Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Romantika dua saudara

Status
Please reply by conversation.

lengg

Adik Semprot
Daftar
7 Feb 2015
Post
109
Like diterima
393
Bimabet
Romantika dua saudara - #1



Ini kisah pengalaman aku ketika pertama kali mengenal seks.
Aku seorang wanita saat ini usiaku sudah 25 tahun.

Kisah ini terjadi pada waktu dulu dalam keluargaku yang marginal yang biasa hidup di pinggiran hutan dari keluarga perambah hutan yang hampir primitif.

Saat itu kami hidup hanya menggantungkan diri pada alam. Aku punya keluarga berempat orang, ayah, ibu dan satu orang lagi kakakku laki-laki.

Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan kakakku, namanya Antan, usianya sudah kira-kira 10 tahun.

Kami selalu membantu orang tua berladang menanam padipadian dan sayuran untuk makan kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak oleh ayah pergi berburu dan mencari ikan.

Kehidupan kami waktu itu begitu primitif sekali.
Kami tidak begitu mengenal dunia luar.

Hanya kadang-kadang kami bertemu pemburu yang tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal orang luar.

Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal. Pakaian kami gunakan lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu.

Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari kain yang didapatkan oleh ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan.

Hutan tersebut memang berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas seperti ular, harimau dan juga binatang lainnya.

Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku meninggal akibat penyakit yang dideritanya.

Kami tidak tahu entah penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas badannya semakin kurus dan akhirnya meninggal.

Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega rasanya kami menguburkan jasad ibu kami.

Sejak itu mulailah kehidupan kami bertiga. Ayah selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk hidup, terutama sekali kepada kakakku karena dialah yang laki-laki dan kuat.
Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat memukul perasaan kami.

Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa. Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke luar dangau kami dan kami kebingungan mau mengobatinya.

Kami tidak tahu harus diobat pakai apa, sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun tidak berhasil.

Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia.

Kami menangis sejadi-jadinya, kami berangkulan berdua dan dengan berurai air mata kami meratapi kematian ayah.

Tiba-tiba kakakku tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu ketika menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan mengajakku membantunya.

Dengan menangis aku tetap menurutinya membantu menguburkan ayah.
Begitulah yang terjadi.

Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan kakakku. Kakak sangat menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap waktu.
*****
Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan baik. Kami tidak pernah lagi bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah mulai tumbuh menjadi seorang gadis.

Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan tikar-tikar yang ada.

Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran dengan pertumbuhan diriku yang berbeda dari dia.

Dia selalu membandingkan perkembangan tubuhnya dengan tubuhku.
Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah lagi melihat orang luar.

Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan kadang-kadang cuma penutup aurat bawah saja, lebih banyak kami memakai kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan besar di dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu.

Dia tidak tahu bahwa payudaraku itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan.

Menurutnya aku mestilah seperti dia, tidak ada yang bengkak di sana sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.

"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.

Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum tahu kalau itu namanya payudara.

Kami banyak kehilangan kosa kata selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak kami. Kami juga tidak begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu.

Kami sering juga melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat perbedaan yang nyata antara mereka.

Mereka sama-sama monyet dengan bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak begitu mengerti tentang jantan dan betina.

Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring membesarnya payudara dan pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah kotor yang keluar dari tempat buang airku setiap bulannya (akhirnya aku tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir tentang aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa takut juga tentang hal ini.

Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya mencari pengobatan untuk ini. Kata kakak, kami harus pergi mencari dukun yang bisa mengobati.

Kami harus pergi keluar hutan untuk mencari perkampungan orang dan mencari dukun di sana.
Kami tahu bahwa jalan ke perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.

Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus pergi mencari pengobatannya.

Bersepakatlah kami untuk berangkat besok harinya. Hari ini kami siapkan perbekalan yang dibawa yaitu sedikit makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok harinya kami mulai melakukan perjalanan pada pagi hari sekali.

Kami arahkan perjalanan kami ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut adalah arah yang benar. Kami terus berjalan melewati hutan-hutan dan kami menjumpai sungai.

Kami mengikuti sungai ke arah hilirnya berharap rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang menemui kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana.

Tetapi kakakku adalah seorang lelaki yang kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati rintangan demi rintangan.

Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami.

Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya.

Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan dalam.

Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.

"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.

Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai.

Kakak segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik.
Setelah kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada orang.

Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk.

Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang rupanya.

"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.

Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka.

Kami melihat sosok orang tua di depan pintu.

Pria tua berjenggot dan berkumis tebal.
Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:
"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.

Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya.

Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun.
Bapak tua itu hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku.

Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung.
Di sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.

Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam.

Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan.

Rumah dukun tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun yang disusun rapi.

Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak segera memanggil orang di dalam rumah jika ada.

Kami mendengar suara batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.
Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter.

Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang.

Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.

Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang.

Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.

"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.

Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.
"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.

Bersambung . .
 
Ijin mengikuti cerita baru ini.. Isi daftar hadir halaman satu...

Eeehh firasat daya tidak enak ini sama si dukun

Ditunggu apdet nya suhu TS n kalo berkenan ditambah mulustrasi
;)
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Romantika dua saudara-2


Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.
"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.
Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.
Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.
"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.
Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.
"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.
Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.
"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.
Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.
"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.
Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.
Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.
Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.
Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.
Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.
Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.
"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.
Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.
Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang.
Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.

"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.

"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.
Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping.

Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya.

Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.

"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.

"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.

"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.

"Ya, Bang," jawabku singkat.

Bersambung . .
 
Kok rasanya g nyambung apdetnya yaa.. Ada scene yg hilang
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd