Episode 5
Jebakan Betmen
Mentari baru setinggi tiang listrik yang bayangannya menimpa pintu rumah kontrakan petak berwarna kelabu penuh coretan. Dua menit sudah aku berdiri dengan sebuah perang di hati.
Masuk ? tidak ? masuk ? tidak ?
"Eeeeh Rendi udah balik. Kemana aja ?" Suara abang sayur yang menjadi langganan ibu-ibu di kampung ini terdengar menyapa. Aku tak menjawab, begitu juga Rendi yang asik menjilati es krim yang sempat dibeli di warung depan gang.
"Bunda Rendi udah kaya artis nih sekarang.Badannya lebih berisi, tambah ehem.... apalagi pakai setelan model korea begini.... kerja dimana emang sekarang Bun ?" Komentar abang sayur nyinyir dan genit. Kebiasaan gaul dengan ibu-ibu.
"Ngga kerja." Aku menjawabnya singkat.
"Kirain jadi LC.... " Katanya sambil mendorong gerobak sayurnya ke arah tempat mangkalnya.
Aku kaget dengan komentarnya. Aku pasti sudah jadi bahan gosipan ibu-ibu tetangga.
Klotrak.
Pintu terbuka.
Sesosok tubuh gemuk ibu setengah baya muncul dari dalam rumah. Dia memandangku lekat dari kepala hingga ujung kaki.
Ibu mertuaku.
Tatapannya sinis.
"Masuk..... ibu sebentar lagi pulang. Suami kamu di kamar." Katanya sembari menekankan kata-kata 'suami' seolah berusaha mengingatkan bahwa aku masih menjadi istri dari anaknya.
Aku menarik tangan Rendi untuk masuk kedalam rumah, melewati mertuaku yang tetap berdiri di dekat pintu. Kuraih tangan ibu mertuaku untuk kucium, tetapi dia menepisnya.
Isi rumah terasa harum parfum, sama dengan parfum yang dipakai ibu mertua. Tumben pakai parfum, mungkin mau menjenguk suaminya di lembaga pemasyarakatan yang terkenal banyak memenjarakan pejabat-pejabat korupsi.
"Hendraaaaa.... ibu pergi dulu nengokin Bapak." Mertuaku berteriak.
Benar perkiraanku, ibu mau ke penjara.
Pintu ditutup dengan sebuah bantingan. Keangkuhan ibu mertuaku tak pernah hilang walaupun dia sudah bukan orang kaya lagi.
"Rendiii... sini duduk deket ayah." Terdengar suara Hendra didalam kamar. Kubiarkan Rendi masuk menemui ayahnya.
"Waaah... anak ayah balik ke rumah.... enak ya nginep di hotel terus tiap hari ?" Ada nada sindiran dalam pertanyaan Hendra.
Aku masuk kedalam tanpa berkata-kata.
"Anak ayah sekarang gemuk nih... tapi nanti kurus lagi... Rendi ngga jadi orang kaya lagi....." Suamiku itu menebarkan sindiran sambil tertawa.
"Bikinin sarapan dong, gua lapar." Dia melirik sambil memerintah.
Aku tak menjawab ataupun mengerjakan perintahnya, melainkan membuka sebuah lemari plastik di sudut ruangan, mengambil baju daster.
Di hadapan Hendra yang terlentang tanpa daya, kubuka baju dress beratasan putih dengan bawahan rok biru muda 20cm diatas lutut dihiasi berbunga-bunga kecil dengan perlahan seakan pamer. Dress ini pemberian Adit.
"Bagus banget baju lu." Komentar Hendra tak kupedulikan.
Dengan memunggungi Hendra perlahan kubuka ritzluiting baju di punggungku. Tanganku yang meraih bagian punggung membuat bawahan dressku terangkat hingga keatas. Aku yakin mata Hendra sedang melekatkan pandang ke pahaku yang mulus.
Dengan sekali tarikan, dress itu turun meluncur ke lantai membuat seluruh tubuhku memamerkan segala keindahannya.
Berikutnya kupungut dress yang sudah ngelumbruk di bawah kakiku. Lututku sedikit menekuk, badanku condong ke depan agak membungkuk. Sekilas aku melirikkan mata ke arah Hendra di tempat tidurnya. Benar dugaanku, matanya menatap bokongku yang nungging tertuju ke arahnya. Pakaian dalamku sekarang bagus-bagus, tak seperti dulu lagi. Adit mengeluarkan tak sedikit uang untuk meng-upgrade penampilanku.
Tanganku meraih tumpukan dress di bawah kaki, menaruhnya diatas lemari plastik. Dengan cara yang juga perlahan tubuhku masuk kedalam daster batik rumahan yang telah belel.
Gontai kutingggalkan kamar menuju ke bagian rumah petak paling belakang, yaitu dapur sempit yang bersebelahan dengan kamar mandi tanpa pintu, diikuti oleh pandangan Hendra.
"Cepetan gua laper." Perintahnya.
Aku tak menggubris perintahnya dan kulakukan pekerjaanku di dapur dengan santai. Biarlah lelaki yang mengaku masih menjadi suamiku itu belajar bersabar. Aku melawannya dengan caraku yang tak tergesa.
Hendra hanya memandang sepiring nasi yang kuletakkan di lantai tepat di samping kepalanya yang tiduran di kasur tanpa ranjang. Kasur busa yang telah menipis itu dari awal pernikahan kami memang hanya digelar di lantai.
"Kok nasi doang ?" Matanya memandang tajam.
"Ga ada apa-apa di dapur buat dimasak." Jawabku ketus.
"Ya lu beli lah."
"Mana duitnya ?" pintaku.
"Ya dari elu dong, kan gua ngga bisa kerja."
"Gua ngga punya duit, tadi abis buat jajan Rendi." Sekarang aku sudah ber-elu-gua dengannya.
"Gua ngga percaya."
"Terserah." Aku menggamit tangan Rendi dan menuntunnya ke ruang depan, tetapi tangan Hendra menghalangi.
"Beneran ?"
Aku mengangguk menjawabnya. Sesaat Hendra berdiam diri menatap nasi tanpa lauk.
"Lu kerja lah." Katanya sambil mengambil nasi itu lalu disuapnya ke mulut.
"Kan lu yang ngotot tetep jadi suami gua, ya lu yang kerja lah cari duit." Nah Rasain serangan kata-kataku yang tajam.
Dia menatapku tajam sambil menelan nasi tanpa rasa itu.
"Oooh.... jadi lu pengen tetep cerai, terus sekarang nyalahin gua karena gua ngga bisa kerja ? Liat tangan sama kaki gua, anjing. Mana bisa gua kerja dengan keadaan begini ? Ini gara-gara elu juga gua sampe begini"
"Terserah." Jawabku lagi sambil menarik tangan Rendi tak ingin meladeni tuduhannya yang menyakitkan.
Aku dan Rendi meninggalkan Hendra yang membanting sepiring nasi yang belum habis dimakannya itu ke lantai hingga berhamburan.
"Taaiiiiii. Anjing lu lonte !" Dia terus berteriak di belakang punggungku dan aku terus melangkah keluar rumah menuju rumah tetangga terdekatku, si Ani.
Ani menyambutku sambil nyerocos.
"Eh Billa.... geblek lu ya, ngapain balik lagi kesini ?"
"Lu ini bego apa ngga punya otak ?"
"Kebangetan lu jadi perempuan mauuuu aja balik lagi."
"Bego ama baik itu bedanya banyak..."
Terserahlah apa kata orang, termasuk kata tetanggaku ini.
Aku kembali kesini dengan berbekal rencana.
Dua hari kemudian aku menikmati ocehan Hendra yang marah-marah dan merajuk karena tak ada apapun yang bisa dimakan kecuali nasi putih. Telingaku seakan mendengar lagu terindah dan kudengarkan sepenuh hati. Sukurin.... tau rasa..... padahal akupun tersiksa.
Bagaimana dengan Rendi ? tenang aku sudah menitipkannya pada Ani yang akhirnya memaklumi kepulanganku setelah kujelaskan rencana yang kumiliki.
"Ya lu minta aja duit sama emak lu. Kan itu bukan emak gua." Suatu ketika kujawab Hendra yang menyuruhku meminta uang pada ibunya. Aku yakin, ibunyapun sedang kesulitan ekonomi.
"Atau lu ngutang dulu deh ke warung beli ind*mi sama rokok." Dia terus memutar otak untuk memaksaku mencari makanan dan rokok.
"Ngga ada yang mau ngasih utangan lagi." Singat padat jawaban yang kuberi.
Hal seperti itu terus berlangsung hingga seminggu.
Sampai Hendra memanggilku.
"Lu ambilin duit dong di ATM." Katanya.
Duit di ATM darimana ? semua uangku yang di ATM pasti sudah dihabiskannya.
"Tadi gua pinjem 200 ribu sama temen." Seakan tahu apa yang ada di fikiranku.
Temen ? ada juga temennya yang punya uang dan berbaik hati ngasih utangan. Jelas saja aku heran karena sejauh pengetahuanku Hendra hanya berteman dengan orang-orang yang kerja serabutan. Uang segitu pasti takkan rela mereka pinjamkan pada Hendra yang kemungkinan besar tak mampu membayar.
"Kenalan baru gua di internet." Katanya lagi tanpa ditanya.
Ooh... ada juga orang bego di internet yang mau minjemin duit ke orang yang ngga baru dikenal.
Dan setelah sebulan, sebersit rasa penyesalan menyelinap di hatiku. Rencanaku untuk membalas dendam pada Hendra dengan membiarkannya kelaparan tak membuahkan hasil. Aku tak habis fikir, darimana dia selalu mendapat uang padahal sehari-hari hanya ada di tempat tidur. Paling jauh juga dia ke kamar mandi sambil terseok seok menggunakan tongkat. Tidak mungkin dia selalu mendapat pinjaman dari teman-temannya. Aku mengutuki diri sendiri karena kalah strategi.
Strategi bodoh, fikirku.
Yang lebih membuatku khawatir adalah karena Hendra sudah berangsur-angsur pulih. Kalau sampai kondisinya balik kembali seperti sedia kala, aku akan benar-benar dibuat kesulitan.
Sejauh ini aku berhasil untuk menghindari permintaan Hendra yang meminta 'jatah'. Biarpun aku (terpaksa) masih menjadi istrinya tetapi kepulanganku kesini bukan untuk benar-benar menjadi istrinya yang siap melakukan hubungan suami istri lagi. Aku datang kembali ke rumah ini hanya untuk sekedar memenuhi wejangan pak Hakim penggadilan agama yang tak mengabulkan permohonan untuk cerai. Dan aku berharap dengan strategiku dapat membuat Hendra menyerah hingga aku diceraikannya sukarela.
Sekarang aku menyadari betapa bodoh dan lugunya rencanaku itu. Aku sekarang terjebak di sarang singa yang sebentar lagi akan sembuh.
"Gua masih punya hak sama elu." Katanya suatu malam ketika aku berada jauh-jauh darinya.
Aku tahu dia sedang sange.
"Perempuan yang menolak diajak berhubungan sama suami itu calon penghuni neraka." Katanya mengutip dalil agama secara sembarangan.
"Gua juga punya hak yang ngga pernah lu penuhin." Aku menjawabnya ketus.
"Eh lonte, gua sekarang udah bisa ngasih duit buat nafkahin elu." Hendra melotot.
Dan memang benar, sebulan ini dia berhasil untuk selalu mendapatkan uang. Bukan hanya untuk makan atau beli token listrik, bahkan untuk quota internet dan bayar kontrakanpun berhasil dia dapatkan. Apa dia menang lotre ?
Aku terdiam, tak mampu menjawab lagi kata-katanya.
"Cepetan sini, anjing !"
Tak bergeming, aku tetap duduk di sudut kamar bersama dengan Rendi yang sedang mencoret-coret buku tulis bekas.
Hendra, dengan mulut berbisa terus mengata-ngataiku. Tetapi apa yang bisa dia perbuat ? Dia tak mungkin bisa memaksaku melayaninya seperti dulu lagi. Tangan dan kakinya yang patah dalam proses interogasi petugas penegak hukum tak akan mampu mencekik, menendang, atau menonjok lagi.
"Lu bisa nolak gua sekarang, tapi selamanya lu bakal tetep jadi bini gua." Ancamnya.
Akhirnya Hendra menyerah atas ketidakmauanku untuk memberikan 'jatah' untuknya. Dia bangkit perlahan dari kasur busa untuk terpincang-pincang pergi ke kamar mandi. Aku memperhatikannya berjalan terseok-seok. Selama inipun aku tak pernah membantunya untuk pergi ke kamar mandi. Dia biasa berjalan menggunakan bantuan sebuah tongkat. Tetapi hari ini, tongkat itu tak digunakannya lagi.
Dia sebentar lagi sembuh, batinku.
Di kamar mandi kudengar suara Hendra merintih-rintih menuntaskan hasratnya yang semakin menggunung bertumpuk-tumpuk tak pernah tersalurkan.
Dalam hal ini, aku merasa puas karena berhasil membuat Hendra pusing tujuh keliling menyiksanya secara tak langsung. Dulu, setiap hari dia memuaskan hasratnya mengecap kenikmatan yang diberikan tubuhku. Tak terbayang sebetapa besarnya dia mendamba untuk menikmatiku lagi. Sejauh ini dia hanya bisa berlaku seperti kucing sakit yang tak mampu menerkam tikus yang setiap saat lalu lalang di depan matanya.
Adit, sedang apakah kamu ?
Tiba-tiba fikiranku melayang pada Adit.
Aku kangen pelukannya, aku kangen suaranya yang berat serta dalam namun menenangkan, aku kangen sama...... ahh.....
Wajahku memerah sendiri mengingatnya.
Kubuka handphone dengan penuh harap semoga ada satu pesan darinya. Tapi nihil.
Ahhh.... apakah dia melupakanku ?
Sayang, aku terjebak disini tanpa daya.
**********
Bersambung ke
6. Keadilan