Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Scene 30
Aku Harap



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia



Tok... tok... tok....

“Siapa sebenarnya pagi-pagi seperti ini bertamu?” bathinku sembari melangkah menuju pintu kontarakan.

Kleeek...

“Woi bro, watsap bro.”

“Hello Mai bro.”

Aku terdiam, terpaku. Melihat dua orang yang sekarang berdiri didepanku, iya berdiri dengan gaya yang tidak pernah aku duga sebelumnya kalau mereka akan menjadi seperti yang seakrang. Memang sederhana, tapi sangat berbeda dengan dandanan mereka sebelumnya. Samo dan Justi, kaca mata hitam menutup mata mereka. Bersedekap layaknya seorang penyanyi yang terkenal.

Waras? (sehat?)” tanyaku

“Sehat dong bro, gimana lu bro? Sehat?” tanya Justi

“Iya ini bro, dah lama gue gak ketemu sama elu bro, kangen,” sambung Samo.

“Sehat. Lha kowe-kowe piye? Sehat? (Lha kalian-kalian bagaimana? Sehat?)”

“Jelas sehat dong bro,” Jawab mereka berdua bersamaan.

“Oh, yo wis. tak kira, dapuran-dapuranmu rung ngombe obat. (oh, ya sudah. Tak kira, dapuran-dapuranmu belum minum obat)”

“Ah, lu gak gaul bro, gak gaul. Makanya bro, jangan Cuma kuliah bro,” jawab justi. Aku Cuma diam dan memandang Justi ketika dia berbicara.

“Anjaaaaay... malah diem aja lu, ayo bro masuk aja, ngobrol dalem aja gimana bro?” sambung Samo.

Anjay ki opo? (Anjay itu apa?)

Mereka berdua terdiam, saling memandang kemudian mereka menaikan bahu mereka, isyarat akan ketidak tahuan istilah yang baru saja mereka katakan. Aneh memang dua orang ini, datang-datang dengan dandanan yang menyilaukan mata tapi pas ngomong ndak tahu artinya.

Garik ngomong Asu wae kangelan to cuk! Malah meneng wae, sing siji koyo kethek ketulup sing siji koyo gajah kesogok silite, cempe! Ha ha ha ha ha.” (Tinggal ngomong asu saja kok susah to cuk! Malah diam saja, yang satu seperti kera kena tembak, yang satu seperti gajah ditusuk pantatnya, anak kambing! Ha ha ha ha.”)

Mereka diam dan kemudian mendorongku yang masih tertawa terbahak-bahak karena tingkah mereka. Aku masih tetap tertawa, sampai rasanya ingin menangis. Yah, mungkin kedengarannya aneh sekali ketika aku mengata-ngatai mereka. Didepan aku mengatakan mereka kera dan gajah, tapi dibelakang aku mengumat anak kambing. Aneh sih, tapi memang seperti itu dialog ndeso bersama mereka.

Justi, kelihatannya otak dia tidak selemot yang dulu. Samo kelihatannya lebih bahagaia. Sambil tertawa hingga akhirnya aku jongkok disamping pintu, melihat mereka duduk diruang pertemuan kami. mereka masih tetap diam dengan kacamata hitam yang masih menempel di mata mereka. Kelihatan sekali mereka kalau malu, jelas sajalah, niatnya mau bergaya ditanya malah diam.

“Ngombe opo? (minum apa?)” tanyaku.

“Kopi hitam manis,” jawab mereka bersamaan.

“Tumben do dolan mrene, kesambet setan opo? (tumben pada main, kesurupan setan apa?” tanyaku sambil berjalan ke arah dapur.

“Kangen bro, kangen,” jawab mereka bersamaan ketika aku sedang membuatkan kopi.

Kletek..

“Ki di ombe sek, (ini diminum dulu)” tawarku sembari duduk sedikit jauh dari tempat mereka duduk.

“Gayamu cuk, Bra-bro bra-bro tapi ngombene kok kopi ireng. Dasar dukun rak dadi! (gayamu kamu cuk, Bra-bro bra-rbo minumnya kok kopi ireng, dasar dukun ndak jadi!)”sedikit nyinyir ketika aku berbicara dengan mereka. siapa yang ndak nyiyir, mereka sudah benar-benar berubah.

“Lha lu kenapa duduk disitu?” tanya samo sembari mengangkat gelasnya, Justi juga.

“Ndak papa, cari angin.”

Sruptt.. Brrrrrrhhhtt... Juh juh juh juh juh juh...

Tawaku langsung pecah meliat tingkah mereka. Aku tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat Samo langsung memutahkan kopi yang mereka minum. Saking gelinya, aku sampai menangis melihat mereka. Sudah lama sekali aku tidak pernah mengerjai mereka. Tapi ada yang aneh sebenarnya.

Juh, kampret kowe Ar. iki kopi kok mbok kei uyah, maksudmu ki piye? (Kampret kamu Ar, ini kopi kok kamu kasih garam, maksudmu itu bagaimana?)

Aku tidak menjawab ucapan Samo, aku tidak bisa menjawab karena aku masih terus tertawa.

“Endak owk Sam, ini bukan garam,” ucap Justi langsung menghentikan tawaku. Kami berdua langsung memandang Justi. Benar-benar aneh ini Justi.

“Sabun sam, ini sabun cuci piring. Beneran, kamu coba dulu sam. Sabun ini bukan garam.”

Owalah juuuuuuus jus, utekmu ki ternyata isih keri ning tempik! (Owalah jus jus, otak kamu itu ternyata masih tertinggal di vagina)” teriak kami bersamaan.

Entah tetangga-tetangga mendengar atau tidak, tapi paling tidak mereka tidak mengerti maksud dari kata-kata kami. ah, Justi, masih sama seperti dulu. aku mengira roda gigi otaknya sudah berjalan tapi sayang kurang pelumas, jadi masih mandek. Aku kira dia akan memutahkan kopi buatanku tapi ternyata malah dia minum dan mencoba mencari tahu rasa kopi itu. memang sabun, aku kasih sabun cair dari tempat cucian. Semoga saja dia tidak mati hari ini.

Samo kemudian berdiri dan berjalan ke dapur. membuat kopinya sendiri, karena tidak percaya padaku kalau aku membuatkannya lagi. Maklumlah, namanya juga sahabat kental, dulu sekental sperma tapi sekarang sedikit encer. Itu yang aku rasakan.

Samo kemudian datang dengan dua gelas kopi, yang satu untuk justi. Mungkin dia tidak tega jika justi meminum racun buatanku. Masih pukul 6 pagi, ya mereka datang sangat pagi sekali. Walau sudah lama tidak bertemu, ada sedikit rasa kangen, hanya sedikit tak sebanyak dulu ketika mereka mulai sering menghilang. Cerita-cerita mereka mulai aku dengar, tak ada yang berbeda dengan cerita sebelum-sebelumnya hanya ada perbedaan saja di kehidupan sehari-hari mereka.

Janda, janda dan janda. Itu saja yang mereka ceritakan kepadaku, sesekalinya aku tanya masalah kuliah, mereka selalu saja menjawab dengan kata ‘beres’. Entah beres yang benar-benar beres atau beres dengan masalah dibelakangnya, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku sangat percaya dengan mereka, sangat percaya.

Tak lama kami mengobrol, karena aku sendiri ada kuliah jam delapan nanti jadi tidak mungkin aku menemani mereka terlalu lama. Kalau aku memaksa membolos, bisa-bisa aku kena sidang di kampus nanti, sidang oleh dua peramal. Lha mau bagaimana lagi? Semalam Desy sudah menyuruhku untuk berangkat, Winda marah-marah karena aku tidak masuk. hadeeeh. Tapi, untungnya saja mereka memang berniat Cuma sebentar kesini. Mampir. Karena tadi mereka baru saja mengantar ‘istri-istri’ mereka. kalau samo, ‘istrinya’ mau piknik. Kalau ‘istri’ Justi katanya mau ada acara bareng-bareng temannya keluar kota, jadi harus pagi-pagi.

“Kapan kalian kesini lagi?” tanyaku ketika mengantarkan mereka keluar kontrakan menuju mobil.

“I dunno bro, ayem sori. Kaling-kalingan aja ya bro, kalo lu kangen,” jawab Samo. Berubah lagi dialog dia, padahal pas cerita tadi dia sudah sedikit kembali ke yang dulu. begitu juga Justi, sama dengan Samo.

Jeglek... jeglek...

“Iya aku tunggu, semoga sukses!” ucapku semari mengacungkan jempol ke arah mereka.

Bunyi klakson dari dua mobil didepanku menjawab acungan jempolku. Pelan mereka mulai menghilang bersama dengan senyum bahagiaku ketika bertemu mereka. tak lama setelah mobil itu menghilang, aku kemudian masuk ke dalam kontrakan. Menyiapkan semuanya untuk berangkat kuliah. Bunyi pesan masuk di sematponku, menghentikan sejenak langkahku. Sambil mengangkat tas, aku membuka isi pesan yang ternyata dari Ainun.

Jangan nangis ditinggal sama temennya

Pengennya sih nangis, tapi karena ndak ada kamu, ndak jadi nangis

Sedikit melempar gombal ke Ainun, tapi jawabannya hanya emoticon lidah melet. Aku tersenyunm melihat jawaban dari Ainun. Aku berganti membalas, tapi yang aku dapatkan jawaban agar aku segera kuliah. ya benar saatnya berangkat kuliah, sudah jam 7 pagi. Bergegas aku berangkat kuliah.
.
.
.
“Curut!” teriak Andrew.

Aku melambaikan tanganku kearahnya. Setengah berlari aku mendekat. Andrew dan Helena, biasa mereka berdua memang selalu bersama.

“Halo Helena cantik, makin hari kok makin cantik saja?”

“Halo Artaaaaa...”

Plak!

“Auch...” teriakku mengaduh setelah tamparan lumayan keras dari Andrew mendarat di kepalaku.

“Bisa gak sih elu gak godain Helena melulu.”

“Sakit kampret, daripada Helen digoda cowok lain, mau kamu? mending yang goda a-aargghhh!!!”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, kakiku diinjak dengan sangat keras. Aku langsung berjongkok, sambil mengelus-elus kakiku. Saat aku melihat ke atas...

“Aduh maaf Arta, gak liat ada kakinya arta, jadi keinjek winda.”

“I-iya ndak papa Wind,” ucapku hendak bangkit. Winda ada didepanku tapi sedikit kekanan. Tersenyum memang bibirnya tapi rasanya bagaimana gitu.

Dugh..

“Auchh...”

“Eh, maaf Ar gak liat. Winda sih gak bilang-bilang kalau ada kamu, maaf ya.”

“Eh, umi maaf, Winda lupa kasih tahu Umi.”

“Sakit tahu Des,”

Baru saja dalam posisi setengah berdiri, tiba-tiba kepalaku seperti kena pukulan, setelah aku amati ternyata terkena sikut Desy. Jelasllah, yang dia elus-ngelus sikutnya. Aku berdiri membelakangi Andrew dan Helena.

“Terima kasih untuk kalian berdua, jadi saya, mengatasnamakan diri saya, Andrew sangat berterima kasih karena kalian telah memberikan pelajaran bagi laki-laki penggoda ini,” ucap Andrew dengan gaya sok formal.

“Kampret kamu ndrew, temennya sakit malah berterima kasih.”

“Lha salah elu sendiri ganggu-ganggu pacar gue he he he.”

“Eh maaf sudah dulu ya, kita mau ke kelas,” ucap Desy dengan wajah datarnya diikuti Winda menuju tangga naik ke lantai dua. Kami menjawab mengiyakan secara bersama-sama.

“Ar.”

“Ya len.”

“Kelihatanya mereka berdua suka sama lu deh,”

“Iya Ar, kelihatannya, cuma kelihatannya lho Ar. Masalahnya lu gak seganteng gue Ar, jadi ya cuma kelihatannya he he he.”

“Cuma perasaan kalian saja,”

“Andreeeeeeeeeeeew, Heleeeeeeeeeeeen cepetaaaaaaaaaaaaan, masa lupaaaaaaa!” teriak Winda dari tangga.

“Oh, iya, yang kamu duluan,” ucap Andrew yang memegangi pundakku. Aku tidak tahu sebenarnya yang terjadi tapi tiba-tiba...

“Sori Ar...”

Srrrk... Brughh...

Andrew yang memegang pundakku kemudian menarikku kebelakang hingga aku jatuh terduduk. Dia langsung berlari meninggalkan aku. sayang sekali, kalau saja aku lebih cepat seper sekian detik mungkin aku bisa meraih kaki Andrew. ah, sial, aku kesakitan lagi untuk ketiga kalinya. Sambil membersihkan pantatku, aku bangkit. Berjalan perlahan menuju ke kelas.

Sesampainya di kelas, semua mata memandangku dengan sangat datar. Bahkan ada yang hanya melirikku. Bukannya apa-apa, biasanya mereka kalau ada teman yang datang, paling tidak satu orang, pasti ada yang berteriak memamnggil. Sekarang, bahkan Andrew saja diam. Anehnya lagi, itu kenapa tempat duduk yang tersisa hanya baris depan saja? sedangkan mereka duduk mulai dari baris kedua. Di belakang sudah tidak ada lagi tempat duduk. Semua keanehan ini membuatku terdiam di mulut pintu masuk ruang kuliah.

“Mas, sampai kapan berdiri didepan pintu?” Aku langsung menoleh kebelakang ketika seseorang menyapaku.

“Eh, Pak, maaf... maaf pak maaf.”

Langsung aku duduk paling depan, di baris paling depan. Tak ada teman dan tak ada lawan disini. aku sendiri kurang tahu apa yang sebenarnya direncakan oleh teman-temanku. Tak ada suara hening, ketika dosen itu masuk dan berjalan menuju meja dosen. Baru setelah dosen menyapa para mahasiswa, terdengar suara keras dari mahasiswa lainnya, termasuk aku.

Mataku terus mengikuti dosen itu berjalan, dari dia meletakan buku dan tasnya hingga sekarang beliau berdiri tepat di depan para mahasiswa. Sedikit motivasi dan cerita dari beliau hingga akhirnya beliau mengingatkan mengenai hari kemarin. Bahwa hari ini khusus membahas soal dan kuis. Soal? Kuis? Aku kaget ketika mendengarnya, benar-benar aku sendiri tidak tahu. Dan setelah beberapa saat aku berpikir, sial, kelihatannya aku sedang dijebak oleh teman-temanku.

Setelah penjelasan dari dosen, beliau kemudian berjalan menujun papan tulis dan menuliskan soal. Memberikan penawaran kepada para mahasiswa untuk mengerjakan. Lama tak ada jawaban, aku sendiri melihat soal itu sudah bingung terlebih dahulu, makanya aku ikut diam.

“Masnya, kelihatannya anda sudah sangat siap sekali.”

“Eh, sa-saya pak?”

“iya, silahkan.”

“A-anu pak i-itu.”

“Ya pak, saudara Arta sudah siap pak,” teriak Andrew dari belakangku.

“Kampret! Aku dijebak!” bathinku.

“Silahkan mas,” ucap pak Dosen memberikan spidol kepadaku dan kemudian beliau kembali ke mejanya.

“Eh, a-anu pak ini tadi i-itu.”

“Ayo, sekarang.”

Ku garuk kepalaku, mataku terus melihat ke arah soal. Sial benar-benar aku tidak mengerti soal itu. Sejenak aku menoleh kebelakang, dan teman-temanku yang lain, cuek sekali. Benar-benar jebakan tikus yang mujarab. Dan aku yang kena jebakan itu, hadeh, curut itukan juga tikus. Jadi pas, pas banget. Sial!

Aku mendengus sedikit kesal, berjalan kedepan. Benar-benar tega semua, tidak ada satupun orang yang memberitahuku. Seandainya ada yang memberitahu, aku masih bisa belajar di kontrakan. Kalau mendadak seperti ini, siapa yang bisa coba. Susah lagi soalnya.

“Yang lain belum ada yang bisa? Kalau ada yang bisa saya kasih nilai tambahan.”

Kata-kata dosen tak ada yang menjawab, paling mereka menjawab dengan menggelengkan kepala. Perkiraan saja, malas menengok kebelakang, tak akan ada yang membantu. Hanya berbekal ingatan seadanya, maklum semalam begadang, aku mengerjakan soal pelan-pelan. Pelan yang bukan berarti mengerti, pelan yang berarti aku tidak bisa.

Hampir satu jam aku berdiri, dan hanya mampu mengerjakan dua soal. Soal terakhir aku sudah tidak mampu. Karena gugup dari awal, tak ada persiapan, ditambah lagi aku tidak belajar sama sekali. Wajar saja aku sudah tidak mampu berpikir di soal ketiga. Tapi beruntung di soal ketiga, Dosen menyuruhku duduk. ketika aku berjalan ke arah tempat duduk, Andrew, Johan, Irfan menahan tawa mereka.

Untungnya dosen ini bukan termasuk dosen killer, masih mau mengerti kemampuan mahasiswa yang sedang-sedang saja. beliau kemudian melanjutkan mengerjakan soal nomor tiga, soal pertama dan kedua sudah benar. setelah selesai menjelaskan, dosen baru memberikan alasan mengenai kesepakatan. Itu ternyata hanya sekedar kuis untuk mengeceka kemampuan mahasiswa dan ternyata...

“Hanya satu orang yang mengerti, kenapa yang lain tidak ada yang mengerti? Apakah bapak kurang jelas dalam menjelaskan?”

Semua terdiam, tak ada yang berani menjawab. Jelas saja tak ada yang menjawab, nada suaranya saja naik seperti orang yang sedang sedikit jengkel. Tapi susana kembali mereda ketika dosen mengajak kami bercanda. Ya, ada sedikit motivasi kepada kami para mahasiswa sebelum beliau akhirnya menutup perkuliahan.

Plak

“Untung ada elu, ha ha ha. yuk kantin!”

“Ndak pake mukul kepala napaaauuchh”

Prak

“Eh, aduh maaf Ar. Aku gak tahu kepalamu disitu, maaf ya?”

“Sakit tahu Des.”

“Arta gak ke kantin, yuuk ke kantin makan?” ajak Winda sesaat setelah pukulan tumpukan buku dari Desy. Dia masih duduk dibelakangku.

“Ya nanti aku susul.”

“Daaah Arta...” ucap Helena.

“Dadah Helena cantiiiik auuuchhhh...”

“Maaf Ar, gak sengaja. Winda gak tahu, maaf ya...”

Dua perempuan ini benar-benar membuatku sedikit jengkel. Kepalaku menjadi sasaran empuk pukulan mereka. setiap kali aku menggoda Helena selalu saja mereka bilang ‘maaf tidak sengaja’ terus dilanjut ‘gak tahu kalau kamu disitu’. Memangnya mata mereka tidak dipakai? Tadi pagi saja kelihatan sekali kalau disengaja, yang ini juga sama sangat disengaja. Baru saja Winda ngobrol masa biang gak tahu? Aneh.

Mataku beralih ke dua perempuan yang lain. Dini dan Dina. Seperti biasa, cuek si Dini, hanya melirikku dengan lirikan judesnya. Dina? Kelihatanya didalam matanya setiap kali memandangku ataupun melirikku, ada segumpal pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Dasar mereka berdua aneh, dulu saja bilang sayang-sayang sama aku. Iya sih, sayang bohongan.

Hufth...

Setelah semua keluar aku masih duduk didalam. Sejenak aku berpikir, jika saja aku ikut ke kantin pasti aku akan mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Aku pasti dilecehkan. Eh, kok tragis banget kata-kataku ya? endaklah, nanti saja mungkin aku akan menyusul mereka, tapi nanti menunggu saat yang tepat.

Sekitar 10 menit telah berlalu, suasana ruang kelas sangat sepi sekali. Aku masih duduk menikmati ruang kelas yang sudah aku tinggalkan satu hari kemarin. Ku putar tubuhku melihat situasi ruangan ini. Ternyata masih sama, aromanya pun masih sama. Dasar Edan, ya tidak mungkin berubah to Ar, cuma ditinggal 1 hari saja kok bisa berubah.

Trap.. trap...

Terdengan suara langkah seseorang, meskipun tidak begitu jelas karena di luar sana begitu ramai. Suara langkah kaki itu menyita perhatianku. Semakin lama suara itu terdengar semakin mendekat ke ruang dimana aku berada. Padnanganku tak pernah lepas dari pintu masuk karena aku yakin langkah itu menuju ke ruangan ini. Dina. Dia memandangku sejenak baru kemudian melangkah ke arahku. Melewatiku.

“Kenapa na’?” tanyaku sesaat dia sudah melewatiku.

“Ada yang ketinggalan.”

“Ooooh.”

Tak lama kemudian dia berjalan melewatiku lagi tanpa menyapaku, tapi aku bisa menangkap bola matanya yang bergeser ke sudut mata. Sama seperti diawal ketika dia melewatiku, ada yang aneh dengan matanya. Cara dia melirikku, itu yang membuatku merasakan keanehan. Dia seperti menyimpan sesuatu. Karena rasa penasaranku, aku terus melihatnya yang sedang melangkah menuju pintu keluar. Langkahnya yang semula cepat kemudian menjadi lambat dan berhenti tepat di mulut pintu. Menghela nafas panjang, kemudian dia menggeser tubuhnya dan bersandar di pintu. Matanya memandang tajam ke arahku. Ternyata benar ada yang ingin dia tanyakan padaku, seperti dugaanku.

“Ar,” aku balas jawabannya dengan tersenyum.

“Siapa lu sebenarnya?” pertanyaan yang aneh. Aku diam melihat raut wajah yang penuh dengan pertanyaan.

“Kok diem, jawab!”

“Aku adalah aku, aku ya teman kuliah kamu kan? Arta, yang dulu pernah dijadikan pacar bohong-bohonganmu?he he he”

“Serius tauk!”

“Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu? seperti seseorang yang sama sekali tidak mengenalku sebelumnya. Kamu sendiri sebenarnya sudah tahu aku sejak awal masuk kuliah, malam tahun baru, sampai sekarang. Ada apa?”

“Iya, kalo itu gue tau, Ar. Tapi kenapa elu seakan-a.. argh, Sebenernya apa yang elu lakuin ke Desy sama Winda? Kenapa mereka bisa seperti itu sama elu!” nadanya sedikit tinggi, tapi aku tetap tersenyum.

“Winda, aku sudah jelaskan dulu. Desy, bukannya aku memang dekat dengan Desy dari awal. Ya dekat karena ada yang kami bicarakan masalah perkuliahan,” jawabku santai. Dari pertanyaan-pertanyaan, otakku mulai berpikir, bisa saja Dina mengetahui sesuatu tentang aku di tempat yang lain.

“Terserah lu, Ar. Gue tanya bener-bener tapi elunya malah bercanda. Gue cuma heran saja sama elu, kenapa harus elu yang deket sama mereka? kenapa harus elu yang selalu ada pas mereka jatuh? Kenapa harus elu? Padahal ada banyak cowok disini dan itu kenapa harus elu!” pertanyaannya membuatku sedikit terkejut tapi aku tetap diam dan tersenyum kepadanya.

“Na’, kalau seandainya aku tahu jawabannya. aku pasti akan menjawabnya. Aku ndak tahu na’, kenapa itu semua harus aku. Jika aku boleh memilih, aku pasti tidak ingin berada pada kondisi dan situasi disaat mereka jatuh. Aku sendiri pun heran, kenapa harus aku? Padahal dulu, aku tidak ada keinginan sama sekali untuk berada disini. Tak ada sedikitpun”

“Masih bingung na’? apa kamu takut akan terjadi sesuatu pada mereka karena kedekatanku?” lanjutku.

“Ya, lu bukan dari sini, dan asal-usul lu pun gak jelas sama sekali. Lu datang dengaaann yah, culunmu, walau pada akhirnya elu buka jatidri lu. Tapi tetap saja, gue, tidak percaya sama elu!”

“Maaf kalau saat itu aku berdandan aneh, maaf...”

Aku memandangnya, wajahnya sedikit berubah. Dia membuang pandangannya ke arah luar ruangan.

“Jangan bawa mereka dalam masalah-masalahmu, mereka sudah seperti keluarga bagiku. Sejujurnya gue seneng liat mereka bahagia, mereka tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Dan ketika gue melihat semuanya...” Dina menghentikan kata-katanya dan memandangku dengan tajam. Aku diam.

“Ada elu disitu...”

“Ah masa sih? Masa aku? aku kan culuuun naaaa’ he he he” aku mencoba mencairkan suasana tapi kelihatannya memang gagal. Dia masi memandangku dengan sangat tajam, setajam silet.

“Jaga mereka,” lanjutnya.

“Hufth... Na’, Aku sudah berjanji pada mereka untuk menjaga mereka, bukan cuma mereka tapi semuanya. jika aku sudah berjanji, aku pasti akan menepatinya. Aku usahakan...”

Setelah kata-kataku, dia kembali membuang wajahnya keluar kelas. Suasana menjadi sedikit hening. Tak ada percakapan diantara kami berdua. Keheningan yang mampu membuatku mendengar desiran angin yang masuk ke dalam kelas. Benar-benar hening. Kuilhat dia menghela nafas panjang, hendak membuka percakapan lagi.

Aku menumpuk kedua tanganku diatas kursi meja. Meletakan kepalaku dan kumiringkan ke arahnya.

“Sejujurnya, aku sendiri bingung. Kenapa harus aku? Aku mengira itu semua kebetulan tapi mungkin orang lain memandang itu kesengajaan, tapi mau bagaimana lagi? Setiap kali sesuatu terjadi, entah kenapa, aku berada di posisi yang dekat. Aneh kan?” masih hening, dia tidak menoleh sedikit pun.

“Aku juga tidak tahu, kenapa harus aku? kenapa tiba-tiba mereka, Desy sama Winda, memintaku untuk menjaganya, memintaku untuk menjaga yang lain. Aku tidak tahu. Itu selalu yang selalu Winda dan Desy ucapkan berkali-kali kepadaku. Padahal aku bukan apa-apa, menjaga seseorang bahkan banyak orang itu sulit tapi itu yang mereka minta kepadaku. aku tidak tahu...”

Dia menoleh ke arahku...

“Kalau begitu, tepati janji itu.”

“Pasti,” jawabku sembari bangkit, entah kenapa perasaanku mengatakan aku harus segera menghentikan percakapan ini.

Aku melangkah menuju ke arahnya. tersenyum tapi tak ada balasan senyuman darinya. Dia membuang muka, memandang ke luar kelas.

“Berjanjilah...”

“Jujur saja na’, aku bingung dengan pertanyaanmu yang tiba-tiba. Jika kamu memang mengetahui tentang aku katakan saja, jika kamu ingin tahu tentang aku dariku. Ya ini, aku mahasiswa yang kuliah bersama denganmu.”

“Terserah, gue cuma heran!” ucapnya mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku mejawabnya dengan menaikan bahuku.

“Sudah kan na’? masalahnya aku lapar, mau ke kantin he he he,” dia mengangguk pelan ke arahku.

Aku mulai menjauh darinya menuju ke tangga turun...

“Suatu saat nanti, pasti gue bakal tahu siapa elu, Ar!” sedikit keras ucapannya.

Aku berheti ketika mendengar kata-katanya. Perasaanku menjadi sangat gugup. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, seakaan dia mengetahui sisi lainku. Mengetahui apa yang aku lakukan diluar sana. Sejenak aku menghentikan langkahku, kemudian membalikan badan.

“Jika seseorang yakin padaku, aku akan tetap disini. jika seseorang ragu padaku, aku akan pergi. Tapi tenang saja na’, aku usahakan semuanya untuk menjadi baik seperti saat sebelum aku datang ke tempat ini,” Jawabku tersenyum, tapi dia masih memandangku dengan pandangan keraguan.

Aku melanjutkan langkahku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa mengatakan hal itu kepadanya. Tapi memang, jika seseorang ragu pasti sesuatu yang dia ragukan akan menghilang, begitu juga sebaliknya. Masih aku berpikir apa yang baru saja aku katakan tapi kemudian pikiran itu aku buang jauh.

Aku melanjutkan langkahku, tiba-tiba saja aku merasakan ada aura yang sudah sangat aku kenal. Ya, ini adalah aura Ibu, tapi mungkin ini adalah perasaanku saja. Aku kembali melanjutkan langkahku, turun kelantai satu dan menuju ke kantin. Aku ambil rokok dan kusulut untuk menemani perjalananku ke kantin.

Trap trap trap... brughh...

“Aduh na’, rokokkuuuu, argh”

“Sori!”

Sial! Dina tiba-tiba turun tergesa-gesa dan menabrakku. Rokokku jatuh lagi, apa dia tidak tahu betapa berharganya satu batang rokok? Kampret, jatuhnya di selokan lagi. Aneh memang itu perempuan. Segera aku melanjutkan langkahku menuju kantin. Meninggalkan kekasihku yang tergeletak di selokan.

Seperti biasa, ramai. Dan memang benar, aku dijebak oleh mereka. Tak henti-hentinya mereka menertawaiku. Sampai-sampai meja kami menajdi pusat perhatian para mahasiswa lainnya. Tapi tak berlangsung lama, aku masih bisa membalasa mereka, ya dan sedikit menggoda. Tapi, kali ini aku tidak berani menggoda Helen, takut kena pukulan ‘maaf gak sengaja’ atau ‘gak tahu kalo kamu disitu’. Alasan terbaru yang sering membuat aku menjadi bahan sasaran kekerasan dari Winda dan Desy.

Bercanda seperti biasa, walau sekarang lebih hati-hati. Menikmati setiap detik waktu bersama mereka, memang menyenangkan walau terkadang pikiranku kembali ke suasana di Villa itu. Bukan kejadiannya tapi suasananya, lebih dingin dan setiap udara yang mengalir lembut disana bisa membuat berdiri bulu kuduk. Kalau disini, panas walau tidak begitu menyengat dan tentunya ada kebahagiaan disini. ya mereka, sahabat-sahabtku, tak terasa sudah dua tahun lebih aku bersama mereka.

Pemandangan mereka sedikit masih sama, walau ada yang berbeda sedikit. Burhan, seperti orang tertekan saja. Dina? Seperti baru saja lihat hantu, tertawanya saja tidak selepas seperti biasanya. Dini sekarang sedikit sibuk dengan sematponnya hampir sama dengan Salma. Walau begitu, masih bersama mereka saja sudah cukup membuatku bahagia. Apalagi tadi pagi aku kedatangan tamu tak diundang, seekor kera dan seekor gajah. Inilah kebahagaiaan, walau sementara.

Hufth...

Sementara, karena kami harus kembali lagi pada rutinitas. Kuliah. Hal yang kadang menyenangkan, kadang pula membosankan. Tak perlu dijelaskan tapi memang kalau kuliah siang sedikit membosankan. Banyak yang berubah mirip kudanil, mulutnya sering menganga. Termasuk aku. ha ha ha... lebih baik aku memperhatikan dosen terlebih dahulu dan tak perlu aku ceritakan isi perkuliahannya. Karena membosankan.
.
.
.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaak.”

“Ana?”

Aku berada di jalan keluar gedung menuju tempat parkir. Semua temanku sudah keluar dari kelas dan ‘berlari’ menuju tempat parkir, mungkin sudah merasa bosan melihat gedung kuliah. Ku sulut Dunhill untuk menemani langkahku menuju Varitem. Baru saja aku menuruni beberapa anak tangga tiba-tiba saja Ana berteriak dan berlari kearahku. Memeluk tanganku dan mengusap-usapkan rambutnya di lenganku.

“Sudah selesai kuliahnya?” dia mengangguk cepat.

“Pulang sama siapa?” tak menjawab dia langsung menarik lenganku agar kepalaku turun dan kemudian berbisik.

“Paman Bobo,” bisiknya.

“Yaelah, Pakai berbisik segala.”

“Tuuuuh.”

Jari telunjuknya menunujuk ke arah belakang tapi dia tetap dalam posisi memelukku menghada ke depan. Aku menoleh ke belakang, disana ada Desy. aneh sebenarnya, bukannya dia sudah keluar terlebih dahulu. Apa mungkin dia ke kamar mandi dulu? tapi setahuku dia waktu dia ngobrol aku dengar dia akan diantar sama Winda.

“Aku duluan ya kak, hati-hati kelihatannya mbak Desy mau...”

“Eh, mau apa?” aku langsung menatap mata adikku yang menyipit karena senyum bibirnya.

“Hi hi hi... hati-hati hi hi hi”

Dia langsung melepaskan pelukannya, berlari ke arah Bobo yang entah kapan sudah berada disamping mobil. aku hendak melambaikan tangan ke arah Bobo, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin yang dibelakangku menanyakan banyak hal. Setelah Ana masuk, bobo membungkukan badannya kearahku dan kubalas dengan perlakuan yang sama. Bobo kemudian masuk dan mobil itupun menghilang dari pandanganku dengan aku masih berdiri di posisi yang sama.

Trap... trap...

Aku letakan pantatku, karena kelihatannya tidak mungkin kalau aku meninggalkan tempat ini tanpa...

“Adikmu riang sekali ya, bahagia ya ketemu kakaknya?” setengah menoleh aku melihat Desy.

Tanpa pertanyaan dari peramal. Dan benar bukan, dia bertanya.

“Hufth... ada yang ingin kamu tanyakan Des?” jawabku sembari melontarkan pertanyaan kepadanya. Aku kembali memandang ke area parkir yang mulai sepi.

“Kelihatannya kamu kenal akrab sama yang ngantar adik kamu itu. Bener kan?”

“Des, kamu itu ditanya ini jawabnya malah balik tanya, tidak searah lagi.”

“Bukannya kamu dulu yang mulai, tanya ini malah jawab tanya itu? dan bukannya aku sudah bertanya sesuai dengan yang kamu katakan, Suruh bertanya?”

“Iya iya iya... aku salah, kamu benar... dasar perempuan maunya selalu benar.”

“Emang. Coba aja kalau perempuan sudah mulai salah, kiamat itu artinya.”

“Huh.”

Ku dengar tawa kecil dari bibirnya yang menemaniku di kesepian tempat parkir. Dia kemudian duduk, menarik sedikit tubuhnya kedepan. Tapi anehnya dia diam, aku menoleh ke belakang dia membalas pandangan mataku dengan senyumannya.

“kok malah senyum Des?”

“Enggak sih Cuma mau bilang, adik kamu itu cantik banget. Pasti seneng dong cowok yang jadi kakaknya” ucapnya sembari menarik duduknya lebih dekat ke arahku. Sangat dekat.

“Em..”

Plak!

“Argh... sakit Des!”

“Dasar mesum, bisa gak sih gak mikir mesum sekali saja.”

“Lho aku kok malah bingung to Des?”

“Kamu mau bilang ‘itu’ kan gara-gara aku geser dudukku terus nempel dikit di lengan kamu?”

“Haduh, kepagian mbak, makanya kalau ngopi sekalian yang jauh mbak, banyakin juga kopinya biar kenthe; jangan cuma gulanya hadeh... itu tadi aku mau bilang ‘emang’ ngikutin gaya kamu waktu jawab tadi. hadeeeeh yang mikir mesum sebenarnya siapa coba?” aku bangkit dan membersihkan celanaku.

“Ih, gitu aja marah, maen langsung pergi aja. Emang mau kemana?”

“Pulang, masa jaga tempat parkir.”

Aku terus melanjutkan langkahku. Dia kemudian bangkit dan mengejarku, menarik lenganku dengan sangat kuat, hampir saja aku terjatuh. Saat aku membalikan badanku ku lihat wajahnya sedikit jengkel.

“Ada apa Des?”

“Huh, Ditemenin malah pergi.”

“Lah, kan mau pulang akunya Des? Kamu juga kan?”

“Iya mau pulang juga.”

“Mau dianter?”tanyaku, dia langsung mengangguk dan tersenyum.

“Ooo bilang dong, bentar aku tak keluar dulu, aku carikan tukang ojek atau taksi ya? mereka siap nganter kok.”

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh!!!!!”

Itu tadi aku yang teriak, bukan Desy. Dan pastinya laki-laki tahu jawaban dari seorang perempuan yang mendapat jawaban seperti jawabanku. Ya biasalah, “gak peka”. Peka? Peka terhadap ranngsangan? Iritabilita? Haduh, putri malu saja harus kena setuhan baru dia kuncup, lha ini? Sudahlah... panjang kalau dibahas.

Cubitan, iya cubitan kerasnya dilengan membuat seorang mahasiswa menjadi tukang ojek dadakan. Huh, sakit. Masih bagus kalau cubitannya itu cuma dicubit, tapi kalau di cubit dan langsung di plintir? Sudah sakit, pakai banget lagi. Eh, kenapa sekarang aku banyak mengeluh ya? sudahlah... masa bodoh.

Seperti sebelumnya melewati gang-gang sempit. Sedikit nyinyir dalam hatiku, tapi nempel sedikit saja namparnya keras sekali. Ini nempel banyak malah ditempel-tempeli. Bener-bener aneh ini perempuan. Dia memelukku sangat erat, saat aku melewati gang-gang yang mulai sepi. Teriakan-teriakan para bocah lambat laun mulai tak terdengar.

Sesekali aku mengajaknya bercanda. Mengajaknya untuk bercengkrama selama perjalanan menuju kosnya, agar tidak terasa hambar perjalanan ini. Sesekali dia menjawabnya dan lebih banyak mengacuhkan pertanyaan-pertanyaanku. Jujur saja aku senang ketika dia memelukku erat, tapi kalau diam seperti ini aku merasa ngantuk sekali. Sudah tidak bisa merokok lagi, hufth. Dan suasana yang membuatku lebih merasakan ngantuk ini terus berlangsung sampai tiba di kosan Desy.

Sesampainya di kos dia turun dan berdiri disampingku. Melihatku seperti... eh, tapi kenapa rasanya beda ya? tatapan matanya.

“Temani aku,” lirih dengan sedikit menunduk.

“Lah?”

“Dikos sepi, pada pergi semua. Yang dikos aku sendiri, takut.”

“hufth... kenapa harus aku?”

“Kamu kan sudah janji.”

Rasanya ada yang aneh dengan sikapnya. Sedikit berbeda. Cara bicaranya juga berbeda. Aku kemudian turun dari motorku, berjalan melewatinya.

“Iya aku temani tapi...” sembari setengah membalikan badanku.

“Tapi apa?”

“Kamu kaya Winda, jelek tauk he he he” jawabku menirukan gaya orang sekitar.

Dia menghela nafas panjang. Bersedekap dan memandangku dengan senyumnya. Manis sekali kalau melihatnya tersenyum. Sama manisnya dengan Winda dan Ainun. Jadi adem, kalau lihatnya.

“Nah gitu...”

“Iya... dasar”

“Auch...”

Dia berjalan mendekat sambil mencubit lenganku dan terus melewatiku. Cepat aku susul, berjalan disampingnya. Sesekali aku mengajaknya bercanda. Dan benar, dia sudah kembali lagi. Kembali seperti Desy yang aku kenal.

“Tikus!!!!” teriakku sambil menunjuk ke arah bawahnya.

“Aaaaaaaaa... takut... takuuuut...” teriaknya. Kedua tangannya menggenggam, matanya terpejam.

“Ha ha ha ha, dasar penakut” tawaku sambil berjalan meninggalkannya.

Srrk...

Tiba-tiba dia sudah ada disampingku, memeluk lenganku erat. Tak ada pukulan? Aneh memang. Mataku melirik ke arahnya, dia hanya diam dan matanya tertuju kedepan. Berjalan bersama menuju ke kamarnya. Sesampainya di dalam kamar kos Desy, baru saja aku masuk, aku sudah merasakan perasaan yang nyaman. Merasa seperti masuk ke dalam rumah sendiri, tapi mungkin aku yang merasa lebay. Aku masih berdiri memandang isi kamarnya.

“Kok diem disitu? Mau makan?”

“Iya Des...” ucapku sembari mengangguk.

“Kopinya nanti saja ya,” ucapnya sembari melepas kerudung yang dia pakai.

Terlihat sekali lekukan tubuh atasnya sekarang. Haduh, ngeres lagi. Dia kemudian berdiri mengahadapku. Memandangku. Mata kami saling beradu, dan senyumannya mengakhiri semua itu. Setelahnya dia mendekat. Tepat ketika dia berada disamping hendak melewatiku, dia berhenti.

“Oh ya Ar, ntar malam disini saja ya. Berangkat dari sini saja besok,” lirih tanpa menoleh sedikitpun.

“I-itu a-anu Des...”

Aku mencoba menolak tapi tak bisa ketika satu tangannya memeluk lenganku. Kepalanya bersandar di lengan. Aku hanya bisa menahan nafas. Terdiam sejenak, kemudian dia mengangkat kembali kepalanya.

“Terima kasih,” dari sudut mataku aku bisa melihat dia tersenyum walau dia tidak menoleh sedikitpun.

Kembali dia berjalan keluar menuju dapur. Langsung aku keluarkan nafasku. Lega banget rasanya. Sial, tadi rasanya seperti bagaimana begitu. Apa Desy sedang ada masalah? Tidak seperti biasanya. Baiklah mungkin dia memang butuh teman.

“Ar!” teriaknya, aku langsung bergerak dan keluar dari kamar tepat didepan pintu.

“Iya Des?”

“Nanti malam kelihatannya terang, pasti banyak bintang,” ucapnya tersenyum.

“Eh, iya.”

Aku membalas senyumnya. Senyum malaikat yang bisa membaca pikiranku. Mungkin dia sedang membaca pikiranku. Masa bodoh, lebih baik aku masuk dan nonton televisi sembari menunggunya kembali ke kamar. Ya, menunggunya. Menunggu apa saja yang akan dia katakan dari hasil meramal.
 
Terakhir diubah:



“Na’, lu kenapa sih? Aneh banget? Lagi banyak pikiran?”

“Na’..”

“Dina!!!!”

“Eh, i-iya Din, iya Din.”

“Lu kenapa sih?”

“Enggak, enggak kenapa-napa.”

“Kalau enggak kenapa-napa ya cepetan jalan, dari tadi aku masuk mobil kamu dieeeeem terus. Ini aku sudah beli camilannya.”

“I-iya Din, hi hi hi sori, sori.”

“Kalau lu ada masalah cerita aja napa?”

“Gak ada, masa Dina punya masalah hi hi hi.”

“Sok-sok’an lu, mulut lu aja bilang gak tapi otak lu, sikap lu sejak tadi habis kuliah beda tauk!”

“Hi hi hi... Dini perhatian deh, sini Dina cium.”

“Dinaaaaaaaaaaaaa! Ogaaaaaaaaaaaaaaah!”

Bahaya, Dini tahu kalau aku sedang banyak pikiran. Daripada dia nanya terus dan ngomel terus mending aku buat santai dulu saja suasana. Aku jalankan mobil sambil mengajaknya bercanda. Kata dia sih, kelihatan banget dari sikapku. Apalagi kalau pas diajak ngobrol sering melamunnya. Hufth, ini semua gara-gara si curut itu, buat aku jadi seperti ini. Lebih baik aku melupakannya dulu, takut kalau keceplosan. Sekarang fokus nyetir sama goda Dini saja.

Selama perjalanan menuju Kos, aku masih bisa mengalihkan pertanyaan-pertanyaan Dini ke hal yang lain. Gampang sebenernya kala mengalihkan perhatian dia, tinggal ajak ngomong saja tentang si Gama, temennya mas Sandy. Pasti deh dia langsung cerita sana-sini tentang cowok idamannya itu. hi hi hi...

“Akhirnya sampai juga! Capeeek!” teriakku sambil merebahkan tubuhku di atas kasur mepuk kamar kos.

“Eh, Na’ mandi dulu sana, malah tiduran.”

“Ah males, lu aja dulu.”

“Gue ntar, mau main ke kamar sebelah. Lu ikut gak?”

“Ngapain?”

“Makanya pikiran itu difokusin, jangan ngelamun terus tauk!”

“Eh, emang ada apa sih?”

“Bodo amat, kalau mau tahu ya ikut, kalau gak ya sudah. Gue tinggal dulu.”

“Iyaaa, ntar gue dikasih tahu ya hi hi hi”

Setengah menoleh dia membalas dengan juluran lidahnya dan keluar kamar meninggalkan aku sendiri. langit-langit kamar sekarang yang menemaniku. Kupejamkan mataku mengingat kejadian tadi setelah ngobrol bareng Arta. Aneh siapa sebenarnya tadi itu?

oOo

Setelah dia ngomong didepanku dia melangkah menjauhiku. Dari semua yang dia katakan sebelumnya seakan-akan dia memiliki kehidupan lain selain disini. itulah yang membuatku semakin penasaran.

“Suatu saat nanti, pasti gue bakal tahu siapa elu, Ar!” aku berteriak ke arahnya.

Tiba-tiba dia berhenti. Sepertinya dia gugup. Sama seperti sebelumnya, dia sedang menutupi sesuatu. Apa mungkin dia adalah orang yang berbeda diluar sana? tapi selama ini aku melihatnya biasa-biasa saja. kalau memang biasa-biasa saja kenapa dari tadi dia tampak seperti orang yang ketakutan ketika aku melontarkan pertanyaan pertamaku?

Dia kemudian membalikan badannya, menatapku dengan senyum. Aku gak ngerti apa yang sebenarnya dia pikirkan.

“Jika seseorang yakin padaku, aku akan tetap disini. jika seseorang ragu padaku, aku akan pergi. Tapi tenang saja na’, aku usahakan semuanya untuk menjadi baik seperti saat sebelum aku datang ke tempat ini,” Jawabnya dengan senyum tersenyum. Aku sedikit terkejut dengan kata-katanya, terlalu menakutkan bagiku, namun tetap saja masih ada keraguan dalam diriku.

Dia melanjutkan langkahnya kembali. Aku masih terdiam memandangnya berjalan menjauh dariku.

aaaaaaa“Percayalah padanya. Yakinlah...”

Sosok bayangan seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang Arta, terlihat jelas dimataku. Dia tersenyum dan mengatakan sesuatu. Kedatangannya benar-benar membuatku terkejut. Aku sedikit syok ketika melihat bayangan itu. Senyumnya, wajah manisnya, membuatku terpaku. Wajahnya mirip dengan seseorang yang pernah aku temui sebelumnya tapi kalau dia seseorang itu tidak mungkin dia mengenakan pakaian adat. Ya aku pernah melihatnnya.

aaaaaaa“Dia juga akan menjagamu, dan menjaga semuanya.”

Aku lihat Arta terdiam sejenak dan kemudian melanjutkan langkahnya kembali. Seiring langkah Arta yang menjauh, bayangan wanita itu ikut menghilang. Semakin jauh Arta melangkah bayangan itu menghilang. Setelah bayangan itu hilang, langsung aku berlari menuju kantin, tak kuhiraukan Arta yang tertabrak olehku.

oOo

aaaaaaa“Percaya padanya. Yakinlah. Dia juga akan menjagamu, dan menjaga semuanya.”

“Hah!!!”

“Kenapa? kenapa aku mendengar suara itu lagi? Dimana?”

Aku bangkit. Ku lihat sekitar kamarku sepi sekali. Aku duduk dan kupegang kepalaku. yang baru saja terjadi bukan ingatanku tapi terdengar sangat nyata sekali. Sangat nyata. Baru saja aku mendengar kata-kata yang aku dengar tadi pagi. Tapi siapa yang mengatakannya. Apakah wanita yang tadi pagi muncul dibelakang Arta?

Arta, saat tadi aku melihatnya terdiam sejenak setelah kehadiran bayangan wanita dibelakangnya. Dia sempat terdiam sejenak, apakah dia merasakan kehadiran wanita itu. tapi kalau dia merasakan kehadiran wanita itu, kenapa dia melanjutkan langkahnya seakan tidak peduli dengan kehadiran wanita itu. Sosok wanita itu juga, aku pernah melihatnya. Mirip tapi aku lupa dimana. Uh! Kenapa setiap kali aku memikirkan si curut itu selalu saja ada yang aneh dengannya.

“Lebih baik nyusul Dini. merinding jadinya”bathinku.

Setelah tiba dikamar sebelah, suasana menjadi sangat ramai dan memberikan aku ketenangan. Biasalah curhat-curhat adik kos sama mbak kos. Akhirnya aku larut dalam kesedihan dan keriangan mereka. Masa bodoh dengan pikiranku yang tadi, sekarang saatnya bersama mereka. Setelah lelah dengan obrolan, aku dan Dini kembali ke kamar. Bergantian kami mandi, saat aku selesai mandi kudapati dia sudah tertidur pulas. Padahal aku ingin ngobrol bersamanya.

Secangkir teh hangat menemaniku malam ini. Duduk di depan kamar kos, menikmati suasana kos yang semakin sepi. Bintang-bintang juga bersinar dengan terang. Sangat terang. Kuhabiskan secangkir teh hangat, sembari memandang bintang-bintang itu, indah sekali. Setelah puas, aku bangkit tapi ketika aku melihat kedepan. Tiba-tiba sosok wanita itu muncul, masih dengan pakaian yang sama. Dia duduk didepan kamar kos temanku.

aaaaaaa“Dia akan menjagamu, yakinlah.”

“Be-benarkah?” tanyaku, entah kenapa tiba-tiba bibirku berani bertanya.

aaaaaaa“Benar cantikku”

Seketika itu bayangan itu hilang perlahan. Aku masih terpaku menatap kamar kos temanku, masih terdiam. Bayangan yang benar-benar sungguh nyata, dia menjawab pertanyaanku. Itu bukan halusinasi, itu juga bukan fatamorgana. Apakah dia hantu? Hantu yang selalu menemani Arta kemanapun dia pergi? Tapi siapa dia? Kenapa dia mau menemani Arta? Dan kalau dia Hantu, kenapa aku tidak merasakan hawa dingin atau merinding ya?

Tak ada rasa takut, hawa malam ini tiba-tiba begitu hangat setelah kehadiran sosok wanita cantik itu. Perasaan ku mulai tenang ketika merasakan suasana malam. Ku teguk habis secangkir teh hangat, lalu aku masuk ke dalam kamar kosku. kulihat perempuan cantik yang selalu menemaniku, kadang iri dengannya, kenapa dia bisa secantik ini ketika dia tidur ya? kadang kalau tidak pakai riasan saja dia cantik, sedangkan aku? Huh... jengkel deh, hi hi hi. Mau iri atau enggak, yang jelas dia salah satu perempuan yang tahu aku. aku tidur, dan kupeluk erat tubuhnya. Jadi horny hi hi hi.

Menjagaku, mejaga lainnya?
benarkah? tapi dia menjawab benar,
Apakah mungkin dia akan menjagaku juga?
Menjaga perempuan yang selama ini selalu marah-marah kepadanya?
Aku harap, jika benar, dia juga menjaga Dini
Tidak hanya aku, Desy dan Winda
Tapi
Siapa sebenarnya dia? Seakan dekat...
 
Terakhir diubah:
Mantap mas Don Alit.. aku pengagum cerita mu..
Jarang muncul, sekali muncul langsung menggebrak nih...
Aku wis ora sabar e mas...
Mugo mugo RL ne lancar yo mas...
 
Sik sik to gan, sak durunge diupdate tak moco update terakir wingi..... Ben feel e nyambung. Yen perlu update terakir dicopas lg trus lanjut update gan..... Monggo kopinipun diunjuk sinambi nyumet udut...
 
eh ehh.. cerito e di buka maneh?
waaahh.. sungkem disek lah :ampun:
assiikkk laahhh.. siap2 marathon lagi, biar feel nya dapet lagi..
lanjut om :semangat:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd