Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HEPI BERSAMA

LIBURAN

Perselancaran di dunia maya mempertemukanku dengan banyak hal, di antaranya situs streaming film dewasa, baik yang berasal dari barat hingga Asia, termasuk Indonesia. Dari situs tersebut aku juga mendapatkan informasi mengenai beberapa tema dalam dunia esek-esek, seperti fetish, eksibisionis, dan cuckold. Padahal dulu aku mengira yang namanya seks ya hubungan intim antara pria dan wanita seperti pada umumnya. Namun ternyata luas konteksnya. Dari tema-tema itu pula timbul ide-ide gila yang ingin kupraktekkan dalam dunia nyata. Terlebih setelah menemukan forum cemprut.com. Aku seolah mendapatkan wawasan tambahan berupa pengalaman dari mereka yang pernah mempraktekkan secara langsung, merealisasikan tema-tema tertentu dalam dunia esek-esek di kehidupan nyata. Bagaimana mereka yang baru punya minat dan bagaimana mereka yang sudah atau baru akan memulai seperti diriku ini.


"Enggak mau ah"


"Sekali-kali doang kok", bujukku ke Sari. Di atas tempat tidur aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin dia melakukan aksi eksibisionis. Membayangkannya saja aku sudah deg-degan.


"Kayak gitu? Serius? Kamu beneran rela badanku ini dilihatin laki-laki lain?"


"Sekali aja, cuman sekali, aku loh penasaran"


"Penasaranmu itu gak main-main loh mas, serem. Aku kan biasa pakai kerudung, tertutup. Kalau ada yang tahu bagaimana? Jadi jelek citraku, kamu juga", tanya Sari menyembunyikan kekhawatiran.


"Bener sih sayang, gimana ya?"


"Enggak usah"


"Kok enggak usah, daripada hubungan kita kayak gini-gini aja, tenterem, nyaman, tapi kosong banget. Nih kayak gini nih. Baru beda”
Aku memperlihatkan beberapa thread di forum cemprut tentang mereka yang berbagi cerita pernah melakukan pengalaman eksibisionis di berbagai tempat, seperti hotel, pantai, café, dan mobil. Aku perlihatkan pula gambar atau video pasangan yang melakukan eksibisionis, termasuk tanggapan/komentar mereka yang melihat dan menikmati. Sari tersenyum-senyum tak percaya. Tapi itulah adanya. Bagiku, pasangan yang melakukan eksibisionis pastinya memiliki keberanian yang luar biasa, nekat, tidak peduli bagaimana orang menyimpan persepsi terhadap gaya/penampilan mereka masing-masing. Yang terpenting sensasi dan kesenangan yang didapatkan. Berhasil atau tidak. Aku sudah menyadari sebab-akibat yang ditimbulkan, entah baik-buruk jika menjalankan eksibisionis bersama istriku. Oleh karena itu, aku bicarakan dengannya baik-baik. Tidak serta-merta seluruhnya adalah egoku. Kalau sudah mantap kedua belah pihak, tinggal eksekusi, bukan?


"Aku harus bagaimana? Dengan catatan cuman sekali loh ya"


"Iya… eemmhh... entar deh aku pikirin dulu", kataku mencari solusi. Aku berupa menyiasati bagaimana kami berdua enak sama enak. Aku mendapatkan ruang yang aku mau. Sari mendapatkan yang dia mau.


"AHA!"


"Apa?!"


"Kita nginep di hotel? Bagaimana?"


"Selanjutnya?"


"Ya eksibionis", jawabku antusias.


"Eksibisionis gimana? Aku pokoknya gak mau kamu ngajak cowok, tahu-tahunya kenal, tahu-tahunya suatu saat ketemu”


“Bumi kan bulat, pasti ketemu”


“Aku PNS loh, Mas…”


“Kecil kemungkinan ketemunya, bagaimana? Tangerang? Bekasi? Jakarta Utara? Timur? Bogor?”


“Duh gimana ya… gak usah aja deh, mas?”, gelebah tiba-tiba perasaan Sari.


“Kita coba sekali, kalau gak nyaman, yaudah, oke?”, usulku berusaha meyakinkan.


“ah ngantuk, besok aja kita bahasnya”


“Sini, dengerin aku dulu”


“ngantuk”
Kendati Sari sudah memberi lampu hijau, namun titik temu eksibisionisnya melakukan apa dan di mana belum dicapai. Sari ingin meminimalisasi risiko seandai benar eksibisionis ini mau dilakukan. Dia cemas pekerjaannya sebagai abdi negara akan tercoreng seandai ada yang melihat, mengenali Sari sekalipun mengenal wajah. Aku membuka ponsel, mencari sebuah villa antara Bogor dan Puncak. Jauh dari tempat tinggalku dan Sari. Aku yakin faktor kenal atau lihat itu sangat-sangat kecil peluangnya karena penduduk Jakarta yang jumlahnya puluhan juta, serta Bogor dan sekitarnya yang berjumlah jutaan. "Ketemu! Aku sudah tahu akan bagaimana!"


Keesokan pagi saat sarapan, aku sampaikan ke Sari bahwa eksibisionis perdana akan dilaksanakan di sebuah villa di dekat daerah Puncak. Villa tersebut terletak agak ke dalam, dekat sebuah perkampungan penduduk. Jalanannya yang rusak konon sering dilalui kendaraan bermotor yang hendak menuju ke Puncak. Jelasnya seperti apa, aku belum tahu. Yang terpenting Villa ini menarik sebagai tempat penyegaran pikiran, rehat dari pengapnya ibukota. Kemudian Aku survei singkat melalui Youtube, ternyata Villa ini dikelilingi oleh pepohonan rimbun, terdapat kolam renang keluarga. Ditambah pemiliknya sangat telaten memelihara. Harganya juga tidak terlalu menguras kantong.


"Setuju ya?"


"Kok kamu gak bilang dulu, langsung okein gitu"


"Semalam kamu bukannya udah oke, cuman masalah tempat kan?"


"Ya mestinya bilang..."


"Ini aku bilang....."


"Telaaaaattt"


"Batalin aja deh nih?"


"Udah gak usah, udah kamu booking juga. Kita bakal ngapain aja sih di sana?"


"Ya liburan"


"Eksibisionis yang kamu maksud itu, maksudnya bagaimana?"


"Di sana nanti kita bahasnya, oke ya?"


"Iya, enggak aneh-aneh kan?"


"Enggak sayang..."


"Aku gak yakin"


"Mesti yakin, aku kan enggak pernah mengecewakanmu"


"Hhhmmmm... yaudah yuk berangkat", ucap Sari melihat jam di pergelangan tangannya. Sehabis sarapan, kami berangkat kerja. Ia mengenakan celana panjang dan kemeja lengan panjang. Hijab segi empatnya menyelimuti hampir setengah badan sehingga tidak menimbulkan kesan jelas postur bahenolnya istriku, kecuali yang kurang bisa diatasi adalah bagian bokong yang hanya dihalau sedikit oleh bagian bawah kemeja yang menjuntai. Hampir setiap pagi, Senin-Jum'at, aku mengantar Sari ke Stasiun menggunakan motor matic. Ia bekerja sebagai abdi negara di daerah Tangerang, sedangkan aku ialah karyawan swasta yang bekerja di Utara Jakarta. Sari biasa menggunakan transportasi publik, yakni Kereta Rel Listrik. Dari rumah kami sudah berangkat pukul 05.30. Tak heran kami sarapan sesudah jam 5, seoptimal mungkin, di mana obrolan pun baru terjalin setelah sarapan selesai. Pulang kantor tidak demikian. Sari biasa pulang sendiri menggunakan KRL lanjut Ojek Online karena aku biasa sampai di rumah pukul 7 malam. Kalau memungkinkan pasti aku jemput. Dia tiba di rumah lebih awal.


Di tempat kerjanya Sari berinteraksi seperti biasa. Tidak ada yang pernah menggoda atau memancing ke obrolan rumah tangga, paling-paling gosip murahan. Semuanya lurus dan fokus bekerja, kendati kadang-kadang lebih banyak duduk-duduknya.


"Hati-hati yaa", ucapku di depan stasiun. Jarak dari rumah ke stasiun kurang lebih 15 menit. Aku bisa lebih cepat ke kantor jika tidak mengantar Sari. Kadang jeleknya aku terlambat sampai kantor. Terlebih ada peraturan baru di perusahaan perihal kedisiplinan.


"Iya Mass, kamu juga, nanti bisa jemput?"


"Kayaknya sih bisa, lagi longgar"


"Nanti berkabar yaah"


"Iya, sayang", jawabku hendak melepas Sari.


"Beneran gak apa kamu terus-terusan anter aku? Aku naik Ojol aja besok"


"Jangan, boros banget, lebih baik untuk uang bensin"


"Hati-hati ya"


"Kamu juga, hati-hati, tas letakkin di depan"


Sari telah memasuki area stasiun. Sebelum lanjut menggeber, aku memeriksa ponsel kira-kira jam berapa.


Pagi Hari Pukul 05.47


Darta: Bos Ardi, apakabar? Gawe di mana sekarang?
Aku: daerah Kelapa Gading. Lo sendiri apa kabar? Tumben-tumbenan bangen nih ngechat. Ada kabar baik apa?
Darta: belum ada kabar baik apa-apa. Makin susah aja cari kerja nih bro.
Aku: jangan kebanyakan bangun siang makanya lo. Hahaha. Lanjut nanti ya. Masih di jalan.
Darta: ahhh enggak, gue rajin banget sholat Subuh sekarang.
Aku: wiiiddiiiihhhh ngeriiii bang.


Darta (33 tahun) adalah kakak tingkatku saat kuliah di Depok. Kami berteman dekat karena pernah sama-sama mengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan. Dia sudah berkeluarga dan memiliki anak 1. Terakhir kudengar, ia bekerja di sebuah Bank Swasta di Selatan Jakarta. Kami sebetulnya jarang berinteraksi sejak Darta lulus, menyusul aku. Berkontak lebih sering di grup angkatan, kecuali yang bersifat urgen atau sekedar menanyakan kabar. Darta memiliki tinggi badan 173 cm. Ketika di kampus tubuhnya atletis, kuperhatikan profile foto WA-nya sudah melar, pertanda istrinya pandai mengurus suami. Potongan rambutnya bergaya cepak. Sebelah kiri-kanan disisakan tipis sekali. Bagian atas agak tebal. Raut mukanya sangar, namun tak tampan, brewokan tipis. Lebih menyerupai sosok anggota organisasi preman. Namun dengan pakaian gamis yang dikenakan di foto profile WA.


Dari percakapan kami, aku menyangka dia sedang butuh pekerjaan. Sayangnya, kantorku sedang tidak ada lowongan. Aku sudah tahu harus menjawab apa apabila Darta menghubungi lagi.


Siang Hari Pukul 12.30


Darta: lagi sibuk gak? Jam istirahatkan?
Aku: iya, enggak sibuk, gimana-gimana?
Darta: di kantor lo gak ada lowongan bro? Stres gue udah nganggur hampir setahun. Untung masih ada mertua.
Aku: maaf nih bang, lagi gak ada lowongan. Kemarin aja baru ada yang masuk. Kalau ada lagi nanti pasti gue infoin.
Darta: siyaph.
Aku: oohh ya. Mobil lo masih ada?
Darta: Ada bos. Kenapa? Mau makai?
Aku: iya. Sepaket sama supirnya. Lo tahu gue gak bisa nyetir.
Darta: mantul ini. Mau gunain kapan? Kemana?
Aku: Sabtu besok. [SHARELOK] gratis kan? Hahahah
Darta: bensin mahal Om. Tega banget. Sedekahlah sama yang nganggur.
Aku: gampang itu, aman.
Darta: Wuiiihh ini baruuu... nganter doang atau sekalian jemput?
Aku: enaknya lo aja bagaimana.
Darta: duitnya nambah kan?
Aku: iyeee bang.
Darta: hahahaha tengkiu berat
Aku: nanti gue infoin lagi h-1 ya
Darta: beres!


Sesuai jadwal, hari Sabtu Aku berencana bersama Sari menginap di sebuah Villa di daerah Puncak, Jawa Barat untuk menjalani aksi eksibisionis perdana kami. Bagaimana? Belum aku bicarakan dengan Sari. Aku sejujurnya ingin mengemudikan motor ke Puncak, karena terlampau lelah menempuh perjalanan ke kantor hampir tiap hari, Aku angkat tangan. Tak mengapa memberi uang lebih ke Darta yang sedang kosong isi dompetnya. Anggap ini ganti aku tidak bisa memenuhi lowongan pekerjaan yang dibutuhkan oleh Darta.


=Y=​


"Ikut nginep aja di sini, gak apa-apa, ya kan mas?"


"Hhhhmmm...", di luar dugaan mobil MPV yang membawa kami ke Villa bukan diisi oleh 3 penumpang, melain 6 penumpang. Darta membawa istri dan anaknya.


"Udaahh ikut nginep aja di sini, ikut liburan", Sari terus berusaha meraya. Darta dan istrinya saling tengok.


"Gimana yaa hehehe", ujar Ningsih, istri Darta memangku anaknya yang berusia 4 tahun, sedikit rewel.


"Hehehee... mau ke mana lagi habis ini?"


"Jalan-jalan, piknik, sekalian mau ke rumah saudara


"Oohhhhh", jawaban Darta melegakan.


"ikut nginep sama Tante ya Abiyan?", tanya Sari menyalami tangan putra semata wayang Darta dan Ningsih.


"Mau Maaaah, aku mau....."


"Tuh, yuk ikut nginep sama Tante"


"Lain kali ya sayang, kita kan mau ke tempat Om Wira", timpal Ningsih menenangkan buah hatinya.


"Ooo iyaah"


"Baik, kita jalan yaa, semoga menyenangkan liburannya"


"Iyyaaaa.... dadah!"


"Dadah!", aku dan Sari melambaikan tangan.


Aku menyeret koper, Sari menenteng tas mungil berisi dompet, uang, dan ponsel. Kami berdua berhenti di pos sekuriti yang menunggu di depan gerbang. Seorang satpam lalu mengarahkan masuk ke dalam karena sudah ada penjaga yang sudah menunggu setelah mendapatkan pemberitahuan dari pemilik Villa. Tak terlalu besar, namun Villa ini cukup menyejukkan mata. Taman hijau yang ditumbuhi Pohon Palem, Cemara, beserta pohon besar lainnya menyambut riang para tamu yang sudah ingin rehat. Tidak salah aku memilih villa yang mungil, namun halamannya cukup luas. Tak jauh dari villa juga ada rumah penduduk yang berjualan makanan ringan dan perlengkapan lainnya, seperti warung di kota, tetapi tidak lengkap. Sari berjalan ke tengah taman. Ia memintaku mengambil foto dirinya di sebuah ayunan. Beberapa pose Sari yang mengenakan sweater berbahan katun aku ambil menggunakan ponselku, bak seorang fotografer handal, aslinya kacangan.


Selesai foto-foto, kami berjalan masuk ke arah Villa, telah berdiri seorang pemuda kerempeng dengan rambut belah tengah yang tampak berusia 26 tahun. Apakah dia penjaga Villa ini? Pakaiannya adalah kaos yang beberapa bagian telah bolong-bolong. Celananya lusuh seolah dia seorang montir. Ia memanggilku dari jauh.


"Pak Ardi ya?!"


"Betul, dengan siapa?"


"Saya Yana, yang menjaga dan merawat Villa, berdua?"


"Iya kami cuman berdua"


"Baik, hayuk silakan masuk", sambut Yana perawakan kurusnya energik nan ramah menuntun kami masuk ke dalam villa.


"Dari mana Pak?"


"Jakarta"


"Oh Jakarta"


"Sering ya tamu Jakarta nginep di sini?


"Bukan sering lagi, hampir selalu yang menginap di sini tamu dari Jakarta"


"Ooowhhh hahaha Puncak pengunjungnya kalau bukan Jakarta, Bekasi Tangerang Depok dan sekitarnya"


"Bener pak, nah ini ruang tamunya", kami tiba di ruang tamu yang terdapat satu bangku kayu panjang beralas empuk menghadap sepasang bangku kayu lainnya. Sebuah meja berada tengah mereka. Jendela dibuka oleh Yana supaya angin sepoi masuk. Kami terus berjalan masuk, ditunjukkan kamarku dan Sari yang akan bermalam. Sepintas aku melewati ruang keluarga besar yang terdapat sofa, televisi, meja serta kursi makan. Dapur di bagian belakang dekat kamar mandi luar. Fasilitas lengkap aku cukup puas menginap di sini. Yana membukakan pintu kamarku, memperlihatkan tempat tidur berukuran Queen Bed menghadap bagian depan taman yang hijau dan asri. Tak berlama-lama ia memohon pamit sempat menitipkan kunci dan kontaknya kalau ada memerlukan bantuan. Aku dan Sari pun mengucapkan banyak terima kasih, melihatnya keluar dari Villa. Setelah itu, Aku segera rebahan untuk beristirahat setelah melalui macet dalam perjalanan dari Jakarta menuju Puncak. Sari melepas kerudungnya, terurai hitam rambutnya yang panjang.


Aku tidak memiliki agenda dalam waktu dekat sesampai di Villa, karena tujuan utama ialah aktivitas eksibisionis kami berdua yang belum Entah kapan akan dimulai dan bagaimana. Sari lapar. Ia mengunyah makanan ringan yang dibawa dari rumah Ia mau makan siang berat, berencana mencarinya di sekitar Villa. Aku sungkan karena masih kelelahan. Aku memintanya menunggu sejenak.


"Kita bagaimana?"


"Bagaimana apa? Laper? Bentar ya", jawabku sedang berbaring menghela nafas, memejamkan mata.


"Bukan, eksibisionisnya maksudku"


"Mau kamu bagaimana? Aku aja bingung harus mulai dari mana"


"Ih malah tanyaku, kamu yang ngusulin", gerutu Sari seraya menggerai rambutnya ke belakang, lalu menyimpulnya dengan seutas ikat rambut.


"Emmm, mulai dari gak pakai hijab dulu aja deh"


"Itu aja?"


"Mau dilebihin? Bener?"


"Boleh, Ya bilang gak usah setengah-setengah"


"Hhhhmmm kemarin ogah-ogahan sekarang tumben nantangin"


"Kan cuman sekali katamu"


"Aduh, sekalinya gak begitu juga kali sayang"


"Jadi banyak maunya ih"


"Jangan sekali tapinyaa", aku menggumal.


"Yaudah buruan bilang gimana? Aku udah laper"


"Kamu.....", aku membuka koper, menidurkannya di lantai lalu mencari barang bawaan yang dibawa dari rumah.


"Kamu apa?"


"Kamu pakai ini....", jawabku menunjukkan tanktop hitam yang baru kubeli beberapa hari yang lalu.


"Seriusan?"


"Ada wajahku bercanda?"


"Kamu inget aku bilang apa?"


"Inget, kampung di sini terpencil, enggak akan ada yang kenal kamu, kepo tentang kamu", sahutku.


"Yakiinn! Jangan khawatir sayang"


"Sekarang banget?"


"Iyaaa, ini udah buruan pakai"


Sari menjumputnya dengan rada terpaksa. Ia buka kancing bajunya satu per satu. Ia lepaskan lalu ganti dengan tanktop yang sudah kupersiapkan untuknya. Sari memakai dengan raut sebal. Ia seharusnya tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membiarkannya berjalan seorang diri. Aku akan menemaninya mencari makan siang. Selesai mengenakan, betapa aku tercengang melihat bodi Sari yang selama ini tertutup, tidak meruapkan aura yang mengundang birahi kaum adam, sekarang bentuk gunung kembarnya begitu mudah diterawang dari tanktop yang kuberi. Tali BH nya yang berwarna serupa ia betulkan agar tidak tampak terselip-selip. Bagian dada tanktopnya ia angkat ke atas supaya menghalangi pandangan orang melihat belahan dadanya. Sia-sia, aku suaminya yang melihatnya saja lantas terpacu nafsu. Bagaimana yang bukan. Mantap!


"Udah, terus?"


"Semok banget kamu sayang"


"Buruan, terus?"


"Yuk kita jalan", jawabku bersama Sari yang utuh tetap dengan celana jeans, kami keluar dari Villa menuju kampung terdekat untuk membeli makan siang. Pak Satpam yang menyambut kami berdecak-decak, tak menyangka ini istriku yang tadinya berkerudung. Tatapan matanya tidak bergeser seolah-olah aku menenteng sesuatu yang mencurigakan. Ajib!


"Mau ke mana pak? Ada yang bisa dibantu?"


"Mau cari makan siang, kira-kira di mana ya?", tanyaku kepada satpam yang berkumis ini.


"Mau dianter?"


"Boleh bangett", kami jalan bertiga, tetapi aku lupa sesuatu,"aduh ada yang kelupaan!"


"Lupa apa?", tanya Sari.


"Hape aku"


"Mau diambilkan?", tanya Pak Satpam.


"Oh enggak biar saya sendiri saja. Bapak sama istri saya, jalan saja duluan, saya menyusul"


"Maaasss??! Kok??!!", mendadak kalut pikiran Sari ketika aku harus berpisah dengannya sesaat.


Bersambung.....
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd