Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Catatan si Iqbal: Pengemudi Penikmat Perempuan (Update Series)

Duh jadi mau tau playlist masing masing momen lo nih.. DM boleh gk si bro.. huhu
Hehehe monggo di catet aja setiap musik yang ada di tiap postingannya yaaa. Soalnya playlist ane sangat berantakan, nyari database playlist isi 2000+ lagu puyeng ntar suhu...

Ane sih cuma nentuin dari awal mau lagunya apa dulu baru jadi ceritanya gimana, salah satunya...
 
KAN udah kuduga laras tuh lonte guys
Ouch.. Hahaha no comment deh ane hu... tapi di ceritanya begitu jadi gimana yaaa :p

Didengerin pas lagi nyetir enak banget soalnya.
Hehehe di catet aja setiap lagu yang ane masukin di cerita, di save langsung ke spotify/youtube/apple music dkk

Jadi penasaran kelanjutan nya gimana
Lanjut huuu
Mohon bersabar, sebentar lagi ane rilis final dari Laras Series yaaaa :)
 

Laras Series : Untuk Sebuah Nama (Part 7-Tamat)​

Mulustrasi

Laras

Stephanie

Langkahku menuju lantai apartemen itu begitu berat.

Apa lagi ini?
Apakah ini sekedar cara menghancurkan hubungan kami?
Atau memang faktanya ada yang ditutupi Laras dariku?

Ting!


Lift apartemen itu pun akhirnya terbuka di lantai yang disebutkan. Mengikuti instruksi nomor yang tertera di dinding, aku pun melangkah sampai di sudut apartemen yang entah mengapa pintunya terbuka kecil. Seakan tau bahwa akan ada “tamu tak diundang” yang akan datang pada malam itu.

Mencoba mendekat, mulai terdengar suara-suara saru datang dari apartemen itu. Bercampurnya suara kemacetan Jakarta yang sampai di apartemen itu, seakan mencoba menutupi suara dua manusia yang sedang beradu kelamin. Iya, tidak mungkin salah itu.

Pelan-pelan, kubuka pintu sebuah apartemen yang terbuka kecil itu. Seakan tau bahwa bakal ada orang lain yang akan masuk ke dalam apartemen itu

Mencoba melangkah tanpa suara, aku berusaha duduk di sofa yang berada di sudut di apartemen dua kamar tersebut.
Aaron: You like it babe? (lo suka kan?)​
Laras: Hell yeah babe.. Fuck me like you used to.. (Iya banget.. Entot gue kaya biasanya)​


Gila! Ingin rasanya aku cari pisau, kemudian ku hujamkan tanpa basa basi ke tubuh kalian berdua. Sayang, aku hanya terpaku di sofa apartemen itu. Mendengarkan semua pengalaman mesum yang jelas-jelas terjadi di dinding sebelah.

Seluruh sendi di dalam tubuhku langsung tak berfungsi. Hanya indera pendengaranku yang masih merekam suara desahan kenikmatan Laras bersama Aaron. Namun ada satu yang entah mengapa bisa kulakukan, merekam aksi seksual kalian, sebagai barang bukti.

Agak sulit untuk bisa merekam aksi seksual mereka secara terang-terangan, karena berarti sama saja aku melihatkan diri aku di antara aksi kalian. Namun aku menemukan sedikit celah di lantai yang bisa menghadap menampilkan aksi mereka. Dan sisanya aku gunakan smartwatch untuk melihat aksi kalian secara langsung, plus merekam dalam ponsel.
Aaron: Which one do you like? Is it me or him? (mana yang lo suka ngewe-nya? gue atau dia?)
Laras: Only you daddy! Fuck (Cuma elo sayang! Fuck)
Aaron: Fuck! You are such a real slut! (Fuck! Elo beneran perek sejati)
Laras: I’m a slut for you honey! (Iya gue perek lo, sayang)
Aaron: Now get up and ride my dick, slut! I wanna spank your ass! (Sekarang bangun dan goyangin kontol gue, perek! Gue mau gamparin pantat elo)
Laras: As your wish daddy! (Sesuai minta kamu pihhh!)


Berbagai aksi seksual dilakukan kedua manusia itu di balik tembok tempatku duduk. Meski tidak sepenuhnya bisa merekam tubuh kedua manusia brengsek itu, tapi untuk suara bisa menjadi bukti bahwa aku menjadi objek permainan kedua orang ini.
Laras: I’m gonna cum Aaron.. (gue mau keluar aaron)
Aaron: Waittt! I wanna cum too.. (Tahan! gue juga mau keluar)
Laras: Fuck! Cum on my face please! Don’t cum inside please (Keluarin di muka aja, jangan di dalem dong tolong)
Aaron: Shut up bitch… Aaarghhh i’m coming!!! (Diem lu bangsaatt!! Gue keluaarrr)


Teriakan kencang kedua manusia bangsat menggelegar memenuhi kamar tersebut. Sudah makin tak tertahankan amarahku masih terpaku di sofa kursi tersebut. Pilihannya sekarang tinggal aku dobrak pintu itu, atau aku memilih membiarkan mereka menemukan aku sudah mendengarkan semua kelakuan mereka.
Laras: Oh shit! I Should take the pills now. (Mampus! Gue kudu minum pil KB sekarang)
Aaron: Why? You don't want my child? (Kenapa sih? Gak mau punya anak dari gue?)
Laras: What if he knows if i have your baby? i’ll be screwed. (Gimana kalo sampe Iqbal tau gue punya anak elu? Mati gue)
Aaron: So be it. As long as you can’t do your task, do whatever I say. (Yaudah biarin aja. Selama elo belum bisa lakuin tugas elu, ya lu nurut apa kata gue)
Laras: I know, just please wait until I can marry him and get his money. (Tau gue, tapi sabar dulu sampai gue nikah sama dia dan dapetin duit dia)
Aaron: You sure he will pay your debts? Or you just want to get away from me darling? (Yakin lu dia bayar utang elu? Ato elu cuma mau kabur dari gue?)
Laras: I'm sure he'll be helping me. So after he pays all my debts, get the fuck out my life Aaron.. (Iya gue yakin dia pasti bantuin gue. Abis dia lunasi utang gue ke elu, pergi deh elo anjing)
Aaron: Uhh i’m so scared.. But I know you can't. (Uhh takut gue. tapi gue tau elu gak bakalan bisa gitu)
Laras: I know, so don’t mess up my plan darling. Now I need to pee and clean up your shit. (Iya tau, makanya jangan acak-acak plan gue sayang. Udah gue mo pipis bersihin peju elu di memek gue)


Segera aku ambil ponselku yang masih tersimpan di lantai menghadap tubuh mereka yang saling pelukan. Dan tepat saat ponselku ambil, saat itulah akhirnya Laras tau, ada orang ketiga yang mendengarkan semua kegiatan seksual mereka sedari tadi.

Aku bisa melihat raut wajah Laras yang terkejut bak ketemu setan. Padahal baru saja Laras bersama Aaron melakukan tindakan setan. Pada akhirnya, kami bertiga terpaku di sudut apartemen itu.
Iqbal: Thanks for the invitation Aaron. I got your message (Makasih undangannya Aaron, gue terima pesan elo tadi)
Laras: Bal, aku bisa jelasin ini semua. Aku ...…​


Tak peduli aku dengan tubuh Laras yang berusaha menahan aku. Kubiarkan kedua setan itu saling beradu mulut, atau mungkin saling tusuk menusuk di ruangan apartemen itu. Yang jelas, aku berurusan dengan penipu.

Menikmati jalanan kota Jakarta di malam hari, bersama dengan hati yang hancur, rasanya adalah kombinasi mematikan. Pilihannya adalah memacu mobil dengan kecepatan tinggi untuk meluapkan emosi, atau berjalan lambat sambil membiarkan emosi mereda.

Ingin rasanya ku nyalakan ponsel dan segera menekan tombol call pada nomor itu. Nomor yang siap menerima teleponku 24/7, nomor yang pemiliknya akan selalu menerima aku dengan tangan terbuka. Tapi, dengan berbagai pertimbangan saat itu, aku memilih bertahan. Biarkan ku hadapi pengkhianatan ini sendiri.
***​
Adalah sebuah fakta absolut jika lahir ungkapan “There are three sides to every story: your side, my side, and the truth”. Semua lingkar dalam keluargaku saling berspekulasi; untuk apa aku dengan sengaja dan dengan cepat memutus tali pertunangan bersama Laras.

Tentu Laras juga punya cerita dan sudut pandang sendiri. Dan tentu bisa saja ku keluarkan bukti yang kusimpan, namun sudahlah. Rasanya energiku sungguh habis hanya untuk berurusan dengan perkara ini.
Laras: Bal, kamu dimana? Please aku mohon, kita bisa kan ketemu?​
Iqbal: Semua barang kamu di apartemen udah aku rapihin, tinggal ambil aja kalo mau. Ato aku kirim ke alamat baru kamu bisa.​
Laras: Aku ambil aja, tapi please kita harus ketemu dan ngobrol.​


Entah, antara aku lemah kepadanya atau aku sudah terlalu muak mengurus ini semua. Rasanya logikaku sepertinya sedang enggan bicara sama sekali.
Laras: Aku boleh minta waktu untuk ngobrol sama kamu kah? please.​

Iqbal: Silakan duduk.


Mencoba mendengarkan setiap alasan yang dilontarkan Laras saat itu sungguhlah memuakkan. Mungkin jika emosiku tak tertahankan, kopi hangat yang masih ada di gelas ini bisa ku lemparkan ke wajahnya.
Laras: Please ngertiin aku bal. Iya aku khilaf dan salah. Tapi aku sayangnya cuma sama kamu, urusan sama Aaron cuma perkara uang. Dan itu caranya biar dia bisa nunda nagih or mengurangi hutang aku ke dia.​

Iqbal: Emang berapa hutangnya?​

Laras: gede bal. Aku sadar..​

Iqbal: Berapa?​

Laras: 1.5 miliar, sesuai sama modal bisnis dia buat bisnis aku.​

Iqbal: Oh..​

Laras: Aku minta maaf. Aku udah gak peduli gimana cara aku lunasi hutang ke Aaron, jual aset semua aku rela. Tapi aku gak rela kalo kamu pergi gitu aja gak kasih kesempatan aku buat perbaiki semuanya.​

Iqbal: Kamu gak usah minta maaf sama aku, harusnya kamu yang minta maaf sama diri kamu sendiri. Demi sukses di ibukota, jalan yang kamu pilih kaya gitu.​

Laras: Aku tau, tapi cuma itu satu-satunya cara aku survive disini. Tapi aku juga butuh kamu. Cuma kamu yang bisa sayang sama aku dan menghargai aku bukan main-mainin aku.​

Iqbal: Jujur, segala sesuatu ada harganya. Kamu hargai diri kamu dengan harta. Aku hargai kamu dengan sayang. Kalo dengan posisi sekarang, bukan sayang yang kamu butuhkan, tapi uang buat bayar hutang-hutang yang kamu bikin sendiri.


Segera ingin ku beranjak dari kursi itu, seakan ingin kabur dari tempat itu, biarkan Laras hancur dengan kata-kataku sendiri. Setidaknya ku berharap dia pergi enyah dari hidupku. Tapi, lagi-lagi Laras being Laras.

Saat aku mencoba melangkah menuju ruang lain di apartemenku, tangan Laras mencoba menahanku dan mencoba memelukku dengan sangat erat. Saking eratnya entah ini karena memang pelukan tulus atau sekedar mencoba memancing sisi binatangku. Sisi dimana logika tidak bersuara tapi nafsu yang punya kuasa.

Sekuat tenaga logisku mencoba melepas pelukan tersebut, yang justru bertolak belakang dengan tubuhku yang seakan ikut terbawa oleh ajakan Laras. Ciuman yang kemudian menjadi semakin liar, bersama dengan akal sehatku yang semakin menghilang.​

Laras: Please, aku kangen yang di bawah ini..


Menundukkan kepalanya di depan kontolku, Laras seakan mencoba mencuri hati dan jiwaku dengan kemampuan seksualnya.

Harusnya aku menolak perlakuan ini, namun lagi-lagi nafsuku mengambil kendali dan secara reflek memegang kepalanya untuk aku bisa melakukan facefuck. Kugerakkan kepala Laras untuk bisa lebih cepat memblowjob kontolku, bahkan tak memperdulikan ritme selama yang penting Laras tersiksa.

Dengan nafsuku yang semakin panas, sudah tentu agenda selanjutnya adalah memasukkan kontolku ke dalam memeknya. Tanpa disuruh pun, aksi itu segera terjadi di depan mataku.

Tepat saat Laras mulai berdiri melepaskan semua pakaiannya, aku mendorong tubuh Laras untuk bersandar di tembok. Dengan membelakangiku, aku berhasil melakukan standing sex dengan Laras membelakangiku.

Tiada ciuman hangat atau mesra kali ini. Aku layaknya binatang yang sedang bergairah, hanya menganggap Laras sebagai objek seksual semata. Objek dimana aku hanya akan menikmatinya dalam waktu singkat, dan kalau bisa tanpa memberikan kendali apapun pada Laras untuk bisa memikat diriku lagi.

Wajah yang menempel di tembok itu kemudian kututupi dengan tangan, sedangkan satu lagi tanganku mencoba menampar pantatnya. Sudah barang tentu hentakan kontolku pada memek Laras berpadu kencang dengan tamparan pada Pantat yang membuat area tersebut memerah dengan bekas tangan yang besar.

Entah apa ini hardcore sex atau aku sedang memperkosanya. Tapi ya, aku sudah tidak peduli rasa sayang apapun dengan Laras. Dia tak lebih dari pelacur, tugasnya cuma satu; melayani tuan yang membayarnya.
Laras: Sayang… sakitttt​

Iqbal: Diem gue mo kellluuarrrrr….


Lelehan sperma yang seharusnya bersandar di dalam memek Laras, menjadi terlalu berharga untuk dilelehkan di dalam situ. Aku lebih memilih secara tepat mengeluarkan semua hasil kenikmatan itu di lantai. Bukan berharap tidak hamil, tapi rasanya Laras tak layak mendapatkan benih cinta dariku.
Laras: Babe.. Gapapa kamu siksa aku kaya tadi, tapi please jangan lepasin hubungan kita…Aku masih sayang kamu…


Sungguh, sebuah “Aha moment” terjadi tepat saat Laras mencoba merayuku kembali ke dalam jebakannya. Entah Setan atau Tuhan yang sedang berbicara di telingaku saat itu, tapi ucapan tersebut sungguhlah membuatku sadar secara penuh. Dan ini adalah balasanku..
Iqbal: Ini buat kamu. Harusnya dari dulu aku bayar kamu dengan layak. Jadi, silahkan ambil dan pintu keluar ada di sana.


Ya, sejenak ku ambil dompet yang berada di meja tak jauh dari tempat hubungan seksual kami. Di dalam dompet itu terdapat uang dolar yang entah kenapa cukup banyak. Ya, kulempar 10 lembar uang pecahan 100 dolar di depan tubuh Laras, seraya berkata hal itu dan mengunci diriku di dalam kamar.

Sudah ku tak perdulikan pukulan di pintu, dari maaf sampai sumpah serapah kata binatang, dan air mata menangis memohon untuk semua kembali seperti sedia kala.

Namun yang ku lakukan hanya mandi dan tidur. Bahkan tidur itu menjadi salah satu tidur terbaik di masa sulit aku. Dan saat ku terbangun, semua sudah menghilang.. bersama kenangan.. dan uang 1000 dolar yang berceceran di lantai.
***​
Iqbal: Aku sudah selesai dengan Laras. Kita masih bisa ketemu kan?​

Stephanie: Untuk apa bal?​

Iqbal: Aku gak ada tempat pulang. Aku butuh cerita.​

Stephanie: Boleh gak kalo kita night drive aja, aku juga butuh cerita.


Akhirnya keberanian itu tumbuh, meski berbulan-bulan setelah kejadian aku bersama Laras. Keberanian yang seharusnya kulakukan tepat saat fakta terkait Laras ada di hadapanku.

Melintasi Jakarta di malam hari, baik aku dan Stephanie masih mencoba “terbiasa” setelah sempat dulu canggung ketika aku jujur akan menjalani hidup kedepan bersama Laras. Kali ini, Stephanie resmi hanya menjadi pendengar setiaku yang mendengarkan sampai habis semua keluh kesah dan kesedihan di hatiku..
Stephanie: AKu boleh cerita juga gak, aku rasa kalo case kamu posisinya kamu enggak butuh apa-apa dari aku. Cuma butuh didengar aja.​

Iqbal: Iya. maaf ya aku terlalu excited cerita dari kesel sampe sedihnya sampe lupa kalo kamu mau cerita. Gimana-gimana?​

Stephanie: Aku tahun depan bakal nikah.


Sungguh menghujam jantung saat kata itu terucap dari bibir manismu. Sungguh, ingin sekali aku tak percaya bahwa ini juga akan terjadi. Sungguh kukira ini adalah balasan Stephanie ketika aku justru lari dari hubungan itu. Sungguh..​

Iqbal: Siapa cowoknya? kapan ketemunya?​

Stephanie: dia anak kenalan mami papi dari gereja. Seems nice, aku lagi adaptasi sama dia. Tapi keluarga minta kalo bisa disegerakan.​

Iqbal: Kamu gimana?​

Stephanie: Aku ikut kata mami aja. Toh aku sama dia udah sama-sama didaftarkan ikut Kursus Persiapan Pernikahan di gereja.


Saat ini, adalah momen tersakit yang kurasakan. Sudah bukan ingin memaki diri dan berkata “Dasar Tolol Bego Bodoh”, tapi. sudah tak ada kata-kata yang tepat untuk bisa menggambarkan petir di malam itu.

Jauh didalam lubuk hati, kamu adalah sebenarnya yang kucinta. Tapi aku pula yang memunafikkan fakta itu. Dan ini adalah balasan Tuhan untukku.
Iqbal: Apapun langkahmu, aku dukung dan doakan yang terbaik buat kamu. Tapi.. boleh nggak aku minta satu hal?​

Stephanie: No fun time please, kayaknya udah bukan..​

Iqbal: Enggak.. Gila aja aku masih ngajak kamu..begitu. Aku boleh ya ketemu calon kamu.​

Stephanie: Buat apa? Gila ya kamu.​

Iqbal: Aku gak akan ungkap apa2 tentang kita, anggep aja aku temen dan “kakak” kamu. Aku cuma mau liat sosok yang nanti ada di altar pernikahan kamu.​

Stephanie: Sorry kalo ini aku gak bisa, aku ralat deh.. Fun time okay, ketemu dia aku gak okay..​

Iqbal: Aku mohon, please.. Izinkan aku ketemu dia. Kita ketemu bertiga aja.

***​
Langit menjadi malam, bintang-bintang di Jakarta sayangnya agak redup tak terlihat. Tertutup awan hitam yang menjadi hasil akhir dari polusi yang membumbung tinggi langit Jakarta.

Berada di lantai 57 sebuah gedung di Jakarta Pusat, terjadilah pertemuan yang menentukan dua hal. Stephanie dan masa depannya, aku dan proses menerima keadaan.
Iqbal: Anyway, gimana plan pernikahan kalian?​

Marcell: Jujur koh kita sih belum kepikiran, but i leave to Stephanie sih karena it’s her big day kan. Kita punya prinsip kalau your love happy, we’re happy.​

Stephanie: Ah bisa aja kamu cell, jujur belum bal. Ini si aku lagi coba cari-cari dari vendor yang rekomendasi mamih marcell.​

Iqbal: You know what, I can help you with that. And bisa dibilang bakal lebih efisien. Kalian pake vendor-vendor yang kemarin buat nikahan gue aja. Mau gak?​

Stephanie: Eh gimana-gimana?​

Iqbal: Suwer.. Wedding agency-nya si punya temen juga, waktu itu udah 50% payment, cuma kan batal. Harusnya si angus, tapi ntar gue nego-nego deh biar bisa pindah tangan or give big discount. Pokoknya gue jamin tinggal terima beres.​

Marcell: Serius koh gapapa? Angus dong you udah punya uang di situ. Gapapa deh udah kita cari aja yang mungkin lebih fit sama kebutuhan kita.​

Iqbal: Bro, nikahan gue gagal juga. Udah peduli setan kali gue sama duit. Anggap aja gue kasih kado didepan buat nikahan kalian. Tinggal urus2 doang, gue bantuin deh…​

Stephanie: Are you sure?


Itulah diskusi antara aku, Stephanie, dan calon suami yang dijodohkan dari keluarganya.

Entah kenapa, aku sudah bisa mulai menerima situasi bahwa sebuah kisah cinta tidak pernah selamanya seindah cinderella.​

***​
Stephanie: Kamu bisa pesan kamar gak di hotel xxx?​

Iqbal: Bisa aja..​

Stephanie: Book kamar ya 1. aku mau kabur dari kamar aku sama keluarga…​

Iqbal: Eh… okay. Ntar kamu izinnya gimana?​

Stephanie: Gampang..


Sungguh benar adanya konsep “jatah mantan”, di masa-masa injury time ini, lagi-lagi aku tidak bisa mengatakan tidak atas semua ajakan Stephanie. Karena tidak menutup kemungkinan, ini adalah malam terakhir kami bisa beradu kasih.

Berusaha menyelinap di balik keramaian para tamu hotel di malam sabtu tersebut, aku mencoba mencari dimana sosok yang kurindukan. Sosok yang dalam hitungan jam harus kurelakan karena jadi milik orang.

Dengan sweater berkupluk merah, celana jeans hotpants, dan sandal jepit, tentu bukan waktunya untuk memikirkan bagaimana memberikan impresi. Karena semua impresi dan memori itu sudah terekam dalam ruang imaji di kepala dan hati.

Menggenggam tangannya, terasa bahwa kami berdua sama-sama tidak ingin waktu berlaku dengan cepat.

Masuk ke dalam kamar, tanpa ada sepatah kata, sebuah pelukan dan ciuman panas menjadi perekat ku dengannya. Betapa mencintai dan memiliki kamu adalah inginku saat itu.
Stephanie: Aku butuh kamu sayang..​

Iqbal: Aku juga..


Lampu temaram. Tv menyala dengan channel tak jelas. Langit Jakarta yang samar tertutup di balik gorden. Merekalah saksi bisu pelukan dan ciuman kedua orang yang dalam hitungan jam akan berpisah jauh.

Wangi parfum kesukaanku terasa pekat di leher dan pundak Stephanie, begitu terasa memabukkan saat itu. Menciumi setiap jengkal tubuhnya menjadi cara terakhir aku mengaguminya, bukan hanya secara seksual, tapi juga secara romansa.

Kini kami berdua sudah tak berbusana. Terasa hangat sekali sentuhan kulit itu menyentuh tubuhku. Walau sadar akhir cerita cinta kami akan kemana, tapi rasanya malam itu aku tidak ingin menghentikan kebahagiaan kami berdua.

Kecupan yang makin tak terkontrol dari bibirku seakan menjadi pertanda bahwa aku benar-benar tergila-gila pada dia. Respon teriakan nafsu ketika bibir dan lidahku bermain di depan memeknya benar-benar membuktikan bahwa kami ada dalam rasa yang sama.

Hanya sesaat untuk Stephanie melumuri kontolku dengan blowjobnya yang tetap berada di ranking utama. Hanya sekali hentakan, seluruh senjataku melesak ke dalam memek Stephanie. Seakan saat itu tak hanya hati kami yang saling beradu rindu, namun kedua kelamin kami pun berlaku serupa.

Lagi-lagi, hanya erangan dan desahan disertai kata-kata sensor yang mengisi ruang kamar hotel itu. Saling berpeluk dan cium sembari menemukan titik kenikmatan sempurna, menjadi jalan yang dipilih untuk menutup malam yang seharusnya berakhir sendu.

Kulihat ekspresi Stephanie makin menggila. Harusnya aku terbiasa dengan wajah itu, wajah yang selalu menjadi cap bukti bahwa tugasku melayani kebutuhan birahinya berhasil. Namun kali ini ekspresi itu terasa lebih tak ternilai harganya.
Stephanie: Liat aku bal…​

Iqbal: Stephh… Gak bisaaa..​

Stephanie: Pleasee…


Kedua mata itu saling bertatapan tajam. BUkan untuk saling menusuk, tapi saling mengikat dan seakan tak ingin berpisah. Terlebih akhirnya tepat ketika goyangan Stephanie di atas tubuhku sudah menuju puncaknya, bersamaan dengan puncak kenikmatanku yang sudah di ujung tanduk.

Ahhhh… akhirnya terasa basah dan penuh sekali memeknya dengan sperma yang entah sudah berapa lama tak dikeluarkan. Memang harusnya dikeluarkan pada wanita yang tepat, yaitu dia. Dan Tuhan, kenapa senyuman Stephanie ketika seusai mendapatkan orgasme itu sangat menusuk jantungku..
Stephanie: Makasih bal..​

Iqbal: Aku tadi keluar…​

Stephanie: Shusshh… Udah, makasih bikin aku enak malem ini. Aku boleh peluk kamu dulu kan?​

Iqbal: Boleh gak acara kamu di undur berapa jam lagi, or di cancel sekalian..​

Stephanie: Ih ada gila-gilanya kamu ngajak batal nikah. Muah…


Kebersamaan sederhana yang terjalin dari sebuah cerita, yang memiliki takdir tak bersama. Mungkin inilah pertanda Tuhan adil. Ia berikan sejuta kenikmatan, tapi Ia juga ambil satu hal yang nilainya setara bahkan melebihi kenikmatan itu sendiri.

Tak lama sejak kita tertawa dan mandi bersama, kini saatnya ku biarkan Stephanie menghilang ditelan malam. Bersama kenangan dan cintaku yang belum sempat sepenuhnya ku berikan untuknya.
***​
MC Nikahan: So please give big applause to our newly weds couple on the stage, Marcell and Stephanie!!!


Di tengah haru biru semua merayakan pernikahan Marcell dan Stephanie, aku justru menjadi pihak yang… merasa hampa.

Aku berbahagia, sama seperti Stephanie yang berbahagia di depan puja puji doa kasih dan restu dari semua pihak yang berbahagia di malam pernikahan itu.

Aku terluka, karena aku sadar bahwa aku harus bisa maju melangkah dengan dua kehilangan yang cukup dalam.

Kehilangan pertama ialah kehilangan kepercayaan akan cinta kepada Laras yang sangat buta karena terlalu sempurna, sampai akhirnya mematikan. Dan cinta pada Stephanie yang sangat indah, tapi harus kandas karena perbedaan dan prinsip yang tak selaras.

Langkah kaki ku pun pergi menjauh dari pesta pernikahan itu. Melangkah menuju mobilku, berjalan dengan cepat mengitari jalanan Jakarta yang sepi. Sembari melarutkan diri, dalam air mata dan luka yang dibuat sendiri.

Dan akhirnya… kuhirup semua kenyataan pahit ini.​

(Tamat)​


Note penulis:

Terima kasih untuk semua atensi positif dari suhu-suhu semua untuk membaca pengalaman Iqbal di Laras Series.

Jadi kalau ada yang baca Stephanie Series, diceritakan bahwa ada momen dimana Iqbal batal menikah dengan tunangannya (Laras) dan Iqbal ikut bantuin nikahan Stephanie.

Kalo jadinya mungkin terasa sad ending, memang disengaja karena ini hanya sebagai merupakan penghubung antara story Stephanie dan Laras. Sejatinya ane bakal menyiapkan final ending yang manis buat Iqbal nantinya, tapi kapan-kapan dulu ane rilisnya.

Meanwhile next series ane akan lebih banyak menceritakan pengalaman Iqbal dengan penumpang-penumpang ketika cosplay jadi supir taxi online. Ceritanya bakal agak light gak part-part banyak, tapi ane harap serunya tetap sama seperti series-series sebelumnya.

So, monggo banget buat para suhu-suhu untuk kirim like dan cendol kalo suka, ato misal mau kirim komentar lagi me-review perjalanan Iqbal juga dengan senang hati ane baca dan bales jika sempat. Kalau nanya playlist, ane sementara saran setiap lagu yang ada di cerita ane di save aja di youtube masing-masing yaaa


 
Terakhir diubah:
at least...tamat jg si Laras...
(masi blom baca sih...br liat postingannya doang... >< )
otw simak kata per kata nya dl dah...
twengkyu2 Hu...

:ampun: :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd