Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Part 10

Beberapa hari Widya sempat mengeluh sakit setelah ia disodomi oleh Juned di kolong jembatan tempo hari. Ia mengeluh sakit ketika buang air besar, tapi ia sama sekali tidak pernah cerita apa-apa tentang sodomi yang ia alami. Widya hanya mengeluh kalau perutnya mengalami diare sehingga sakit ketika buang air besar.

Tapi untungnya, kesehatan Widya berangsur-angsur pulih. Aku tidak berusaha menanyakan dan Widya juga tidak pernah cerita apa-apa tentang kejadian di kolong jembatan. Hari-hari kamipun berjalan normal kembali. Normal dalam artian kembali seperti setelah syarat-syarat aneh yang diberikan Parjo.

Widya kini menaruh sebuah lemari kecil di teras. Di dalam lemari itu terdapat pakaian-pakaian yang ia gunakan ketika akan keluar rumah. Jadi ketika hendak keluar rumah, Widya bisa memakai pakaian di luar teras. Aku selalu merasa dag dig dug, bagaimana jika sampai ada orang yang melihat Widya memakai pakaian di teras. Pagar rumah kami memang tinggi dan ditutup dengan fiber. Tapi jika ada orang yang nekat melihat, pasti mereka bisa saja melihat tubuh Widya.

Di siang itu, Widya tiba-tiba mengajak aku ke mall. Ini kali pertama ia mengajakku pergi dalam beberapa minggu terakhir. Widya memang cenderung diam setelah diperkosa oleh Parjo dan teman-temannya. Aku sendiri tidak bisa menyalahkan Widya, karena aku juga diam. Suami yang seharusnya melindungi istrinya malah terangsang ketika istrinya disetubuhi orang lain.

“Mau beli apa mah?” Tanyaku.

“Aku mau beli baju.” Katanya singkat. “Mang Parjo yang suruh.” Tambahnya.

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi, baju apa yang ingin Widya beli. Perjalanan menuju ke mall berjalan cukup singkat. Hari ini cukup cerah dan jalanan juga tidak terlalu padat. Padahal dua hari ke depan itu libur panjang.

Di mall kami langsung menuju ke etalase baju perempuan. Dulu kami sering belanja seperti ini, mungkin 2 minggu sekali. Tapi setelah malam jahanam itu, kami tak pernah melakukannya lagi. Bahkan saat ini, aku dan Widya sama sekali tidak bicara satu sama lain.

Widya bertanya kepada salah satu penjaga etalase. Dan petugas itu menunjuk sebuah arah di ujung mall. Kamipun pergi ke sana sesuai dengan arahan petugas itu.

Aku sangat terkejut ketika Widya mendatangi sebuah etalase bikini. Di lokasi ini hanya dijual bikini dan pakaian wanita untuk berlibur di pantai. Apa yang akan wanita berhijab lakukan dengan bikini seperti ini?

Tapi sadar, ini semua pasti permintaan Parjo dan teman-temannya. Aku seketika itu kembali lemas tak berdaya. Aku membayangkan jika Parjo akan mengajak Widya untuk berlibur ke pantai dan memaksanya memakai bikini seperti ini.

Widya nampak memilih-milih bikini yang dijual di etalase itu. Ia nampak tertarik memilih bikini model two pieces. Dan model two piece yang Widya lihat rata-rata sangat minim kain. Nyaris tak menutupi kulit tubuhnya jika ia sampai memakainya.

“Mbak, aku yang ini sama yang ini ya.” Kata Widya kepada penjaga etalase di sana.

“Oh baik bu.” Kata penjaga etalase itu.

Aku melihat ada sorot mata aneh dari penjaga etalase itu. Mungkin ia heran, mengapa wanita berhijab seperti Widya hendak pakai bikini two piece seperti yang ia pilih. Widya memilih dua bikini, warna kuning dan juga warna hitam. Keduanya sangat mini, benar-benar nyaris tidak menutupi apapun ketika ia memakainya.

“Aku boleh coba dulu mbak?” Tanya Widya.

Si penjaga etalase-pun tambah kebingungan. Memang sih, wajar jika seseorang mencoba pakaian yang ia beli sebelum membayar. Tapi bikini ini nyaris serperti pakaian dalam, jarang ada orang yang mencobanya di toko. Aku tidak tahu jika di luar negeri, tapi di Indonesia jelas sangat jarang sekali.

“Oh iya bu, boleh.” Kata penjaga etalase itu. Wajahnya masih nampak kebingungan. Ia copot bikini itu dari hangar dan menunjukan kamar ganti di ujung ruangan. “Silahkan dicoba di sana ya bu.” Kata penjaga etalase itu.

Widya menuju kamar ganti yang ditunjukan oleh penjaga etalase itu. Dan aku mengikutinya dari belakang. Kamar ganti itu lokasinya cukup jauh dari etalase toko sehingga sedikit sepi suasananya.

Aku menunggu di luar kamar ganti sambil memperhatikan layar handphone yang sedang aku pegang. Aku dan Widya sejauh itu masih saling diam. Tidak bicara sepatah katapun selama di dalam mall ini. Tapi tiba-tiba Widya memanggil namaku dari kamar ganti.

“Kira-kira apa ini cocok pah?” Kata Widya tiba-tiba.

Aku yang awalnya tidak memperhatikan dibuat terkejut dengan pertanyaan Widya. Bagaimana tidak, istriku bertanya sambil membuka gorden kamar ganti. Aku bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang sekarang ini hanya menggunakan bikini warna kuning dengan jilbab masih menempel di kepalanya.

Mulutku terbuka, tapi tak ada kata-kata yang keluar untuk beberapa lama.

“Jangan bengong pah, gimana, cocok apa ndak?” Tanya Widya lagi.

Bikini two piece yang Widya kenakan benar-benar mengeskpose seluruh tubuhnya. Payudaranya hanya tertutup sebagian, aku masih bisa melihat bentuk bulatnya yang begitu indah. Bikini itu juga tidak menutup selangkangan Widya secara sempurna. Dan yang lebih gila lagi, Widya memperlihatkan itu semua kepadaku di kamar ganti mall. Mall ini memang tidak sedang ramai sekali, tapi tetap saja, orang bisa melihat kondisi Widya jika lewat tepat di depan kita.

“Ba, bagus mah, bagus sekali.” Kataku dengan terbata-bata. Tanpa aku duga, kemaluanku berdiri tegak melihat istriku menggunakan bikini seksi seperti itu. Walau bagaimanapun, tubuh istriku memang sangat menggoda. Kulitnya putih nyaris tanpa cela. Kecuali tato yang menghiasi bawah pusarnya. Tubuh istriku juga masih kencang dengan payudara dan pinggul yang sangat ideal. Setiap laki-laki normal pasti akan ereksi jika melihat wanita seperti itu menggenakan bikini.

“Syukurlah kalau begitu.” Kata Widya. “Oh iya, tolong dong pah fotoin.” Tambah Widya.

‘Foto!’ Teriaku di dalam hati. Tentu saja aku kaget bukan main. Widya menyuruhku memfoto dirinya di tempat umum seperti ini?

Tapi toh aku tetap menuruti kata-kata Widya itu. Aku beranggapan jika Widya sedang diminta oleh Parjo dan teman-temannya. Menolak perintah mereka sama saja dengan bunuh diri.

“Oke,” Kataku. “Mama posenya yang agak bagus ya.” Tambahku.

Aku memfoto tubuh Widya dalam balutan bikini di ruang ganti mall. Widya mencoba beberapa pose untuk foto-foto itu. Ia memang pernah menjadi model dadakan untuk fashion hijab dan gamis. Tapi kali ini ia berfoto menggunakan bikini, meskipun tetap masih mengenakan hijab.

Sejauh ini, Widya memang hampir tidak pernah melepas hijabnya. Kecuali ketika berada di hadapanku dan ketika ia dipaksa melepas hijabnya oleh jawara di bawah kolong jembatan. Selain itu, ia selalu menggenakan hijabnya. Bahkan ketika dipakai beramai-ramai oleh Parjo dan teman-temannya.

Entah apa maksud Widya terus-menerus mengenakan jilbab. Meskipun seluruh auratnya yang lain ia umbar begitu saja. Aku benar-benar tidak paham keinginan Widya sesungguhnya.

Creeek, creeek, creek, aku mengambil beberapa foto Widya mengenakan bikini itu. Ia berpose di dalam kamar ganti dengan gorden terbuka. Sedangkan aku mengambil foto dari luar. Widya mencoba beberapa model bikini lain. Dan setiap ganti model, ia memintaku untuk memfoto dirinya.

Mungkin ada puluhan bahkan lebih foto yang sudah aku ambil. Apakah foto-foto itu akan Widya kirim ke Parjo dan kawan-kawan? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu, apa rencana Widya dengan bikini sebanyak itu.

Akhirnya, Widya membeli 5 buah bikini dengan beberapa warna berbeda. Aku yang membayar semua bikini itu di kasir. Kasir mall itu nampak tersenyum ketika aku membayar bikini itu. Ia mungkin berfikir jika aku suami yang mesum dan menyuruh istri solehah-nya untuk mengenakan pakaian aneh-aneh.

Setelah di mall, kami kembali ke rumah. Aku dan Widya kembali diam, tidak saling bicara lagi. Tapi tiba-tiba ia bercerita jika ia memang ada rencana dalam weekend ini.

“Aku diajak Parjo pergi di long weekend ini ya pah.” Katanya dengan singkat.

“Oh oke.” Kataku dengan singkat sambil nyetir.

“Mungkin aku belum pulang sampai rabu.” Tambahnya lagi.

“Oke mah.” Kataku dengan singkat lagi.

Aku tak tahu harus bilang apa. Jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya aku ingin marah sekali. Tapi tiba-tiba otaku melayang, membayangkan tubuh Widya kembali digumuli oleh para preman itu. Aku membayangkan Widya digumuli di pantai yang sepi dengan bikini yang ia kenakan.

Sesampainya di rumah, Widya membuka pakaian ketika masuk rumah, dan ia buru-buru packing. Ia tidak membawa banyak baju. Ia hanya membawa satu tas dengan satu ada dua gamis. Lalu semua bikini yang tadi kita beli ia masukan seluruhnya ke dalam tas. Semua itu ia lakukan dengan nyaris bugil.

Widya nyaris bugil kecuali jilbab yang ia kenakan di kepala. Semua itu karena aturan Parjo yang ia wajibkan kepada Widya. Di rumah, Widya tidak hanya boleh mengenakan bra, celana dalam, dan jilbab. Tapi kadang Widya telanjang sekalian.

Aku merasa pans dingin melihat kondisi Widya sekarang ini. Buah dadanya menggantung dengan indah ketika ia membungkuk untuk merapikan isi tas. Buah dadanya masih nampak terlihat kencang dan membulat sangat indah. Rasanya aku ingin sekali meremas buah dada itu.

Tanpa sadar, kemaluanku sudah berdiri dengan maksimal di balik celana. Aku ingin sekali menubruk Widya dan menyetubuhinya sekarang. Tapi melihat Widya dalam kondisi buru-buru seperti itu, berarti kemungkinan Parjo sudah dekat.

Setelah selesai berkemas, Widya mengenakan salah satu bikini yang tadi kami beli. Bikini berwarna kuning itu sangat pas dengan lekuk tubuhnya. Pendapat pribadiku, Widya malah lebih menggairahkan dengan pakaian minim seperti ini daripada ketika ia telanjang bulat. Entahlah, mungkin ini hanya pendapat pribadiku saja.

“Pah, aku pergi dulu.” Kata Widya berpamitan kepadaku.

Dia pergi dengan mencium tanganku, seolah mencari restuku. Ganjil sekali situasi yang aku hadapi sekarang ini. Istriku pergi dengan pria lain yang jelas-jelas akan menikmati tubuhnya. Sementara aku hanya bisa diam terpaku melihatnya keluar rumah dengan mengenakan bikini seksi.

Di teras, Widya mengenakan gamis untuk menutupi bikini yang ia kenakan. Tak lama, mobil Parjo-pun muncul, sebuah kijang lama berbentuk kotak. Ia datang bersama Kusni dan Tono.

“Sudah siap ya non?” Kata Parjo sambil memeluk istriku.

“Iya Mang.” Jawab istriku dengan nada malu-malu.

Parjo tak segan memeluk dan kemudian mengecup bibir Widya. Ia lakukan itu tepat di hadapanku seolah aku tak ada di sana. Aku lihat, lidah Parjo bahkan merangsek masuk ke dalam mulut Widya.

Sekejap kemudian, mereka sudah pergi. Meninggalkan aku dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Hati dan tubuhku terasa panas dingin. Aku membayangkan berbagai skenario yang bisa terjadi kepada Widya. Semua itu membuatku sangat terangsang. Kemaluanku dari tadi terus menerus berdiri tegak sedari tadi. Ah entah mengapa aku tidak menghentikan Widya untuk ikut para preman itu.

‘Ting tong’ bell gerbang rumahku berbunyi, tidak sampai 2 menit dari kepergian Widya.

“Nadia, wah lama sekali ndak mampir.” Kataku kepada seorang gadis yang sudah menunggu di di balik pintu gerbang.

Nadia adalah sepupu dari istriku Widya. Dulu ketika masih mahasiswa, ia sering sekali datang ke rumah kami untuk berkunjung. Terutama ketika weekend tiba. Tapi sekarang, ia sudah bekerja di sebuah kantor internasional. Karena itu ia jarang sekali mampir lagi ke rumah kami.

Untung Nadia datangnya sekarang, apa jadinya jika ia sampai melihat kakak sepupu-nya mengenakan bikini seperti tadi. Belum lagi kalau ia sampai melihat Widya berciuman dengan Parjo. Entah apa yang akan ia pikir dengan rumah tangga kami.

“Mbak Widya ada Mas Arman?” Tanyanya.

“Wah kebetulan, mbak Widya lagi pergi sama temen-temennya. Mau ada perlu apa dek?” Tanyaku.

“Hmmm, mau ngobrol aja sih.” Tambahnya.

“Eh, masuk dulu Nad, mendung juga.” Kataku.

Hari itu aku lihat memang mendung sudah menggelayut. Bau udara juga sudah tercium seperti tanah basah. Tanda jika hujan memang sebentar lagi mau turun.

Benar dugaanku, hujan turun tak lama setelah Nadia masuk ke rumah. Hujan turun dengan sangat derasnya. Jelas jika Nadia tak bisa pulang ke rumahnya.

“Deres banget mas.” Kata Nadia.

“Iya Nad, ya udah nunggu dulu aja di sini.” Kataku.

“Mbak Widya kapan balik mas?” Tanya Nadia.

“Hmm, kayaknya sih dia nginep Nad.” Kataku. “Reunian sama temen SMA.” Kataku mencoba berbohong.

“Wah, kok Mas ijinin sih mbak Widya nginep sama temen2nya?” Tambahnya.

“Oh, ndak papa sih Nad, lagian cewek semua kok.” Kataku.

Nadia ini adalah cewek yang imut dan lincah. Postur tubuhnya cenderung mungil. Ia suka mengenakan jilbab tapi untuk pakaian lain ia lebih suka mengenakan celana panjang dan kaos lengan panjang yang sangat ketat. Pilihan bajunya itu membuatnya nampak sporty dan enerjik. Satu hal yang sedikit bertolak belakang dengan Widya.

“Yakin mas cewek semua?” Tanyanya.

Entah mengapa tidak ada nada bercanda dalam pertanyaan Nadia itu. Apakah ia tahu sesuatu tentang Widya dan Parjo?

“Aku yakin Nad, santai aja.” Jawabku.

Dia melihat sepintas ke arah wajahku, seperti seorang detektif mencari clue dari sebuah kasus. Tatapan matanya tajam, ia memang cenderung blak-blakan dan cerdas. Sekali lagi, ini sifat yang bertolak belakang dengan Widya.

“Oke, hehe, kalau mas yakin begitu.” katanya dengan senyum lucunya.

Ngomong-ngomong hal yang lucu, aku sebenarnya kenal Nadia jauh lebih lama dari aku kenal Widya. Ketika aku masih mahasiswa, aku pernah mencari pekerjaan sambilan sebagai seorang pengajar di tempat bimbingan belajar. Dan Nadia adalah salah satu muridku di dalam bimbel itu.

“Mas Arman, aku kok laper ya.” Kata Nadia.

Di saat itulah, aku juga baru sadar kalau aku belum makan sejak tadi pagi. Pikiranku cukup ruwet terutama setelah tahu Widya akan pergi bersama dengan Parjo dan teman-temannya siang ini. Rasa lapar dan haus di tubuhku seolah sirna. Yang ada hanya rasa kalut dan bimbang.

“Wah gimana ya, mau pesan makan, tapi hujan. Atau kita makan di luar aja Nad? Kita pergi pakai mobil.” Kataku.

Nadia beranjak ke dapur dan melihat isi lemari es. “Ndak usah mas, gimana kalau kita masak aja? Kebetulan nih ada daging gyudon, sayur juga banyak sekali. Tenang, aku yang masak deh mas. Nanti tinggal bilang aja ke Mbak Wid kalau daginya aku habisin.” Katanya.

“Iya ya udah, aku bantu sini masaknya.” Kataku.

Krruuk, krrruk, krruuuk, sebuah suara keluar dari perutku.

Nadia tertawa melihatku, “Mas laper juga ya?” Tanya-nya.

“Hehe, iya Nad, belum makan dari tadi pagi.” Kataku tanpa berfikir panjang.

“Dih, gimana sih mbak Wid. Suaminya kok di sia-siain gini.” Tambahnya lagi. “Masak pergi sama temen-temennya suaminya ndak dikasih makan.”

“Tenang Nad, ndak papa.” Kataku. “Memang aku jarang sarapan kok.” Tambahku.

“Ya udah, sini, aku masakin yang enak.” Kata Nadia.

Nadia memang cukup pandai dalam memasak. Dulu setauku ia pernah merintis bisnis kuliner sebelum diterima di perusahaan multinasional. Bisnis itu sudah ia tinggalkan karena gaji dua digit mungkin lebih menggiyurkan baginya.

Cekatan sekali Nadia memasak, ia bisa mengkombinasikan beberapa bumbu dan bahan-bahan campur aduk seadanya di dapurku menjadi sebuah masakan istimewa. Kami makan di depan televisi sambil menontong film Netflix secara random. Kami asik mengobrol sana sini dan sepintas melupakan Widya sebagai obyek pembicaraan kami dari awal. Masakan Nadia benar-benar enak. Rasanya tidak kalah dengan restoran kelas atas yang pernah aku kunjungi.

Seusai masak, kami sama-sama ke dapur. Nadia mencuci piring dan aku merapikan peralatan masak yang tadi kami gunakan. Kalau ada orang yang melihat kami, mungkin mereka bakal berfikir jika kami adalah pasangan suami istri.

Nadia hendak mengambil sabun cuci piring di lemari ketika aku melintas di belakangnya. Tubuh kami bertubrukan dan Nadia nyaris jatuh ke atas tubuhku. Tapi tubuhku tersandar pada kusen dengan Nadia memeluk perutku.

“Ah, hampir saja.” Kataku dengan sedikit kaget. “Kamu ndak papa Nad?” Tanyaku.

Nadia diam sejenak, ia masih terus memeluk tubuhku dengan erat.

Tanganku bergerak untuk mendorong pelukan Nadia, tapi Nadia malah semakin erat memeluk tubuhku.

“Mas, sebentar lagi boleh?” Kata Nadia.

Sampai detik itu, aku masih bingung dengan apa yang Nadia inginkan.

“Kamu kenapa Nad?” Tanyaku.

“Sebentar saja mas, aku mau meluk kamu. Maaf ya, sebentar saja.” Kata Nadia.

Aku bisa merasakan pelukan tangannya makin kencang di pinggulku. Dalam eratnya dekapan tangan Nadia itu, aku bisa merasakan dada-nya yang melekat erat dengan tubuhku. Bohong jika aku tidak terangsang dengan sentuhan dada sepupu Widya ini. Perlahan, kemaluanku mulai bangkit dan mengeras. Aku yakin Nadia bisa merasakan kemaluanku yang mengeras di sekitar perutnya.

“Mas, boleh aku bilang sesuatu ke mas Arman?” Tanya Nadia.

Aku mencoba menghela nafas, aku sebenarnya tidak tahu harus berkata apa. Aku jawab pertanyaan Nadia dengan anggukan kepala.

“Mas, sebenarnya aku sudah lama suka sama mas Arman. Aku suka sama mas Arman sejak aku SMA, ketika mas Arman menjadi guru di tempat les aku.” Kata Nadia.

Seketika itu aku shock mendengar perkataan Nadia. Bagaimana tidak, aku tidak pernah seumur hidupku mendapatkan surat cinta dari seorang gadis. Bahkan aku yang mengungkapkan rasa cinta kepada Widya dahulu. Tapi sekarang, ketika aku sudah menikah, justru seorang gadis menyatakan cintanya kepadaku.

“Mas, mengapa mas Arman memilih Mbak Widya? Apa ada yang kurang dari aku mas?” Tanya Nadia. Entah apa maksud Nadia menanyakan hal itu.

“Nad, kamu tidak punya kekurangan.” Kataku mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Kamu seorang wanita yang sempurna Nad.” Kataku lagi.

Aku bisa mendengar Nadia menghembuskan nafas panjang. “Tapi mengapa kamu memilih Mbak Widya mas?” Katanya lagi.

Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Nadia tadi. “Cinta itu kadang misteri Nad.” Kataku mencoba mencari kata-kata yang pas. Tapi aku tak yakin kata-kataku itu pas untuk Nadia,

“Andai mas memilih aku, aku tidak akan seperti Mbak Widya, aku tidak akan mengkhianati perasaan mas.” Kata Nadia.

Degg, sekali lagi aku kaget dengan kata-kata Nadia. “Maksudmu apa Nad?”

“Aku tahu, mas Arman ini tidak bodoh, aku melihat mbak Widya selingkuh dengan pria lain. Dan aku yakin, mas Arman sebenarnya juga tahu akan hal itu.” Tambah Nadia.

Aku cukup syok mendengar kata-kata Nadia itu. Aku pikir, tidak ada yang tahu hubungan Widya dengan para preman itu. Tapi ternyata Nadia sudah tahu akan hal itu.

“Nad, kamu lihat apa?” Tanyaku.

“Aku lihat semua mas. Mbak Widya menyambut pria lain di rumah ini. Bahkan ia menyambutnya dengan cuma pakai pakaian dalam dan hijab aja. Mas, buka mata mas, Mbak Widya sudah main di belakang mas. Bahkan sampai ia berbuat serendah itu. Mana ada wanita baik-baik yang menyambut laki-laki lain di rumahnya sendiri. Bahkan pakai baju yang sangat memalukan seperti itu.” Kata Nadia dengan nada bergetar. Selama bicara itu, Nadia terus memeluku dengan erat. Ia sama sekali tak melpaskan kaitan tangannya di pinggangku.

Aku sekali lagi menghela nafas panjang, tak tahu harus berkata apa lagi.

“Mas, kalau mas pilih aku, aku pasti akan setia mas. Aku tidak akan mengkhianati mas. Aku akan menjadi wanita seutuhnya untuk mas saja.” Kata Nadia lagi.

“Nad”, kataku, “Aku yakin kamu pasti akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari aku.” Tambaku. “Aku punya kekurangan Nad, dan kekurangan itu juga yang membuat Widya mulai menjauh dariku.” Kataku lagi.

“Kekurangan apa mas?” Tanya Nadia. “Bagi aku, mas itu laki-laki yang sangat sempurna, siapapun pasti akan bahagia hidup dengan mas.” Kata Nadia lagi.

Jujur aku terharu dengan pujian yang diberikan Nadia. Tapi semua itu tidak menutup fakta jika aku mempunyai kekurangan cukup besar. “Nad, kalau kamu jadi istriku, pasti kamu juga mempunyai pemikiran sama dengan Widya.” Kataku.

“Mas, jangan semudah itu menyamakan aku dengan Mbak Widya. Aku yakin aku pasti akan setia.” Kata Nadia sekali lagi.

“Nad,” Kataku lagi, “Aku ini lemah syawat. Aku tidak bisa memuaskan Widya.”

Nadia menatapku setelah aku mengucapkan kata-kata tadi. Ia menatapku sambil perlahan aku merasakan tangannya bergerak di sekitar perutku dan turun ke bawah.

“Ah, Nad!” rintihku ketika aku merasakan jarinya membelai kemaluanku yang sudah tegak berdiri di balik celanaku.

“Mas, punya mas sudah berdiri nih. Aku ndak yakin mas itu lemah syahwat. Barangkali mas aja yang punya anggapan salah kalau selama ini mas itu lemah syahwat. Tapi nyatanya, aku yakin mas itu normal.” Katanya sambil terus membelai kemaluanku di balik celana.

Bohong jika aku tidak menikmati sapuan lembut tangan Nadia. Tapi ini semua salah, aku dan Nadia tidak seharusnya melakukan ini.

“Nad, aku tidak bisa memberi Widya keturunan. Aku mandul!” Kataku lagi.

Nadia terhenyak menatapku lagi. Tangannya juga berhenti untuk membelai-belai kemaluanku. Aku kira, aku berhasil membuat fantasi Nadia berhenti. Fantasinya yang ingin mencoba untuk membuatku jatuh cinta terhadap dirinya. Namun ternyata aku salah. Nadia memang kaget, tapi ia kaget bukan karena pernyataan yang aku buat.

“Mas, siapa bilang kamu mandul?” Kata Nadia dengan nada keheranan.

“Nad, faktanya aku belum mempunyai anak. Aku memang belum periksa, tapi aku yakin akulah yang mandul. Di keluarga besarku, ada beberapa pasangan yang memang tidak mempunyai anak. Aku yakin, itulah penyebab aku tidak punya anak selama ini.” Kataku.

Nadia menatapku dengan wajah terheran-heran.

“Mas, kamu tidak tahu?” Kata Nadia.

“Tidak tahu, tidak tahu apa Nad?” Tanyaku lagi.

“Mbak Widya mandul!”
 
Menu setelah buka.
Terima kasih update nya hu
Gak harus ada scene++ nya juga nope.
Ada emosi dan pengembangan udah ok kok.
Kan cap nya DRAMA.
 
Kayaknya nadia jg bakal jd budak seksnya parjo dkk demi melindungi arman nih
 
bisa nambah budak
atau malah menjdi budak utk arman

kita tunggu di next update


nadia di pake juga sama preman nya dng hu
dia juga menikmati, tp ttp milih arman

biar widya tau, dia cuma penggila sex
smntr ada cewe lain yg dpt kenikmatan yg sama, tp lebih milih suami nya
 
Plot twist, gatau mau komen apa. Kelanjutan nya juga tidak bisa ditebak. Bravo suhu 🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd