Ichbineinbuch
Semprot Holic
- Daftar
- 21 Jun 2017
- Post
- 348
- Like diterima
- 3.889
PART 18
POV Ricky"Makasih, Ricky. Kamu memang cowokku yang paling baik."
"Sama-sama dong, Beb. Kan aku dah janji buat mencintaimu dengan tulus."
"Maafin aku ya kalau aku belum bisa membalas segala kebaikanmu."
"Bebebku Maria, kamu itu dah banyak memberiku kebahagiaan tahu. Dengan kamu duduk di sampingku tiap hari aja udah bikin aku bahagia kok."
"Aku khawatir itu gak bakal terjadi lagi, Rick," kata Maria dengan nada yang bergetar.
"Kenapa?" tanyaku yang tak mengerti dengan perkataannya.
"Ah gak, lupakan. Oh ya, aku udahin dulu ya. Aku harus nemanin mamaku lagi, bye Ricky sayang."
"Oh ya, bye!"
Aku pun menutup sesi video call-ku dengan kekasihku Maria. Dari keterangannya, kondisi ibu dari Maria sudah berangsur membaik namun tetap perlu perawatan intensif. Aku turut bersyukur akan hal itu karena itu berarti doaku setiap malam dijamah oleh Tuhan yang maha pemurah.
Tapi ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya. Kenapa Maria seolah menutupi sesuatu? Ada apa dengan dirinya? Apa yang hendak ia katakan sebenarnya? Pikiranku menjadi berputar-putar, takut kalau Maria menyimpan sesuatu yang tak ingin kuketahui.
Aku mulai berbaring di ranjangku ini. Dingin dari penyejuk ruangan tak membuatku menjadi rileks pula. Aku menatapi langit-langit kamarku yang hanya bernuansa putih polos. Tapi dibalik polosnya dinding tersebut, aku dapat membayangkan kesedihan Maria yang sedang ikut memperjuangkan kesembuhan ibundanya.
Mataku menutup dan membuka. Aku mencoba untuk menenangkan pikiranku. Tapi hal itu sulit kulakukan. Bayangan kesedihan Maria terus terlintas di pikiranku. Maka satu-satunya cara untuk menetralisir semua ini adalah… tidur siang.
~~~~~
POV Kimi
"Jangan bilang itu gara-gara lu pernah bobok seranjang sama adik lu sendiri?"
JLEB! Perkataan Henny seolah menusuk dalam sanubariku. Untuk hal yang sensitif ini, aku tentu tak ingin memberi tahu siapapun, sekalipun dia adalah orang yang bisa kupercaya. Karena rahasia ini terlalu gelap untuk diceritakan ke orang lain.
"Ya pernah lah. Pas kecil masak kakak adik gak pernah tidur bareng?" jawabku dengan argumen yang kubuat-buat.
"Bukan itu maksud gue. Maksudnya pas dia dah tinggal serumah dengan lu sekarang." DUGH! Sialan si Henny. Pakai nanya kayak gini lagi.
"Ya gak lah, Hen. Sehina itukah aku sampai nyerahkan tubuhku ke adik kandungku sendiri?" Kurasakan mataku mulai berkaca-kaca, karena aku masih tak menyangka kalau sahabatku akan menuduhku seperti ini, walaupun itu adalah hal yang sebenarnya terjadi.
"I'm sorry, Kim. Gue gak bermaksud menuduh lu yang enggak-enggak," ujarnya dengan perasaan yang menyesal dan wajah yang menunduk.
"Gak kok, lu sahabat gue. Tapi jujur gue sakit hati pas lu nanya gitu." Mataku mulai mengucurkan air mata. Aku tak mampu lagi menahan sakitnya hatiku. Melihat hal itu, Henny langsung memeluk diriku.
"Kim, gue gak bermaksud nyakitin hati lu. Please maafin gue." Ia berusaha menenangkan diriku dan aku masih menangis di dalam pelukannya.
"Hiks… gue gak nyangka lu bakal nuduh gue sejahat ini."
"Maaf, Kim. Awalnya gue cuma pengen bercanda sama lu."
Ia menghapus air mataku yang mengalir. Perlahan tapi pasti, tangisanku mulai berhenti. Maka aku meminum sirup dingin di mejaku agar bisa menenangkan diriku.
"Maafin gue ya, Kim. Please jangan marah sama gue."
"Gak kok, Hen. Gue aja yang baperan."
"Gue janji deh bakal traktir lu nanti sebagai permintaan maaf gue."
"Makasih, Hen. Lu memang sahabat gue yang paling baik."
"Thanks, Kimi, udah mau ngemaafin gue."
"Santai aja, Hen."
Kami pun melanjutkan sesi nongkrong kami dengan canda tawa dan gibah yang sensasional. Semuanya kami bicarakan, dari kecantikan, artis favorit, musik, hingga ke cowok-cowok di kampus. Tapi sering kali Henny mengutarakan kalau ia sudah gak suka lagi sama cowok di kampus. Ia sekarang menyukai adikku yang rupawan itu.
Setelah 2 jam penuh kebersamaaan itu, Henny pun pamit untuk pulang. Selepas ia meluncur pergi dari rumahku, aku pun menutup semua pagar dan pintu rumah agar tak kelupaan.
Ternyata aku sampai lupa mandi gara-gara nongkrong dengan Henny. Maka aku pun berencana untuk mengambil peralatan mandi. Namun di kamar Ricky yang setengah terbuka, aku melihat dirinya yang nampak berbaring dengan gelisah di atas ranjangnya. Maka aku membuka pintunya dan masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu kenapa, Ricky?" tanyaku.
"Eh ada Kakak di sini," katanya yang langsung bertingkah seolah tak ada apa-apa.
"Aku lihat kamu kayak cacing keracunan di kasur. Ada masalah apa sih kamu?"
"Gak kok, aman aja."
Aku pun duduk di pinggiran ranjangnya. Aku memandangi wajah Ricky yang super ganteng namun tampak gelisah tersebut. Aku mengelus rambutnya perlahan dan mengecup keningnya.
"Cerita aja ke aku. Aku bakal ngedengerin sampai habis kok."
"Gak perlu kok, Kak. Aku bisa ngatasin sendiri," ujarnya dengan suara yang berat.
"Kalau kamu bisa ngatasin sendiri, kamu gak mungkin lagi gelisah sekarang."
"Tenang aja deh, Kak. Semua pasti beres."
Aku menggenggam tangannya itu dengan penuh kasih sayang. "Ingat gak janji kita waktu itu? Kita udah janji buat menghadapi masalah sama-sama dan kita akan selalu saling support."
"Hmm." Hanya itu yang keluar dari mulut Ricky
"Kamu udah banyak ngebantu aku pas masalah kemarin. Sekarang giliran aku yang akan memapah tubuhmu melewati semua ini."
"Beneran, Kak. Ini cuma masalah kecil dan gak perlu dibahas."
"Sebelum masalah kecil jadi besar, kenapa kamu gak mau cerita dulu?"
Ricky terhenyak. Ia pun terlihat menimbang-nimbang perkataanku. Mungkin karena merasa perkataanku ada benarnya, maka ia pun mulai membuka mulutnya.
"Aku mikirin Maria terus, Kak."
Hatiku rasanya teriris begitu mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ricky. Tapi aku harus bersikap tegar sekarang. Kalau aku menunjukkan kecemburuanku, bisa-bisa masalah menjadi lebih runyam nantinya.
"Ya, lalu?"
"Aku bisa ngebayangin gimana sedihnya Maria di saat melihat ibunya yang tak berdaya. Mungkin saat ini dia hanya ingin ibunya sembuh dan bersedia mengorbankan apapun."
"Lalu?"
"Satu hal yang membuat aku bertanya-tanya. Kayaknya Maria nyembunyiin sesuatu dariku."
"Apa katanya?"
"Dia bilang mungkin aku gak akan duduk sebangku lagi dengannya nanti."
"Aku tak tahu juga maksudnya. Tapi berharap aja kalau Maria ngatain itu cuma karena sedang sedih."
"Aku takut kalau pacarku bakal pergi lagi. Cukup Rachel saja yang berbuat demikian."
"Percaya aja sama sesuatu yang positif, Ricky. Maria gak bakal ninggalin kamu, dia kan sayang sama kamu."
"Apa yang bisa kuperbuat kalau keadaan yang memaksanya untuk pergi?"
Air mata Ricky mulai menitik. Melihat hal itu, aku juga menjadi tak tega. Hatiku tersentuh dengan yang dirasakan Ricky. Aku kembali memeluk dirinya dan ikut meneteskan air mataku.
"Aku ngerti perasaan kamu, Ricky."
Ricky hanya menangis sesenggukan. Ia terus meneteskan air matanya. Tak lama kemudian, ia sudah melepaskan pelukanku dan mengelap air matanya sendiri.
"Makasih, Kak. Udah mau dengerin aku."
"Iya, Ricky. Aku jadi ikut nangis nih."
"Aku harap dia gak bakal ninggalin aku seperti Rachel. Karena kalau dia pergi, aku gak tau harus ngapain lagi."
"Jangan putus asa dong, Ricky. Akan ada banyak gadis yang menantimu di luar sana." Sebenarnya gak harus di luar sana juga sih, karena kalau kamu tahu, aku juga menunggumu di sini.
"Aku tahu, Kak. Tapi Maria berarti banyak bagiku. Ia bagaikan nafas hidupku."
Aku hanya bisa memaklumi perkataannya. Wajar, karena umur pacarannya belum lama. Api cinta masih membara dalam dirinya. Jika ia bisa berkata seperti ini 3 tahun lagi, maka aku benar-benar mengakui kalau adikku ini orang yang hebat.
"Aku tahu, Ricky. Mari kita berharap yang terbaik aja," ujarku sembari menggenggam tangannya.
"Kak… satu lagi," katanya sambil menatap dalam ke mataku.
"Apaan, Ricky?"
"Aku harap Kakak jangan pernah ninggalin diriku juga."
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Ternyata dibalik cintanya yang mendalam pada Maria, ia tak serta merta melupakan diriku begitu saja. Hatiku melunjak-lunjak karena akhirnya Ricky memberiku secuil cintanya padaku.
"Aku gak bakal pergi kok. Kan kamu adikku yang paling aku sayang." Saat aku mengucapkan kalimat ini, perasaanku menjadi tak menentu. Mirip sekali keadaannya saat aku berbicara dengan cinta pertamaku saat SMP dulu.
"Aku juga sayang kok sama Kakak yang udah nemanin aku dari kecil."
Ia mendekat ke wajahku. Lalu ia mencium lembut keningku dengan waktu yang cukup lama. Kira-kira sekitar 2-3 detik, bukan hanya sekilas begitu. Mendapat ciuman setulus dan sedalam itu, air mataku mulai menetes perlahan.
"Makasih banyak, Ricky," ujarku setelah ia melepaskan ciumannya.
Ia mengusap pelan tetesan air mataku. Ia memandangku dengan senyumannya yang sudah secerah fajar menyingsing. Kemudian ia memeluk erat diriku.
"Hanya Kakak yang bisa menemani aku selama Maria pergi. Kakak mau kan nemanin aku biar gak hampa?"
"Tentu aja aku mau."
"Makasih. Kakak memang yang terbaik."
Kini ia tak lagi mengecup kening atau pipiku. Ia langsung menyosor ke bibirku. Awalnya aku sedikit kaget, namun akhirnya aku dapat mengikuti alur permainan bibir dan lidah milik Ricky. Cukup lama kami berpagutan hingga akhirnya ia melepaskan bibirnya dari punyaku.
"Kakak gak kangen sama aku?"