Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Kasih Sayang Mama

qsanta

Semprot Lover
Daftar
17 Sep 2014
Post
269
Like diterima
988
Bimabet
Semoga yang sudah baca tidak keberatan cerita ini dibagikan di sini.
Semoga yang belum baca bisa terhibur setelah membacanya.

Kasih Sayang Mama​

Saat aku nakal, ayah selalu memukulku. Tapi aku tidak keberatan karena sadar akan alasannya. Biasanya ayah memukul pantatku yang masih bercelana tiga atau empat kali. Namun mama selalu sepuluh kali atau bahkan lebih.

Pukulan mama jauh lebih buruk. Kadang mama memakai sisir, tali dan atau rotan. Kebanyakan mama membuatku melepas celana terus aku disuruh menarik tiga sedotan dari tangan mama yang berisi tulisan sisir, tali dan rotan. Mama tahu aku benci rotan karea selalu berbekas selama beberapa hari. Yang paling ringan adalah sisir, karena kalau tali, akan mama kenakan ke daerah yang sensitif.

Jika yang keluar sisir, mama menyuruhku membungkuk sambil memegang pergelangan kakiku. Jika aku tersungkur, mama akan mulai lagi dari awal. Aku tentu saja tak selalu bisa seimbang, hingga kadang kembali dari awal lagi pukulan mama.

Jika rotan, aku membungkuk sambil memegang tepi meja makan. Jika keluar suara dan atau teriak, maka mama mulai lagi hukuman dari awal.

Apabila tali, aku harus berdiri dengan tangan di kepalaku dan kaki dibuka lebar hingga mama bisa memecut paha bagian dalamku, perut dan bahkan putingku. Di akhir kadang mama menyuruhku melebarkan belahan pantat dan memecut bagian dalamnya.

Tiap pukulan yang kuterima harus kujawab dengan “Terimakasih mah.” setelah itu mama berhenti dulu selama satu menit, lantas melanjutkan pukulan. Efeknya, saat pukulan berhenti, rasa sakit agak berkurang. Namun saat dipukul kembali rasa sakit itu kembali datang.

Karena tak tahan maka aku melaporkan perlakuan mama ke ayah. Ayah dan mama lantas bertengkar. Kadang aku tak tahu kenapa mereka menikah sedang kini kulihat harmonis. Ternyata percuma lapor ke ayah karena esok atau lusa mama memukulku lagi dengan lebih keras dan mengancamku jika aku mengadu lagi maka aku akan dipukul hingga pingsan.

Aku pun lantas tumbuh hingga berusia sepuluh tahun. Ayah dan mama bercerai. Aku ingin tinggal sama ayah tapi pemerintah menyuruhku tinggal sama mama. Mama lantas memberhentikan sekolahku dan menyuruhku sekolah di rumah. Katanya mama tak ingin orang lain di sekolah melihatku memar dan atau lainnya.

Di rumah aku hanya dibolehkan memakai kolor. Katanya agar cepat jika akan dihukum. Tak pernah aku melewatkan hari tanpa pukulan.

Usia sebelas tahun merupakan usia saat kontolku mulai terlihat berbeda saat ereksi. Dan mama mulai menyadarinya. Mama bilang aku tak mungkin ereksi jika tak memainkan kontolku. Mama mulai menggerayangiku dan melihat bercak – bercak di kolorku. Mama lantas menjadikannya alasan untuk memukulku lebih keras lagi hingga aku menangis dan nafasku sesak.

***

Di internet mama mulai sering ngobrol dengan entah siapa. Mama mulai mendapat teman dari dunia maya. Teman mama bilang kalau kontolku mulai ereksi kakiku harus diikat ke meja hingga terbuka, helm kontolku dipasangi tensoplas lantas tarik ke sisi meja lain hingga terentang. Setelah itu kontolku dipecut kabel telepon. Efeknya? Aku menjerti sambil menangis.

Mama makin dekat dengan teman mayanya hingga mereka bertukar alamat. Ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari mama. Mama bahkan mengundangnya datang di akhir pekan. Aku memohon pada mama agar tak mengundangnya, namun mama hanya tertawa. Aku kabur, namun karena letak antar tetangga lumayan agak jauh, mama menangkapku.

Sejak itu kakiku dirantai ke sebuah patok baja. Rantainya cukup panjang hingga aku bisa ke dapur dan kamar mandi. Aku duduk di lantai dekat patok. Setiap malam mama mengecekku. Jika kontolku keras, mama akan menandai tanggal di almenak. Aku benci kontolku, tapi aku tak bisa membuatnya tak keras saat aku tidur.

***

Di akhir pekan, mama kedatangan tamu. Ternyata teman maya mama yang bernama bu Rahma. Mama lantas menunjukan semua alat yang suka dipakainya untuk menyiksaku. Lantas bu Rahma bilang dia bawa alat lain yang lebih baik.

Bu rahma mengeluarkan jepitan dan memasang di sisi kanan – kiri kontolku. Lantas di helm kontolku. Apabila ingin tahu rasanya, silakan dicoba. Yang pasti aku menangis histeris.

“Dia gak punya keberanian kan? Kita mesti hukum dia karena itu,” kata bu Rahma.

Dia lantas mengeluarkan ketapel mainan, namun berfungsi, dan mengetepel testisku dengan batu atau apalah – apalah.

Setelah itu aku dibiarkan sementara mama membuat makanan dan kopi. Mereka duduk di meja sambil menertawakanku. Bu Rahma bilang aku sangat menarik karena dibanding anaknya, anaknya akan selalu menerima pukulan dengan pasrah tanpa berontak. Sangat susah membuat anaknya menjerti, tambahnya. Mereka bilang mereka beruntung karena rumah di sini masih jarang. Jaraknya pun jauh – jauh.

Bu Rahma juga bilang dia tahu cara unik. Bu Rahma menyuruh mama mengikat kakiku ke meja dan mengikat tanganku di belakang punggung. Lantas kontolku ditarik memakai karetgelang. Bu Rahma lantas mengambil koran dan bilang ke mama kalau memukul jangan memukul batangnya, bisa kena ke pembuluh dan membuat darah keluar. Tapi kalau memukul helmnya sih gak apa – apa, katanya.

Aku panik dan mulai memohon untuk tak melakukan itu.

“Tenang saja. Ntar itu,” jawab bu Rahma.

Bu Rahma kembali memasang jepitan. Kini di putingku, tentu aku kembali menjerit. Sementara mama hanya terkikik.

Bu rahma lantas mengeluarkan benang dan mulai menali testisku, hingga tersumbat di pangkalnya. Aku merasa mual. Bu Rahma lantas berkata ke mama, “lihat, karena tersumbat kita bisa liat pembuluhnya. Coba jepit di sana!”

Mama menjepit di testis bagian kiri. Aku menjerit lantas muntah. Mereka hanya tertawa sambil menyentil – nyentil jepitan.

Akhirnya mereka bosan dan mencabut semua jepitan. Aku dibiarkan istirahat. Karena lelah, aku tertidur.

***

“Kurasa kita mesti buat anak ini rendah hati,” kata bu Rahma.

Ternyata yang dimaksud adalah aku harus menjilati memek bu rahma tiap dia selesai kencing. Bahkan menjilati anusnya setelah buang air besar.

Aku kadang disuruh memohon agar mereka memukulku sepuluh kali. Aku tahu jika tak menurut, bencana yang lebih hebat bakal melanda tubuhku. Aku juga disuruh memohon agar pahaku dipecut, putingku dipecut, namun saat aku disuruh memohon agar belahan pantatku dipecut, aku berkata, “jangan mohon. Aku akan lakukan apa saja asal jangan itu.”

“Kasihan. Lagian kamu juga bakal ngelakuin apa aja. Cuma kamu mesti dihukum karena udah nolak. Masing – masing dua puluh pukulan.”

Seberapa sakitkah itu? Tak bisa kujelaskan lebih rinci lagi. Mereka buka pantatku lebar – lebar lantas mencambuknya hingga di kakiku mengalir darah segar.

Setelah itu aku dibiarkan istirahat sejenak. Setelah itu kontolku diikat dan diambungkan ke sebuah ember kecil seukuran gelas. Jangan tanya darimana asalanya, karena aku tak mau repot – repot memikirkan hal – hal yang akan menyakitiku. Mereka juga mengikat pergelangan kakiku hingga jalanku agak sulit. Mereka duduk di meja dan aku harus jalan keliling ruang lantas mendekati mereka. Gelas kecil di kontolku lantas diisi air. Saat gelas itu penuh, otomatis kontolku tertarik te bawah. Setiap kali jalan, pahaku menggoyangkan gelas. Rasanya kontolku bakal sobek.

Setelah puas, mereka melepasnya dan membiarkanku istirahat.

“Satu lagi. Lantas aku mesti pulang. Aku tak meninggalkan makanan dan atau air untuk anakku. Aku tak ingin dia jadi terlalu lemah.”

“Ambil cambuk ini. Pecut dada sendiri hingga ke selangkangan. Kalau tak cukup merah, kami ambil alih mecut. Termasuk testismu.”

Aku begitu takut hingga mengambil cambuk itu dan mulai mencambuk dadaku hingga merah mulai melapisinya serta perutku. Saat kejadian ini, aku tak percaya menyadari kontolku yang tiba – tiba keras dan tegak menjulang ke atas membuatnya juga kena cambukan.

“Menarik kan,” kata bu rahma sambil tertawa,” anakku saja kadang begitu bersemangat saat memecut dirinya sendiri.”

Setelah itu dia pergi dan bilang pekan depan akan kembali dan bawa anaknya agar aku dapat teman main. Mama membiarkanku menangis di lantai hingga tertidur.

Kelanjutannya di bawah
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Aku terbangun oleh ketukan di pintu. Mama membuka pintu sedikit lantas mengintip. Aku mendengar suara seseorang. Mama seperti menolak. Dari ucapannya mama terdengar gusar. Hingga entah bagaimana caranya, mama terdorong dari pintu dan ada pria masuk. Pria itu lantas melihatku. Kurus, dekil, terantai bagai teratai yang layu, tetapi terluka.

"Ya tuhan," jelas pria itu terkejut, begitu terkejutnya seperti hingga tiada lagi yang bisa mengejutkannya saat ini. "Kenapa dia begitu?"

Mama berteriak, "Bukan urusanmu kalau kuhukum anak nakal itu."

"Benarkah nak?" tanya pria itu padaku. "Apa yang terjadi hingga kamu memar semua. Hingga kontolmu pun ikut memar?"

Aku hanya mampu merintih, ingin kuteriak hatiku melara – lara, "gak ngapa – ngapain. Mama hanya suka nyiksa aja."

"Serius? Dulu mamaku juga suka nyiksa. Sayang keburu kecelakaan sebelum aku gede."

Mama berteriak, "pergi sekarang! Keluar!"

Tiba – tiba datang pria lain, yang baru kali ini kulihat, menghampiri mama dan menamparnya hingga mama terjatuh. "Lu mau ngancem gw hah? Gw baru keluar penjara kemarin. Gw gak keberatan masuk lagi pake kasus pembunuhan. Lu mau ngancem atau kerja sama?"

Pria pertama memandang mama, "dia gak jelek – jelek amat. Mungkin akhir tiga puluhan. Buka baju lu sambil joget, gw pingin liat. Gw dah bosen nyodomi orang."

Aku yakin mama takkan mau melakukannya. Mama kembali teriak, "gak, gw gak mau. Sama lagi gw aja gak pernah."

"Oh ya, trus di mana dia sekarang hah?"

Mama seharusnya bilang kalau ayah polisi dan akan pulang. Tapi tentu mama gak bisa berpikir jernih, sejernih mata air pegunungan, sekarang. "Dia pergi ninggalin anak sial itu."

"Benar nak?" Pria pertama bertanya padaku, "kenapa?"

"Ayah tak suka caranya memukulku."

"Dia pengecut kalah sama wanita. Wanita liar itu, gimana ngehukumnya?"

Aku ceritakan semua.

"Jadi pertama kamu dipukul pantat dulu, kita mesti kasih juga ke dia. Pake rotan lebih gak enak kan?"

"Iya kalau kena pantat. Tapi pecutnya lebih sakit kalau kena puting dan selangkangan."

Mama terlihat pucat lantas berkata, "gak perlu. Biar aku nari sambil buka baju."

"Oke, santai saja. Dah lama gw gak liat cewek."

Mama lantas memunggungi mereka, namun langsung mereka larang hingga mama kembali menghadap mereka. Mama melepas kancing blusnya satu – satu. Lantas roknya. Setelah itu mama melipatnya dan menaruh di meja. Kini tinggal cd dan bh mama. Aku belum pernah lihat wanita telanjang sebelumnya kecuali memek dan pantat bu Rahma saat aku dipaksa menjilatinya.

Kini ku sadari mama masih menarik, saat hanya berbalut cd dan bh. Meski tidak cantik. Aku heran kenapa ayah malah pergi.

Pria yang lebih besar bilang, "jangan bengong aja. Ayo lepas juga."

Mama terisak menangis lantas melepas cd dan bh nya menampilkan jembutnya yang jarang.

Pria besar tersenyum, "lumayan... lumayan... muter pelan!"

Mama benar – benar berputar dengan pelan, membuat yang lihat bisa lilhat seluruhnya.

"Gw demen nih liat susu sama pantatnya, kayak minta ditampar tuh pantat" kata orang besar.

Mama meringis dan berkata, "gak perlu. Kalian ingin seks kan. Saya gakkan melawan kok. Ayo."

"Gw benci lonte yang cuma bisa ngentot buat nyenangin laki. Ntar gw bikin lu minta dientot."

Orang yang lebih kecil berkata, "suruh yang lain aja."

"Oke Rud, dia bakal mau lu suruh apain juga."

"Iya Yan, lonte lu ngerangkak kesini. Seret tuh susu ke lantai trus buka celana gw dan isep kontol gw."

Mama terlihat takut dan teriak, "gak. Cuma lonte yang lakuin kayak gitu, gw bukan lonte."

"Susah bener disuruh nurut. Nak, berapa kali kamu dipukul kalau gak nurut?"

"Namaku Kiki. Biasanya dua puluh pukulan pake rotan. Tapi kayaknya mesti digandakan karena gak mau nurut sama kalian berdua."

Mama berteriak lagi "dasar bajingan kecil. Akan mama balas ini."

Yan bilang, "enggak. Lu bakalan baikin anak lu. Ki, ada tali gak di sini?"

"Ya, ada di garasi. Tapi dia," kini kuberanikan menyebut mama dengan kata 'dia', "biasanya suruh aku memegang sisi meja, kalau lepas mulai lagi pukulan dari awal."

"Ide bagus. Kita liat apa dia seberani kamu. Gini aja, kamu ambil barang – barang yang biasa diapakai nyiksa kamu."

Aku pergi ke kamarnya lantas mengambil sisir, rotan, tali pecut dan kabel yang telah dipakai ke kontolku. Lantas aku ke halaman rumah dan memotong bunga mawar yang tangkainya banyak durinya. Aku buang bunga dan daun tinggal hanya menyisakan batang berdurinya saja. Saat mama melihat ini, mama kembali mencoba tawar – menawar.

"Kalian tentu gak mau menambah catatan buruk. Kalian bisa ambil mobil dan semua uang di sini lantas pergi."

"Lu bodoh atau apa hah? Gw gak takut kembali lagi."

Aku lantas bilang kalau gak ada masalah. Mama gak kerja jadi gak kan ada yang menyadarinya. Mama juga punya banyak uang hasil perceraian.

Mama menatapku dan berkata, "kamu akan nyesel bilang gitu!"

"Gak, dia gakkan nyesel. Sekarang ayo ke meja!"

Mama ke meja dan mencengkram sisinya. Mama lantas mengerang saat Yan bilang, "buka kakinya. Gw ingin liat memeku goyang saat pantatlu dipukul."

Mama melebarkan kaki membuatku bisa melihat memeknya lebih baik dibanding saat mama berdiri. Pantatnya lantas dicambuk rotan membuat mama berjinjit dan berteriak. Mama lantas mengelus pantatnya yang kini merah.

"Lu bandel, yang tadi gak diitung."

"Sebenernya mama selalu tambah lima kali tiap kali aku gitu."

Mama mulai menangis meraung – raung, namun tangannya kembali memegang meja. Mama kembali dipukul sampai dengan empat puluh lima cambukan rotan. Pantatnya benar – benar merah matang hingga ke paha. Reaksi mama hanyalah berteriak dan mengangkat kaki seperti menari. Aku yakin mama akan muntah jika melihat memeknya yang terbuka tertutup saat mama menari.

Mereka membiarkan mama lantas orang yang disebut Yan bertanya padaku, "gimana reaksi mamamu menurutmu?"

"Caramu sebenarnya lebih keras. Tapi cara dia lebih lambat, hingga aku tak bisa merasa mati rasa. Kalau diperhatikan, dia gak menjerit di duapuluh akhir pukulan."

"Wow, kamu bener – bener bisa ngajarin kita nih."

Mama kini berlutut, terengah – engah dengan badan penuh peluh, seperti sehabis lari keliling kota, dipayungi lampu kota disekitarnya. Saat nafasnya kembali tenang, Rudi berkata, "merangkak sini, seret tuh susu hingga merah. Kalau gak merah, gw merahin."

Mama mulai merangkak dan mengernyit saat susunya diseret ke karpet hingga sampai ke Rudi. Setelah itu mama berlutut dan susunya diperiksa.

"Bagus. Udah merah, meriah euy. Pentilnya juga keras kayak batu."

Mama merintih, "itu karena sakit."

Rudi berdiri lantas berkata, "terserah. Lepas celana gw hingga ke kaki."

Mama melepas sabuk dan sleting lantas menurunkan celana. Kontol Rudi langsung tampil karena tak pakai apa – apa lagi selain celana itu. Mungkin lebih besar dibanding punya ayah karena mama menatap kagum.

"Mainin dulu pake lidah lu!"

Bagus, pikirku. Kini mama tahu rasanya saat aku harus menjilati memek bu rahma.

Rudi membuat mama menjilati seluruh batang, kepala bahkan testisnya setelah itu baru menyuruh mama menghisapnya. Helm Rudi dimasukan, lantas mama menghisap kuat – kuat. Setelah itu Rudi memegang kepala mama dan memasukan kontol hingga mentok. Mama tersedak dan tangannya memukul – mukul kaki Rudi. Hingga akhirnya Rudi keluar. Setelah itu kepala mama dilepaskan dan mama muntah ke karpet dan celana Rudi.

"Lu mesti bayar itu," kata Rudi sambil melepas celana dan melemparnya ke sudut.

"Giliran gw. Sini lu," kata Yana.

Mama menangis namun tetap merangkak menuju yana. Begitu sampai, Yana langsung masukan kontol ke mulut mama. Kontol Yana tak sepanjang kontol Rudi, namun diameternya lebih besar. Membuat mulut mama mesti membuka lebih lebar lagi. Saat keluar, Yana memuntahkan peju ke wajah dan rambut mama, juga matanya.

"Bersihin pake jari terus jilat sampai habis."

Mama seperti akan muntah. Tapi tentu aku tahu mama baru saja memuntahkan isi perutnya.

"Kamu suka swalayan gak ki?" tanya Yana padaku.

Aku memejamkan mata kiri dan memelototkan mata kanan, "apaan tuh?"

"Itu, kamu mainin kontolmu hingga keluar."

Sambil malu – malu aku menjawab, "kadang."

"Tiap anak laki pasti ngelakuinnya. Tapi kamu mesti tahu disepong rasanya lebih nikmat. Abis kita hukum dia karena muntah kita pake tiga jalan."

"Pantatnya kemungkinan masih mati rasa. Coba pake pecut, rasanya sakit sekali apalagi saat kena 3P."

"Apaan tuh tiga p?"

"Puting, paha dan perut."

"Bener. Kita iket dulu dia."

"Gak perlu. Suruh aja buka kakinya lebar – lebar dan tangan diletakan di kepala. Kalau dia menutup kaki, kita tambah lima hukuman."

"Ide bagus. Oke lonte, siap ke posisi."

"Gak adil," rengek mama. "Tentu aku muntah. Kontolnya mentok hingga ke dalam."

"Ke posisi."

"Tunggu, kita siapin dulu. Biar ku bawa loofah dulu."

"Apaan tuh loofah?"

"Tanaman kaya spons. Biasa dipake cewek buat bersihin kulit kering."

"Trus buat apaan lagi?"

"Kita gosok dulu ke kulitnya biar lebih sensitif.

Mama menatapku tanpa berkata – kata.

Kuambil loffah dari kamar mandi dan kusuruh rudi memegang tangan mama di belakang punggung sementara aku menggosok susu dan pentilnya. Mama menangis.

"Liat, kulitnya makin merah, makin meriah dan makin sensitif. Sekalian juga makin magic."

"Oh ya, paham nih."

Rudi lantas mengambil loofah dan menggosok perut, memek dan paha mama hingga merah. Rudi lantas menyuruh mama muter hingga Rudi bisa menggosok pantat mama. Mama tetap menangis menahan perih. Akhirnya Rudi terlihat puas.

"Sepuluh kali di tiap susu, lima belas diperut, sepuluh di paha, sepuluh di belahan pantat, kamu sama rudi pegang dan lebarin pantatnya, sepuluh di memeknya, sepuluh di tiap bibir dan sepuluh di belahan pantat. Benar gak ki?"

Sebenarnya itu lebih dari yang kuterima, tapi kujawab kalau itu juga gak apa – apa.

Rudi melepaskan mama. Mama langsung menggosok tangannya. Lantas Yana berkata, "taruh tangan di kepala."

Air mata mama jatuh tak tertahankan saat tangannya diletakan di kepala.

"Buka juga kaki lu," kata Yana.

Mama membukanya sedikit, namun Yana terus menyuruh hingga akhirnya mama melebarkan paha sekitar empat langkah.

Satu pecutan di puting membuat tangan mama lepas. Otomatis puting itu dapat tambahan lima pecutan. Pada bagian perut dan paha dalam mama hanya terengah – engah kecil. Namun saat aku dan Rudi membuka pantatnya agar melebar, mama menurunkan tangan dan mencoba melepas tanganku dan tangan Rudi. Mama jadi dapat tambahan lima pecutan. Pecutan Yana begitu keras hingga membuatku khawatir mama akan kena kanker, serangan jantung dan gangguan kehamilan dan janin.

Yana lantas menyerahkan pecut padaku dan berkata, "nih ki. Selesaikan."

Aku harusnya merasa kasihan pada mama karena aku tahu seberapa sakitnya dipecut. Namun yang muncul di pikiranku adalah tahun – tahun penuh penyiksaan. Seperti disuruh konsentrasi di kamp konsentrasi nasional sosialis.

Saat bibir luar memeknya dipecut, mama hanya berjinjit seperti menari. Namun saat Rudi dan Yana melebarkan bibir memeknya hingga memeknya terbuka bagi pecutanku, mama teriak saat menerima pecutan pertama. Mama menurunkan tangan lantas mencoba memukul kami.

Telinga Yana kena pukul. Andai telinga itu tak diasuransikan, seperti kaki pemain bola, atau dada artis, bisa – bisa jadi berabe kalau sampai putus. Yana terlihat marah, "udahlah. Kita lilit aja dia."

"Kita bisa gantung dia di garasi."

"Bagus. Kita ke garasi, kamu di depan."

Mama tahu apa yang akan menimpanya hingga mama mencoba berontak sepanjang jalan kenangan. Di garasi, ujung tali kulempar ke mereka dan ujung lain kulempar ke atas, ke langit - langit sekitar yang tingginya kira – kira dua setengah meter.

Mama berdiri gemetaran sementara kakinya diikat Yana. Rudi melihat – lihat garasi. Memang tak ada poster grup 'garasi' namun tetap Rudi sepertinya terkesan. "Perkakas ayahmu banyak juga, ada alat – alat mancingnya juga." katanya.

"Ya, ayah suka sama mancing juga perkakas."

"Jadi ada ide nih."

"Pegang lonte ini, gw mau iket tangannya. Dia loncat – loncat terus, kayak longcat."

Rudi lantas meremas susu mama, "lu boleh gerak – gerak semaumu kalau mau ini gw tarik."

Yana mengikat tangan hingga menyatu. Kepalan kanan di siku kiri. Kepalan kiri di siku kanan. Mama dibaringkan. Tangan dan kaki lantas diikat ke tali ke atas. Tubuh mama lantas diangkat, gak tinggi, hanya sampai kepalanya tak menyentuh lantai saja. Kira – kira sejengkallah.

"Memeknya mesti dibuka deh kayaknya," kata Rudi.

Rudi lantas menhampiri alat – alat mancing ayah dan mengambil empat kail untuk umpan ikan. Bibir memek kiri dan kanan mama dipasangi dua kail yang sudah berbenang. Tentu mama menjerit. Keempat benang lantas ditarik melingkari paha dan diikat membuat kedua bibir memeknya terbuka lebar.

Rudi kembali ke tempat perkakas dan membawa tang. Puting mama lantas dicubit oleh tang membuat mama kembali menjerit. Tang itu dikunci hingga menggantung.

Yana lantas mengambil joran [tongkat] pancing. "Kita bisa pake ini," katanya. Lantas melecut – lecutkan ke udara hingga berbunyi. "Sini Ki."

Aku mendekat ke Yana. Yana menunjukan suatu titik di bagian atas memek mama. "Itu itil. Gunanya kayak helm kontol kita. Liat efeknya kalau disentuh."

Yana duduk di belakan mama dan dengan hati – hati mengarahkan pegangan joran pancing ke memek mama. Ujung joran itu mengenai itil mama. Ternyata efeknya nyata, meski tak sehebat efek bursa indonesia.

Mama melengking, tang di putingnya goyang – goyang seperti goyang lidah. Yana melakukannya lagi hingga kira – kira sembilan kali. Mama berkelejotan, kepalanya mengangkat untuk kemudian lunglai turun. Mulutnya tak henti menjerit.

Saat mama diturunkan, mama pingsan. Dibangunkan pun tak bisa. Akhirnya mereka mencabut tang. Mama dibawa ke rumah dan diikat ke sofa. Setelah itu kami semua tidur.

***

Esoknya aku bangun lantas ke ruang tamu melihat mama. Mama sedang berbaring, kakinya dilebarkan. Mungkit akibat sakit di selangkangan. Mama terlihat berantakan dengan memar di mana mana. Berdasar pengalamanku disika bertahun – tahun, aku yakin mama pasti akan sembuh dengan sendirinya.

Ada satu perbedaan di tubuh mama, dengan tubuhku dulu saat masih tersika. Memek mama terlihat sangat memar dan bengkak. Kemarin tak setembem itu. Karena tembem membuat memek mama terlihat sangat rapat dan singset. Kail pancing masih terpasang di bibir memek mama. Karena penasaran, kuelus belahan memek mama dengan jariku.

Elusanku membuat mama sadar. Secara reflek kakinya menutup dan tangannya mencoba menutupi susu mama. Namun ikatan pada tangan membuat mama tak bisa melakukannya.

"Jangan ditutupi. Biar kulihat tubuhmu."

"Oh, nak. Bagaimana mungkin mama kamu perlakukan seperti ini?"

"Mungkin saja. Tinggal kuingat tahun – tahun penuh derita yang kamu lakukan padaku. Sekarang lu tahu gimana rasanya kan.

"Mama minta maaf nak. Bantu mama sayang. Mama janji gakkan menyakiti kamu lagi."

"Tapi janji tinggal janji, pukul cambuk tetap jadi. Gw gak percaya. Gw tahu lu udah gatel pingin nyiksa gw lagi. Lagian, bisa apa gw? Gw masih kecil dan lu tau sendiri mereka gede – gede."

"Ayahmu punya senapan angin di atas lemari mama. Bawa dan tembak mereka mumpung masih tidur."

"Gila lu yah. Lu suruh gw jadi pembunuh? Ogah, mending gw ikut mlm daripada bunuh temen gw."

"Dasar setan! Bunuh mereka atau mama janji akan mama siksa kamu saat mama lepas."

Bukannya takut, aku malah kesal. Aku ke kamar tempat mereka tidur dan membangunkannya.

"Bangun. Mama bilang ada senapan angin di atas lemari. Bahkan mama nyuruh agar aku bunuh kalian pake senapan itu. Dia mesti dihukum."

"Tentu, coba cek Rud."

Rudi bangkit dan lantas memeriksa lemari mama. Ternyata benar ada senapan. "Senapan angin biasa. Tapi tetap bisa bunuh kita. Makasih Ki, udah nyelametin ini."

"Bener bener mesti kita hukum. Tapi gw laper nih. Sarapan dulu yuk."

Mereka melepas ikatan mama dan menyuruh mama masak. Setelah selesai, mama disuruh berlutut sedang kami makan. Lantas mama berkata dengan lirih, "aku masak banyak. Boleh minta makan dan minum?"

Yana lantas menuangkan kopi ke mangkuk dan menaruhnya di lantai. "Lu boleh minum, lebih daripada itu tidak. Gw gak mau lu muntah lagi. Minum langsung kayak anjing."

Mama merengek, namun membungkuk lantas minum langsung dari mangkuk. Mama jelas haus.

"Waktunya tiga jalan," kata Yana.

Aku penasaran, saat aku akan bertanya mama malah mendahuluti, "apa tuh tiga jalan?" kata mama.

"Tiga jalan adalah filosofi kehidupan yang muncul lebih dahulu dibandingkan jalan tengah. Seperti namanya, tiga jalan terbagi menjadi tiga. Pertama jalan depan, kedua jalan tengah dan ketiga jalan belakang.

"Terdapat empat orang pelaku. Pelaku pertama adalah jalan, pelaku kedua adalah pejalan satu. Pelaku ketiga adalah pejalan dua. Dan pelaku keempat adalah pejalan tiga.

Pejalan satu berbaring, lantas jalan berbaring di atasnya. Di atas jalan ada pejalan dua dan di belakang jalan ada pejalan tiga."

Aku makin gak ngerti, bahkan Rudi lantas bicara, "lu mau ngomongin filsafat sekarang?"

"Intinya, seorang ngetot memek sementara lainnya ngentot pantat dan mulut lu," kata Yana sambil menatap mama.

"Nah, kenapa lu gak langsung jelasin dari awal," kata Rudi.

Mama meringis menyadari apa yang akan terjadi, "jangan sekarang. Selangkanganku masih sakit akibat cambuk dan kail."

"Lu dapet dua puluh pukulan karena nolak. Berlutut, tangan di kepala!"

Mama masih memohon, namun sambil berlutut dan memengang belakang kepalanya.

"Bagus. Kalau lu sampai lepas, gw pukul terus."

Yana mengambil susuk dari wajan lantas memukul susu, lebih tepatnya putingnya mama. Air mata mama mengalir namun mama tetap diam.

"Lu boleh gosok tubuh lu sambil istirahat," kata Yana setelah selesai.

Mama mengelus putingnya yang mengeras.

"Karena lu tetep diam. Gw kasih kelonggaran. Ki, ada lotion gak?"

Aku mengambil lotion yang biasa dipakai mama. Saat kembali, Yana sedang mengikat kail pancing lagi melingkar paha mama membuat bibir memeknya terbuka lagi. Yana bilang mama boleh ngoles lotion di memek atau pantat kalau takut sakit.

Mama kembali berlutut melebarkan kaki, lantas mengoleskan lotion ke memek dan anusnya. Aku terkejut. Mama tak pernah renang dengan memakai bikini karena tak ingin memperlihatkan tubuhnya. Sedang kini mama memperlihatkan memek di hadapan orang lain.

Yana mengambil dua tusuk gigi. Salahsatunya dipotong hingga setengah. Kedua tusuk gigi itu lantas dipegangnya.

"Lu ambil satu. Kalau dapet yang pendek, gw dapet anuslu. Kalau dapet yang panjang, Rudi yang dapet anuslu. Anaklu bagian mulutlu.

Mama menarik tusuk gigi lantas merintih menyadari dapet yang pendek. Rudi lantas berbaring di lantai. Mama berjongok di atasnya dan memasukan kontol Rudi ke memeknya. Tangannya memegang pinggul, mama tak hentinya meringis. Yana lantas mendorong mama dan mulai memasukan kontolnya ke anus mama. Yana bahkan memegang pinggul mama saat mendorong kontolnya. Saat perutnya sudah menempel ke pantat mama, Yana bicara, "Kamu berlutut Ki di wajahnya."

Aku berlutut. Mama bahkan tak perlu disuruh. Mama langsung memasukan kontol ke mulutnya dan mulai menjilati dan menghisapnya. Yana benar, rasanya lebih nikmat dari swalayan. Bahkan erangan mama membuatnya lebih menarik.

Beberapa saat kemudian mama mulai berubah. Tubuhnya mulai bergerak menyambut tiap tusukan di selangkangannya sambil tak hentinya menikmati kontolku di mulutnya. Begitu nikmatnya hingga saat aku keluar, kontolku tetap keras dan mama tetap menghisapnya hingga aku keluar lagi. Aku lantas menjatuhkan diri dan duduk.

Tanpa kontolku di mulutnya, mama mulai mengerang dengan wajah menahan nikmat. Hingga akhrinya mereka keluar.

Yana tersenyum dan berkata, "bener – bener lonte, jepitannya bikin nikmat."

Mama tersipu mendengarnya lantas bicara, "Entahlah, tak pernah senikmat ini saat sama laki gw dulu. Mungkin karena lebih nikmat dibanding dicambuk."

"Gw rasa lu memang jalang. Laki lu aja yang kelewat normal."

Mama tersipu namun tetap diam. Lantas mama disuruh mejilati kontol kami hingga bersih. Mama menurut tanpa protes meski di kontol Yana terdapat sisa kotoran dan darah.

Kurasa mereka menyukai mama karena mereka membaringkan mama dipangkuan mereka, yang sedang duduk di sofa, sambil membelai dan meremas susu dan memek mama. Mama jelas sangat menikmati belaian itu.

Setelah beberapa menit, Yana berkata, "Ki, udah terpikir belum hukuman soal senapan itu?"

Mama lantas bicara, "jangan, tolong jangan hukum saya. Saya bisa ngentot lagi kalau suka."

"Ya, lu udah bikin seneng sementara ini."

Kukatakan kalau aku belum memikirkan sesuatu. Namun yang pasti aku tahu apa yang takkan disukainya. Lantas kujelaskan soal ember kecil yang pernah tergantung dikontolku. Bukankah kail juga bisa menahan ember?

Mama langsung panik, "jangan. Berat embernya bisa bikin robek kulit."

"Bajingan, lu nolak lagi? Bener – bener gak pernah belajar ya. Bawa pecut sini!"

Mama merintih namun tetap mengambilnya, "tolong jangan terlalu keras. Saya tak bermaksud membantah."

"Tenang, lu mau di mana? Susu, memek atau belahan pantat?"

"Udah pada sakit nih. Boleh di perut atau di pantat saja. Biar saya gandakan."

"Jadikan enam puluh saja. Tiap perut, punggung dan pantat dapat dua puluh. Kita lakuin bareng biar cepet."

"Oh Tuhan. Baiklah."

"Oke Ki, ambil tiga ranting dari pohon!"

Aku ke dapur ambil gunting tanaman. Lantas keluar ke halaman belakang. Kupilih ranting yang menjulur agak panjang, kira – kira semeter. Kupotong cabang – cabangnya hingga menyerupai rotan.

Saat aku kembali, mama sudah berdiri dengan tangan di kepala. Mereka membelai pantat dan perut sambil menerangkan efek ranting di kulit.

Mama lantas berkata, "aku berubah pikiran. Dua puluh pukulan di susu saja."

"Telat, Kiki udah ambil ranting."

"Gimana kalau tiga puluh pukulan di susu?" mama mencoba menawar.

"Pake ranting?"

"Oh tuhan, iya."

"Gimana Ki?"

"Boleh, masing – masing sepuluh, di susu hingga bener – bener merah."

"Kita undi siapa yang duluan."

Kami mengundi, aku kebagian terakhir. Aku senang karena, saat bagianku tentu susuny sudah sangat sakit.

Mama kembali menawar, "sekalian ikat aku saja."

"Gak. Kita pingin lu lepasin tangan biar bisa nambah pukulan."

Yana yang pertama. Mama menjerit tiap kali pecutan dan meninggalkan sepuluh tanda merah di tiap susu.

Rudi memecut bagian lain yang belum merah.

Kini bagianku. Mama terengah – engah dengan tubuh penuh peluh. Rudi lantas menyadari sesuatu, "liat susunya jadi gede," katanya.

Rudi benar, susu mama jadi besar dan melorot. Kupecut keras berharap tangan mama lepas, namun mama tak melepas tangan, hanya terus menjerit tiap lecutan. Susunya telah jadi keras, lecutanku tak sedalam lecutan Yana.

Setelah selesai, kujatuhkan ranting. Mama langsung menurunkan tangan dan mengelus susunya sementara air matanya ikut membasahi susu.

Yana lantas menyuruhku mengambil handuk dan mengisinya dengan es. Saat kembali aku melihat mama berbaring, tangannya masih mengelus susu sementara memekny dientot Yana. Rudi memegang tangan mama dan handuk dingin kuletakan di susu mama. Mama berterimakasih padaku seolah – olah lupa kalau mama tak pelu es andai tak kami hukum.

Setelah Yana selesai ngntot, Rudi menggantikannya. Kuraih dan kuposisikan kontolku ke mulut mama. Mama langsung menghisapnya seperti bayi yang kelaparan yang diberi botol susu. Saat akan keluar, kutarik kontolku dan menyemburkan peju ke wajah mama. Tanpa perlu disuruh, mama meraih peju dengan tangan dan menghisapnya hingga bersih.

Kami biarkan mama berbaring di sana dengan anduk dingin. Yana buat makanan sementara aku membuat es teh manis. Kuberi mama teh manis dan mama berterimakasih, seolah – olah aku telah melakukan sesuatu yang sangat besar baginya. Kurasa mama perlu minum setelah berkeringat begitu banyak.

***

Yana datang lantas bicara, "lonte ini mulai bau. Kita mandikan saja."

Kubawa mama ke kamar mandi dan kami mandikan sambil berdiri. Mama tak protes saat kusabuni memeknya, bahkan seperti menikmatinya. Saat akan kuraih handuk, Yana melarangnya.

"Biar dia basah dan kering sendiri."

Mama dibawa kedapur dan diberi makan dan minum.

"Enakan sekarang?" tanya Yana.

"Iya, makan dan mandi bikin seger. Makasih."

"Bagus. Jadi udah siap pake ember."

"Oh, belum cukupkah aku disiksa? Aku telah berbuat baik dan melakukan apa yang disuruh."

"Ya maaf aja. Lagian gak kan kami lakuin andai lu gak lakuin itu ke Kiki."

Aku terkejut saat mama bilang, "iya, kurasa aku berhak mendapatkannya."

Yana menyuruh mama berlutut lantas mengikat ember ke kail di memek mama. Mama tersentak saat berdiri meski ember itu tak berat – berat amat. Bahkan bibir memek mama agak tertarik sedikit. Yana mengisi ember dengan air dan menyuruh mama jalan mengitari dinding ruangan. Kami tertawa melihat mama berjalan dengan lucu, kakinya dilebarkan agar pahanya tak menyentuh ember. Aku senang tertawa bersama mereka. Aku tahu rasanya sakit saat ember itu maju mundur, dan tiap pergantian arah menyebabkan tarikan.

Mama mulai mengangis di putaran ke tiga, setelah embernya tiga kali diisi air. Pada putaran keempat aku mulai memperhatikan memeknya. Terdapat lubang kecil di tempat kail pancing. Bibir memek mama pun telah sangat lebar, kira – kira selebar lima jari melorot ke bawah.

Pada putaran kesembilan, salah satu kail merobek bibir memek mama menyisakan tiga kail yang masih mengait. Robekan itu menyebabkan mama berteriak dengan mengerikan. Mama lantas berlutut sambil menangis. Kami mendekat dan melihat darah mulai mengucur.

Kubilang Yana bahwa ayah punya sejenis serbuk untuk menghentikan pendarahan yang selalu digunakan ayah saat berdarah setelah bercukur. Aku lantas mengambilnya. Saat kembali, kulihat mama sedang berbaring menangis dengan kaki terbuka lebar. Yana lantas menaburi serbuk itu ke memek maka.

Mama langsung berteriak, "panas ... panas ... panas ... pada diri ..."

***

Kami biarkan mama istirahat selama beberapa hari hingga lukanya sembuh dengan sendirinya. Namun tetap ngentot anus atau mulut mama. Kami juga membuat mama memohon agar hanya dihukum susu, perut atau pantatnya saja.

Aku lantas bertanya kenapa mama sangat membenciku. Mama jawab karena aku tak lahir sebagai perempuan. Mama tak pernah suka anak lelaki. Mama juga menikah akibah hamil duluan, telat tiga bulan, gara – gara pacaran suka gelap – gelapan.

Akhirnya aku paham kenapa aku sangat dibenci, meski aku merupakan darah dagingnya sendiri.
 
Aku teringat bu rahma. Kukatan ke Yana tentang dia. Juga dia akan menelepon hari jumat untuk memastikan kedatangannya di hari sabtu. Yana lantas panik menyadari kemungkinan kebocoran informasi. Lantas kuberitahu lagi bahwa mama dan bu rahma merupakan orang yang tak suka sosialisai, apalagi sama tetangga. Bahkan anaknya sendiri sekolah di rumah.

Aku juga beritahu tentang kekayaannya. Yana senang, lantas menyambungkan kabel telepon lagi.

"Lu boleh pegang telepon kalau susulu mau gw bakar," kata Yana mengancam mama. Mama percaya dan berjanji takkan melakukannya.

Esoknya bu rahma benar – benar menelepon. Kuangkat dan kubilang kalau mama sedang diluar. Kubilang juga mama menyuruhku mengangkat telepon dan bicara ke bu rahma kalau mama sangat mengharapkan kedatangannya esok hari.

Bu rahma terdengar senang. Juga bilang akan bawa anaknya. Dia akan datang sekijat jam delapan. Apa mamamu akan keberatan kalau bu rahma di sana lebih lama lagi, tanyanya.

Kujawab bahwa bu rahma boleh tinggal selama yang diinginkan. Gak selama itu, katanya, mungkin selama sebulan, lanjutnya. Kujawab kalau mama ingin agar bu rahma pindah saja dan tinggal dengan kami. Bu rahma tertawa dan bilang setidaknya aku akan punya teman main.

Aku menjawab sekenanya untuk menyenangkan dia, namun Yana dan Rudi ikut senang juga. Yana bilang kalau mereka akan sembunyi di kamar, lantas ngintip dari sana. Mama mesti kubawa ke dapur menjauhi pintu.

Jam delapan bu rahma benar – benar datang. Kubiarkan masuk. Bu rahma masuk sambil memegang rantai yang terpasang ke leher anaknya. Anaknya membawa keranjang besar berisi perkakas untuk menyiksa. Kutaksir umur anaknya kira – kira tiga belas tahun. Tubuhnya mungkin besar melihat dari bajunya yang longgar dan celananya yang besar.

Aku menyuruhnya langsung ke dapur untuk melihat mama, namun dia malah berkata, "sebentar lagi. Aku ingin kamu lihat teman barumu. Ayo lepas bajumu!"

Anaknya tanpa protes mulai melepas kancing bajunya satu – satu. Setelah itu dilepasnya. Anak itu memiliki susu! Dan saat celananya lepas, tak ada kontol di situ! Yang ada hanyalah memek tanpa jembut, dikelilingi tanda merah, yang kuyakin merupakan bekas sundutan rokok. Dia lantas disuruh merangkak seperti anjing menuju dapur.

Setelah agak dekat dengan dapur, Yana muncul dari kamar langsung menodong bu rahma, "diam lu anjing!"

Bu rahma lantas diam terkejut, tanpa suara. Mama keluar dari dapur, telanjang. Bu rahma tentu melihat bekas cambukan dan luka di tubuh mama, "apa yang terjadi pada dirimu, siapa mereka ini?"

"Mereka residivis kambuhan spesialis maling ayam tetangga."

Bu rahma memperhatikan Yana dan Rudi, lantas bicara, "mereka bukan residivis, tapi buronan. Kemarin beritanya ada di tv. Di bui mereka juga bunuh sipir biar bisa kabur."

"Ya... ya... makasih beritanya," kata Yana. "Yang penting kita aman di sini."

"Ya tuhan, mulutku bisa bikin celaka. Kamu pasti berusaha kabur lantas dipukuli sedemikian rupa."

"Gak, aku gini karena dihukum karena nyiksa Kiki."

"Oh tidak, kayak aku nyiksa Ani?"

"Lu bener. Lu berikutnya. Lu udah jelek, pasti gak peduli kita tambahin bekas luka lagi."

Kulihat bu rahmat gak begitu jelek andai berpakaian yang selayaknya meski memang tubuhnya gemuk.

"Buka baju lu, biar lu tau tempat lu."

"Jangan siksa saya, saya takkan melawan."

Bu rahma lantas melepas pakaiannya. Terlihat lemak di perutnya.

Rudi melihat – lihat isi tas yang dibawa Ani. "Lihat nih," katanya.

Rudi mengeluarkan cambuk dari kabel.

"Biasa dipakai di pantat," Ani bicara. "Lihat nih efeknya, lebih dahsyat dari efek rumah kaca." Ani berbalik dan menunjukan bekas luka di paha dan pantatnya.

Rudi mengeluarkan empat kali besar.

"Biasa dipasang ke memek dan susu, terus diangkat untuk menggantungku. Lihat nih lubangnya."

Kulihat memek dan susunya, ternyata benar berlubang.

Rudi mengeluarkan tongkat.

"Tongset, alias tongkat setrum. Biasa dipakai nyetrum memek atau pantatku. Kadang aku pingsan dibuatnya."

Rudi mengeluarkan cambuk kulit.

"Biasa dipakai untuk mencambuk diri sendiri. Kalau gak keras, bakal dipakai olehnya mencambuk memek dan putingku."

"Benar," akhirnya aku buka suara. "Aku juga suka disuruh nyambuk sendiri."

Rudi mengeluarkan sekotak paku payung.

"Biasa disebarkan di lantai. Lantas aku disuruh berbaring dengan susu dan memek mengenai sebaran paku payung. Paku payung itu mesti nempel. Tentu sulit, saat bangun, langsung dapet lima cambukan. Mengerikan."

"Berapa umurmu nak?"

"Dua belas jalan, mau tiga belas."

"Untuk bocah seumuranmu, susumu termasuk besar."

"Normalnya gak segede gini. Mama selalu pake jarum suntik dan menyuntikan carian garam. Efeknya tiap hari makin gede.

"Oh, jadi itu gunanya," Rudi mengangkat jarum dan suntikan tipe besar. Serta sebuah larutan, namun bukan larutan yang ada binatang atau beberapa kaki.

"Ya, katanya mau iket kontol Kiki agar masuk ke celah pantat. Terus nyuntik pangkalnya biar kayak perempuan. Mungkin juga bikin susu Kiki jadi gede."

"Luka di memekmu karena apa?"

"Sundutan rokok. Mama menyuruhku memohon agar menyundut lagi, kalau tidak nubinku bakal disundut."

"Apaan tuh nubin?"

"Yang kecil di sini," Ani menunjuk itilnya, "yang sangat sensitif.

"Oh, itu namanya itil. Kayak kontol kalau di anak laki."

"Ya terserah. Kalau di elus nikmat, tapi kalau ditusuk jarum sakit sekali.

"Apa kamu dipaksa melakukan hal – hal seksual?"

"Belakangan ini mulai jarang dengan lelaki. Mama punya pacar, hingga pacarnya pindah ke luar kota. Mama suka nyuruh aku duduk di atas kontolnya, sementara susuku diremes mama hingga lakinya keluar. Dia juga kadang membuat anusku berdarah. Namun kini aku malah rindu dia, karena kini satu – satunya seks yang terjadi ya aku disuruh menjilati memek mama."

Rudi kembali mengeluarkan barang, kali ini dildo dengan ujungnya memasang bola besar.

"Itu untuk Kiki. Masukan ke anus, lantas pompa bolanya. Dildo otomatis membesar. Anus dijamin membesar plus berdarah. Pantatku telah berkali – kali dipasangi itu hingga bisa kalian pake."

"Kebetulan nih," kata Yana. Dia lantas mengeluarkan kontol dari celananya.

"Gak masalah," Ani menambahkan. "Bisa pake pantatku. Aku mulai menyukainya meski sambil susu dicambuk."

"Gw gak doyan bocah. Tapi Kiki mungkin suka. Gimana?"

"Boleh juga, dia lumayan lucu. Tapi memekku masih kekecilan kayanya. Pacar mama juga bilang kalau mulutku boleh juga."

Luar biasa percakapan ini.

"Mau mukul mamamu gak?" tanya Yana ke Ani.

"Entahlah. Takut dia akan membalasnya, bahkan mungkin lebih dari yang kulakukan. Tapi kau boleh saja. Mau bunuh dia juga gak masalah. Biar aku bisa tinggal sama ayah."

Bu Rahma berteriak, "dasar nakal. Kamu akan menyesalinya.

"Tidak," kata Yana. "Ambil tongkatnya."

Rahmat berteriak, "Kamu sedikit jalang. Aku akan membuat Anda menyesal!"

Yan mengatakan, "Tidak, kau tidak akan! Ambil Rod nya."

Bu rahma berontak saat tangannya diikat di belakang punggung, namun tenaganya jelas kalah. Dia dibawa ke garasi, sementara aku membawa tas Ani.

"Apa mereka akan memukulnya sampai payah?" tanya Ani padaku. Kami berjalan berdampingan.

"Oh ya."

"Oh."

Mereka mengambil kail besar dan mengail puting dan bibir memek bu rahma. Bu rahma tentu berteriak sambil menangis. Kail di susunya diikat, lantas ditarik ke atas hingga berbentuk seperti es kon. Saat hampir robek, Yana menghentikan tarikannya.

Yana mengikat selangkangan bu rahma, lantas menariknya ke atas hingga kakinya tak menyentuh tanah. "Punya tusuk sate gak?" tanya Yana.

"Ada," kataku lantas berlari mengambilnya. Mama duduk di sudut sambil menangis. Mungkin mengira dia selanjutnya. Kuberi tusuk sate ke Yana.

Yana menusuk tiap susu Bu Rahma dengan enam tusukan. Kail di memek Bu Rahma dipasangi ember. Ember itu lantas diairi membuat bibir memek bu rahma menggelambir.

Mereka kemudian menarik itilnya dengan tang dan menusuknya dengan jarum. Bu Rahma langsung pingsan. Mereka mengguyurnya hingga bangun dan kembali menjerit lagi. Mereka ambil kabel dan melilit itinya hingga seperti kontol terlilit. Itil itu kembali diikat ke kember dan diisi air lagi.

Yana menatap memek Bu Rahma, "gw gak doyan liat jembut."

"Ada minyak tanah di sudut."

Bu rahma mulai berteriak jangan, namun mereka membasahinya dengan minyak tanah lantas membakar jembutnya.

"Lebih parah dibanding rokok," kata Ani.

Jembutnya habis dan memek serta itilnya jadi merah gelap. Bu rahma pingsan lagi saat api dimatikan. Namun Rudi mendekatkan garam ke hidung bu rahma hingga kembali sadar.

"Memeknya pasti sensitif," kata Yana. Dia lantas mengambil cambuk kabel dan menyambuk memeknya hingga berdarah dan tentu, pingsan lagi.

Bu rahma kembali disadarkan. "Itilnya kepanjangan," kata Rudi. Mereka lantas memotong itilnya hingga ember dipenuhi darah sementara mulutnya menjerit – jerit.

Tali yang mengangkatnya lantas digunting dan Bu rahma jatuh seperti batu. Kail di susunya merobek kulit dan dia mengerang di lantai.

Rudi menyuruh bu rahma bangun, namun bu rahma hanya mengerang. Rudi mengambil tongset [tongkat setrum] dan menyetrum memeknya menyebabkan bu rahma kelejotan hingga meninggal.
 
"Parah," kata Yana, lantas menatap Ani, "maaf nak."

"Gak apa – apa, kini gak ada lagi yang bakal menyiksaku."

Yana dan Rudi lantas menghilangkan mayatnya. Entah bagaimana aku tak pernah bertanya. Setelah kembali, Yana melihat mama yang ketakutan. "Tenang, gw gak bakal bunuh lu," katanya.

Mama kini agak santai.

"Aku bener – bener seneng," kata Ani. "Mau pake mulutku gak, sebagai tanda terimakasih."

"Buat Kiki aja. Gw mau latih dia dulu."

Ani mentapku, "mau?"

"Boleh, tapi ntar. Pingin liat pelatihannya dulu."

Mama disuruh nungging kayak anjing, lantas Yana mengambil kotak paku payung. "Rudi ngentot lu dari belakang, sementara lu isep kontol gw. Selagi lu isep, gw pasang nih paku ke susulu sampai gw keluar. Setelah itu, gw pecut memeklu sebanyak paku yang tertancap."

Mama menangguk dan saat paku payung pertama ditempelkan mama langsung menghisap kontol Yana. Yana terus memasang pakupayung dari kotaknya. Ternyata, dengan motivasi berlebih tak butuh waktu lama bagi mama membuat mereka keluar. Saat menghitung, ada tiga puluh paku payung di susunya.

Yana ambil bantal dan menaruh di meja. Mama lantas tidur di meja dengan pantat di atas bantal, kaki dilebarkan hingga memeknya terlihat jelas. Yana menyuruh mama melebarkan bibir memek dengan tangannya. Terlihat memeknya dan itilnya mengembung.

Yana tak memecut dengan keras, namun karena sensitif mama mulai terisak, menangis. Setelah lima belas kali, Yana menduduki susu mama dan mulai memecut lagi. Kini ujung pecut tentu mengenai anus mama. Sekali tangan mama lepas dari bibir memeknya, namun langsung dipegang lagi. Setelah selesai, terlihat seperti lebam dan memeknya bengkak.

"Wow, dia benar – benar berani. Kalau mama mesti ngiket kakiku dulu agar terbuka saat mecut memek."

"Ya, tapi mungkin pecutan dia tak sekeras pecutan mamamu."

"Bisa jadi. Jadi gimana, mau sekarang? Kalau gak enak kamu boleh pecut memekku."

"Iya," kulepas celana dan Ani mendudukanku di kursi. Dia ingin aku merasa nyaman, katanya.

Isepannya jauh lebih nikmat dari isepan mama. Lidahnya serasa bergetar menggoyang helm kontolku. Kontolku lantas dimasukan hingga mentok, membuatku keluar. Pejuku lantas ditelannya.

"Mau mecut memeku?"

"Gak dong, yang barusan, luar biasa."

"Mau yah, di tas ada cambuk karet. Bahkan belum pernah dipakai."

"Yakin nih?"

"Iya, lagian kalau sakit, aku pasti bilang dan kamu pasti berhenti kan?"

"Tentu."

Ani mengambil cambuk karet dari tas, lantas mengambil jepitan lagi. Jepitan itu dipasang di bibir memeknya, kanan kiri. "Coba ya." Ani berbaring di kursi, sehingga memeknya seperti terangkat, lantas melebarkan kakinya.

"Mau berapa kali?"

"Terus aja sampai aku bilang stop."

Aku mulai memecut dengan pelan. Ujung pecut mengenai itilnya. Ani lantas mengerang sambil bilang, "lebih keras."

Kuturuti kata – katanya. Setelah beberapa kali, nafasnya mulai cepat, hingga tubuhnya mengejang dan bilang stop.

Kuhentikan aksiku. Ani tersenyum padaku, "aku keluar, nikmat."

Ternyata Ani telah terbiasa dalam sakit. Bahkan saat sedang ngentot. Jika dia diatas tubuhku, aku disuruh memecut susunya. Sedang saat pake gaya anjing, aku disuruh mencubit putingnya.

Beberapa hari kemudian, susunya kembali mengecil. Dia malah memintaku menyuntiknya. Aku turuti, bahkan dia tak menangis saat jarum masuk. Setelah empat suntikan, susunya kencang lagi.

***

Suatu hari, mama berkata, "mama telah belajar ngentot dan ngisep kontol dengan baik. Mereka mulai menyukai mama. Tiap hari mama hanya sekali dihukum. Mama tau mereka takkan membunuh mama. Nanti kamu rasakan pembalasan mama."

Apa yang mama katakan lantas kukatakan ke Yana. "Dia bercanda. Dia baru aja dihukup pake senapan."

"Aku punya ide," kataku. "Dia pernah bikin pagar setrum dan menyetrum testisku. Sakitnya tuh di sini," aku menunjuk selangkangan, "di dalam testisku."

"Benar – benar cemerlang idemu. Apalagi sekarang musim hujan. Cocok."

Mereka menyeret mama keluar. Mama terus merengek dan bilang kalau dia takut setrum. Yana menyuruhku mematikan setrum pagar saat tangan mama diikat di belakang punggungnya. Mereka mengangkatnya hingga mama berdiri diantara pagar. Jika mama berjinjit, maka selangakangannya takkan kena pagar. Namun apabila berdiri biasa, memeknya seperti menduduki pagar.

Setrum kunyalakan. Mudah melihat apakan mama kena setrum. Saat peruttnya mengejang dan mama menjerit, berarti kena setrum. Namun beberapa saat kemudian, mama tak kuat lagi dan selangkangannya terus mengenai pagar. Dari memeknya mengucur cairan.

"Sial, cewek gak punya testis sih," kata Yana.

Kumatikan setrum dan mereka mengangkat mama. Wajahnya seperti wajah saat mama selesai dientot mereka. Memang setrum di pagar tak mematikan, ada sejenis saklar pengaturnya, namun tetap bikin gak enak.

"Siapa yang ngizinin lu duduk di pagar hah? Gw naikan lagi nih teganganya."

Mama kembali diletakan di atas pagar. Tegangan dinaikkan oleh Yana. Namun naas, saat setrum dinyalakan, mama tak kuat berjinjit hingga mati tersetrum.

Setrum dimatikan, mama diturunkan. Yana lantas menatap kami. "Beri waktu sebentar, abis itu kita pergi dan kamu boleh telepon polisi."

"Santai aja, gak pergi juga gak apa – apa," kataku.

"Bener nih?"

"Iya."

Mereka lantas membuang tubuh mama. Setelah itu, mereka mengisi mobil dengan perbekalan dan pergi menjauh untuk tak kembali.

Aku dan Ani menikmati hidup selama beberapa minggu. Dia senang jadi budakku. Setelah itu, kami putuskan pulang ke ayah masing – masing. Kami ke kota dan menemui polisi yang sedang menilang sebuah motor. Entah kenapa aku tak tahu.

Kuceritakan semua dengan beberapa penyesuaian, mengkambing hitamkan Yana dan Rudi. Kami juga bilang kalau mereka baru saja pergi tadi.

Mereka lantas mengirim kami ke psikiater. Kami dinyatakan sebagai korban dan harus menjalani perawatan pasca trauma. Ayahku dan ayahnya lantas sepakat jika kami mau saling mengunjungi.

Saat kami sedang berdua di rumah, kami lakukan kesukaan kami.

Hidup sungguh penuh dengan pelbagai kemungkinan.



Selesai
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Aduh... terlalu mengerikan :ugh:
Ini harusnya diikutkan lomba cerita horror
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd