Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hidden Desire

part 3

Hari – hari berikutnya kegiatanku sebelum perkuliahan dimulai adalah bangun pagi mandi tak lupa masturbasi sambil kadang-kadang membayangkan wa asih, bukan lagi ka wati. Bukan apa-apa, hanya saja setelah seminggu tinggal dengannya dan setiap pagi aku mengantarnya ke pasar, imajinasi ini makin liar tak terkira. Penyebabnya adalah momen ketika tubuhnya menempel ke punggungku. Di setiap polisi tidur, jalanan tak rata, atau saat aku mengerem mendadak tubuhnya akan selalu otomatis menempel ke punggungku tanpa pernah dia tahan. Dia seperti merelakan tubuh bagian depannya menempel dengan punggungku, dan ini sangat menyiksa. Tapi aku tidak bisa membicarakan ketidaknyamanan ini, karena tentu akan sangat tidak sopan jika dia tahu ternyata aku sering membayangkan hal yang aneh tentang dirinya.

Sore itu di hari terakhir orientasi kampus, aku terkejut ketika masuk ke dalam rumah wa asih dan mendapati dirinya sedang berolahraga di ruang tengah mengikuti arahan instruktur dari dvd yang dia putar. Pemandangan yang sangat luar biasa membangkitkan birahi. Dia memakai tanktop ketat berwarna ungu dan celana lengging dengan warna senada. Pakaiannya itu benar-benar membentuk tubuhnya, walau memang masih terlihat ganjalan lemak di perutnya, tapi dengan ukuran buah dada yang bisa disebut toge itu, tubuh wa asih tetap terlihat proporsional dan indah dipandang. Lalu kucuran keringat yang membasahi tubuh, dan terutama lehernya yang cukup jenjang menambah keseksiannya di mataku, aku cukup lama terpaku di ruang tamu memperhatikannya sampai wa asih menyadari kehadiranku.

“eh agus… udah pulang toh, maaf ya uwa lagi olahraga dulu, kalau udah tua gini ga sering olahraga, bisa repot.” Katanya tanpa menghentikan gerakan senamnya mengikuti instruktur.

“iya gapapa wa… memang harus begitu… pantes uwa masih terlihat awet muda ya…” jawabku.

“ah.. kamu bisa aja…. Masa masih dibilang awet muda…”

“serius loh wa… masih kenceng kulitnya… hehe”

“bisa aja memujinya….”

“aku masuk kamar dulu ya wa…”

“iya… iya… silahkan.”

Aku masuk kamar dan segera melampiaskan dorongan birahiku dengan….. kau tahulah apa. Aku sempat berharap bahwa esok tidak akan ada lagi kejadian seperti ini. dada wa asih menempel punggungku di motor mungkin masih bisa kutoleransi, tapi pemandangan seperti tadi, bukan suatu hal yang birahiku mampu toleransi. Tapi ternyata sore itu hanyalah sebuah awal, karena di hari-hari berikutnya kejadian seperti itu semakin intens, terutama setelah aku aktif kuliah. Wa asih sering melakukan olahraga sore setiap kali aku pulang dari kampus, lalu hampir setiap malam dia memintaku menemaninya menonton sinetron favoritnya, dan setiap itu pula dia memakai pakaian yang seakan memprovokasi birahiku ini. suatu waktu dia memakai tangtop ketat, buah dadanya seakan ingin melompat dari cengkraman baju tersebut. Lalu celana pendek yang memperlihatkan pahanya yang putih dan kencang, seakan melambai minta dibelai. Lain waktu, ia mengenakan lingerie yang cukup menerawang, hingga bra dan cd nya seolah mengintip dari balik lingerie tersebut. Tapi dia bersikap biasa saja, seakan tidak ada ada hal yang mengganggu. Bahkan ketika aku duduk tidak tenang berganti-ganti posisi menahan birahi, dia tetap tenang saja seperti tidak ada apa-apa.

Akhirnya aku sering beralasan bahwa banyak tugas sehingga tidak bisa menemaninya menonton tv setiap malam, dan aku pun sering pulang larut untuk menghindari masuk rumah ketika wa asih berolahraga. Aku tidak ingin menjadi anak kurang ajar yang membuat malu ayah ibuku dengan berlaku tidak sopan pada orang yang telah baik kepadaku dan orang tuaku ini. Tapi malam itu semua berubah 180 derajat.

Seperti biasa, aku sengaja menghabiskan waktu di perpustakaan kampus walau tidak ada tugas yang harus dikerjakan demi pulang larut. Sekitar pukul 7 malam aku sampai rumah dan kudapati wa asih sedang menonton TV, dan hari itu ia memakai kaus lengan pendek ketat dan celana pendek selutut. Aku cukup lega. Setelah mencium tangannya aku segera pamit ke kamar untuk mandi dan istirahat. Tak lama setelah itu, kudengar sebuah kutukan di pintu kamar, dan itu adalah wa asih, dia meminta izin untuk masuk kamarku. Lalu dia duduk di kursi meja belajar, sementara aku duduk di ranjang.

“gus… uwa mau tanya sesuatu.”

“iya wa… ada apa?”

“uwa merasa kamu sering sengaja pulang malam. Uwa ngerasa kayaknya kamu suka menghindar dari uwa, apakah ada suatu hal yang membuatmu tidak nyaman?” bagai sebuah petir menyambar, pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“anu…. Itu…” otakku tidak bisa memberikan ide untuk menjawab pertanyaan wa asih. Aku hanya tergagap.

“kamu harus jujur gus, kalau kamu tidak nyaman, uwa jadi merasa bersalah sama orang tua kamu, mereka kan teman uwa. Masa iya, anaknya ikut numpang tidak diurus dengan baik, mau ditaro dimana muka uwa.”

“anu wa… sebenernya… tapi aku gak enak ngomongnya…” jawabku bingung.

Wa asih beranjak dari kursi dan duduk di sampingku di ranjang. “uwa udah percaya sama kamu loh, nyeritain rahasia yang gak pernah uwa ceritain ke orang tua kamu. Sekarang ko kamu gak percaya sama uwa? Ceritain aja ada apa, kalau itu sebuah rahasia yang kamu gak mau orang lain tahu, uwa akan jaga kok, yang penting uwa tahu kamu kenapa.”

“aku suka ga nyaman wa, kalau sore pas pulang uwa sedang olahraga, atau pas malam nemenin uwa nonton tv.” Aku akhirnya luluh.

“gak nyaman kenapa?”

“anu wa… baju yang dipake uwa.”

“kenapa? Uwa membuat kamu jijik?”

“aduh…. Bukan begitu, justru sebaliknya…” aku cepat merespon, takut menyinggungnya.

“sebaliknya?”

“anu… aku jadi suka terangsang…” aku menjawab pelan. Kulihat wa asih malah tersenyum.

“ko bisa? Kamu memang suka wanita yang lebih tua ya?”

“eh…. Ya siapa yang tidak begitu wa kalau uwa pake baju seksi begitu, mana uwa juga kan masih kelihatan muda.”

“hm….. masa? Kalau ka wati yang sering kamu desahkan di kamar mandi itu siapa? Lebih tua gak?”

Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan tersebut. “anu…. Anu…..” aku sungguh kehilangan kata-kata.

“uwa tahu apa yang kamu suka lakukan tiap pagi di kamar mandi…. Suka kedengeran tahu, uwa juga tahu, beberapa kali kamu malah nyebut nama uwa.”

“maaf wa… maaf banget, soalnya udah kebiasaan. Ketika lelah atau stress, masturbasi adalah caraku untuk bisa fresh lagi.” Aku menundukan kepala.

“jangan merasa bersalah begitu.” Kini tangan wa asih berada di pahaku, tubuhku gemetar bukan main. Apa ini? “daripada dikeluarin sendiri, kenapa gak uwa bantu aja?” matanya menatap mataku. Pandangan kami beradu dan lama-lama wajah kami makin dekat. Dapat kurasakan nafasnya yang memburu, serta wangi tubuhnya yang khas. Lalu tiba-tiba dia mencium bibirku penuh nafsu. Memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Bagiku yang baru pertama kali berciuman, ini adalah sensasi yang luar biasa. Lalu dia mendorong tubuhku hingga terbaring di ranjang dan mulai menindihku. Bibir dan lidah kami masih berpagutan. Sesaat kemudian dia berhenti. Mata kami masih saling memandang.

“wa….”

“kamu mau bikin uwa enak ga?” aku mengangguk pelan. Lalu dia membuka kaus ketatnya memperlihatkan bra yang hanya menutupi putingnya. Terpampanglah dua buah dada besar yang sejak pertama kulihat, kuidam-idamkan. “tolong kenyotin gus.” Bisik wa asih. Aku langsung meraih kedua buah ranum itu dan mulai menjilati puting kirinya, sementara yang kanan aku mainkan dengan jari seperti aku memainkan putingku sendiri setiap pagi. Wa asih menggelinjang menahan kenikmatan yang kuberikan.

“ah…. Iya terus….. terus mas panji.” Wa asih mendesah.

Seketika aku berhenti dan menatapnya kaget. Dia pun sepertinya menyadari kata yang telah diucapkannya. Dia memanggil nama ayahku. Sepertinya tanpa sadar, dalam kenikmatan, dia keceplosan memanggil nama ayahku. Apakah itu artinya sebenarnya dia membayangkan sedang dihisap putingnya oleh ayah? Dia segera bangkit mengambil kausnya dan keluar dari kamarku. Aku pun mengikutinya, kulihat dia terduduk di sofa dengan kaus yang telah terpasang di tubuhnya.

“maaf gus….”

“boleh agus tahu kenapa uwa sebut nama itu?” aku sungguh penasaran.

“sini duduk samping uwa, biar uwa ceritakan sesuatu.” Aku duduk di sampingnya. “dulu sebelum ayah dan ibumu menikah, ayahmu berpacaran dengan uwa gus. Tapi hubungan kami itu tidak ada yang tahu, kami merahasiakannya dari semua orang. Karena orang tua ayahmu tidak senang dengan uwa.”

“kenapa wa?”

“uwa itu bukan penduduk asli sana, keluarga uwa pendatang, dan kami memiliki kepercayaan berbeda dengan penduduk kampung. Saat itu, kepercayaan adalah masalah yang serius. Memang dalam kehidupan social sehari – hari tidak akan ada masalah, tapi untuk masalah pernikahan, kepercayaan adalah masalah penting. Maka ketika kami jatuh cinta dan berhubungan, ayahmu dan uwa merahasiakannya, karena pasti akan ditentang oleh keluarga.”

“hubungan ayahmu dan uwa harus berakhir ketika ayahmu dijodohkan dengan ibumu setelah lulus smp. Awalnya ayahmu tidak mau. Tapi uwa teman dekat ibumu, dan uwa tahu ibumu itu punya perasaan pada ayahmu. Di samping itu, ayahmu bahkan diancam tidak akan dianggap anak jika dia menolak perjodohan itu.” wa asih melanjutkan.

“melihat keadaan dan situasi itu, lalu kemudian orang tua uwa juga berencana pindah ke desa lain lagi karena urusan pekerjaan, uwa merasa bahwa pergi dan mengakhiri hubungan dengan ayahmu adalah pilihan terbaik. Uwa rela berkorban perasaan ini demi kebaikan bersama.” Air mata mulai menetes di pipi wa asih.

“tapi rupanya itu adalah keputusan yang uwa sesali seumur hidup. Karena perasaan ini tidak pernah benar-benar hilang. Begitu pun ketika uwa dinikahi siri oleh mantan suami uwa dulu. Perasaan uwa hanya untuk ayahmu. Lalu setelah sekian tahun lamanya uwa mampu menahan. Datanglah surat ayahmu soal kamu. Uwa sebenarnya tidak ingin bantu karena nanti malah membuat uwa makin mengingat masa lalu, tapi justru tubuh ini reflek menuliskan balasan yang sebaliknya.”

“dan ketika uwa melihat kamu untuk pertama kalinya waktu itu, uwa seakan sedang melihat ayahmu gus. Kamu mirip sekali dengan dia. Gagah, tampan, dan pekerja keras pula. Perasaan yang uwa pendam seakan kembali membuncah. Lalu setelah beberapa hari uwa tahu kebiasaan kamu setiap pagi dan bahkan berimajinasi tentang uwa, akal sehat uwa jadi hilang. Uwa melakukan segala cara untuk menggodamu, termasuk soal pakaian itu gus.”

“tolong maafkan uwa, kamu uwa jadikan sebagai pelampiasan dari rasa dan birahi yang terpendam selama ini untuk ayahmu.”

Aku sungguh terkejut dengan cerita wa asih. Tapi melihat nya kini, seorang wanita yang terluka karena berkorban demi kebahagiaan orang lain, seorang wanita yang terluka karena memendam perasaannya begitu lama, aku tidak menyalahkannya. Aku justru semakin simpatik padanya. maka segera kupeluk wa asih dari belakang, kusenderkan kepalaku di bahunya.

“wa…. Aku tidak peduli jika uwa menjadikanku pelampiasan.”

“maksudmu gus?”

“aku tidak ingin uwas sedih, jika memang melampiaskannya padaku dapat membuat uwa bahagia, aku rela wa.” Mendengar itu wa asih segera berbalik dan menatap mataku. Kami segera berciuman kembali, cukup lama. Lalu ia membimbingku masuk ke kamarnya. Di ranjang springbed ukuran besar, aku dibaringkannya kemudian dia duduk dia atas kemaluanku, dan melepas kausnya kembali. Dada besar yang indah itu kembali terpampang di hadapanku.

“kalau begitu, uwa minta kamu membantu uwa melepas kerinduan ini.”

“tentu wa…”

Aku segera menggapai kedua payudaranya, meremas dan memainkan putingnya sambil sesekali menghisapnya. Ia mendesah dan menggelinjang. Ia lalu melepas celananya mengekspos kemaluannya yang ditumbuhi bulu lebat.

“sentuh ini gus…” ia menunjuk hutan rimbun di antara selangkangannya. Walau ini pengalaman pertamaku menyentuh itu, tapi aku cukup sering membaca buku-buku porno milik temanku di sma, hal itu membuatku tahu apa yang harus kulakukan. Aku mengelus bibir vaginanya perlahan, dan mencari bulatan yang disebut klitoris ketika kutemukan, segera ku sentuh dan mainkan. Wa asih mendesah dan menggelinjang lebih hebat dari sebelumnya. Titik sensitifnya berarti klitoris. Beberapa menit kemudian wa asih terengah-engah dan berkata.

“gus uwa udah gak kuat, cepet masukin punya kamu.”

Dengan bimbingan wa asih, dia melucuti celana pendekku dan menuntun kemaluanku yang telah tegang maksimal ke vaginanya. Basah dan hangat kurasakan meliputi batang kemaluanku, sungguh kenikmatan yang berbeda dengan masturbasi. Lalu secara perlahan wa asih mulai menggerakan pinggulnya naik turun. Dan dalam beberapa menit kamar dipenuhi suara dua tubuh yang beradu serta desahanku dan wa asih.

“hm…. Gus punya kamu besar dan keras banget…. Ah enak…..”

Ketika aku mulai merasakan akan orgasme, secara reflek aku menggerakan pinggulku lebih cepat, sebagai wanita yang berpengalaman, wa asih mengerti itu, dia segera menahan gerakan pinggulku dengan menindihkan pantatnya ke tubuhku.

“sshhhh…. Kamu jangan gerak ya, keluar di dalem juga gapapa gus.” Bisik wa asih mesra. Aku hanya mengangguk. Lalu dia memutar-mutar pinggulnya sambil sesekali diangkat dan diturunkan, membuatku sungguh melayang. Beberapa saat kemudian aku merasakan tarikan kenikmatan tanda orgasme tiba.

“waaa…. Aku keluar….”

“iya… keluarin aja…..” wa asih menutup bibirku dengan bibirnya, dan ketika spermaku muncrat di dalam kemaluannya, dia menekan tubuhnya kuat-kuat ke tubuhku. Aku pun memeluknya erat. Kami berciuman cukup lama setelah orgasme. Aku menikmati kehangatan tubuh wa asih yang penuh peluh, begitu pula dirinya. Hingga kami merasa mengantuk dan terlelap.


bersambung di page selanjutnya gan…..
Mantap banget
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd