Siluet hitam pada kelambu putih. Kontras dalam temaram lampu templok memaksa imajinasi bermain. Seperti balita yang bermain bayangan, hanya bocah itu dan Tuhan yang tahu bayangan apa yang ingin ditampilkan di dinding, sementara bapaknya hanya bisa menebak sebanyak apapun tanpa satupun tebakannya yang tepat. Tidak ada tebakan yang salah, Logika berpikir yang beda menyebabkan kelinci ditebak kucing.
Logika ku menstarter imajinasiku malam itu. Sayangnya kepalaku tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana mau jernih kalau stok darah yang terbatas dalam tubuhku harus terbagi, sebagian ke kepala utama, sebagian ke kepala sekunder di bawah. Aku menghela nafas dengan pelan namun panjang. Cukup panjang untuk melepas beban, tapi cukup pelan untuk tidak mengagetkan.
Karena aku butuh keheningan untuk yang akan kulakukan selanjutnya…
Aku menggelengkan kepala kuat kuat mencoba mengembalikan fokusku, tapi imajinasiku terlalu kuat untuk bisa meraih fokus. Dalam hati kurutuk keadaan. Seharusnya aku mengikuti instingku sebelum berangkat untuk melepas dulu hasrat biologisku. Tapi, insting juga yang menghentikanku masuk ke kamar mandi belakang dan menghabiskan stok sabun ibu kos ku. Aku tidak se putus asa itu, pikirku. Terlalu angkuh untuk benar, terlalu lemah untuk tepat.
Waktu terus berjalan, ini harus kutuntaskan sebelum matahari muncul di balik bukit kecil yang membayangi rumah tua ini dan membangunkan pemiliknya.
Kata ‘Membangunkan’ membuatku tersenyum. Tak ada yang bisa bangun lagi di rumah ini kecuali yang berada di bawah kelambu putih di hadapanku.
Dia memang tujuanku datang kemari. Yang lain hanya kurang beruntung berada di tempat yang benar pada waktu yang salah. Dan aku tidak menyesali apa yang sudah kulakukan pada empat orang penghuni lain rumah tua ini. Collateral damage; hanya serpihan buatku.
Tugasku mewajibkan aku membuat penghuni kelambu ini merasakan neraka dunia sebelum dia kukirim ke neraka abadi. Itu juga kalau neraka ada. Kalau tidak mungkin hanya hitam kelam. Atau putih? Ah persetan.
Aku perlu waktu untuk membuatnya merasakan neraka. 1 jam? Kurang. Pemberi tugasku secara spesifik meminta sakit maksimum. 2 jam mungkin cukup. Dan aku secara insting melihat jam tanganku. Masih ada 4 jam sebelum fajar. Berarti aku punya 1 jam setengah, mungkin 2 jam untuk memberinya surga sebelum neraka kuperkenalkan padanya. Oh Well, tak ada salahnya.
Dengan mata memicing dan bibir bawah kugigit, aku melangkah masuk dan menutup pintu di belakangku. Kubuka seluruh pakaianku. Telanjang aku menatap penis ku yang rigid siap bekerja. Aku menarik nafas panjang. Dengan mata merah dan senyum maut aku melangkah menyibak kelambu merebak imajinasiku, nanar menatap keindahan di depanku. Tersenyum getir membayangkan kerusakan yang akan kubuat.
Time for my anthem.
You forget so easily
We ride tonight, we ride tonight
Ghost horses
Come on, come on Holy Roman Empire
Come on, if you think you can take us on
You and whose army?
H + 720