Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN II

Sepulang Kerja Pukul 18.30, saat makan Malam di dalam kamar kos dan anak kami sedang terlelap karena kelelahan akibat bermain seharian.

"Mau kamu bagaimana jadinya, Mas? Mumpung aku belum berubah pikiran loh", ujar Astrid. Kami sedang menyantap pecel ayam bersama di lantai, samping tempat tidur.

CRUNCH CRUNCH CRUNCH....

"Enghhh... bagaimana yaah? Emmm..."

"Sekarang malah bingung, giliran kemarin ajah desak-desak terus", Astrid mengoceh sambil mengunyah makanannya.

"Kamunya sudah yakin betul, belum?", tanyaku sembari mengeloyak daging paha ayam, menjawil hingga tersisa tulang belulang.

"Kok jadi sekarang malah kamu yang nanya aku? Yang seharusnya nanya begitu kan, aku. Kamu sudah rela bener istrinya dilirik-lirik sama lelaki lain? Enggak cemburu?"

"Kalau aku justru sudah yakin banget. Lah... kamu yang barusan ngomong 'sebelum berubah pikiran' itu kan berarti kamu masih ragu, sayang, iya kan?"

"Bukan ragu, masih enggak yakin dan pede aja"

"Sama saja itu!", sahutku menembak. "Enggak yakinnya memang kenapa?"

"Dengan bentuk badan seperti ini apa iya ada yang melirik? Apa cuman pikiran kamu saja mas, yang terlanjur mesum duluan..."

"Enggak ada yang salah dengan bentuk badanmu, sayang. Kenapa? Gendut? Kamu enggak gendut kok. Kamu itu semok sayangku, montok! Sudah cantik, montok lagi. Sempurna! Kalau perlu kita buktikan aja sekarang, gimana? Mau? Mau gak?", ucapku menerjang jawaban merendah Astrid.

"Apa yang mau dibuktikan sih Mas?"

"Kita buktikan bahwa bakal ada yang melirik, yang menaksir kamu, laki-laki awam sekalipun pasti jorok pikirannya lihat perawakan badan kamu ini, sayang. Percaya deh sama aku"

"Terus kalau udah?! Kamu mau apalagi? Cukup? Apa masih ada dan terus akan ada lagi?", Astrid merutuk seolah kurang bisa menerima jawabanku barusan.

"Enggak usah aja deh kalau kamu ragu, entar malah aku yang disalah-salahin. Mending jangan"

"Kamu sekarang bilang begini, nanti beda lagi. Ceplas-ceplos pengen aku begitu lagi. Cape! Kambuhan! Yaudah sekarang maunya bagaimana? Aku dengerin. Jangan bertele-tele Mas. Ngomong aja! Blak-blakan...."

"Tapi beneran nih?", tanyaku masih dikelumuni keraguan.

"Iya udah, jangan berdebat lagi. Mau kamu bagaimana???"

Santap makan malamku sudah selesai walau sambal bersebaran, tak habis. Beberapa butir nasi menggelimpang, tersisih di balik daun kemangi, terlingkupi oleh kol dan timun. Aku memandang istriku, Astrid, sedang mencecah daging ayam yang kubelikan untuknya. Ia duduk bersila, ada kalanya meluruskan kaki karena mungkin risau dengan postur badan yang bikin membludak daster, semakin berisi tubuh Astrid tak kalah dengan daging dada ayam yang hampir selesai dimakannya, menyusul pula kedua paha hingga buah dadanya yang membusung ke depan seandai dikenai pakaian ketat seperti ini.

Sesampainya di tempat kos tadi menenteng makan malam berupa pecel ayam, Astrid menyambutku dengan penampilan seksi-membius, mengenakan daster polos biru elektrik dengan tiap garis pinggiran berwarna hitam, menorehkan dua tali tipis yang melingkari bagian bahu kokoh Astrid. Lengan gempalnya biasa memerah apabila digigit nyamuk, kadang dia harus mengenakan sweater rajut untuk menghangati diri sekaligus menutupi permukaan kulitnya. Belahan dadanya nyaris selalu terlihat apabila mengenakan daster karena sengaja aku belikan yang model seperti itu supaya ranjang rumah tangga selalu panas.

"Tuh kan kamu malah diem...", sahut Astrid.

"Sabar... ini aku lagi mikir"

"Jangan kelamaan...", keluh Astrid, selesai makan, ia membereskan sampah makan malam yang telah terkumpul dalam plastik hitam. Ia bangkit berdiri, ingin membawanya keluar kamar kos.

"Iyaaaa, sabaarr..."

"Aku buang sampah dulu ya Mas", ucap Astrid membuka pintu kamar kos kami, seketika melintas berjalan ke arah dapur adalah Mang Doyok. Langkah Astrid lantas terhenti, tak berani keluar. Pintu yang nyaris terbuka lebar, ditutup kembali, hanya terbuka sedikit celah sehingga kelihatan cahaya samar-samar dari luar memancar masuk ke kamar kami.

"Mengapa berhenti?"

"Kamu aja deh Mas yang keluar, buang sampah ke tempat sampah di dapur, ada Mang Doyok gak enak aku"

"Gak enak kenapa?"

"Aku pakai baju begini loh...", gerutu Astrid menunjukkan kepadaku bahwa dia sungkan keluar karena penampilannya yang seksi.

"Ya keluar aja, masa dengan Mang Doyok enggak enakan, kayak orang baru kenal aja"

"Tapi kan aku enggak pernah pakai pakaian seperti ini juga kalo keluar kamar, Mas"

"Hehehe... yaudah begini saja, berkaitan dengan tuntutan aku", pikiran kotor tersebut lantas muncul, terhaturkan segera untuk dilaksanakan lewat sebuah permintaan yang konon akan disanggupi oleh istriku.

"Tuntutan yang mana?"

"Maaf bukan tuntutan, melainkan permintaan hehehe"

"Pasti nih macem-macem nih, iya deh kayaknya bakal bener dugaanku"

"Katanya mau dengerin, katanya udah yakin, kamunya sikapnya malah kurang serius", ujarku menanggapi pernyataan Astrid.

"Yauda apa?! cepet!"

"Jadi, kamu tetep buang sampah, namun dengan pakaian seperti ini. Kalau nanti ketemu Mang Doyok, ajak dia ngobrol sebentaran"

"Sebentarannya berapa menit?"

"5 menit!"

"Masih kelamaan, 3 menit, oke?

"Kita lihat kondisi di lapangannya dulu"

"Ck, terus aku harus ngapain?"

"Karena masih baru-awal, kamu buang sampah aja ke dapur kebetulan kan ada Mang Doyok di sana. Kamu jangan lupa sapa dia juga, ya kalau diajak ngobrol, sekadarnya aja. Aku cuman mau lihat reaksinya dulu"

"Bener nih gitu aja?"

"Iyaaa gitu dulu"

"Kamu nanti ngapain?", Astrid tampak belum yakin dengan pernyataanku.

"Ya aku nunggu cerita dari kamu aja"

"Beneran nunggu cerita dariku saja?"

"Iyaaa, bener, emang mau ngapain lagi?"

"Yaudah deh"

"Semoga sukses ya sayang", Aku melambai senyum, menunggu berdebar-debar kabar dari Astrid saat kembali. Istriku berangkat menjumput sampah dengan agak malas karena membawa misi konyol atas desakanku.

Aku yang mengira Astrid balik ke kamar lebih cepat justru melampaui 5 menit belum juga kembali. Aku terheran-heran, kacau pikiranku berkhayal seolah-olah Mang Doyok sudah membawa istriku masuk ke kamarnya. Mustahil! Itu terlewat gila! Mana mungkin. Itu keinginan terpendam yang maju-mundur merealisasikannya. Seperti Ini saja perlu waktu panjang mewujudkannya dengan seluk beluk drama rumah tangga nan sengit antara Aku dan Astrid yang berbeda perspektif.

"Bagaimana ya Mang, saya juga kurang paham. Biasanya sih seperti ini, tetapi kok gak bisa yah. Saya panggilkan suami saya saja dulu bagaimana? Mungkin dia lebih memahami", Astrid duduk di sebelah Mang Doyok di kursi kayu ruang makan yang posisinya menyatu dengan dapur.

"Jangan dulu, ini sepertinya hampir bisa, ayo dicoba sedikit lagi, Mba. Tadi kan awalnya seperti ini, nah mengapa jadi begini?"

"Yaudah aku coba sekali lagi ya pak"

"Iyaaa, hehehe, maaf yaa Mba Astrid", ungkap Mang Doyok [47 Tahun] mengoper ponselnya ke istriku.

"Ya gapapa, tapi kalau gak bisa maaf banget ya pak"

"Iyaaa saya bisa mengerti, mungkin sekali lagi bisa"

Mang Doyok adalah seorang bapak perantauan yang memiliki 3 orang anak dan seorang istri. Keluarganya seluruhnya di kampung. Ia berprofesi sebagai seorang bos mandor yang mengerjakan proyek-proyek lelang pemerintah. Uangnya kadang cepat habis untuk dikirim ke keluarganya di kampung. Secara fisik, Mang Doyok lebih tinggi dari istriku. Kumisnya beruban tipis-tipis pun janggutnya yang agak runcing. Kepalanya terhias rambut hitam keabuan yang menebal di bagian ubun-ubun. Sisi pinggirnya mulai menipis. Garis depan rambut yang mundur telah memperlihatkan keriputnya

PLAAK!|Tangan Mang Doyok menepuk bagian punggung istriku.

"Maaf, ada nyamuk..."

"Iya gapapa, ini sepertinya belum bisa Mang", terang Astrid hendak menyerahkan ponsel Mang Doyok.

"Wah kenapa ya kira-kira"

"Saya panggilkan Mas Agus saja ya?"

"Jangan, tidak usah"

"Kalau gitu saya permisi dulu, balik ke kamar"

TAP!|Tangan Mang Doyok memegang lengan Astrid, mencegah istriku meninggalkannya.

"Kalau yang ini kira-kira mengapa?", tanya Mang Doyok, hidungnya berusaha mendekati pundak Astrid, mengibaskan rambut istriku. Tangannya menuntun tangan Astrid agar memegang ponselnya.

"Yang mana?", Astrid sudah gelisah menanggapi pertanyaan Mang Doyok. Aku menduga ia akan menrengut di hadapanku, kapok tidak mau mengulang hal ini. Di sisi lain, baik Astrid maupun Mang Doyok tidak menyadari bahwa aku mengendap-ngendap, menguping pembicaraan mereka. Namun, aku terpaksa buru-buru balik ke kamar karena mendengar suara anakku, Aldo, terbangun mencari orang tuanya. Aku benar-benar akan meninggalkan Astrid, menanti cerita istriku dari dalam kamar mengena8 kerepotan dia menangani rempongnya Mang Doyok yang mendadak perlu bantuan menangani ponsel pribadinya.

"Udah ah aku gak mau begitu lagi besok-besok?"

"Mengapa? Maaf deh, aku justru nungguin kamu loh daritadi, mau ngecek, Aldo terbangun"

"Lain kali aja ceritanya. Aku udah ngantuk banget, mau tidur...", tutur Astrid masuk ke kamar mandi, membasahi muka, tangan, serta kakinya. Kemudian ia rebahan, memeluk guling.

"Ya sudah"

Aku segera menyusul Astrid beberapa menit kemudian, meletakkan ponsel kami berdua yang tergeletak di atas kasur, menaruhnya di atas meja rias tempat biasa kami becermin. Kemudian aku menemukan sebuah pesan WA masuk ke ponsel milik Astrid.

MANG DOYOK TETANGGA KOS:
"Maaf soal tadi ya, khilaf saya Mba. Tapi beneran enggak sengaja loh saya kesenggol bagian sensitif itu. Hehehe... sekali lagi mohon maaf"

BERSAMBUNG
 
Duh, nunggunya seminggu bro. Updatenya kurang banyak 😁
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd