung Teh Suci ya Mang…” Ucap Ibu menutup pembicaraan sembari memberikan dua lembar uang bergambar presiden ke Mang Ujo.

“YESSSSS… Si Kumbang menang..” Seru Ayah ketika ia melihat kuda jagoannya memenangkan salah satu sesi pertandingan.
“Yeeeeeiiyyy…” Sahut Ibu gembira
“Mas sedang gacor nih, Dek…” Girang Ayah sambil memeluk tubuh Ibu, kemudian menciumnya kedua pipinya dengan lembut

DEG.
Untuk sesaaat, aku merasa ada rasa cemburu yang menusuk hatiku ketika Ayah, memperlakukan Ibu seperti itu. Meskipun aku sadar, jika memang itu adalah hak Ayah sebagai suami, akan tetapi entah kenapa hati ini tak terima ketika melihat kemesraan mereka didepanku.

“YEEEEESSSSSSS… Sekarang giliran Jawara didepan, Dek…” Teriak Ayah sumringah, ketika di sesi lomba lainnya, kuda taruhan Ayah berada di posisi terdepan.

“Kalo sekarang, aku tebak, kudanya Pak Raden yang bakalan menang Yah…” Celetukku tak setuju
“Nggak bakalan, si Jawaran yang bakalan menang…” Balas Ayah penuh keyakinan.
“Liat aja, Jawara bakalan disusul si Jago, Yah…”
“Anak bau kencur sok ahli dalam urusan per-kuda-an… Pilihanmu tuh salah besar…”
“Anak bau kencur ini juga anakmu, Yah… Dan, anak ini yakin sekali dengan pilihannya…”

Seolah tak terima dengan kalimatku, Ayah memutar duduknya dan menatap kearahku, “Okeh… Kalo emang tebakanmu seperti itu… Gimana kalo kita taruhan aja, Le…”
“Taruhan…?”
“Iya… Kita buktikan, siapa yang tebakannya lebih jitu diatara kita berdua…”
“Boleeehh… Ayok…. Rama nggak takut… “
“Lima juta…” Seru Ayah sambil membanting segepok uang diatas meja.

“Jangan terlalu serius, Mas…” Ucap Ibu yang hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
“Biar aja, Dek… Biar si sotoy ini tahu kesalahannya…”
“Gapapa Bu, Rama nggak akan kalah ama Ayah kok…” Sahutku tak mau kalah, sembari melempar segepok uang ke atas meja juga.

“Dek…. Pegang uang taruhannya… Mas mau kasih pelajaran ke anak sotoy satu ini…”
“Iya, Mas…” Ucap Ibu yang tersenyum melihat keseruan diantara kami berdua.
“Aku pasti menang, Bu…”
“Ngimpi… Anak bawang kaya kamu mah pasti kalah…”

Dan benar, taruhan pertamaku, ternyata dimenangkan oleh Ayah. Begitupun, dengan taruhan di sesi berikut, berikut, dan berikutnya lagi. Masih dimenangkan oleh Ayah. SIAL. Ternyata Ayah memang jago. Karena dari lima empat sesi balap, empat sesi dimenangkan olehnya.

“CUPUUUU…!!!’ Ledek Ayah ketika melihat wajah kalahku.
“Baru pemanasan…” Jawabku sambil kembali merogoh uang taruhan baru dari balik tas yang aku bawa. “Sesi yang ini, pasti yang menang kuda nomor 91. Sepuluh juta…!” Sambungku sembari melempar segepok uang lagi kemeja didepan Ibu duduk.

“Rama, udah ah taruhannya…. Kok malah emosi gitu…” Celetuk Ibu mencoba mengingatkan.
“Rama ga emosi Bu.. Cuman pengen ngebuktiin aja, kalo Rama bisa…”
“HAHAHAHAHAHA… Ada yang panas nih…” Jawab Ayah meremehkanku. “Okee. Ikut. Ayah pilih kuda nomor 62. Nih. Sepuluh juta juga…”

Semakin siang, acara perlombaan balap kuda, menjadi makin seru. Taruhan demi taruhan, aku jalani bersama Ayah. Hingga tumpukan uang panas diatas meja itu, semakin tinggi menggunung.

“YEESSS… Rama menang… Rama menang… Rama menang…” Girangku ketika melihat kuda jagoanku berhasil meninggalkan Ayah. “Siapa ya yang tadi bilang Rama CUPU..? Hahahaha…?” Seruku ketika berhasil memenangkan 3 sesi lomba berturut-turut.

Dan sepertinya, keberuntunganku mulai berubah. Begitupun dengan 10 sesi lomba berikutnya. Delapan lomba berhasil aku menangkan secara total, dan serunya ada 4 lomba yang kumenangkan secara berturut-turut. Membuat raut wajah Ayah terlihat begitu masam dan tak terima dengan kekalahannya.

“Udah-udah… Cukup dah… Ayah udah kehabisan uang…” Ucap Ayah beralasan. Mungkin karena malu mendapat kekalahan dari anak kandungnya sendiri.

“Juragan kuda paling kondang se kabupaten kok baru gitu aja udah nyerah…?” Sindirku sambil meminta Ibu menyusun gepokan uang kemenanganku yang masih berserakan diatas meja. “Yuk taruhan lagi… Khan uang di tas sebelah, belom dikeluarin… Hehehehe..”
“Ini buat beli kuda…” Jawab Ayah mencoba beralasan.

“Yaudah… Kalo gamau taruhan uang, Ayah boleh kok taruhan dengan barang lain…” Jawabku mencoba memberikan solusi
“Taruhan dengan barang lain…?” Heran Ayah, “Barang apaan…?”
“TUH…” Ucapku santai sambil menunjuk ke arah wanita yang duduk disamping Ayah dengan mulutku.
“Heh…? Ini…?” Tanya Ayah yang ikut melirik kesamping, “Kamu mau taruhan… Dengan Ibu sebagai barang taruhannya…?” Tanya mengerutkan alis.

“Iya..”
“Gak lucu…”
“Siapa juga yang becanda…?” Sindirku sambil tersenyum, “Ya kalo emang Ayah seorang petaruh handal, pasti nggak bakalan mau kalah kaya gini aja sih…” Sambungku memanas-manasi Ayah. Seperti sedang meniup angin di tengah bara api kekesalan yang ia rasakan.

“Gila… Masa taruhan pake Ibumu sebagai barang taruhannya….”
“Laahhh…? Kenapa gila…?” Tanyaku sedikit menantang, “Toh kalopun kalah, uang Ayah tetap utuh…”
“Gitu Ya…?” Balas Ayah sambil mengelus-elus janggut tebalnya
“Iyalah… “ Sahutku singkat, “Coba aja tanya Ibu… Kira-kira, Ibu bakalan malu nggak…? Punya suami yang gampang menyerah seperti Ayah…

“Lama-lama… Kurang ajar juga ya mulutmu kalo didengerin…?” Sindir Ayah yang meskipun emosi, ia mulai terbawa bujuk rayuku, “Gimana Dek…?” Tanya Ayah mulai bimbang kearah Ibu yang hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.

“Ya terserah kamu, Mas… Adek mah ngikut aja…” Jawab Ibu.
“Tuuuhh.. Bener khan…? Ibu aja mau kok, Yah…” Sahutku terus memanas-manasi suami Ibuku.

Aku tahu, Ayah adalah lelaki dengan EGO yang tinggi. Dan aku juga tahu, jika Ayah tak akan pernah melewatkan taruhan apapun, sebelum semua terkalahkan. Karena aku ingat betul, slogan Ayah ketika ikut lomba, seperti slogan petinju, “Pantang Pulang, Sebelum Tumbang”.

Hanya saja, tumbang disini, dalam artian, kehabisan modal untuk taruhan.

“Ayolah, Yah… Wong buat seneng-seneng aja…” Ucapku terus membakar ego Ayah.
“Hmmm..” Ayah terus berpikir ketika melihat senyumku.

“Yaudah… Aku tambahin deh total taruhannya…” Ucapku yang kemudian menggeser tumpukan uang yang baru saja Ibu bereskan, kehadapan Ayah. ”Kalo aku kalah, Ayah boleh ambil seluruh uang yang ada diatas meja ini…”
“DEAL.. “ Jawab Ayah langsung menyodorkan tangannya “Siapa takut..

SIPPP…
Tanpa meminta persetujuan Ayah, aku raih tangan gempalnya. Kutarik paksa cincin yang sudah kusam itu, dan kulepaskan dari jari kekarnya. Kemudian, kuletakkan simbol pernikahan kedua orangtuaku itu diatas meja. Bersebelahan dengan tumpukan uang taruhan milikku.

“Ehhh…? Apa-apaan sih…?” Kesal Ayah melihat tingkahku.
“Bentaran doang, Yah…” Jawabku sambil tersenyum.
“Kok cincin Ayah kamu lepas, Sayang…?” Tanya Ibu bingung.
“Cincin nikah ini, Rama pake buat simbolis aja kok, Bu… Sekaligus sebagai tanda jadi, kalo Ayah sudah menjadikan Ibu sebagai modal taruhannya…” Ucapku sambil tersenyum.
“Biarin aja bocah Gila itu berbuat semaunya…” Ucap Ayah, “Toh bentar lagi juga ia bakalan kalah…”
“Ya.. Ya… Yaaa…. Kita lihat aja ya, Yahhh…”

CTAR..
Suara pistol mengagetkan kami bertiga.

Buru-buru, Ayah segera berdiri sambil mengawasi dengan teropong jarak jauhnya. Tak henti-hentinya, lelaki kekar itu berteriak lantang sambil terus menyemangati kuda jagoannya. Sementara aku, masih tetap duduk disamping Ibu. Terus mengamit jemari wanita anggun itu sembari terus mengecupnya punggung tangannya mesra.

Di awal perlombaan, memang kuda jagoan Ayah meninggalkan kudaku. Namun, perlahan tapi pasti, kuda jagoanku mampu menyusul kuda-kuda didepannya. Ayah yang semula jumawa, perlahan-lahan mulai panik. Hingga setelah beberapa putaran berikutnya, akhirnya kuda pilihanku-lah, yang memenangkan perlombaan

“AARRGGGHHHH.. BAJINGAAAANN..!!” Raung Ayah sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
“YEEAAAAYYYY…. Ayah kalah…” Girangku yang kali ini, langsung melompat-lompat kegirangan karena tak mampu menyembunyikan rasa senangku. Kuamit tangan Ibu, dan kuajaknya ikut melompat-lompat. Merayakan kemenangan yang baru saja kudapatkan.

Sebelum Ayah sadar, segera saja kuambil cincin kawin Ayah yang masih tergeletak diatas meja, lalu buru-buru kukenakan di jari manisku.

“Heeeh Rama, kok cincinnya kamu pake…?” Hardik Ayah
“Lhaaaaahhh...? Khan Ayah kalah…” Jawabku cepat, “Jadi ya cincin ini buat Rama…”
“BANGSAT…” Geram Ayah emosi, “Balikin nggak…?!!”
“Nggak bisa gitu dong, Yah…” Ucapku sambil terus tersenyum, “Kalo Ayah minta Rama buat balikin ini cincin, itu namanya Ayah nggak sportif…”

“Riani… Coba deh, jelasin ke anak laki-laki tololmu yang keras kepala itu…” Ucap Ayah kearah Ibu dengan nada tinggi
“Jelasin apa ya, Mas…?” Tanya Ibu, “Khan emang Rama yang menangin perlombaan barusan…?”
“Ya tapi masa cincin Mas harus diambilnya juga…?”
“Bukannya cincin itu memang taruhannya…?” Tanya Ibu lagi, “Kalo memang Rama yang menang, masa Mas mau minta cincin itu kembali…?”

“Hahahaha… Aku dapet Ibu… Aku memenangkan Ibu…” Teriakku sambil terus melompat-lompat senang. Karena bisa memenangkan taruhan yang berhadiah wanita cantik nan bahenol itu, “Gimana, Yah…? Ayah rela..? Istri Ayah sekarang ini buat Rama…?” Sindirku sembari tersenyum lebar
“Arrgghh SIALLL..!!”

“Kok wajahmu malah cemberut gitu sih, Mas…? Ini khan pertandingan yang bagus… Adil, dan juga seru… Rama juga ga berbuat curang…“ Goda Ibu yang ikut-ikutan tersenyum lebar, “Mas ga rela ya, Adek diambil anak kandung kamu sendiri…?”

Ayah menghela nafas. Berusaha meredakan kekesalan yang begitu memuncak dihati. Ditatapnya wajahku dalam-dalam. Penuh dengan emosi dan kekesalan. Setelah itu, Ayah menatap Ibu. Berkali-kali, ia menarik nafas panjang. Mencoba mengatur nafas, lalu memejamkan mata sejenak.

“Ayah…? Ditanyain Ibu malah tidur…” Godaku.
“Mas…?” Tanya Ibu, “Mas rela…?”

Ayah membuka mata, sekali lagi menatap kearah kami berdua.

“Iyeee….”
“Iye apa, Yah…?” Tanyaku penasaran, “Yang jelas dong…”
“Iyeee. Kamu bisa bawa pulang Ibumu… “ Ucap Ayah kesal.
“Bawa pulang doang…?” Godaku mulai menggoda Ayah.

“Terus maunya apa…?” Tanya Ayah dengan mata melotot.
“Yaaaa… Apa gitu kek…?” Ucapku memancing, “Soalnya, kalo cuman bawa Ibu pulang gitu doang mah ‘GAK SERU’ kali, Yah…”

“Gak Seru…?” Heran ayah ketika mendengar kalimat terakhirku. Sekali lagi, Ayah menatap kewajahku. Mencoba menelaah maksud dari perkataanku.
“Iya. Gak seru…”
“Terus… Yang seru tuh apa…?”
“Hmmmm…. Ingat nggak…? Kejadian pas dikandang kuda…?”

Mendengar kata-kata kandang kuda, wajah Ayah tiba-tiba memerah. Ia buru-buru melirik kearah Ibu dengan raut wajah was-was, sebelum akhirnya melihat kesal kearahku.

“Kejadian di kandang kuda…?” Tanya Ibu, “Emang ada kejadian apa dikandang kuda, Mas…?”
“Eh anu…” Jawab Ayah bingung ketika mendengar pertanyaan Ibu, “Mas juga lupa…”
“Emang ada apa, Sayang…?” Sambung Ibu yang kemudian berbalik tanya kepadaku.

“Lihat kuda kawin, Buuu…” Jawabku sambil tersenyum penuh arti kearah Ayah.
“Lihat kuda kawin…?” Ulang Ibu sembari mencoba berpikir keras mengenai maksud jawabanku barusan, “ Emang apa serunya…?
“Ya seru banget, Buu..” Sahutku lagi, “Ibu udah pernah lihat kuda kawin belom…?”

“Ya jelas udahlah…” Jawab Ibu singkat, “Masa punya suami peternak kuda, Ibu belom pernah lihat kuda kawin…?”
“Ohiya bener….” Lanjutku sambil tersenyum, “Kalo lihat pemilik kuda kawin dengan bukan ama istrinya… Ibu pernah nggak…?”
“Maksudnya…?” Tanya Ibu dengan wajah makin bingung.

“Maksud Rama, kuda khan kalo dikawinin, nggak selalu ama istrinya…” Potong Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan, “Bisa dengan kuda lain yang ga ada disilsilah keluarganya. Bisa dengan kuda yang beda ras…”
“Bisa juga kawin dengan adik istrinya… Ya gak, Yah…?”

Mendengar celetukanku, Ayah langsung mengepalkan tangannya. Wajahnya tegang dengan urat leher yang mulai bertonjolan.

“Ahhh… Udah-udah.. Kalian ngomongin apa sih…? Ibu jadi ga jelas…” Ucap Ibu memijat pelipis kepalanya, seolah apa yang ia dengan barusan, begitu membingungkan. Padahal, jika Ibu mengerti maksudku, Ia pasti akan mendapat sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan.

“Hehehe. Yowes. Kita balik ke obrolan tadi…” Ucapku sambil memutar-mutar cincin kawin Ayah yang melingkar di jari manisku, ”Jadi gimana, Yah…?”
“Apanya gimana..?” Tanya Ayah dengan nada tegang
“Boleh nggak…? Kalo Rama ‘DEKAT’ dengan Ibu…?” Ucapku sambil tersenyum melihat raut muka Ayah yang terlihat semakin murka.

Ayah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkata dengan hati yang berat. “Terserah… “
“Bener nih…? Terserah…?” Godaku mencoba memastikan lagi, “Ayah bener-bener ga keberatan…?”

“Apa sih maksudmu sebenernya…?” Hardik Ayah dengan nada tinggi. Ia emosi, namun juga khawatir kelakuan hidung belangnya ketahuan, “Kamu mau Ayah jawab apa…?”
“Hehehehe… Rama cuman mau memastikan, khan Rama menang lomba balap kuda tadi…” Ucapku berusaha menjelaskan, “Berarti sekarang, Rama yang memenangkan Ibu ya…?”
“Iya…”
“Oke… Jadi sekarang, Ibu jadi milik Rama ya, Yah…”
“Iya.. Iya.. Iyaaaaa….” Jawab Ayah kesal, “Sekarang. Terserah… Ibumu udah jadi milikmu… Mau kamu apain juga terserah…”

“Husssh… Kok kamu malah jadi makin marah gitu sih, Mas…?” Tanya Ibu lagi-lagi mengusap punggung Ayah, guna meredakan emosinya yang meledak-ledak. “Rama khan cuman bercanda…”
“Becanda yang GA JELAS…” Seru Ayah yang kemudian beranjak masuk kedalam ruang VIP
“Jadi oke ya, Yah… Rama bawa Ibu pulang…” Teriakku masih dari arah balkon.

“TERSERAH… SOK AJA… Ambil sana Ibumu…” Jawab Ayah dengan wajah merah padam, dan menutup pintu ruang VIP kencang-kencang. Setelah itu ia mengambil piring dan mengisinya dengan beberapa menu makanan dan menyantapnya dengan lahap.

“Ihhhssss.. Ayah ga sportif nih Buuu… Masa baru kaya gitu doang udah marah… ” Ucapku seolah ngambek kepada Ibu.
“Ayah cuman kesal aja, Sayang…”
“Tapi khan memang Rama yang menang… Masa baru dikalahin gitu aja Ayah marah…”

Ibu hanya tersenyum. Lalu ia ikut masuk ke dalam ruang VIP. Mengambil beberapa cemilan, dan duduk disamping Ayah.
“Mas…? Kamu beneran marah…?” Tanya Ibu yang dengan lembut, mengusap rambut Ayah.

“Aku ga marah kok…” Jawab Ayah sambil terus mengunyah makanan yang ada dimulutnya
“Iya… Ga marah… Tapi sebel… Hihihihi….” Canda Ibu, yang kemudian mencolek ujung hidung Ayah.
“Udah-udah… Tinggalin aku sendiri disini dulu…” Sahut Ayah yang kemudian menepis tangan Ibu dari wajahnya.

Ibu yang melihat kekesalan suaminya, hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita cantik itu, sama sekali tak mengerti, jika sebenarnya Ayah memiliki alasan lain kenapa ia harus murka padaku. Karena kekalahannya barusan, itu artinya, aku bisa menjalankan rencana licik untuk bisa mendapatkan Ibu.

“Yaudah deh kalo kamu emang beneran sebel ama Adek, Mas… Adek pulang aja ya… Bareng suami baruku… Hihihi… “ Tawa Ibu yang kemudian ikut-ikutan menyambung cara bercandaku, “Bawa pulang istri barumu ini… “
“Beneran Bu…?”
“Iya tuh…. Ayah udah ga sayang lagi ama Ibu….” Jawab Ibu terus menyindir, “Perhatian Ibu sama sekali tak dianggap oleh Ayah…”
“Waaaah. Parah Nih Ayah…” Godaku makin memperkeruh suasana, “Masa wanita secantik Ibu… Dicuekin kaya gitu…”

BRRRAAAAAK…
“Udah deh, Dek… Rama… STOP… Jangan sampe keberadaan kalian disini.. Makin ngebuat aku murka…” Bentak Ayah sambil menggebrak meja makan. “Pergi sana…. Hush hush… Sok… Lakuin aja semua yang kalian mau….” Usir Ayah sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

“Iya Mas gantengkuuu.. Adek bakalan pulang kok abis ini…” Celetuk Ibu, “Cuman… Bentaran dulu ya. Adek habisin dulu makanan-makanan ini…”

Jujur, ketika melihat emosi dan perasaan Ayah yang tak terkendali seperti itu, aku merasa sedikit kasihan kepadanya. Bahkan sejenak, aku merasa jika sudah begitu keterlaluan kepadanya. Namun, jika mengingat apa yang telah Ayah lakukan bersama Teh Ratih beberapa saat lalu, rasa kasihan itu langsung sirna. Berubah menjadi luapan emosi yang butuh pelampiasan. Dan, cara pelampiasan paling tepat adalah, dengan cara menggoda Ayah, melalui Ibu.

“Buka mulutmu, Ibu cantikku sayang…” Ucapku setelah menyendokkan sepotong kue, kearah Ibu.
“Ihhhs Sayang… Ibu ga pernah mengira deh kalo kamu bisa romantis seperti ini…”
“Demi Ibu, Rama rela melakukan apapun…”

Ayah melirik kearahku dengan tatapan muak. Matanya merah, dengan rahang yang tak henti-hentinya menggeretakkan giginya kuat-kuat. Namun, ketika Ibu melirik kearah Ayah, lelaki kekar itu langsung berpura-pura sibuk menyantap makanannya.

Aku tahu, melihat rau wajahnya, Ayah marah. Amat sangat marah. Tapi anehnya, ia seperti tak berani menunjukkan hal tersebut kepada Ibu. “Apakah Ayah benar-benar takut kepada Ibu…?” Tanyaku mencoba menebak-nebak.

Dan dari hal itu, sebuah ide licik, tiba-tiba muncul dibenakku. Aku ingin ingin tahu, sejauh mana ketakutan Ayah terhadap Ibu.

“Abis makan ini… Kita bulan madu yuk, Bu…” Ajakku sembari melirik kearah Ayah.
“Bulan madu…?” Tanya Ibu
“Iya… Biar kita keliatan seperti suami istri beneran…” Ucapku sedikit kencang, supaya Ayah bisa mendengarkan maksud pembicaraanku.
“Beneran…? Yuk.. Mauuuu banget Sayang…” Ucap Ibu spontan sambil memeluk leherku, “kira-kira, kamu mau ngajak Ibu kemana…?”

“Bebas... Ibu mau kemana, Rama turutin..” Jawabku.
“Bener yaaa…?” Seru Ibu senang, “Kalo Ibu pengen ke Dewata gimana..?”
“Boleh-boleh aja kok, Bu… Cuman kayanya tanya Ayah dulu deh… Kira-kira kita diijinin nggak ama Ayah..?” Tanyaku sambil melirik Ayah lagi.
“Ya harusnya kamu-lah yang ijin ama Ayah, khan sekarang kamu suami baru Ibu…”

ANNNNJIIIMMMM.
Mendengar Ibu menyebutku sebagai suami barunya, membuat detak jantungku berdegup dengan cepat. Hatiku, berbunga-bunga. Dan imajinasiku mulai melayang-layang. Aku sama sekali tak mengira jika wanita cantik dihadapanku ini, akan mengikuti permainan sandiwaraku.

“Ayah… Aku mau ajak Ibu ke….”
“Udah dehh, pergi aja sana… Gausah sok minta ijin segala…” Potong Ayah dengan nada ketus.
“Mas… Kok gitu sih…?” Selah Ibu, “Anakmu cuman ingin berlaku sopan terhadapmu loh…”

“Kamu gausah sok peduliin aku deh, Dek..” Balas Ayah jutek, “Udah sana… Kalo emang kamu mau pergi bareng suami barumu, soklah sana…”
“Yeee… Diperhatiin, malah sewot…” Ucap Ibu yang kali ini ikut-ikutan kesal.
“Dah sana pergi…”
“Bener ya Mas, Adek pergi nih…”

“IYEEEE… BODO AMAT…TERSERAH kamu mau ngapain ama tuh Bocah…” Jawab Ayah dengan mulut penuh makanan. Tak mempedulikan kemesraanku dan Ibu yang sedang memanas dihadapannya

“Okelah kalo begitu…” Kesal Ibu dengan wajah cemberut, “Kalo gitu… Adek jalan bulan madu dengan suami baru Adek dulu ya… “
“SAK KAREPMU…” Jawab Ayah tanpa melihat kearah Ibu
“Kamu nyebelin banget deh, Mas… “Ucap Ibu sambil menggeser tempat duduknya hingga mendekat kesampingku. “Buruan habisin makannya, Sayang… Abis gitu kita berangkat… Males Ibu disini…”
“Iya Buuu…”

Dalam hati, aku tertawa lebar. Bisa membuat Ayah dan Ibu kesal seperti itu. Hanya karena taruhan semata, wajah Ayah terlihat begitu emosi. Mukanya merah, dengan leher memendek. Sedari tadi, lelaki kekar itu terus mempermainkan kakinya, menandakan jika ia benar-benar gelisah.

“Bu.. berhubung Ibu sekarang udah jadi milik Rama…” Sebuah kalimat ajaib, tiba-tiba keluar dari mulutku, “Rama pengen punya Adek deh…”
“HAH…? Adek…?” Kaget Ibu, “Adek apaan…?”
“Iya… Adek…” Jawabku, “Aku pengen Ibu hamil, biar Rama bisa punya adek…”

UHUK UHUK UHUK
Tiba-tiba, ketika Ayah terbatuk-batuk mendengar kalimatku barusan. Buru-buru, Ayah menenggak segelas teh manis yang ada disampingnya.

“Kamu pengen Ibu hamil…?” Tanya Ibu sekali lagi.
“Iya… Boleh yaaa, Buuu…?”
“Tapi khan… Ayah sedang marah ama Ibu…” Tanya Ibu sembari berpikir,
“Emang kenapa kalo Ayah marah…?”

“Ya kalo Ayah marah… Gimana caranya Ibu bisa punya Anak…?”
“Hahahaha.. Khan Ibu punya suami baru…”
“Heeehh…? Maksudnya…? Ibu bersetubuh ama kamu…?”

GILA.
Aku tak pernah mengira, jika sekarang aku bisa senekat ini. Dengan mulutku sendiri, aku meminta supaya bisa menyetubuhi Ibu dihadapan Ayah kandungku. Aku sudah benar-benar tak peduli Ayah. Aku sudah begitu ingin segera menikmati Ibu. Dan seolah sejalan dengan pemikiranku, setelah aku mengungkapkan kalimat super mesum itu, batang penisku langsung mengeras. Menegang dengan cepat, tanpa dapat kutahan-tahan lagi.

“Iya dong… Rama siap kok membuahi Ibu…” Ucapku yang dengan gilanya, sengaja membetulkan tonjolan batang kemaluanku dengan cara merogoh kedalam selangkangan. Kemudian secara terang-terangan aku mencoba meluruskan posisi penisku, tepat dihadapan Ibu.

“Iiihhhhssss.. Gilaaaa…” Kaget Ibu melihat kenekatanku.
“Hahahaha... Kenapa gila…? Khan Ibu sekarang sudah jadi milikku… Jadi Rama berhak dong… Memperlakukan Ibu sesuka hati Rama…” Tawaku puas sambil menengok kearah Ayah, “Lagian, suami Ibu juga sudah BODO AMAT khan..?”
“Iya sih…. Tapi khan….” Sahut Ibu yang seketika itu bingung melihat kecuekan suaminya.

“Kalo Ibu takut ijin ama Ayah, biar Rama aja yang mintain…” Ucapku yang kemudian mencoba menggunakan peruntungan terakhirku.

Dengan satu tarikan nafas, aku beranjak dari dudukku. Kulangkahkan kaki dengan penuh keyakinan kearah lelaki kekar yang masih penuh emosi di sudut ruang. Kemudian berkata.

“Yah… Aku boleh minta anak dari Ibu ya…?”

ANJIIMMMM
KAMU SUDAH GILA RAMA.
KAMU BENER-BENER GILA.

Entah mendapat keberanian dari mana, aku bisa mengatakan hal seperti itu. Aku tak peduli lagi dengan segala macam peringatan yang diberikan oleh otakku. Aku juga tak peduli, dengan keMURKAan Ayah ketika mendengar kalimat ijin dariku. Aku sudah siap akan segala resikonya jika semisal setelah ini, lelaki bertubuh besar ini akan membunuhku.

Yang jelas, aku ingin Ayah tahu mengenai hasrat terpendamku terhadap Ibu.

“Ijinin Rama menghamilin istrimu…”

BANGSAAAT…
Geram Ayah yang kemudian membanting piring yang ada ditangannya keatas meja. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya dan berdiri menghadapku.
“BO-DO… A…MAT…” Ucap Ayah lantang sesaat sebelum ia berjalan keluar ruangan. Ia juga mendorongku keras-keras, hingga terjengkang kebelakakang. Dan setelah itu, menutup pintu dibelakangnya kencang-kencang.

JBLAAAAAMMM
JEBRAAAAAAAK PRANNGGG

Saking kencangnya, sampai-sampai kaca pintu tersebut pecah berkeping-keping.
“Gila kamu Sayang…” Ucap Ibu singkat.
“Iya.. Rama tahu… Aku begini karena Ibu…” Jawabku sambil tersenyum lebar sambil mengamit tangan Ibu dan membopongnya tepat di perutku, “Sekarang, mari kita bulan madu, Bu…”

Bersambung,
By Tolrat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd