“Aku sudah bilangkan...”
Aku mematung didepan pintu. Melihat seorang perempuan dengan kerudung menutupi sebagian tubuhnya. Kaosnya, jika aku tebak sedikit rapat dengan tubuh dengan roknya terurai dibawah kaki yang menyilang. Ah, lupakan apa yang sedang dia pakai. Karena tidak penting untuk saat ini, yang kulihat jelas adalah ekspresinya. Tangannya menyangga dagu, pipinya sedikit menggelembung. Yang aneh, pandangan matanya lurus ke depan, seakan tak peduli dengan kedatanganku.
Ada sedikit keanehan lagi, tentang kalimat yang baru saja dia ucapkan. ‘aku sudah bilangkan?’ itu sebenarnya mengacu pada kalimat yang mana? Bukannya aku baru saja datang dan dia belum mengatakan sesuatu kecuali kalimat yang baru saja dia ucapkan. Dahiku berkrenyit. Aneh...
“Maksudnya?” kataku menyambung kalimatnya
“Huh...” dia memalingkan wajahnya. Terlihat jelas dia sedikit jengkel, marah atau mungkin kesal denganku.
“Boleh aku masuk”
“Masuk tinggal masuk, ngapain izin segala”
Benar apa yang sedang aku pikirkan. Dia sedang merasa kesal. Kalau kesal karena aku, apa yang baru saja aku lakukan?
“Ya kali saja langsung suruh pulang ke kontrakan”
Sedikit aku bercanda untuk mencairkan suasana. Barangkali saja dia bisa berubah terus wajahnya jadi tambah ceria tapi sayang, tak ada perubahan sama sekali dari raut wajahnya. Mendung tapi lebih tepanya cerah berawan, kalau mendung sudah gelap, yang ini beda walau berawan tapi tetap kelihatan masih terang.
Ku ayunkan kakiku ke kursi disampingnya, tempat dimana wajahnya bisa aku lihat dengan jelas. Selang beberapa saat, baru saja aku duduk, saat mataku bertemu dengan matanya lagi, wjaahnya kembali lagi menghindar. Aku terus memandangnya, bukan berlaku bodoh tapi jujur saja aku bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Setengah menoleh ke arahku, bola matanya tepat berada disudut mata dimana dia bisa melihatku. Ku lempar senyum namun di balas dengan dengusan dan membuang muka dariku.
“Huh...”
Kembali terdengar kata yang menunjukan kekesalannya. Nadanya pelan, tapi sangat jelas aku dengar, menyuruhku membuka watsap di sematpoku.
“Sudah ku buka tadi sebelum ke sini” dia menoleh ke arahku, kini dia tersenyum kepadaku.
“Kamu lebih tenang sekarang...”
“Mmm... Maksudnya?”
“Desy pasti yang menenangkanmu?”
“De-desy?”
“Iya kan? Lho katanya sudah buka sematpon”
Aku ambil sematpon dalam sakuku. Ku buka chat-ku dengan Ainun. Ada lima bari chat Ainun berurutan, kemudian chatku yang dibuat Desy dan yang terakhir chat Ainun, setelahnya tidak ada. Ku baca kembali dari awal, baru aku sadari lima chat awal dari Ainun tidak menyambung sama sekali. Ini berarti, chat balasan sebelumnya di hapus oleh Desy. hanya menyisakan satu chat terakhir. Pantas saja, tadi Desy suruh menganalisa. Jangan-jangan Desy juga membaca chat-chat awal. Wajahku langsung berubah pucat.
“Kenapa terkejut?”
“Eh... a-anu bukan...”
“Bukan kenapa?”
Setenagh berdiri, dia menggeser duduknya mendekat. Satu tangannya mendorongku, memaksa menggeser dudukku, menyisakan sedikit tempat dan baru kemudian dia duduk disampingku. Dengan tangan menyangga kepalanya, wajahnya tersenyum memandangku yang, yang, yang seperti seorang pencuri kepergok mencuri.
“Pasti disayang-sayang disana ya?” satu tangannya meraih sematponku.
Tanganku kaku ketika mendengar kata-katanya. Aneh sebenarnya, pacar bukan kekasih juga bukan, tapi kenapa aku seperti ketahuan selingkuh. Dan ditambah lagi, kenapa dia bisa tahu kalau aku di... ya itu kemarin.
“Tenang Desy gak cerita apa-apa, cuma dia sedikit bercerita tentang apa yang terjadi kemarin. Makanya aku bisa menyimpulkan...”
Aku melirik ke arahnya. wajahnya tersenyum puas dengan ibu jarinya menari di atas layar sematponku.
“Hi hi hi... dihapus sama Desy...”
“A-apanya?”
“Detektif kok gak tahu?”
“Baru sadar tadi...” jawabku
Dia meletakan sematponku di atas meja. Meraih lenganku dan memeluknya. Sedikit melumerkan suasana, tak ada lagi rasa kaku. aliran nafasnya telrlihat ringan sekali.
“Maaf, aku tak berada disampingmu ketika kamu membutuhkan...”
“Dia cerita semuanya...”
“Iya... tapi ada cerita yang dia katakan kepadaku untuk kamu menceritakannya kepadaku”
“Cerita apa?”
“Alasan kenapa kamu melakukannya...”
“Harus?”
“Tidak... karena saat ini aku...”
Aku menoleh ke arahnya. Wajah kami berhadapan satu sama lain.
“Aku sudah bilang kan, aku tidak suka menunggu...” pelan bibirnya maju dan menyentuh bibiku.
“Eh, Nun... pak...”
“Tidur, gak denger dengkurannya?”
“Na-nanti ketahuan...”
“Bodoh, aku tidak suka menunggu...”
Setelah kata-katanya bibirku dengan sendirinya maju. Menyentuh bibirnya. Tanganku meraih lehernya, mendekatkan agar lebih rapat. Agar aku bisa merasaka nafas malaikat didepanku ini. Tubuhku bergeser, semakin mendekat begitu pula tubuhnya.
“Jika tetap disini... kita akan ketahuan,” ucapnya disela-sela sentuhan bibir kami.
Bola matanya bergerak dengan sedikit gerakan kepalanya, mengarah ke arah ruang tengah. Memang ke ruang tengah, tapi aku bisa menangkap bukan ke ruang tengah tapi ke kamarnya. Entah apa yang ada dipikarnku, aku menurut. Selang beberapa saat dia datang dengan tas dan sepatuku. Tersenyum didepanku yang duduk menunggunya di pinggir tempat tidur.
Berjalan pelan mendekatiku. Senyumannya. Kedua tangannya berada dipundakku. Mendorong hingga aku rebah di atas tempat tidur. Ujung hidung kami saling bersentuhan. Reflek tanganku memeluk pinggangnya.
“Disini, kamu adalah milikku,” kata-kata yang mempertegas tentang posisiku dan juga mempertegas rasa cemburunya.
Selingkuhan? Iya juga mungkin. Baru kali ini selingkuhan dicemburui. Itu cuma perasaanku saja yang mengatakan seperti itu yang menyimpulkan dari semua sikap sejak awal aku masuk kerumah ini.
Perasaan takut ataupun khawatir kalau ketahuan suaminya hilang begitu saja. Perasaan itu hilang tepat ketika... ketika bibirnya mulai menarik-narik bibirku. Jujur saja, aku lebih pasif tapi mungkin nanti tidak. Ada sedikit gemuruh didadaku untuk segera membalas perlakuannya. Kedua tanganku menarik pinggul kecilnya yang hangat agar semakin rapat dengan tubuhku. Mataku, matanya masih berpandangan.
Panas, membara... yang dibawah sana. Aku tahu kemana akhir dari pelukan ini, aku tahu dan paham. Perasaanku semakin campur aduk dengan apa yang ada didepanku. Walau tahu ini salah, walau tahu akhirnya seperti apa tapi aku ingin segera berada di cerita puncaknya.
Senyumannya membuat matanya terlihat lebih sipit, tapi aku masih bisa melihat bola matanya. Kepalanya sedikit miring, membuat bibir kami dengan mudah menyilang. Bibirku yang semula diam, akhirnya terbuka, membalas perlakuan bibirnya. Seakan tidak terima kalau bibirku di tarik-tarik bibir merah jambunya.
Tanganku dengan gemetar, masuk dari celah kaos yang dikenakannya. Mengelus perutnya yang terasa hangat ditelapak tanganku. Semakin naik dan aku merasakan sesuatu yang hangat tapi terhalang. Tak habis akal, aku menelusupkan tanganku. Meraih kehangatan yang sangat hangat disana.
“Mmmmhh... sayanghhh sekarangh nakalhh mmmpphh”
Begitu kata-katanya sebelum bibirku menutup bibirnya kembali. Tidak memberinya kesempatan untuk berkata-kata lagi. Dia sama dengan Malaikat Penyihir itu, kata-katanya sulit untuk bisa diputar balikan. Dan sekarang aku hanya bisa memutar-mutar apa yang ada di jari-jari tanganku.
“Yanghhh... mmmhh...”
“Emmmhh...”
Kedua tangannya menyangga tubuh, tersenyum manis. Ah, bidadari dan membuat yang dibawah sana semakin keras. Kembali dia menurunkan bibirnya ke leherku dengan sedikit desahan manja setiap kali ibu jariku memlintir dan memainkan ujung payudaranya. Tangannya menelusup masuk di balik kaosku, ah sial, mau tidak mau aku melepas mainanku.
Kaosku ditarik ke atas, lidahnya mulai memainkan putingku. Seakan membalas perlakuanku sebelumnya, dia memainkannya dengan sedikit kasar. Perasaanku semakin memanas, ditambah dengan satu tangannya mengelus bagian bawahku. Yang aku lakukan hanya menahan deburan nafsu dalam dadaku dengan memegang kepalanya yang masih berkerudung, terkadang aku menarik kepalanya kalau aku sedikit tidak tahan agar dia menghentikannya.
Tahu aku sedikit kewalahan, bukannya memberiku ruang untuk bernafas. Kepalanya sekarang turun kebawah. Ah benar-benar dia mau membalas dendam atau terbakar api cemburu. Cara dia melepas celanaku saja kasar sekali.
“Eghhh... yanghhhh...” rintihku terkejut
Tanpa aba-aba, penisku sudah berada dalam ruang hangat. Hanya bagian ujung, sesekali setengahnya. Sesekali ada rasa yang hangat, lunak menyapu bagian lubang penisku. Dan yang paling membuatku sedikit kelabakan adalah ketika kepalanya sudah naik turun. Sedotannya sangat kuat.
“Hsssshh.. hssshhh... hssssh...”
Nafasnya memburu ketika dia bangkit dan mendekatkan wajahnya kepadaku. Tangannya masih memegang dan mengurut penisku. Senyumannya begitu manis malam ini, senyuman berbalut rasa yang tidak dia ungkapkan.
Satu tanganku kembali menelusup kebalik kaosnya. Mendorong tubuhnya hingga dia sekarang yang berada dibawahku. Sedikit dia menggeser tubuhnya hingga ke tengah tempat tidur dengan tanganku mengikuti kemana gerakannya. Rasanya tak ingin lepas dari dadanya.
Kini giliranku. Bibirku menarik bibirnya, sedang tanganku menarik ke atas kaos beserta penutup payudaranya. Aku tida berlama-lama dibibirnya, aku langsung menurunkan bibirku ke bawah, bagian dadanya. Satu tangan meremas, satu tangan diarahkan olehnya masuk ke dalam celana dalamnya. Tangannya memegang jariku, menuntunku memainkan vaginanya.
“Nahhh.. ituhhh yangghhh... mainin pelan saja... hhhh”
Aku tidak menjawab, bagaimna aku menjawab bibirk sedang sibuk dengan bagian paling menawan dari seorang wanita. Desahan, rintihannya, terdengar sedikit tertahan. Semakin lama aku memainkannya semakin dia bergerak tidak karuan.
“Ehh... sudah...” katanya meremas pergelangan tanganku
“Jangan diamainin lagi...” sembari satu tangan meraih batangku
Aku menarik roknya kebawah, begitu mudah karena modelnya bukan rok pakai resleting. Masih sedikit canggung ketika aku melihat bulu-bulu halus di vaginannya. Aku terdiam dan sadar ketika dia sedikit menarikku. Kakinya membuka tanpa aku harus membukannya.
Kini aku berada ditengah-tengah. Matanya terpejam, tapi tangannya meraih penisku mengarahkannya ke lubang indahnya. Bibirnya bawahnya sedikit digigit ketika aku mendorong masuk. Tidak licin, masih sedikit seret.
Saat kepalaku penisku masuk, aku membungkuk. Memeluknya, dadaku dan dadanya bersatu. Bibirku memagut kembali bibirnya sembari pinggulku mendorong masuk penis kedalam vaginannya. Ritme pinggulku semakin cepat, membuat bibirnya lepas dari bibirku. Desahannya kini terdengar lebih keras. Tangannya memeluk kepalaku.
“Terusss yanghhh terussshhh erghhh... sedikit lagiiiihh...”
Aku diam tak bicara hanya memeprcepat pompaanku.
“Kamu miliki, disini kamu milikkuhh... aku cemburuuuhhhhh eghhhhhhhh....”
Tiba-tiba pelukannya semakin kuat disertai dinding vaginanya sedikit meremas penisku. Sebernarnya sulit aku bernafas, tapi aku memilih diam, memberi kesempatan kepadanya untuk menikmati apa yang baru saja dia raih. Beberapa kali tubuhnya mengejang, setelahnya pelukan leherku melemah, tubuhnya yang semula tegang menjadi lemas. Aku bangkit membuat tangannya jatuh terkulai.
Lemas. Matanya terpejam. Nafasnya tidak teratur. Aroma wangi parfumnya bercampur dengan keringat. Ku dekatkan wajahku, ke kecup pipi kanannya. Turun ke lehernya yang masih berbalut dengan kerudung. Bergeser kembali ke atas, mengecup bibirnya. Tak ada respon, dia masih mengatur nafasnya.
“Janganhh duhh..luh, masihhh sakithh...”
“Iya...” jawabku tersenyum
Aku memeluknya, membenamkan wajahku diantara leher dan pundaknya. Beberapa kali dia menghela nafas panjang, tangannya kemudian mengelus rambutku. Membuatku bangkit, dan meletakan wajahku tepat didepan wajahnya.
“Cemburu?” lanjutku
“Enggak... ngapain nyemburuin orang kaya kamu” jawabnya, sembari mencubit kedua pipiku
“Argh, yanghh... sebentar, jangan dulu, istirahat dulu...” protesnya dengan sedikit pukulan didadaku ketika aku menekan pinggulku.
“Bohong sih...”
“Ughhh sakit tau... Hmmm... Dah luwes ya sekarang”
“Eeee he he..” bukannya dia menjawab pertanyaanku tapi malah membuatku tersadar akan sikapku.
“Gini aja yangh, aku suka” ucapnya,
Kedua tangannya menarik kedua pipiku. Bibir kami kembali bertemu. Kini aku seakan menjadi lebih berani, lidahku menyeruak masuk kedalam bibirnya. Lidah kami bertautan satu sama lain.
“Gak pengen liat aku telanjang?”
“Eh...”
Kedua sikunya menyangga tubuhnya, aku sedikit menarik tubuh. Dia tersenyum, ku tarik kerudung kaosnya, kemudian dia kembali rebah. Ku tarik kaos yang dia kenakan dan...
“Cantik gak yang?”
Aku mengangguk ketika dia bertanya kepadaku. Hah, benar-benar indah pemandangan didepanku. Tubuhnya, aroma wanginya, senyumannya membuatku menelan ludah. Kembali aku memagut bibirnya.
“Dari belakang yang, seperti di kamar mandi”
“Kamar mandi?”
“Iih, sok lupa...”
Dia bangkit, aku menarik tubuhku memberi ruang baginya. Posisinya membelakangiku, menungging tepatnya. Setengah menoleh kebelakang, dia melempar senyum kepadaku. instingku mulai berjalan, ingatanku ketika persetubuhanku dengan di kamar mandi menuntunku.
“Eghhh... yangghhh pelannnhh... sakit, mentok ituhh...”
“Ma-maf..”
“Hi hi...”
Aku memeluknya, satu tanganku memeluk tubuhnya, satu tanganku memainkan payudaranya yang menggantung. Untuk berjaga-jaga kalau-kalau payudaranya jatuh, jadi aku memainkannya. Pinggulku mulai memompa. Tangannya meraih kepalaku, sembari aku memompa aku menikmati bibir dan payudaranya.
Pinggulku bergoyang semakin cepat. Dia terjatuh, kini aku tegak berdiri memegang pinggangnya. Bunyi dentuman dari pantanya dengan pahaku, rintihannya membuatku semakin buas dalam memompa.
“Arghh... yaanghhh... terussshhh mmmhhh... sayanghhhh...”
“Iya sayang, ugh...”
“Sayang enakh?”
“Iyahhh eghhh... enak banget yanghhh ah ah ah...”
Tiba-tiba kepalanya mendongak ke atas, tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Genggamnya semakin erat seiring dengan goyangan pinggulku.
“Erghhh... yaaanghhh... yaaaanghhhh....” aku semakin mempercepatnya
“Sayaaaanggghhhh....”
Untuk kedua kalinya tubuhnya menengang. Mengejang, kemudian ambruk. Spontan pinggulku mengikuti pinggulnya yang jatuh ke kasur. Menindihnya, memeluknya dari belakang tubuh hangatnya. Masih tertanam, serasa dipijat oleh dindinng-dinding vaginanya. Berkali-kali dia mengambil nafas panjang, mencoba memperangkap oksigen di paru-parunya.
“yanghhh... hsshsh... hssshhh...”
“Hmm...” jawabku
“Berat yanghhh....”
“Eh, iya maaf...”
Ku miringkan tubuhku, dia mengikutinya. Tak lepas penisku dari vaginanya, masih tertanam. Dengan posisi miring, aku lebih sedikit kebawah atau bisa dibilang kepalaku lebih rendah. Hanya leher yang dihiasi rambutnya didepan mata. Sesekali aku mengelus dan menciuminya.
“Yanghh...”
“Ya...”
“Keluarin, sakithhh.... hssh hssh...”
“I-iya...”
Sama seperti sebelum-sebelumnya, ada perasaan aneh yang membuat kekuatan di bawah sana melemah. Saat aku kembali menggoyang, gesekan demi gesekan terasa sekali. Semakin sensitif kulit.
“Argh.. yanghh cepethh.. sakithhh...”
“I-iya...”
“Mmmhhhh... yanghhh aku mau keluar lagihhh..”
“Aku juga yang”
“eeeeeeghh....” aku menggoyang semakin cepat, terasa penisku akan mengeluarkan laharnya.
“Yanghhhhhh.... eggggggggggggh”
Langsung aku peluk tubuhnya. Ku remas payudaranya. Tubuh kami menengang bersamaan. Mengejang beberapa kali, yang kemudian diakhiri hembusan nafas panjang. tubuhku lemas, begitupula tubuhnya.
“Yanghhh... sakit”
“Sakith?”
“Udah jangan diremas lagi, sakit tahu...”
“he he he...”
“Huu...”
Aku lepas remasanku, ku peluk. Ku usap-usapkan wajahku di punggungnya.
“Penuh banget yangh”
“Apanya?”
“Tuh, kerasa banget kamu ngeluarin banyak”
“10 liter mungkin yang he he”
“iih.. 10 liter gak muat tahu”
Dia mencubit lenganku, kemudian berbalik. Di pegang leherku dengan kedua tangannya, bibir kami kemudian bertautan. Kedua tanganku tak tinggal diam, mengelus sebentar payudaranya baru kemudian berpindah ke punggungnya. Terkadang aku juga mengelus rambutnya dan memainkan helai-helai rambutnya.
Selepas bibirnya lepas dari bibirku, dia masuk ke dalam pelukan dadaku. Ku tarik selimut yang ada dibawah, menutupi tubuh telanjang kami berdua. Kuelus kembali rambutnya yang mengantarkannya ke dunia mimpi. Hingga akhirnya aku menyusulnya. Padahal suasana masih menjelang sore.
.
.
.
“Nun, motornya Arta belum diambil, ni dah jam tujuh malam” sayup-sayup aku mendengar teriakan pak RT
“Belum, nanti juga diambil” teriak Ainun menjawab, terdengar jelas ditelingaku
Setelah teriakn Ainun, aku langsung tersadar dan bangkit namun tertahan. Tertahan satu tangan Ainun yang menutup mulutku. Dia menoleh ke arahku, menyilangkan jari telunjuk di bibirnya.
“Ya sudah, nanti aku telpon dia. Biar dia ambil”
“Gak usah, kasihan kalau dia masih di kampus”
“Oh ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu”
“Ya, jangan lupa kunci rumah sama pagar”
“Ya... aku pulang lusa”
Ainun berteriak menjawab sedangkan aku masih membeku. Berbeda dengan Ainun yang menjawab pertanyaan demi pertanyaan sembari tersenyum. Senyum yang dilemparkan kepadaku. Dalam suasana yang tegang, bagiku, masih saja perempuan didepanku ini menggodaku dengan ujung dari jari-jarinya berjalan di atas batang penisku.
“Nuuunn...” bisikku, dia hanya tertawa dengan ditutup telapak tangannya. Baru kemudian dia menjulurkan lidah kearahku, benar-benar erghhh... ini cewek.
Sayup terdengar suara deru mobil. Ainun bangkit dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. Dia keluar dengan langkah mengendap. Memang aneh permpuan itu. entah dimana dia sekarang. Bingung, ku ambil selimut dan kututupi dibawah perutku. Keluar dari kamar.
“Nun sedang apa?”
“Liat situasi, memastikan sayang, dia sudah pergi atau belum” ucapnya, dari balik korden. Ruang tamu sudah gelap, itu bisa aku lihat dar tempatku berdiri di depan kamarnya.
“Lha kan tadi, sudah dengar suara mobilnya?” aku mendekat
“Bener juga, pinter kam...”
“Ah, eh eh eh... sayang ja-jangan... Arta!”
“he he he... ih, udah gede telanjang, malu-maluin”
Aku saja tidak tahu, bagaimana orang lain tahu? Kedekatanku dengan dia sudah tidak ada batas lagi. Apalagi sejak kejadian aku tidur bersamanya. Rasa-rasanya aku akan selalu bersamanya tapi entah benar atau tidaknya. Ya mungkin karena rasa nyaman yang sekarang aku rasakan.
Dia terus mengejarku setelah aku menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Tawa tertahan, ya karena tidak mungkin untuk bisa tertawa keras. Beberapa kali aku bisa menghindarinya, sekalinya tertangkap aku pasti lepas lagi. Dia masih telanjang mengejarku, dan... itu pemandangan yang indah.
Sesekali kedua tangannya berada dipinggangnya. Wajahnya tampak kesal sekali, tapi masa bodoh, aku tetap menggodanya hingga dia kembali marah dan mengejarku. Lama dia terus mencoba menangkapku, berhasil, lepas lagi, akhirnya dia ngambek dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aneh...
Sebenarnya kenapa aku bisa seperti ini?
Aneh...
“Diminum tehnya?”
“Iya” jawabku
Aku duduk bersamanya di ruang tamu setelah aku dan dia bergantian membersihkan tubuh kami. sebenarnya aku sudah mencoba mengajak mandi bersama, tapi dia tidak membukaan pintu tadi.
Lampu menyala terang, terlihat dari luar kalau aku berada didalam. Dia duduk dikursi didepan samping kiriku. Ku ambil secangkir teh dari meja, rasanya manis tapi tertutup dengan rasa sedikit pahit. Kalau di daerahku istilahnya “wasgitel”, wangi sepet legi kentel.
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Maksudnya?” aku meletakan cangkir teh itu kembali ke meja
“Kalau aku minta kamu bercerita?”
“Hm, tentang apa?”
“Yang harus kamu ceritakan sendiri kepadaku, seperti kata Desy”
“Eh...”
Aku diam sejenak, setengah melamun. Ingatanku sangat cepat kembali ke kenangan buruk yang pernah aku alami. Aku angkat wajahku, memandang wajahnya yang sedang menanti ceritaku.
“Apa harus?” dia membalas dengan senyumannya
“Kalau memang gak ingin cerita, ya jangan”
Ku tatap dalam matanya. Kuhela nafas panjang... bibirku sedikit gemetar. Rasanya kelu ketika harus menceritakan peristiwa itu kembali. Peristiwa yang melatar belakangi perbuatan yang seharusnya memang tidak boleh aku lakukan. Menghabisi Takur.
Pelan aku mulai menceritakan. Dia mendengarkan. Semuanya aku ceritakan, sama dengan apa yang aku ceritakan kepada Desy. Tapi saat ini, aku lebih bisa mengendalikan suaraku, tidak seperti ketika bersama Desy. Mungkin karena saat bersama Desy, suasananya berbeda dan itu adalah setelah kejadian aku menghabisi takur.
“Sluurrpp... aassshhhh... itu semua yang terjadi” kututup wajahku dengan kedua tanganku, bersandar pada kursi.
Klik..
Srrrk...
Lampu ruangan mati, dia duduk disampingku...
“Maaf... aku tidak tahu kalau cerita yang akan kamu certiakan...” lirih dari bibirnya ketika dia memeluk kepalaku. Aku diam tidak menjawabnya.
“Mmmm... Yang, kamu tidur sini saja ya?” ucapnya sembari mengelus kepalaku. aku menggelengkan kepala. Mungkin dia merasa tidak enak karena cerita yang baru saja aku ceritakan.
Aku bangkit...
“Slurrrp... sudah ndak apa-apa nun” aku memandangnya dengan senyuman.
“Eng-enggak gitu, kamunya kan itu... maaf...”
“Sudah, aku ndak papa...”
“Bener?”
“Iya...”
Senyumku berbalas senyumnya. Walau dalam keadaan gelap, aku masih bisa melihat senyumannya. Tiba-tiba dia mulai menceritakan hal-hal lucu kepadaku, mungkin itu untuk menghiburku. Percakapan kami, berlangsung hingga pukul setengah 9 malam. Aku kemudian pamit.
Seperti biasa, dia memelukku ketika berada dekat dengan pintu. Bibirnya berada dibibirku, sebagai tanda perpisahan malam ini, hanya malam ini karena esok aku pasti akan bertemu kembali.
“Telpon aku, kalau kamu tidak bisa tidur, nanti aku temani kamu” suaranya pelan disertai sedikit desahan
“Iya” aku tersenyum
Dengan Varitem, aku meninggalkan rumahnya. Sedikit ada pikiran, kenapa dia harus mematikan lampu? Sedangkan motorku berada diluar rumah dan tadi jelas aku keluar dari pintu rumahnya untuk mengambil motor yang ada di halaman rumahnya. Keluar dari rumahnya saja sudah sangat jelas itu aku.
Bukankah orang yang melihat pasti berpikir negatif karena pastinya mereka tahu aku berada di ruang tamu adalah aku ketika lamput mati? Itu kalau ada orang di kompleks yang masih ‘hidup’. Tapi kalau aku lihat, aman. Sepi sejauh perjalananku menuju kontrakan. Aman, tak ada kehidupan.
Tapi...
Aneh... benar-benar aneh...