Scene 8
Jangan Over!
Ainun ... ...
Ugh...
Aku terbangun, duduk diatas tempat tidur Ainun. Dengan mata terpejam aku meraba-raba sampingku, sudah tak kudapati tubuhnya. Di mana dia? Aku sibakkan selimut yang menutupi tubuhku, entah sejak kapan ada selimut ini. Akan tetapi gerakanku terhenti. Tubuhku kaku, seperti banyak paku yang menahan tubuhku untuk bergerak.
“Pakaianku di mana? Tas dan juga sepatuku, tolong disiapkan,” teriak seorang dari luar kamar Ainun. Dan aku tahu itu suara siapa, Pak RT!
“Iya, itu sudah di ruang tamu semua, tinggal bawa saja,” jawab Ainun.
Aku benar-benar membeku. Bagaimana kalau aku ketahuan? Bagaimana kalau, argh! Bagaimana ini. Nafasku menjadi sangat berat. Aku takut, jika tiba-tiba lelaki itu masuk ke dalam ka...
Kleeek...
Tubuhku menjadi sangat dingin. Kaku. Aku tak bisa lagi bergerak. Hanya mengamati pintu yang terbuka perlahan. Mungkin inilah akhir dari segala petualanganku. Dan semuanya, dan semuanya....
Tubuh berbalut kerudung putih dengan kaos merah jambu. Masuk dari balik pintu kamar. Dia hanya membukanya sedikit, dan kemudian menutupnya. Berdiri dan bersandar pada pintu dengan tangan memegangi daun pintu. Dan aku, aku bisa menghela nafas panjang.
Jarinya menyilang di bibirnya...
“Sssst...”
Dengan isyarat tangan, aku menunjuk bagian bawah tubuh, juga mengangkat kakiku. Melihat tingkahku bukannya panik atau bagaimana, dia malah menggelembungkan pipinya dengan jari telunjuk menyangga dagunya. Kepalanya kemudian menggeleng. Karena jengkel, aku membuka selimut. Tanganku kembali memberi isyarat kepadanya tentang celanaku dan sandalku. Jelas aku panik, aku melepas celana di ruang tamu dan sandal ada di depan rumah!
Eh, bukannya panik atau bagaimana gitu. Dia malah tertawa tanpa suara. Aku yang panik, mencakar rambutku. Ku perlihatkan wajah ketakutanku. Aku memandangnya dengan mimik yang benar-benar ketakutan, tapi dia dengan santai menunjuk ke arah gantungan pakaian. Aku menoleh dan fyuh... celanaku ada di gantungan pakaiannya sedangkan sandalku ada di lantai bawah gantungan.
“Aku mau berangkat dulu!” teriak pak RT, membuat tubuhku dingin.
“Iyaaa... sebentar,” jawab Ainun.
“Tumben banget, pagi-pagi di dalam kamar?” teriak pak RT kembali, kali ini aku benar-benar ketakutan. Suara itu tepat berada di balik pintu kamar Ainun.
“Lagi ganti pembalut, bentar kenapa?” jawab ainun balas bertanya dengan nada sedikit ketus
“Oh, ya... aku mau berangkat dulu” jawab pak RT
Ainun sedikit mendekatkan telinganya di pintu, setelah yakin pak RT melangkah menuju ruang tamu. Dia memberikan isyarat kepadaku untuk tetap berada dalam kamar dan kemudian perempuan berkerudung ini keluar dari kamar.
Aku termenung, entah benar atau tidak yang aku lakukan ini. Sedikit lagi saja, aku akan bernasib sama dengan kedua sahabatku. Tapi disisi lain, ah, aku tidak ingin lepas. Apakah ini adalah hal yang sama, yang dirasakan oleh kedua sahabatku?
Dalam lamunanku, aku mendengar suara mobil yang perlahan menghilang. Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati kamar. Pintu terbuka, Ainun. Aku memasang wajah masamku. Dia tersenyum, kemudian duduk dipinggir tempat tidur.
“Marah ya?” tanyanya, aku sedikit membuang muka.
“Baru saja semalem dimanja. Sekarang suruh dewasa lagi, huh!” aku meliriknya. Melihatnya menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia kemudian memiringkan tubuhnya membelakangiku.
Hadeh.... salah lagi, salah lagi. Memang benar, pasal satu wanita selalu benar. Pasal dua, jika wanita salah kembali ke pasal satu. Dan... aku memang harus seperti semalam. Daripada marah, lebih baik aku mendekatinya sekarang.
Aku menggeser tubuh telanjangku. Menarik tubuhnya pelan agar dia telentang. Awalnya dia menahan tubuhnya, tapi karena aku sedikit memaksa akhirnya dia mau membalikan tubuhnya. Pipinya menggelembung, wajahnya sedikit marah.
“Maaf...” dia tetap diam dan tidak membalas.
Aku dekatkan bibirku, dan mengecupnya. Dia kemudian tersenyum, menarik pundakku. Selanjutnya bibir kami bertemu, saling memuaskan. Dengan lembut telapak tangannya mendorong dadaku. Senyumnya terlukis di bibirnya.
“Mandi dulu yang, bauk.”
Aku tersenyum, dan menjulurkan lidahku. Kupeluk sebentar dan kukecup keningnya. Dan kemudian beranjak menuju pintu keluar kamar.
“Iiih sok romantis deh mas-nya,” candanya.
Aku mendekati dan mentowel pipinya. Ketika dia menjerit mengaduh, aku langsung meninggalkannya. Berlari menuju kamar mandi, ku raih handuk di gantungan depan kamar mandi. Entah, handuk siapa. Yang jelas aku bisa mandi. Beruntung didalam rumah hanya dia, karena sejak dari kamarnya sampai kamar mandi, aku telanjang. He he...
“Buatin nasi goreng, teh anget...” teriaknya dari luar kamar mandi.
“Buat pakai apa? Gasnya habis,” candaku, walau sebenarnya aku tidak tahu mengenai gas di rumah ini.
“Pakai cinta!” teriaknya. Bahagia juga ketika mendengar kata-katanya.
“Apa?!” aku kembali berteriak tapi tak ada jawaban.
Segera aku mandi, membersihkan tubuh. Setelahnya kulilitkan handuk dan keluar dari kamar mandi. Aku sedikit terkejut ketika melihatnya bersandar di tembok, memandangku. Dengan wajah datar, dia mendekatiku. Aku terpaku, berpikir apa yang akan da lakukan. Tubuhnya yang lebih pendek dariku, membuatnya mendongakan kepala ketika melihatku. Dan...
“Auuuuuuuuuucccchhh... sakit Nun,” teriakku kesakitan, aku langsung berlutut.
“Weeeek... daaaaaah....” dia berlari meninggalkan aku, aku mencoba meraih tangannya tapi terlambat.
“Awas ya!” teriakku.
“Dah cepet ganti baju, buat nasi goreng sama teh anget,” teriaknya.
Huh! Sial, sakit sekali. Kalau pas posisi tegang diremas mending masih ada pertahanan. Lha ini lagi tidur, kaya pancuran diremas kuat sekali. Ufth, sakit banget. Tapi kenapa langsung siap siaga seperti ini ya? segera aku bangkit dan melangkah menuju kamarnya. Kulihat dia masih tertawa cekikikan didepan televisi.
“Dah cepetan, Ainun lapeeeeer bangeeeet artaaaaaa,” manjanya.
Aku mendengus kesal dan langsung masuk kamar. Dengan cepat aku berganti pakaian kemudian keluar kamar. Masih saja dia tertawa cekikikan, penasaran aku dibuatnya. Pandangannya memang melihat ke televisi tanpa suara, tapi yang menjadi pertanyaanku itu tertawa cekikikannya itu. Menertawakan aku atau memang menertawakan acara televisi yang dia tonton.
Aku menggeser posisiku sedikit kesamping, di belakang dia. Eh, dia-nya masih saja melihat ke depan, seakan tidak menganggapku ada. Dan... hufth, benar dugaanku dia sedang menertawakanku. Acara berita dia tonton, ndak ada suara, cuma gambar. Aku langsung melangkah menuju dapur dengan dengusan kesal.
“Arta saaaaaayang... nasi gorengnya cepet ya, Ainun yapeng banyeeeeet,” suaranya manja.
Aku berhenti sejenak, menengok ke belakang. Dia menutupkan keempat jari di bibir, dibuka kemudian ditiup. Aiiiiiisssshhh, dapat ciuman terbang.
“Iiih Arta sayang wajahnya merah, makanya cepetan buat nasi goreng. Nanti Ainun kasih yang asli,” rayunya.
“Ekh... I-iya...” aku menunduk dan langsung melangkah cepat ke dapur.
Segera aku membuat pesanannya. Kenapa ya, kok bisa-bisanya wajahku menjadi merah? Tapi apa benar merah? Tapi memang tadi agak sedikit terasa bagaimana di wajah. Ah, jangan-jangan benar-benar memerah wajahku. Malu sendiri.
“Fyuuuh... capek juga, tapi ndak secapek tadi malam he he,” bathinku.
Dengan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh hangat, aku melangkah menuju sang malaikat. Dengan senyumnya dia menyambutku. Aku duduk disebelahnya, meletakan teh hangat didepannya. Bak ratu, dia hanya memandang dan tersenyum padaku.
Kuambil piring nasi goreng, ku sendok...
“Aaaak,” ucapku dengan mengarahkan sendok berisi nasi goreng ke mulutnya.
“Eh...” dia sedikit terkejut.
“Maem duyu, katanya yapeng,” candaku.
Dia bergeser mendekatiku. Tersenyum manis. Lebih manis dari gula mungkin. Pelan aku menyuapinya, sembari memakan nasiku sendiri. Kini giliran dia yang wajahnya memerah. Aku menggodanya. Wajahnya semakin memerah, padam. Ah, benar-benar membuatku terkesima. Anggun, cantik.
Selesai makan aku membawa nampan berisi piring dan gelas kotor. Ainun dengan senyumannya membantuku mencuci di dapur. Setelahnya, dengan manja kedua tangannya meraih lenganku dan dipeluk erat, dan... empuk, eh. Aku dan dia kembali ke ruang tamu. Pintu rumah tertutup, padahal masih pagi.
Duduk bersama dengannya. Tangannya lembut mengelus pipiku. Menarik wajahku hingga menoleh ke arahnya. Bibirnya mendarat di bibirku. Tubuhku bereaksi, kedua tanganku memeluknya. Di atas kursi, dimana aku pertama kali ‘keluar’.
“Sekarang Ainun ada saingannya ya?” tanyanya dengan nada manja.
“Saingan apa?” balasku bertanya.
“Itu, Winda hi hi hi,” tawanya cekikikan.
“Eh, saingan bagaimana? Kok sama Winda?” tanyaku kembali.
“Mmm... gimana yaaaaa...” jawabnya.
“Hmmm...” aku bergumam.
“Hi hi hi... Kalau Arta suka sama Winda Ainun rela kok” jawabnya sambil membalikan tubuh, melepas kerudung, hingga terurailah rambut panjangnya.
Perlahan, kepalanya rebah di pangkuanku. Tangannya meraih tanganku, menuntunku untuk mengelus rambutnya.
“Arta mau suka sama siapa saja, Ainun gak papa kok. Asal, jangan dibawa ke kompleks, atau...” ucapnya dengan mata tertutup.
“Atau apa?” aku penasaran dengan kata-katanya.
“Atau Ainun labrak hi hi hi... pokoknya, kalau di komplek, Arta milik Ainun hi hi hi...” jawabnya dengan nada bercanda.
“Cemburu?” tanyaku, dia mengangguk cepat walau tanpa membuka matanya.
“Arta beneran suka sama Winda?” matanya terbuka memandangku dengan tatapan lembutnya. Aku hanya menjawab dengan menaikan kedua bahuku, bingung.
“Buktinya Arta mau nemenin Winda tuh,” kembali dia menyudutkanku.
Sejujurnya aku bingung. Winda, ada kesempatan untuk dekat dengannya. Tapi, jika aku dekat dengannya dan mengejarnya, bisa jadi aku hanya pelampiasan dari kisah cintanya yang terhenti. Dan jika aku tetap berjalan dengan Ainun, yang ada hanya aku merusak sebuah tatanan yang sudah dibangun olehnya. Bingung jug ya, hmmm.
“Hi hi hi... Arta jangan bingung gitu, kalau bingung nanti Ainun siapa yang manjain. Masa Arta manjain Winda terus? Hi hi hi...” ucapnya tiba-tiba.
“Huh, bercanda terus, aku kira serius,” jawabku.
“Yee... memang serius ini, kan lagi dimanja. Ya, gini itu seriusnya hi hi hi,” tawanya lagi.
Aku memandangnya, meluruskan bibirku ke arahnya. Mata kami bertemu, matanya penuh kebahagiaan.
Hening sesaat
“Ar...”
Aku menunduk melihat ke arah dua bola matanya. Matanya bukan lagi mata manja seperti semalam.
“Ainun tahu Arta bingung. Ainun tahu itu.”
“Ainun gak tahu akhir perjalanan Arta, yang jelas Ainun ingin selalu menari bersamamu.”
Kalimat itu keluar lirih dari bibirnya.
“Eh...” aku sedikit mendengus terkejut.
“Siapapun itu, tak akan pernah tahu. Arta bakal menari sama siapa, tapi yang jelas, banyak yang ingin menari bersama Arta, salah satunya Ainun. Jangan asal pergi tanpa alasan, jangan asal meninggalkan dengan menyisakan kenangan pahit. Tak ada yang ingin Arta pergi. Mereka, Ainun atau siapapun yang di sekitar Arta.”
Tubuhnya bergerak miring ke arahku. Kedua tangannya berpindah ke belakang pinggangku. Menarik pinggangku.
“Jangan pergi...” ucapnya lirih.
“Sekalipun kamu menemukan pilihanmu,” hanya itu yang aku dengar.
“Jika bisa diajak menari bersama-sama, ajak mereka. pokoknya Ainun, mau menari sama Artaghhhhh” lanjutnya dan...
“Aaaaaaaaargghhh.... nunnnnnn jangan di gigit, aduh sakit nun, sakiiiit.”
Perutku di gigit dengan keras
Sejenak dia menoleh ke arahku dan langsung menjulurkan lidahnya. Sesaat kemudian dia balik menghadap ke perutku. Aku memandangnya. Aku cubit-cubit pipinya tapi dia diam saja. Dari sisi wajahnya terlihat kalau dia mulai tertidur. Aku diamkan dia, kemudian bersandar pada sandaran kursi. Kuletakan telapak tanganku di kepalaku. hufth... seandainya saja dia tidak memulai membicarakan Winda, mungkin aku tidak akan diam seperti ini.
Meninggalkan dia dan mereka yang baru saja aku temui. Entah, seperti apa akhir dari ceritaku ini. Kebimbangan, kegelisahan mulai menghantuiku. Winda, kenapa tiba-tiba saja aku berpikir tentang dia. Apakah dia cara agar aku bisa melepas malaikat ini? Desy, ah, ini gara-gara Ainun mengatakan kata ‘mereka’. padahal sama sekali dalam benakku tak berpikir tentang Desy. Tapi, di atap gedung saat itu. Hufth...
Dini, saat di perkemahan dan juga saat pertama kali masuk kuliah. Huuuhh, disana juga ada Dina. Dan beberapa cewek yang ku kenal dan belum punya gandengan alias pacar, ada... Salma, Dinda, Tyas. Hmm... huffffth....
Eh, kenapa aku berpikir jauh? memang mereka suka sama aku? Ainun juga? Apa benar dia sayang sama aku? Winda? Desy? Dini? Dina? Hadeeeh, terlalu percaya diri ini akunya. Aduh, bukannya aku ini sudah berubah? Kenapa malah jadi tukang gelisah begini? Bodoh, ah! Aku adalah Arta, Arta yang bukan culun lagi. Ya, bukan.. hoaaammmhhh... ngantuk.
.
.
.
Kletek...
“Nih, sekarang giliraku buatin kamu minum. Diminum ya?” ucap Ainun, sembari meletekan dua gelas minuman hangat. Kemudian duduk disebelahku.
Tepat pukul 3 sore, aku terbangun saat aku meraba pahaku dan tak kudapatkan Ainun. Baru saja aku bangun, baru merenggangkan tubuh, Ainun sudah datang dengan dua gelas teh hangatnya. Dia tersenyum manis ketika melihatku bangun.
“Tuh jempol kamu, kedinginan. Tidur mau model apa tetep aja ngemut jempol,” candanya.
“Maklum, kebiasan sejak kecil he he,” jawabku.
Dia lantas memandangku dengan tatapan lembutnya.
“Makannya tadi Ainun dipindahin ke kamar saja, terus dibuka. Biar gak ngemut jempol terus kalau tidur hi hi hi,” candanya.
“Eh, beneran?” tanyaku terkejut, sembari mengambil minuman hangat.
“Udah pernah lihat?” tanyanya, aku menagngguk.
“Udah pernah nyentuh?” tanyanya, aku mengangguk.
“Udah pernah mmmm... mainin kan?” tanyanya kembali, aku mengangguk.
“Dasar, udah pernah masih saja nanya” ucapnya sembari memajukan bibir bawahnya.
“Aiiish... memang sudah pernah semua, tapi kan ya ndak langsung begitu kan. Kasihan kamunya, nanti ganggu tidur,” ucapku.
“Aaaaaaaaaaa....” teriaknya langsung memelukku.
“Iiih ganteng deh, masih mikirin tidur Ainun hi hi hi.”
Dia memelukku dengan erat. hampir saja jatuh gelas yang baru saja aku ambil. Aku letakan dan kemudian aku membalas pelukannya. Aku bersandar dan dia memelukku, ku kecup ubun-ubun kepalanya.
“Nun...” lirih, dia menengadah ke arahku.
“Maksud kamu menari bersama?” tanyaku.
“Auuuchhh... sakit,” suaraku jadi cempreng gara-gara dia membetet hidungku.
“Pokoknya nari bareng, dah itu saja hi hi hi,” jawabnya.
“Oooohh...”
“Jika menari, aku ingin selalu menari hingga sudah tak kuat untuk menari. Dengan siapapun. Haaaah... aku juga tidak tahu kenapa semua seakan menjadi seperti sekarang ini, tapi aku bersyukur walau kadang ada sedikit penyesalan karena masa laluku,” ucapku sembari memeluknya.
“Jangan menyesali hidup, karena hidup adalah sebuah perjalanan dan kamu belum menemui akhir dari perjalananmu. Teruslah berjalan, dan menari bersamaku, bersama yang lain juga. Tetaplah disini sebagai Arta, Arta yang Ainun kenal ya... mmmuachhh,” ucapnya kemudian mengecup pipiku. Aku memandangnya dengan senyuman.
“Aku tidak tahu, Nun. Apakah aku akan selalu disini? Setiap orang punya jalannya masing-masing Nun. Dia mau tinggal atau pergi, itu adalah keputusan dari yang ingin bersamanya kan? Kalau yang ingin bersamanya sudah tidak mau, ya, harus pergi. Kalau yang bersamanya ingin tetap bersamanya, ya tinggal,” aku menyandarkan tubuh, dengan kedua tangan di belakang kepalaku.
“Dan Ainun ingin Arta berada disini,” kembali memelukku.
“Tak ada yang tahu ke depan nanti. Apa yang akan kita lakukan sekarang, apa yang akan kita lakukan besok, tak ada yang tahu. Terkadang manusia akan menyesal, kadang pula dia akan sangat bersyukur. Jadi jalani hidup Arta yaaaah... Dan....” lanjutnya.
“Eh, dan apa?”
Dia selalu membuatku penasaran.
“
Don’t change too much, you are not a kid anymore.” Ucapnya.
Seperti kata-kata Winda, dan itu memang aku ceritakan kepadanya juga. Aku menegakan tubuhnya dan memandangnya.
“Hi hi hi, pasti mau tanya maksudnya apa?” aku mengangguk ketika dia bertanya kepadaku.
“Dari cerita-cerita Arta, tuh liat sendiri aja,” aku mengrenyitkan dahiku.
“Hmm... kamu memang berubah sayang, tapi jangan berlebihan. Dan jangan berubah seperti kamu SMA, kan kamu sudah kuliah? Masa’ perubahan kamu malah kembali ke masa SMA kamu? balik ke masa gak bisa atur diri kamu? kenapa gak balik ke masa TK kamu sekalian?”
“Coba lihat, dimana letak ‘mahasiswa’ kamu? perubahan kamu itu kan perubahan kalau kamu sebenarnya bukan anak yang culun. Dan, perubahan kamu bukan berarti kamu menjadi diri kamu yang dulu. tuh, banyak yang merasa terganggu gara-gara candaan kamu. biasa saja. kamu bukan SMA yang berarti kamu itu sudah bertambah, De-wa-sa” penjelasannya menghilangkan sifat manjanya.
“Paham kan?” tanyanya, aku ingin menggeleng, mengangguk tapi bingung.
“Kamu itu... pinter, suka bantu temen dan ganteeeeeeng... ganteeeeeeeng... ganteeeeeeengg... iiiiih Ainun gemes deh sama Arta iiih iiih iih,” ucapnya sembari mencubit pipiku. Aku Cuma diam diperlakukan apapun olehnya.
“Ah, udah ah, jadi lupa kalau hari ini mau dimanjain sama Arta,” manjanya, dan langsung memelukku lagi.
“Elus, mainin rambut Ainun. Pulang ntar pas matahari tenggelam, pas sepi-sepinya komplek,” ucapnya memaksa.
“Hadeeeeh... nuuuun, nun. Baru saja mau menyanggah kamu malah hufthh...” ucapku.
“Bodoh amat, kalau Arta bisa manjain Winda, ya... Ainun juga dong,” ucapnya dengan pelukan semakin erat.
“Iiiiih... ada mbak-mbak manja he he he,” candaku.
“Manja ama yang disayang,” ucapnya lirih.
Suasana menjadi hening, awalnya. Tapi setelahnya aku kembali bercanda dengannya. Aku tidak ingin dia tertidur lagi, tidak ingin dia larut dalam mimpi lagi. Aku ingin selalu melihat senyumnya, makanya aku selalu menggodanya agar tidak tidur lagi. Terkadang dia ngambek juga ketika aku menggodanya, tapi setelahnya juga tertawa lagi. Ya begitulah.
Rambutnya panjang hingga punggung dan entah mengapa aku suka sekali memainkannya. Kalau pas aku memainkan rambutnya, menyisir dengan jari atau mengucirnya, kelihatan sekali dia senang. Katanya, enak kalau rambutnya dimainkan. Aku terus bercanda dengannya, tak ada percakapan yang terlalu serius. Ya, seperti kata Ainun, dia ingin dimanja hari ini. Begitu pula aku, penat rasanya kalau harus memikirkan ini itu.
Hingga matahari mulai lelah untuk bersinar. Aku bersiap untuk pulang. Saat berdiri di depan pintu rumah yang masih tertutup, aku mendapat pelukan erat dan kecupan. Entah kenapa dia bisa seluwes itu. Padahal aku juga bukan siapa-siapa jika dilihat dari status. Tapi, ada rasa sayang. Aku membalas pelukannya, mengecupnya. Hingga akhirnya kami berpisah, terasa berat ketika meninggalkan rumahnya. Tapi tak mungkin aku berada didalam rumah itu terus.
Sesampainya didalam kamar kos, aku masih berbalas pesan instan dengannya. Tak lupa aku bercanda dengan kedua adikku dan juga kakak perempuanku. Tentunya di grup pesan instan juga. Hingga malam, aku terus berbalas pesan dengan Ainun, kedua adikku, dan mbak Arlena. Merasa seperti ‘buaya’ aku. He he he.
Ah, lelah rasanya... tidur saja mungkin.
Sit suiti sirkuiiiit. Winda.
Katanya mau nemenin Winda, tapi gak tanya-tanya kabar Winda
Aduh, ketambahan satu lagi dan membuatku harus tidur lebih malam lagi. Padahal aku sudah pamit mau tidur dengan mereka berempat. Ini malah ketambahan satu lagi, hufth. Ya sudahlah daripada marah, lebih baik aku menemaninya dulu. lagipula aku sudah berjanji untuk selalu menemaninya. Hufth, Artaaaa... Arta, punya mulut ndak dijaga ya gini ini jadinya.
Dan aku menemani si manja, hingga dia merasa lelah dan menyudahi percakapan. Akhirnya, aku bisa istirahat juga. Fyuh...