Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Aku Benci Hidupku (Chapter 1)

arumor

Semprot Baru
Daftar
11 Dec 2021
Post
49
Like diterima
714
Bimabet
Namaku Della, seorang remaja berusia dua puluh dua tahun kelahiran ibu kota yang sekarang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di Bandung. Tak banyak hal menarik mengenaiku, hanya saja orang selalu bilang bahwa aku terlahir dengan sebuah keberuntungan; fisik yang menawan. Rambutku pendek se-bahu, berwarna hitam dengan sedikit variasi coklat yang kutambahkan di sebelah poniku. kulitku putih dan mulus, hasil dari tubuh yang kurawat selama ini. Banyak orang juga bilang bahwa wajahku cantik dan imut bak bidadari surga, hanya saja aku pikir mereka terlalu berlebihan. Aku merasa biasa saja, seperti wanita pada umumnya.

Tubuhku? Ah tentu tubuhku ideal. Payudara berukuran sedang ditambah dengan pinggang ramping dan bokong yang menonjol menghiasi bagian bawah tubuhku. Banyak tatapan pria terkunci ke arahku ketika aku berjalan di hadapan mereka. Satu dua wanita juga terkadang menatapku iri sambil berbisik, berkomat-kamit dan menggerutu di dalam hati.

Aku benci menjadi sorot perhatian. Aku tidak suka ketika para pria memandangku dengan tatap penuh nafsu seolah ingin sekali menikmati sensasi menyetubuhiku dengan liar. Namun bagaimana lagi, aku jelas tidak bisa mengubah penampilan fisikku. Aku hanya berharap ketika aku sedang lengah, tidak ada kaum pria yang menculik dan memperkosaku.

Selagi aku memikirkan tentang diriku, hujan turun di luar. Jutaan butiran air jatuh dari langit membasahi bumi. Sejenak kamar kost yang aku tinggali terasa lenggang.

*TING!*

Notifikasi handphoneku berbunyi, menampilkan sebuah pesan WhatsApp dengan nama Dimas sebagai pengirimnya.

“Lagi apa Dell”, tanyanya.

Dimas merupakan teman yang baik. Aku dikenalkan kepadanya oleh seorang dosen kampusku yang kala itu menyatukan kami dalam sebuah project penelitian ilmiah. Perawakanya tinggi, tubuhnya sediit berisi. Rambut hitam selalu tersisir rapih menutupi kepalanya. Wajahnya bisa dibilang tampan. Tidak heran banyak wanita yang mengejar-ngejar pria itu, berharap bisa menjadi pacarnya kelak.

Namun Dimas tidak mudah ditaklukan. Wataknya yang sentimental dan tegas membuat terkadang banyak wanita berfikir dua kali untuk mendekatinya. Dia pun nampak tidak begitu tertarik dalam dunia 'pacaran’, terlihat dari gerak-gerik dia yang jarang melibatkan perempuan dalam aktivitasnya. Disamping itu, dia lebih fokus mengejar kesempurnaan nilai dalam mata kuliah yang dia ambil, meraih IP tertinggi dalam angkatanya.

Semenjak kami sering mengerjakan karya tulis ilmiah bersama, ikatan kami menjadi lebih erat, dari yang awalnya hanya sebatas kenalan, kini berubah menjadi teman dekat. Perlahan, kami mulai membuka diri satu sama lain, berbagi kisah atau membicarakan tentang masalah hidup yang kita alami.

Aku menghela nafas sejenak, sebelum jemariku beranjak mengetuk layar hanphone, membalas pesan Dimas.

“Ga ngapa-ngapain Dim, lu?”, tanyaku balik.

“Sama, ga ngapa-ngapain sih. Hujan gini bikin mager. Paling pengen tiduran sambil stalking orang haha”

Nge-stalk? Dimas suka nge stalk orang? Aku baru tau hal itu. Aku tidak menyangka ternyata Dimas juga bisa kepo terhadap kehidupan seseorang.

“Kamu nge stalk siapa hayo? Cewek ya?”, godaku.

“Bukan siapa-siapa”, jawabnya singkat. “Lagi pengen bikin sesuatu berdiri aja”, sambungnya.

Aku tidak begitu mengerti kalimatnya. Apanya yang berdiri? Jadi aku hanya balas dengan kata “hehe” saja, berharap percakapan aneh ini segera berakhir. Dimas tidak membalas pesanku selama beberapa menit setelah itu, namun tanpa disangka-sangka, ia justru menelfonku secara tiba-tiba. Aku mengangkatnya dengan ragu.

“Halo, dim, kenapa?”, tanyaku.

“Mmmh… Dell.. Ahhh… Sshhh… Ahhhh… Ngghhh”

Tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari Dimas melainkan suara desahan dan geraman, seolah nafasnya sedang memburu.

“Dim lu kenapa? Halo?”, aku mulai cemas. Suara geramanya terdengar semakin nyaring. “Kamu kecelakaan? Hei, halo!”, tanyaku.

“Ssshhh, ahhh, Delll…. Mmfffhhh”, desahnya.

Aku semakin bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi dengan Dimas? Apa yang dia sedang lakukan? Aku memberanikan diri untuk menaikan volume dan mengubah mode panggilan menjadi loudspeaker.

Perlahan, secara samar terdengar bunyi ‘Sreg sreg sreg sreg sreg', seperti ada sesuatu yang sedang digosok, atau mungkin dikocok? Entahlah. Apapun itu, membuatku semakin penasaran.

“Ahhh Dell dikit lagi… Mffhh.. Ssshh… Dikit lagi”, desahnya.

“Apanya dim? Apanya yang dikit lagi??”, aku mulai resah.

“NGHHH DELL.. AGHHH”

*Beep*

Pria itu menutup telfonya.

“Halo? Halo dim?! Dih gajelas, napa sih tuh anak”, kataku sembari menekukkan alis, memasang wajah kesal.

Tak lama, Dimas mengirimkan pesan singkat berisi permintaan maafnya yang menjelaskan bahwa ia tak sengaja menekan tombol telfon ketika sedang berolahraga.

Aku ber 'oh' pelan. Berusaha untuk berfikiran positif, aku hanya berharap apa yang ia katakan benar

Suasana kamarku kembali lenggang.

Hujan masih berlangsung di luar sana. Kian lama kian deras rasanya, membuat hawa semakin dingin, menusuk pori-pori kulitku. Kurebahkan badanku di kasur, lalu kutarik selimut tebal untuk menutupi tubuhku. Kulirik jam di ponselku, waktu menunjukan pukul delapan malam, masih terlalu dini untuk tidur, namun aku tidak bisa melawan rasa kantukku.

Malam ini, biarlah rasa lelah membawaku jauh pergi ke alam mimpi. Tak lama, kelopak mataku tertutup dengan sempurna, membuatku tertidur dengan lelap.




Kesibukan kampus kembali mendatangiku keesokan harinya. Pagi sekali aku harus mandi dan berangkat ke kampus, mengejar waktu yang terus memburu. Untung saja supir angkutan umum yang kunaiki sedang bersahabat hari itu sedikit kata “segera” dariku membuat ia dengan semangat menancap gas tanpa ragu.

Rutinitasku sama seperti weekdays anak kampus pada umumnya. Masuk kelas, mengerjakan tugas di perpustakaan, menghadiri beberapa pertemuan organisasi, lalu pulang.

Hanya saja, hari ini berbeda.

Selesai jam mata kuliah yang terakhir, tepatnya ketika aku sedang bersiap untuk pulang, Dimas menghampiri kelasku. Matanya langsung menatap wajahku diantara puluhan mahasiswa lainya yang masih berada di dalam kelas.

“Dell”, sahutnya dari kejauhan. Aku menoleh. Pria itu berjalan perlahan menuju bangku tempatku duduk. “Eh, kenapa dim?”, tanyaku.

“lu free ga sore ini?”

“Iya sih, aku pengen istirahat, kenapa Dim?”

“Kagak, tadinya gw mau ngajak hang out sambil bahas project kita yang di kasih pak Broto itu, inget ga? Akhir bulan penelitian kita harus udah beres loh”, tegasnya.

“Eh iya ya. Duh gimana ya?”, jawabku dengan cemas.

“Yaudah, lu balik ikut gw aja dulu ya? Biar agak nyantai dikit kita ngerjain penelitianya di apartemen gw”, ajaknya.

Duh bagaimana ini? Memang sudah biasa aku mengerjakan banyak hal dengan Dimas berdua, namun kami biasa mengerjakannya di tempat-tempat umum seperti KFC, Kafee atau taman kota. Kali ini Ia justru mengajakku ke apartemen nya.

Apa yang harus kujawab kali ini?

“Iya in aja lah Dell!”, suara wanita dari belakang tiba-tiba mengagetkanku. Dia Adalah Aura, teman sekelasku. “Kapan lagi ya kan berduaan sama cowok ganteng kek Dimas hahaha”, gadis itu tertawa sekilas. Aku segera menyikut tubuhnya. “Apasih Ra!”, cetusku.

Tanpa sadar, wajahku memerah. Aku menghembuskan nafasku perlahan lalu berusaha berfikir dengan jernih. Baiklah, sudah kuputuskan. “Iya ayo deh Dim, tapi bentar aja ya, jangan lama-lama, takut orang mikir macem macem”, ujarku.

Seketika senyum menghiasi bibir pria itu. “Yaudah, siap-siap, gw tunggu di mobil ya Del.

Aku mengangguk pelan, kemudian lanjut memasukan buku dan laptopku ke dalam tas.

“Beruntung banget sih lu Dell, bisa dideketin cowok perfect kayak Dimas gitu. Iri banget gw”, ujar Aura.

Aku berusaha untuk tidak peduli san mengabaikan kata-kata temanku tersebut.

Langit sore menyambutku seketika aku keluar meninggalkan kelas. Kulihat dari lantai tiga tempat kelasku berada, Dimas sudah beraiap menungguku dengan mobilnya di depan gerbang kampus.

Segera, aku menaiki lift, lalu turun, berlari menghampiri pria yang sedang menungguku itu.

Di mobil, kami lebih banyak diam, bahkan hingga kami tiba di apartemen yang ia tinggali, kami tidak banyak berbicara. Aku pun enggan bertanya.

Kami menaiki lift untuk sampai di lantai sepuluh, berjalan melewati lorong yang panjang untuk sampai ke kamarnya. Sebelum ia membuka pintu, aku menghentikan lengannya.

“Eh gapapa aku masuk? Maksudnya… Aku kan cewek”, tanyaku dengan ragu.

“Ya gapapa kali, santai aja”, jawabnya.

Aku menggangguk dengan pelan. IniIni adalah kali pertama aku masuk ke dalam kamar cowok, terlebih lagi hanya berdua.

Pintu terbuka, dan kami melangkah masuk.

Detak jantungku tiba-tiba berubah menjadi cepat. Ada apa ini? Perasaan apa ini? Seketika pikiranku traveling kemana mana. Langkah kakiku terhenti sejenak.

“Kenapa Dell? Ayo masuk aja. Duduk di kasur situ, tar gw buatin minuman dulu. Lu siapin aja laptop sama berkasberkas yang mau kita bahas, tar gw nyusul”, cetusnya.

Aku menurut.

Sekilas, aku melirikkan mataku ke sekeliling ruangan tempat pria ini tinggal. ‘bagus’, kataku dalam hati. Tidak ada sampah berserakan sedikitpun, buku buku berjejer rapih di lemari, ditambah dengan beberapa lukisan yang tergantung di dinding, menambahkan nilai aesthetic pada ruangan ini.

Aku kemudian duduk di kasur, tempat yang Dimas tunjuk. Sepertinya ini tempat ia biasa tidur. Kasurnya tertata rapih sedemikian rupa.

Memang, Tak salah jika orang mengatakan bahwa Dimas adalah seorang perfectionist. Lihat saja bagaimana cara ia menjalani kehidupanya.

Aku segera mengeluarkan laptop dan beberapa tumpukan kertas dari dalam tas ku. Kutaruh semuanya di meja kecil yang terletak di samping tempat tidur milik Dimas.

Beberapa menit kuhabiskan untuk menunggu.

Namun tanpa di sangka-sangka, Dimas justru muncul dengan keadaan telanjang, dan hanya sebuah anduk putih yang menutupi bagian bawahnya. Seketika aku langsung berteriak kaget, menutup wajahku dengan kedua tanganku. “ASTAGA DIMAS, KAMU APA APAAN?!”, Teriak ku.

“Eh iya sorry Dell, gw mau mandi dulu, gerah”, jawabnya dengan santai.

“Ya jangan telanjang depan aku juga kali dim yaampun”

Dia hanya tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dimas tetap berdiri di sana, tak kunjung pergi.

Perlahan, kuberanikan diri untuk mengintip dibalik jemari tanganku. Tubuhnya yang besar dengan otot six pack menghiasi perutnya. Aku tak menyangka Dimas ternyata memiliki tubuh yang atletis.

Kulirik bagian bawah tubuhnya. Nampak batang kemaluan pria itu menonjol dari balik handuk yang ia gunakan untuk menutupinya. Detak jantungku berubah menjadi semakin cepat, nafasku menjadi tidak teratur. Arena vaginaku yang sensitif terasa gatal seketika. Sesekali aku menggerakan pahaku, menggesek-gesek area itu.

“Heh ngapain kamu berdiri di situ aja, sana pergi mandi!”, teriak ku.

“Eh iya, ngapa gw berdiri di sini ya? ok bentar gw mandi dulu”, ujar pria itu seraya membalikan badanya, berjalan pergi ke arah kamar mandi.

Hawa terasa panas seketika, bahkan AC yang menyala dengan suhu -18° celcius tidak bisa mengalahkan rasa gerah yang mendadak hadir tak terkira. “Apaan sih si bego”, gerutuku dalam hati, mengingat kejadian yang barusan aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.

Aku melepaskan cardigan hitam yang kukenakan. Kuraba tubuhku yang seketika basah oleh peluh.

Belum sempat aku mengatur nafasku, pria itu kembali, masih dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Eh?!”, seruku kaget. Kali ini aku tidak menutup wajahku.

“Dell, udah lah gaperlu basa basi karena gw juga ga pinter nyembunyiin apa yang gw rasakan”, ujarnya. Pria itu kemudian membuka balutan anduknya, melemparkan benda itu ke kursi di pojok ruangan.

Penis besar miliknya berdiri tegak dan kokoh menyapaku yang berseru kaget di tempat tidur.

“Sange banget gw Dell… Ngewe yuk sekarang?”, ajaknya. Pria itu kemudian berjalan dengan cepat ke arahku.

Eh? Eh? Eh? Ada apa ini? Kejadian ini terjadi begitu cepat. Sulit sekali otakku mencerna apa yang sedang terjadi. Aku bingung harus berfikir apa? Harus bertindak apa?

Seketika tubuhku terkujur kaku tak bergerak. “Eh? Dim? Dim?!”, teriak ku.

Tubuh telanjangnya yang besar mendorong dan menindihku seketika. Wajahnya mendekat ke arah wajahku. Nafasnya menderu kencang tak beraturan. “Dim, eh? Sebentar.. Nghhh.. Dimass”, seruku, berusaha memberontak, mendorong tubuhnya agar menjauh.

Perlahan, Dimas mendorong-dorong tubuhnya, menggesekan batang penisnya yang sudah mengeras ke pahaku. “DIM! Nghhh, jangan!... Hgghh”, teriak ku.

Aku masih sulit berfikir. Bagaimana mungkin Dimas yang selama ini kukenal, Dimas yang selama ini menjadi panutan banyak orang, Dimas yang selama ini menjadi teman baik ku, justru pada detik ini berusaha menyetubuhiku dengan liar..

“Dim, jangan gini…”, pintaku. Air mataku sejenak menetes, membasahi pipiku, membuat pergerakan pria itu terhenti seketika.

“Dell”, ucapnya dengan pelan. “Maaf ya kalo kayak gini keadaanya, tapi gw udah lama banget suka sama lu. Gw pingin banget jalan sama lu. Gw pingin banget menghabiskan banyak waktu sama lu”, sambungnya. Ia perlahan menjauhkan wajahnya dari wajahku.

“Tapi ga kayak gini juga kan dim? Kamu ga harus nidurin aku kayak gini? Kamu pikir aku suka apa diginiin? Mikir dikit pake otak, jangan pake titit!”, bentakku sambil menangis.

Pria itu terdiam.

“Kamu kalo nidurin aku kayak gini gaada bedanya sama cowok laen yang sange liat aku kalo jalan depan mereka. Bedanya kamu sekarang udah kejauhan dim!”

Dimas tetap terdiam, menatapku dengan takzim. Aku mendorong tubuhnya menjauh lalu beranjak duduk di kasur, merapihka. Pakaian yang aku kenakan.

“Aku mau pulang”, pintaku.

“Kata siapa kamu boleh pulang?”, tanya Dimas. Wajahnya kini berubah menjadi serius.

“Eh?”

“Gw belum sempet ngerasain badan lu, kata siapa lu boleh pulang?”, ujarnya dengan tegas. “Gw udah sejauh ini, tanggung, gw perkosa aja sekalian lu.”, sambungnya.

Kupikir amarahku tadi bisa merubah suasana, namun tidak. Aku justru memperburuk dengan meneriaki pria yang akan meniduriku. “Eh? Jangan bego-bego kamu dim…”, ujarku dengan nada bergetar. Aku takut.

“Maaf Dell, lu gabisa gw lembutin kepaksa gw kasarin dikit”, cetusnya.

SEETT!

Pria itu kembali bergerak, kali ini lebih cepat dan lebih brutal.

Ia menarik celana jeans beserta CD berwarna putih yang kupakai. “DIM.. DIMAS!! JANGAN! NGHH!”, Teriak ku. Aku berusaha sekuat tenaga menahan lengan besarnya agar tidak terus bergerak menarik celanaku, namun sia sia.

SREEET,

Sedetik kemudian, bagian bawahku sudah terbuka sempurna tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Secepat kilat aku langsung menutupi vagina ku yang ter-ekspos.

Mata pria itu memandang bagian bawah tubuhku dengan penuh nafsu.

“Gila ya, lu masih perawan toh? memek lu putih banget, gaada bulu nya lagi, makin sange gw Dell”, ujarnya.

“APASIH DIMAS!” Teriakku sambil menangis. “kamu jangan kayak gini ke aku.. kalo kamu suka sama aku, bicarain baik baik, jangan kayak gi-“

“Bacot”

Pria itu memotong kata-kataku. Seketika, ia langsung membenamkan wajahnya di area vaginaku. Salah satu tanganya yang nakal meremas payudaraku dengan keras. “Ahhh, Dim, jangan!” teriak ku.

Perlahan, kurasakan lidah pria itu menembus lubang surgaku, bermain didalamnya dengan liar. Sesekali ia menghisap dan menjilat ke sana-sini

SLUURRPPHHH… SSLLEERPPPHH… CPLAAK.

“Aghh.. Mhmmm… Dimm… Jangan…”, desahku.

“Mhh? Kenapa? Enak kan lidah gw?”, tanyanya.

Aku berusaha menjauhkan kepalanya agar menjauh dari selangkanganku, namun tenagaku tak sebanding denganya.

SLUUPPHHHHH

“OGHHH! NGHH!!”, Suara ku memberat, nafasku tersendat.

Eh?

EH? Apa ini?

Kenapa terasa nikmat?

Eh? Aku menikmati ini?

“Mhhmm.. enak kan sayang? Mffhhh… Memeklu udah basah Dell”, godanya.

SLUUPHHHH… SSLLLEEPHHH

“Ngghh..” aku tak membalas godaanya. Tanpa kusadari tanganku berhenti mendorong kepalanya. Kini aku justru mencengkram bantal yang ada di sebelahku dengan kuat

Vaginaku terasa basah. Lendir yang keluar secara alami dari kemaluanku dicampur dengan air liur Dimas yang masih tertinggal di area itu membuat kemaluanku becek tak karuan.

Namun apa ini? Kenapa terasa nimat sekali sensasinya ketika Dimas memainkan lidahnya di dalam kemaluanku? Perasaan nikmat itu membuatku berhenti melawan.

“Nah gitu dong..”, ujar Dimas. “Udah nikmatin aja ya Dell? Gausah ngelawan”, sambungnya.

Aku tak menjawab, juga tak melawan. Kali ini kupasrahkan saja tubuhku kepadanya. Entah apa yang akan terjadi kedepanya, aku tidak peduli lagi.

Tangan pria itu kemudian bergerak, melepas kaos ku. Jemarinya bergerak lincab menanggalkan clip bra yang akun kenakan.

Kini aku telanjang bulat, terkapar tak berdaya di kasur milik nya. Aku berusaha tak menatap wajahnya saat itu.

“Hahhh.. hahh.. Gila badan lu bagus banget…”, sahutnya.

Ia kembali bergerak, menindih tubuhku secara tiba-tiba. Kini lidahnya mengganti sasaran menuju leher dan ketiak ku. Setiap inchi gesekan lidahnya perlahan membuatku ikut terangsang.

Degh… deg… deg.. deg…

Detak janjutngku menjadi semakin kencang. Nafasku menjadi tak beraturan. “Ahhh.. Shhh… Ngghhhh… Shhhh”. Hanya desahan yang keluar dari mulutku saat itu.

Aku yakin kali ini aku sudah terbawa suasana. Benci kuakui, aku sudah terangsang hanya dengan permainan lidahnya yang hebat.

SLUURPPHH,

Permainan lidahnya seketika berhenti. “Tadi gw jilatin lu, sekarang lu isep punya gw dong dell”, ujarnya, sembari memegang penis yang berukuran besar itu.

Aku seketika menggeleng. Bagaimana bisa benda itu bisa muat di mulutku?

“Coba dulu, sini”

Tanyanya kemudian mendorong kepalaku agar mendekati penisnya. Secara otomatis, entah kenapa, tapi mulutku terbuka dengan sendirinya, memasukan batang milik Dimas ke dalam mulutku.

“MHHMMM OHH YEAH BABY”, Ujarnya, menikmati sensasi hangat rongga mulutku.

SLUURRPHHH… SLUURRPPHHH

Besar sekali, aku nyaris tidak bisa bernafas. Aku hanya memejamkan mataku seraya pasrah mengulum penis besar pria itu di dalam mulutku. Sesekali aku tersedak, menelan air liurku sendiri.

Dimas kemudian mendorong pinggulnya maju dan mundur sembari menjambak rambut hitamku yang terlihat berantakan. “Mhhmm.. Ahhh.. Jing enak banget mulut lu Dell… Shhh… Mhhgghhh”, desahnya.

SLEPPH..

Tak lama, ia mencabut penisnya dari dalam mulutku. “HGHHGG.. Aghh… Dim, jangan kasar kasar…”, geramku yang berusaha kembali mengatur pernafasanku.

Mengabaikan kata-kataku, Dimas kini justru melemparku ke atas kasur, lalu Ia melebarkan kedua pahaku. Penisnya tepat berada di depan pintu Vagina yang sudah basah itu.

“Ngga ngga ngga!”, berontak ku, berusaha melipat pahaku. “Jangan perawanin aku dim, Nghhhh”, ujarku.

“Diem aja napa? Tar juga enak”, jawabnya dengan santai. Kini Ia berhasil kembali membuka lebar kedua pahaku. Agar tidak kembali menutup, Ia sengaja menindih badanku dengan badanya.

“Kamu ga paham dim! Kamu ga mikirin ke depanya bakal gimana!”, teriak ku.

Seperti dugaanku, Ia tetap tidak peduli.

“Gw masukin ya? Tahan…”

Pria itu kemudian mendorong perlahan penis besarnya masuk ke dalam bibir vaginaku.

“SAKIT! KELUARIN! AHHHHH”, Teriak ku menahan rasa perih. Ini terlalu besar, tidak akan muat! “DIMAS, SAKIT! NGGHHHH, PERIH!”.

Darah segar perlahan mengalir dari rongga vaginaku. Aku sekarang resmi kehilangan keperawananku.

“Ngghhh sempit!”, geram pria itu.

“YA UDAH KELUARIN, PERIH!!”, teriak ku sambil berusaha menahan air mata.

“Sebentar lagi masuk semua, tahan sayang”.

Nafasku tersendat. Detak jantungku tak karuan. Pikiranku kacau balau.

Tak lama kemudian…

JLEEEBBBBBB!!!!

Dimas memaksa mendorong tubuhnya maju. “NGHHHH!!! Ohhhh!!!”, geramnya. “SAKIT! DIM SAKIT AHHHHH”.

Dimas perlahan mulai mendorong maju dan mundur pinggulnya secara perlahan. Penisnya bergerak di dalam rongga vaginaku yang masih sempit, mencengkram dengan erat batang kemaluan pria itu. “Ahhh akhirnya gw perawanin lu. Mffhhh enak banget jing”, sahutnya, menunjukan wajah bahagia.

“Ngghhh…. Ahhh… Dimas… Jangan… Udahhh…”, tangisku perlahan pecah.

“Mhhh… Ahhhh.. Ssshhh Diem lu”, bentaknya sambil terus menggenjot.

JLEEEBBBBBB… JLEEBBB… JLEEEBBB…

Perlahan, lubang vaginaku melonggar. Kini tak begitu terasa perih saat ia bergerak maju dan mundur, mendorong penisnya keluar dan masuk. “Ahhh… Nghhh…”, teriakanku perlahan berubah menjadi desahan.



“Ahhh… Delll.. Mhhmmm.. Ahhh…”

“Dim… Nghh… udahhh”, pintaku.

“Tapi enak kan? Ahhh.. Ahh…”

Aku tak menjawab.

Tiba-tiba, mulutnya mendekat ke arah payudaraku. Perlahan ia mulai menghisap putingku dengan liar. “Mhhhhhh Ahhhh, seger banget”, ujarnya.

“AHHH, Dim, jangan isep situ.. mhhhhh aku sensitif di situ”

“Masa? Yaudah gw isep lebih mantep nih”

SLUURPPHHHHHHH

“AGGGHHHH!! NGGGHH E-Enak… Ahhhhhh” geramku. Lagi lagi suaraku memberat, tanda aku benar benar menikmati permainanya.

Dimas terus menggenjot tubuhku sembari terus menghisap putingku dengan liar. Keringat mulai membasahi tubuh kami, bercampur menjadi satu, menambahkan tinggkat hawa nafsu yang kian lama kian meningkat.

JLEEBB… JELLBB… JLEEBBB

SLUURPPHHH…

Sial, lidahnya sangat liar. Aku klimaks. Detak jantungku kembali memburu.

“Ah… ahh.. Dim… Dim, udah dulu… akh mau pipis… Nghhh dimmm jangan jilatin aku terus…”, desahku.

“Mmm? Mau pipis enak? Mau orgasm ya? Sini kubantu”

SLUUUPPHHHH.

“AHHH DIMAS…!! DIMASSS!!!” Sial, aku sudah tidak kuat, aku sudah mencapai puncak ku! “NGHHHH AHHHHH!!!!”

Otot-otot tubuhku mendadak tegang, detak jantungku berhenti sejenak, nafasku tersendat. Rongga vaginaku mencengkram batang penis Dimas yang berada di dalamnya. “Uhhhhhh Nghhhh” Ini sensasi yang menakjubkan. Tubuhku menggeliat tak karuan.

Brugghhhh… aku terkapar kembali. Dimas membiarkanku mengatur nafasku kembali untuk sesaat.

“Ahh… ahh . Hahh… enak kan De rasanya klimaks? Hahahah”, tanyanya.

“Ahh… brengsek kamu dim… hahh.. hahh… Nggnn… Cabut titi kamu sekarang…”

Ia menggeleng. “Gw belum crot, sabar”, jawabnya.

“Eh?”

“Ya gw belum klimaks, gw masih nafsu”

“Eh kamu keluarin di luar ya? Jangan di dalem? Ya?!”, teriak ku dengan panik.

“Iya”, jawabnya acuh tak acuh.

Permainan kembali berlanjut. Dimas mengangkat tubuhku, membuatku menungging lalu ia menusuk ku dengan penisnya dari belakang.

JLEEBBBB

“Ahhh… Nghhh”, geramku.

“Ahhh… Nghh.. fuckk..Nghhh.. “

JLEBB JLEEBB JLEEEBBB

Doggy style ini berlangsung cukup lama. Ia terkadang bertindak kasar, menjambak rambut ku lalu mempercepat genjotanya.

Tubuh besarnya bergerak maju dan mundur, aku pun hanya bisa menikmati tanpa bisa berbuat apapun.

“Ahhhh.. Ahhh… Ngghhh…. Dell gw mau keluar… Gw mau crot… Ahhh”

Aku menoleh kaget.

“Eh di luar. Cabut! Cabut sekarang”, ujarku dengan panik.

“Bentar.. Ahh… Bentar, enak banget….”, Kata Dimas, terus memompa

“Ahhh.. Ahhh Udah …. Akugamau hamil… Dim udah dim…!”

Alih alih berhenti, ia justru mempercepat genjotanya. “Ahhh.. Ahh.. Della… Della gw mau crot… Ahhh”

JLEEEBBB JLEEEBB JLEEEBBBB

Aku berteriak panik. Air mataku mengalir dengan deras.”AHHH.. AHH JANGAN.. CABUT.. ANGGGHHH”

“DELL.. DELL AHHHHHHH”.

CRROOOOTTTTT… CROOTTTTTTTTT

Pria itu menembakan spermanya di dalam vaginaku. Ia sama sekali tidak mencabutnya.

“Aghhh… aahh…. Hahhh…”, desahnya.

“Ngghh.. Ahhh… Eh..?”

Eh? Hangat? Eh? Dia keluar di dalem?. “Eh kamu keluar di dalem?? Ehh….”

“sorry.. keenakan”, katanya dengan santai.

Plop!

Pria itu kemudian mencabut penisnya. Cairan kental berwarna putih mengalir keluar dari lubang vaginaku. Aku terduduk sembari menunduk, menatap kemaluanku yang sudah tak karuan ini.

“Dim.. Dim kamu kenapa keluar di dalem? Ahh…” aku memijat minat vaginaku, berusaha mengeluarkan sisa spermanya yang masih berada di dalam vaginaku. Air mataku kembali mengalir.

Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana nanti masa depanku?

“Santai, gw tanggung jawab”, jawabnya.

“Ga segampang itu… Mhhh….”

Malam itu terasa panjang. Kami berdua berbaring saling menatap.

Pada malam itu, aku pasrahkan saja semuanya kepada tuhan. Aku tidak peduli lagi.





The end.
 
lho kok the end? masih ada sambungannya kan gan?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd