Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

CHAPTER 13





POV Alana



Tidak….

Dia tak boleh bertemu dengan putraku. Dia tak boleh sama sekali menunjukkan dirinya di hadapan putraku. Tidak, ini tak akan ku biarkan terjadi. Pria itu, semakin melangkah jauh, dan aku baru sadar aku telah di tinggalkan di ruangan ini.

Bodoh kamu Alana….

Kenapa membiarkan lelaki itu, sekali lagi kembali menyihirmu? Bukankah dia yang mencampakkanmu begitu saja, bukankah lelaki itu yang membuat hidupmu menjadi sulit sejak awal sampai saat ini? Lantas kenapa engkau masih belum bisa melupakannya?

Berbagai pertanyaan hinggap di benak ini, saat aku sebelumnya, saat masih bersamanya di ruangan, malah tak sadar, aku malah kembali tersihir oleh kehadirannya.

Aku harus mengejarnya sekarang.

Oh tuhan. Tidak. Dia tak boleh menaiki lift itu. Aku semakin berlari mengejarnya, hingga aku berhenti sembari mulai mengatur nafasku yang sedikit ngos-ngosan. Kakinya panjang, tubuhnya tinggi, jadi langkah kakinya hampir dua kali lipatnya dari langkahku jika hanya berjalan saja. Makanya aku sampai berlari mengejarnya.

Lelaki itu masih berdiri menghadap ke lift yang dalam kondisi masih tertutup.

Ku sentuh lengannya. “Kamu mau kemana, ka?”

Dia sama sekali tidak menoleh, seakan-akan kehadiranku di sebelahnya, tak di hiraukannya. Lelaki itu sudah berubah. Arka yang dulu sangat berbeda dengan Arka yang sekarang. Bagaimana sedari awal pertemuanku dengannya, dia sellau menunjukkan bagaimana cueknya dia padaku. Bagaimana dinginnya dia padaku.

“Ka… mau kemana?” aku mengulang pertanyaanku.

Dia tetap tidak menjawab. Ada rasa kesal, rasa sedih dan lebih mendonasi rasa khawatir apabila dia sampai bertemu dengan Rafa di kamar atas. Nanti, apa yang akan di pikirkan kak Risna? Di pikirkan Rafa, saat melihat kehadirannya yang secara tiba-tiba ini?

Ting…. Tong!

Aku menahan nafas saat lift berbunyi, menandakan pintunya mulai membuka.

Aku menahan lengannya agar dia tak masuk ke dalam, di saat pintunya benar-benar terbuka lebar.

“Ada apa denganmu, Alana?” dia akhirnya menoleh padaku.

“Kamu gak boleh ke atas”

“Kenapa? Bukankah saya sudah baik hati membantumu dan anakmu sedari kemarin? Lalu, apa alasannya… sampai-sampai saya sama sekali tidak bisa bertemu dengan anakmu? Apakah kamu takut jika suami kamu melihat saya, dan menyadari ada sesuatu yang tidak beres, iya?”

Aku, entah apa yang harus ku jawab sekarang.

“Pokoknya kamu tidak boleh ke atas. Aku tidak perlu memberikan alasan padamu. Pokoknya, aku tidak mau.”

“Dasar aneh” ia bergumam. Memang aku aneh, Arka. Aku memang wanita yang aneh, keanehan yang terjadi itu karena kehadiranmu yang secara mendadak seperti ini. Di saat hidupku mulai ku tata dengan baik, engkau hadir dan ingin kembali menghancurkannya.

“Sudahlah. Saya juga hanya sebentar kok. Saya janji, setelah melihat anakmu, saya akan segera pulang. Ok?”

Aku terdiam. Sekali lagi, aku kembali tersihir di saat lelaki itu menoleh dan memberikan tatapannya padaku.

“Oh iya.” dia lantas berjalan masuk. Tidak. Pokoknya aku harus menghentikannya sekarang juga. Ku paksa lengannya, menariknya untuk keluar dari lift.

“Ku mohon, jangan bertemu dengan Rafa, Ka…. kumohon” aku berharap, permohonanku ini di indahkan. Tapi jenak berikutnya aku malah tercengat karena harapan tinggallah harapan. Pria itu tak bergeming sama sekali, dengan santai dia masih tetap berdiri di dalam lift. Bahkan kini tangannya mulai menekan tombol naik ke lantai teratas.



Aku mau tak mau harus ikutan masuk ke dalam.

“Oh ya, kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu dari saya, kan? Sampai-sampai kamu melarang keras saya untuk naik menemui putramu.” Aku tiba-tiba membeku. Apalagi kini tatapannya seakan menembus ke dalam relung jiwaku. Aku sampai-sampai harus menahan nafas di saat mendapati tatapan seperti itu.

Pada akhirnya aku hanya bisa menggeleng lemah sembari menunduk, menghindari tatapannya itu.

“Baguslah. Berarti tidak masalah saya ke atas, kan?”

Sekali lagi aku yang tak kuasa untuk berbuat apa-apa, akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan yang memaksaku menggerakkan kepala ini untuk mengangguk dua kali secara perlahan.

Lelaki itu akhrinya ku sadari telah mengalihkan tatapannya. Aku sedikit bernafas lega sekarang, karena di saat ku angkat kepalaku melihatnya, kini, tatapannya lurus ke depan, menatap pintu lift yang telah tertutup rapat. Mengantarkan kami berdua untuk naik ke satu lantai lagi.

“Bagaimana kabarmu, Alana?”

“Eh… ah, iya a… ada apa Ka?” aku gelagapan, sumpah. Aku tak siap dengan keadaan dan pertanyaannya yang tiba-tiba ini. Apalagi matanya kembali menatap padaku. Wajahnya yang awalnya dingin, kini mulai menampakkan senyum tipis di sana.

“Kamu tak perlu gugup. Biasa saja, saya juga sedang tidak marah.”

“Si… siapa yang gugup?”

“Tidak mungkin saya yang gugup, kan? Dan dalam lift ini, hanya ada kita berdua” Berat banget rasanya untuk bernafas sekarang. Belum lagi jantungku, ritme detakannya semakin kencang di dalam sana.

“Sepertinya memang kamu yang gugup Alana. Tak perlu berbohong, ok?”

“Tidak…. aku tidak gugup” balasku dengan tegas. Meski memang kesulitan bagiku sekarang untuk mengontrol perasaan ini. Lelaki itu hanya senyum. Namun seakan-akan senyumannya itu mahal sekali, senyum yang seperti tidak ikhlas ia berikan padaku.

Hingga akhirnya, ketakutan serta kekhawatiran yang besar kembali mendera. Pintu lift kebuka, jantung pun dalam sana sudah mulai tak beraturan detakannya. Dengan sangat berat, ku gerakkan tangan ini untuk menahan lelaki itu untuk keluar dari lift. Tapi sayangnya aku gagal, gerakannya lebih cepat dariku. Dia sudah keluar. Sedangkan aku masih membeku di dalam lift.

“Sampai kapan kamu tetap di dalam, Alana?”

Aku tersadar.

Aku menatap wajahnya.

“Ayolah. Temani saya bertemu dengan putra anda”

Aku hanya mengangguk pasrah. Sudah tak ada lagi kekuatanku saat ini untuk tetap menghalanginya. Aku harus bisa bersikap biasa sekarang ini biar nanti saat sudah berada di kamar putraku, lelaki itu tidak menyadari ada yang aneh, atau tidak menyadari jika aku sejak tadi berusaha menyembunyikan darinya mengenai status Rafa putraku, yang adalah darah dagingnya sendiri.

“Ya udah… ayo masuk” aku bersuara. Dia mengangguk.

Aku pun keluar dari lift, dan mulai melangkah bersama. Anehnya, kini kami berjalan bersisian.

“Sejak kapan kamu berhijab?”

“Eh apa? Ada apa?”

“Oh tidak apa-apa, saya hanya bertanya sejak kapan kamu berhijab?”

“Ohh. Itu. Sejak setelah melahirkan Rafa.”

“Ohh pantes”

“Pa… pantes apa ka?”

“Pantes kamu semakin terlihat cantik.” ujarnya. Tapi aku tak boleh memberikan respon berlebih atas ucapannya itu. “Meski kecantikanmu itu bisa membutakan semua pria, termasuk saya, yang dengan bodohnya bisa tertipu dengan tipuan muslihatmu dulu” Ternyata, ucapannya itu mengandung makna yang menyesakkan.

Kok rasanya sakit lagi ya?

Tapi aku tak boleh kalah lagi darinya.

“Sudah tahu aku jahat, kenapa kamu masih menemuiku?” pertanyaanku ini sukses membuat langkahnya terhenti. Aku mau tak mau ikutan berhenti. “Ada apa? Masih ingin mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?”

Lelaki itu hanya senyum, kemudian melanjutkan langkahnya. Aku hanya bisa mendengus. Kemudian mengikutinya.



Singkat cerita, kami berdua akhirnya tiba di kamar inap Rafa.

Kak Risna tentu langsung terkejut saat menyadari aku tidak sendiri saat ini.

“Loh he? Al… kok gak bilang-bilang sih kalo mau datang dengan beliau” aku hanya mencibir, karena mendengar kak Risna malah memanggilnya beliau. Dia tak pantas mendapatkan kehormatan berlebih seperti itu darimu, kak Risna.

“Selamat sore. Maaf, saya tidak mengganggu kan?” lelaki itu langsung berbicara dan tanpa permisi, dia langsung masuk untuk mendekat ke kak Risna. Kejadian selanjutnya, lelaki itu malah sudah mengulurkan tangannya. “Saya Arkana. Bu?”

“Oh iya Pak Arkana. Aku Risna… hehe, mamanya Rafa” kak Risna menyambutnya. Mereka bersalaman. Namun tiba-tiba, lelaki itu menoleh padaku.

“Kak Risna adalah orang yang paling berjasa besar selama ini, dalam membantuku merawat Rafa. Dan kak Risna juga sudah di anggap sebagai orang tua bagi Rafa.”

Lelaki itu hanya senyum tipis, kemudian melepaskan tangannya yang sempat bersalaman dengan kak Risna sambil mengucapkan, “Terima kasih, ibu Risna.”

He? Terima kasih for what?

Mengapa lelaki itu malah mengatakan terima kasih ke kak Risna?

“Duh, di panggil ibu, al.” aduh kak Risna. Ku mohon jangan lebay deh. Mana perempuan itu tiba-tiba tersipu tidak jelas.

“Kak…” aku akhirnya menegurnya.

“Eh iya. Maaf. Hihiihi, mari pak… mari. Pasti bapak pengen bertemu dengan Rafa kan?”

“Ya jika ibu mengizinkan”

Woi Arkana breengsekkk. Sejak tadi aku yang orang tuanya sudah tidak mengizinkanmu bertemu dengan putraku. Mengapa kamu mengabaikannya, dan malah meminta izin ke kak Risna? Aku membatin. Entah apa yang akan di pikirkan lelaki itu saat melihat jelas ekspresi kekesalanku tercipta saat ini.

“Oh tentu saja atuh, apalagi bapak yang datang. Hihihihi. Pasti kami bakal ngizinin bertemu dengan Rafa”

“Terima kasih sekali lagi, Bu Risna.” udah deh, makin melayang tuh perempuan. Kak Risna sempat menoleh padaku. Sambil memegang pipinya. Dia tersenyum lucu, bibirnya bergerak seakan mengatakan, ‘Duhh gantengnya, al’. Aku malah mencibirnya. Sungguh sangat memalukan sekali kamu, kak.

“Mari pak… kebetulan Rafa juga baru bangun”

“Baik, bu Risna.”

Ternyata apa yang ku takutkan tidak terjadi. Lelaki itu, sudah bertemu dengan putraku Rafa. Aku sendiri hanya berdiri melihat kejadian di dalam kamar sana. Dimana kak Risna menemani lelaki itu untuk bertemu dengan Rafa.

“Rafa…” lelaki itu memanggil putraku. Rafa lantas duduk di atas ranjang, sembari menyalim tangan lelaki itu.

“Om ciapa?” tanya Rafa putraku. Sampai sekarang aku masih harap-harap cemas, nafasku sesekali tertahan di udara. Jantungku masih sering berdetak kencang di dalam sana. Tatapanku masih lurus ke dalam sana.

“Hmm… om adalah pahwalan bagi Rafa. Om akan selalu membantu Rafa nantinya”

“Hehe… iya om. Makaci”

Lelaki itu lantas duduk, yang langsung di persilahkan oleh kak Risna.

“Terima kasih sekali lagi”

“Duh si bapak teh… kebanyakan makasih nya ih” Oh my god. Kak Risna, apa-apaan sih. Jangan kecentilan gitu.

Dan terjadilah percakapan antara ayah kandung dan putranya di dalam sana. Mereka saling tertawa, saling senyum, bahkan sesekali lelaki itu mengusap dengan lembut kepala Rafa. Tanpa terasa sepasang mata ini mulai menampung butiran kaca. Aku terharu, sungguh. Aku memang ibu yang jahat untuk Rafa, yang dengan tega masih menyimpan rahasia statusnya. Tapi, aku juga tak akan pernah memberitahukan padanya jika Rafa adalah anak kandungnya, setelah selama ini dia pergi begitu saja tanpa ada rasa penyesalan, tanpa adanya pertanggung jawaban pada kami selama ini, lalu setelah itu, dia dengan mudahnya mau datang untuk mengganggu kehidupanku? Oh tidak. Tak akan ku biarkan hal itu terjadi.

Kembali aku fokus melihat kejadian di dalam sana. Kak Risna juga sesekali menoleh dan sedikit mengangguk padaku. Entah apa maksudnya. Aku hanya bisa meresponnya dengan menarik nafas panjang.

“Hari ini…. om pengen membantu mewujudkan satu mimpi Rafa. Sebutkan saja, apa impian Rafa yang selama ini belum terkabulkan…. nanti om akan berusaha mengabulkannya”

Aku tak tahu harus ngomong apa saat ini. Mau menyelanya juga agak aneh, dan tentu saja kak Risna akan bertanya-tanya padaku setelah lelaki itu pulang.

Putraku tampak menatap wajah lelaki itu, lalu tersenyum. “Apapun?”

“Apapun Rafa. Om janji, om akan mengabulkannya. Meski itu sulit tapi om akan tetap mengabulkannya”

“Rafa mau beli mainan yang banyak kayaknya, om Arkana. Iya kan sayang?” kak Risna malah yang menjawab. Tapi jenak berikutnya, putraku malah terlihat murung. Wajahnya ia tundukkan. Kenapa denganmu, sayang? Aku membatin.



“Fafa sejak duyu penen punya ayah…. apa om bisa mengabulkan mimpi Fafa, dengan menjadi ayah Fafa?”

Aku tiba-tiba membeku. Mataku terasa panas. Sebentar lagi, mungkin saja sepasang mata ini mulai menitihkan air mata.​
 
Bimabet
Anaknya mantap sekali ya.. Langsung to the point kayak Bapaknya.. Hehehehe
Thanks update nya suhuuu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd