Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Menunggu update berikutnya, baru nyadar ternyata baru pasang patok, belum baca dari awal, alhasil maraton baca deh, hahayaa
 
Suhu yang terhormat
Tolong sampaikan kpd nanti agar segera membereskan :perang:cecurut DoP itu
Kemudian segera cuss:motor6:untuk menyelamatkan Bu asty:pedang:
Kl udah beres semua nye ane traktir martabak🥘
:baris:
 
Ceritanya keren, percakapan dan bahasanya sangat bagus. Konfliknya juga gk sinetron banget. Tp konplik tokoh bu asty sama kepseknya terlalalu biasa, dan jujur merusak feel cerita, hemm... gimana ya sayang aja cerita sebagus ini di kasih scane terlalu biasa kayak gitu. Maaf sekedar apresiasi, om ts semoga tidak tersinggung.
 
BAGIAN 6
TAK LAGI SAMA




Manusia memiliki jumlah detak jantung yang terbatas.
Jangan sia-siakan satupun yang kau miliki.
- Neil Armstrong






Suara dentang bel sekolah sedikit mengejutkan Asty. Sedikit. Karena ia memang sudah menantikan bel sekolah ini sejak tadi. Bukan karena dia ingin pulang, tapi karena dia harus datang ke ruang Kepala Sekolah-nya yang genit.

Hadeh.

Bagaimana ini? Kabur? Kalau kabur kan besok harus balik lagi. Sama juga bohong. Aduh, bagaimana ini ya? Asty mencoba mengatur napas. Oke, tenang. Ia pasti bisa mengatasi ini. Pasti bisa.

Apa ia harus mencari bantuan? Dengan grogi Asty memutar-mutar kontak di WhatsApp. Apakah ia harus menghubungi suaminya? Atau teman sesama guru? Ataukah... Nanto? Masa Nanto?

Mata Asty menatap ke layar laptop-nya yang sudah padam. Nanto?

Masalah itu untuk dihadapi, Bu. Bukan untuk dihindari. Bagaimana kita bisa kuat kalau selalu menghindari sesuatu yang ditujukan untuk menempa diri kita? Jati diri ditentukan dari bagaimana kita dapat menghadapi sebuah masalah.

Dasar bocah mbeling. Bisa-bisanya Nanto mengucapkan kata-kata itu saat dihukum di detention room BK beberapa tahun yang lalu. Asty menghela napas panjang. Bocah mbeling itu benar. Kenapa harus takut menghadapi masalah? Hadapi dulu saja.

Baiklah, anak bengal. Ayo kita maju.

Kita yang berbuat kesalahan, kita yang harus menanggungnya.

Dengan langkah yang dipaksakan berani, Asty menuju ke ruang kepala sekolah. Oke, Pak Man. Apa yang kamu inginkan? Lorong sekolah yang biasanya cerah berubah menjadi redup dan gelap, segelap jalurnya menuju ruang Kepsek. Beberapa siswa mendatangi Asty dan memberikan salam dengan mengecup punggung tangannya.

Sampai kemudian ia sampai di depan pintu terkutuk itu.

Asty mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terdengar suara Pak Man dari dalam.

“Yaaaa. Masuk saja.”

“Sore Pak.”

Ketika Asty masuk ke ruang Kepsek, Pak Man langsung berwajah cerah, sumringah, dan bungah. Aduhai indahnya dewi khayangan yang baru masuk ruangannya ini. Gelap dunia sirna berganti cahaya saat kamu hadir dan menyapa.

“Mari Bu. Mari... sudah saya tunggu-tunggu lho. Asli. Beneran. Silahkan duduk.” Pak Man pun buru-buru menutup permainan kuno Zuma Deluxe yang menjadi game komputer paling ia gemari sepanjang hidup.

“Saya berdiri saja, Pak.” Kata Asty sesopan mungkin. Ada getar takut di suaranya. Mudah-mudahan Pak Man tidak menyadarinya. Ya sesiap apapun menghadapi masalah, ada keder-nya juga kali. Guru muda jelita itu mengamati ruangan dan melihat monitor besar yang baru kali ini ia lihat ada di meja sang Kepala Sekolah. Oh ini ya.

Monitor hitam putih di layar saat ini menayangkan halaman parkir. Gambar menunjukkan ramainya anak-anak mengambil motor mereka untuk pulang sekolah dan hiruk pikuk ojek online yang masing-masing menggenggam ponsel untuk mencari anak yang memesan mereka. Sebagian dijemput dengan mobil - ada yang mobil sendiri, ada pula yang dijemput taksi online.

Pak Man melihat mata Asty tertuju pada monitor.

“Nah iya itu, Bu. Itu CCTV-nya. Terlihat dari situ ya, meski warnanya masih hitam putih.”

Asty mengangguk tanpa kata. Gawat gawat gawat.

“Nah, ada baiknya kita langsung ke pokok masalah nih, Bu. Daripada berlama-lama, takutnya nanti kesorean.” Pak Man pun memutar monitor, dan memencet beberapa tombol sebelum memunculkan sebuah rekaman. “Sebentar Bu. Saya akan tampilkan dulu... sungguh ini membuat saya shock.”

Asty hanya diam. Gawat gawat gawat.

Lalu gambar pun muncul.

Asty sudah hampir memejamkan mata. Gawat gawat gawat!!!

Gambar menampilkan sebuah ruangan tertutup dengan amplop-amplop besar tersimpan rapi di atas sebuah meja di salah satu sudut.

Lho? Ini kan... bukan ruang BK!?

Seorang guru masuk dan mendatangi meja tersebut. Kepalanya berputar seakan-akan mencoba memastikan ruangan benar-benar sepi dan aman.

Itu kan... Pak Dian! Guru PPKN!

Terlihat sekali dari rekaman CCTV kalau Pak Dian sedang membuka soal-soal yang tertutup rapi dan bertuliskan Rahasia Negara. Ya, dia sedang membuka soal-soal ujian yang besok akan digunakan untuk Ujian Nasional! Ruangan untuk menyimpan soal adalah ruang tertutup dan terkunci. Hanya panitia yang boleh masuk, dan Pak Dian adalah salah satunya.

Masih di rekaman yang sama terlihat kemudian Pak Dian mencatat ke sebuah kertas yang ia siapkan dan memotret soal demi soal, lalu mengembalikan kertas ujian ke dalam amplop sembari menutupnya dengan lem. Ia melakukannya dengan sangat rapi. Pak Dian berada di ruangan itu cukup lama untuk memastikan dia sudah memotret semua soal.

Lalu rekaman terhenti.

“Itu video pertama, Bu. Ini yang kedua.”

Di video kedua, terlihat Pak Dian sedang berdiri di siku bawah tangga berbicara dengan dua orang siswa. Keduanya lantas mengeluarkan uang dan Pak Dian pun menyerahkan beberapa lembar kertas. Ketiganya pura-pura sedang berpapasan biasa saat ada siswa dan guru lain melintas. Beberapa saat kemudian, di tempat yang sama, Pak Dian bertemu lagi dengan tiga siswa yang berbeda. Uang diterima, kertas berpindah-tangan.

Kejadian berulang sampai beberapa kali dengan siswa kelas XII yang berbeda-beda.

Hah!? Jadi ini?! Ini rekaman yang mau ditunjukkan Pak Man? Rekaman tindakan curang Pak Dian membuka amplop UN dan menjualnya ke siswa?

Woalaaaah
. Tiwas tegang.

“Bagaimana menurut Bu Asty? Bukankah ini kejadian yang sangat memalukan, Bu? Aib! Kalau sampai menyebar keluar, bagaimana menurut Bu Asty tanggapan masyarakat? Tanggapan wali murid? Tanggapan para guru yang lain? Tanggapan yayasan? Tanggapan Dinas Pendidikan? Wah ga bisa bayangin saya. Asli. Beneran. Malu lho. Ini memalukan sekali.” Pak Man menatap Asty dengan tatapan tegas. Tumben tegas.

Asty mencoba menahan diri, mau ketawa tapi takut dosa. Bukan karena adegan yang direkam di CCTV itu tidak serius, oh ya, rekaman itu menunjukkan pelanggaran sangat serius yang bisa membuat nama sekolah yang sudah buruk menjadi semakin buruk. Hanya saja Asty mengira Pak Man merekam adegan saat Nanto menemuinya di detention room.

Guru jelita itu berdehem. Mengatur napas.

“Anak-anak yang terlibat dengan kasus ini akan saya panggil satu persatu, Pak. Akan saya tanyakan detailnya kepada mereka. Jika memang terbukti mereka bersalah, saya akan mengajukan hal ini ke yayasan, dewan sekolah dan komite sekolah. Kita jelas tidak bisa menoleransi kecurangan semacam ini. Dampaknya sangat buruk buat SMA Cendikia Berbangsa. ”

“Begitu ya, Bu. Ah, memang tepat langkah saya memanggil Ibu ke ruangan ini. Tidak salah. Asli. Beneran. Yakin.” Kata Pak Man sembari manggut-manggut. “Jika bukti-bukti dan keterangan dari siswa sudah lengkap, saya baru akan memanggil Pak Dian. Mohon segera dikumpulkan bukti-buktinya ya, Bu. Yayasan yang akan menentukan nasib beliau selanjutnya. Saya rasa diberhentikan adalah langkah yang paling tepat. Tapi kita lihat saja nanti keputusan yayasan.”

Asty manggut-manggut tanda setuju. Hmm, tapi ia tetap penasaran dengan urusan CCTV ini. Mau ditanyakan? Kenapa tidak? Berani kok dia!

“Kalau CCTV di ruang BK bagaimana, Pak? A-apakah juga ada videonya?”

“Hah? Oh, belum, Bu. Secepatnya ya, pasti kita usahakan secepatnya jika Ibu membutuhkan. Kalau ruang BK memang masih belum bisa kita saksikan di sini. CCTV sebenarnya sudah terpasang di sana, tapi untuk jaringannya belum tersambung. Ruang BK, UKS, Lab Bio, Lab Bahasa, Lab Kimia, Musholla, semua belum berfungsi. Akhir pekan ini kita rampungkan semuanya.”

“Oh gitu.”

Fiuhhh.

Asty menepuk dahinya sambil tertawa kecil.

“Kenapa, Bu? Ada yang lucu?”

“Tidak Pak. Tidak.”

Asty menarik napas panjang melepas lega bukan kepalang. Ia mendekat ke arah jendela untuk menekan rasa khawatirnya yang ternyata terlalu berlebihan. Pandangan Asty menyapu halaman di depan ruang Kepala Sekolah, menyaksikan anak-anak yang masih berlalu-lalang. Keluar dari ruang kelas mereka, bersenda-gurau bersama teman, ketawa-ketiwi. Menyambut saat pulang sekolah dengan gembira. Hari yang tadinya begitu mendung, ternyata masih cerah. Kadang kita khawatir akan sesuatu hal secara berlebihan karena pikiran ketakutan kita sendiri, padahal kita belum menghadapinya secara langsung dan mengetahui apa yang sebenar-benarnya terjadi.

“Oh iya, Bu Asty. Ada satu hal yang sudah beberapa hari ini ingin saya sampaikan ke Ibu. Kebetulan sekali kita kan sedang berdua saja nih. Duh, saya jadi deg-degan. Asli. Beneran. Jujur saya menunggu-nunggu saat ini.” Pak Man mensejajari Asty di depan jendela ruang Kepala Sekolah.

“Hal apa itu, Pak?”

Pak Man beringsut mendekati Asty. Asty beringsut menjauh. Pak Man kembali menggeser posisi berdirinya agar mendekat, kembali Asty menjauh. Begitu aja terus sampai lebaran. Akhirnya Pak Man mengeluarkan kartu truf-nya. Kepala sekolah yang sudah tak tahan menghirup wangi parfum si guru jelita itu pun mengambil sesuatu dari dalam kantong bajunya.

Ia meletakkannya di tangan Asty.

Asty terkejut menatap dua carik tiket yang kini berada di tangan. Nama itu... nama penyanyi terkenal!

“Sa... saya ada dua tiket nih, Bu. Tiket untuk menonton konser penyanyi terkenal dari luar negeri. Kira-kira nih, Bu... kira-kira kalau saya mengajak... ehmm... maksud saya...” Pak Man menggerakkan tangan untuk merangkul Asty. Mumpung berdua kan ye.

Saat hendak merangkul Asty, Pak Man merem melek tak mampu menahan nafsu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kapan lagi bisa merangkul wanita secantik Asty? Hmm... sampai kapan pun tak akan ia lupakan saat-saat indah ini. Seandainya punya konco kelon seperti guru BK jelita ini, pasti di rumah ia tidak akan pernah lagi pakai celana.

Puk.

Tangan Pak Man merangkul Asty.

Hohhh!

Hanya dalam waktu singkat, benak sang guru muda jelita teringat dengan jelas kata demi kata yang pernah diucapkan oleh Nanto pada suatu ketika. Bagaikan memutar ulang rekaman lama.

Cengkeram tangan lawan dengan erat menggunakan kedua tangan. Seerat-eratnya. Tarik kaki terdalam ke belakang, lalu turunkan badan dan kaki agar pijakan berimbang dan kuat. Sekarang putar badan ke arah berlawanan melalui bawah lengan lawan sembari memutar arah kaki.

Asty yang sejak tadi memang sudah terpacu jantungnya langsung memegang pergelangan tangan kanan Pak Man yang berada di pundaknya dengan kedua tangan, kencang. Lalu ia berputar ke bawah lengan sang kepsek, memelintir tangan nakal Sang Kepala Sekolah hingga menyeruak ke arah belakang.

“Aduuuuhhh!! Aduuuuuh!!!”

Seimbangkan posisi kaki kanan dan kiri, lalu sembari bertumpu pada kaki kiri yang mapan, salurkan beban tubuh ke kaki tersebut. Lakukan tendangan ke sudut terdekat.

Asty mengunci tangan sang Kepsek, dan kakinya bergerak secepat mungkin untuk menendang bagian belakang lutut Pak Man.

BGGG!!!

“Wuaadddooooohhhh!!”

Sang Kepala Sekolah mesum jatuh terguling dengan kaki dan tangan yang nyeri.

“Aduuuuh! Aduuuh!! Bu Asty!!!”

“Aduuh aduuuh. Maaf Pak, reflek Pak. Maaf ga sengaja. Asli. Beneran.” Kata Asty setengah tertawa.

Mampus! Dasar bandot! Untung saja dulu ia sempat belajar self-defense dari Nanto. Ga nyangka sama sekali apa yang pernah diajarkan sambil lalu oleh si bengal itu akan berguna saat ini. Ya ampun, harus berapa kali ia berterima kasih pada bocah mbeling itu?

“I... iya, aduduh. Aduuduh... sakit ini. Beneran. Asli. Aduduh...”

“Aduh! Terus bagaimana, Pak? Saya benar-benar tidak sengaja. Reflek, Pak. Aduh... apa perlu saya panggilkan satpam untuk dibawa ke rumah sakit?”

“Ti-tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Saya yang gegabah tadi... tidak apa-apa. Reflek ya Bu... ya ya. Mungkin Ibu bisa meninggalkan ruangan ini dulu? Saya mau istirahat sebentar saja.”

“Pak Man mau ngesot di lantai begitu?”

“I-iya... saya sudah nyaman ini. Enak kok. Sungguh, asli, beneran.”

“Tiketnya bagaimana? Saya kembalikan ya, Pak.”

“A-ambil saja. Ambil saja. Silahkan nonton dengan suami, anak, tetangga, kerbau di ladang, burung onta, atau siapapun yang Ibu mau, saya ikhlaskan. Saya ikhlas.”

Asty tersenyum. “Baiklah kalau begitu. Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih untuk tiketnya.”

“I-iya... sa-sama-sama. Huhuhu.”

Asty masih mencoba menahan cekikikan saat keluar dari ruangan Pak Man dengan penuh kemenangan.

Sementara di belakang Asty, sang kepala sekolah mesum masih mengerang kesakitan. Sakit hati, fisik, dan perasaan. Duh Bu Asty... Bu Asty... kenapa kamu begitu menawan? Kamu memang tak memberi harapan, namun senyummu yang adem bikin joni terasa tak nyaman. Sekarang bagaimana ini sakitnya bikin belingsatan. Oalah aduh, jadi ini yang namanya reflek ya, Man?

Pak Man mencoba menahan nyeri.

Huhuhu, sakit Mak. Comb@ntrin mana Comb@ntrin?

Lho? Kok Comb@ntrin?

Obat otot keseleo?

Itu Counterp@in woi!! Bukan Comb@ntrin! Comb@ntrin mah obat cacingan!!

Duh... Kepala Sekolah kurang separuh ya begini deh. Udah gagal deketin Bu Asty, urat keseleo, tiket mahal pun melayang. Ya nasib ya nasib. Pak Man hanya sanggup menatap bagian belakang indah tubuh Bu Asty yang perlahan-lahan menjauh dari pintu yang masih terbuka. Aduh, coba lihat itu bemper. Huhuhu... Pak Man hanya sanggup mengelus dada dan menahan nyeri.

Asty melangkah meninggalkan ruang kepala sekolah sambil meletakkan tiket yang baru saja ia peroleh ke saku bajunya. Guru muda yang jelita itu pun tersenyum, dan menatap ruang BK dari kejauhan. Ada rasa rindu yang begitu membuncah di dadanya.

Terima kasih, anak bengal. Meski tak ada di sini, apa yang sudah pernah kamu ajarkan ternyata berhasil menyelamatkan aku. Terima kasih.

Mau nonton konser?





.::..::..::..::.





Bondan dan keempat kawannya mengepung Nanto, sementara Jo ikut berbaris melingkar mengelilingi si bengal. Sial orang ini! Punya nyawa berapa sih? Apa belum cukup bengap-bengap begitu? Anggota DoP jelas punya satu slogan; Pantang Pulang Sebelum Ambyar. Jadi tantangan Nanto harus diterima dan si bengal itu harus dibungkam, tak peduli siapa yang tumbang!

Badai serangan datang!

“Hiyaaaaaaa!”

Satu orang maju menyerang dengan sebuah tendangan ke dada. Nanto beringsut, mengaitkan tangan ke paha lawan, dan memelintir kaki itu hingga si penyerang terjerembab ke tanah. Si penyerang mengerang nyeri.

BGKKHH!

Injakan kaki Nanto bersarang di wajah si penyerang pertama yang langsung membuyarkan mulutnya.

Serangan kedua datang, dengan pukulan ke sisi kiri kepala Nanto. Tangan si bengal bergerak naik, lengannya mengait tangan penyerang, menariknya masuk ke area pusaran Nanto. Si penyerang terkejut namun tak dapat berbuat banyak ketika sisi bawah tapak tangan Nanto menghantam lehernya. Ia pun jatuh berdebam.

Serangan ketiga datang, kali ini dari sisi kanan.

BGKKK!!

Masuk! Kepalan tangan itu kencang menghantam telinga Nanto. Si bengal pun terhuyung, namun kakinya berhasil menarik kaki si penyerang yang juga langsung goyah. Nanto menghentakkan kakinya ke bawah supaya lebih seimbang, dengan cepat masuk mendekat ke sang lawan, dan melontarkan sikutnya ke dada si penyerang ketiga. Sikut yang sama bergerak naik, menghajar rahang bawah.

BGGG!! BLETAAAGGKK!!

Orang itupun terlontar ke belakang.

Serangan keempat menyapu kaki Nanto yang tidak fokus, si bengal pun terjatuh. Namun ia memutar kakinya supaya tidak ada tendangan lain yang menyusul. Tidak ada celah, si penyerang keempat terpaksa menunggu sampai Nanto bangkit dan melakukan spinning kick ke arah Nanto yang masih bertongkat lutut.

Nanto hanya menggeser posisinya, mengait kaki sang penyerang dan menghantam dada lawan dengan hentakan telapak tangan. Sang lawan pun mundur beberapa tapak. Nanto tidak berhenti. Pukulan beruntunnya hadir menghajar dada penyerang keempat itu.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada.

Sang penyerang keempat tersedak dan tersengal-sengal, ia terlontar ke belakang.

Penyerang kedua kembali menyeruak dan menyerang Nanto dengan membabi-buta, namun si bengal masih awas. Hujan pukulan dari penyerang kedua dapat ditepis dan dimentahkan oleh sepasang lengan Nanto, yang membelokkan tiap lontaran kepalan. Begitupun ketika kaki si penyerang hendak naik, kaki Nanto sudah menghentikan laju lututnya yang membuat si penyerang kedua terkejut.

Terkejut? Hilang fokus fatal akibatnya. Saat itu pula rantai pukulan Nanto masuk menghajar rahangnya.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Penyerang kedua ambruk terkapar. Ia memegangi rahangnya yang bagai masuk ke gilingan.

BGGG!! BGG! BGG! BGGG!

Kiri, kanan, kiri, kanan.

Bondan berhasil menyarangkan pukulan kerasnya ke arah Nanto, Si bengal oleng. Hal ini dimanfaatkan oleh Bondan yang menghujani Nanto dengan pukulan straight dan hook bergantian. Si bengal hanya dapat mundur setapak demi setapak dengan berlindung di balik lengan yang mulai kesemutan. Pukulan Bondan benar-benar sangar, Cah!

BGGG!! BGG! BGG! BGGG! BGGG!! BGG! BGG! BGGG!

Kiri, kanan, kiri, kanan. Kiri, kanan, kiri, kanan.

Ah begitu ya. Serangannya memang kencang dan hantamannya keras. Tapi sayang Bondan terlalu monoton. Nanto mulai menepis satu demi satu serangan Bondan. Kakinya menapak kencang di tanah dan perlahan-lahan balik mendesak ke depan, membuat footwork Bondan berantakan. Bondan tidak hilang akal, kepalan tangan kirinya ditarik sepersekian detik dan dilontarkan ke wajah Nanto.

Tidak masuk.

Tepisan tangan Nanto membuat Bondan goyah dan terkejut. Saat itulah satu tangan Nanto yang menepis berputar, mengait pergelangan tangan Bondan, menariknya, menghentakkan sikut ke dada Bonda yang langsung terhuyung, dan badai pukulan pun menghantam dada sang petinju.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada.

Bondan yang terkesiap jatuh terjerembab ke tanah. Nanto tidak berhenti. Tanpa ampun ia mengejar dan kembali meluncurkan rantai pukulan dari kepalan kanan dan kiri ke arah satu titik di kepala Bondan!

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke tulang pipi. Pipi. Pipi. Pipi. Lagi. Lagi. Lagi. Lagi.

Bondan mendengus-dengus tak mampu bertahan, ia meraung kesakitan.

BUAAAGGG!!

Satu tendangan ke sisi kanan Nanto menghentikan serangan itu. Si bengal terlempar ke belakang. Rupa-rupanya penyerang ketiga dan keempat sudah berdiri bersiap untuk melanjutkan serangan dari dua sisi Nanto.

“Hiyaaaaaaa!!!”

Keduanya menyerang bersamaan. Ladeni satu-satu! Nanto pun bergeser ke samping untuk menghindari serangan dari penyerang ketiga, dan maju menghentak lengan penyerang keempat yang hendak melakukan hook punch. Kait lengannya, tarik, uppercut!

Penyerang keempat terlontar ke belakang dan terjerembab bergulingan di atas tanah.

Begitu pukulannya masuk ke penyerang keempat, Nanto menarik kakinya sedikit dan melontarkan tendangan ke dada penyerang ketiga yang masih belum dapat fokus.

BGGG!!

Penyerang ketiga terhenyak dan tertahan. Ia menatap ketakutan ke arah si bengal, karena sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalah reflek, kalah cepat, kalah kencang. Kaki si penyerang dikait oleh Nanto, lalu dijatuhkan ke tanah. Sesaat setelah jatuh. Nanto menyepak kepala si penyerang ketiga.

BLETAAAAGG!!

Sudah? Siapa lagi yang maju?

Nanto terengah-engah sementara kelima kawanan Jo mengerang kesakitan. Jo sendiri menatap tak percaya bahwa Nanto masih sanggup menghadapi mereka berlima. Dengusan napas satu dua membuat si bengal benar-benar ngap. Wah, sepertinya dia kurang berlatih pernapasan. Kakek pasti marah kalau dia kurang berlatih seperti ini.

Jo bagai menatap mimpir buruk di hadapannya. Ini bukan Nanto yang dulu! Nanto yang dulu tidak seperti ini. Ini lebih gila lagi!! Apa yang dia makan di desa? Sampai-sampai bisa sekuat ini? Jingaaaan!

Jo yang sedari tadi tidak maju mengeroyok ikut terangah-engah karena kebingungan, apa yang harus ia lakukan sekarang? Menyerang? Ya! Ia harus menyerang!!

“Mau maju?” Nanto menatap Jo dengan wajahnya yang sudah tak karuan.

Jo gemetar sekaligus marah. Setaaaaaaan!!

BLETAAAAAGGG!!

Tiba-tiba saja Nanto sudah berada di depan Jo dan menghunjamkan tendangan keras ke dadanya. Melontarkan tubuh preman kampus itu ke semak-semak di belakangnya.

“Itu karena tadi kamu mukulnya lebih dari sepuluh kali. Anggap saja bonus. Sekarang sudah benar-benar impas.” Kata Nanto yang berjalan dengan napas kembang kempis.

Tiba-tiba saja dari belakang Jo muncul lima orang lagi yang mengenakan kacamata hitam dan jaket bomber.

“Urusan apa ini, Jo? Kami bantu.” Kata salah satunya.

Nanto menghela napas.

Yang begini nih.

Panjang urusannya.





.::..::..::..::.





Jo melirik ke gedung di samping tempat parkir motor saat Nanto masih meladeni kawanan DoP yang baru datang, si preman kampus itu mendengus. Ada tiga sosok bayangan di lantai dua. Para kapten sepertinya sedang menyaksikan pertarungan ini. Mudah-mudahan mereka hanya menonton saja dan tidak ikut campur. Nanti jadi lebih runyam.

Di sebelah tempat parkir motor, benar-benar di sebelahnya, ada sebuah bangunan terbengkalai yang menempel ke tembok kampus dan sudah beberapa tahun ini terhenti pembangunannya. Padahal bangunan yang rencananya akan menjadi komplek empat ruko itu sudah berdiri hingga tiga tingkat. Ada yang bilang pemiliknya kehabisan modal, ada yang bilang tempat itu berhantu, macam-macam lah alasannya.

Yang jelas pembangunan gedung itu terhenti hingga bertahun-tahun bahkan hingga sampai saat ini. Tidak ada yang tahu apakah bangunan itu akan jadi dibangun atau tidak. Anak-anak kampus menyebut tempat itu dengan nama Kandang Walet, dan di tempat itulah DoP bermarkas.

Sesuai dengan jumlah tingkat bangunan di Kandang Walet, ada tiga lapis kekuatan DoP. Lapis pertama adalah mahasiswa-mahasiswa yang baru bergabung dengan DoP baik dari UAL ataupun kampus lain di sekitar sini. DoP memang tidak melulu beranggotakan anak UAL. Mereka biasa berkumpul di lantai terbawah Kandang Walet, apalagi di situ ada juga Mas Kribo yang berjualan minum dan snack seadanya di warung pojok miliknya.

Di lapis kedua ada para Kapten, yang biasa berkutat di lantai dua Kandang Walet – saat ini ada empat Kapten di DoP. Tiap Kapten memimpin sebuah regu berisikan mahasiswa dari lapisan pertama - dengan jumlah masing-masing regu tidak menentu. Tiap kapten memiliki ciri khas wardrobe atau pakaian sendiri, misalnya Remon – kapten si Jo. Dia terbiasa mengenakan kacamata hitam yang khas dan mengenakan jaket bomber. Anak buahnya pun mengikuti tanpa Remon minta.

Yang terakhir, biasa berada di lantai tiga yang gelap di Kandang Walet adalah para jenderal. Semua Kapten di lantai dua apalagi keroco di lantai satu harus tunduk pada para Jenderal yang berada di lapis ketiga. Lapisan ketiga adalah tingkat tertinggi yang menjadi kepercayaan sang pimpinan DoP. Gaya ya preman kampusnya? Sok keren ada kapten ada jenderal segala, paling-paling supaya dibilang mbois.

Saat ini dari lantai dua Kandang Walet berdiri tiga sosok bayangan yang sedang menyaksikan pertarungan antara Nanto melawan kawanan Jo.

Tokoh yang pertama duduk di kursi sambil merunduk ke depan, mengamati pertarungan di bawah dengan seksama. Tangan kirinya bersandar pada sebatang kayu panjang yang dibentuk hingga menyerupai bokken – pedang kayu asal Jepang yang biasa digunakan untuk berlatih para samurai. Rambutnya yang jigrak dibiarkan berkibar-kibar tertiup angin. Mulutnya selalu tersenyum dan terkekeh-kekeh melihat pertarungan yang berlangsung tak adil di bawah sana. Sesekali tangan kanannya bergerak memasukkan bengkuang kupas ke mulut, yang lantas digigit dan dikunyahnya dengan bahagia. Hobi orang ini memang sederhana, makan bengkuang.

“Gerakan orang itu... mirip seperti style Wing Chun.” Kata orang kedua, seorang pemuda berkacamata yang berdiri di samping kanan si pemegang bokken. Rambutnya yang dicat warna coklat dipotong pendek model messy brown bangs dengan poni sedikit berombak. Meski jabatannya adalah salah satu dari empat kapten DoP, orang ini cukup populer di kampus terutama di kalangan para cewek. Kulit putih, wajah tampan, dan tubuh tinggi semampai – hampir mirip seperti oppa-oppa Korea lah.

Opo meneh kuwi, Dab? Mana aku tahu yang begitu-begituan.” si pemakan bengkuang bertanya tanpa memalingkan wajah.

“Semacam ajaran kungfu dan laku hidup yang berasal dari Tiongkok.”

“Wooooh! Kungfu yee. Menarik, menarik. Koyo itu no... Jet Li! Hahaha!”

Wing Chun itu kungfu yang menjadi dasar banyak konsep lain, salah satunya Jeet Kune Do. Yang lebih tegas dan lebih bebas. Bocah itu sepertinya menguasai konsepnya, tapi entah dari aliran yang mana. Banyak cabangnya.”

Welah, Jikundo. Apalagi itulah. Otak-ku mana nyampe. Aku tahunya kalau gebuk-gebukan itu ya asal pukulannya masuk, asal tendangannya kena, yang dipukul nggelangsar, beres. Ahahha. Ga usah pake kungfu-kungfuan.”

Si kacamata menepuk jidatnya. Percuma dijelasin ke orang ini. “Ya begitulah.”

Di belakang kursi si pemakan bengkuang, berdirilah tokoh ketiga. Sosoknya teramat besar, gempal, dan tinggi, begitu besarnya sehingga bagaikan beruang. Secara perilaku si raksasa ini terlihat tenang namun mengintimidasi. Ia tak banyak bicara, hanya berdiri saja sambil hanya menatap pertarungan yang berlangsung di bawah sembari bersedekap. Dia juga tak berminat mencampuri percakapan asal antara si pemakan bengkuang dan si kacamata. Saking tenangnya raksasa ini, yang terdengar hanya hembusan napas. Hampir tidak bisa dibedakan, sebenarnya ia sedang mengamati pertarungan di bawah atau malah tertidur sambil berdiri.

“Kalau yang dari kita itu. Siapa dia?”

“Kalau tidak salah namanya Jo, anak buahnya Remon. Paling getol malak anak baru. Sudah demen berantem sejak SMA. Sirahe atos bocah kae, meski tengil tapi dia ulet, punya banyak akal dan sering nantang orang bertarung mano-a-mano, satu lawan satu. Asli, kepalanya keras banget anak itu.”

“Hahahaha! Pengalaman pribadi?”

“Anak buahku ada yang pernah sparring sama dia.”

Si pemakan bengkuang manggut-manggut. Matanya tak lepas dari Nanto, kemampuan si bengal mau tak mau membuat si pemakan bengkuang terusik rasa penasarannya. “Anak itu menarik juga ya, dia bisa menghadapi beberapa orang sekaligus. Pake jurusnya tadi, apaan? Pekcun?”

Sekali lagi si kacamata menepuk jidatnya. “Wing Chun. Don. Wing Chun.”

Si kacamata meletakkan jari telunjuknya di bibir, seperti sedang berpikir. “Yang mengerikan dari anak itu adalah kecepatan dan kekuatan pukulannya. Jika kita bisa menahan agar dia tidak dapat bergerak dengan cepat, berpikir lebih lincah, dan mengatasi arah pukulannya, dia bisa dibereskan. Dia terlihat ampuh, karena dia memang berbakat. Tapi gerakan dan kemampuannya masih terlihat mentah dan jauh kalau disamakan dengan seorang Master Wing Chun. Dasar kemampuannya, entah itu silat atau kungfu atau apalah, masih belum jadi. Tapi bakatnya memang luar biasa, dan ini jelas bukan kali pertama dia bertarung.”

Si rambut jigrak kembali terkekeh. “Bwahahahaha, mantap! Aah! Jadi penasaran akika sama si pekcun. Turun yo, kita ikutan jajal.”

Tanpa menunggu jawaban dari si kacamata, si rambut jigrak menggunakan tangan kanannya untuk bertumpu pada kayu sandaran punggung kursi dan melompat gesit ke belakang dengan kaki tertekuk. Setelah itu ia menyambung lompatannya dengan santai dan menggunakan pundak lebar si raksasa sebagai tumpuan tangan kirinya. Si rambut jigrak pun melompat untuk kedua kalinya sembari berputar. Gerakannya ringan dan gesit, bahkan saat ia mendarat tanpa suara di belakang si raksasa.

Ketiganya melangkah bersama menuruni tangga dengan langkah tenang, menuju ke arena.





.::..::..::..::.





Nanto terengah-engah, napasnya makin berat. Matanya mulai kabur, entah karena keringat, darah, atau efek pukulan yang beberapa kali bersarang di kepalanya. Bangsat! Jinguk tenan. Selesai ia menuntaskan satu lawan, yang lain muncul entah dari mana dan menyerang. Berhasil di selesaikan penyerangnya, muncul lagi satu dan mengepung. Makin lama bertambah banyak. Sampai kapan ini? Berapa orang yang sekarang mengincarnya? Dia sampai malas menghitung. Seandainya saja dia dalam kondisi fit dan belum kena hajar tanpa melawan tadi, mungkin lain ceritanya!

“Hollaaaa semuaaa. Kami dataaang. Permisi, kasih jalaaaan.”

Tiga orang baru muncul dengan langkah-langkah penuh percaya diri. Siapa lagi tiga orang cecunguk ini?

Yang paling depan selalu cengengesan, caranya memakai pakaian cukup unik – pakaiannya kedombrangan, mirip orang-orangan sawah. Apalagi rambut jigraknya tidak beraturan.

Yang kedua berkacamata dan rambutnya yang pendek dicat kecoklatan, boleh dibilang wajahnya paling tampan dari semua orang yang saat itu berada di tempat ini. Ini orang harusnya masuk grup boyband Korea Selatan nih.

Yang terakhir si raksasa. Orang ini memiliki badan teramat besar dan tinggi, jangan-jangan dia ini Giant-nya Dor@emon?

Ketiga orang ini pasti orang-orang penting di DoP. Karena hampir semua penyerang Nanto berhenti dan membuka jalan bagi ketiga orang tersebut. Nanto mengatur napas, mencoba mengamati satu persatu orang yang baru datang. Huff. Sepertinya arah angin akan segera berubah. Bersiap-siap saja. Malang-malang putung, Nyuk.

Salah satu dari ketiga orang yang datang – si kacamata, mendekati Jo. “Kamu sudah nekat membawa anak-anak DoP ke urusan pribadi tanpa persetujuan dari Kaptenmu. Aku akan menyampaikan ini ke Remon supaya dia yang akan mengambil tindakan atas perbuatanmu.”

Jo yang terengah-engah tak menjawab, keringatnya masih mengalir deras dan menatap si kacamata dengan wajah yang cemas.

Tapi ini bukan saatnya melihat ke arah Jo karena salah satu dari ketiga petinggi DoP yang datang menghampiri Nanto. Dia adalah si pria cengengesan berpakaian kedodoran.

“Hohoho. Kamu hebat juga lho. Keren banget. Aku harus kasih tepuk tangan. Stending aplos.” Pria yang cengengesan pun bertepuk tangan, ia menatap anggota DoP yang berada di situ termasuk Jo. Mereka balik menatapnya dengan tegang. Bagaimana tidak tegang, orang ini adalah salah satu kapten DoP yang cukup disegani. “Kenapa kalian diam saja? Ayo tepuk tangan dong. Apresiasi kemampuannya.”

Mau tak mau para anggota DoP ikut bertepuk tangan, meski dengan perasaan kikuk. Hanya dua yang tidak bertepuk tangan, dua orang di belakang si pria cengengesan. Tak hanya anggota DoP yang merasa jengah, Nanto pun merasa aneh dengan perilaku ini.

Saat tepuk tangan mereda si cengengesan jongkok di depan Nanto sambil memeluk bokken-nya. “Oh ya. Sebelumnya kita kenalan dulu. Kan ada pepatah tuh: tak kenal maka tak sayang, bolehlah kita menumpang mandi. Hahaahaha ngaco ya? Maklum Bahasa Indonesiaku dapat C. Hahaha. Ya sudah! Kita kenalan, Dab! Namaku Don Bravo Dededaka. Panggil saja Don, biar keren. Hahaha.”

Nanto tersenyum kecut. “Aku Nanto. Jalak Harnanto.”

“Wih, namanya unik!! Jalak ya. Janda galak? Wahahahaha.”

Nanto masih tersenyum kecut.

“Yang dibelakang aku ini juga teman-temanku lho. Yang bongsor, hitam, gede kayak kulkas dua pintu itu namanya Amon, Amon Karel Manaruri. Terus yang cakep ini – awas naksir – kami panggilnya Oppa, Nama aslinya Harun Gunawan, cewek-cewek panggilnya Oppa Uun, Bwahahahaha. Kamu mahasiswa baru ya? Kami semua mahasiswa UAL juga, tapi jangan tanyakan angkatan berapa. Hahaha.”

Nanto menganggukkan kepala, mencoba menghormati kedua nama yang disebutkan sambil menatap mereka satu persatu, namun dua-duanya terdiam tanpa menyunggingkan senyum sedikitpun.

“Ok... ok... aku membagikan nama kami, supaya lain kali saat kita bertemu, kita bisa duduk bersama dengan santai dan berbagi nocan mahasiswi cakep. Gitu ya? Hahaha.”

Nanto tersenyum.

Don berdiri. Ia melemparkan bokken-nya ke salah satu salah satu anggota DoP yang menerimanya dengan takut-takut. Pemuda yang masih terus cengengesan itu menggulung sampai siku lengan bajunya yang kepanjangan.

“Nanto, aku tidak tahu apa urusanmu dengan si kunyuk yang jidatnya jenong gara-gara operasi caesar itu, mungkin masalah pribadi ya. Nanti kami urus dia karena bawa-bawa anak-anak DoP ke ranah pribadi. Tapi karena kamu tadi sudah menghajar anak-anak DoP - ya tidak baik juga kalau hal ini tidak diselesaikan di sini dan jadi terkenal di luar sana. Kami punya reputasi yang harus dijaga.” Don tidak lagi cengengesan, ia menatap Nanto dan menyeringai. “Aku sudah lihat kemampuanmu, menarik juga. Kamu punya sesuatu, Dab. Sayang kamu sudah babak belur begitu jadi kita tidak bisa bertanding satu lawan satu secara sah dengan kondisi fit, tapi ya sudah lah ya.”

“Masih mau panjang lebar atau mau maju sekarang?” Nanto tersenyum dan memasang stance-nya seperti biasa. Tubuh menunduk sedikit, kaki menekuk ke dalam, tangan di depan garis tengah dada.

“Bahahaha. Oke-oke siap.” Don menunjuk-nunjuk ke arah Nanto sembari berucap pada rombongan DoP yang ada di situ, “teknik yang begini ini namanya pekcun! Ingat baik-baik ya! Pekcun! Tekniknya kelihatannya lemah tapi cepat dan efektif. Kalian harus berhati-hati kalau melawan teknik pekcun begini! Jangan asal buang tenaga! Jangan asal main pukul dan meremehkan! Mengerti?”

“Mengerti!!” kawanan DoP menyahut hampir bersamaan.

Hanya Oppa yang menggelengkan kepala dan menunduk dengan malu. Orang satu ini benar-benar...

Wssssh!

Hanya dengan satu hentakan kaki, Don sudah melompat dan berada di dekat Nanto, kapten DoP itu melontarkan hook kick ke arah kepala. Namun Nanto sudah bersiap menghadang, ia menangkis dan menarik kaki itu mendekat. Saat Don terhuyung, Nanto pun menyeruak masuk ke ruang terbuka di dada sang penyerang.

BLETAAAAGGG!!

Nanto tersungkur di tanah dan terjerembab dengan kerasnya. Rasa sakit menyeruak di dekat telinganya. Si bengal buru-buru menengadah dan menatap tak percaya ke arah Don. A-apa yang barusan?

Don Bravo Dededaka menatap tajam ke arah Nanto dengan seringai yang menakutkan. Pria unik itu menundukkan kepala agar bisa lebih dekat ke si bengal.

“Bagaimana? Terasa seperti neraka?”





BAGIAN 6 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7
 
Whooaaahhh! Pertarungan berlanjut, tapi tidak untuk pak Man yg k.o. di ronde pertama wuahahaha tererreeettt
 
BAGIAN 6
TAK LAGI SAMA




Manusia memiliki jumlah detak jantung yang terbatas.
Jangan sia-siakan satupun yang kau miliki.
- Neil Armstrong






Suara dentang bel sekolah sedikit mengejutkan Asty. Sedikit. Karena ia memang sudah menantikan bel sekolah ini sejak tadi. Bukan karena dia ingin pulang, tapi karena dia harus datang ke ruang Kepala Sekolah-nya yang genit.

Hadeh.

Bagaimana ini? Kabur? Kalau kabur kan besok harus balik lagi. Sama juga bohong. Aduh, bagaimana ini ya? Asty mencoba mengatur napas. Oke, tenang. Ia pasti bisa mengatasi ini. Pasti bisa.

Apa ia harus mencari bantuan? Dengan grogi Asty memutar-mutar kontak di WhatsApp. Apakah ia harus menghubungi suaminya? Atau teman sesama guru? Ataukah... Nanto? Masa Nanto?

Mata Asty menatap ke layar laptop-nya yang sudah padam. Nanto?

Masalah itu untuk dihadapi, Bu. Bukan untuk dihindari. Bagaimana kita bisa kuat kalau selalu menghindari sesuatu yang ditujukan untuk menempa diri kita? Jati diri ditentukan dari bagaimana kita dapat menghadapi sebuah masalah.

Dasar bocah mbeling. Bisa-bisanya Nanto mengucapkan kata-kata itu saat dihukum di detention room BK beberapa tahun yang lalu. Asty menghela napas panjang. Bocah mbeling itu benar. Kenapa harus takut menghadapi masalah? Hadapi dulu saja.

Baiklah, anak bengal. Ayo kita maju.

Kita yang berbuat kesalahan, kita yang harus menanggungnya.

Dengan langkah yang dipaksakan berani, Asty menuju ke ruang kepala sekolah. Oke, Pak Man. Apa yang kamu inginkan? Lorong sekolah yang biasanya cerah berubah menjadi redup dan gelap, segelap jalurnya menuju ruang Kepsek. Beberapa siswa mendatangi Asty dan memberikan salam dengan mengecup punggung tangannya.

Sampai kemudian ia sampai di depan pintu terkutuk itu.

Asty mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terdengar suara Pak Man dari dalam.

“Yaaaa. Masuk saja.”

“Sore Pak.”

Ketika Asty masuk ke ruang Kepsek, Pak Man langsung berwajah cerah, sumringah, dan bungah. Aduhai indahnya dewi khayangan yang baru masuk ruangannya ini. Gelap dunia sirna berganti cahaya saat kamu hadir dan menyapa.

“Mari Bu. Mari... sudah saya tunggu-tunggu lho. Asli. Beneran. Silahkan duduk.” Pak Man pun buru-buru menutup permainan kuno Zuma Deluxe yang menjadi game komputer paling ia gemari sepanjang hidup.

“Saya berdiri saja, Pak.” Kata Asty sesopan mungkin. Ada getar takut di suaranya. Mudah-mudahan Pak Man tidak menyadarinya. Ya sesiap apapun menghadapi masalah, ada keder-nya juga kali. Guru muda jelita itu mengamati ruangan dan melihat monitor besar yang baru kali ini ia lihat ada di meja sang Kepala Sekolah. Oh ini ya.

Monitor hitam putih di layar saat ini menayangkan halaman parkir. Gambar menunjukkan ramainya anak-anak mengambil motor mereka untuk pulang sekolah dan hiruk pikuk ojek online yang masing-masing menggenggam ponsel untuk mencari anak yang memesan mereka. Sebagian dijemput dengan mobil - ada yang mobil sendiri, ada pula yang dijemput taksi online.

Pak Man melihat mata Asty tertuju pada monitor.

“Nah iya itu, Bu. Itu CCTV-nya. Terlihat dari situ ya, meski warnanya masih hitam putih.”

Asty mengangguk tanpa kata. Gawat gawat gawat.

“Nah, ada baiknya kita langsung ke pokok masalah nih, Bu. Daripada berlama-lama, takutnya nanti kesorean.” Pak Man pun memutar monitor, dan memencet beberapa tombol sebelum memunculkan sebuah rekaman. “Sebentar Bu. Saya akan tampilkan dulu... sungguh ini membuat saya shock.”

Asty hanya diam. Gawat gawat gawat.

Lalu gambar pun muncul.

Asty sudah hampir memejamkan mata. Gawat gawat gawat!!!

Gambar menampilkan sebuah ruangan tertutup dengan amplop-amplop besar tersimpan rapi di atas sebuah meja di salah satu sudut.

Lho? Ini kan... bukan ruang BK!?

Seorang guru masuk dan mendatangi meja tersebut. Kepalanya berputar seakan-akan mencoba memastikan ruangan benar-benar sepi dan aman.

Itu kan... Pak Dian! Guru PPKN!

Terlihat sekali dari rekaman CCTV kalau Pak Dian sedang membuka soal-soal yang tertutup rapi dan bertuliskan Rahasia Negara. Ya, dia sedang membuka soal-soal ujian yang besok akan digunakan untuk Ujian Nasional! Ruangan untuk menyimpan soal adalah ruang tertutup dan terkunci. Hanya panitia yang boleh masuk, dan Pak Dian adalah salah satunya.

Masih di rekaman yang sama terlihat kemudian Pak Dian mencatat ke sebuah kertas yang ia siapkan dan memotret soal demi soal, lalu mengembalikan kertas ujian ke dalam amplop sembari menutupnya dengan lem. Ia melakukannya dengan sangat rapi. Pak Dian berada di ruangan itu cukup lama untuk memastikan dia sudah memotret semua soal.

Lalu rekaman terhenti.

“Itu video pertama, Bu. Ini yang kedua.”

Di video kedua, terlihat Pak Dian sedang berdiri di siku bawah tangga berbicara dengan dua orang siswa. Keduanya lantas mengeluarkan uang dan Pak Dian pun menyerahkan beberapa lembar kertas. Ketiganya pura-pura sedang berpapasan biasa saat ada siswa dan guru lain melintas. Beberapa saat kemudian, di tempat yang sama, Pak Dian bertemu lagi dengan tiga siswa yang berbeda. Uang diterima, kertas berpindah-tangan.

Kejadian berulang sampai beberapa kali dengan siswa kelas XII yang berbeda-beda.

Hah!? Jadi ini?! Ini rekaman yang mau ditunjukkan Pak Man? Rekaman tindakan curang Pak Dian membuka amplop UN dan menjualnya ke siswa?

Woalaaaah
. Tiwas tegang.

“Bagaimana menurut Bu Asty? Bukankah ini kejadian yang sangat memalukan, Bu? Aib! Kalau sampai menyebar keluar, bagaimana menurut Bu Asty tanggapan masyarakat? Tanggapan wali murid? Tanggapan para guru yang lain? Tanggapan yayasan? Tanggapan Dinas Pendidikan? Wah ga bisa bayangin saya. Asli. Beneran. Malu lho. Ini memalukan sekali.” Pak Man menatap Asty dengan tatapan tegas. Tumben tegas.

Asty mencoba menahan diri, mau ketawa tapi takut dosa. Bukan karena adegan yang direkam di CCTV itu tidak serius, oh ya, rekaman itu menunjukkan pelanggaran sangat serius yang bisa membuat nama sekolah yang sudah buruk menjadi semakin buruk. Hanya saja Asty mengira Pak Man merekam adegan saat Nanto menemuinya di detention room.

Guru jelita itu berdehem. Mengatur napas.

“Anak-anak yang terlibat dengan kasus ini akan saya panggil satu persatu, Pak. Akan saya tanyakan detailnya kepada mereka. Jika memang terbukti mereka bersalah, saya akan mengajukan hal ini ke yayasan, dewan sekolah dan komite sekolah. Kita jelas tidak bisa menoleransi kecurangan semacam ini. Dampaknya sangat buruk buat SMA Cendikia Berbangsa. ”

“Begitu ya, Bu. Ah, memang tepat langkah saya memanggil Ibu ke ruangan ini. Tidak salah. Asli. Beneran. Yakin.” Kata Pak Man sembari manggut-manggut. “Jika bukti-bukti dan keterangan dari siswa sudah lengkap, saya baru akan memanggil Pak Dian. Mohon segera dikumpulkan bukti-buktinya ya, Bu. Yayasan yang akan menentukan nasib beliau selanjutnya. Saya rasa diberhentikan adalah langkah yang paling tepat. Tapi kita lihat saja nanti keputusan yayasan.”

Asty manggut-manggut tanda setuju. Hmm, tapi ia tetap penasaran dengan urusan CCTV ini. Mau ditanyakan? Kenapa tidak? Berani kok dia!

“Kalau CCTV di ruang BK bagaimana, Pak? A-apakah juga ada videonya?”

“Hah? Oh, belum, Bu. Secepatnya ya, pasti kita usahakan secepatnya jika Ibu membutuhkan. Kalau ruang BK memang masih belum bisa kita saksikan di sini. CCTV sebenarnya sudah terpasang di sana, tapi untuk jaringannya belum tersambung. Ruang BK, UKS, Lab Bio, Lab Bahasa, Lab Kimia, Musholla, semua belum berfungsi. Akhir pekan ini kita rampungkan semuanya.”

“Oh gitu.”

Fiuhhh.

Asty menepuk dahinya sambil tertawa kecil.

“Kenapa, Bu? Ada yang lucu?”

“Tidak Pak. Tidak.”

Asty menarik napas panjang melepas lega bukan kepalang. Ia mendekat ke arah jendela untuk menekan rasa khawatirnya yang ternyata terlalu berlebihan. Pandangan Asty menyapu halaman di depan ruang Kepala Sekolah, menyaksikan anak-anak yang masih berlalu-lalang. Keluar dari ruang kelas mereka, bersenda-gurau bersama teman, ketawa-ketiwi. Menyambut saat pulang sekolah dengan gembira. Hari yang tadinya begitu mendung, ternyata masih cerah. Kadang kita khawatir akan sesuatu hal secara berlebihan karena pikiran ketakutan kita sendiri, padahal kita belum menghadapinya secara langsung dan mengetahui apa yang sebenar-benarnya terjadi.

“Oh iya, Bu Asty. Ada satu hal yang sudah beberapa hari ini ingin saya sampaikan ke Ibu. Kebetulan sekali kita kan sedang berdua saja nih. Duh, saya jadi deg-degan. Asli. Beneran. Jujur saya menunggu-nunggu saat ini.” Pak Man mensejajari Asty di depan jendela ruang Kepala Sekolah.

“Hal apa itu, Pak?”

Pak Man beringsut mendekati Asty. Asty beringsut menjauh. Pak Man kembali menggeser posisi berdirinya agar mendekat, kembali Asty menjauh. Begitu aja terus sampai lebaran. Akhirnya Pak Man mengeluarkan kartu truf-nya. Kepala sekolah yang sudah tak tahan menghirup wangi parfum si guru jelita itu pun mengambil sesuatu dari dalam kantong bajunya.

Ia meletakkannya di tangan Asty.

Asty terkejut menatap dua carik tiket yang kini berada di tangan. Nama itu... nama penyanyi terkenal!

“Sa... saya ada dua tiket nih, Bu. Tiket untuk menonton konser penyanyi terkenal dari luar negeri. Kira-kira nih, Bu... kira-kira kalau saya mengajak... ehmm... maksud saya...” Pak Man menggerakkan tangan untuk merangkul Asty. Mumpung berdua kan ye.

Saat hendak merangkul Asty, Pak Man merem melek tak mampu menahan nafsu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kapan lagi bisa merangkul wanita secantik Asty? Hmm... sampai kapan pun tak akan ia lupakan saat-saat indah ini. Seandainya punya konco kelon seperti guru BK jelita ini, pasti di rumah ia tidak akan pernah lagi pakai celana.

Puk.

Tangan Pak Man merangkul Asty.

Hohhh!

Hanya dalam waktu singkat, benak sang guru muda jelita teringat dengan jelas kata demi kata yang pernah diucapkan oleh Nanto pada suatu ketika. Bagaikan memutar ulang rekaman lama.

Cengkeram tangan lawan dengan erat menggunakan kedua tangan. Seerat-eratnya. Tarik kaki terdalam ke belakang, lalu turunkan badan dan kaki agar pijakan berimbang dan kuat. Sekarang putar badan ke arah berlawanan melalui bawah lengan lawan sembari memutar arah kaki.

Asty yang sejak tadi memang sudah terpacu jantungnya langsung memegang pergelangan tangan kanan Pak Man yang berada di pundaknya dengan kedua tangan, kencang. Lalu ia berputar ke bawah lengan sang kepsek, memelintir tangan nakal Sang Kepala Sekolah hingga menyeruak ke arah belakang.

“Aduuuuhhh!! Aduuuuuh!!!”

Seimbangkan posisi kaki kanan dan kiri, lalu sembari bertumpu pada kaki kiri yang mapan, salurkan beban tubuh ke kaki tersebut. Lakukan tendangan ke sudut terdekat.

Asty mengunci tangan sang Kepsek, dan kakinya bergerak secepat mungkin untuk menendang bagian belakang lutut Pak Man.

BGGG!!!

“Wuaadddooooohhhh!!”

Sang Kepala Sekolah mesum jatuh terguling dengan kaki dan tangan yang nyeri.

“Aduuuuh! Aduuuh!! Bu Asty!!!”

“Aduuh aduuuh. Maaf Pak, reflek Pak. Maaf ga sengaja. Asli. Beneran.” Kata Asty setengah tertawa.

Mampus! Dasar bandot! Untung saja dulu ia sempat belajar self-defense dari Nanto. Ga nyangka sama sekali apa yang pernah diajarkan sambil lalu oleh si bengal itu akan berguna saat ini. Ya ampun, harus berapa kali ia berterima kasih pada bocah mbeling itu?

“I... iya, aduduh. Aduuduh... sakit ini. Beneran. Asli. Aduduh...”

“Aduh! Terus bagaimana, Pak? Saya benar-benar tidak sengaja. Reflek, Pak. Aduh... apa perlu saya panggilkan satpam untuk dibawa ke rumah sakit?”

“Ti-tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Saya yang gegabah tadi... tidak apa-apa. Reflek ya Bu... ya ya. Mungkin Ibu bisa meninggalkan ruangan ini dulu? Saya mau istirahat sebentar saja.”

“Pak Man mau ngesot di lantai begitu?”

“I-iya... saya sudah nyaman ini. Enak kok. Sungguh, asli, beneran.”

“Tiketnya bagaimana? Saya kembalikan ya, Pak.”

“A-ambil saja. Ambil saja. Silahkan nonton dengan suami, anak, tetangga, kerbau di ladang, burung onta, atau siapapun yang Ibu mau, saya ikhlaskan. Saya ikhlas.”

Asty tersenyum. “Baiklah kalau begitu. Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih untuk tiketnya.”

“I-iya... sa-sama-sama. Huhuhu.”

Asty masih mencoba menahan cekikikan saat keluar dari ruangan Pak Man dengan penuh kemenangan.

Sementara di belakang Asty, sang kepala sekolah mesum masih mengerang kesakitan. Sakit hati, fisik, dan perasaan. Duh Bu Asty... Bu Asty... kenapa kamu begitu menawan? Kamu memang tak memberi harapan, namun senyummu yang adem bikin joni terasa tak nyaman. Sekarang bagaimana ini sakitnya bikin belingsatan. Oalah aduh, jadi ini yang namanya reflek ya, Man?

Pak Man mencoba menahan nyeri.

Huhuhu, sakit Mak. Comb@ntrin mana Comb@ntrin?

Lho? Kok Comb@ntrin?

Obat otot keseleo?

Itu Counterp@in woi!! Bukan Comb@ntrin! Comb@ntrin mah obat cacingan!!

Duh... Kepala Sekolah kurang separuh ya begini deh. Udah gagal deketin Bu Asty, urat keseleo, tiket mahal pun melayang. Ya nasib ya nasib. Pak Man hanya sanggup menatap bagian belakang indah tubuh Bu Asty yang perlahan-lahan menjauh dari pintu yang masih terbuka. Aduh, coba lihat itu bemper. Huhuhu... Pak Man hanya sanggup mengelus dada dan menahan nyeri.

Asty melangkah meninggalkan ruang kepala sekolah sambil meletakkan tiket yang baru saja ia peroleh ke saku bajunya. Guru muda yang jelita itu pun tersenyum, dan menatap ruang BK dari kejauhan. Ada rasa rindu yang begitu membuncah di dadanya.

Terima kasih, anak bengal. Meski tak ada di sini, apa yang sudah pernah kamu ajarkan ternyata berhasil menyelamatkan aku. Terima kasih.

Mau nonton konser?





.::..::..::..::.





Bondan dan keempat kawannya mengepung Nanto, sementara Jo ikut berbaris melingkar mengelilingi si bengal. Sial orang ini! Punya nyawa berapa sih? Apa belum cukup bengap-bengap begitu? Anggota DoP jelas punya satu slogan; Pantang Pulang Sebelum Ambyar. Jadi tantangan Nanto harus diterima dan si bengal itu harus dibungkam, tak peduli siapa yang tumbang!

Badai serangan datang!

“Hiyaaaaaaa!”

Satu orang maju menyerang dengan sebuah tendangan ke dada. Nanto beringsut, mengaitkan tangan ke paha lawan, dan memelintir kaki itu hingga si penyerang terjerembab ke tanah. Si penyerang mengerang nyeri.

BGKKHH!

Injakan kaki Nanto bersarang di wajah si penyerang pertama yang langsung membuyarkan mulutnya.

Serangan kedua datang, dengan pukulan ke sisi kiri kepala Nanto. Tangan si bengal bergerak naik, lengannya mengait tangan penyerang, menariknya masuk ke area pusaran Nanto. Si penyerang terkejut namun tak dapat berbuat banyak ketika sisi bawah tapak tangan Nanto menghantam lehernya. Ia pun jatuh berdebam.

Serangan ketiga datang, kali ini dari sisi kanan.

BGKKK!!

Masuk! Kepalan tangan itu kencang menghantam telinga Nanto. Si bengal pun terhuyung, namun kakinya berhasil menarik kaki si penyerang yang juga langsung goyah. Nanto menghentakkan kakinya ke bawah supaya lebih seimbang, dengan cepat masuk mendekat ke sang lawan, dan melontarkan sikutnya ke dada si penyerang ketiga. Sikut yang sama bergerak naik, menghajar rahang bawah.

BGGG!! BLETAAAGGKK!!

Orang itupun terlontar ke belakang.

Serangan keempat menyapu kaki Nanto yang tidak fokus, si bengal pun terjatuh. Namun ia memutar kakinya supaya tidak ada tendangan lain yang menyusul. Tidak ada celah, si penyerang keempat terpaksa menunggu sampai Nanto bangkit dan melakukan spinning kick ke arah Nanto yang masih bertongkat lutut.

Nanto hanya menggeser posisinya, mengait kaki sang penyerang dan menghantam dada lawan dengan hentakan telapak tangan. Sang lawan pun mundur beberapa tapak. Nanto tidak berhenti. Pukulan beruntunnya hadir menghajar dada penyerang keempat itu.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada.

Sang penyerang keempat tersedak dan tersengal-sengal, ia terlontar ke belakang.

Penyerang kedua kembali menyeruak dan menyerang Nanto dengan membabi-buta, namun si bengal masih awas. Hujan pukulan dari penyerang kedua dapat ditepis dan dimentahkan oleh sepasang lengan Nanto, yang membelokkan tiap lontaran kepalan. Begitupun ketika kaki si penyerang hendak naik, kaki Nanto sudah menghentikan laju lututnya yang membuat si penyerang kedua terkejut.

Terkejut? Hilang fokus fatal akibatnya. Saat itu pula rantai pukulan Nanto masuk menghajar rahangnya.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Penyerang kedua ambruk terkapar. Ia memegangi rahangnya yang bagai masuk ke gilingan.

BGGG!! BGG! BGG! BGGG!

Kiri, kanan, kiri, kanan.

Bondan berhasil menyarangkan pukulan kerasnya ke arah Nanto, Si bengal oleng. Hal ini dimanfaatkan oleh Bondan yang menghujani Nanto dengan pukulan straight dan hook bergantian. Si bengal hanya dapat mundur setapak demi setapak dengan berlindung di balik lengan yang mulai kesemutan. Pukulan Bondan benar-benar sangar, Cah!

BGGG!! BGG! BGG! BGGG! BGGG!! BGG! BGG! BGGG!

Kiri, kanan, kiri, kanan. Kiri, kanan, kiri, kanan.

Ah begitu ya. Serangannya memang kencang dan hantamannya keras. Tapi sayang Bondan terlalu monoton. Nanto mulai menepis satu demi satu serangan Bondan. Kakinya menapak kencang di tanah dan perlahan-lahan balik mendesak ke depan, membuat footwork Bondan berantakan. Bondan tidak hilang akal, kepalan tangan kirinya ditarik sepersekian detik dan dilontarkan ke wajah Nanto.

Tidak masuk.

Tepisan tangan Nanto membuat Bondan goyah dan terkejut. Saat itulah satu tangan Nanto yang menepis berputar, mengait pergelangan tangan Bondan, menariknya, menghentakkan sikut ke dada Bonda yang langsung terhuyung, dan badai pukulan pun menghantam dada sang petinju.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada.

Bondan yang terkesiap jatuh terjerembab ke tanah. Nanto tidak berhenti. Tanpa ampun ia mengejar dan kembali meluncurkan rantai pukulan dari kepalan kanan dan kiri ke arah satu titik di kepala Bondan!

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Pukulan ke tulang pipi. Pipi. Pipi. Pipi. Lagi. Lagi. Lagi. Lagi.

Bondan mendengus-dengus tak mampu bertahan, ia meraung kesakitan.

BUAAAGGG!!

Satu tendangan ke sisi kanan Nanto menghentikan serangan itu. Si bengal terlempar ke belakang. Rupa-rupanya penyerang ketiga dan keempat sudah berdiri bersiap untuk melanjutkan serangan dari dua sisi Nanto.

“Hiyaaaaaaa!!!”

Keduanya menyerang bersamaan. Ladeni satu-satu! Nanto pun bergeser ke samping untuk menghindari serangan dari penyerang ketiga, dan maju menghentak lengan penyerang keempat yang hendak melakukan hook punch. Kait lengannya, tarik, uppercut!

Penyerang keempat terlontar ke belakang dan terjerembab bergulingan di atas tanah.

Begitu pukulannya masuk ke penyerang keempat, Nanto menarik kakinya sedikit dan melontarkan tendangan ke dada penyerang ketiga yang masih belum dapat fokus.

BGGG!!

Penyerang ketiga terhenyak dan tertahan. Ia menatap ketakutan ke arah si bengal, karena sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalah reflek, kalah cepat, kalah kencang. Kaki si penyerang dikait oleh Nanto, lalu dijatuhkan ke tanah. Sesaat setelah jatuh. Nanto menyepak kepala si penyerang ketiga.

BLETAAAAGG!!

Sudah? Siapa lagi yang maju?

Nanto terengah-engah sementara kelima kawanan Jo mengerang kesakitan. Jo sendiri menatap tak percaya bahwa Nanto masih sanggup menghadapi mereka berlima. Dengusan napas satu dua membuat si bengal benar-benar ngap. Wah, sepertinya dia kurang berlatih pernapasan. Kakek pasti marah kalau dia kurang berlatih seperti ini.

Jo bagai menatap mimpir buruk di hadapannya. Ini bukan Nanto yang dulu! Nanto yang dulu tidak seperti ini. Ini lebih gila lagi!! Apa yang dia makan di desa? Sampai-sampai bisa sekuat ini? Jingaaaan!

Jo yang sedari tadi tidak maju mengeroyok ikut terangah-engah karena kebingungan, apa yang harus ia lakukan sekarang? Menyerang? Ya! Ia harus menyerang!!

“Mau maju?” Nanto menatap Jo dengan wajahnya yang sudah tak karuan.

Jo gemetar sekaligus marah. Setaaaaaaan!!

BLETAAAAAGGG!!

Tiba-tiba saja Nanto sudah berada di depan Jo dan menghunjamkan tendangan keras ke dadanya. Melontarkan tubuh preman kampus itu ke semak-semak di belakangnya.

“Itu karena tadi kamu mukulnya lebih dari sepuluh kali. Anggap saja bonus. Sekarang sudah benar-benar impas.” Kata Nanto yang berjalan dengan napas kembang kempis.

Tiba-tiba saja dari belakang Jo muncul lima orang lagi yang mengenakan kacamata hitam dan jaket bomber.

“Urusan apa ini, Jo? Kami bantu.” Kata salah satunya.

Nanto menghela napas.

Yang begini nih.

Panjang urusannya.





.::..::..::..::.





Jo melirik ke gedung di samping tempat parkir motor saat Nanto masih meladeni kawanan DoP yang baru datang, si preman kampus itu mendengus. Ada tiga sosok bayangan di lantai dua. Para kapten sepertinya sedang menyaksikan pertarungan ini. Mudah-mudahan mereka hanya menonton saja dan tidak ikut campur. Nanti jadi lebih runyam.

Di sebelah tempat parkir motor, benar-benar di sebelahnya, ada sebuah bangunan terbengkalai yang menempel ke tembok kampus dan sudah beberapa tahun ini terhenti pembangunannya. Padahal bangunan yang rencananya akan menjadi komplek empat ruko itu sudah berdiri hingga tiga tingkat. Ada yang bilang pemiliknya kehabisan modal, ada yang bilang tempat itu berhantu, macam-macam lah alasannya.

Yang jelas pembangunan gedung itu terhenti hingga bertahun-tahun bahkan hingga sampai saat ini. Tidak ada yang tahu apakah bangunan itu akan jadi dibangun atau tidak. Anak-anak kampus menyebut tempat itu dengan nama Kandang Walet, dan di tempat itulah DoP bermarkas.

Sesuai dengan jumlah tingkat bangunan di Kandang Walet, ada tiga lapis kekuatan DoP. Lapis pertama adalah mahasiswa-mahasiswa yang baru bergabung dengan DoP baik dari UAL ataupun kampus lain di sekitar sini. DoP memang tidak melulu beranggotakan anak UAL. Mereka biasa berkumpul di lantai terbawah Kandang Walet, apalagi di situ ada juga Mas Kribo yang berjualan minum dan snack seadanya di warung pojok miliknya.

Di lapis kedua ada para Kapten, yang biasa berkutat di lantai dua Kandang Walet – saat ini ada empat Kapten di DoP. Tiap Kapten memimpin sebuah regu berisikan mahasiswa dari lapisan pertama - dengan jumlah masing-masing regu tidak menentu. Tiap kapten memiliki ciri khas wardrobe atau pakaian sendiri, misalnya Remon – kapten si Jo. Dia terbiasa mengenakan kacamata hitam yang khas dan mengenakan jaket bomber. Anak buahnya pun mengikuti tanpa Remon minta.

Yang terakhir, biasa berada di lantai tiga yang gelap di Kandang Walet adalah para jenderal. Semua Kapten di lantai dua apalagi keroco di lantai satu harus tunduk pada para Jenderal yang berada di lapis ketiga. Lapisan ketiga adalah tingkat tertinggi yang menjadi kepercayaan sang pimpinan DoP. Gaya ya preman kampusnya? Sok keren ada kapten ada jenderal segala, paling-paling supaya dibilang mbois.

Saat ini dari lantai dua Kandang Walet berdiri tiga sosok bayangan yang sedang menyaksikan pertarungan antara Nanto melawan kawanan Jo.

Tokoh yang pertama duduk di kursi sambil merunduk ke depan, mengamati pertarungan di bawah dengan seksama. Tangan kirinya bersandar pada sebatang kayu panjang yang dibentuk hingga menyerupai bokken – pedang kayu asal Jepang yang biasa digunakan untuk berlatih para samurai. Rambutnya yang jigrak dibiarkan berkibar-kibar tertiup angin. Mulutnya selalu tersenyum dan terkekeh-kekeh melihat pertarungan yang berlangsung tak adil di bawah sana. Sesekali tangan kanannya bergerak memasukkan bengkuang kupas ke mulut, yang lantas digigit dan dikunyahnya dengan bahagia. Hobi orang ini memang sederhana, makan bengkuang.

“Gerakan orang itu... mirip seperti style Wing Chun.” Kata orang kedua, seorang pemuda berkacamata yang berdiri di samping kanan si pemegang bokken. Rambutnya yang dicat warna coklat dipotong pendek model messy brown bangs dengan poni sedikit berombak. Meski jabatannya adalah salah satu dari empat kapten DoP, orang ini cukup populer di kampus terutama di kalangan para cewek. Kulit putih, wajah tampan, dan tubuh tinggi semampai – hampir mirip seperti oppa-oppa Korea lah.

Opo meneh kuwi, Dab? Mana aku tahu yang begitu-begituan.” si pemakan bengkuang bertanya tanpa memalingkan wajah.

“Semacam ajaran kungfu dan laku hidup yang berasal dari Tiongkok.”

“Wooooh! Kungfu yee. Menarik, menarik. Koyo itu no... Jet Li! Hahaha!”

Wing Chun itu kungfu yang menjadi dasar banyak konsep lain, salah satunya Jeet Kune Do. Yang lebih tegas dan lebih bebas. Bocah itu sepertinya menguasai konsepnya, tapi entah dari aliran yang mana. Banyak cabangnya.”

Welah, Jikundo. Apalagi itulah. Otak-ku mana nyampe. Aku tahunya kalau gebuk-gebukan itu ya asal pukulannya masuk, asal tendangannya kena, yang dipukul nggelangsar, beres. Ahahha. Ga usah pake kungfu-kungfuan.”

Si kacamata menepuk jidatnya. Percuma dijelasin ke orang ini. “Ya begitulah.”

Di belakang kursi si pemakan bengkuang, berdirilah tokoh ketiga. Sosoknya teramat besar, gempal, dan tinggi, begitu besarnya sehingga bagaikan beruang. Secara perilaku si raksasa ini terlihat tenang namun mengintimidasi. Ia tak banyak bicara, hanya berdiri saja sambil hanya menatap pertarungan yang berlangsung di bawah sembari bersedekap. Dia juga tak berminat mencampuri percakapan asal antara si pemakan bengkuang dan si kacamata. Saking tenangnya raksasa ini, yang terdengar hanya hembusan napas. Hampir tidak bisa dibedakan, sebenarnya ia sedang mengamati pertarungan di bawah atau malah tertidur sambil berdiri.

“Kalau yang dari kita itu. Siapa dia?”

“Kalau tidak salah namanya Jo, anak buahnya Remon. Paling getol malak anak baru. Sudah demen berantem sejak SMA. Sirahe atos bocah kae, meski tengil tapi dia ulet, punya banyak akal dan sering nantang orang bertarung mano-a-mano, satu lawan satu. Asli, kepalanya keras banget anak itu.”

“Hahahaha! Pengalaman pribadi?”

“Anak buahku ada yang pernah sparring sama dia.”

Si pemakan bengkuang manggut-manggut. Matanya tak lepas dari Nanto, kemampuan si bengal mau tak mau membuat si pemakan bengkuang terusik rasa penasarannya. “Anak itu menarik juga ya, dia bisa menghadapi beberapa orang sekaligus. Pake jurusnya tadi, apaan? Pekcun?”

Sekali lagi si kacamata menepuk jidatnya. “Wing Chun. Don. Wing Chun.”

Si kacamata meletakkan jari telunjuknya di bibir, seperti sedang berpikir. “Yang mengerikan dari anak itu adalah kecepatan dan kekuatan pukulannya. Jika kita bisa menahan agar dia tidak dapat bergerak dengan cepat, berpikir lebih lincah, dan mengatasi arah pukulannya, dia bisa dibereskan. Dia terlihat ampuh, karena dia memang berbakat. Tapi gerakan dan kemampuannya masih terlihat mentah dan jauh kalau disamakan dengan seorang Master Wing Chun. Dasar kemampuannya, entah itu silat atau kungfu atau apalah, masih belum jadi. Tapi bakatnya memang luar biasa, dan ini jelas bukan kali pertama dia bertarung.”

Si rambut jigrak kembali terkekeh. “Bwahahahaha, mantap! Aah! Jadi penasaran akika sama si pekcun. Turun yo, kita ikutan jajal.”

Tanpa menunggu jawaban dari si kacamata, si rambut jigrak menggunakan tangan kanannya untuk bertumpu pada kayu sandaran punggung kursi dan melompat gesit ke belakang dengan kaki tertekuk. Setelah itu ia menyambung lompatannya dengan santai dan menggunakan pundak lebar si raksasa sebagai tumpuan tangan kirinya. Si rambut jigrak pun melompat untuk kedua kalinya sembari berputar. Gerakannya ringan dan gesit, bahkan saat ia mendarat tanpa suara di belakang si raksasa.

Ketiganya melangkah bersama menuruni tangga dengan langkah tenang, menuju ke arena.





.::..::..::..::.





Nanto terengah-engah, napasnya makin berat. Matanya mulai kabur, entah karena keringat, darah, atau efek pukulan yang beberapa kali bersarang di kepalanya. Bangsat! Jinguk tenan. Selesai ia menuntaskan satu lawan, yang lain muncul entah dari mana dan menyerang. Berhasil di selesaikan penyerangnya, muncul lagi satu dan mengepung. Makin lama bertambah banyak. Sampai kapan ini? Berapa orang yang sekarang mengincarnya? Dia sampai malas menghitung. Seandainya saja dia dalam kondisi fit dan belum kena hajar tanpa melawan tadi, mungkin lain ceritanya!

“Hollaaaa semuaaa. Kami dataaang. Permisi, kasih jalaaaan.”

Tiga orang baru muncul dengan langkah-langkah penuh percaya diri. Siapa lagi tiga orang cecunguk ini?

Yang paling depan selalu cengengesan, caranya memakai pakaian cukup unik – pakaiannya kedombrangan, mirip orang-orangan sawah. Apalagi rambut jigraknya tidak beraturan.

Yang kedua berkacamata dan rambutnya yang pendek dicat kecoklatan, boleh dibilang wajahnya paling tampan dari semua orang yang saat itu berada di tempat ini. Ini orang harusnya masuk grup boyband Korea Selatan nih.

Yang terakhir si raksasa. Orang ini memiliki badan teramat besar dan tinggi, jangan-jangan dia ini Giant-nya Dor@emon?

Ketiga orang ini pasti orang-orang penting di DoP. Karena hampir semua penyerang Nanto berhenti dan membuka jalan bagi ketiga orang tersebut. Nanto mengatur napas, mencoba mengamati satu persatu orang yang baru datang. Huff. Sepertinya arah angin akan segera berubah. Bersiap-siap saja. Malang-malang putung, Nyuk.

Salah satu dari ketiga orang yang datang – si kacamata, mendekati Jo. “Kamu sudah nekat membawa anak-anak DoP ke urusan pribadi tanpa persetujuan dari Kaptenmu. Aku akan menyampaikan ini ke Remon supaya dia yang akan mengambil tindakan atas perbuatanmu.”

Jo yang terengah-engah tak menjawab, keringatnya masih mengalir deras dan menatap si kacamata dengan wajah yang cemas.

Tapi ini bukan saatnya melihat ke arah Jo karena salah satu dari ketiga petinggi DoP yang datang menghampiri Nanto. Dia adalah si pria cengengesan berpakaian kedodoran.

“Hohoho. Kamu hebat juga lho. Keren banget. Aku harus kasih tepuk tangan. Stending aplos.” Pria yang cengengesan pun bertepuk tangan, ia menatap anggota DoP yang berada di situ termasuk Jo. Mereka balik menatapnya dengan tegang. Bagaimana tidak tegang, orang ini adalah salah satu kapten DoP yang cukup disegani. “Kenapa kalian diam saja? Ayo tepuk tangan dong. Apresiasi kemampuannya.”

Mau tak mau para anggota DoP ikut bertepuk tangan, meski dengan perasaan kikuk. Hanya dua yang tidak bertepuk tangan, dua orang di belakang si pria cengengesan. Tak hanya anggota DoP yang merasa jengah, Nanto pun merasa aneh dengan perilaku ini.

Saat tepuk tangan mereda si cengengesan jongkok di depan Nanto sambil memeluk bokken-nya. “Oh ya. Sebelumnya kita kenalan dulu. Kan ada pepatah tuh: tak kenal maka tak sayang, bolehlah kita menumpang mandi. Hahaahaha ngaco ya? Maklum Bahasa Indonesiaku dapat C. Hahaha. Ya sudah! Kita kenalan, Dab! Namaku Don Bravo Dededaka. Panggil saja Don, biar keren. Hahaha.”

Nanto tersenyum kecut. “Aku Nanto. Jalak Harnanto.”

“Wih, namanya unik!! Jalak ya. Janda galak? Wahahahaha.”

Nanto masih tersenyum kecut.

“Yang dibelakang aku ini juga teman-temanku lho. Yang bongsor, hitam, gede kayak kulkas dua pintu itu namanya Amon, Amon Karel Manaruri. Terus yang cakep ini – awas naksir – kami panggilnya Oppa, Nama aslinya Harun Gunawan, cewek-cewek panggilnya Oppa Uun, Bwahahahaha. Kamu mahasiswa baru ya? Kami semua mahasiswa UAL juga, tapi jangan tanyakan angkatan berapa. Hahaha.”

Nanto menganggukkan kepala, mencoba menghormati kedua nama yang disebutkan sambil menatap mereka satu persatu, namun dua-duanya terdiam tanpa menyunggingkan senyum sedikitpun.

“Ok... ok... aku membagikan nama kami, supaya lain kali saat kita bertemu, kita bisa duduk bersama dengan santai dan berbagi nocan mahasiswi cakep. Gitu ya? Hahaha.”

Nanto tersenyum.

Don berdiri. Ia melemparkan bokken-nya ke salah satu salah satu anggota DoP yang menerimanya dengan takut-takut. Pemuda yang masih terus cengengesan itu menggulung sampai siku lengan bajunya yang kepanjangan.

“Nanto, aku tidak tahu apa urusanmu dengan si kunyuk yang jidatnya jenong gara-gara operasi caesar itu, mungkin masalah pribadi ya. Nanti kami urus dia karena bawa-bawa anak-anak DoP ke ranah pribadi. Tapi karena kamu tadi sudah menghajar anak-anak DoP - ya tidak baik juga kalau hal ini tidak diselesaikan di sini dan jadi terkenal di luar sana. Kami punya reputasi yang harus dijaga.” Don tidak lagi cengengesan, ia menatap Nanto dan menyeringai. “Aku sudah lihat kemampuanmu, menarik juga. Kamu punya sesuatu, Dab. Sayang kamu sudah babak belur begitu jadi kita tidak bisa bertanding satu lawan satu secara sah dengan kondisi fit, tapi ya sudah lah ya.”

“Masih mau panjang lebar atau mau maju sekarang?” Nanto tersenyum dan memasang stance-nya seperti biasa. Tubuh menunduk sedikit, kaki menekuk ke dalam, tangan di depan garis tengah dada.

“Bahahaha. Oke-oke siap.” Don menunjuk-nunjuk ke arah Nanto sembari berucap pada rombongan DoP yang ada di situ, “teknik yang begini ini namanya pekcun! Ingat baik-baik ya! Pekcun! Tekniknya kelihatannya lemah tapi cepat dan efektif. Kalian harus berhati-hati kalau melawan teknik pekcun begini! Jangan asal buang tenaga! Jangan asal main pukul dan meremehkan! Mengerti?”

“Mengerti!!” kawanan DoP menyahut hampir bersamaan.

Hanya Oppa yang menggelengkan kepala dan menunduk dengan malu. Orang satu ini benar-benar...

Wssssh!

Hanya dengan satu hentakan kaki, Don sudah melompat dan berada di dekat Nanto, kapten DoP itu melontarkan hook kick ke arah kepala. Namun Nanto sudah bersiap menghadang, ia menangkis dan menarik kaki itu mendekat. Saat Don terhuyung, Nanto pun menyeruak masuk ke ruang terbuka di dada sang penyerang.

BLETAAAAGGG!!

Nanto tersungkur di tanah dan terjerembab dengan kerasnya. Rasa sakit menyeruak di dekat telinganya. Si bengal buru-buru menengadah dan menatap tak percaya ke arah Don. A-apa yang barusan?

Don Bravo Dededaka menatap tajam ke arah Nanto dengan seringai yang menakutkan. Pria unik itu menundukkan kepala agar bisa lebih dekat ke si bengal.

“Bagaimana? Terasa seperti neraka?”





BAGIAN 6 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7
Makasih updatenya om, ijin baca dulu
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd