Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Waduh, masih banyak juga ya yang mau baca, heuheuheu. Yaudah deh, tunggu aja ya. Cindy sama Dimas akan kembali :banzai: untuk updatenya, mungkin akan diselang-seling sama Paranada, hehe. Tapi ya lihat besok-besok deh ya. :banzai:

a9s52yRt_t.png
Nice cover, dan ditunggu mbulnya wkwk
 
Request hu di season berikutnya ada scene andi dkk di gebukin balik/ditangkep polisi dong.
Masih belum terima ane berani beraninya mereka nyiksa mbul
:galak: :galak: :galak: :galak:
 
Hehe embul hehe
Story dek zr ternyata memiliki kekuatan yg besar ya hehe
 
Terakhir diubah:
7QoP8J1u_t.png



Part 1



Perlahan kedua mataku terbuka. Kurasakan ada yang sedang bermain dengan penisku dibawah sana. Yah, sebenarnya, aku sudah tau tangan siapa yang meremas-remas batang kemaluanku itu. Siapa lagi kalau bukan si gembul Cindy Hapsari? Gadis menggemaskan dari Purwokerto yang merupakan adik tingkatku di perkuliahan, dan sekarang, karena pertemuan kami yang konyol dan beberapa peristiwa yang sudah kami lalui, Cindy memilihku sebagai pacarnya.

“Oh, udah bangun? Tuh udah aku beliin sarapan.” Katanya santai. Berbarengan dengan itu, permainan tangannya di penisku yang sudah sangat tegang itu berhenti. Dan dia turun dari pinggir kasur.

“E-eh... ini enggak sekalian, Mbul? Nanggung uda-“ Tiba-tiba saja sekotak tissue menghantam wajahku.

“Gak mau. Sendiri aja sana. Ehehe.” Dia terkekeh. “Yang cepet ya, keburu dingin sarapannya.” Dia berjalan keluar lalu menutup pintu. Meninggalkanku dengan penis yang aku rasa agak kecewa karena tidak terus dimainkan olehnya.

Terhitung sudah hampir 1 tahun aku bersamanya di kontrakan ini. Dan aku sebenarnya sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Muka bantal dan senyum manisnya yang tiap pagi menyapa mataku yang terbuka perlahan, atau bahkan kelakuannya yang iseng seperti tadi. Meremas atau juga mengulum penisku. Tak jarang juga berujung pada ‘olahraga pagi’. Hehe.

Aku tidak memaksa. Dia tidak mau, aku tidak masalah. Dia mau, aku senang. Apalagi semenjak kejadian pemerkosaan itu, aku jadi agak merubah sikapku pada Cindy. Aku putuskan untuk memasukkan lagi penis yang kini mulai kembali normal itu kedalam celana pendekku dan menyusul si gembul itu keluar.

“Lah? Udahan?” Katanya yang sedang duduk di sofa, menonton televisi.

“Enggak jadi, ntar lemes seharian.”

“Nah itu tahu. Hahaha.”

“Yee, ketawa. Kok enggak sarapan?” Aku melangkah mendekat, dan mendapati belum ada piring di meja kecil itu.

“Masih di dapur, kan nungguin kak Dimas tadi.”

Ya ampun...

“Yaelah, yaudah yuk. Beli dimana tadi, Mbul?”

Dan Cindy pun beranjak dari sofa itu, mengekoriku.

“Itu, bubur ayam.”

Salah satu favorit kami, bubur ayam yang berjarak sekitar 300 meter dari kontrakan ini dibelinya untuk sarapan. Porsinya yang lumayan banyak cukup membuat perut kami ini puas. Apalagi dengan toping dan suwiran ayam yang tidak pelit.

Dan kami pun menyantap sebungkus bubur itu beralaskan piring. Sambil melihat tayangan kartun pagi ini.

“Pucchi kesininya kapan jadinya?”

“Emm... jam sembilan katanya. Ntar jadinya sama Devi juga kok, kak.”

“Oh iya?”

Hari ini, Cindy akan jalan-jalan bersama Pucchi. Sayang sekali aku tidak bisa mengantar atau menemani mereka. Ngomong-ngomong, karena aku sudah ada di akhir semester 6, menurut aturan di universitasku, mahasiswa yang sudah memenuhi syarat jumlah SKS dan IPK bisa mengikuti kegiatan KKN, dan karena semua syarat terpenuhi, aku putuskan untuk mengambilnya. Dan hari ini juga, aku sudah ada agenda untuk rapat persiapan terakhir. Mengingat sudah H-4 sebelum kegiatan itu. Membolos untuk hari ini? Bisa saja aku berbohong dan mencari alasan lain. Tapi aku rasa tidak. Koordinator desaku bukanlah orang asing bagiku. Dan aku bisa kena marah habis-habisan jika ketahuan berbohong padanya.

Tapi biarlah. Biarlah ini jadi girls time mereka sebelum pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Lagipula aku juga ingin fokus pada kegiatan kampus selama 42 hari itu.

***​

Sebuah meeting room cafe di timur Jakarta, tempat kami, tim III KKN rapat. Sudah hampir dua jam kami membahas segala hal persiapan dan agenda-agenda saat di desa nantinya. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat akhirnya si koordinator desa menutup rapat terakhir hari ini. Aku juga sudah mengantuk.

“Oke, gue rasa cukup ya. Terimakasih buat kedatangannya di rapat terakhir ini. Inget ya, gue juga temen kalian, bukan bos atau semacamnya. Gue ntar cuma jadi penghubung tim ini sama kepala desa atau dosen nantinya, hehe. Jangan lupa peralatan sama perlengkapannya, dan inget upacara pemberangkatan besok Senin jam tujuh pagi. Gue juga minta nih, besok kalau ada apa-apa pas kita KKN, cerita aja ya. Gue yakin, kita, 10 orang ini adalah keluarga nantinya disana,” ucapnya sambil memandangi tiap bola mata kami dengan wajah berseri. “Oke? Dengan ini, gue, Jinan. Menutup rapat terakhir tim III ini.”

Oke? Kalian paham sekarang kenapa aku tidak mau berbohong?

Walau aku tahu ada sifat lembut disana, tapi tetap saja aku takut dengan sisi iblisnya itu.

Sesaat setelah salam penutup itu usai, kami bersorak, bertepuk tangan, lalu menggabungkan tangan, menyerukan slogan. Aku rasa kami bersepuluh sudah mulai menyatukan chemistry. Kecuali untuk Jinan, aku dan dia sudah berteman sejak semester 1, dan sudah banyak hal yang kami alami. Jadi jelas chemistry kami berbeda dari yang lain, kan?

Setelah semua kembali tertata seperti kami pertama memasuki ruang itu, dan pembayaran yang tuntas, kami kembali ke parkiran dan pergi meninggalkan cafe itu. Aku mengekori Jinan menuju mobilnya, kemudian masuk kedalam mobil itu di kursi sebelah sopir.

“Huft, gila. Panas banget.” Keluhnya setelah memasuki mobil dan menutup pintu. Memang udara diluar sedang panas hari ini, tidak seperti panas yang biasanya.

Jinan langsung menyalakan AC setelah mesin mobil menyala. Aku yang juga sejak tadi merasa kepanasan akhirnya lega juga terkena hembusan angin itu.

“Gimana program lu, Dim? Jadi yang fokus ke anak-anak desa itu?” tanyanya sembari menguncir rambut panjangnya. Dan mataku melirik sekilas kearah payudaranya yang tercetak jelas di kaos putih itu karena tangannya yang terangkat. Ah, mata lelaki.

“Jadi. Soalnya emang dari penjelasan lo dari kepala desa kemarin itu, kayaknya emang mereka yang butuh bantuan bahasa Inggrisnya.”

“Iya sih. Udah bikin kasaran programnya?”

“Belom. Hahaha. Paling juga pas waktu seminggu besok pas nyusun rencana kegiatan baru dapet.”

“Dih, yang bener aja lu. Pokoknya kita tetep komunikasi. Masalah ntar kalau program kita sama, harus bikin dua program juga soalnya. Kenape sih harus satu desa sama lu. Bikin susah aja.”

“Iye iye, bawel ah. Salahin universitas lah. Gue bukan yang nentuin penempatan mahasiswanya. Lagian gak seneng ya lu sedesa sama gue?”

Ya, sebenarnya aku juga terkejut ketika melihat namaku dan Jinan ada dalam satu tabel di pengumuman tim KKN. Padahal biasanya tiap desa hanya ada masing-masing 1 mahasiswa dari beberapa fakultas. Namun kali ini, aku dan Jinan, yang notabene adalah satu jurusan, ada dalam satu desa yang sama. Di satu sisi, aku senang karena setidaknya ada satu teman ngobrol yang sudah pasti akan nyambung, namun di sisi lain, aku takut akan adanya kesulitan saat menjalankan program kami saat di desa nantinya.

“Heh. Pokoknya ya, gue enggak mau ada masalah pas kita KKN. Terutama nih, lu Dim. Sampe ntar ada berita mahasiswa ketangkep lagi ngewe di posko KKN, dan itu ada nama lu. Awas aja.” Dia menatapku serius. Dan aku hanya mengeryitkan dahi.

“Dih, santai lah, njing. Lo kata ini gue yang dulu apa. Tenang, gue juga enggak mau gagal KKN. Udah tau konsekuensinya gue.”

“Nah, sip.” Dia tersenyum.

“AaAk! Apasih!”

Tiba-tiba saja Jinan mencubit lenganku kananku. Cubitannya itu selalu saja sakit.

“Gitu dong. Seneng gue. Hahaha.” Dia tertawa setelah melepas cubitannya. Lalu gadis itu mulai memundurkan mobilnya.

“Ish, sakit anjer.”

Drrt...

Drrt...


Getaran di smartphoneku lantas menggerakkan tangan ini untuk merogohnya dari dalam saku celana. Sebuah pesan dari Cindy ternyata.

“Ciye siapa tuh? Mbulmbul ya?”

“Eh, bacot, Nan.” Tampikku sambil tertawa kecil bersamanya.

Berbarengan dengan mobil ini yang mulai berjalan meninggalkan lokasi cafe, aku membalas chat itu.



[Kak Dimas] 13.15

13.15 [Eyy, gimana Mbul?]

[Emm... hehe] 13.16

13.16 [Kenapa?]

[Bentar...] 13.16

ycqDWy6V_t.jpg
13.16

FWjWfp6l_t.jpg
13.16


[ Kependekan gak sih?] 13.16




AS&$%#BDN&^%#$MnCLB%U41ys7G2!)9!!KN$#?”@BD^%BHABF(*&%&FTD!!!

YAAMPUN! CINDY POTONG RAMBUT!!

Tidak kusangka dia terlihat begitu cantik dengan potongan itu. Memang aku selalu melihat dan mengagumi Cindy dengan rambut panjangnya, namun tak pernah kubayangkan jika dia memangkas rambutnya jadi pendek.

“Heh? Lu kenapa, Dim? Woi!” Ucap Jinan yang agak panik, atau mungkin lebih ke emosi. Kecepatan mobil itu ia lambatkan.

“Hhheeeuuu.... Naann... Cindy potong rambuuuttt...!!” Ucapku sambil menunjukkan layar smartphoneku yang masih menampilkan foto selfie Cindy dengan rambut sebahunya yang baru.

“Y-ya terus kenapa? Lu gak suka?”

“Sukaaa...! hheeeuu...!”

“Woi! Diem! Yaudah sih gausah gesrek gitu, gue turunin nih!” Ucapnya kesal. Sambil mendorong kembali smartphoneku.

“E-ehh... jangan doong... iya deh iya gue diemm....”

Aku pun mengatur nafas. Tak kusangka dia bisa membuat jantungku berdegub secepat ini. Padahal aku sudah setiap hari bertemu dengannya. Dan setelah beberapa tarikan nafas, aku membalas lagi pesan darinya itu.



13.16 [Ya ampun... cantik banget sih! ♥♥]

[Yang bener kak?] 13.17

13.17 [Iyaa. Cocok kok. Serius.]

[Ehehe... makasiihh.] 13.17



“Itu Cindy dimana, Dim?”

“Enggak tau, ini kan jalan-jalan sama si Pucchi dia. Katanya sih ke mall. Kayaknya mampir ke salon juga deh.”

“Ooohh..”

“Ya gitu, enggak bilang-bilang juga mau potong rambut.”

“Yah, sedih dong lu? Dia pas lagi cantik-cantiknya gitu malah liburan semester gini. Kita juga KKN.”

Oh iya, jadi ingat. Besok siang aku harus mengantar Cindy ke stasiun. Liburan ini cukup panjang, namun aku harus menghabiskannya dengan kegiatan di desa. Sedangkan Cindy, yang masih satu tahun dibawahku bisa liburan di kampung halamannya. Jinan ada benarnya juga sih, Cindy memang sedang cantik-cantiknya. Jika dia memotong rambutnya itu lebih awal, aku bisa bertemu wajah yang cantik itu lebih lama. Tapi ya sudahlah, kalau kangen tinggal video call aja kan? hehehe.

“Heh. Ada teknologi namanya video call. Hehe.”

“Yee... bucin. Awas aja ye lu sampai pacaran mulu besok di posko.”

Ya ampun... ini dia kerjaannya cuma ngancem terus ya...?

“Iye iye ah. Santai bu kordes.”

Dan aku jadi lupa untuk membalas pesan Cindy lagi.



[Ini mau ke tempat eskrim

dulu kak. Sorean deh

kayaknya pulang. ] 13.18


13.20 [Ooh, yaudah. Enjoy your time ]

[Makasih kaakk.] 13.20



Berlanjut dengan obrolan ringanku dengan Jinan sampai akhirnya tiba di kontrakan. Pagar dan pintu yang masih rapat menandakan Cindy yang belum pulang. Tentu saja, ini masih jam dua kurang lima belas. Waktu ‘sorean’ yang dia maksud pastinya bukan sekarang.

Jinan langsung pamit begitu aku memasuki pagar. Adiknya yang bersekolah di Bandung minggu kemarin pulang ke Jakarta, dan hari ini dia sendirian di rumah. Jinan tidak enak mengingkari janjinya yang akan pulang sebelum jam dua siang. Mobil itu sudah lebih dulu menghilang dari pandanganku sebelum pintu ini aku tutup.

Selepas mengganti busana yang lebih nyaman, aku merebahkan diri di kasur. Aku bahkan tidak sempat mengecek smartphoneku. Rasa kantuk ini lebih kuat dan membimbingku untuk menutup mata.

***​

“Hhh... k-kak Dimas...”

“E-e... Cin-“

T-tunggu... siapa dia... kenapa dia... mengikat Cindy...

“Kak Dimas... tolong! Tolo-mmmpgh! Mmpgh!!”

Orang itu menarik Cindy menjauh... aku berlari, merentangkan tangan berusaha menjangkaunya..

“Cindy!”

Namun mereka berdua masuk kedalam sebuah pintu yang dikunci.

.


.

.

.

“Hhh?!”

Kedua mataku langsung terbuka. Degub jantung yang lumayan cepat dan keringat dingin menyambutku yang masih terbaring di kasur. Aku yang mendudukkan diri menatap kearah jam. Tertunjuk pukul setengah enam disana.

“Kenapa, kak?”

Aku menoleh ke kiri. Dan terlihatlah Cindy dengan wajah yang khawatir juga sedang terduduk di pojok kasur sekarang. Dia mengenakan kaos pink dan celana pendek, tentu dengan gaya rambutnya yang baru.

“A-ah... enggak... hhh...”

“Ngimpi apaan?” tanyanya setengah menebak.

“Enggak kok... hehe...” aku mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku. “Duh... bangun-bangun ada Aurora... hehe... cakep banget sih rambutnya...” pujiku dengan suara yang masih berat khas bangun tidur. Sekaligus agar dia tidak khawatir lebih lagi.

Dan sebuah senyum malu melengkung di wajahnya.

“Ah... beneran nih kak enggak kependekan?”

“Enggak, Mbul. Pas kok. Cocok banget. Hehe,” aku menggeser badanku, mendekatinya.

“Iiiihhh! Mandi dulu sana! Bau!” Dengan kedua tangannya, Cindy mendorongku pelan.

“Ih, Mbul. Peluk bentar lah.”

“Gak! Mandi dulu sana. Aku udah wangi.”

“Ih, ya ampun... iya deh iyaa.” Aku menyerah, dan menurutinya dengan berjalan keluar menuju kamar mandi.

“Eh kaakk...”

“Iya?” aku yang sudah berada diluar kamar itu menoleh kembali.

“Ntar habis mandi anterin aku ke minimarket ya. Belom beli bekal buat besok. Hehe...”

“Oh, siap!” jawabku mantap sambil memberinya hormat dengan tanganku yang menempel di dahi. Cindy terlihat tertawa geli karena tingkahku itu.

***​

“Gimana? Udah semua? Tiket kereta, perlengkapan, bekal?” tanyaku pada Cindy yang sedang mengecek kembali barang-barangnya di koper berwarna pink itu.

“Udah, kok.” jawabnya sembari menutup koper itu.

“Ah, yaudah. Ntar jangan tidur malem-malem. Besok biar enggak terlalu capek di kereta.”

“Iya kak, ehehe,” Cindy bangkit berdiri, meraih sebuah tas plastik berisi beberapa makanan ringan, lalu meletakkannya diatas koper tadi.

“Udah kan? Besok mau berangkat jam berapa?”

“Paling jam 11 deh, kak,” Cindy menyenderkan punggungnya di dinding.

“Ooh, okedeh. Yaudah, sekarang kamu isti-“

Tanpa sepatah kata sebelumnya, dia berlari mendekat lalu melumat pelan bibirku, sambil kedua tangannya menahan belakang kepala ini. Aku yang terkejut itu masih diam tak membalas lumatannya untuk beberapa saat, sampai dia terus saja memberi bibirku itu sentuhan lembut. Bahkan semakin liar.

Ah, ada satu hal yang ketinggalan, kurasa. Bercinta sebelum berpisah? Baiklah, mari.

Tak lama tanganku melingkar di pinggangnya, dan kubalas lumatan bibirnya dengan tak kalah liar. Kecupan demi kecupan ini saling kami nikmati tiap detiknya. Bunyi decakan, nafas yang saling memburu, dan air liur yang membasahi dagu kami menjadi bukti betapa bernafsunya kami saat ini. Lidahnya pun menembus kedalam, mencari keberadaan lidahku yang pada akhirnya saling mengait.

Ditengah ciuman itu juga, aku sempatkan meremas pantatnya yang lumayan sekal itu beberapa kali. Terasa padat namun juga kenyal. Salah satu bagian favoritku selain buah dadanya yang besar itu.

“Mmphh... Mmhh...”

Aku menekan punggungnya ke dinding, lalu aku pindahkan kecupanku di lehernya. Tak kalah liarnya aku telusuri bentangan kulit halus yang masih terkena harumnya aroma shampoo di rambutnya. Sementara itu, kedua tanganku meremas pelan kedua payudaranya. Gundukan besar nan kenyal itu selalu membuat gairah ini naik begitu menyentuhnya. Sebuah nikmat yang begitu aku syukuri.

Desahan-desahan kecil terus ia keluarkan, selagi aku yang masih bermain dengan payudara dan menjilati lehernya. Cindy tidak memberi peregerakan yang berarti, hanya sekarang kedua tangannya yang mengait dibelakang leherku. Membiarkan kedua payudaranya ini bebas diremas oleh kedua tanganku. Tapi memang dirasa, sudah berkali-kali bahkan mungkin tak terhitung tangan ini bersentuhan dengan dua gundukan yang menggoda itu.

Sudah merasa gemas dan gatal sejak tadi meremas payudaranya yang masih tertutup kain, kedua tanganku sigap mengangkat kaos tipisnya itu. Bibir dan lidahku yang tadinya berkeliaran di lehernya pun aku sudahi agar kaos itu dapat terlepas sepenuhnya melewati kepalanya. Berbarengan denganku yang melempar kaos itu ke kasur, Cindy melepas kaitan bra warna putihnya itu sendiri. Aku membiarkannya sambil memandangi lekuk tubuhnya yang begitu menggairahkan walau masih setengah telanjang.

Dan inilah yang aku nantikan. Payudaranya yang telanjang, tak tertutup apapun itu terlihat semakin padat dan membesar. Pun kedua putingnya yang kecoklatan pun juga semakin terlihat menegang. Aku yang melihat area baru itu pun langsung mendekatinya, mengangkap kedua tangannya dan menahannya diatas kepalanya dengan tangan kiriku. Kedua mata kami bertemu, tatapan menggoda itu seakan menggiringku lebih dalam lagi untuk larut dalam birahi kami berdua.

“Cantik banget... kamu cantik... Aku suka model rambut kamu...”

Dia tersenyum kecil.

“Hhh... makasih... hhh... sekarang... buat aku puas... kak...” Jarak antar mata kami semakin menghilang, bahkan aku bisa merasakan deru nafasnya dari mulutnya sekarang.

“Hhh... Bukankah aku selalu begitu...?”

“Mmmhh... Mmphhh...”

Kembali dua bibir ini bertemu dan saling melumat. Sementara tangan kananku yang bebas memainkan putingnya. Dengan jempol dan jari telunjuk aku cubit pelan bagian itu, memberikan Cindy sedikit gelinjang kecil saat puting itu tersentuh dan dimainkan. Perlahan cubitan itu semakin kuat, lalu aku pelintir pelan. Tubuhnya yang tertahan di dinding ini lantas menggelinjang pelan, desahannya yang tertahan karena lumatan bibirku pun terdengar semakin kencang saat pelintiranku itu semakin kuat sampai akhirnya aku lepas.

Puas dengan bibirnya, aku beralih ke ketiaknya yang putih bersih tercukur. Senang rasanya dia selalu merawat tubuhnya agak selalu bersih seperti ini. Aku hirup aroma wangi dari sana dan menjilatinya pelan hingga tubuh Cindy kembali menggeliat. Sementara tangan kananku tetap memberikan rangsangan di payudaranya dengan remasan kasar.

“Aahh... Mmmhhh....”

Jilatanku perlahan merambah ke payudara kirinya. Daging padat nan lembut itu lantas aku lahap. Aku jilat dan hisap putingnya yang sudah menggeras itu bagai seorang bayi dengan dotnya, hanya saja, aku lebih bergairah.

Membiarkan bibir dan lidahku menikmati payudara itu, tangan kananku yang tadinya masih meremas-remas payudara Cindy yang satunya, kini turun dan masuk kedalam celana pendek Cindy, tepatnya di bagian selangkangannya. Dan disana kurasakan betapa basahnya area itu. Sembari terus menjilat dan mengisap payudaranya, aku menurunkan semua celana Cindy agar kedua jari kananku lebih leluasa masuk kedalam lubang vaginanya. Dengan Cindy yang memposisikan sendiri kedua kakinya, jari telunjuk dan tengahku kini sudah perlahan memasuki liang hangat itu. Gerakan maju mundur perlahan aku berikan secara lembut disana.

“AaAahHHhh.... aAaahH...”

Desahannya terdengar semakin berat. Nafasnya pun beberapa kali ia buang kasar. Aku yang sudah begitu hafal dengan tanda-tanda ini lantas menambahkan jempolku untuk menambah rangsangan di vaginanya. Kini klitoris itu dimainkan oleh ibu jariku, sambil bergantian dengan dua jariku yang menusuk maju mundur, aku putar dan tekan-tekan klitoris itu perlahan. Gelinjang Cindy semakin intens, hingga aku lepaskan kedua tangannya dan aku tarik kepalaku dari payudaranya.

“SsshHhHhh... AaaHhh...”

Tak lama setelahnya, Cindy mengejan, kedua tangannya menempel kuat di dinding. Perlahan pinggulnya ia dorong. Matanya terpejam, dan kepalanya agak mendongak.

“MmmMmHHhh...!!”

Dan Cindy mendapat orgasmenya. Cairan cinta itu membasahi jari-jariku yang masih ada didalam lubang vaginanya. Aku biarkan dia menikmati orgasmenya ini untuk beberapa saat. Sembari aku menikmati betapa seksinya gadis ini dalam situasi seperti ini. Tubuh telanjang yang basah dengan keringat, nafas yang terengah, wajah penuh kepuasan kenikmatan, dan juga rambut barunya yang berantakan.

Setelah dirasa cukup, aku mencabut jariku dari dalam vaginanya. Sembari dia mengatur nafas, aku menelanjangi diri sendiri. Terbebaslah penisku yang sudah sangat keras itu dari dalam celana. Aku usap-usap pelan batang yang mengacung gagah itu. Perlahan aku dekati dirinya yang kurasa sudah siap kembali.

Dia angkat perlahan kaki kirinya, dan aku menahannya dengan tangan kananku. Kedua tangan Cindy lantas merangkul di bahuku. Tangan kiriku memegang pinggulnya, dan perlahan, aku masukkan penisku kedalam vaginanya.

Bles...

Kehangatan yang beberapa hari ini tidak aku rasakan itu akhirnya kembali membelai penisku yang nyaris semua tertelan disana. Sembari penisku menikmati hangatnya lubang itu, aku kembali mencumbu bibir Cindy, memberikannya pelukan agar lebih rileks lagi. Setelah merasa cukup, dan penisku yang terasa gatal, perlahan aku maju mundurkan pinggulku. Menghujam vagina itu dengan kerasnya batang kemaluanku.

“Aaahh... Mmpphh...”

Plok.

Plok.

Plok.

“Hhahh... aahh...”

Desahan demi desahan kami hasilkan nyaris berbarengan saat penisku menghujam vaginanya di posisi berdiri ini. Namun ini tak berlangsung lama sampai Cindy meminta untuk berganti posisi di kasur karena dinginnya dinding dan kakinya yang mulai pegal.

Dia yang sempat menatapku dengan mata yang menggoda tiba-tiba mendorongku, hingga aku terbaring di kasur empuk ini. Perlahan aku melihatnya merangkak dari pinggir kasur. Memberi penisku itu sedikit pijatan lembut dengan tangan halusnya, hingga perlahan ia mendindih tubuhku. Kedua lututnya tepat berada disamping pinggangku. Ia memberiku sebuah senyum nakal. Dan akhirnya, dia masukkan sendiri penisku itu kedalam vaginanya, serasa menusuknya dari bawah. Ia menahan posisi ini beberapa detik.

Aku yang terbaring ini menatap wajahnya. Matanya sayu, sedikit membuka mulutnya. Dan di posisi ini juga, aku bisa melihat kedua payudaranya dengan jelas dan bebas. Tak lama kemudian, Cindy mulai memompa pinggulnya. Gerakan itu otomatis membuat penisku menghujam vaginanya itu tanpa harus aku gerakkan pinggulku juga. Sepertinya dia akan membiarkanku diam dan menikmati permainannya. Kedua payudaranya itu bisa kulihat berguncang, naik turun seiring gerakan Cindy. Ekspresi keenakan yang tergambar di wajahnya, dan bibir bawah yang ia gigit itu juga suatu hal yang memanjakan mataku.

“Aahh... Mbul.... e-enakhh.... mmhh...”

Gerakannya semakin cepat, begitu juga dengan desahannya yang semakin berat. Keringat juga semakin deras membasahi tubuh kami. Melihat kulit putih Cindy yang kini mengkilap karena keringat itu semakin membakar nafsuku. Kuputuskan untuk sedikit membantunya dengan menggerakkan pinggulku. Perlahan-lahan, aku rasakan gerakannya melambat, getaran juga aku rasakan di pinggulnya. Dan dari matanya yang terpejam dan lenguhan kasarnya itu, menandakan ia akan mendapatkan orgasmenya lagi.

“MmMppPhHH...!!”

Dia menahan desahannya itu saat cairan orgasmenya kembali mengucur keluar dan membasahi penis dan selangkanganku disana. Cindy terlihat sudah kelelahan, dia membiarkan penisku masih menancap disana dan terdiam diatas tubuhku dengan kedua tangannya yang menopang badannya di pahaku.

Baiklah, sepertinya aku tidak akan lama-lama setelah ini.

Tak butuh waktu lama sampai posisinya berganti. Kini Cindy yang terbaring di kasur.

“Hhh... a-ayo kakhh...”

Aku memberi senyuman kecil padanya, yang sudah terlihat kelelahan dari raut wajahnya yang berantakan. Dan tak mau membuatnya menunggu terlalu lama lagi, aku maju mundurkan penisku perlahan-lahan. Walau sudah berulang kali lubang ini dihujam oleh penisku, masih saja terasa nikmat. Ditelan dan dipijit, sensasi yang selalu aku nikmati tiap detiknya.

Plok.

Plok.

Plok.

“A-Aahh... k-kencengan kaakkhh... mmpphhh....”

Sesuai keinginannya, aku percepat lagi gerakan pinggulku itu. Sehingga kedua payudara besarnya itu terlihat ikut berguncang disana seiring hujamanku di vaginanya. Cindy hanya bisa terbaring sambil menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya hanya mencengkram sprei yang sudah berantakan itu.

Plok.

Plok.

Plok.

Gerakan itu terus berlanjut. Dan tak lama, akhirnya aku merasakan spermaku mulai mengalir naik. Aku mulai melambatkan tempoku. Nafasku juga mulai tak beraturan, keringat yang sudah sangat banyak ini pun juga membuatku sangat gerah. Beruntung kini sudah saatnya aku ejakulasi.

Dengan cepat aku cabut penisku dari dalam vaginanya. Kemudian dengan sudah mengarah ke wajahnya, penis itu aku kocok pelan hingga akhirnya,

Crot.

Crot.

Crot.

Cindy yang pasrah itu menerima begitu saja semburan spermaku di wajahnya. Beberapa mengenai pipi, atas hidung dan juga dahinya. Aku yang masih terengah itu perlahan merangkak ke sampingnya, lalu berbaring disana.

“Hhh... makasih, kak Dimas... hehehe....” Ucapnya yang masih menatap keatas dengan sperma yang melekat di wajahnya.

“Ahh... iya... udah. Buru bersih-bersih terus istirahat ya... Besok mau pulang kan...”

“Hhh... bentar deh... rebahan dulu... ehehe...”

“Yee... terserah...”

Aku menghela nafas. Mengistirahatkan diri hingga degub jantung ini normal lagi.

“E-eh, iya, Mbul.”

“Kenapa, kak?”

“A-ah... enggak. Cantik banget kamu sama rambut itu, hehe.” Pujiku lagi sambil membelai rambut sebahunya itu.

“Ehehe, seneng banget ya? Aku gini terus apa? Hihi...”

“Ya... senyamannya kamu aja. Digimanain juga kamu tetep cantik. Aku juga tetep suka.”

“Ish, apaan sih?! Hahaha!”

Dia lantas beranjak dari kasur, dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

***​

Siang hari di stasiun.

Aku membantu sopir taxi online yang kami pesan megambil koper dan barang-barang Cindy dari bagasi.

“Udah semua?” Tanyaku padanya yang memakai jaket baseball merah yang mana adalah pemberianku saat ulang tahunnya yang ke 20, celana jeans dan sepatu olahraga warna putih. Ada juga bantal leher bercorak Hello Kitty yang sudah ia kenakan. Wajah natural tanpa make up itu begitu manis. Aku menahan nafas sejenak, mengaguminya sebagai ciptaan Tuhan yang bagiku sempurna.

“Udah, kak. Hehe. aku berangkat dulu, ya,” Cindy tersenyum lebar, lalu memberiku satu pelukan erat. Tentu payudaranya yang besar itu terasa menekan dadaku...

Aku pun membalas pelukannya itu, memberinya kehangatan sebelum perjalanannya menuju Purwokerto.

“Hati-hati ya, Mbul.”

Aku mengecup dahinya, kemudian mengusap-usap ujung kepalanya pelan.

“Ehehe, makasih. Daahh. Semangat KKN ya, kak. Jangan nakal,” ucapnya sembari menarik koper warna pinknya itu.

“Ahahaha, siapp!” Aku lambaikan tangan padanya yang perlahan mulai menghilang kedalam keramaian orang didalam stasiun itu.

“Udah, mas?”

“Udah pak, mari.”

Aku memasuki taxi itu, disusul dengan pak sopir.

“Tadi pacarnya ya, mas?”

“Ahaha... ya... gitu pak.”

“Wah, cakep, mas. Jangan sampai lepas tuh. Mau sampai nikah kan besok?” Tanyanya sembari menyalakan mesin.

“Ahaha, ya... semoga langgeng deh pak. Pengennya gitu sampai nikah juga, hehe.”

Obrolan disana berakhir dengan tawa kecil kami berdua, lalu taxi ini meninggalkan stasiun, mengantarku pulang kembali ke kontrakan. Aku harus bersiap-siap untuk KKN yang sebentar lagi akan aku jalani.

***​

Malam hari, Purwokerto.



Aku sedang makan malam bersama ayah dan ibuku di rumah. Senang rasanya bisa kembali kesini setelah 1 semester yang melelahkan. Rasa lelah perjalanan di kereta tadi pun langsung hilang begitu kaki ini tadi menapak di halaman rumah. Sayang, kakak masih belum pulang dari luar negeri...

“Gimana kuliahmu, dek?” Tanya ayah padaku yang sedang memotong telur dadar di piringku.

“Ah, lancar kok, pak. Semester ini juga mata kuliahnya bisa aku ikutin.” Jawabku.

“Ooh... bagus to... terus, udah ada pandangan habis lulus mau kemana?”

“Emm... belum sih pak, hehe. Paling mau ke TV gitu.”

Kemudian ayah hanya mengangguk sambil melahap makanannya. Keheningan terjadi disini selama beberapa saat. Hingga ayahku tiba-tiba mengatakan sesuatu yang cukup membuatku shock setelah terlihat melirik kearah ibuku.

“Jadi gini, dek. Kamu... udah bapak sama ibu jodohin sama anaknya temen bapak.”







To be Continued...
 
Terakhir diubah:
Ini nih yang paling kusuka dari ini, ngga tergesa-gesa buat masuk konflik dan ngga keburu-buru buat pengenalan tokoh baru. Ibaratnya sekedar refresh character yang sudah lebih dulu ada di awal cerita baru

Anyway, pukpuk kak dimas
 
wah ternyata keluar lebih cepat dari yg gw perkirakan
gw kira masih minggu2 depan, ternyata dah kemaren
ditunggu buat kejutan dari Dimas selanjutnya
:horey::horey::horey:
 
menarik sumpeh tuan muda, tapi ini ada sedikt typo, well oke. I'll wait next chap
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd