Bagian 2 : Goyah
Scene 2
POV Nada
Sehari setelah acara beli membeli gorengan dengan extra pelototan mata, aku mampir kembali kerumah Hajar karena kebetulan aku sedang ke supermarket membelikan kebutuhan dapur mama di bilangan jalan Dharmahusada (yang suka kluyuran di surabaya pasti tahu lah supermarket di pojokan jalan situ, iya bener yang arah kalikepiting). Rumah Hajar tidak terpaut jauh dari situ, di kawasan Dharmahusada Indah. Sebuah wilayah perumahan elite nan guede-guede.
"Gimana kabarnya jeng?, putra ne piro saiki?. Lama tidak ketemu ternyata njenengan sudah keriput ya...?! Hahaha", selorohku kepada Hajar sesaat setelah menghempaskan buah pantat molek ini di kasur springbed Hajar yang empuk tapi bukan kapuk
"Wah.. Baik bu Nada, anak saya baru 1 lhoo..ohya, saya denger anak njenengan sudah selusin ya? Waww.. nyangkul terus kayaknya bu Nada ini !, tuh tetek gede sampe kendor gitu. Kebanyakan nenenin anaknya atau bapaknya yang rakus tuh???! Hihihi", balas Hajar lebih sadis melebihi ledekanku.
"Ih ga papa lagi kalo cuman kendor, nah punya njenengan.. udah kecil, kendor, keriput lagii.!? Wkwkwk", tak mau kalah ku ladeni balasan Hajar dengan lebih sengit.
"Yee ojok ngawur koen!, enak ae kecil, montok tauu!", Hajar akhirnya menyerah. Hahaha.. Kamipun tertawa lepas mengingat kekonyolan kami barusan.
"Eh Nad, beneran deh gorengan yang kemaren itu sedap bener. Udah kriuknya ga alot, bumbunya juga berasa merasuk banget dan pas gitu komposisinya. Bonyok n adikku malah rebutan tuh semalem akyu sisain setong hehe", Hajar bercerita tentang pengalaman sedapnya bersama gorengan yang kubungkus kemarin.
"Wihh tego koen yo, mosok ortu cuma disisain satu thokk..!", ucapku menimpali.
"Yaa gimana atuh neng.. Abis enak bengit gitooh hehe", lanjut Hajar membela diri dengan logat sok kejakarta-jakarta-an, padahal bagi orang jakarta sana tuh tetap aja kita ini dibilang udik. Fiuhh..
"Oya Jar, tuh penjual gorengan handal banget lho. Ilmu kanuragannya banyak kayaknya. Piawai banget dia menjalankan usahanya!", kusampaikan penilaianku terhadap sang penjual gorengan tentang kemampuannya dalam berbagai hal yang kunilai diatas rata-rata penjual pada umumnya.
"Dia ahli silat dengan ilmu kanuragan bejibun gitu maksud kamu say??", Hajar bertanya balik dengan wajah bengong yang memang beneran ga mudheng atau juga bisa jadi dia belaga bego buat ngisengin aku.
"Bukan itu paijem dodolll!, maksudnya tuh dia ahli banget di bidangnya!", sergahku sedikit jengkel melihat aksi kebegoan yang dilakukan Hajar.
"Iyo iyo Markonahh.. Jangan marah gitu dong ning cantik. Bikin tambah bengkak tuh buah dada gede nya kalau kebanyakan marah!", canda Hajar berusaha mengobati kejengkelanku.
"Ga ada hubungannya kalee hehe. Eh tapi beneran lho itu tadi si penjual menurutku. Sempat sih aku mikir kira-kira apa kita ambil aja ya dia jadi salah satu tim di perusahaan kita..??!", kembali ku ajak Hajar untuk membicarakan hal yang kuceritakan ke dia dari awal tadi.
"Ehemm.. Ikii kiro-kiro ada tendensi pribadi ga yo??", komentar Hajar yang seolah menyadarkanku bahwa aku kenyataannya terlalu jauh mengagumi kemampuan si panjual gorengan.
"Aduh kenapa aku jadi gini sih. Apa iya aku naksir si pangeran gorengan itu??, wah kalau bener kejadian begitu bisa terjadi huru-hara nih di rumah. Papa Mama mana setuju kalau ketemu cowok sederhana seperti ini.. Aduh pusing nih jadinya kepala", lamunku menerawang mencari-cari apa yang sebenarnya sedang ku rasakan.
"Woyy, ngelamun aja!", teriak Hajar ditelinga mengagetkanku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Kamipun melanjutkan obrolan kesana-kemari. Biasalah namanya cewek ketemu cewek pastinya segudang obrolan selalu ada dan selalu menarik untuk diobrolin. Apalagi Hajar adalah tipe cewek agresif yang selalu saja mempunyai inisiatif duluan untuk membuka obrolan ataupun menanyakan sesuatu. Yang dulunya aku ini tergolong agak pendiam, setelah akrab dengan Hajar eh ketularan juga akhirnya. Namun memang tak kupungkiri, kehadiran Hajar memberikan penularan 'agresif' ini telah merubah kehidupan personalku yang sebelumnya lebih murung dan kurang berwarna berubah menjadi ceria dan selalu asyik.
Dalam hal pekerjaanpun Hajar memberikan warna tersendiri. Agresifitas dan reaksi spontannya mampu membentuk sistematika kepemimpinan yang tegas dan korektif. Tentu saja hal itu sangat dibutuhkan mengingat para punggawanya adalah kaum adam semua kecuali kami yang mana memerlukan sedikit sentuhan 'galak' agar mereka segan. Tapi pastinya galak yang mendidik dan membimbing, bukan galak yang arogan dan sok bossy.
"Say, jujur kacang ijo.. sebenarnya aku juga seneng lho sama kualitas gorengan yang kemarin itu. Pas dan enak emang. Malahan ini papa minta tolong aku buat hubungi kamyu untuk minta tolong pesen gorengannya. Papa kan minggu depan ada reunian gitu di rumah sama beberapa teman kuliahnya..", kembali Hajar membuka obrolan seputar gorengan gorengan dan gorengan. Sepertinya kami telah terbius gorengan hihihi.
"Woo..dikandani kok..! Ancen bener kataku soal gorengan itu kan?", sambutku merasa menang.
"Iyo lek masalah gorengane!, tapi bukan penjualnya. Aku kan belum tahu tuh seperti apa modelnya dia! ", lanjut Hajar lagi yang akhirnya membuatku memiliki ide cer-mer-lang.
"Eh Ngene ae lek ngunu Jem.. Besok kita pesenin permintaan papa kamu sekalian kamu ikut buat kenalan sama dia.. Gimana?", kuberikan satu ide dan Hajarpun menyetujuinya. Kamipun bersepakat untuk kesana besok pagi-pagi sebelum ke kantor.
"Mwuahh.. Makasih ya say cantik udah mau bantuan request keluargaku..Ihh kamu baik deh hihihi", tiba-tiba Hajar yang duduk disebelahku mencium pipiku sambil mengucapkan terimakasihnya atas bantuanku.Tak berhenti disitu, Hajar dari arah belakang punggungku juga tiba-tiba melingkarkan tangannya, satu tangan masuk di sela ketiakku dan kemudian meremas kedua bongkahan dada indahku dengan gemas.
"Hoii.. Aku normal jem. Sori yo, ga lesbong aku iki!", kuterkejut dan reflek sedikit membentak atas perlakuan Hajar yang kelewat aneh.
"Iya aku ngerti say. Mok kiro aku lesbong pisan ta? Sori eh, aku juga normal!", jawab Hajar tidak mau disalahkan.
"Lha lapo kok nyemek-nyemek susuku barang?", masih dengan nada sewot ku semprot lagi si Hajar yang nampaknya masih saja belum merasa bersalah.
"Sabar tooo. Koen normal aku yo paham kok. Iki cuman ungkapan rasa sayang sebagai sahabat. Gemes ngunu lho Nad ndelok susumu sing guede iku. Kudu nyuwol ae rasane hehe", lanjut Hajar dengan terkikik sambil melihat solah polahku yang terlihat risih.
"Emang koen kadang ga ngeroso geli ta?, atau pernah membayangkan diraba cowok gitu?. Wis talah percoyo aku. Ayo kene tak bantu buat mengobati rasa geli mu. Sekalian biar kamu seneng. Kan nyenengno konco kuwi pahala too?", ungkap Hajar lagi. Aku hanya tertegun tak bisa menjawab. Di satu sisi aku merasa aneh dan tidak biasa menghadapi situasi sesama cewek seperti ini, namun disisi lain aku juga mengiyakan kata-kata hajar bahwa memang aku kadang secara normal merasakan geli dan keinginan belaian.
"Wis talah, manut o ae yo nduk, aku ga bakal melakukan perbuatan yang melampaui batas. Nurut aja sini, aku cuman ingin menyenangkan kamu say", ucap Hajar lagi. Akupun tak bergeming untuk melakukan penolakan dan secara naluriah menuruti apa yang diinginkan sahabat terbaikku itu.
Perlahan ia ajak aku berdiri di tepi ranjang namun dengan menghadap cermin. Aku hanya berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Dengan hati-hati Hajar membuka kancing kemejaku satu persatu hingga terbuka keseluruhan kancing itu.
Sesekali ia mencium pipi dan daguku dengan penuh rasa sayang. Aku mengartikan ini sebagai rasa sayang seorang sahabat sejati. Bersamaan dengan ciuman yang kesekian kali, ia meloloskan kemejaku hingga terjuntai ke lantai. Berdesir rasanya darah mudaku mendapati kejutan langka ini.
lanjutannya scroll ke bawah ya.. ga cukup nih.