Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Hmmm :ngupil:masih nunggu ternyata .
:mabuk: menikmati penantian up nya hu...
#agan2 yg diatas ada yg punya kacang gan?
 
Scene 8
Jangan Over!


Ainun ... ...


Ugh...

Aku terbangun, duduk diatas tempat tidur Ainun. Dengan mata terpejam aku meraba-raba sampingku, sudah tak kudapati tubuhnya. Di mana dia? Aku sibakkan selimut yang menutupi tubuhku, entah sejak kapan ada selimut ini. Akan tetapi gerakanku terhenti. Tubuhku kaku, seperti banyak paku yang menahan tubuhku untuk bergerak.

“Pakaianku di mana? Tas dan juga sepatuku, tolong disiapkan,” teriak seorang dari luar kamar Ainun. Dan aku tahu itu suara siapa, Pak RT!

“Iya, itu sudah di ruang tamu semua, tinggal bawa saja,” jawab Ainun.

Aku benar-benar membeku. Bagaimana kalau aku ketahuan? Bagaimana kalau, argh! Bagaimana ini. Nafasku menjadi sangat berat. Aku takut, jika tiba-tiba lelaki itu masuk ke dalam ka...

Kleeek...

Tubuhku menjadi sangat dingin. Kaku. Aku tak bisa lagi bergerak. Hanya mengamati pintu yang terbuka perlahan. Mungkin inilah akhir dari segala petualanganku. Dan semuanya, dan semuanya....

Tubuh berbalut kerudung putih dengan kaos merah jambu. Masuk dari balik pintu kamar. Dia hanya membukanya sedikit, dan kemudian menutupnya. Berdiri dan bersandar pada pintu dengan tangan memegangi daun pintu. Dan aku, aku bisa menghela nafas panjang.

Jarinya menyilang di bibirnya...

“Sssst...”

Dengan isyarat tangan, aku menunjuk bagian bawah tubuh, juga mengangkat kakiku. Melihat tingkahku bukannya panik atau bagaimana, dia malah menggelembungkan pipinya dengan jari telunjuk menyangga dagunya. Kepalanya kemudian menggeleng. Karena jengkel, aku membuka selimut. Tanganku kembali memberi isyarat kepadanya tentang celanaku dan sandalku. Jelas aku panik, aku melepas celana di ruang tamu dan sandal ada di depan rumah!

Eh, bukannya panik atau bagaimana gitu. Dia malah tertawa tanpa suara. Aku yang panik, mencakar rambutku. Ku perlihatkan wajah ketakutanku. Aku memandangnya dengan mimik yang benar-benar ketakutan, tapi dia dengan santai menunjuk ke arah gantungan pakaian. Aku menoleh dan fyuh... celanaku ada di gantungan pakaiannya sedangkan sandalku ada di lantai bawah gantungan.

“Aku mau berangkat dulu!” teriak pak RT, membuat tubuhku dingin.

“Iyaaa... sebentar,” jawab Ainun.

“Tumben banget, pagi-pagi di dalam kamar?” teriak pak RT kembali, kali ini aku benar-benar ketakutan. Suara itu tepat berada di balik pintu kamar Ainun.

“Lagi ganti pembalut, bentar kenapa?” jawab ainun balas bertanya dengan nada sedikit ketus

“Oh, ya... aku mau berangkat dulu” jawab pak RT

Ainun sedikit mendekatkan telinganya di pintu, setelah yakin pak RT melangkah menuju ruang tamu. Dia memberikan isyarat kepadaku untuk tetap berada dalam kamar dan kemudian perempuan berkerudung ini keluar dari kamar.

Aku termenung, entah benar atau tidak yang aku lakukan ini. Sedikit lagi saja, aku akan bernasib sama dengan kedua sahabatku. Tapi disisi lain, ah, aku tidak ingin lepas. Apakah ini adalah hal yang sama, yang dirasakan oleh kedua sahabatku?

Dalam lamunanku, aku mendengar suara mobil yang perlahan menghilang. Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati kamar. Pintu terbuka, Ainun. Aku memasang wajah masamku. Dia tersenyum, kemudian duduk dipinggir tempat tidur.

“Marah ya?” tanyanya, aku sedikit membuang muka.

“Baru saja semalem dimanja. Sekarang suruh dewasa lagi, huh!” aku meliriknya. Melihatnya menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia kemudian memiringkan tubuhnya membelakangiku.

Hadeh.... salah lagi, salah lagi. Memang benar, pasal satu wanita selalu benar. Pasal dua, jika wanita salah kembali ke pasal satu. Dan... aku memang harus seperti semalam. Daripada marah, lebih baik aku mendekatinya sekarang.

Aku menggeser tubuh telanjangku. Menarik tubuhnya pelan agar dia telentang. Awalnya dia menahan tubuhnya, tapi karena aku sedikit memaksa akhirnya dia mau membalikan tubuhnya. Pipinya menggelembung, wajahnya sedikit marah.

“Maaf...” dia tetap diam dan tidak membalas.

Aku dekatkan bibirku, dan mengecupnya. Dia kemudian tersenyum, menarik pundakku. Selanjutnya bibir kami bertemu, saling memuaskan. Dengan lembut telapak tangannya mendorong dadaku. Senyumnya terlukis di bibirnya.

“Mandi dulu yang, bauk.”

Aku tersenyum, dan menjulurkan lidahku. Kupeluk sebentar dan kukecup keningnya. Dan kemudian beranjak menuju pintu keluar kamar.

“Iiih sok romantis deh mas-nya,” candanya.

Aku mendekati dan mentowel pipinya. Ketika dia menjerit mengaduh, aku langsung meninggalkannya. Berlari menuju kamar mandi, ku raih handuk di gantungan depan kamar mandi. Entah, handuk siapa. Yang jelas aku bisa mandi. Beruntung didalam rumah hanya dia, karena sejak dari kamarnya sampai kamar mandi, aku telanjang. He he...

“Buatin nasi goreng, teh anget...” teriaknya dari luar kamar mandi.

“Buat pakai apa? Gasnya habis,” candaku, walau sebenarnya aku tidak tahu mengenai gas di rumah ini.

“Pakai cinta!” teriaknya. Bahagia juga ketika mendengar kata-katanya.

“Apa?!” aku kembali berteriak tapi tak ada jawaban.

Segera aku mandi, membersihkan tubuh. Setelahnya kulilitkan handuk dan keluar dari kamar mandi. Aku sedikit terkejut ketika melihatnya bersandar di tembok, memandangku. Dengan wajah datar, dia mendekatiku. Aku terpaku, berpikir apa yang akan da lakukan. Tubuhnya yang lebih pendek dariku, membuatnya mendongakan kepala ketika melihatku. Dan...

“Auuuuuuuuuucccchhh... sakit Nun,” teriakku kesakitan, aku langsung berlutut.

“Weeeek... daaaaaah....” dia berlari meninggalkan aku, aku mencoba meraih tangannya tapi terlambat.

“Awas ya!” teriakku.

“Dah cepet ganti baju, buat nasi goreng sama teh anget,” teriaknya.

Huh! Sial, sakit sekali. Kalau pas posisi tegang diremas mending masih ada pertahanan. Lha ini lagi tidur, kaya pancuran diremas kuat sekali. Ufth, sakit banget. Tapi kenapa langsung siap siaga seperti ini ya? segera aku bangkit dan melangkah menuju kamarnya. Kulihat dia masih tertawa cekikikan didepan televisi.

“Dah cepetan, Ainun lapeeeeer bangeeeet artaaaaaa,” manjanya.

Aku mendengus kesal dan langsung masuk kamar. Dengan cepat aku berganti pakaian kemudian keluar kamar. Masih saja dia tertawa cekikikan, penasaran aku dibuatnya. Pandangannya memang melihat ke televisi tanpa suara, tapi yang menjadi pertanyaanku itu tertawa cekikikannya itu. Menertawakan aku atau memang menertawakan acara televisi yang dia tonton.

Aku menggeser posisiku sedikit kesamping, di belakang dia. Eh, dia-nya masih saja melihat ke depan, seakan tidak menganggapku ada. Dan... hufth, benar dugaanku dia sedang menertawakanku. Acara berita dia tonton, ndak ada suara, cuma gambar. Aku langsung melangkah menuju dapur dengan dengusan kesal.

“Arta saaaaaayang... nasi gorengnya cepet ya, Ainun yapeng banyeeeeet,” suaranya manja.

Aku berhenti sejenak, menengok ke belakang. Dia menutupkan keempat jari di bibir, dibuka kemudian ditiup. Aiiiiiisssshhh, dapat ciuman terbang.

“Iiih Arta sayang wajahnya merah, makanya cepetan buat nasi goreng. Nanti Ainun kasih yang asli,” rayunya.

“Ekh... I-iya...” aku menunduk dan langsung melangkah cepat ke dapur.

Segera aku membuat pesanannya. Kenapa ya, kok bisa-bisanya wajahku menjadi merah? Tapi apa benar merah? Tapi memang tadi agak sedikit terasa bagaimana di wajah. Ah, jangan-jangan benar-benar memerah wajahku. Malu sendiri.

“Fyuuuh... capek juga, tapi ndak secapek tadi malam he he,” bathinku.

Dengan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh hangat, aku melangkah menuju sang malaikat. Dengan senyumnya dia menyambutku. Aku duduk disebelahnya, meletakan teh hangat didepannya. Bak ratu, dia hanya memandang dan tersenyum padaku.

Kuambil piring nasi goreng, ku sendok...

“Aaaak,” ucapku dengan mengarahkan sendok berisi nasi goreng ke mulutnya.

“Eh...” dia sedikit terkejut.

“Maem duyu, katanya yapeng,” candaku.

Dia bergeser mendekatiku. Tersenyum manis. Lebih manis dari gula mungkin. Pelan aku menyuapinya, sembari memakan nasiku sendiri. Kini giliran dia yang wajahnya memerah. Aku menggodanya. Wajahnya semakin memerah, padam. Ah, benar-benar membuatku terkesima. Anggun, cantik.

Selesai makan aku membawa nampan berisi piring dan gelas kotor. Ainun dengan senyumannya membantuku mencuci di dapur. Setelahnya, dengan manja kedua tangannya meraih lenganku dan dipeluk erat, dan... empuk, eh. Aku dan dia kembali ke ruang tamu. Pintu rumah tertutup, padahal masih pagi.

Duduk bersama dengannya. Tangannya lembut mengelus pipiku. Menarik wajahku hingga menoleh ke arahnya. Bibirnya mendarat di bibirku. Tubuhku bereaksi, kedua tanganku memeluknya. Di atas kursi, dimana aku pertama kali ‘keluar’.

“Sekarang Ainun ada saingannya ya?” tanyanya dengan nada manja.

“Saingan apa?” balasku bertanya.

“Itu, Winda hi hi hi,” tawanya cekikikan.

“Eh, saingan bagaimana? Kok sama Winda?” tanyaku kembali.

“Mmm... gimana yaaaaa...” jawabnya.

“Hmmm...” aku bergumam.

“Hi hi hi... Kalau Arta suka sama Winda Ainun rela kok” jawabnya sambil membalikan tubuh, melepas kerudung, hingga terurailah rambut panjangnya.

Perlahan, kepalanya rebah di pangkuanku. Tangannya meraih tanganku, menuntunku untuk mengelus rambutnya.

“Arta mau suka sama siapa saja, Ainun gak papa kok. Asal, jangan dibawa ke kompleks, atau...” ucapnya dengan mata tertutup.

“Atau apa?” aku penasaran dengan kata-katanya.

“Atau Ainun labrak hi hi hi... pokoknya, kalau di komplek, Arta milik Ainun hi hi hi...” jawabnya dengan nada bercanda.

“Cemburu?” tanyaku, dia mengangguk cepat walau tanpa membuka matanya.

“Arta beneran suka sama Winda?” matanya terbuka memandangku dengan tatapan lembutnya. Aku hanya menjawab dengan menaikan kedua bahuku, bingung.

“Buktinya Arta mau nemenin Winda tuh,” kembali dia menyudutkanku.

Sejujurnya aku bingung. Winda, ada kesempatan untuk dekat dengannya. Tapi, jika aku dekat dengannya dan mengejarnya, bisa jadi aku hanya pelampiasan dari kisah cintanya yang terhenti. Dan jika aku tetap berjalan dengan Ainun, yang ada hanya aku merusak sebuah tatanan yang sudah dibangun olehnya. Bingung jug ya, hmmm.

“Hi hi hi... Arta jangan bingung gitu, kalau bingung nanti Ainun siapa yang manjain. Masa Arta manjain Winda terus? Hi hi hi...” ucapnya tiba-tiba.

“Huh, bercanda terus, aku kira serius,” jawabku.

“Yee... memang serius ini, kan lagi dimanja. Ya, gini itu seriusnya hi hi hi,” tawanya lagi.

Aku memandangnya, meluruskan bibirku ke arahnya. Mata kami bertemu, matanya penuh kebahagiaan.

Hening sesaat

“Ar...”

Aku menunduk melihat ke arah dua bola matanya. Matanya bukan lagi mata manja seperti semalam.

“Ainun tahu Arta bingung. Ainun tahu itu.”

“Ainun gak tahu akhir perjalanan Arta, yang jelas Ainun ingin selalu menari bersamamu.”

Kalimat itu keluar lirih dari bibirnya.

“Eh...” aku sedikit mendengus terkejut.

“Siapapun itu, tak akan pernah tahu. Arta bakal menari sama siapa, tapi yang jelas, banyak yang ingin menari bersama Arta, salah satunya Ainun. Jangan asal pergi tanpa alasan, jangan asal meninggalkan dengan menyisakan kenangan pahit. Tak ada yang ingin Arta pergi. Mereka, Ainun atau siapapun yang di sekitar Arta.”

Tubuhnya bergerak miring ke arahku. Kedua tangannya berpindah ke belakang pinggangku. Menarik pinggangku.

“Jangan pergi...” ucapnya lirih.

“Sekalipun kamu menemukan pilihanmu,” hanya itu yang aku dengar.

“Jika bisa diajak menari bersama-sama, ajak mereka. pokoknya Ainun, mau menari sama Artaghhhhh” lanjutnya dan...

“Aaaaaaaaargghhh.... nunnnnnn jangan di gigit, aduh sakit nun, sakiiiit.”

Perutku di gigit dengan keras

Sejenak dia menoleh ke arahku dan langsung menjulurkan lidahnya. Sesaat kemudian dia balik menghadap ke perutku. Aku memandangnya. Aku cubit-cubit pipinya tapi dia diam saja. Dari sisi wajahnya terlihat kalau dia mulai tertidur. Aku diamkan dia, kemudian bersandar pada sandaran kursi. Kuletakan telapak tanganku di kepalaku. hufth... seandainya saja dia tidak memulai membicarakan Winda, mungkin aku tidak akan diam seperti ini.

Meninggalkan dia dan mereka yang baru saja aku temui. Entah, seperti apa akhir dari ceritaku ini. Kebimbangan, kegelisahan mulai menghantuiku. Winda, kenapa tiba-tiba saja aku berpikir tentang dia. Apakah dia cara agar aku bisa melepas malaikat ini? Desy, ah, ini gara-gara Ainun mengatakan kata ‘mereka’. padahal sama sekali dalam benakku tak berpikir tentang Desy. Tapi, di atap gedung saat itu. Hufth...

Dini, saat di perkemahan dan juga saat pertama kali masuk kuliah. Huuuhh, disana juga ada Dina. Dan beberapa cewek yang ku kenal dan belum punya gandengan alias pacar, ada... Salma, Dinda, Tyas. Hmm... huffffth....

Eh, kenapa aku berpikir jauh? memang mereka suka sama aku? Ainun juga? Apa benar dia sayang sama aku? Winda? Desy? Dini? Dina? Hadeeeh, terlalu percaya diri ini akunya. Aduh, bukannya aku ini sudah berubah? Kenapa malah jadi tukang gelisah begini? Bodoh, ah! Aku adalah Arta, Arta yang bukan culun lagi. Ya, bukan.. hoaaammmhhh... ngantuk.

.
.
.

Kletek...

“Nih, sekarang giliraku buatin kamu minum. Diminum ya?” ucap Ainun, sembari meletekan dua gelas minuman hangat. Kemudian duduk disebelahku.

Tepat pukul 3 sore, aku terbangun saat aku meraba pahaku dan tak kudapatkan Ainun. Baru saja aku bangun, baru merenggangkan tubuh, Ainun sudah datang dengan dua gelas teh hangatnya. Dia tersenyum manis ketika melihatku bangun.

“Tuh jempol kamu, kedinginan. Tidur mau model apa tetep aja ngemut jempol,” candanya.

“Maklum, kebiasan sejak kecil he he,” jawabku.

Dia lantas memandangku dengan tatapan lembutnya.

“Makannya tadi Ainun dipindahin ke kamar saja, terus dibuka. Biar gak ngemut jempol terus kalau tidur hi hi hi,” candanya.

“Eh, beneran?” tanyaku terkejut, sembari mengambil minuman hangat.

“Udah pernah lihat?” tanyanya, aku menagngguk.

“Udah pernah nyentuh?” tanyanya, aku mengangguk.

“Udah pernah mmmm... mainin kan?” tanyanya kembali, aku mengangguk.

“Dasar, udah pernah masih saja nanya” ucapnya sembari memajukan bibir bawahnya.

“Aiiish... memang sudah pernah semua, tapi kan ya ndak langsung begitu kan. Kasihan kamunya, nanti ganggu tidur,” ucapku.

“Aaaaaaaaaaa....” teriaknya langsung memelukku.

“Iiih ganteng deh, masih mikirin tidur Ainun hi hi hi.”

Dia memelukku dengan erat. hampir saja jatuh gelas yang baru saja aku ambil. Aku letakan dan kemudian aku membalas pelukannya. Aku bersandar dan dia memelukku, ku kecup ubun-ubun kepalanya.

“Nun...” lirih, dia menengadah ke arahku.

“Maksud kamu menari bersama?” tanyaku.

“Auuuchhh... sakit,” suaraku jadi cempreng gara-gara dia membetet hidungku.

“Pokoknya nari bareng, dah itu saja hi hi hi,” jawabnya.

“Oooohh...”

“Jika menari, aku ingin selalu menari hingga sudah tak kuat untuk menari. Dengan siapapun. Haaaah... aku juga tidak tahu kenapa semua seakan menjadi seperti sekarang ini, tapi aku bersyukur walau kadang ada sedikit penyesalan karena masa laluku,” ucapku sembari memeluknya.

“Jangan menyesali hidup, karena hidup adalah sebuah perjalanan dan kamu belum menemui akhir dari perjalananmu. Teruslah berjalan, dan menari bersamaku, bersama yang lain juga. Tetaplah disini sebagai Arta, Arta yang Ainun kenal ya... mmmuachhh,” ucapnya kemudian mengecup pipiku. Aku memandangnya dengan senyuman.

“Aku tidak tahu, Nun. Apakah aku akan selalu disini? Setiap orang punya jalannya masing-masing Nun. Dia mau tinggal atau pergi, itu adalah keputusan dari yang ingin bersamanya kan? Kalau yang ingin bersamanya sudah tidak mau, ya, harus pergi. Kalau yang bersamanya ingin tetap bersamanya, ya tinggal,” aku menyandarkan tubuh, dengan kedua tangan di belakang kepalaku.

“Dan Ainun ingin Arta berada disini,” kembali memelukku.

“Tak ada yang tahu ke depan nanti. Apa yang akan kita lakukan sekarang, apa yang akan kita lakukan besok, tak ada yang tahu. Terkadang manusia akan menyesal, kadang pula dia akan sangat bersyukur. Jadi jalani hidup Arta yaaaah... Dan....” lanjutnya.

“Eh, dan apa?”

Dia selalu membuatku penasaran.

Don’t change too much, you are not a kid anymore.” Ucapnya.

Seperti kata-kata Winda, dan itu memang aku ceritakan kepadanya juga. Aku menegakan tubuhnya dan memandangnya.

“Hi hi hi, pasti mau tanya maksudnya apa?” aku mengangguk ketika dia bertanya kepadaku.

“Dari cerita-cerita Arta, tuh liat sendiri aja,” aku mengrenyitkan dahiku.

“Hmm... kamu memang berubah sayang, tapi jangan berlebihan. Dan jangan berubah seperti kamu SMA, kan kamu sudah kuliah? Masa’ perubahan kamu malah kembali ke masa SMA kamu? balik ke masa gak bisa atur diri kamu? kenapa gak balik ke masa TK kamu sekalian?”

“Coba lihat, dimana letak ‘mahasiswa’ kamu? perubahan kamu itu kan perubahan kalau kamu sebenarnya bukan anak yang culun. Dan, perubahan kamu bukan berarti kamu menjadi diri kamu yang dulu. tuh, banyak yang merasa terganggu gara-gara candaan kamu. biasa saja. kamu bukan SMA yang berarti kamu itu sudah bertambah, De-wa-sa” penjelasannya menghilangkan sifat manjanya.

“Paham kan?” tanyanya, aku ingin menggeleng, mengangguk tapi bingung.

“Kamu itu... pinter, suka bantu temen dan ganteeeeeeng... ganteeeeeeeng... ganteeeeeeengg... iiiiih Ainun gemes deh sama Arta iiih iiih iih,” ucapnya sembari mencubit pipiku. Aku Cuma diam diperlakukan apapun olehnya.

“Ah, udah ah, jadi lupa kalau hari ini mau dimanjain sama Arta,” manjanya, dan langsung memelukku lagi.

“Elus, mainin rambut Ainun. Pulang ntar pas matahari tenggelam, pas sepi-sepinya komplek,” ucapnya memaksa.

“Hadeeeeh... nuuuun, nun. Baru saja mau menyanggah kamu malah hufthh...” ucapku.

“Bodoh amat, kalau Arta bisa manjain Winda, ya... Ainun juga dong,” ucapnya dengan pelukan semakin erat.

“Iiiiih... ada mbak-mbak manja he he he,” candaku.

“Manja ama yang disayang,” ucapnya lirih.

Suasana menjadi hening, awalnya. Tapi setelahnya aku kembali bercanda dengannya. Aku tidak ingin dia tertidur lagi, tidak ingin dia larut dalam mimpi lagi. Aku ingin selalu melihat senyumnya, makanya aku selalu menggodanya agar tidak tidur lagi. Terkadang dia ngambek juga ketika aku menggodanya, tapi setelahnya juga tertawa lagi. Ya begitulah.

Rambutnya panjang hingga punggung dan entah mengapa aku suka sekali memainkannya. Kalau pas aku memainkan rambutnya, menyisir dengan jari atau mengucirnya, kelihatan sekali dia senang. Katanya, enak kalau rambutnya dimainkan. Aku terus bercanda dengannya, tak ada percakapan yang terlalu serius. Ya, seperti kata Ainun, dia ingin dimanja hari ini. Begitu pula aku, penat rasanya kalau harus memikirkan ini itu.

Hingga matahari mulai lelah untuk bersinar. Aku bersiap untuk pulang. Saat berdiri di depan pintu rumah yang masih tertutup, aku mendapat pelukan erat dan kecupan. Entah kenapa dia bisa seluwes itu. Padahal aku juga bukan siapa-siapa jika dilihat dari status. Tapi, ada rasa sayang. Aku membalas pelukannya, mengecupnya. Hingga akhirnya kami berpisah, terasa berat ketika meninggalkan rumahnya. Tapi tak mungkin aku berada didalam rumah itu terus.

Sesampainya didalam kamar kos, aku masih berbalas pesan instan dengannya. Tak lupa aku bercanda dengan kedua adikku dan juga kakak perempuanku. Tentunya di grup pesan instan juga. Hingga malam, aku terus berbalas pesan dengan Ainun, kedua adikku, dan mbak Arlena. Merasa seperti ‘buaya’ aku. He he he.

Ah, lelah rasanya... tidur saja mungkin.

Sit suiti sirkuiiiit. Winda.

Arta Jahat!
Katanya mau nemenin Winda, tapi gak tanya-tanya kabar Winda

Aduh, ketambahan satu lagi dan membuatku harus tidur lebih malam lagi. Padahal aku sudah pamit mau tidur dengan mereka berempat. Ini malah ketambahan satu lagi, hufth. Ya sudahlah daripada marah, lebih baik aku menemaninya dulu. lagipula aku sudah berjanji untuk selalu menemaninya. Hufth, Artaaaa... Arta, punya mulut ndak dijaga ya gini ini jadinya.

Dan aku menemani si manja, hingga dia merasa lelah dan menyudahi percakapan. Akhirnya, aku bisa istirahat juga. Fyuh...
 
Terakhir diubah:

Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari




Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia


“Artaaaaa...”

Teriak seorang perempuan dari belakangku. Kuhentikan langkah saat baru saja memasuki lorong gedung kampus, dan menoleh kebelakang. Dia berlari kecil, mungkin kalau di film kartun bisa jadi ada bunga-bunga yang betaburan di setiap langkahnya. Wajahnya riang bersama senyum yang terlukis bak pelangi dikala hujan reda.

Lompatan kecil mengakhiri lari kecilnya tepat disampingku dengan kedua kaki rapat. Tubuhnya sedikit terdorong ke depan dan dengan cepat dia merenggangkan kedua tangannya selebar mungkin layaknya pesawat terbang untuk menjaga keseimbangannya. Perlahan dia berdiri tegak. Satu tangannya diletakan di atas dadanya, menghela nafas panjang untuk menormalkan detak jantungnya. Kemudian dia menoleh ke arahku, memandangku dengan senyuman yang dia bawa sebelumnya. Aku membalas senyumannya. Karena dia mengingatkan aku akan kenangan masa kecilku. Menjadi pesawat terbang.

“Bahagianyaaaa,” sapaku.

“Ya iyalah, kan dah ada yang mau jagain Winda, hi hi hi...”

“Dah cepetan yuk, dah mau mulai ni kuliahnya,” ajaknya yang langsung menarik tangan kananku tanpa memberiku kesempatan, ya sekedar ngobrol sebentar.

“Wiiiiiind! Pelan!” sedikit protesku tapi tak digubrisnya. Dia hanya menoleh sebentar dan melempar senyum. Ah, adem juga senyumannya.

Winda terus menarikku hingga lantai dua gedung kuliah. Semangat sekali Winda hari ini, entah kesambet setan dari mana. Tepat setelah melewati tangga menuju lantai dua, aku bisa melihat Desy, Dini dan Dina berdiri di depan pintu ruang kelas. Pandangan mereka sedikit aneh, mungkin gara-gara Winda masih menggandeng tanganku. Tapi, sudahlah, aku juga merasa senang.

Winda menarikku, menghampiri ketiga sahabatnya.

“Umiiii, Dini, Dinaaaaa...” teriak winda, langsung memeluk ketiga sahabatnya secara bergiliran.

Mereka memandangku, memandang Winda, memandangku lagi, Winda lagi...

“Winda kenapa bisa sama itu?” tanya Dina sembari menunjukku. Aku merasa seperti makhluk asing bagi mereka.

“Peliharaan Winda?” tanya Dini.

Aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain, mau membalas juga malas sekali. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Desy sedang memperhatikanku. Aku menoleh ke arahnya. Dengan sedikit menggoyangkan kepalanya, isyarat dia bertanya mengenai Winda kepadaku. Aku menjawabnya dengan menaikan bahuku dan menurunkan kedua sudut bibirku.

“Eh, Dini gak boleh bilang gitu. Tadi Winda ketemu Arta di tempat parkir, jadinya bareng kesininya,” jelas Winda.

“Kok ditarik? Kalau ditarik itu kan peliharaan namanya...” tanya Dini.

“Diniiii... gak boleh bilang gitu, tadi Arta jalannya males makannya Winda tarik,” jelas Winda lagi.

Malas aku mendengar perdebatan mereka bertiga. Kusenggol Winda, aku memberi isyarat padanya kalau aku ingin masuk kelas terlebih dahulu. Dia hanya membalas dengan anggukan dan senyum. Aku meninggalkan empat sekawan, masuk ke dalam kelas yang sudah penuh dengan mahasiswa. Di sana juga sudah ada para lelaki yang sering bercanda denganku. Andrew, ya aku bercanda dan sedikit menggoda Helena tapi tidak seperti hari kemarin. Ya, sekarang aku lebih memilih untuk lebih tenang dalam bercanda. Secukupnya saja tapi entah besok, tergantung dengan situasi.

Sedikit obrolan dengan mereka berempat dan saling lempar candaan. Cuma Burhan yang berbeda, memang dari awal dia cenderung pendiam. Sampai aku sudah merubah penampilanku dia masih tetap sama. setelahnya, aku meninggalakan mereka dan duduk di tempat duduk seperti biasanya. Di belakang empat sekawan yang mungkin masih berdebat di luar sana, ya karena memang belum ada mereka di tempat duduk keramat. Tempat duduk keramat empat sekawan, hiiiiii...

Sesaat kemudian...

“Winda duduk sebelahnya Arta saja hi hi hi,” ucap Winda yang masuk bersama ketiga sahabatnya.

Ah, sial. Pandangan mereka bertiga semakin tajam ke arahku. Pasti mereka berpikir macam-macam tentangku. Bukannya apa-apa, karena setelah kejadian malam tahun baru. Winda itu masih takut kepadaku, bahkan untuk mengobrol saja tidak berani. Lha ini, hampir bertolak belakang dari yang kemarin.

Mereka bertiga duduk didepanku, tapi sebelum mereka duduk, tatapan mereka benar-benar seperti sebilang pedang. Tajam. Daripada mereka berpikir macam-macam aku menjulurkan lidahku ke arah mereka. Dan respon paling seram adalah Dini, matanya mendelik. Ku balas dengan ekspresi wajah ketakutan.

Ah, dosen sudah datang. Kuliah, membosankan. Tapi tidak juga, ada Winda disampingku. Dia lebih bersemangat untuk mengikuti perkuliahan. Saat dosen menerangkan, dia tampak antusias sekali memperhatikan. Pas di kasih soal sama dosen, wow, ini yang membuatku semangat. Bagaimana tidak? Pas ngerjain soal, dia mepet ke aku, he he. Terus terus... empuknya kena dikit di lenganku. He he. Wajar, cowok!

Setelah perkuliahan. Di kantin.

“Arta mau maem apa? Winda pesenin?” tanya Winda, dan semua teman-temanku melihatku aneh.

“Sa-sama seperti Winda saja,” jawabku, dia mengangguk dan langsug berjalan ke arah salah satu kantin langgananku.

“Auuuuuchhhh... sakiiiit Naaaaaa’...” rintihku.

“Lu apain si Winda sampe segitunya sama lu!” ucapnya sedikit membentak.

“Lu pelet?!” Dini tak mau kalah, langsung mengirimkan rudal pertanyaannya. Respon yang lain pun sama, mereka juga bertanya hal yang sama kepadaku.

“I-iya aku jawab, tapi ini cubitannya dilepas dulu Na’, sakit” pintaku.

“Huh! Cepet jawab!” bentak Dina, sembari melepas cubitannya.

“Iya, aku pelet. Ni...” ucapku sembari menjulurkan lidahku beberapa kali.

“Serius!” ucap Dini dengan tangan yang bersiap-siap melempar buku.

“I-iya... tenang Din, tenang,” ucapku dengan kedua tangan terbuka untuk menenangkannya.

“Begini... hufth... anu... hufth... tanya saja sama Winda, nanti dikira aku yang mengada-ada,” jawabku.

Mereka semua memandangku dengan sangat tajam. Aku merasa menjadi tersangka suatu kasus. Kutarik bajuku ke atas dan kututupkan di hidung, tapi tetap saja mereka melihatku dengan tatapan yang sama. Hingga Winda datang dan duduk disampingku, tatapan mereka sudah menjadi seperti biasa. Bahkan, mereka bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku masih bisa bernafas karena semanja-manjanya Winda, dia tidak semanja ketika aku berada dikosnya. Bisa bahaya bukan kalau saja dia memintaku untuk menyuapi, atau melakukan hal yang lain. Dan di kantin, semuanya berjalan sewajarnya. Yang berbeda kali ini, Winda memang terlihat lebih dekat, lebih akrab denganku. Tidak terlihat sedikitpun ketakutan dia sebelumnya. Tapi ya itu, sesekali aku mendapat lirikan tajam dari teman-teman.

Dan pada akhirnya, semua tetap berjalan normal hingga perkuliahan berikutnya setelah acara makan siang di kantin. Dan kebiasaanku, selalu keluar dari ruang kuliah paling terakhir. Dari yang aku lihat, Winda sebenarnya ingin mengajakku keluar bersama. Tapi, Dini dan Dina menarik Winda, diinterograsi mungkin.

Setelah semua keluar, baru aku melangkah keluar ruang kuliah. Aku turun ke lantai dasar, Baru saja sampai di lantai dasar, Ibu kantin memanggilku. Aku menghampirinya, diajaknya aku bercengkrama sebentar kemudian disuruh mengantarkan pesanan makanan ke laboratorium Analitik di lantai 2. Kenapa aku mau? Karena ada iming-iming besok makan gratis. Aseeeek.

Sesampainya di lantai 2, laboratorium Analitik.

“Selamat siaa... eh, soreeeee.... pesananan makanan dari kantin,” teriakku di pintu laboratorium.

Kleeek..

Pintu ruang timbang terbuka. Ruang timbang adalah sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menimbang bahan-bahan kimia. Dibutuhkan ruang tertutup karena timbangan yang digunakan adalah neraca (timbangan) analitik. Timbangan ini sangat sensitif terhadap getaran dan juga udara bergerak. Makanya dibuat sebuah ruang tersendiri, tertutup dan ber AC, tapi biasanya ruang timbang juga digunakan untuk melakukan penelitian. Karena ruangannya yang cukup luas, biasanya juga digunakan untuk menyimpan bahan dan beberapa alat yang mahal-mahal harganya.

“Kamu mas, taruh saja di meja ruang instruktur mas,” perintah Dosen yang bergelar profesor.

Dia adalah Profesor Dodokambek, seorang profesor yang kalem tapi juga baik hati. Rambutnya sudah putih, umurnya mungkin sudah mendekati kepala 6. Si Prof ini, kalau menjelaskan materi kuliah juga benar-benar membuat mahasiswanya mengerti.

“Iya Prof, siap!” ucapku sambil tersenyum.

Prof Dodokambek berjalan menuju ruang instruktur, begitu pula aku. Ruang timbang dan ruang instruktur terletak berderet dan hanya dipisahkan ruang alat kaca. Setibanya di ruang instruktur si Prof menyalakan lampu, diajaknya aku duduk dan bercengkrama sembari memakan pesanannya. Mudeng tidak asal senyum saja. Maklumlah, penelitian profesor mana bisa mudah dimengerti olehku yang baru masuk kuliah.

Pet...

Tiba-tiba lampu padam.

“Waduh! Kok malah mati lampu,” dia kemudian berdiri membuka box yang menggantung di dinding, mengambil kunci.

“Mas coba kamu ke bawah, ke ruang bawah tanah. Coba cek, apakah tuas utama turun atau tidak, kalau turun kamu naikan. Tapi kalau memang benar mati lampu, kamu beritahu aku. Biar aku bisa pulang. yang ada hitam-hitamnya itu kunci box tuas atau saklarnya. Kalau yang ada cat putih itu kunci pintunya,” perintahnya sembari memberikan kunci pintu.

“Siap Prof! laksanakan!” ucapku berdiri, keluar dari ruang instruktur dan aku berbalik.

“Eh, prof. Ruang bawah tanah itu mana ya? he he he” aku benar-benar tidak tahu.

“Dasar! Pintunya dibalik tangga di lantai satu. Dah cari sendiri sana,” perintahnya.

Aku mangangguk sembari tersenyum cengengesan. Langsung aku berlari menuju ke lantai bawah, dan menuju ke lokasi pintu ruang bawah yang berada dibalik tangga lantai satu. Tepat ketika aku berada di depan pintu ruang bawah tanah, aku menemukan sesuatu.

“Eh, kok tidak dikunci?” bathinku.

Aku membuka pelan. Kulihat tangga turun, ruangannya sangat gelap sekali. Ku ambil sematponku, waktu menunjukan pukul 15:30, kemudian aktifkan mode senter. Pelan aku melangkah, berhati-hati. Sesampainya dibawah, ku sorot semua sisi ruangan. Kutemukan sebuah box. Aku mendekatinya.

“Terbuka?” bathinku.

Box sedikit terbuka. Aku membukannya pelan. dan benar ternyata tuas memang turun ke bawah. Dengan satu tangan aku tekan ke atas tuas, seketika itu lampu menyala. Kumatikan sematponku. Ku tutup kembali box tersebut. Saat box sudah ku tutup, aku merasa aneh dengan box ini.

Box terbuat dari logam, yang melindungi sisi atas, bawah, kanan dan kiri tuas. Tapi kenapa pada bagian sisi bawah box, bagian ujungnya sedikit turun? Atau dengan kata lain, sisi box pada bagian bawah menganga. Jadi kalau pintu box aku tutup, sisi bagian bawah box terbuka. Aku membukannya kembali, pada sisi bawah tertancap paku kecil. Tepatnya ada satu paku kecil yang tidak tertancap sempurna. Sedangkan pada sisi lain tidak aku temukan, seperti ditambahkan. Iseng aku menyentuh sisi bawah box, dingin. Ah masa bodoh, mungkin ada orang yang memasang paku ini sehingga sisi bawahnya terbuka. Aku menutup kembali pintu box dan menguncinya. Berbalik dan...

Dug..

“Aduh... eit eit eit.”

Aku tersandung sesuatu, untungnya saja tidak terjatuh. Aku kemudian berjongkok dan mengamati benda tersebut. Sebuah beban, berbentuk kotak. Bagian atas beban terdapat sebuah lubang seperti pada gantungan kunci. Ada benang yang terikat pada lubang tersebut. Benang itu lumayan pendek dan terikat pada logam berbentuk cincin. Eh, tapi kelihatannya itu bukan benang biasa, seperti kawat tapi terlihat lentur sekali. Dan baru aku sadari di sekitar logam tersebut ada genangan air.

“Es batu? Kenapa ada es batu disini?” bathinku. Melihat ada sedikit es batu disitu.

Aku ingin menyentuhnya tapi perasaanku mengatakan untuk tidak menyentuhnya sama sekali. Aku senggol beban itu, dan rasanya lebih dari 1 Kg beratnya. Lha ukurannya besar sekali.

“Eh, kenapa ada pensil juga disini?” bathinku ketika aku melihat 7 pensil berserakan. Ah, benar-benar aneh.

“Siapa disana?!” teriak seseorang laki-laki dari lantai atas (lantai satu).

“Saya pak, disuruh profesor dodo kambek untuk menyalakan lagi” jawabku.

Aku bangkit melangkah menuju lantai atas. Tapi anehnya, tidak ada seorang pun ketika aku sampai di lantai satu. Suara tadi yang memanggil juga terdengar aneh, seperti bukan suara asli. Seperti dibesar-besarkan volume suaranya. Aku kemudian menutup pintu dan kembali ke Laboratorium Analitik. Di sana aku menyampaikan kepada porfesor kalau pintu sudah terbuka dan box juga sudah terbuka.

“Lho apa kemarin aku lupa ngunci ya? kemarin itu beberapa kali lampu sering mati, saya kira itu pemadaman listrik. Setelah saya cek kemarin ternyata tuas turun. Sudah lima kali, kalau dengan yang sekarang enam kali,” jelas profesor. Dahiku sedikit mengrenyit. Berpikir.

“Prof, ada yang bawa kunci selain profesor??” tanyaku.

“Tidak ada, karena ini kunci satu-satunya. Kemarin waktu mati lampu yang pertama, saya hubungi laboran yang mengurusi. Sebenarnya dia sudah pulang, tapi balik lagi kesini. Kasih kunci ruang bawah tanah,” jelasnya.

“Berarti laborannya tidak bawa prof?” tanyaku kembali

“Iya, saya suruh ninggal di sini saja. biar kalau mati lampu gampang menyalakan.” jawabnya sekali lagi

“Kenapa tidak menyuruh laborannya saja prof?” tanyaku yang memang pada dasarnya penasaran.

“Kasihan mas, anaknya sedang sakit ditambah lagi mertuanya juga. Jadi saya suruh pulang lebih awal, kalau sudah jam 2 atau jam 3. Beberapa kali istrinya datang kerumah, pinjam uang untuk biaya pengobatan karena mertuanya tidak ikut jaminan kesehatan. Waktu itu juga kalau pulang saya antar. Jadi pas dia datang kesini saya langsung suruh pulang buat jaga keluarganya,” jelasnya, dan aku manggut-manggut.

“Kenapa tidak melalui si laboran langsung saja prof?”

“Aku tidak ingin dia merasa berhutang budi lebih banyak kepadaku, ada banyak cerita. Salah satunya waktu dia sakit, dan aku tidak tahu. Aku meneleponnya untuk membantuku. Dan setelahnya saat dia datang, ada dosen yang bertanya kenapa dia berangkat padahal sedang sakit. Aku kemudian memastikan, dan dia selalu menjawab ‘saya banyak hutang budi sama profesor, sekalipun sakit saya akan datang’, maka dari itu, aku merahasiakan ini semua,” jelasnya, dan aku manggut-manggut.

“Oia Prof, tadi saya lihat ada beban dan juga benda lainnya,” jelasku.

“Oh itu, saya juga menemukan tapi tidak tahu. Mungkin sudah lama disitu. Saya baru tahu juga kemarin sejak pertama kali ke ruang bawah tanah untuk menaikan tuas. Sebelumnya kan saya tidak pernah kesana,” jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan dari profesor, berarti sebenarnya kecurigaanku tentang benda-benda yang aku temukan dan pintu yang terbuka adalah wajar. Karena tadi profesor bilang kalau bisa jadi dia yang lupa mengunci dan benda-benda tadi menurut profesor juga sudah ada sejak profesor masuk ke lantai bawah. Aku kemudian meninggalkan profesor yang masih melanjutkan penelitiannya padahal hari sudah mulai gelap. Setelah keluar dari gedung laboratorium aku menuju kantin, dan ternyata Ibu kantin juga sudah tidak ada. Aku ditinggal. Padahal aku ingin melaporkan tugas yang dia berikan telah dilaksanakan dengan baik.

Sudahlah, sekarang saatnya untuk pulang. dengan langkah cepat aku menuju ke tempat parkir. Berlari kecil menuju ke Varitem. Dan...

“Lama sekali” ucap seorang perempuan di belakangku.
 
Terakhir diubah:
Scene 9 menyusul gan, sedang dalam pengeditan, harap bersabar....

Secepatnya di update, terima kasih
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd