Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

Gokil sih ini baru 2 chapter aja udah keren bgt. Perkenalan tokohnya ane demen nih. Lanjutkan om TS
 
CHAPTER 3





POV Erga




Aku menunggunya untuk datang ke appartemen.

Sebelumnya aku telah janjian untuk menghabiskan waktu bersamanya. Dan dua jam yang lalu, aku mendapatkan pesan darinya bahwa dia lagi mengurus sesuatu terlebih dahulu, sebelum ia menyusulku ke mari.

Sudah dua jam lamanya aku menunggu kehadirannya. Dan kini, yang aku tunggu sedang berada dalam pelukanku. Aku tak memungkiri jika kadang kala aku tak mampu menahan gejolak birahi saat bersamanya. Kecantikannya selalu saja membutakanku, apa yang dimilikinya selalu saja mengharuskanku untuk menuntaskan apa yang seharusnya di tuntaskan.

5 menit yang lalu, saat aku membuka pintu. Mendapati sosok Amisya berdiri memakai dress berwarna merah maroon. Dengan make up tipis dan senyum manis terlukis di wajahnya, tanpa menunggu lama langsung saja ku tariknya tubuhnya masuk ke dalam kamar.

Aku sengaja hanya diam tanpa kata. Ku gerakkan kedua alisku, dan ternyata Amisya mengerti apa yang ku mau, dia kini telah membalas ciumanku. Aku pepet tubuh Amisya ke tembok. Memegang lengannya, meletakkan ke sisi kiri dan kanan dengan posisi terbuka, bersandar di dinding. Lalu ku hentikan ciumanku, aroma parfume yang selama ini ku kenal, terhirup dan masuk memenuhi rongga dada ini. Kemudian serangan kedua ku lancarkan. Bibirku bersarang di lehernya, mencium, menjilat, hingga kedua telingaku mendegar desahan penuh gairah darinya.

“Ohhhh Ga! Ka-kamu... uhh, sabar ihhh!” Protesnya.

Aku tak memperdulikan.

Aku hanya tersenyum menyeringai, kemudian bibirku mengecupnya dengan penuh gairah, bibir, lalu berpindah ke pipi, mata dan kembali ke leher. Selanjutnya Ku julurkan lidah, bercampur air liur.

Aku menjilat keseluruhan leher Amisya, hingga aku merasakan tubuhnya menggeliat. “Ohhh... Ohhhh.... Ohhhh!” Desahan-desahan kecil juga, masih saja terdengar di telingaku.

Tak lupa juga, aku menggelitik lubang telinga Amisya, baik telinga kiri dan kanan bergantian. Mendapati serangan dariku, tangannya bergerak, menyentuh kepalaku. Mengacak-ngacak rambut, saat makin intens rangsanganku meningkatkan birahinya melalui titik sarafnya.

Ini bukanlah hal yang pertama kalinya ku lakukan. Dan aku sangat mengerti, jika Amisya paling gak tahan, saat aku menyerang leher dan telinganya.

Setelah memberikan serangan pertama, aku menghentikan kegiatan sesaat. Sengaja aku membiarkannya mengambil nafas sejenak, ia menatapku dengan sayu menahan gairahnya yang telah naik.

Aku pun tersenyum tipis kepadanya.

“Erga jahat!” gumamnya malu. Aku hanya menaikkan alis.

“Loh... gue kan gak ngapa-ngapain, kok.”

Kemudian ia memanyunkan bibirnya di hadapanku. Amisya maju mendekatiku. Dua tangannya ia letakkan di dadaku. Kemudian mendorong tubuhku lembut, hingga membuatku mundur ke belakang. “Kamu tega... aku, gak akan biarin kamu diem saja,” katanya.

Senyumanmu itu, selalu saja meruntuhkan pertahananku. Aku selalu saja ingin menggaulimu. Yap, nama gadis yang sedang mendorong tubuhku hingga kaki ku mentok di dinding, adalah gadis bernama Amisya. Saat ini, walaupun udara di dalam ruangan tamu sangat sejuk dan dingin. Namun terasa panas akibat hawa tubuhku, dan juga hawa tubuh Amisya. Apalagi kalau bukan, gejolak birahi kami berdua yang membuat keringat muncul di diri kami masing-masing.

“Ga... aku kangen kamu.” Ia mengecup dadaku yang bidang, lalu kecupannya berpindah. Ia melakukan hal yang sama yang ku lakukan kepadanya tadi.

Leherku jadi sasaran kecupannya...

Aku sih sangat menyukai jika dia melakukan hal ini. Kebinalan Amisya terlihat di hadapanku. Amisya berubah jadi singa betina yang kepalaran. Mungkin sangat lebay jika aku mengumpamakan seperti itu. Namun, hanya seperti itu saja yang mampu ku gambarkan apa yang sedang terjadi terhadap Amisya. Sentuhannya sangat geli dan sekaligus nikmat. Apalagi saat ia menjilatnya, dan memberikan sentuhan-sentuhan erotis, membuat gairahku makin naik.

Karena tak mampu menahannya, aku melepaskan dress yang ia gunakan. Ia tak melawan, hanya diam sambil menatap wajaku genit. Satu persatu pakaian yang digunakan Amisya telah ku tanggalkan, lalu kini ia memandangku begitu sayu, bibir yang dalam kondisi tergigit sendiri, seakan menantikan untuk ku cumbu ke sekian kalinya.

Kalem dan diam sejenak, yang ku saksikan di depan mataku saat ini. Aku membalas senyumannya, dan mata ini melirik tubuh Amisya berdiri dihadapanku. Hasil perbuatanku, yang menyisakan Bra dan CD sebagai penutup terakhir tubuh seksi milik Amisya.

“Kenapa di lihatin mulu sih, Ga?” tanyanya malu.

“Gak kok... Pengen aja ngelihatin!” gumamku. Penisku menegang saat melihat keseluruhan tubuh Amisya. Apalagi gundukan milik Amisya, terlihat naik turun seirama nafasnya yang tersengal. Aku lalu menghela nafas, sesaat sebelum aku melangkah mendekatinya.

Aku menarik tubuhnya, ku peluk dalam posisi berdiri. Aku yang juga telah bertelanjang dada, menyisahkan celana jeans penutup bagian bawahku. Amisya, menerima ciumanku dengan lembut.

Kami berpagutan, tanganku pun bergerak mengusap telungkuk belakangnya. Mengusap punggung, tanpa melepaskan bibirku dengan bibirnya. Lidah kami saling bergelitik bergantian. Memusatkan ke mulut, kemudian berganti, ku gigit lembut bibirnya karena merasa gemas.

Nafasnya ku rasakan menghembus di wajahku. Lalu, ku lepaskan ciuman ini. “Sepertinya kita harus melanjutkannya di kamar”

Amisya mengangguk.

Kami berdua lantas bergerak dengan cepat menuju ke kamarku.

Setibanya di kamar, tanpa membuang waktu. Aku lalu melepas kaitan Bra dibelakang. Ceklek! Terlepas. Dan kedua talinya ku tarik ke depan. Bersamaan tubuhku sedikit mundur kebelakang. Dengan tatapan manja, Amisya meluruskan kedua lengannya ke depan. Dengan gerakan lambat, ku loloskan dua tali yang menjadi gantungan Bra melewati dua lengannya itu.

Kini, gundukan padat tak terlalu besar. Dua puting menghiasinya, begitu sedap di pandang mata. Aku tersenyum, lalu ku lempar begitu saja bra milik Amisya ke lantai.

Mungkin sih, kadang aku merasa bosan jika memikirkan untuk bersetubuh dengan Amisya. Tapi saat Amisya bertelanjang seperti ini dihadapanku, maka rasa bosan itu menghilang. Dan tergantikan untuk segera menggaulinya. Menuntaskan birahi bersamanya.



Aku kembali mendekatinya…



Tanganku bergerak, menyentuh gundukan bagian kanan. “Uhhhh Ga!” ia mendesah! Memejamkan mata, sambil merasakan remasanku di payudaranya. Setelahnya aku membungkukkan sedikit badan, lalu ku sarangkan bibirku menelungkup di kuncupnya. Lidah ini, ku putar ke arah jam. Menggelitiknya hingga ku rasakan tubuhnya menegang.

“Oughhh!.” Aku tersenyum, lalu ku lakukan lagi. Kini payudara kirinya, menjadi serangan kedua ku.

Tangan Amisya tak tinggal diam...

Dia membuka resleting celana, dan menarik dua sisi hingga aku tersadar. Aku berhenti dari aktivitasku sejenak, membantunya meloloskan celana jeansku dan menyisahkan CD yang menjadi satu-satunya penutup tubuhku saat ini.

Begitupun dengan Amisya...

Ia menatapku, menggigit bibirnya sendiri. Nafasnya pun ku dengar makin tersengal, menahan gairahnya yang memuncak.

“Yuk!” Maka, aku mengangguk. Ku tarik lengannya dengan tujuan untuk berganti tempat. Dia mengerti, dan lebih dulu naik ke atas ranjang. Selanjutnya Ia berbaring terlentang di atas ranjang, dua payudara berbentuk padat, mengacung dengan dua puting dihadapanku.

Aku lalu menyusulnya naik ke ranjang, menindih tubuhnya setengah dari samping kirinya.

“Ga... aku cinta kamu!” Dia mengucapkan kalimat yang sama. Aku sih bosan mendengarnya, tapi aku tetap tak ingin memperlihatkan kepadanya. Ekspresiku masih saja seperti biasanya.

“Iya gue tau...” Aku membalas senyumannya, lalu ku sentuh bibirnya. Tanganku tak tinggal diam, ku gerakkan kembali untuk menyentuh titik-titik sensitifnya. Yang menjadi seranganku saat ini, adalah payudaranya. Dua payudara, dengan gemas ku permainkan.

Slurppp!!! Slurppp!!!

Aku menggelitiknya, menghisapnya, kemudian tanganku bergantian meremas satu sama lainnya. Desahan makin kuat terdengar, dan memanggil-manggil namaku pun telah ia lakukan. Kini, aku makin bernafsu untuk menggaulinya. Menikmati tubuh Amisya, yang selama ini selalu saja siap tanpa adanya protes darinya.

Meskipun kemanjaannya, keceriannya, kecantikannya, tak pernah memudar. Namun selalu tak bisa membuatku menunjukkan kepadanya sesuatu yang lebih dari pada yang sekarang. Maka, ku tarik CD nya kebawah. Melorotkan melalui kedua kakinya yang ia bantu sebelumnya dengan menggerakkan kedua kakinya bergantian.

Tampak sudah, tubuh telanjang Amisya dihadapanku. Aku melirik ke bagian bawahnya, mahkota terindahnya hanya dihiasi bulu-bulu tipis yang sepertinya sengaja ia bersihkan selama ini. Yang aku ketahui, Amisya adalah gadis yang cukup bersih. Ia sangat pintar merawat dirinya, dan tak sadar sejak tadi ia menatapku penuh sayu.

Aku tersenyum sesaat. “Maaf!...” gumamku.

Ia cemberut, lalu tak ku biarkan kecemberutannya berlarut. Ku sentuh kembali kedua payudaranya. Ku kecup berulang kali, dan ia pun sesekali mengerang kenikmatan. Ku gelitik kembali, dan tak mampu terhitung sudah berapa kali bergantian ku lakukan aktivitas ini.

Hingga merasa cukup, aku menurunkan seranganku. Dan kini, lidahku menjulur menjilat mulai dari pusar nya turun ke selangkangannya. Aku berganti posisi, berada dibawahnya. Berposisi tengkurap, kedua kaki berada melewati sudut ranjang. Aku tekuk kedua kakinya, dan sedikit melebarkan kedua pahanya ke sisi berlawanan.

Aku melihat vagina miliknya. Jari telunjukku seakan bergerak sendiri, menyentuhnya lembut. “Oughtttt Ga!” tubuhnya bergelinjang.

Aku menjulurkan lidahku, kemudian menjilat bibir vagina miliknya. Lalu, berganti, menghisap dalam-dalam, cairan kenikmatan miliknya yang merembes keluar dari lubang itu.

Erangan penuh gairah, makin terdengar di telingaku. Tapi aku sengaja tak menghentikan kegiatanku saat ini. Aku makin kuat menghisap-hisap vaginanya, dan sesekali menekan-nekan makin dalam dengan lidah. Sesekali, tangan kananku naik menyentuh pusarnya. Kemudian semakin naik, menyentuh payudaranya bergantian baik kanan berpindah ke kiri.

Aku meremasnya, sedangkan tangan kiriku membantu mulutku untuk memberikan kenikmatan buat Amisya dibagian bawah. “Uhhhhhhh Ergaaaa... aakuuu mau keeeluarrr.”

Aku tersenyum masih menikmati vaginanya, merasakan tubuhnya sedikit terangkat ke atas. Bersamaan, dua pangkal pahanya bergerak tak beraturan. “Gaaa... akuuuu keluarrrrr.”

Betul saja, aku merasakan jika dia telah klimaks. Orgasmenya telah ia dapatkan, membuatku menghentikan kegiatanku dibawah, kemudian berangsur naik dan memposisikan tubuhku sejajar dengannya di bagian samping.

Ia menoleh. “Kamu lagi yah...” katanya.

Aku hanya mengangguk, lalu baring terlentang menghadap ke atas. Amisya bangun, kemudian menoleh ke samping. Ia pun berganti posisi. Posisi yang sama denganku sebelumnya. Namun, ia sedikit memajukan tubuhnya ke depan. Kemudian, menarik turun CD milikku. Mengacung gagah, kala ku lirik dibagian bawah. Ia menatapnya, dan senyumannya mulai terkembang lagi. Hingga ku rasakan, CD ku telah tertanggal dan ia melemparnya begitu saja ke lantai. Tangannya lalu mulai menyentuh batang itu.

Yah seperti biasanya. Aku pastinya akan memejamkan mata. Tapi sengaja tak mengeluarkan suara. Aku menahan kenikmatan tersebut. Dan tak butuh lama, ia mengulum batang kemaluanku itu.

Slurppp!!! Slurppp!!! Mau gak mau, aku mulai menikmati kuluman darinya. Lidahnya sesekali menjilat dari ujung ke pangkal. Kemudian bergantian, lalu kembali batang itu ku rasakan telah berada di dalam mulutnya.

Bibirnya yang basah, ku rasakan lembut naik turun dibawah sana. Hisapan darinya juga, makin membangkitkan semuanya. Gairahku tak lagi mampu tertahan. Maka, merasa cukup. Tanganku menahan kepalanya. “Sudah Yun, nanti aku muncrat!”

Ia tersenyum menatapku sayu. Anggukan darinya, menandakan jika saat ini kami akan masuk ke menu utama.

“Aku duluan yah!” katanya sesaat.

Kemudian, bergerak naik. Berada di atas selangkanganku, ia mengangkangi batang kemaluanku. Dengan tangannya sendiri, ia membantu memasukkan batang kemaluanku ke vaginanya. “Ohhhh Ga!” aku mendengar dia mendesah, bersamaan ujung kepala penis ini mulai masuk merengsek menembus liang vaginanya.

Sudah tak terhitung lagi, berapa kali aku menikmati vagina itu. Namun, aku tak pernah bosan dengannya. Namanya juga gratisan, iya Gak?.

Kemudian, ku rasakan ia mulai menaik turunkan tubuhnya. Jelas saja aku pastinya merasa nikmat. Vagina Amisya, begitu nikmat naik turun di bawah sana. Sesekali memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Kata orang, merem melek gitulah.

Kedua tanganku tak tinggal diam, kini bergerak meraih dua payudaranya yang masih bergantung bebas. Ia pun memegang kedua tanganku itu. Membantu meremas miliknya.

Aku melihat matanya terpejam, seiring dengan kegiatannya naik turun dibawah sana. Aku menikmati setiap kelamin kami beradu dibawah, menikmati juga pandangan mataku kepada tubuhnya yang begitu seksi.

Lengannya ku tarik, hingga membuat tubuhnya terjatuh ke dadaku. Kemudian Ia mencium bibirku. Dan kini, berganti. Aku yang goyang naik turunkan kelaminku di dalam vaginanya. Menyerang keluar masuk, hingga terdengar makin kuat ia mengerang.

Selanjutnya aku merasakan, tubuhnya mulai bergerak ke kiri dan kanan. Lalu, ia kembali bangkit. Kedua lengannya berada di kiri dan kanan. Menopang tubuhnya, yang berganti bergoyang. Menghantam naik turun selangkangannya, karena saat-saat inilah adalah kesukaan Amisya. Mulutnya pun terbuka membentuk huruf ‘O’ yang menandakan sebentar lagi ia klimaks yang kedua kalinya.

Aku pun membantunya mengocok dibawah sana...

Seirama dengan naik turun vaginanya...

Hingga...

“Ohhhhhh... Gaaaaaa, aaaaku keluar lagiiiii.” Bersamaan, erangannya ku dengar, dan tubuhnya bergerak-gerak ke sana kemari. Menikmati orgamsenya yang telah tiba.

Lalu, tubuh Amisya ambruk ke dadaku.

Aku memeluknya...

Berhenti menggerakkan kelaminku dibawah sana, membiarkan ia menikmati sisa-sisa orgamsenya.

Kemudian, aku berbisik kepadanya. “Gantian.” Ia mengecupku sesaat.

Amisya mengangguk setelahnya, kemudian turun dari tubuhku, membuat kelamin kami terlepas. Tanpa menunggu lama, aku bergerak menindihnya. Ku tancapkan batang kemaluanku yang masih menegang keras, menembus vagina yang makin terasa licin.

“Erga!”

“Ya”

“Aku mencintaimu...” katanya kembali.

“Iya gue tau!” aku menjawabnya, lalu ku gerakkan naik turun selangkanganku.

Ia pun memejamkan kedua matanya, kedua lengannya pun naik melingkar di belakangku. Tak lupa aku mencium bibirnya, tanpa menghentikan genjotanku dibawah.

“Mmmffffhhhhmmmm....”

Sambil menghentak-hentakkan kelaminku, tanganku bergerak meremas bongkahan payudaranya. Lalu, kini mulutku bergerak turun, ku bengkokkan sedikit badan, hingga mampu menggapai payudaranya.

Aku mengulumnya...

Menjilatnya, dan merasakan sensasi yang begitu luar biasa.

Genjotanku semakin kencang, kenikmatanku makin tak tertahan. Kami masing-masing. Mendesah, mengerang menyebutkan nama masing-masing juga.

Hingga, genjotanku makin tak berirama. Terdengar selangkangan kami beradu kencang, hingga ku peluk tubuhnya dan tak lupa mencium bibirnya.

“Mmmffhhhhhhhmm!”

Seketika aku merasakan vaginanya mencengram kuat dibawah sana.

Tak lama, aku pun melepaskan semprotan sperma ke dalam vaginanya.

Croottt!!! Croottt!!!

Aku tak perduli, karena Amisya selalu mengatakan kalo ia aman. Tak akan hamil, karena dia pake alat kontrasepsi. Dan akhirnya kami klimaks bersama.

Setelah merasakan semuanya mulai mereda, aku bergeser ke samping, dan berbaring di samping Amisya...

Setelah puas, maka aku dan Amisya berpelukan mesrah. Tak lupa ku kecup juga keningnya, sembari makin merapatkan pelukan ini ke tubuhnya. Karena berfikir, nanti saja kami membersihkan tubuh. Maklum, lelah banget!s



-----00000-----​



Anjir, aku tertidur rupanya.

Amisya masih berada di dalam pelukanku, di kamar pribadiku, dalam appartemen yang telah ku beli setahun yang lalu. Appartemen yang termasuk 5 besar appartemen mewah di kota ini.

Karena rasa haus, aku beranjak dari ranjang dan ingin mengambil minum di luar, tanpa lupa mengenakan celana pendekku terlebih dahulu.

Begitu pintu ku buka….

“Sudah selesai party-nya?”

Eh busyet…

Nyaris jantungku berhenti berdetak saat menemukan seseorang sedang duduk santai di sofa menghadap ke pintu kamarku, tangannya sedang memegang kaleng soft drink, karena dia sangat anti alkohol.

Aku malah geleng-geleng kepala saat menyadarai siapa orang itu. Hmm, ini bukanlah kali pertama dia secara diam-diam masuk ke dalam appartemenku, wong, dia juga tahu kok berapa password buat membuka pintu depan.

Yang membuatku kaget ialah, kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah kemarin malam dia menelfonku, mengatakan jika ingin meninggalkan Indonesia lagi?

Aku pun melangkah keluar dengan santai. Berjalan menuju ke kulkas buat ngambil sekaleng bir. Aku menyadari semua gerak-gerikku tak luput dari perhatian sosok tersebut yang masih duduk di sofa sana.

Aku pun kembali padanya sembari membawa sekaleng bir. “Katanya lo lagi keluar negeri?”

“Saya berubah pikiran”

“He? Dasar…”

“Gak ada yang salah kan?”

“Gak kok” balasku. Aku meneguk birku sesaat, kemudian menaruhnya di atas meja, lalu duduk di sofa berhadapan dengannya.

“Masih ingat-kan’ pesan saya? Jangan sampai dia bunting, karena biar bagaimana dia masih menjadi tanggung jawab saya”

Aku mendengus.

“Iye… iye paham gue. Toh kalo bunting, gue gak bakal kabur kok, bro” Pria di hadapanku hanya tersenyum. Senyumannya memang amat sangatlah mahal. Bahkan sama sahabatnya sendiripun, senyuman yang ia berikan tidaklah seperti sebuah senyuman yang terkembang. Senyumannya tipis setipis silet.







Yah! Amisya ini adalah teman semasa kecil pria di hadapanku ini. Siapa lagi kalo bukan sahabatku sedari kecil juga. Dan Amisya ini, adalah satu-satunya alasan dia dulunya tidak ingin meninggalkan indonesia.

Ahhh! Jika aku mengingat kejadian dulu, kepalaku kadang masih nyut-nyutan. Karena, yang membuatku masih berfikir keras sampai sekarang, kenapa saat sudah menemukan sosok Amisya yang di carinya selama 12 tahun, seakan tak ada sesuatu yang special yang terjadi?

Aku juga tidak begitu memahami detailnya, apa yang sebenarnya telah terjadi kala itu di Indonesia. Karena aku sendiri, di tugaskan untuk menghandle perusahaan di kantor pusat. Kala itu, kalo gak salah, aku sudah setahun bertugas di kantor pusat, Singapura. Yang aku dengar dari Kak Devita, kakak dari sahabatku ini, yang juga merupakan bos tertinggiku di perusahaan, jika sahabatku sudah menemukan jati dirinya. Sudah menemukan sosok yang akan menceriakan hari-harinya. Pantas saja, kala itu dia ingin berobat di Jerman.

Setiap dia menelfonku….

Selalu saja penuh dengan keceriaan. Cuma satu yang tak pernah hilang dari sahabatku ini, kesombongannya. Apalagi kala itu, kala dimana masa-masa keceriaannya itu berlangsung, busyet, sombongnya kebangetan. Menyombongkan wanitanya padaku, padahal mah, kalo berbicara mengenai wanita, aku sudah berada di titik khatam.

Hingga…

Malam itu, malam dimana dia ingin mengatakan yang sejujurnya setelah ku desak, alasan dia berubah 180 derajat dari biasanya. Seakan, ia telah melupakan alasan utamanya menjadi murung, menjadi tak bersemangat, selalu bertahan untuk tetap berada di Indonesia. Namun, semuanya kenapa tiba-tiba berubah. Hingga pada akhirnya, ia pun menceritakan dengan penuh keceriaan jika dia sudah menemukan sosok yang di carinya selama ini.

“Eh tunggu… lo udah ketemu ma dia?” tanyaku kala itu melalui sambungan telfon.

“Yes. Saya sudah menemukannya bro. Dan sekarang, dia jugalah yang menjadi alasan saya satu-satunya untuk menyetujui rencana pengobatan di Jerman”

“Seriusan, lo udah ketemu dengan Amisya?” tanyaku memastikan.

“Menurutmu?”

“Ahhh sialan lo Ar. Awas lo ya, setelah sebulanan lo maen rahasiaan-rahasiaan ama gue, baru sekarang lo jujur”

“Gak salah juga kan, anggap kita sedang bercanda bro”

“Gila…”

“Ya, saya akui saya mulai tergila-gila padanya”

“Syukurlah bro. Akhirnya, masa-masa kegelapan lo selesai juga. Sudah waktunya menyongsong hari yang penuh kebahagiaan… karena, lo juga pantas bahagia, bro”

“Ya bro. Saya semakin bersemangat untuk melanjutkan hidup” seriusan, bukan hanya sikapnya, tapi nada suaranya juga saat berbicara denganku, berubah drastis.

“Trus, kapan rencananya lo berangkat ke Jerman?”

“Besok. Pesawat jam 12.”

“Ya wes, sorry ya gue masih belom bisa nemenin elu, lagi banyak tugas dari nyobes nih yang kudu gue kelarin dalam waktu dekat”

“Ya gak apa-apa. Santai saja, anggap kamu membantu saya untuk menghandle di sana, nanti setelah kembali dari Jerman, baru saya akan ambil alih semuanya”

“Nah gitu dong.” ujarku, lalu kembali teringat sesuatu. “Eh tunggu, lo mau ke Singapura? Mau netap disini? Terus, Amisya gimana?”

“Saya akan membawanya… saya akan menikahinya dalam waktu dekat, bro”

“ALHAMDULILLLLAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH” tanpa sadar aku langsung berucap syukur sekeras-kerasnya atas apa yang baru saja aku dengar.

“Tapi, jangan kabari kak Devita dulu. Awas sampai dia tahu sebelum saya memberitahukannya secara langsung.”

“Iye… iye percaya ama gue”

Alhamdulillah, wasyukurillah. Aku benar-benar amat sangat bersyukur dengan perubahan sahabatku ini. Masa-masa kegelapannya benar-benar telah menghilang. Selamat, kawan. Engkau telah menemukan kehidupanmu yang baru. Pertahankan dia.







Namun ternyata, masa-masa kebahagiaan sahabatku tak berlangsung lama.

Semuanya terjadi di saat, aku sedang nongkrong bersama salah satu klien, yang ternyata klien itu mengajak Assistennya. Seorang wanita cantik. Begitu penilaianku pertamakalinya pada wanita itu. Aku mengira, dia adalah warga sini, alias asli orang Singapura.

Tapi ternyata aku salah, di saat aku mencoba mengajak assistennya itu untuk mengobrol. Bahasa indonesianya fasih banget, bukan seperti bahasa pada umumnya di negara ini, yang menggunakan bahasa melayu.

“Oh iya what’s your name, nona?”

“Indo aja pak” begitu balas wanita itu. Sedangkan klienku ikutan tertawa. Klienku sih asli asal dari Malaysia, yang menetap di singapura, jadi bahasa indonesia pun lumayan dia kuasai.

“Eh iya lupa. Haha”

Wanita cantik itu mengulurkan tangannya, namun, tiba-tiba ku hentikan sesaat karena ada panggilan masuk dari sahabatku. “Wait. Aku terima telfon dulu. Penting masalahnya”

Wanita cantik itu mengangguk.

“Yes… whats up bro?” ujarku saat menjawab panggilan telfon.

“Bro. Sekarang saya sudah berada di perjalanan menuju ke Bandara.”

“Oh iya, lupa gue kalo hari ini lo mau cabut ke Jerman ya”

“Ya. Doakan saya.”

“Always bro.” balasku padanya. “Eh iya, lo bareng siapa ke bandaranya?”

“Di antar Robert” oh iya Robert. Adalah Assistenku di Indonesia, sudah cukup lama dia menjadi bawahanku.

“Trus, cewek lo gimana? Dia gak ikut nganter?”

“Saya sengaja menolak saat dia ingin mengantar tadi, karena saya yakin, saya akan sulit untuk meninggalkannya nanti saat sudah berada di Bandara”

“Fiuh… kadang cinta emang membutakan ya”

“Yes. Dan saya sudah benar-benar mencintainya bro”

“Sip semoga sukses ya bro. Nanti kalo gue balik indo, gue bakal ketemu ma ceweklo, kalo perlu gue jagain dah”

“Hmm, sepertinya saya ragu kalo hal itu bro”

“Anjir, lo ragu ama sahabat lo sendiri? Atau lo ragu kalo Amisya malah berpaling dari elu dan milih gue? Hahahaha….” saat berbicara seperti itu, tanpa sadar aku bersitatap dengan assisten klienku ini. Keningnya ku lihat mengernyit. Ah entahlah, apa yang di pikirkannya.

“Gak! Saya tak akan pernah ragu padanya, yang saya ragukan, caramu yang amat sangat licik dalam mendapatkan seorang wanita.”

“Hahaha. Sialan lo. Gak bakal bro. Gue akan amat sangat menghormati wanita yang di pilih sahabat gue, itu janji gue”

“Ya, saya juga hanya bercanda bro”

“Haha dasar lo…. Ya wes… sukses ya bro”

“Yes. See you again, Pak Erga Dirgantara.”

“See you again, Sahabatku, Arkana Ghali Sandjaja…”

Setelah memutuskan sambungan telfon, aku kembali fokus pada klien dan assistennya ini.

“Kenapa aku harus berpaling ke bapak?” tiba-tiba assisten klienku ini, celetuk.

“He?” masih gak ngeh, bro.

“Hehehe, nama dia sama seperti nama wanita yang Pak Erga sebutkan tadi di telfon” entah mengapa, saat mendengar itu, perasaanku agak sedikit tidak mengenakkan.

“Oh, jadi nama kamu Amisya juga ya?”

“Amisya Larasati, pak” wanita itu, kembali mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Tapi, tanpa dia sadari, tubuhku kaku membeku.

Nama itu….

Nama yang amat sangat jelas terekam dalam ingatan ini. Nama yang sudah amat sangat bosan ku dengarkan dari sahabatku. Apakah hanya faktor kebetulan saja, nama itu sama dengan pemilik di depanku ini?

“Pak Erga? Amisya nungguin loh” suara wanita itu, mengembalikanku ke-kesadaran.

“Eh iya. Maaf” kami pun akhirnya bersalaman, dan saling menyebutkan nama.

Perasaanku makin, dan semakin tak mengenakkan. Pertanyaan bertubi-tubi muncul di kepalaku. Apakah hanya kebetulan saja? Ataukah, kini, sahabatku sedang di permainkan? Sedang di manfaatkan oleh orang lain, demi sebuah keuntungan semata?

Tanpa menunggu lama, ku putuskan untuk membuka ponselku. Aku masih ingat, kala itu, beberapa tahun yang lalu aku menyimpan foto kecil sahabatku bersama sesosok gadis kecil. Dan dari foto itulah juga, dia memintaiku tolong untuk ikut mencari keberadaan sosok gadis kecil di sampingnya.

Anjirlah. Tanganku sampai gemetar membuka layar ponsel. Lalu ku skrol di bagian foto untuk mencari keberadaan foto tersebut.

Hingga….

Kini, di layarku sudah menunjukkan dua sosok anak kecil yang berdiri berdampingan. Sosok sebelah kiri, aku tahu jelas jika dia adalah sahabatku. Sedangkan sosok di sebelah kanan, yang akan ku perjelas saat ini. Kepada wanita cantik di hadapanku.

“Amisya nama kamu kan?”

“Iya pak. Kenapa emangnya?”

“Amisya Larasati, kan?” kembali aku memastikan. Wanita itu mengangguk. Wajahnya kini berubah, ekspresinya menunjukkan kekhawatiran.

Aku memutuskan, langsung menunjukkan layar ponselku padanya. Menunjukkan foto sahabatku bersama sosok yang di carinya selama ini. “Kamu kenal dengan foto ini?” Dan tanpa menunggu jawabannya, dari ekspresinya yang tiba-tiba kaget, serta dari matanya yang berkaca-kaca, aku langsung bisa mengambil kesimpulan. “Sepertinya kamu mengenalnya”

Wanita itu, mengangguk perlahan. “Foto ini di ambil di panti asuhan, Pak. Dan seingatku, foto anak cowok di sampingku adalah foto dari om dan tante yang ngasih sumbangan kala itu…”

Sialan….

Jadi, siapa yang selama ini bersama Arkana?

Tanpa menunggu lama, akupun beranjak dan meminta izin pada mereka berdua untuk mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang kan ku sesali di kemudian hari.



“Halo…. Arka. Gue pengen infoin sesuatu. Lo jangan kaget. Lo percaya ama gue kan?”

“Hmm yes, percaya… bahkan kepercayaan saya melebihi kepercayaan saya ke ketua dewan.”



“Jadi gini…………………………………………..”





Aku lantas menjelaskan secara detail pada sahabatku apa yang terjadi di sini. Dan jawaban yang ku dapatkan selanjutnya, “Robert… putar balik sekarang, batalkan tiket saya ke Jerman sekarang juga.” tenang sekali suara sahabatku yang ku dengar dari telfon. Bahkan seolah-olah ketenangannya itu menyimpan sebuah misteri, sebuah bom waktu di dalamnya. Kemudian, telfon pun di tutup tanpa mengatakan apa-apa lagi padaku.



Tut! Tut! Tut!
 
Ikut nangring ah seru nih
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd