Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA INFINITY (Batasan Tak Terbatas)

Status
Please reply by conversation.

Flindskjold

Adik Semprot
Daftar
8 Aug 2014
Post
111
Like diterima
490
Bimabet
Hai, cerita baru nih. Rawan macet. Oh ya, jangan berfikir bakal ada adegan esek - esek di setiap updatenya nanti, karna ini bener - bener minim SS, SS bakal disajikan sesuai kebutuhan cerita, dan alur cerita ini cendrung bakal membosankan. Jadi, sambil melanjutkan cerita saya sebelumnya yang berjudul 'S.A.K.T.I', saya akan menyelingi dengan cerita ini. Dan cerita ini bakal menyajikan beberapa unsur yang cendrung bersifat sedikit sara, dan akan menyenggol hal - hal ritualis dan spiritualis. Jadi dengan sangat dimohon kebijakan para pembaca (yang sudi membaca cerita ini). Okedeh, sekian dari saya dan selamat menikmati cerita absurd ini, yaaa.

http://www.imagebam.com/image/1455e4948841114

(NAYLA)

*Foto mulustrasi saya ambil dari Instagram, dan bukan tokoh yang sebenarnya, melainkan hanya sebagai bentuk contoh gaya dan penampilan saja agar mendukung alur cerita ini.

*****

PROLOG
"Percaya nggak kalau imajinasi manusia itu ruang nggak berbatas, yang disana kamu bisa nyiptain apapun yang kamu mau, sesuai keinginan kamu, tanpa harus ditentang norma atau larangan - larangan orang lain?" tanya seorang gadis seumurku, di dalam selimut yang membungkus tubuh kita berdua yang terduduk di atas kasur di kamarku. Lampu telah padam, satu - satunya penerang hanya lampu yang menyerupai senter dari pemantik milik Ayah yang ku ambil tanpa sepengetahuannya.

"He? Maksutnya?" tanyaku tak paham

"Iya, di dalam sini," kata gadis ini menunjuk kepalaku dengan telunjuknya, "Ada ruang imaji, anggaplah itu taman bermain, yang hanya kamu sendiri yang bisa menggerakan semua wahana permainannya, dan... Hanya kamu yang bisa bermain disana... Tetapi, kamu bisa memasukan siapapun ke dalam sana sesuai keinginanmu, sesuai kemauanmu..." bisik gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Nayla. Jujur aku nggak ngerti apa yang dia bicarakan, terlalu sulit untuk bocah kelas enam sekolah dasar sepertiku untuk kumengerti. Tetapi dia bisa dengan lugasnya berbicara seperti itu.

"Suatu saat kamu pasti ngerti, suatu saat mungkin kamu nggak akan ingat kata - kataku, tapi aku yakin, kamu nggak akan pernah lupa..." bisiknya lagi,

"Ketika kamu besar nanti, kamu akan ngerasa kalau dunia begitu nggak adil. Tapi disini, di dalam sini," lagi - lagi Nayla menunjuk kepalaku, "kamu bakal nemuin keadilanmu sendiri, peraturan dan norma yang kau ciptakan sendiri. Dan ketika itu terjadi, jangan simpan sendiri, wujudkan imajinasimu, bagikan keadilan itu untuk orang - orang disekitarmu."

Kemudian Nayla mengankat sisi selimut yang menutupi kita berdua, "Hei, mau kemana?" tanyaku

"Aku adalah imajinasi seseorang, aku harus pergi." ucapnya lalu tersenyum kepadaku

"Siapa? Imajinasi siapa?" tanyaku penasaran

"Kamu nggak akan bisa menemuinya. Setidaknya di dunia ini..."

"Maksutnya?" aku makin penasaran.

"Selamat tinggal, Reinhart." ucapnya, lalu bagai debu, Nayla hilang begitu saja. Lagi - lagi dan seperti malam - malam sebelumnya, meninggalkan aku dan pemikiranku atas segala kata - kata yang dia ucapkan.

****

Beberapa kali aku menanyakan tentang Nayla kepada Ibu, Ayah dan Kakak perempuanku yang sudah berkuliah, namun mereka hanya tersenyum dan membelai kepalaku.

Kantuk perlahan menyergapku, tak lama akupun tertidur, berharap dapat berjumpa kembali dengan Nayla di dalam mimpiku.
 
BAGIAN PERTAMA



"Mas Rein, bisa dijelaskan siapa sebenarnya sosok Nayla di dalam novel Imajinasi Imaji Mas Rein?" tanya seorang gadis berjilbab di depanku, dari name tag di dadanya, gadis ini bernama Jihan

"Ya seperti yang ada di dalam novel saya, Nayla cuma sosok imajinasi saya. Bukan siapa - siapa di kehidupan nyata." jawabku

"Apa benar sosok Nayla di dalam novel Imajinasi Imaji itu adalah gadis yang sedang dekat dengan Mas Rein? Dilihat dari alur cerita dan bagaimana Nayla sangat berpengaruh di kehidupan sosok Ale di dalam novel tersebut?"

"Sebenarnya Nayla adalah sosok imajinasi saya dari kecil, ya seperti anak kecil kebanyakan, memiliki 'teman' imajinasi itu bukan hal aneh sih, saya pun punya 'teman' imajinasi, yaitu Nayla. Dan seiring waktu, sosok itu semakin memenuhi ruang imajinasi saya, sebenarnya novel itu sudah selesai ketika saya kelas tiga smp, tapi karena dulu saya pikir tulisan saya ini nggak menarik, jadi saya simpan aja. Sampe akhirnya, kakak saya nggak sengaja baca dan dia bilang tulisan saya bagus, alur ceritanya pun keren. Jadi ya saya publikasi aja. Ya meskipun awalnya cuma melalui sosial media, tapi nyatanya banyak peminat yang sudi membaca tulisan saya sampai akhirnya dilirik penerbit, dan ya, jadi deh Imajinasi Imaji ini."

****

Nayla, sosok yang sekarang hanya berada di imajinasiku, sosok hebat yang selalu membuatku bergairah menuliskan sesuatu. Sejak kepergiannya dari dalam selimut saat itu, entah kenapa, seisi otakku dipenuhi berbagai macam imajinasi, apapun bentuk imajinasi itu. Silih berganti memasuki relung - relung otakku. Nayla benar, imajinasi adalah ruang maha besar dengan tanpa batas, aku bisa membuat banyak hal di dalamnya. Apapun. Entah itu hanya sebuah batu tak penting, sampai sosok maha besar yang bisa disandingkan dengan sosok Tuhan. Bisa dibilang, aku dapat menciptakan sosok se esa Tuhan di dalam imajinasiku sendiri. Aku percaya, kalianpun dapat menciptakan dunia kalian sendiri di dalam imajinasi kalian, dunia yang hanya kalian yang dapat menghuninya, dunia yang tak bisa orang lain runtuhkan.

Namun, setidaknya, sebelum Nayla dengan mudahnya masuk ke dalam imajinasiku, dan membuatku seperti sosok tak penting di dalam imajinasiku sendiri.

Nayla, gadis yang entah siapa, yang dengan tak kesulitan menciptakan apapun yang ia mau di dalam imajinasiku. Lucu. Bahkan aku tak dapat berbuat sesuatu ketika Nayla membangun sebuah istana megah di dalam imajinasiku, Nayla dapat melakukan apapun di dalam imajinasiku walau tanpa seizinku. Akupun jadi bertanya - tanya, apa memang Nayla yang seenak udelnya masuk tanpa izin ke dalam imajinasiku, atau memang aku sendirilah yang menciptakan Nayla di dalam imajinasiku? Entahlah, aku pun tak ingin mencari tahu, biarlah begitu, selama apa yang Nayla ciptakan di dalam imajinasiku, tidak membuatku terusik dan gusar.

****

Hari ini seperti biasa, setelah mata kuliah pertama usai, aku bergegas ke sebuah cafe yang dekat dengan kampusku. Segelas kopi dan sebatang rokok yang terselip diantara bibirku. Alunan musik bernuansa indie-folk menemani kegiatan ketik - mengetik jemariku di atas keyboard laptop berukuran mini kesayanganku,

Tapi hari ini berbeda dari biasanya. Bukan tentang isi kepalaku yang akan kutuangkan di tulisanku, tapi seorang pegawai baru di cafe ini.

Seorang wanita, yang berwajah persis seperti sosok yang selama ini kunadikan tokoh utama di dalam novelku.

Sosok Nayla.

Bukan karna ambisiku untuk menemukan gadis yang berwajah mirip dengan Nayla, sosok imajinasiku itu, tapi kenyataannya, tanpa kucaripun sosok itu datang kepadaku, dengan dibalut kain celemek di depan badannya.

"Ya, Mas?" tanya gadis itu setelah sebelumnya aku mengankat satu lenganku, mengisyaratkan memanggilnya ke kehadapanku.

"Saya mau toastnya dong, isi coklat, ya." pesanku

"Ada tambahan lagi?" tanya gadis itu seraya melempar senyum manisnya.

"Hmm, itu aja dulu deh. Nanti kalo ada lagi saya panggil lagi aja." jawabku, sekelebat aku melihat name tag yang berada di saku kemeja di dadanya, Rahadita Putri.

http://www.imagebam.com/image/6aeb41948869574

(RAHADITA)

"Okei, mohon tunggu sebentar, ya..." pamit Rahadita, atau mungkin aku akan memanggilnya dengan nama Dita saja.

Lima belas menit kemudian, Dita datang dengan sepiring roti yang sedikit mengepulkan asap.

"Baru ya?" tanyaku kala Dita usai menaruh pesananku,

"Eh, hmm, iya, Mas. Baru dua hari kira - kira." jawan Dita, "Gelasnya saya angkat ya?" lanjut Dita

"Hmm, nanti aja." iya, nanti saja. Karna aku masih ingin Dita kembali ke mejaku dan mengangkat gelas dan piringku nanti.

"Okei, selamat menikmati." ucapnya lalu membungkuk hormat, layaknya seorang pegawai sebuab cafe.

****

Pukul sembilan malam, aku tak beranjak dari mejaku, tak terhitung sudah berapa banyak menu yang kupesan, tentu saja, agar Dita bisa beberapa kali membawakan pesananku ke mejaku.

"Hmm, maaf, Mas. Tapi kita udah close order, satu jam lagi cafe tutup..." ucap Dita ketika aku akan memesan menu lagi.

"Oh, gitu, oke deh." balasku agak kecewa.

"Saya angkat ya piring - piring kotornya?" izin Dita.

"Boleh, silahkan." balasku singkat lalu membereskan beberapa bendaku diatas meja, memasukannya ke dalam ranselku.

"Kalau udah selesai, saya tunggu di depan ya..." ucapku ketika Dita akan beranjak pergi membawa nampan berisikan gelas - gelas dan piring - piring kotor.

"Eh? Emang ma-mau ngapain ya?" tanya Dita

"Ngobrol aja. Bisa?"

"Tapi udah kemaleman Mas, takut nggak dapat kereta nanti..." tolak Dita.

"Saya antar, boleh?" tawarku

"Serius, Mas? Saya di Depok, agak jauh dari sini..."

Dita, jangankan Depok, demi mengenal gadis yang mirip dengan sosok imajinasiku, bahkan kalau rumahmu berada di planet luar sana, akan kuantar kamu.

"Gak apa - apa, daripada harus naik kereta, mending berhemat, kan?" kataku lalu melempar senyum ramah ke arahnya. Dita terlihat grogi, tapi lalu menganggukkan kepalanya.

"Yaudah, saya tunggu disana." kataku menunjuk sebuah mobil sedan berwarna silver di depan cafe.

"I-iya, Mas..." kemudian Dita berlalu menuju sebuah pintu yang kurasa adalah tempat dimana semua piring dan gelas dicuci.

****

"Lurus atau belok kiri?" tanyaku

"Belok kiri, Mas. Arah Kelapa Dua, kalau lurus kita ke Margonda, jauh muternya." jawab Dita.

"Okei... Btw, kamu ngekos? Atau?" tanyaku, kemudian memutar stir mobilku dan berbelok ke kiri,

"Aku sama Ayah doang, Mas, berdua. Ibu di Bogor." jawab Dita

"Hmm gitu, Ayah kerja juga?" tanyaku lagi.

"Enggak, Mas. Ayah sakit, gak bisa kemana - mana selain tidur di kasur."

"Loh, sakit apa?"

"Kurang tau juga, soalnya aku nggak ada biaya buat check up Ayah ke dokter." raut muka Dita berubah murung.

"Hmm, besok kita antar Ayah kamu ke rumah sakit, gimana?" tanyaku

"Ha? Uang darimana, Mas? Pasti mahal, dan uangku nggak akan cukup..." lirih Dita

"Aku ada tabungan sih, pake aja kalau Mau..." entah kenapa aku menawarkan bantuan ini.

"Eh, jangan, Mas. Saya nggak bisa gantinya nanti." tolak Dita

"Nggak perlu diganti pake uang, kok..." balasku

"Hm terus? Eh... Jangan - jangan... Ah, saya nggak bisa, Mas. Mohon maaf, saya belum pernah... Begituan... Ngg... Turunin saya disini aja, Mas. Nggak apa - apa."

"Eh? Hahaha... Nggak, saya nggak secabul itu juga, kali." tawaku menyadari apa maksut Dita ketika mengatakan 'begituan'.

"Te-terus?" tanya Dita gugup.

"Gampang lah nanti kita omongin, yang jelas saya nggak ada niat buat jahatin kamu, kok. Nomer hapemu mana, sini..." kataku, lalu mencatat nomer yang Dita sebut di hapeku dengan tangan kiriku, sedang tangan kananku tetap fokus di stir kemudi.

"Saya chat ya," lalu menulis 'Reinhart' di dalam chat di aplikasi Whatsapp di kontak bernama Dita.

"Nyampe?" tanyaku dan Dita mengangguk kala melihat notifikasi chat dariku.

*****

Tak lama kemudian, mobilku telah sampai di depan sebuah ruko yang telah tutup, ruko yang sepertinya memiliki dua lantai.

"Kamu tinggal disini?" tanyaku

"Hmm, iya, Mas... Mas mau langsung pulang? Atau mau aku bikinin teh dulu?" tawar Dita kemudian mendorong pintu lipat khas ruko, dan mempersilahkanku masuk ke dalam.

"Ini bangunan punya kamu?" tanyaku

"Punya Ayah, Mas. Tadinya ini cafe sederhana gitu, tempat biasa anak - anak muda nongkrong, tapi pas Ayah sakit, ruko nggak ada yang urus..." ucap Dita lalu pergi ke dapur yang terletak di lantai dua. Aku sendiri hanya duduk di sebuah bangku yang agak berdebu di lantai satu ini, memendarkan pandanganku ke seisi ruko yang lumayan tak terawat.

"Nih, Mas, teh nya..." ucap Dita lau menarik salah satu kursi yang ditumpuk diatas meja.

"Kenapa kamu nggak nerusin Cafe ini aja?" tanyaku setelah menyecap teh yang hangat buatan Dita.

"Maunya sih gitu, Mas. Tapi Ayah nggak izinin..." ucap Dita lalu menyecap teh hangat yang ia buat untuk dirinya sendiri.

"Loh, kenapa?"

"Ya, hmm, gimana ya... Jadi ruko ini tuh peninggalan kakek, kata Ayah, ini ruko udah turun temurun gitu. Dan semuanya dipegang sama keluarga laki - laki. Kakek, Ayah dan harusnya sekarang dipegang Bang Ichal, tapi Bang Ichal nggak mau dan milih ngelanjutin studinya di Jepang, yaa lumayan dapet beasiswa, kata dia." jelas Dita

"Kalau seandainya kamu nekat nih, ngelanjutin usaha Cafe ini tanpa sepengetahuan Ayah kamu, emang bakal terjadi apa?" tanyaku penasaran.

"Aku nggak tau, Mas. Intinya, Ayah ngelarang. Ayah cuma ngizinin Bang Ichal atau kalau ada sodara laki - laki yang mau ngelanjutin. Intinya, harus laki - laki. Udah kayak tradisi tapi ya gak taulah, aku pusing sendiri jadinya."

"Tadinya aku ngusulin buat disewain aja, eh tapi Ayah malah marah - marah."

Aku manggut - manggut, dan kembali memendarkan pandanganku ke arah dinding - dinding ruko lantai satu ini.

Kemudian sesuatu menarik perhatianku

"Itu foto siapa?" tanyaku lalu menunjuk sebuah foto dengan nuansa hitam putih, di dalamnya berdiri dua orang laki - laki, satu laki - laki dengan muka setengah baya dan mengenakan kemeja lengan panjang sedang merangkul laki - laki lain yang tampaknya lebih muda. Kemudian telunjuk tangan kananku ditepak oleh Dita.

"Jangan nunjuk - nunjuk, Mas. Aku selalu diocehin Ayah kalo nunjuk - nunjuk foto itu." ucap Dita, suaranya terdengar agak gugup.

"Eh, iya, maaf - maaf..."

"Gakpapa, Mas. Hmm, itu Kakek sama Ayah," kata Dita, "Maksutnya, Almarhum Kakek, sama Ayah."

Aku tak lagi menanyakan foto itu.

"Hmm, yaudah, udah malem banget nih. Saya harus pulang." pamitku

"Eh, iya, Mas. Maaf ya aku ngerepotin Mas Rein." gumam Dita

"Gakpapa, saya seneng kok direpotin, apalagi sama cewek cantik kayak kamu. Hehehe..." guyonku lalu mengekeh. Kedua pipi Dita bersemu kemerahan.

"Hati - hati dijalan, Mas." ucap Dita agak keras kala aku sudah berada di dalam mobilku dengan kaca pintu yang terbuka sedikit, aku membalasnya dengan senyum dan anggukan.

****

"Sudah sampai?" tanya Dita di dalam ruang chat, dari waktunya Dita mengirim dari lima belas menit yang lalu.

"Udah, baru aja." balasku.

Tak lama setelah mengirim, Dita membalas.

"Okei, hmm, makasih ya Mas, tumpangannya." isi chat balasan Dita yang kemudian dibubuhi emoticon senyum.

"Ah, nggak apa - apa, lain kali jangan sungkan ya kalau mau diantar pulang, pasti saya anter kok." balasku.

Beberapa lama tak ada balasan, aku berniat menuju kamar mandi dan membasuh mukaku, baru saja bangkit dari sofa, hapeku berdering tanda panggilan masuk.

Dita.

"Yaa?" sapaku

"Hmm, maaf mas nelfon... Aku bete." ucap Dita.

"Ah iya, nggak apa. Lagian juga saya nggak lagi mau ngapa - ngapain sih. Santai aja." ucapku berbohong padahal kurasa mukaku ini seperti telah dilempar sekarung debu.

"Gimana ya... Tapi kok, kayaknya aku sering liat Mas Rein ya, tapi entah dimana. Muka Mas Rein kayak familiar aja..." celoteh Dita di sambungan telfon.

"Masa?" tanyaku singkat

"Iya, tapi ya gitu, nggak tau dimana. Kayak sering lihat aja."

"Perasaan kamu aja kali, tapi sebenernya saya juga sih. Sering ngeliat kamu. Tapi saya tau saya sering liat kamu dimana..." balasku.

"Eh aku inget..." kata Dita, "Aku sering liat Mas Rein di..."

"Imajinasi." ucap kita berbarengan. Dan telfon seketika bisu. Kemudian terdengar suara tanda panggilan terputus.
 
Wah buat cerita baru ternyata gan, ide cerita fresh dan sangat menarik. Imajinasi aku avril lavigne gan haha. Di tunggu next ny gan..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd