Part 5. Jatuh ke Tanah
Aku tidak menghiraukan mereka, dan mencoba berjalan terus. Tiba-tiba, pergelangan tanganku disentak dan aku diseret ke gang buntu.
“Sombong banget sih diajak ngomong. Ayo sini dibikin enak hehe.”
“Engga mau, lepas!” Aku meronta sekuat tenaga, namun cengkramannya sangat kuat, sampai tanganku terasa sakit.
“Bro udah gue rekam nih. Cepetan telanjangin!” satu dari mereka berdiri agak menjauh, mengarahkan kameranya ke arah kami.
Dengan kasar pemuda ini memegang-megang tubuhku dan melucuti bajuku. Semakin kuat aku meronta, semakin kuat dia mencengkram dan membatasi gerakanku. Kemejaku sudah terbuka, lalu dia menarik braku ke atas, lalu menghisap dan menggigit payudaraku yang terbuka dengan ganas sambil mengunci kedua tanganku.
“Jangann..uuuhh jangan please!”
Ia mengabaikanku. Dia menghisap dan menggigit leher, pipi, lalu mencium bibirku. Air liurnya memenuhi mulutku. Aku mengalihkan mukaku, namun dia mengejar mulutku dan menguncinya, menekanku mundur ke dinding.
“TOLONG! TOLONG!” aku berteriak sekuat mungkin.
Tiba-tiba kurasakan hantaman kuat pada perutku, yang membuatku tidak bisa bernapas untuk beberapa saat. Ia menghantam perutku dengan lututnya.
“Lo bisa diem ga sih? Mau dibikin enak aja susah banget.” Ia mencekikku.
Aku yang tidak bisa bernapas menganggukkan kepalaku panik. Dia melepaskan cekikannya, membuatku terbatuk-batuk.
“Lo nikmatin aja ya.” ujarnya sambil membuka rokku. “Bro, sini liat.”
Temannya yang merekam kami menghampiri.
“Lo liat tuh. Zoom bagian ini.” temannya mendekatkan kameranya ke bagian celana dalamku yang basah kuyup, lalu mereka tertawa.
“Sok-sok nolak daritadi, tapi memeknya udah basah. Ternyata pengen dia hahaha.” tawa dari pemuda yang memegangku.
“Munafik anjing lonte, jangan-jangan lo sengaja nungguin kita ya tadi, minta dienakin?” tanya temannya, sambil mengarahkan kameranya ke wajahku.
Aku menggeleng sambil menangis. Bukan, aku tidak menginginkan ini! Pemuda yang memegangku menurunkan celana dalamku. Ia lalu merogoh kasar vaginaku.
“Liat nih,” ujarnya sambil mendekatkan jarinya yang basah ke wajahku. “Masih ga ngaku?”
Aku menggeleng. Ia memasukan jarinya paksa ke dalam mulutku. Aku hampir tersedak. Dia lalu berjongkok di depanku.
“Bro, memeknya dicukur rapi, khusus biar bisa kita nikmatin.” ujarnya ke temannya, disambut tawa dan hinaan lainnya.
Ia lalu menarik kedua kakiku sampai aku terjatuh ke tanah. Ia melebarkan kakiku, membuka celananya, lalu dengan tanpa izin memasukan kelaminnya ke dalam tubuhku dengan mudah. Ia menggenjotku dengan kasar, memberikan hujaman-hujaman kenikmatan yang sudah lama tidak kurasakan. Saat aku sedang menikmatinya, tiba-tiba dia mencabut penisnya dan berdiri. Aku yang keheranan menatapnya bingung.
“Kenapa bro?” tanya temannya, sambil terus merekam.
“Liat deh.” ujarnya sambil menempelkan kakinya yang beralaskan sepatu ke vaginaku. Posisiku masih terlentang di tanah dengan kaki terbuka lebar.
Permukaan kasar sepatunya menggesek vaginaku, memberikan rasa nikmat. Ku rasakan kakinya bergerak naik turun,
“Ini padahal kaki gue diem loh,” ujarnya pada temannya.
Setelah kuperhatikan lagi, ternyata bukan kakinya yang naik turun, melainkan pinggulku yang bergerak dengan sendirinya mencari kenikmatan. Saat ia menjauhkan kakinya, aku menaikan pinggulku, tidak rela kehilangannya. Ia terus menaikan kakinya sampai aku bertumpu pada punggung dan kedua telapak kakiku, vaginaku kuangkat setinggi mungkin. Aku menggoyangkan pinggulku dengan cepat. Gesekan sepatunya sangat terasa. Aku menggosokan vaginaku ke atas dan ke bawah dengan buas. Akhirnya, berawal dari rangsangan di kereta, kemudian rangsangan yang kuterima saat ini, membuat pertahananku runtuh. Bendungan dalam tubuhku seperti hancur, nafsu selama sebulan penuh mengalir keluar dengan orgasme yang luar biasa. Cairanku muncrat ke segala arah. Aku kemudian terjatuh berbaring kembali ke tanah, terengah-engah.
“Gila ini cewek ga ada harga dirinya. Malah dia genjot sendiri loh sepatu gue.”
“Cewek kayak gini mah jangan dikasih ampun, kita entot abis-abisan.”
Setelah itu mereka memompaku dengan liar, memakaiku bergantian, tanpa ampun. Orgasme demi orgasme kurasakan. Anehnya, berbeda dengan perkosaanku yang pertama, setelah mendapat orgasme nikmat yang kurasakan bukannya berkurang, justru malah bertambah berkali lipat. Aku berharap penis mereka tidak pernah berhenti menggenjotku. Aku ingin kenikmatan ini terus kurasakan.
Setelah berkali-kali, mereka akhirnya kelelahan dan duduk beristirahat. Tubuhku juga sangat lemah, hampir tidak bisa bergerak, namun api di vaginaku belum juga padam. Aku menjulurkan tangan ke arah salah satu dari mereka.
“Lagi..” ujarku lemah.
“Gue capek lonte bangsat. Mau gue cariin anjing buat ngentotin lo? Rendah banget lo jadi orang haha.”
Aku mengangguk, namun mereka tidak melihat ke arahku. Ternyata mereka tidak serius. Aku lihat kamera mereka diganjal dengan bebatuan, sehingga bisa terus menyorot ke arahku. Uuuh. Api ini semakin kuat. Aku meraba vaginaku dengan tangan, namun aku terlalu lemah untuk menggosoknya.
Aku melihat ada tiang listrik di dekat ku. Sambil tetap terlentang, aku menyeret tubuhku, sedikit demi sedikit ke arah tiang tersebut. Aku memposisikan tubuhku agar tiang tersebut menekan kuat selangkanganku. Badanku terkulai lemas. Kakiku terjulur membuka, seperti menduduki motor, hanya saja dalam posisi tiduran. Aku menggoyangkan sedikit pinggulku, dan ternyata sensasinya sangat luar biasa. Tiang listrik tersebut sudah berkarat, sehingga permukaannya tidak rata, penuh dengan gumpalan-gumpalan kasar. Hanya dengan sedikit gerakan, vaginaku seperti digesek berkali-kali. Hanya dengan gerakan minimal, aku mendapatkan orgasmeku.
Gesek, gesek, gesek, orgasme.
Gesek, gesek, gesek, orgasme.
Gesek, gesek, gesek, orgasme.
Berkali-kali siklus ini ku alami. Badanku sangat lelah, bahkan aku merasa bisa pingsan kapan saja. Namun pinggulku tidak bisa berhenti. Orgasme demi orgasme kucapai. Kulihat kedua pemerkosaku bahkan sudah kehilangan minat. Mereka pergi meninggalkan ku dalam kondisi seperti ini. Aku sempat melihat mereka mengambil semua uangku, namun aku tidak peduli. Selama aku masih mendapatkan kenikmatan dari tiang ini, aku merasa cukup.
Bersambung
Cerita selanjutnya:
Part 6. Pelepasan