Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Mamanya Eri

"Si Eri ngomong apa lagi?"
"Gak ngomong apa lagi."

Aku baru berbaring di kasur saat Bilal meneleponku.

"Lu yakin? Apa yang lu lakuin ke bonekalu hingga emaklu jadi baik?"
"Yakinlah sumpah. Gw cuma elus – elus aja boneka gw."
"Lu gak ngerasa kayak orang gila elus – elusin boneka?"
"Iya. Tapi sebanding sama hasilnya."
"Trus, jadi baiknya emaklu tuh gimana?"
"Udah gw bilang, itu rahasia gw."
"Lah lu. Emak gw bilang, dia mau ngomong sama gw setelah bapak gw tidur. Kayaknya gw bakal diceramahi. Gw mesti lakuin sesuatu sama boneka ini, biar gak diceramahin. Mantranya apaan sih? Gimana biar bonekanya jalan?"
"Gak usah khawatir soal mantra. Asal lu baikin tuh boneka, pasti sukses."
"Yakin lu?"
"Kalau lu gak mau diceramahin, lu mesti baik – baikin tuh boneka. Beberapa menit, gak, setengah jam mesti lu elus – elus. Sentuh kayak lu nyentuh cewek asli."
"Gw gak yakin bisa. Bonekanya mirip sih."
"Kalau lu gak mau diceramahi, lakuin. Tapi jangan lu tusuk pake jarum."
"Iya. Iya."
"Ya udah."

Telepon kututup. Mata kututup.
 
"Jup."
"Lu kira jam berapa ini?"
"Mana gw tahu. Tengah malam mungkin."

Nafas Bilal terdengar berat, seperti terengah – engah.

"Tengah malam gini, lu mau apa lagi?"
"Lu gakkan percaya. Lu bener – bener gakkan percaya," Bilal seperti berusaha agar suaranya pelan, namun tetap terdengar keras. Aku bahkan menjauhkan telepon dari kupingku.

"Lu mau ngomong apa?"
"Emak gw," kali ini suara Bilal agak berbisik. "Saat bapak gw tidur, emak gw bilang mau ngobrol sama gw. Emak gw nyuruh gw pake piyama, keluar dari kamar gw. Piyama. Entah tahun berapa gw terakhir pake piyama. Tapi ya gw nurut aja. Terus gw keluar dari kamar gw.
"Saat gw di ruang tv, ternyata emak gw juga udah pake gaun tidurnya. Bukan daster biasa yang selalu emak gw pake. Tapi kayak yang di film – film bokep, yang bahannya transparan. Gw bahkan bisa liat susunya, putingnya.
"Emak gw emang kurus, tapi liat susunya, bener – bener berisi."

Bilal berhenti bicara untuk bernafas.

"Terus? Lu jadi diceramahin?"
"Enggak. Ternyata bener. Gw elus – elus ternyata sukses."

Terkejut, aku lantas duduk di kasurku.

"Terus?"
"Terus? Itu bukan urusan lu."
"Iya deh. Ya udah, gw tidur dulu."

Aku diam, menunggu tanpa menutup teleponku.

"Tunggu. Gw bercanda."

Aku tahu Bilal takkan melewatkan kesempatan untuk menyombongkan dirinya.

"Halo. Lu masih ada?"
"Iya, gw dengerin."
"Jadi emak gw matiin lampu ruang tv, dan nyalain lampu yang ada di meja. Tv juga dimatiin. Terus duduk di sofa. Gw disuruh duduk di sebelahnya. Jadi gw duduk."

Bilal menghela nafas lagi.

"Gw duduk. Berusaha gak melihat susunya. Gw nunduk liat kakinya. Ternyata lumayan juga. Kakinya maksud gw. Kenapa mama pake pakaian kayak gini?"

Ini baru kejutan. Entah kapan terakhir kali Bilal menyebut emaknya dengan kata mama.

"Gw angkat pandangan gw hingga ke dadanya. Mama menyadari tatapan gw. Gw jadi gak enak. Gw putuskan untuk bangkit, namun tangan mama menahan. Mama lantas mulai bicara tentang kenakalan gw.
"Gw baru akan bilang kalau ya inilah gw dan mama gak usah ikut campur. Tapi mama bilang duluan kalau dia ingin memulai sesuatu yang baru.
"Ya, terserah, pikir gw. Tapi kini kedua tangan mama memegang tangan gw, seolah benar – benar tak mau gw melangkah.
"Kalau sekedar itu sih gw tak masalah. Tapi, kini mama menahan tangan gw dipangkuannya. Bahkan menyentuh selangkangannya."
"Wow," selaku.
"Gw terdiam. Mungkin mama tak menyadarinya. Jika gw lihat tangan gw, mungkin mama akan menyadarinya dan menyingkirkannya seolah itu salah gw.
"Akhirnya gw gak bisa menahan keinginan untuk melihatnya. Benar tangan gw kini memegang cdnya. Bahkan kakinya lebar, seolah dilebarkan. Mama menatap, bertanya kalau gw setuju tidak untuk memulai awal yang baru.
"Gw mengangguk sambil berkata setuju. Mata gw kembali terpaku pada susunya. Susunya itu seolah keluar karena, banyak bagian susunya yang tak tertutupi gaun itu. Hanya pas putingnya ke bawah saja yang tertutupi.
"'Bagus nak,' kata mama. Lantas mama menyenderkan kepalanya ke bahu gw, sedang tangannya menekan tangan gw hingga lebih menekan selangkangannya.
"Gw tak percaya, kontol gw tegang menyesaki piyama. Mama kembali bilang kalau kita bekerja sama, mama yakin kamu bisa jadi anak baik – baik.
"Gw jawab iya, Bilal bisa jadi anak baik – baik. Terus mama jawab kamu memang anak mama katanya sambil menekankan tangan gw lebih dalam lagi."
"Ah, lu ngarang lu."
"Kagak. Bahkan mama mulai menggeliatkan pahanya. Terus mama bilang kalau awal yang baru ini mesti disahkan dengan ciuman. Jadi gw gerakan kepala dengan maksud mencium pipi mama.
"Ternyata mama menggerakan bibirnya hingga menyentuh bibir gw. Gw terdiam. Mama menarik kembali bibirnya.
"Mama lantas bilang kalau mama sering menciumku saat gw kecil dulu karena gw lucu. Abis itu mama cium gw lagi. Abis mama cium gw, mama bilang lagi kalau kita mesti sering ciuman lagi, untuk merayakan perjanjian kita.
"Gw bilang iya. Mama bilang tapi kalau kamu tetep jadi anak baik – baik. Terus mama tanya, apa kamu gak akan nakal lagi? Gw jawab iya, Bilal gakkan nakal lagi.
"Abis itu gw dicium lagi. Gila, kali ini lidah mama masuk ke mulut gw."

Bilal kembali menghela nafas.

"Kira – kira sepeminuman teg gw ciuman sama mama. Abis itu, tau – tau kita udah berbaring di sofa. Gw lupa diri, gw liat tuh susu yang ada di depan gw. Mama malah senyum. Mama bahkan gak berusaha nutupin atau menerin pakaiannya. Terus mama liat ke celana piyama gw, yang tentu saja sesak karena kontol gw ngaceng.
"Mama terus bilang kalau gak seluruh tubuh kamu mengira kalau mama adalah pelacur tua.
"Gw bilang kalau gw gak berpikir seperti itu. Mama tertawa, lantas bilang kalau yang dulu biarlah masa lalu. Yang penting sekarang kita udah janji memulai yang baru lagi.
"Gw ngangguk. Terus mama mulai lagi."
"Mulai apaan?"
"Mama menyentuhnya."
"Nyentuh apaan?"
"Mama mengelus kontol gw. Dari mulai testisnya hingga ke ujung. Terus kontol gw dipegangnya. Gw hampir saja keluar di dalam celana gw. Terus mama bilang kalau seminggu ini kamu gak nakal, kita akan ngobrol lagi setelah ayah tidur."
"Gila. Bercanda lu ah."
"Gw ga bercanda. Pokoknya gw gakkan cari masalah."
"Iya, gw tahu," suaraku terdengar cemburu.

Bilal menyadari nada suaraku.

"Emaklu, masih baik gak sama lu?"
"Gak kayak emaklu sih."
"Mungkin lu kurang baik – baikin bonekanya."
"Bisa jadi sih."
"Ya udah. Gw cabut dulu."

Kututup telepon.
 
"Ini Bu Susan mah. Ingat gak?" Ayah mengenalkan seorang wanita muda ke mama.
"Ingat dong. Saya Sandra. Lho, suaminya mana?"
"Di rumah bu. Jaga si kecil. Maklum, masih bayi."
"Ya udah. Sebaiknya kita mulai," kata ayah setelah menutup pintu.

Bu Susan lantas mengikuti ayah ke ruang kerjanya. Aku duduk di sofa. Mama lantas ikut duduk. Beberapa saat kemudian kami bisa dengar suara ruang kerja ayah dikunci. Kulihat mama, namun mama bertingkah seolah tak mendengar apa pun. Kami menonton tv selama beberapa saat.

Saat iklan, mama mengambil majalah, lantas berbaring di sofa. Kudengar suara cekikikan dari ruang kerja ayah. Kuambil remot dan kutambah volume.

"Jangan terlalu keras."

Kukecilkan lagi volume yang sempat kutambah. Kulihat kaki mama.

"Masih ada lecet gak mah?"

Mama melihat kakinya. Seperti juga penglihatanku, sepertinya mama tak melihat ada lecet di kakinya.

"Iya."
"Mau diolesin salep lagi gak mah?"

Mama melihat ke ruang kerja ayah.

"Iya. Bentar mama ambil dulu salepnya."

Mama bangkit ke kamarnya. Aku duduk sabar menanti. Mama datang dan memberikan salep padaku. Setelah itu mama berbaring di sofa. Kaki kiri mama direnggangkan hingga aku bisa menyalepi kakinya. Mama melihat tv sambil kusalepi.

Tiap beberapa saat, kudengar suara bu susan di ruang kerja ayah.

Saat usapanku mencapai lututnya, mama mulai mengangkat lututnya. Kuusapkan lagi lutut yang satunya. Setelah kurasakan salep yang ada di tanganku habis, kuangkat tangan.

Namun, belum juga jauh, mama meraih tanganku dan mendaratkan ke pahanya.

"Kamu nakal gak hari ini nak?"
"Iya mah."
"Bagus."

Mama melepaskan tangannya di tanganku. Namun tanganku tetap menempel di paha mama. Karena merasa canggung, kulepas juga tanganku, membuat rok mama jatuh ke pinggangnya.

"Kamu gakkan nakal lagi kan?"

Aku terkejut mendengar mama bicara, karena nampaknya mama seperti sedang tertidur. Meski aku yakin mama tak tidur sama sekali.

"Enggak mah. Jupri janji gak bakalan nakal lagi."

Sial. Apa yang aku katakan? Kalau aku gak akan nakal lagi, mama tentu gak perlu mengubah kenakalanku seperti apa yang terjadi pada Bilal dan emaknya.

Tangan mama memegang tanganku, yang masih licin akibat salep.

"Tanganmu belum kering nak."

Mama melepas tangannya lantas mengelapkannya pada roknya hingga membuat roknya makin tersingkap. Biasanya mama menyuruhku memakai lap, tisu dan atau membasuhnya. Namun kini mama malah mengelap dengan roknya. Kini aku menatap selangkangan mama yang berbalut cd.

"Nak?" suara mama samar, terdengar seperti suara orang yang lelah.
"Iya mah?"
"Lecetnya masih terasa."
"Biar Jupri bantuin."

Tangan mama sekarang ditaruh di belakang kepalanya, seolah bantal. Kuolekan salep ke tanganku lantas mengelus paha mama. Karena mama tak protes, kucoba mengelus hingga lebih dekat lagi ke cdnya. Kudorong sedikit paha kiri mama ke sebelah kanan, agar lebih lebar lagi. Mama tak protes, tak juga menahannya.

Kusemprotkan salep dengan agak banyak ke tanganku.

"Duh, salepnya kebanyakan."

Kuusapkan tangan yang berlumuran salep ke bagian samping cd mama. Saat mama tak protes, kutekan jemariku hingga ke bagian tengah, tempat kuyakin terdapatnya memek mama. Aku deg – degan, jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Kutekan dan kuelus jemariku.

Karena mama tak merespon, kutambah lagi satu jari, kini telunjuk dan jari tengahku mengelus – elus bagian memek mama yang terbalut cd.

Kudengar suara pintu kerja ayah dibuka kuncinya. Karena panik, kutarik tangan, kubenarkan posisi rok mama lantas lari ke kamarku. Aku mencoba menguping apa yang akan terjadi.

"Sudah selesai ya?"
"Iya, bu Susan ini wajahnya fotogenik. Jadinya mudah."
"Bagus dong." Aku yakin ayah menyadari sarkasme yang terdengar di nada mama.
"Makasih udah mau membantu, saya harap saya gak mengganggu Bu."
"Tidak kok. Kalau memang mau lagi, tinggal bilang saja."

Kudengar pintu terbuka. Mungkin Bu Susan.

"Mama gak sopan amat sih."
"Benarkah? Memang ayah gak bisa ya nunggu mama gak ada di rumah buat sesi moto tetangga?"
"Dia kan fotogenik. Lagian ayah cuma bantu saja kok."
"Iyalah."
"Terserah mama deh. Mana si Jupri?"
"Gak tahu. Dia langsung pergi setelah ayah bawa proyek ayah masuk."
"Oh. Ayah mau tidur dulu. Mau ikut gak?"
"Gak. Liat tv dulu."
"Lho, katanya mau ngomongin si Jepri?"
"Gak usah. Biar mama tangani sendiri?"
"Jangan marah tentang Bu Susan dong. Lagian ayah cuma bantuin sesama tetangga. Jangan sampai tetangga masa gitu."
"Mama hanya pikir kalau waktunya gak tepat."
"Iya. Yang penting kita mesti jauhkan dulu dia dari si Bilal."
"Biar mama ya tangani."
"Terserah deh."

Kudengar langkah ayah menjauh, mungkin ke kamarnya.
 
Ternyata Ayah pun mau ikut campur urusanku, untungnya mama keburu ngomong. Jangan – jangan mama mau ngikuti langkah yang ditempuh emaknya Bilal sama Eri?

Kuambil boneka lantas duduk di kasur. Kembali kumainkan boneka dengan pelbagai langkah. Setelah puas, aku kembali ke ruang tv. Mama lagi menyenderkan diri di sofa sambil nonton tv. Untung lampunya dimatikan, hingga ereksiku yang menonjol tak begitu terlihat. Aku ke dapur dulu, menuangkan softdrink ke gelas, lantas membawa gelas. Aku duduk di sebelah mama.

"Nonton apaan mah?"
"Film barat. Drama."
"Seru gak mah?"
"Sssshhh..."

Mama lantas mendekatkan pinggulnya padaku. Aku diam sambil sesekali meneguk minumanku. Kucoba peruntunganku, kurangkulkan tangan ke pinggang mama. Lantas diam. Mama diam. Kuturunkan sedikit telapakku, hingga menyentuh pinggulnya. Lantas diam. Kuremas sedikit, tangan mama bergerak, memegang tanganku. Lantas diam. Beberapa saat kemudian tangan mama melepas tanganku. Mungkin, meletakan tangan di pinggul mama tak apa – apa, namun meremasnya tak boleh.

Kali ini kuputuskan untuk tidak meremasnya, namun mengelusnya. Mama tetap diam. Kuelus terus hingga kusadari jariku mulai menyentuh kulit mama. Saat kulihat, ternyata elusanku membuat rok mama sedikit terangkat. Beberapa menit kemudian kucoba menyingkap rok mama hingga akhirnya telapak tanganku menyentuh kulit mama.

Untuk sedikit meredakan ketegangan, kuhabiskan minumanku. Kuangkat gelas kosong di hadapan mama.

"Tolong taruh di meja dong mah."

Mama tak menjawab, hanya melihat tv saja. Kuputuskan menggerakan tubuh ke belakang mama untuk menyimpan sendiri gelasku ke meja. Saat itu, gundukan kontol di celanaku menekan pantat mama. Rasanya hangat, hehehe...

"Mundur dong. Sempit nih."
"Oh, iya mah."

Kumundurkan tubuh sedikit saja, membuat kontolku masih menekan pantatnya. Saat kulihat, ternyata rok mama sudah tertarik hingga ke pinggangnya. Kuputuskan untuk berbaring dengan satu sisi, kepalaku kuletakan ke tangan hingga pinggulku tetap menempel ke pantat mama. Posisiku kini, aku berbaring menyender ke sandaran sofa, sedang mama berbaring menyender ke tubuhku.

Dengan posisi mama yang berbaring membelakangiku, dapat kupastikan mama mengetahui gundukan kontolku yang menekan pantatnya. Namun mama bersikap seolah tak terjadi apa – apa. Tanganku yang bebas, kutaruh di pinggul mama.

Filmnya tamat.

Ternyata mama tetap menonton tv. Aku dan mama tak bergerak, kecuali tanganku yang kini mengelus pinggul mama. Tangan mama yang menyangga kepalanya bergerak, meraih bantal dan menaruhnya di depan kepala mama sehingga wajah mama tertutup bantal sofa. Kaki kiri mama mengangkat sedikit, elusanku bergerak ke paha kanan dalam mama. Kuelus terus hingga paha kiri mama menutup, mengunci tanganku diantara kedua pahanya. Kucoba gerakan tangan, namun susah. Kurasakan jempolku menyentuh cdnya. Kugerakan jempol, kaki mama tetap diam, namun tangan mama kusadari mencengkram erat bantal sofa.

Aku diam, kusadari aksiku berikut akan merubah masa depan hubunganku dengan mama. Bisa menjadi semakin mulus atau bahkan bisa menjadi berantakan.

Aku menunggu.
Aku menunggu.

Andai tangan mama tak mencengkram erat, mungkin sudah kukira kalau mama tertidur. Sekarang sudah bukan efek boneka lagi. Lagian mama tak tahu tentang bonekaku itu. Sekaranglah saat – saat penentuan bagi mama, apakah akan mengikuti jalan emaknya Eri dan Bilal, ataukah mengambil jalan sendiri?

Bukankah mama sudah bilang ke emaknya Bilal kalau aku takkan tertarik sama mama, tidak seperti apa yang Bilal lakukan pada emaknya?
Tapi sekarang mama mestinya tahu lebih pasti kalau aku juga tertarik sama mama, sama seperti Bilal yang tertarik sama emaknya.

Apakah mama juga menginginkannya?
Apakah mama akan membiarkanku?

Aku menunggu.

Paha mama masih mengunci tanganku.

Apa mungkin mama tak bisa menentukannya sendiri?
Tentu mama tak ingin aku tumbuh menjadi anak nakal.
Tentu mama ingin aku memiliki masa depan yang cerah.
Tapi, apakah ini sebanding dengan apa yang akan aku, kami, lakukan?

Kugerakan jempolku sedikit ke atas, paha mama menegang. Aku mesti meyakinkan mama kalau tiada cara lain lagi. Akhirnya kubuka mulutku.

"Kayaknya setiap orang pada dasarnya baik, tapi selalu ada sedikit noda, sedikit dosa, yang mengikuti kebaikan. Seperti apa yang ayah lakukan tadi."

Aku jadi merasa gak enak menyinggung apa yang telah ayah lakukan. Mama tentu tahu kalau kata – kataku merujuk pada apa yang ayah lakukan bersama bu Susan di ruang kerjanya.

"Jupri selalu berusaha jadi anak yang baik, tapi jupri bukan nabi yang bisa sempurna, jupri tak luput dari dosa."

Kugerakan kepalaku hingga dahiku menyentuh bagian samping mama yang dekat ke susunya. Kuelus – elus hidungku ke tubuh mama.

"Jupri terus berusaha jadi yang terbaik, namun susah," bisikku. "Andai saja ada sesuatu yang bisa memotivasi Jupri. Sesuatu yang mengingatkan saat Jupri sendirian."

"Andaikan mungkin," aku diam beberapa detik, untuk memberi efek dramatisir, "kenakalan Jupri dipindahkan dari luar rumah ke dalam rumah. Seperti keseimbangan, baik diluar, nakal di dalam."

Aku diam berharap mama bisa mencerna kalimatku. Ketegangan di paha mama kurasakan menurun.

Aku menunggu mama bersuara.
Mama menunggu.

Kugerakan lagi jempol, kini paha mama tak lagi menegang seperti tadi.
Kugerakan jempol seperti membelai naik turun, mama tetap diam.

Aku tak bisa mengontrol nafasku yang naik turun kegirangan.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku.
Aku tak bisa menyembunyikan nafsuku.

Kugerakan tangan kanan melewati tubuh, mama lantas memegang susunya.

"Jupri sayang sama mama. Jupri yakin mama bakal membantu Jupri."

Tangan kiri kudorong hingga kini memegang selangkangannya. Jari tengahku mulai mengelus daerah yang kuyakin memeknya, meski masih memakai cd. Kutarik sedikit jariku, lantas kumasukan dari celah pinggir cdnya. Kini jari tengahku menyentuh langsung memek mama, yang ternyata lembab. Kutekankan lebih jauh jariku, hingga masuk ke memek mama.

Aku mengocok memek mama dengan jari tengahku. Pinggulku ikut bergerak menekan pantatnya. Karena keasikan, aku akhirnya mengeluarkan peju di dalam celanaku.

Setelah itu, mama berlagak seolah terbangun dari tidur, lantas duduk. Aku ikut duduk dan menarik tanganku dari memek mama. Mama lantas bangkit menuju kamarnya, bahkan tanpa berkata apa – apa. Aku ikut bangkit, mematikan tv dan ke kamarku.
 
Esoknya aku tak berkunjung ke emaknya Bilal. Entah kenapa, aku merasa emaknya Bilal takkan antusias lagi meminta pertolonganku. Apalagi sekarang aku tahu emaknya Bilal lebih memilih cara langsung dalam mengobati kenakalan anaknya, dibanding melalui perantaraanku. Di samping itu, aku tak lagi mempedulikan emaknya Bilal. Kini yang kupedilukan hanya mamaku sendiri.

Aku mencoba mendekati mama selama beberapa hari, namun sikap dan tingkah lakunya menahanku. Aku tak ingin mengambil resiko. Apalagi aku belum mengetahui soal manajemen resiko. Malamnya, sebelum makan malam, mama mengambil hasil foto pemotretan Bu Susan. Setelah melihat – lihat, mama melemparkannya ke meja. Ayah terlihat tak nyaman.

Kulihat, tak semua foto merupakan hasil terbaik. Kebanyakan merupakan foto full body, dari pelbagai sudut. Beberapa foto bahkan memperlihatkan rok Bu Susan yang terangkat.

"Sepertinya Ayah melewatkan momen – momen terbaik."
"Maksud mama apaan?"
"Bu Susan kan fotogenik. Tapi nyatanya tak terlihat sama sekali dari hasil pemotretan kemarin. Kayaknya ayah mesti undang dia lagi."
"Benarkah? Ayah rasa hasil kemarin sudah sesuai dengan rentang usia sang foto model."
"Bisa jadi. Tapi kalau ditambahi sedikit adegan yang lebih berani, pasti lebih bagus."
"Begitukah?"
"Iya. Apalagi kalau pake bikini."
"Ayah gak mungkin menyarankan itu. Apalagi ayah gak terlalu mengenal keluarganya."
"Mama juga gak kenal. Tapi dia terlihat setuju tadi."
"Tadi?"
"Iya, tadi dia ke sini. Menyampaikan rasa terimakasihnya. Mama kasih dia kesempatan dan saran untuk lebih berani lagi. Mama bilang ayah gakkan keberatan memotret dia lagi."
"Tentu gak apa – apa. Dia kan tetangga. Tetangga masa gitu."
"Iya. Dia kira – kira datang sebentar lagi. Katanya setelah menidurkan Riki. Mama suruh dia bawa bikini, bahkan kalau ada lingerie sekalian."

Ayah lantas menghabiskan makanan dengan cepat. Setelah itu menghilang ke ruang kerjanya. Mama terlihat senang dengan dirinya sendiri. Aku jadi bingung dibuatnya. Aku penasaran kenapa mama malah mengundang lagi tetangga untuk difoto, memakai bikini lagi.

Aku akan membantu mama beres – beres, namun mama malah melarangku.

"Ntar aja temenin mama kalau ayah lagi motret tetangga kita."
"Apa gak sekalian sambil nonton tv aja?"
"Boleh juga tuh."

Aku beranjak ke kamar. Aku bermain boneka. Aku mendengar tetangga datang. Aku mendengar mama memanggil. Aku keluar melihat mama duduk di sofa sambil menonton tv.

"Bu Susan udah datang mah?"
"Iya. Mereka kayaknya lagi sibuk tuh."

Aku duduk di kursi. Mama langsung berbaring, kepalanya bersandar ke lengan sofa.

"Bu Susan jadi bawa bikini?"
"Ssshhh..."

Aku diam. Mama meraih tanganku hingga menyentuh pinggulnya. Aku diam beberapa saat, lantas mulai mengelus pinggul mama. Iklan datang, namun wajah mama fokus ke tv. Tanganku masuk ke roknya.

Aku diam.
Mama diam.

Kuberanikan diri demi nafsuku. Tanganku kini berada di atas gundukan memeknya. Jemariku ada di atas memeknya.

"Nak?"
"Iya mah?"
"Kamu nakal gak hari ini?"

Aku baru akan menjawab saat mama kembali bicara.

"Maksud mama, diluar rumah."
"Enggak mah."
"Menurutmu, ayah nakal gak di ruang kerjanya?"
"Enggak. Mungkin ayah ingin nakal, tapi Jupri ragu tuh."
"Meski Bu Susan pake bikini?"
"Iya. Meski begitu."
"Mama rasa kamu benar. Kamu memang selalu mirip mama."
"Maksud mama, karena Jupri nakal?"
"Iya."

Kupikirkan kata – kata mama. Lantas jemariku mulai bergerak menekan – tekan diantara memek mama.

"Nak?"
"Iya mah?"
"Mama tadi beli bikini baru."
"Benarkah?"
"Iya. Kalau kamu besok gak nakal, mama akan tunjukin sebelum ayah pulang. Mungkin juga bisa kamu photo."
"Oke mah."
"Mama rasa mama masih terlihat cantik kalau memakai bikini."
"Mah."
"Iya?"
"Ssshhh... Liat tv aja!"

Mama meraih bantal sofa dan kini membaringkan kepala ke bantal itu. Jemariku bergerak makin aktif. Tangan kanan kuselipkan di bawah tubuh mama hingga menjangkau susunya. Mama ternyata tak memakai bh. Tangan kiriku memasuki celah cdnya. Pinggulku menekan pantat mama.

Tangan kiriku lepas dari cd mama. Menarik roknya hingga ke pinggang, menarik cdnya hingga melorot. Kini kumasukan jari tengah dan telunjuk ke memek mama. Mama menggeliat, namun tanganku tetap berusaha masuk. Memek mama lembab dan makin membasah.

"Uuunngghhh..."
"Ayah di dalam berdua saja dengan wanita murahan berbikini," bisikku sambil tetap mengocok jemari di dalam memek mama.
"Uuunngghhh..."
"Tapi ayah gak berani ngapa – ngapain."

Kukocok jemari di memek mama.

"Kalau Jupri yang di dalam, udah Jupri ngapa – ngapain, meski istri Jupri lagi ada di luar ruangan."
"Itu karena unnhhh... kamu nakal," erang mama.
"Betul. Sama kayak istrinya."
"Kamu mau ngapa – ngapain dia?"
"Apa?"
"Bu Susan. Mama bilang kalau dia akan terlihat lebih cantik jika berpose dengan lelaki muda."
"Maksud mama Jupri?"
"Iya."
"Dasar mama nakal. Kenapa mama mau lihat Jupri ngapa – ngapin Bu Susan? Sedikit balasan untuk mata keranjang suami mama ya?"
"Mama hanya ingin menghadiahi kamu."
"Oh."

Kutarik tangan dari memek mama. Mama terlihat kecewa. Kuterngkurapkan mama. Lantas tanganku menerobos diantara pahanya. Kini kumasukan tiga jari ke memek mama.

"Jupri gak ingin tetangga binal itu. Jupri ingin mama."
"Unnnggghhhh. Tapi dia cantik lho."
"Mama juga."
"Unnnggghhh... kamu bisa ngapa – ngapain dia."
"Jupri bisa ngapa – ngapain mama."
"Gak. Kamu gak bisa."
"Mama gak ngizinin?"
"Gak semuanya."
"Terus segimana?"
"Ugghhh... hanya kayak gini."
"Jupri ingin lebih."
"Enggak. Mama udah terlalu jauh. Ooohhhh... enak..."
"Ayah gak memperlakukan mama kayak gini, iya kan?"
"engghhhaa..."
"Jupri tahu cara membahagiakan mama."
"Iya... unnggghhh... mama tahu. Tapi kita gak boleh begini. Biar mama dapetin Bu Susan buat kamu. Mama tau dia wanita murahan."
"Terserah mama."

Kuteruskan kinerja jemariku hingga beberapa menit. Perlahan, aku beranjak, dengan tangan masih di memeknya, hingga pinggulku berada dekat kepalanya. Dengan tangan kiri, kupelorotkan celana pendekku hingga kontolku yang terbungkus kondom terbebaskan. Aku tak mau seperti kemarin, keluar di dalam celana. Kuangkat kepala mama. Mama membuka matanya yang langsung seperti melotot. Sambil memegang rambutnya, kutekan pinggulku mendekati kepala mama.

"Dia mungkin udah pake bikini sekarang dan ayah sibuk memelototinya. Mama pasti akan merasa liar kalau masukin punya Jupri ke mulut mama sementara ayah di ruangnya merasa beruntung."

Mama menggelengkan kepala, namun tatapannya tetap tertuju pada kontolku. Kudorong kepala mama hingga kontolku menyentuh bibirnya. Mulut mama membuka membuat ujung kontolku masuk. Kumasukan keempat jariku ke memek mama membuat mama makin melebarkan mulut dan aku makin menusukan kontol ke mulut mama. Kuputar tangan berusaha mengelastiskan memek mama. Mama menggumam namun tak jelas.

Aku mulai memompa kontol di mulut mama.
Aku mulai memompa tangan di memek mama.

Aku merasa takjub melihat pantat mama mengangkat seolah ingin agar tanganku lebih dalam lagi masuk.

Pompaan kontolku makin cepat.
Kocokan tanganku makin cepat.

Beberapa saat kemudian mama mengejangkan pantatnya, tubuhnya ikut kejang, hingga akhirnya berhenti bergetar. Aku pun ikut kejang menyemprotkan peju di dalam kondom.

***

Sepuluh menit kemudian ayah dan Bu Susan keluar dari ruang kerja ayah. Aku dan mama sedang nonton film. Bu Susan pamit pada kami.

"Makasih Bu udah ngijinkan saya difoto lagi."
"Iya, gak apa – apa kok. Lagian suami saya juga lagi gak sibuk."

Setelah Bu Susan pergi, ayah dan mama masuk ke ruang kerja ayah. Mungkin untuk melihat hasil fotonya. Beberapa saat kemudian, mama keluar dari ruang kerja ayah dan menghampiriku.

"Mama tidur dulu. Sebaiknya kamu besok gak nakal."
"Iya mah."
 
penempatan kata kata pada susunan kalimat bikin bingung.
lanjutin deh gan Qsanta. penasaran dg endingnya. entah itu mama nya hamilkah atau hny skedar ketagihan hubungan tabu ibu & anak.
 
Pagi hari setelah ayah pergi, kudapati mama lagi duduk di kursi sambil menikmati secangkir kopi. Saat kudekati, bisa kulihat bh hitam mama dari blus putih mama. Sedang bawahnya memakai rok warna biru. Aku berlutut di sebelah kakinya. Mama melihatku, lantas kembali melihat tv.

"Kamu gak boleh nakal kalau ingin hadiah."
"Iya mah. Jupri tahu. Jupri hanya ingin memeriksa lecet di kaki mama saja."
"Iya lah," kata mama lantas tertawa.
"Serius ini mah."

Aku meraih kaki mama dan agak menariknya hingga bisa melihat – lihat. Kuusapkan tangan ke belakang lututnya.

"Udah gak ada lecet lagi."
"Jupri gak yakin mah."

Kupegang kaki kanan mama lantas kuangkat.

"Tuh, ada mah sedikit lagi."
"Udah, jangan main – main lagi."
"Kayaknya udah gak perlu salep lagi."

Kulebarkan paha kanan mama dan kusentuhkan ujung jariku, dari lutut naik hingga ke cdnya.

"Ya gak perlu salep lagi kan udah gak lecet lagi."

Tangan kiriku memegang kaki kanan mama. Kini tangan kananku mengangkat lantas memegang kaki kiri mama.

"Kamu ngalangin tvnya tuh."
"Jupri cium aja, biar sembuh lecetnya."

Kumajukan kepala hingga mulutku mengenai paha mama.

"Hentikan. Geli tahu."

Kugerakan bibirku hingga seolah membentuk lingkaran.

"Jangan bikin geli mama."

Mama mengangkat kaki kiri dan berusaha mendorong kepalaku dengan lututnya. Maka kulingkarkan tangan di paha kiri mama dan kembali menciumi paha kiri mama.

"Jangan. Mama gak suka digelitiki."

Aku tak peduli. Kini tangan mama berusaha menarik kepalaku tapi aku tetap bergeming. Ciumankun makin dekat ke cd mama.

"Jupri."

Mulutku kini seolah mencaplok gundukan yang tertutup cd.

"Oh... oh...."

Tangan mama kembali berusaha menarik kepalaku. Namun tanganku mencengkram erat. Kugerakan mulut seolah sedang menghisap es cone.

"Oh... oh..."

Hidungku ikut menekan. Kujulurkan lidah berusaha mendorong, meski terhalang cd. Kugerakan kepalaku, dari bawah ke atas hingga jilatanku bermain di cd mama. Erangan mama makin jelas dan tak menentu. Tanganku kini memegang sisi cdnya. Dengan agak menarik kepalaku, kutarik cd mama.

"Jangan nak," kata mama saat cdnya melewati pantatnya.
"Kita gak boleh," kata mama saat cdnya tak lagi menutupi pantatnya.
"Jangan," kata mama saat mulutku akhirnya mengenai memeknya.
"Ohhh...." erang mama saat lidahku mulai menjilati memeknya.

Mama diam, namun nafasnya terengah – engah saat cdnya sampai ke lututnya. Mulutku terus bermain di memeknya. Tanganku terus berusaha melepas cdnya hingga akhirnya lepas dari kaki mama.

Kuangkat dan kumasukan tangan ke dalam blusnya hingga mencapai bh mama. Kuangkat bh mama hingga susunya lepas. Kuraih pentil mama dan kumainkan.

"Awww..."

Kali ini mama berteriak. Kumasukan lidah semakin dalam ke memeknya, lantas kutarik dan kujilati memeknya sambil tanganku memainkan pentil susu mama.

Aku tak mau menganggurkan tangan kananku. Sambil tangan kiriku memainkan pentil susu mama, tangan kananku mencari memek mama lantas memasukan jari ke memeknya. Jilatanku kini beralih ke itil mama.

"Ooohh... ooooohhhhh..."

Mama meracau makin tak jelas saat tempo kupercepat. Akhirnya mama menekan kepalaku dengan kedua pahanya. Tangan mama menekan kepalaku ke memeknya. Tubuhnya mengejang.

Saat kaki mama akhirnya lemas, aku melepaskan diri dan duduk di lantai.

Meski menatapku, namun aku yakin mama masih tak sadar diri. Aku langsung berdiri, kupelorotkan lantas kulepas celana pendekku. Saat kontolku terbebas, mama mulai menyadari diri.

"Jangan nak, kita gak boleh terlalu jauh."

Kedua tangan mama lantas menutupi memeknya, kedua pahanya dirapatkan. Aku lantas naik ke sofa, kakiku berada di sebelah pinggulnya. Kontolku kini sejajar dengan kepala mama. Tanganku langsung memegang kepala mama dan kumasukan kontol ke mulut mama.

Karena mama masih dalam keaadan belum sepenuhnya sadar, kontolku bisa masuk sepenuhnya.

"Jeblplbgle."

Mama berusaha menarik kepalanya namun cengkraman tanganku lebih kuat lagi. Kutarik kontolku hingga hanya ada sedikit yang tersisa di mulut mama, lantas sebelum seluruhnya lepas, kudorong lagi. Begitu terus hingga beberapa saat.

"Jeblplbgle."
"Ohhh... enak mah, giliran Jupri sekarang."

Kupompa kontolku di mulut mama.

"Jilat mah. Isep... oh...."

Beberapa tusukan kemudian membuatku makin gak tahan. Mama tentu menyadarinya. Akhirnya pejuku muncrat di mulut mama.

"Ohhhh...."

Kontolku ternyata lepas membuat pejuku ikut nyembur ke wajah mama, bahkan ke dagunya. Kudorong lagi kontolku hingga kembali masuk ke mulut mama. Mama ternyata menghisap, menjilati kontolku hingga bersih.

Akhirnya aku duduk di sofa.

"Kamu gak boleh nakal lagi. Bener – bener gak boleh."
"Iya mah."
 
Uhhh pengen banget bisa njilatin memek ibu jupri,ibu bilal juga ibu eri ouccchhhhhhhjhj pasti nikmat sekali rasanya.... lanjut gan ngaceng banget nichhhhhh
 
"Jupri?"
"Lu kira siapa? Kan lu yang nelpon."
"Iya sory. Lu gakkan percaya."
"Apaan?"
"Lu kenapa sih? Emaklu belum baik juga sama lu?"
"Enggak."
"Lu sial kali."
"Terserah dah. Ada apa sih?"
"Yakin lu mau denger?"
"Kagak. Ya iya dong."

Mulailah Bilal bercerita.

"Semalam mama ke kamar sama bapak.
"Tapi abis itu keluar lagi bawa minum terus ruang tv. Mama berhenti di depan gw terus nanya apa gw berbuat kenakalan lagi di luar. Gw jawab tentu tidak. Mama terus nyuruh gw peganging gelasnya. Gw lakuin. Mama berdiri di depan gw, pake gaun tidur yang tipis, sepertinya mama gak pake apa – apa lagi di dalamnya."
"Tubuhnya memang seksi," kataku spontan.
"Karena mama diam saja, gw berikan kembali gelasnya. Tapi mama tak menerimanya. Mama malah duduk di pangkuan gw. Di atas kontol yang lagi bangkit. Kini tentu keras dan menekan pantatnya, tapi mama seolah tak peduli. Mama bertanya apa yang gw lakukan hari ini.
"Jadi gw mulai cerita sambil wajah gw dielus tangan mama. Abis gw cerita, mama terus nanya, segitu aja?
"Gw mau cerita yang lain lagi, tapi otak gw blank. Jadinya mama bangkit. Tapi bukannya pergi, mama malah duduk di pinggir gw. Mama gw bilang jadi kamu gak nakal lagi? Gw mengangguk. Mama terus menatap ke celana gw yang sesak.
"Mama tiba – tiba menyentuh gundukan di celana gw. Pelan saja, tapi efeknya nendang banget. 'kenapa tuh?' kata mama. 'Apa itu untuk mama?' katanya lagi.
"Sebelum gw jawab, mama berusaha memelorotkan celana agar kontol gw keluar. Setelah celana pendek gw lepas, tinggal cd gw yang masih nempel. Mama pun memelorotkannya.
"'Kamu gakkan nakal lagi kan?' tanya mama. Gw menangguk. Terus kontol gw yang udah tegang dipegangnya. Tak cukup sampai disitu, bahkan mama mulai ngocok kontol gw."
"Gila."
"Gak cuma itu, mama bahkan merendahkan kepalanya hingga mulutnya hampir mengenai ujung kontol gw. 'Kamu takkan membuat mama kecewa kan?' Gw jawab iya. 'Mama bakalan seneng kalau kamu cukur, rapihin rambut kamu.'"
"Apa lu mau cukur rambut lu?"
"Iya dong. Mesti itu."
"Kenapa?"
"Karena gw bilang iya ke mama. Setelah mendengar jawaban gw, mama meniup pelan saja kontol gw. Abis itu kontol gw masuk ke mulut mama. Mama menggerakan kepalanya seolah kontol gw memompa mulutnya. Abis itu udah."
"Lu keluar?"
"Kagak. Mama berhenti."
"Bercanda lu. Emak lu gak biarin lu selesai?"
"Iya. Sial memang, tapi apa yang mama katakan setelahnya benar – benar luar dari pada biasa."
"Emak lu bilang apa?"
"Mama bilang kalau rambut gw besok dicukur, gw dapet sesuatu yang sangat spesial."
"Ya lu kira apa lagi? Masa gw dapet martabak asin spesial doang."
"Lu mesti cepet – cepet ke tukang cukur."
"Ini gw lagi di jalan ke tukang cukur."
"Hoki lu. Bener – bener hoki."
 
mamanya dihamili dong kn seru kalo maen wkt hamil
 
Mantap bgt.. cerita yg sulit dan berliku2 utk mendapatkan emaknya yg begini yg gw suka...jangan sampai anaknya melecehkan dan kesannya gak sopan ke orang tuanya...tetap sopan dan menghargai sebagai anak, tapi juga berhasil mendapatkan mamanya..mantap gan..pertahankan suhu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd