Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

Part 08 Kelabu di Ujung Pelangi

Sinar matahari selepas hujan membuat pelangi di halaman belakang rumah sempit ini. Aroma basah tanah karena disiram air suci yang turun dari langit membuatku rileks dan tanpa beban. Lamat-lamat, kuderas quran sambil menunggu Dzuhur tiba.

Sajadah telah kugelar sedari tadi.

“Allahuakbar… Allahuakbar…”

Sayup-sayup, terdengar suara adzan. Seperti biasa, suara itu milik Bang Fatih, marbot masjid yg juga penggali kubur di desa kami. Entah berapa kali ia melihat mayat dan kematian.

Aku tak tahu, ketika melihat kesedihan orang lain berkali-kali, apakah seseorang akan jadi lebih bahagia?

Kurasa ia sudah kebal dengan berbagai macam isu horor di kampung kami. Mulai dari cerita hantu tanpa kepala, sampai santernya penyebab kematian salah satu pejabat desa, yang diduga karena ilmu hitam. Sebuah kisah lama yang membuat bulu kuduk merinding.

Kupandang lekat tempat sujudku. Kumulai niat untuk sholat yang tak begitu fokus. Kepalaku masih memikirkan apa yg telah terjadi sepagian ini.

Dalam sujudku, tanpa terasa air mataku meleleh, sepenuhnya menyadari dosa dan kesalahanku. Khianatku pada suami yg baik hatinya. Pemuasan hasrat birahi yang bermuara pada dosa besar.

"Assalaamu'alaikum warohmatullah… Assalaamu'alaikum warohmatullah… "

Tak bisa kupungkiri, Joe telah memberi surga dunia di kebun tandusku, mengalirkan air di telaga keringku. Ialah lelaki yang diidam-idamkan banyak akhwat di kampus. Good look. Tinggi badannya, dan tinggi pula penghasilannya.

Belum lagi… Alat kelaminnya yang… Ah, sudahlah.

Jika ingat itu aku jadi kedutan sendiri. Ya Tuhan, Ampuni khilaf hambamu ini.

BRREEEMM.

Terdengar sebuah deru mobil yang parkir di depan kontrakanku. Apa mungkin mobil dinas Mbak Winarti? Tapi suaranya terdengar berbeda.

DOK DOK DOK. "Assalaamu'alaikum!!"

Setengah kaget, kusahut suara salam yang demikian keras yang sudah pasti di depan pintu rumah ini.

"Wa'alaikumsalaam! Tolong ditunggu!"

Tergesa-gesa, aku tak sempat berpikir untuk memakai gamis dan hijab lebarku.

Karena panas, biasanya aku memang tak memakai apa-apa lagi di dalam mukena.

"Biarlah. Mungkin hanya sebentar. Toh mukenaku cukup tebal. Tak akan ada yang tahu jika aku tak memakai bra dan celana dalam," pikirku dalam hati.

"Assalaamu'alaikum!!" suara itu kembali mengeras. "Iya wa'alaikumsalaam! Bentar yaa..." jawabku lagi.

"Ya ampun, nggak sabaran amat sih," gerutuku dalam hati.

Sempat kuintip sekilas dari jendela, di luar telah berdiri seorang lelaki tua berperawakan besar sedang memegang pipa rokok dari tanduk kerbau. Asap mengepul di depan wajahnya.

Dengan topi koboi warna coklat yg khas, aku yakin itu Pak Sularso.

Dialah pemilik kontrakan sekaligus tuan tanah yang ditakuti di kampung ini.

Menurut selentingan yang kudengar, Juragan Larso (demikian julukan yang kudengar dari orang-orang) juga sering "membantu" para petani jika masa paceklik tiba.

Kurasa ia juga menggandakan uangnya dengan menjadi lintah darat bagi orang kampung. Jika tak mampu membayar, ia tak segan menggunakan kekerasan, dan 'menyita' sawah, kebun, tanah, rumah, kendaraan, apapun harta milik 'nasabah'-nya.

Ia datang bersama centeng abadinya.

Seorang lelaki kekar bertato yang setia menjadi anjing penjaga tuannya. Kalau aku tak salah ingat, namanya Bang Sobrun. Codet di mukanya turut menambah kesan angker dan menyeramkan.

Jantungku berdebar. Tanganku sedikit gemetar. Semoga mereka tak datang untuk menagih hutang.

CEKLEK. CEKLEK.

"Mana Rohim?" katanya dengan kasar ketika aku membuka pintu, tak memberikanku kesempatan untuk sekadar menarik nafas.

"Ma-maaf Pak, suami saya sedang tidak ada di rumah. Ad-ada keperluan apa ya, Pak?" tanyaku terbata-bata.

"Halah… Sampean… Jangan pura-pura bodoh, ya!" bentaknya sambil merangsek masuk ke dalam. Masih dalam keadaan memakai sepatu boot kulitnya.

"Sudah saya bilang, suami saya sedang tidak ada di rumah, Pak," kataku dengan emosi yang mulai meluap.

"Hlah, saya ini kan yang punya kontrakan toh? Masak saya ndak boleh masuk rumah saya sendiri?" gertaknya, membuatku semakin murka. Tapi aku tak bisa apa-apa.

"Rohim itu sudah berapa bulan ndak bayar kontrakan? Heh?"

"Ma-maaf Pak, pasti kami bayar. Kami tidak akan kabur… Saat ini memang kami belum ada uang," kataku berusaha meyakinkan.

"Kalau kalian ndak punya duit, jangan ngontrak di sini. Silakan tidur di kolong jembatan saja sana… Gembel bludus…"

“Astaghfirullah,” gumamku.

Kami memang miskin, tapi tak sepantasnya dia berbicara dengan nada merendahkan seperti itu. Apalagi, apa itu tadi? Bludus? Apa itu artinya? Sesuatu yang tak enak didengar pastinya.

"Silakan tunggu sebentar, Pak," kataku. "Saya hubungi suami saya dulu," tukasku lagi, mencoba bersabar dan menenangkan diri.

Kulihat Bang Sobrun sempat berbisik-bisik dengan Pak Larso. Setelah itu, keduanya menatapku sembari menahan senyum. Apa maksudnya?

"Ya sudah, sana! Kami tungguin…" katanya dengan pongah.

Aku kembali ke dalam kamar dengan perasaan sedih. Perjalanan nasib membuatku dan suami hidup serba kekurangan dalam laut kegetiran. Tak jarang, kami harus makan seadanya di akhir bulan.

Kuambil handphone dengan jemari gugup. Aku tak boleh larut dalam kondisi sulit ini.

Aku yakin di seberang sana suamiku akan memikirkan solusinya.

CEKLEK.

Aku terperanjat ketika berbalik, Pak Larso dan Bang Sobrun sudah berani ikut masuk ke dalam kamar!

"Ap-appa yang… Tolong tunggu sebentar di luar, Pak! Saya sedang hubungi suami saya…" kataku sembari ketakutan bercampur marah.

Berani sekali dua orang ini masuk ke ruangan pribadiku? Sungguh tidak sopan!

"He he he he he…"

Keduanya menyeringai seperti serigala mendapat domba segar. Bulu leherku bergidik ketika kulihat Bang Sobrun mengunci pintu kamarku dari dalam.

Bodoh! Mengapa bukan aku duluan yang melakukan itu sebelum mereka masuk?

"Dik Rissa… Sudahlah, Dik… Kita selesaikan dengan damai saja…" kata Pak Larso, masih sambil memegang pipa rokok legendarisnya.

Gigiku kukatupkan menahan gemeretak. Apa yang dipikirkan bandot tua ini? Yang kutahu dari orang-orang, Pak Larso ini memang otaknya berpasir.

"Saya tahu Dik Rissa ini butuh belaian. Bagaimana kalau kita barter saja, hm?"

GLEK. Mataku melotot.

"Ma-maksud Bapak ap-apa?" jawabku gelagapan. Nafasku tercekat.

"Layani saya, dan saya anggap kita impas, bagaimana?" katanya sembari makin mendekat ke arahku.

Handphone kupegang erat dengan kedua genggaman tangan yang kusilang di depan dada. Aku merasa takut sekali.

"Sudahlah Dik Rissa, Bapak tahu adek ini kan kepengen banget… Tuh, buktinya cuma pake mukena tapi ndak pake BH, ha ha ha ha ha!"

Astaga! Mengapa dia bisa sampai tahu? Mukenaku sedemikian tebal. Rasa-rasanya tak mungkin kalau…

"Hi hi hi hi…" Pak Larso terkikik sambil mulai berani mengelus pipi dan menggenggam bahuku. Segera kutampik tangannya yang menjijikkan itu.

SLAP! Dengan secepat kilat, handphone yang kugenggam dirampas oleh Bang Sobrun. Aku jadi semakin terjepit dalam kondisi yang tak menguntungkan.

"Ja-jangan kurang ajar ya, Pak!" kataku melawan.

"Hlo, yang kurang ajar saya atau sampeyan? Kan sampeyan yang ndak pake daleman? Ha ha ha ha… "

Keduanya kembali tertawa terbahak-bahak. Nyaliku ciut. Tenggorokanku mendadak kering.

"Saya mohon. Silakan keluar! Sekarang! Kalau tidak, saya akan…"

"Akan apa?? Heh!? Mau teriak? Silakan! Tapi teriakan kamu bakal jadi teriakan yang terakhir!" Pak Larso mengancam balik.

Dari saku celananya, dia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mulai memainkannya.

Ya Tuhan! Tolong aku. Rasanya aku hendak menangis.

"Sob!" Pak Larso menyuruh ajudan pribadinya dengan mengarahkan moncong mulutnya yang bau asap kretek.

Aku mulai meronta habis-habisan ketika Bang Sobrun mulai mendekap dan mencekik pergelangan tanganku dengan otot lengannya yang kekar.

"Ap-apa-apaan ini?! Hey! Lepaskan!”

Perlawananku terlihat sia-sia. Cengkeraman Bang Sobrun seperti borgol pada pergelangan tanganku. Tapi aku belum mau menyerah. Aku masih meronta.

HUUF!

Kulayangkan lututku menuju ke arah tengah selangkangan Pak Larso.

TPASS!

Dengan lincah, ia berhasil menepis seranganku dengan tangannya. Percobaan kaburku gagal!

"Eits, nakal juga ya…" ejeknya, seperti sudah hafal apa gerakanku selanjutnya.

“Ha ha ha ha ha ha,” tawa mereka membahana.

“Bajingan kalian semua… Biadaaabb! Dasar tua bangka bejat… Stoopp… Jahanam!"

Segala sumpah serapah kukeluarkan. Tenagaku seakan terkuras, kukerahkan sepenuhnya untuk kabur dari dekapan para lelaki yang seperti kemasukan setan ini.

PLLAKK!

Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Belum sempat aku meraung kesakitan, tamparan kedua kembali menghantam sisi lain wajahku.

PLOKK!

Tubuhku melemah. Pipiku terasa pedas. Pandanganku mendadak buram. Pergelangan tanganku masih dicengkram dengan kencang Bang Sobrun.

"Dasar perempuan ******! Dikasih enak kok malah nolak," katanya dengan kasar. Hatiku serasa tertusuk. Harga diriku direndahkan.

"Ha ha ha ha," Bang Sobrun ikut tertawa. Dari nafas mulutnya, aroma minuman keras menyeruak masuk ke hidungku.

"Sa-Saya mohon, Pak… Jangan lecehkan saya… Saya… Saya sudah bersuami…" rintihku separuh sadar. Pandanganku makin berkunang. Kalimatku bergetar.

Pak Larso semakin mendekat. Tak kulihat lagi pipa rokoknya.

"Cah ayu… Manut yo, Nduk…" katanya sambil mulai mengelus bagian lain tubuhku. “Winarti saja sudah berapa kali kugarap? Ha ha ha ha…”

Ap—Apa? Mbak Winarti yang berjilbab? Tak kusangka… Manusia tua ini begitu cabul, walau sudah beristri dua. Apakah aku sedang bermimpi?

“Ampuun… Saya mohon, Pak… Hentikan… Hiks…”

Tangisku tertahan. Keringat dingin mulai membanjiri tangan dan kakiku ketika Pak Larso mulai mengelus-elus pipi dan hidungku. Aku masih berharap belas kasih dari mereka.

Batinku komat-kamit merapal doa. Semoga ini semua tak nyata.

“Lihat Bos, dia udah mulai menikmati. Ha ha ha ha,” kata Bang Sobrun.

"Ha ha ha… Ndak usah pake lama lagi, ini kayaknya udah basah, Sob!"

Mulutnya mulai menggerayangi leher dan bagian bawah bibirku. Payudaraku sambil diremas dengan kasar. Aku telah berontak dan berteriak sampai serak. Tapi kurasa semua itu tak ada gunanya. Mereka berdua begitu perkasa.

"Ampun Pak… Saya mohon… Ampuun… Hiks…"

Semakin aku memelas, semakin buas dan agresif gerakan Pak Larso. Semakin ia menikmati pemaksaan ini.

"Tolong jangan sakiti saya, Pak… Hiks…"

"Hlo justru saya ini sedang memberikan kenikmatan pada Dik Rissa, ha ha ha…"

Pak Larso semakin beringas. Ia mendekati bagian kewanitaanku. Wajahnya lapar, seperti sedang berhadapan dengan hidangan lezat.

PLOFF.

Bawahan mukenaku dipelorotinya. Vaginaku langsung terpampang dengan sempurna.

"Aahhhh…" desahku tak kuasa menahan malu.

"Wooow… Kayaknya masih rapet, nih… Ha ha ha ha…" Pak Larso kembali berkata kotor.

Tanpa aba-aba, dia dan Bang Sobrun lalu menyeretku ke atas ranjang.

Pak Larso kembali menggerayangi bagian tubuhku. Ini semua kualami masih dengan mukena atas terpasang.

Ya Tuhan, sehina inikah hambaMu diperlakukan? Baru saja aku menghadapMu dengan pakaian yang sama.

"Ukhti sholehah seperti Dik Rissa ini memang harus diberi pelajaran dari yang berpengalaman…" Pak Larso mulai membuka tali pinggangnya. Bang Sobrun masih dengan kencang memegangi tanganku.

PLOP.

Ia mengeluarkan torpedo hitamnya yang berurat.

Tampak ujungnya berlubang pipih dan sudah berair. Pandanganku langsung kualihkan.

"Sampeyan jangan sok suci, ya? Padahal pengen, kan? Ha ha ha…" katanya sambil memainkan alat kelaminnya yang besar.

Mataku terpejam. Pak Larso mulai membuka kedua pahaku lebih lebar.

"Ja-ja-jangan, Pak… Hmmmpp… " pintaku sambil masih tak mau melihat apapun. Kuharap keajaiban akan datang.

Siapapun, tolonglah…

"Bilang jangan, tapi ini udah becek gini… Ha ha ha ha ha," kata Pak Larso dengan nada menghina. Ia memain-mainkan batang pelirnya di gerbang kemaluanku.

Terus terang aku tak sanggup membayangkan ini semua.

Tapi tak dapat kupungkiri, aku sering berkhayal digarap oleh dua lelaki sekaligus. Oh Tuhan…

ZLLLEEP.

"Ngghhhhh…"

Tamat sudah harta paling berhargaku. Maafkan aku, suamiku. Istrimu memang tak becus menjaga diri.

Maafkan aku, Mas Rohim…

Aku meringis dan terdiam. Selayu itukah diriku? Aku telah melawan dengan segala daya yang kubisa. Tapi aku tak sanggup meronta lebih kencang, tak kuat mencakar lebih dalam, tak mampu melawan dua orang lelaki sekaligus.

ZLEEPP. ZLOOOP. BLESSH.

"Henkgghh…"

Ia mulai memajumundurkan pantatnya. Tanganku yang masih erat dipegang Bang Sobrun membuat aku merasa sakit. Sakit di raga maupun jiwa. Aku hanya bisa pasrah.

"Duh, memek ukhti-ukhti memang paling TOP!" kata si Tua bangka ini.

Kulirik sekilas wajahnya. Ia terlihat menikmati persenggamaan ini dengan ukuran penisnya yang besar. Semakin lama vaginaku semakin basah dan berlendir.

"Ahhh… Uuuhhh… Ngghhh…" desahku tak karuan. Baru sebentar saja, kedutan di dinding gua kemaluanku tak bisa kutahan.

Oh tidak, aku akan orgasme!

"Naah.. Gitu dong, jepit terus yang kuat, ha ha ha ha," kata Pak Larso sambil tetap memompaku.

"Ngghhhh… Aaaaaaahhhhh…"

Derasnya cairan kewanitaanku merembes dan merendam terong Pak Larso.

"Hlo, saya belum apa-apa, sampeyan kok sudah keluar, ha ha ha ha,"

"Bos… Nanti gantian ya, saya jadi kepengen nih," kata Bang Sobrun.

"Hush! Kamu itu pegangin saja dia yang bener!" Pak Larso terlihat mengambil handphone dari sakunya.

"Nih, rekam lonte syariah ini, biar dia ndak lapor suaminya," katanya sembari menyerahkan handphone pada Bang Sobrun.

Badanku letih sekali. Permainan bersama akh Joe tadi pagi saja sudah sangat menguras tenaga. Inikah yang dinamakan tumpukan dosa?

"Siap, Bos!" Bang Sobrun mulai merekam adegan kami berdua. Tanganku yang lelah tanpa daya diambil alih Pak Larso.

Ia mencumbuku dengan ganas. Air liurnya terasa menjijikkan. Tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Payudaraku tak luput dari jilatan lidahnya.

"Uuuuhhh…" desahku tak tahan dengan rangsangan yang diberikan si Bangkot ini. Hatiku menolak, namun badanku tak bisa dibohongi. Tubuhku semakin panas dan terangsang hebat.

Bang Sobrun mulai mengambil video dari dekat.

Diarahkannya kamera handphone Pak Larso ke arah wajahku. Mataku hanya bisa memejam.

"Jangan kelihatan mukaku, ******!" bentak Pak Larso pada anak buahnya.

"Beres, Bos! Nanti aku edit," jawab Bang Sobrun yakin.

Ia kembali menggenjotku. Tak kusangka staminanya tak kunjung habis. Sepertinya ia bersemangat sekali, bagai mendapat selaput perawan baru.

PLOK PLAK SLOP PLOSH BWOSH BLES.

Tongkatnya yang besar keluar masuk lubangku yang lengket terkena air kepuasan.

Ya ampun, aku merasakan puncak kepuasan lagi…

BRESSS.

"Aaarrrghhh…"

Aku mengerang. Kasurku semakin basah.

"Ha ha ha ha, enak ya Dik, kontol Bapak? Mau lagi apa udahan? Heh?" ejeknya.

Aku diperlakukan seperti wanita murahan. Air mataku terus menetes. Bibirku kering dan kerongkonganku seperti tercekik. Tak ada gunanya melawan. Yang kuharap hanyalah agar ini semua cepat berlalu.

Pak Larso melepaskan tangannya di pergelangan tanganku.

Kedua putingku dipermainkannya. Aku pun menggelinjang dan tak tahan. Tanpa sadar, aku turut membantunya menaikkan gairahku.

"Ha ha ha ha, udah mulai keenakan, kan? Apa saya bilang, nanti sampeyan juga nagih," katanya.

Dengan jarinya, ia membuat gambar lingkaran imajinatif di sekeliling putingku yang mengeras.

Ia merapatkan kedua kakiku dan mengarahkannya ke atas. Kedua tangannya memeluk lututku.

Dapat kurasakan batang pelir Pak Larso yang masih tegang menjalar melewati celah di pahaku, lalu mulai mencari-cari lubang kenikmatan. Geli sekali rasanya.

BLOOSSH.

Pak Larso seperti kesurupan. Ia tak peduli kalau memekku sudah perih.

"Eeehhh... Uuuhhh... Paakk... Sstooopp... Saya moh-mohoonn..."

PLAK PLOK PLAK KECIPAK BLOP.

"Halah, paling-paling minta lagi," katanya masih bernafsu menggenjotku.

"Sob! Arahin kameranya ke mukanya yang sange berat ini."

"Oke, Bos!"

Aku refleks menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.

"Ha ha ha ha, malu dia, ha ha ha ha. Gimana kalau kamu tak jadiin istri ketigaku saja, heh? Ha ha ha ha..."

Ranjangku ternoda. Sudah 3 penis berbeda yang masuk di lubang rahimku hari ini. Semurah itukah kehormatanku?

“Aahhh... Eengghh... Uuuhhh.. Ppakk... Sssttopp.. Ber—berhenti... Saya gak kuat... Oohh...”

Pak Larso makin cepat menyodokkan penisnya. Pantatku sedikit diangkat lebih tinggi, turut menambah sensasi persetubuhan ini. Mukenaku telah basah bermandikan keringat kami berdua.

Salah satu tangannya kini bermain di gunungku.

“Susu sampeyan kenceng banget. Jarang diemut, ya? Ha ha ha,"

"Saya mohon… Lep–Lepaskan saya, Pak…" kataku sambil masih meneteskan air mata. Bukannya berhenti, ia malah makin semangat. Matanya merem melek saat menindihku.

Ia mengangkat tinggi-tinggi pantatku dengan kedua tangannya. Sodokannya bagai tak kenal lelah. Mungkin wajar bila istrinya ada dua. Mataku terpejam. Aku tak sanggup melihat.

Aku kaget ketika sebuah benda hangat dan sedikit berminyak menyentuh bibirku. Mataku terbelalak.

Ternyata itu adalah kemaluan milik Bang Sobrun.

"Ayo Neng, daripada mulutnya nganggur, emutin punya Abang," katanya tanpa malu.

Segera kututup rapat-rapat mulutku, dan kupalingkan wajahku. Tapi tangannya yang kasar segera menahan. Kupaksa untuk tetap terpejam.

"Ya udah matanya nutup, tapi mulutnya buka dong," katanya lagi.

Dia masih berusaha menggesek-gesekkan kepala kontolnya di bibir dan pipiku.

"Mmpppfff..." kukatupkan sekuat tenaga mulutku, menolak pemaksaannya. Tapi tangannya lebih kuat dan keras.

"Nanti Abang sebarin videonya, gimana? Buka dong..." katanya dengan nada mengancam.

Kubuka mataku sedikit, sekadar mengintip sebesar apa yang harus aku kulum.

Astaga!

Urat kontol yang biru kehitaman serta bulu kemaluan yang lebat. Lubang kelaminnya pipih melebar dan mengeluarkan cairan bening. Rambut kemaluan yang keriting tak beraturan karena jarang dicukur.

Benar-benar kombinasi menjijikkan. Tapi aku tak punya pilihan.

HAP!

Kutelan seperempat bagian miliknya. Kucoba tak tersedak. Benar-benar besar dan panjang. Tak mungkin rongga mulutku bakal muat menampung semuanya.

"Nah, gitu dong… Ssshh… Aahh…" senyum Bang Sobrun menandakan kemenangan. Perutku mual. Rahangku pegal. Aku berusaha tak muntah.

Ia pun mulai bergerak maju mundur. Kini aku digarap dari bawah dan atas. Vaginaku berkedut dengan hebat. Sepertinya aku akan orgasme lagi. Segera kulepaskan batang Bang Sobrun.

"Aahhhmmm...."

CRESSS.

Rembesan cairan menjalar keluar dari celah kemaluanku.

"Ha ha ha, gimana, Dek? Enak, kan? Masih gatel, ndak? Mau digarukin lagi pake ini?"

Pak Larso mengeluarkan kemaluannya lalu mengarahkanku untuk menungging. Aku hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan mereka berdua.

ZZLLEEB.

Ia mulai memompaku lagi.

Gerakannya sama sekali tak melambat. Kecepatan goyangannya stabil. Membuatku merasakan gatal yang luar biasa di liang peranakanku.

Sedangkan dari depan, Bang Sobrun masih berusaha untuk menjejalkan batang pelirnya lagi di dalam mulutku.

ZLEEB. PLOK. PLAK. PLOK.

"Engh... Bapak sudah mau sampai nih, Dek..." kata si Tua ini. "Sedotan memek kamu memang mantep," katanya lagi.

Pak Larso memelukku dari belakang, menangkap susuku yang bergantung dan berayun-ayun. Jepitanku terasa lebih kuat.

Di satu sisi, Bang Sobrun sepertinya juga akan meledakkan lahar putih dari torpedonya.

"Duh Neng, si Neng cakep banget, ngemut kontol Abang sambil pake mukena," ucapnya cabul.

Bagai gerakan piston dengan RPM tinggi, Pak Larso menyodokkan senjatanya yang keras seperti kayu sedalam-dalamnya.

Bang Sobrun mencabut timunnya keluar dari mulutku. Ia mulai mengocok sendiri batangnya di depan wajahku. Aku hanya bisa mengerang.

"Unnggh… Duuh… Ooooww… Amp–amppuun… Ssshhh… Aahh… Hiks…"

"Ah oh… Bapak hamilin ya, Dek Rissa… Itung-itung sedekah bibit…" kata Pak Larso.

"Ja-Jangan, Pak… Jangan di… Owhh… Dalem… Cab-cabut, Pak… "

Aku berusaha melepaskan diri agar tak mengandung benih jahat darinya. Tapi kedua tangannya menahan pahaku dan menusukku semakin dalam. Ujung bonggol jagung miliknya terasa tertuju tepat masuk di lubang rahimku.

ZZROOSSS. CROOOTTTT. BWWOOOSH. CREET. CRET.

Hatiku pedih, jauh lebih pedih daripada rasa sakit di kemaluanku. Apa jadinya jika rahimku mengandung anak dari Larso bejat ini.

Bang Sobrun tak tinggal diam. Kocokan tangannya semakin cepat dan intens.

"Aaahhh… " jeritnya sambil mengarahkan batangnya di depan wajahku.

CROT. CROOT. CRET.

Ia mengotori wajah dan mukenaku dengan pejuhnya yang kental dan anyir. Mukaku belepotan oleh sel kelaminnya.

Batang kemaluan Pak Larso belum dicabut. Lahar putihnya menjalar melewati belahan bibir bawahku dan mengotori sprei kesayanganku dan Mas Rohim.

PLOP.

Terong keras itu pun keluar dengan sendirinya. Tapi sepertinya ia belum tuntas juga.

Dengan tangannya, ia arahkan kemaluannya yang mulai menegang menuju lubang pantatku. Astaga, apakah aku akan disodomi?

Tak cukupkah padanya kuberi kepuasan? Segila inikah kelakuannya pada istri-istrinya?

"Ja–jangan, Pak, sa-saya belum pernah…" kataku memelas.

PLAK.

Ia tak peduli. Bongkahan pantatku ditampar dengan kuat.

"Udah, sampeyan nungging aja!" perintahnya kasar.

"Hiks… Hiks… Ampun Pak… Ja-jangan…"

Tuhan sepertinya mendengarkan harapku. Tepat sebelum Pak Larso mulai memasukkan ujung kontolnya di lubang paling terlarang untuk bersenggama, aku mendengar suara motor.

VRROOM.

"Heh, ada yang datang?" kata Pak Larso mulai panik.

"Ka-Kayaknya iya, Bos!"

"Brengsek, belum selesai tak garap bolak-balik ini cewek!"

"Saya liat ke depan dulu, Bos!"

Bang Sobrun bergegas membenahi celananya dan beranjak pergi. Pak Larso juga memasang kembali celananya.

Aku terbaring lemah, dan kesulitan mengatupkan kedua pahaku. Kakiku mati rasa. Liang wanitaku panas dan perih. Aroma amis menyeruak menusuk hidung. Pandanganku berkunang-kunang. Deraian air mataku seolah tak berhenti.

Oh Tuhan, Selamatkan aku.

"Bos, laki-laki, sendirian! Gimana nih?" lapor Bang Sobrun.

"Kita tunggu saja, sebentar lagi juga dia pergi," jawabnya.

Pak Larso dan Bang Sobrun semakin panik. Walau aku tak tahu siapa gerangan yang datang, aku yakin ia akan mendengar teriakanku.

"Kunyuk, kalau kita ketahuan bisa repot!" kata Pak Larso ketakutan. "Jangan bersuara!" perintahnya padaku. Ia lalu membekap mulutku.

"Hmmppff…" aku berusaha meronta dan melepaskan diri, namun ototku kalah kuat.

TOK TOK TOK.

"Assalaamu'alaikum."

Bukankah itu suara akh Joe? Jika ia bisa masuk, masih ada kemungkinan kedua penjahat ini akan ia habisi dengan mudah. Aku memutar otak.

"Hmmppff…" suaraku masih terlalu lemah di balik tangan Pak Larso yang perkasa. Namun aku tak hilang akal.

KRRAKK!

Dengan yakin, kugigit dengan keras jemari Pak Larso sehingga pegangannya terlepas.

"Aaahh!" ringisnya kesakitan. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Walau tenggorokanku serak, sekencangnya kucoba untuk berteriak.

"Tol-looongggg!"

Pak Larso segera sadar dan menutup mulutku kembali.

BRET!

Dapat kulihat mereka berdua semakin kalang kabut.

"Ris-Rissa? Kamu di dalam?!?"

Bagus! Akh Joe pasti menyadari aku sedang dalam bahaya.

Pak Larso semakin erat memegangiku. Leherku serasa tercekik. Aku kesulitan bernapas.

"Perempuan bodoh!" Pak Larso mengumpat. Ia melemparkan pisau lipatnya ke arah Bang Sobrun.

"Hmmmpppffff," hanya suara itu yang bisa kukeluarkan.

Bang Sobrun mengambil posisi di balik pintu.

Ya Tuhan, semua hal yang terjadi adalah kehendak-Mu.

Akh Joe akhirnya tiba di pintu kamarku. Ia menggertak dengan lantang. Lalu aku mendengar suara pintuku didobrak.

BRAKK.

Belum terjadi apa-apa. Kuyakin Akh Joe mengulang usahanya untuk kedua kali.

BRRAAKKK!

Sosok tubuhnya yang besar dan tegap, menyeruak dari pengapnya ruangan kamar ini, datang seperti pahlawan.

-- Part 08 Selesai

#sukaniqab
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd