Scene 32
Tetaplah Tersenyum Peri Kecil
Ana dan Ani
“Dimana? Dimana?”
Sial, aku kehilangan mobil itu. kenapa juga harus ada lampu merah di saat seperti ini? apa mereka tidak bisa tahu kalau aku sedang buru-buru. Harusnya tidak ada perempatan didaerah ini, seharusnya jalan ini lurus saja, seharusnya jalan ini, seharunya Argh! Kampret! Kampret! Cepat hijau!
Tepat ketika lampu sudah berubah menjadi hijau, aku langsung menancap gasku. Mengejar ketertinggalan, seingatku sebelum aku terjebak lampu merah mereka masih terus berjalan lurus. Dan sialnya aku masih belum menemukan mereka walau aku sudah menarik gasku dalam-dalam. Ada sedikit rasa putus asa tapi kalau aku menghentikan langkahku, bisa saja aku tidak akan pernah melihat Ana kembali.
“Tidak, aku tidak boleh menyerah seperti ini.”
Aku masih mengambil jalan lurus semenjak aku bisa lepas dari lampu merah. Jalan yang aku lalui kini hanya jalan dua arah, tidak lagi seperti ketika masih diperkotaan. Terus aku bergerak lurus, hingga akhirnya sebuah keberuntungan aku dapatkan. Mobil yang aku cari sedang terjebak, dia tidak bisa melewati sebuah truk angkut. Ya sebuah keberuntungan, aku masih menemukan mereka. Arah yang mereka tuju kelihatannya memang daerah pinggiran.
Aku berjarak satu mobil dengan mereka, sebuah sedan berwarna putih didepanku. Aku memutuskan untuk tetap berada dibelakang sedan putih. Memang sedikit beresiko karena mereka tepat dibelakang truk, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melewati truk dan sedan putih masih tetap diposisinya, aku akan kehilangan mereka. Tapi tidak, aku harus tetap pada posisi ini, untuk menghindari kecurigaan.
Akhirnya iring-iringan mobil berhasil melewati truk yang bergerak lambat didepan, begitu pula aku. Aku terus mengikuti mereka. Ada sebuah keanehan, sedan putih ini seperti mengikuti mobil yang membawa Ana. Tapi kecurigaanku menghilang setelah mobil yang membawa Ana masuk ke sebuah jalan yang cukup untuk satu mobil dan sedan putih itu terus berjalan lurus tidak mengikuti. Aku berhenti sejenak dari kejauhan, menunggu jarak yang cukup untuk membuntuti mereka.
Cahaya matahari mulai larut dalam kegelapan malam. Aku mulai masuk ke jalan sempit itu. Sesaat aku berjalan, baru aku berjalan aku langusng menghentikan motorku. Aku lepas jaketku untuk menutupi lampu motor yang tidak bisa dipadamkan. Kalau saja aku memakai varitem, mungkin aku masih bisa mematikannya. Motor Andrew sudah “
light on”.
Walau ada sedikit cahaya motor yang keluar, aku hanya berharap tidak ada yang curiga. Aku mulai berjalan pelan. Berbekal cahaya rembulan yang tidak sempurna dan juga sedikit cahaya lampu motor yang masih menerobos disela-sela jaket. Kanan kiri jalan hanya pepohonan. Cukup lama aku berjalan hingga melewati pos penjaga hutan, tapi sepi tak ada orang didalamnya.
Dari kejauhan aku lihat sebuah cahaya yang tampak terang. Aku hentikan motorku dan kumatikan mesin. Aku dorong motorku, berjalan mendekat ke arah cahaya. Pelan, aku meminggirkan motorku dan kumasukan ke dalam semak-semak. Dari tempatku, aku bisa melihat sebuah rumah megah dengan gerbang yang dijaga oleh dua orang. Dua orang? karena memang yang terlihat hanya dua bayangan manusia yang berdiri didepan gerbang. Aku diam sejenak dan berpikir bagaimana caranya aku bisa masuk ke dalam sana? aku berfikir cukup lama membuatku semakin bingung.
“Eh... rumah itu adalah rumah yang berdiri ditengah hutan, jika saja aku tiba-tiba berdiri didepan mereka, pasti mereka akan curiga. Pasti mereka akan mengejarku. Ya mereka pasti akan mengerjarku, karena tidak mungkin ada orang selain kelompok mereka yang ada disini” bathinku
Aku melangkah keluar dengan langkah santai mendekati rumah itu. langkah kakiu semakin membuatku dekat dengan mereka, kurang lebih berjarak 10 meter aku diam.
“Uhuk... uhuk...” aku batuk agar menarik perhatian mereka. Serentak dua orang didepanku menoleh ke arahku. Mereka terkejut.
“Siapa kamu?” ucap satu orang dari mereka setengah berteriak.
Dengan hati-hati mereka melangkah mendekatiku. Tak berlama-lama, aku membalikan tubuhku dan langsung berlari menjauhi mereka, dan sesuai dugaanku mereka mengejarku. Dua kali teriakan dari mereka tak membuatku menghentikan langkahku. Aku terus berlari hingga ketika aku merasa sudah cukup jauh jarakku dengan rumah, aku menghentikan langkahku. aku membalikan tubuhku dan mereka langsung berhenti berlari.
“Siapa Kamu?!” teriak salah seorang dari mereka, tapi aku tak menjawabnya.
Tanpa banyak bicara mereka berdua langsung berlari ke arahku, melompat, melakukan tendangan. Aku menunduk, menghindari mereka. berbalik dengan cepat dan langsung menarik kerah baju mereka sesaat setelah mereka mendarat hingga jatuh terjengkang. Aku mundur dan memasang kuda-kuda lagi. Mereka berdiri, berbalik, masing-masing mengeluarkan belati.
Satu orang maju dan langsung menusukan belati itu ke arahku. Kumiringkan tubuhku dan kutarik tangannya dengan tangan kiriku, sedang tangan kananku menyikut wajahnya tiga kali. Tepat ketika pukulan ketiga, aku lepas tangan kiriku. Tubuhnya terhuyung dan langsung aku menendang tubuhnya hingga terjengkang ke ara temannya. Satu orang yang masih berdiri, melihat temannya aku jatuhkan, dia langsung berlari ke arahku. Menusukan belati ke arahku, aku masih bisa menghindarinya dengan memiringkan tubuhku. ku majukan sedikit kakiku hingga dia jatuh telungkup.
“Bajingan!” teriak orang yang pertama kali aku jatuhkan.
Kini aku berada ditengah-tengah mereka, satu di kananku dan satu dikiriku, masing-masing membawa belati tajam. Mereka berjalan kesamping memutar dengan putaran searah. Bodohnya aku, kenapa tadi tidak aku jadikan mereka di satu arah pandanganku? Sial! Tiba-tiba mereka bergerak cepat, dengan ujung belati menuju ke arah tubuhku dengan suara teriakan yang keras.
Aku mendekati salah satu dari mereka, menarik tangannya dan mengapit disela lenganku. Aku memposisikan diriku membelakanginya, dan kemudian aku ayunkan kakiku untuk menghantam satu orang lagi. Setelah satu orang terkena tendanganku dan bergerak mundur, orang yang berada di belakangku, aku beri hantaman siku tangan. Kembali aku pada posisiku, posisi dimana aku masih berada ditengah-tengah mereka. sial, aku lupa menarik pisau mereka.
Aura kemarahan dari dalam diri mereka bisa aku rasakan, tapi aku mencoba untuk tenang. memasang kuda-kuda dan membagi perhatianku kepada dua orang yang berada di sampingku. Sesaat setelahnya mereke bergerak dengan brutal, mengarahkan pisau ke arahku. Tak ada pilihan lain selain mnghindari mereka dan kemudian melakukan serangan. Dengan tenang aku mengambil satu langkah mundur.
Jleb... jleb...
Mereka menoleh ke arahku dengan wajah kesakitan. Tak mampu bicara lagi. Mataku terbuka lebar menyaksikan hal itu. Ketakutan itu mulai muncul lagi. Perlahan tubuh mereka berangsur turun hingga mereka berlutut. Aku terdiam, ketakutan-ketakutan itu muncul kembali. Ketakutan-ketakutan yang selalu tidak bisa aku kendalikan.
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh...
Seakan tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku melihat tapi tak mampu mengendalikan. Aku jambak rambut mereka dan ku tarik, ku lempar tubuh mereka ke dalam semak-semak. Sejenak aku berdiri menatap dua tubuh yang masih dapat aku dengar erang kesakitan mereka, yang mungkin sebentar lagi suara itu tak akan terdengar. Ku angkat kedua tanganku, ku llihat telapak tanganku ada sedikit darah yang terciprat. Ketakutan itu tumbuh begitu cepat.
“Ana,”bathinku menyadarkan aku , menghentikan ketakutan yang muncul.
Aku seakan kembali ke diriku, kembali sadar, kembali bisa mengendalikan tubuhku. Ana, ya, ada seorang perempuan, adikku, yang harus aku selamatkan. Aku tidak boleh terlalu lama disini. Tidak boleh terlalu lama. Aku langsung beranjak dari tempatku berdiri, belari ke arah rumah tengah hutan.
“Kenapa aku harus melihat kematian lagi? Kenapa... dan kenapa harus ada aku?”
Kata-kata itu terdengar jelas dikepalaku. Sangat jelas. Dalam setiap langkah, suara itu terdengar sangat jelas.
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh...
Kenapa? bunuh? Kenapa setiap kali aku berada dalam situasi ini kata “bunuh” selalu keluar. Bodoh, bodoh, masa bodoh! aku tidak peduli jika aku harus membunuh orang lagi. Ana lebih penting. Ana harus hidup atau aku akan menyesal seumur hidupku. Aku tidak boleh membiarkan Ana hilang dari kehidupanku. Tak boleh ada rasa belas kasihan untuk mereka yang menyakiti Ana.
Langkahku terhenti ketika aku sudah berada di depan gerbang rumah. Aku berjalan kesamping rumah, melompat pagar. Berjaga-jaga jika ada kamera pengawas yang mengarah ke gerbang. Berjalan mengendap hingga aku bisa berada tepat disamping rumah. Dengan langkah yang pelan aku mendekat ke arah jendela, terdengar suara yang samar. Mencari posisi yang tepat agar bisa mengintip melalui jendela. Saaat mataku melihat kedalam dari balik jendela, jantungku berdegup kencang.
“Ana!”bathinku
Tubuhnya setengah telanjang. Dua orang lelaki didepannya, menjamah tubuh bagian depan sedang yang satunya lagi berada dibelakangnya. Dan ada seorang lelaki yang duduk dengan dikelilingi perempuan-perempuan cantik dan seksi layaknya selir bagi lelaki itu. Ada beberapa orang yang juga menyaksikannya. Sesaat pemandangan yang baru saja aku lihat membuat sebuah bayangan masa lalu kembali. Sebuah bayangan yang sangat menyakitkan.
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh...
“Kenapa denganku?”
“Jangan pernah biarkan yang kamu sayangi pergi, Selamatkan mereka yang kamu sayangi!”
“Siapa?”
“atau kamu akan menyesal seumur hidupmu!”
“Tidak! Aku tidak ingin menyesal!”
Tanganku menggenggam erat. Sebuah spontanitas, aku mengambil langkah mundur, melihat sekeliling. Batu yang cukup besar aku ambil, ku genggam erat dengan amarah yang sudah mulai meluap-luap. Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dan melempar batu tersebut ke arah jendela.
Pyarrr!
Tak berselang dari bunyi kaca jendela yang pecah, aku berlari dan melompat. Menerjang jendela yang terbuat dari kayu. Sedikit terasa sakit tapi kemarahanku membuat semua rasa sakit hilang sejenak. Setelah mendarat di lantai aku berguling, meraih dua pecahan kaca yang cukup tajam dengan kedua tanganku. Tanpa selang waktu aku langsung berdiri dan berlari. Mata mereka memperlihatkan keterkejutan mereka. Pandangan ku arahkan ke dua orang yang berada didepan Ana, tahu aku berlari ke arah mereka, satu orang didepan Ana hendak bergerak menuju ke arahku.
Jleb...
Jleb...
Lemparan serpihan kaca tepat mengenai leher lelaki itu. dengan masih pada posisi berlari aku mengambil pecahan kaca yang lain. Kini arahku menuju ke satu lelaki yang dibelakang Ana. Saat posisiku semakin dekat, lelaki berkaos hitam itu mengarahkan pukulan tangan kanannya. Cepat aku menghindar dan mengarahkan pukulan tangan kiriku diwajahnya. Pukulan keras, ditambah dengan posisiku yang berlari membuat dia jatuh tersungkur. Cepat, aku bergerak mendekatinya dan ku sayatkan kaca dilehernya.
Dhuarr!!!
Dhuarr!!!
“BERHENTI!!!!” teriak seseorang, setelah terdengar dua kali suara tembakan.
Sempat terhenti sejenak, menoleh ke arah suara tembakan. Lelaki dengan dengan pistol yang mengarah ke atas. Tersadar, aku langsung bergerak sembari mengambil pistol dari celana lelaki yang baru aku sayat lehernya. Aku terus berlari disertai beberapa kali tembakan yang meleset tak mengenaiku. Sampai akhirnya aku berhenti dibalik sebuah pilar, duduk terdiam.
Hash hash hash...
“Keluar kamu!” teriaknya lagi. Lelaki itu terus berteriak-teriak, menurutku dia adalah Bos ditempat ini.
Dari tempaku bersembunyi aku bisa melihat adik kecilku, tangannya masih terikat ke atas. Dia menangis dengan mulut tertutup kain. Tidak aku hiraukan perkataan lelaki yang terus-terusan berteriak. Mataku terus memandangi Ana, memandangi peri kecil yang sedang tidak berdaya. Ku hela nafas panjang, ku alihkan pandanganku ke arah tembok didepanku.
“Keluar!”
Aku tetap tak bergeming. Masih berpikir bagaimana caranya aku menghabisi mereka. hanya aku dan satu pistol ditanganku.
“Oooo.. o... o... ya ya ya ya ternyata kamu kesini karena gadis ini ya? hm... hmmm... bagaimana kalau peluru dalam pistolku ini ku arahkan pada payudara bulatnya hmmm...” kata-katanya menyulut emosiku, sesaat itu juga aku bergerak hendak keluar dari persembunyianku tapi entah kenapa ada sesuatu yang menahanku.
“Hei, jika perempua itu mati... dan setelahnya hanya kamu dan aku yang hidup... aku pasti akan membuatmu mati dengan sangat menyakitkan...” ucapku, aku kemudian berdiri dan tetap dibalik pilar.
“Ha ha ha sombong sekali kamu ini, baru bisa membunuh dua orang anak buahku saja sudah berlagak. Lihatlah masih banyak disini yang akan membuatmu menangis!”
“Banyak? he he he... bilang saja kamu takut, karena yang aku lihat hanya ada tiga orang bersamamu.”
“Dasar Bajingan! Masih ada delapan orang anak buahku yang siap membunuhmu!”
“oh... delapan orang ternyata... berarti aku harus bergerak cepat! satu harus tepat sasaran, yang lain... pikirkan nanti!” bathinku.
Aku menoleh kembali ke arah Ana. Aura ketakuan berada disekelilingnya, ku balas tatapannya denan tersenyum, hanya untuk menenangkannya. Menenangkan dirinya untuk tetap tidak takut, walau sebenarnya aku juga tidak yakin.
“Jika kamu tidak keluar, kamu akan melihat gadis ini mati di depan matamu!”
Bunuh...
Bunuh...
Bunuh...
Aku berbalik, keluar dari persembunyianku. Satu tembakan lesakan dari pistol yang aku pegang sembari berlari keluar. Peluru tepat mengenai pistol ‘si Bos’. Sesaat setelah peluru keluar dari pistolku, satu pukulan keras menghantam lenganku. Satu tendangan menyamping tepat mengenai perut membuatku membungkuk. Satu pukulan kembali melayang di punggungku. Sial, Ternyata dibalik pilar ada seseorang yang sudah menungguku.
Aku langsung menarik mundur tubuhku, memasang kuda-kuda. Orang tersebut maju dan melancarkan serangan. Satu pukulan mengarah ke wajah, aku menghindar dengan sedikit menunduk, kemudian aku berikan pukulan
Upper-cut tepat didagu. Satu orang kembali muncul menendang punggungku, aku tersungkur ke depan, tapi aku langsung bisa berdiri. Memasang kuda-kuda kembali, menghadap ke...
Praakk!!!
Sebuah pukulan tepat dipunggungku untuk kesekian kalinya. Pukulan benda keras. Aku jatuh berlutut. Aku tak mampu menahan tubuhku, bahkan kedua tanganku pun tak mampu. Aku mulai kehilangan kesadaranku.
“Ha ha ha dasar bocah ingusan! Berani-berani kamu membunuh dua anak buahku... demi perempuan ini! sekarang kamu akan menyaksikan bagaimana perempuan ini menikmati surga Dunia ha ha ha...”
Suaranya samar. Aku tak bisa mendengar dengan jelas. Tubuhku jatuh kesamping, pandanganku mulai kabur wajah mereka sudah tidak terlihat dengan jelas. Samar aku mendengar tangis diantara tawa seseorang dari mereka. Kepalaku sedikit menengadah.
“Ana..”
“Aku tidak boleh mati disini... Ana butuh aku...”
”Dia memang membutuhkanmu.”
“Siapa? Siapapun itu tolong adikku!”
”Hanya kamu yang bisa menolongnya.”
“Tapi aku sudah tidak mampu lagi, Aku mohon selamatkan adikku”
”Kamu ingin dia selamat?”
“Iya... iya”
”Kalau begitu bangkitlah....”