Chapter IV - Wither And Hope
Part Three
January 4, at 11.30am. Kelingi Village’s (House of Dini Uncle’s)
Usai santap siang. Aku dan Paman mengobrol di pondok yang berada di depan rumah paman. Aku menceritakan tentang kejadian yang aku dan Dini alami. Paman, hanya tertawa geli mendengarku melihat langsung para gadis mandi di sungai. Paman mengatakan kalau memang disini sudah terbiasa kaum adam dan hawa mandi bersama di sungai. Tak jarang dari mereka malah tidak sungkan untuk bugil walau dihadapan lawan jenis. Namun, apabila ada yang ketahuan berbuat mesum. Seperti mencolek, memeluk, apalagi berhubungan badan maka pelakunya akan diganjar dengan hukuman mulai dari di kurung di penjara desa, di usir bahkan di hukum mati. Seperti bait lagu dangdut ‘Boneka India’ Boleh dilirik, tak boleh dipegang.
Tak lupa aku bertanya tentang Fizul dan Jaka. Mendengar nama Fizul paman sedikit menghela nafas panjang. Menurut paman, Fizul orangnya ramah namun memiliki kepribadian ganda. Kadang dia nampak sangat ramah kepada siapa saja akan tetapi pada saat dia ‘kumat’ dia bisa jadi diam seribu bahasa. Dipanggilpun dia tidak peduli dan cendrung memalingkan muka. Walaupun sifatnya seperti itu, Fizul tetap menjadi orang kepercayaan Muhardi untuk mengurus kebun karetnya. Kemudian Jaka. Jaka merupakan anak yatim-piatu orang tuanya meninggal ketika dia berusia 14 tahun dan semenjak itu dia tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Sudah hampir 10 tahun Jaka ikut paman sebagai pesuruhnya. Paman juga memberinya rumah papan beserta tanah sebidang di dekat balai desa untuk dia tempati. Jaka orangnya rajin dan pekerja keras. Dia tidak pernah mengeluh dengan apa yang paman suruh.
Sementara kami mengobrol. Ada seorang wanita muda dengan tinggi sebatas telingaku. Berambut panjang sebahu.Berbadan putih bening dengan daging payudara menyembul di balik tank top dan sweater serta pantat yang montok bagaikan gitar spanyol yang dibalut jeans.
“Pak Kades, permisi. Mau minta tolong buatin surat pengantar. Santi mau ke kecamatan ngurus berkas pikades nanti.” Ucap wanita yang ternyata Santi
“Wah, kirain ada bidadari dari mana. Rupanya ada Santi toh. Yo wes, mana berkas yang perlu saya tanda tangani.” Sahut paman.
“Ini pak.” Santi menyerahkan berkasnya seraya menundukkan badan.
“Oh God… belahannya buat gak nahan. Punya Dini sebesar ini gak ya?” Ucapku dalam hati sambil memperhatikan belahan daging yang menggairahkan tersebut.
“Eh mas, kita belum kenalan. Saya Santi warga sini.” Santi menjulurkan tangannya. “Saya Baru lulus kuliah tahun kemaren. Kalo mas ini siapa ya? Keliatannya bukan dari desa ini.” Sambungnya.
“Oh iya.. hehehe… maaf tadi ngelamun.” Jawabku kikuk sambil meraih tangan Santi. Saya Rama, dari kota kesini bareng tunangan saya Dini. Kebetulan si Dini keponakan pak Sofyan. Makanya saya nginep di sini dari kemarin sore.”
“Oh mas Rama, ini toh pahlawan yang nyelametin ponakannya pak kades. Uh… keren banget. Pengen dong diselamatin cowok ganteng kayak mas Rama.” Goda Santi kepadaku.
“Eh… Anu…” jawabku gagu.
“Ih… genit amat si Santi ini. Si Ramakan udah punya Dini.” Ucap paman menyela.
“Kan kayak jadi karakter pewayangan paman. Rama dan Santi. Hehehehe…” Jawab Santi dengan ketawanya yang khas.
“Itu Rama dan Sinta, kalau kamu kan Santi. Yaudah, kamu cepetan ke kantor camat. Biasanya jam 1 udah tutup kantornya. Nih berkasnya.”
“Iya deh pak Kades. Makasih ya. Mas Rama Saya pergi dulu ya. Permisi.”
Santi meninggalkan kami. Aku dan paman pun saling melirik.
“Tuh kan, apa kata paman. Pasti si otong kamu lagi berdirikan?” Sindir paman.
“Iya sih paman. Namanya juga cowok, kalau ketemu yang begiuan kalo gak berdiri ya gak normal paman.” Jawabku sekenanya.
“Iya sih, coba paman masih muda. Be… udah habis deh…”
“Habis apa!?”
Tanpa kami sadari Bibi sudah berada di belakang kami. Entah dari mana dia datang, yang jelas saat ini paman sedang dalam status keadaan bahaya 1. Aku diam-diam kabur menuju ke arah balai desa untuk menghindari perang dunia ketiga yang sedang terjadi di rumah paman.
Aku mengirimkan pesan ke Dini tentang paman dan bibi serta memberitahukannya kalau aku mau keliling desa. Dini membalas pesanku. Di pesannya, dia memarahiku akibat mataku jelalatan dan memperingatkanku untuk hati-hati dan menjaga mataku. Aku membalas pesan dini dengan emoticon mengedipkan mata sebelah lalu kupasang headset ditelinga dan ku simpan smartphoneku di dalam saku baju.
January 4, at 12.30pm. Kelingi Vilagges (Bridge of Komering River’s)
“Kalau gak salah ini jembatan yang pagi tadi aku lihat dengan Dini.”
Aku melewati jembatan tersebut. Panjangnya sekitar 30 meter dan lebar 3 metar. Jembatan gantung yang usianya mungkin sekitar 8 tahun pada saat awal paman menjabat menjadi kades. Sebagian kayu jembatan ini mulai rapuh namun itupun masih warga sini paksakan untuk mengangkut getah karet dengan gerobak mereka. Wajar saja hanya sepeda alat transportasi yang berani melewati jembatan ini. Kalau sekedar sepeda dan gerobak mungkin harganya tidak seberapa dibandingkan dengan harga sepeda motor.
Aku duduk sejenak diatas batu di sisi lain jembatan. Sambil menikmati musik dari smartphoneku. Sesekali aku mengambil gambar pemandangan yang ada.
“Enak juga kalau suatu saat punya rumah di daerah sini.”
Dari samar aku melihat seseorang sedang melintasi jembatan gantung dari arah Desa Kelingi. Pada pertengahan jembatan aku baru bisa mengenali orang tersebut.
“Santi…” ucapku setengah tak percaya.
Ada rasa ingin menemui Santi namun aku batalkan. Aku melihat gerak-gerik Santi yang sedikit aneh. Sesekali dia memperhatikan arah belakang seperti takut diikuti seseorang. Aku memilih untuk bersembunyi dibalik bebatuan dan memperhatikan Santi.
Santi berlari kecil ke arah pondokan yang biasa dipakai penyadap getah karet beristirahat. Pondok tersebut berukuran 4 x 6 dengan dinding papan dan atap daun nipa (sejenis daun yang mirip daun kelapa). Santi memasuki tempat tersebut dan nampak sedangn melakukan sesuatu.
10 menit kemudian. Santi keluar dengan luka di kaki kanannya. Entah apa yang dia lakukan. Kemudian dia berjalan menuju ke arah jembatan sembari menelpon seseorang. Walau samar, aku melihat santi seperti terjatuh di ujung jembatan dan memegangi kakinya. Aku merasa kalau ada hal yang tak beres lalu merekam hal tersebut di smartphoneku.
“Apa yang sebenarnya Santi Rencanakan.”
5 menit Santi berada di sana. Ada seorang laki-laki paruh baya yang menghampirinya. Entah siapa laki-laki itu aku belum mengenalnya. Terjadi percakapan dan sayang aku tidak tahu apa. Kemudian laki-laki itu memapah santi untuk menyebrangi jembatan. Sepertinya Santi mengarahkan laki-laki tersebut untuk datang ke pondok. Dengan bertaruh aku berlari lebih dulu untuk mencari tempat yang cocok untuk merekan kejadian yang mungkin akan menjadi petunjuk hilangnya dua calon kades desa ini. Aku menemukan sudut yang pas untuk merekam. Kali ini aku tidak ingin mengambil resiko terlalu besar. Aku menggunakan kamera wireless Go Prox yang ku bawa di saku celanaku.
Setelah ku atur kamera tersebut di bagian sudut atas pondok. Aku mencari tempat sembunyi di sekitaran semak-semak pondok tersebut dan memantau dari layar kamera smartphoneku.
“Kalau ada kejuaran mengintip pasti aku sudah jadi kandidat juara ini.”
Tak lama berselang Santi yang di papah laki-laki tersebut masuk ke dalam pondok. Karena cuaca yang cerah maka gambar yang ditangkap kamera wireless menjadi jelas. Suara mereka juga dapat terdengar dengan jelas. Aku menarik nafas panjang dan mulai memperhatikan gerak-gerik mereka.
“Maaf ya pak Joko. Santi jadi ngerepotin bapak.” Ucap Santi sembari dibantu duduk di sebuah tempat mirip ranjang yang terbuat dari kayu oleh laki-laki yang ku lihat tadi. Akhirnya aku tau kalau laki-laki tersebut bernama Joko yang merupakan salah satu kandidat kepala desa.
“Gak papa dek Santi. Bapak kebetulan lewat. Kita wajib menolong sesama. Oh ya, kata dek Santi di pondok ini ada kotak p3k di mana ya?” ujar Joko sambil mencari kotak P3K di dalam pondok.
“Ada disini pak.” Santi menunjuk ke arah bawah ranjang tersebut. Joko seperti meneguk air liurnya saat melihat kain yang dipakai Santi tersingkap sampai pahanya.
“Maaf dek, bisa tolong ditutup pahanya.” Joko memalingkan wajahnya ke arah berlawan dari Santi.
“Oh.. Maaf pak, saya gak sadar.” Santi membetulkan kainnya dan tersenyum nakal.
“ Baiklah saya ambil kotaknya. Dek Santi bisa luruskan kakinya.” Joko mengambil kotak P3K dan mengeluarkan beberapa botol dan perban. Santi nampak diam dan sesekali menggoda Joko dengan nada manja.
“Aduh pak, atit… pelan-pelan.” Santi mulai membuka sweaternya hingga nampaklah tonjolan payudaranya yang putih.
“Iya dek, maaf… bapak gak sengaja. Loh, kenapa sweaternya dibuka?” Joko mulai gelagapan.
“Panas pak.” Jawab Santi dengan manja dan mengangkat sebagian tank topnya. “Keliatanya punggung Santi juga memar pak. Bapak bisa tolong pijetin gak?” sambungnya.
“Bi… bisa… tapi maaf Dek. Bapak takut.” Joko menyela.
“Takut kenapa pak?” Santi mengelus tangan Joko.
“Takut kalau nanti keterusan.” Joko memalingkan wajah.
“Oh… gak papa kok pak. Aku tau, bapak pasti sulit cari jodoh kan? Makanya sebagai ucapan terima kasih, Santi mau kasih yang spesial untuk pak Joko. Sekarang bapak tolong pijitin pinggul Santi ya pak.”
Seperti kerbau dicocok hidungnya. Joko menuruti perintah Santi. Santi memilih tidur tengkuran dan Joko mulai memijat punggun santi Santi.
“Uh, enak bener pijatan mas Joko.” Santi memuji dan mengubah panggilannya kepada Joko.
“Iya dek Santi. Kebetulan saya sudah lama bisa pijat dan ngurut.” Kata Joko sekenanya.
“Ih kok panggil ‘dek’ sih. Santi aja mas. Kalau begitu pijet yang ini juga mas.” Santi menunjuk bokongnya untuk dipijat oleh joko.
“Dengan senang hati, Santi.” Joko berusaha memijat bokong Santi yang montok tersebut namun terhalang oleh kain yang santi pakai. Melihat Joko yang kesulitan, Santi pun paham dan melepas kain yang dia pakai hingga terpampanglah bongkahan bokong putih nan halus yang tertutupi oleh G-String.
“Shit… G-String.” Ucapku di dalam hati.
“Santi kenapa pakai celana dalam tali seperti ini?” Ucap polos Joko.
“ih… si mas kudet… ini namanya G-String mas. Di kota cewek-cewek dah banyak yang pakai.” Jawab Santi dengan cemberut.
Semakin lama aku memperhatikan Joko, nampaknya dia sekarang mulai bergairah. Terlebih tatapannya ke arah bokong Santi seolah ingin menerkamnya. Sesekali Joko menyelipkan jarinya di belahan pantat Santi yang membuat Santi melenguh.
“Ah… enak mas… sekarang bagian depan juga.” Santi berbalik dan duduk. Dia membuka bra dan melemparkannya kesamping ranjang. Mata joko langsung jelalatan dan langsung meremas payudara Santi dengan liar.
“Ih… mas Joko… uh… terus mas… pijatan mas… bikin aku… oh.. horni mas…” ceracau Santi.
Joko tidak menggubris ucapan Santi dan fokus memainkan payudara Santi yang montok. Tak puas meremas dari luar, Joko mengangkat tank top Santi dan kembali memijatnya. Sesekali Joko memilin puting Santi. Santi pun semakin menjadi dipegangnya kepala Joko dan di arahkannya ke payudaranya.
Kepala Joko seperti terbenam di antara payudara Santi. Tanpa ba bi bu lagi. Joko langsung menjilati payudara santi yang montok, putih dan besar.
“Iya mas, dihisap mas, uh… sedapnya… jilat dan kulum puting aku mas… ehm…. Mas udah jago neteknya.” Lenguh Santi. “Auw…. Jangan digigit putingnya mas… atit… jangan di cupang juga… ah… ntar ketauan.” Sambungnya.
Joko bergantian memainkan payudara Santi. Hampir 10 menit Joko menikmati payudara Santi hingga payudara Santi penuh dengan liur Joko. Santi yang pada awalnya hanya menikmati permainan Joko kini mulai aktif meraba kemaluan Joko.
“Uh… mas Joko diem-diem punyo kontol yang gede nih. Udah dulu nenennya, sini gantian Santi yang mau nenen sama kontol mas Joko.”
Joko mengangguk dan Santi mulai membuka celana pendek yang joko kenakan. Santi terkejut melihat batang penis Joko yang ukurannya di atas ukuran penis rata-rata.
“tuh kan, bener apa kata Santi. Gede banget. Muat gak ya sama mulut atas sam mulut bawah Santi.”
Santi mulai menjilati kepala penis Joko. Tangan kanannya aktif memijat batang penis Joko dan tangan kirinya meremas-remas telur Joko. Joko pun kelojotan menerima servis dari Santi.
Santi dengan santai memasukkan kepala penis Joko ke dalam mulutnya lalu mulai memaju-mundurkan kepalanya. Baru dua menit Santi melakukan blowjob, Joko sudah berteriak keras.
“Joko… Joko… Penis aja yang gede. Bentar-bentar udah keluar. Haduh juniorku jadi tambah berontak.” Celetukku dibalik semak-semak.
*sfx tegukan
“ ah… peju mas Joko manis deh. Seneng makan buah ya mas?” Ucap Santi manja sembari mengocok penis Joko.
“Iya… Saya sering makan buah… ah…” Santi langsung mengulum penis Joko. Joko sesekali mencobo menggoyankan penisnya dalam mulut Santi. Santi terkejut dan tersedak. Sadar kalau gairah Joko kembali naik. Santi lalu berbaring dan membuka kedua kakinya lebar-lebar. Tampat vagina Santi putih mulus tanpa bulu. Santi memainkan klistorisnya dan menggigit bibir bawahnya. Laki-laki mana yang tahan melihat godaan tersebut. Joko pun langsung mengarahkan penisnya ke arah vagina Santi. Joko nampak kesulitan memasukkannya. Hingga santi menanyakan sesuatu kepada Joko.
“Mas Joko belum pernah ngentot ya Mas?” Goda Santi sambil memainkan kepala penis Joko di klistorisnya.
“Belum San, ini pengalaman pertama saya.” Jawab Joko menahan konak.
“Oh.. beruntung banget aku mas, bisa dapet perjakanya mas Joko. Kontol mas gede banget. Muat gak ya di memek mungil Santi. Ayo sekarang mas Joko dorong kontolnya.”
Santi mengarahkan kepala penis Joko pas ke arah lubang vaginanya. Dengan satu hentakan penis Joko masuk ke dalam vagina Santi.
“Ayo goyang mas.” Perintah Santi.
“ah… uh… kontol mas… enak banget… ah….” Santi kembali menggigit bibir bawahnya. Melihat tingkah Santi seperti itu. Joko seperti kesetanan menggenjot vagina Santi.
“Ah enak mas… terus… tusuk yang dalem… ah… mas… enaknya… uh… uh… ah… ah… terus mas…” ceracau Santi.
“Mas aku mau keluar, terus mas… yang dalem mas aku…”
“Santi!!!” teriak Joko
Nampaknya Joko keluar lebih duluan sebelum santi. Terlihat dari layar smartphoneku Santi terlihat cemberut dan tidak puas. Joko ambruk dan menindih Santi dengan penuh peluh dan keringat.
“Hayo sedang apa kalian!?”
Ujar laki-laki yang ku kenal ciri-cirinya. Joko terlihat ketakutan begitu pula dengan Santi.
“Pak Jul… Jaka…” ucap Joko yang masih terengah-engah.
Jaka dan Jul langsung menarik Joko dan memukulnya. Tangan Joko nampak sedang ingin meraih tangan Santi namun Santi tidak berkutik sama sekali. Akhirnya Joko mengalami banyak lebam dan tak sadarkan diri.
Suasana yang panas kini menjadi mencekam. Aku masih belum tau pasti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin menolong namun Jul dan Jaka membawa senapang angin, pisau, dan parang. Untuk sementara aku hanya bisa mengamati dan mencari celah untuk menolong mereka. Setidaknya mereka tidak tahu kalau aku sedang bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok.
to be continued… Thursday…