Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
gurih gurih enyoooyy, larissa herra sama2 bikin nyut2an.. ekse akhwat cadar tobrut emang selalu jadi impian
 
larissa mana nih, hehe
 
Yap, dilema laki2 dewasa emang gitu bang... Pilihan antara kewajiban ato kemaluan sama2 gede.... Wk2kwk
 
PART 07B
FIRASAT INI, RASA RINDU ATAU TANDA BIRAHI

“Mungkin kamu lupa, Joe,” jawabnya.

Kepalaku ngilu. Rasanya sakit sekali jika kau dipaksa mengingat hal yg belum tentu penting. Dan wanita ini terkesan bicara berputar-putar.

“Aku Hera,” katanya. Akhirnya ia menyebut nama, yg aku pun lupa pernah dengar di mana.

“Hera?” gumamku. Kucoba mendulang kembali semua isi memori di otakku. Kuperas habis-habisan, sampai aku tersadar saat menatap ukuran dada wanita ini yg luar biasa besar. Eureka!

“Ah, kita bertemu di klinik dokter Eva! Maaf, aku baru ingat, dan waktu itu… Kau…”

“Ya,” katanya. Walaupun tak kuteruskan kalimatku, sepertinya ia sudah membacanya. Membaca bahwa aku keheranan dengan tampilannya yang… berbeda.

Semuanya masih tak ku mengerti. Kepingan jigsaw yang berantakan. Puzzle yg amburadul. Sobekan peta yg tak lengkap.

Dia tahu namaku? Oke, mungkin dari “buku tamu tradisional" di klinik saat aku mendaftar jadi pasien.

Lalu, alamatku? Dan, lebih penting, mau apa dia kemari? Mengapa dia memakai cadar? Bukankah dulu aku bisa melihat dengan jelas cetakan bola bowling kembar miliknya?

Begitu banyak pertanyaan. Tak ada pencerahan. Hm, penuh misteri. Aku suka.

“Boleh aku mandi dulu? Silakan tunggu, ya,” kataku ramah. “Kalau mau baca-baca, di atas ada perpustakaan miniku,” sambungku.

Ia berterima kasih. Dari matanya dapat kutebak dia melempar senyum.

Hera. Nama itu disebut orang yg ditelpon dokter Eva saat kami beradu di atas kasur tipis klinik miliknya.

Ku berjalan menaiki tangga dengan letih. Lututku serasa kopong selepas permainan bersama Larissa. Ah, aku merindukannya. Rindu senyumnya. Matanya yg sendu. Renyah tawanya.

Belum dapat kusingkirkan bayangan indah affair kami barusan. Kuharap Rohim tak sampai harus mengetahui kalau lubang istrinya jadi lebih renggang.

Rohim. Mengenaskan sekali nasibmu, Kawan. Sudah terhimpit secara ekonomi, ditambah istrimu digerayangi lelaki lain. Salahmu sendiri.

Aku menyalakan shower dan mengatur air hangat. Setelah mandi dan keramas, kurasa pikiranku akan jauh lebih terang. Demi masalah baru bersama Hera.

Apakah hal yg membawanya kemari? Saat aku di ruang periksa dokter Eva, bukankah hanya Andien yg tinggal di klinik?

Atau mungkin...

Ah, apakah ia mengetahui pergulatanku dengan dokter Eva? Dari mana? Rasanya tak masuk akal.

Dia ingin memerasku? Ia ingin uang? Pengakuan? Apa?

Isi kepalaku dipenuhi kemungkinan yg tak pasti dan masing-masing harus kupikirkan jalan keluarnya. Kalau tak mau bicaraku gagap nanti.

Kusudahi segera mandiku. Kukeringkan burung besar kesayanganku dengan handuk. Ahk… Agak perih. Masih berkedut.

Segera kukenakan pakaian kasual dipadu celana jeans.

PSSTT. PSSSSTT.

Parfum kusemprot. Rambut kusisir rapi. Kupaksakan untuk tersenyum.

“Apapun yg terjadi, hadapi sebagai lelaki, Joe. Kamu bisa!” kataku kepada diriku sendiri di cermin.

Aku kaget ketika membuka pintu. Hera sudah ada di depan ruangan kerjaku. Hei, aku tak ingat pernah bilang kalau kau boleh menganggap rumahku sebagai rumahmu sendiri?

“Eh, udah selesai?” tanyanya.

Dia berjalan ke arahku. Perlahan, dengan tatapan istimewa dan penuh arti.

“Boleh kujelaskan maksud kedatanganku… di kamarmu? Berdua saja?” Ia mengerlingkan matanya.

Nakal sekali.

Aku mengernyitkan kening.

“Maksudmu?” tanyaku dengan nada makin penasaran. Waktuku tak banyak.

Semua terdengar makin aneh. Wanita ini sekarang bercadar. Aku masih mencoba tenang dan memahami semuanya.

Dengan sangat yakin, ia mendekatiku. Bola matanya membesar. Dari balik cadarnya, ia membisikkan kalimat singkat yg membuatku gentar.

“Aku tahu yg terjadi antara kau dan dokter Eva!”

GLEK.

Tenang, Joe.

Dia hanya menggertak. Dia tak tahu apa-apa, rahasiamu aman. Jangan terpancing! Mengelaklah, Joe!

“Aku tak mengerti maksudmu,” kataku mencoba menjawab dengan nada datar. Jangan sampai ia mengetahui bahwa aku tak punya kartu yg lebih baik. Ia 'raise', aku 're-raise'.

Tangannya mulai naik ke arah pundakku. Matanya masih tajam menusuk ke dalam mataku. Kini dapat kurasakan wangi tubuhnya. Tenang, Joe. Wanita ini penuh rahasia. Berhati-hatilah.

"Kau tahu kan, di rumahku ini banyak kamera CCTV?"

Aku mencoba menggertak balik. Ia diam sebentar.

“Kamu pikir, hanya kamu yg mampu membeli dan memasang kamera tersembunyi? Kartu as-mu sudah lama layu, Joe,” katanya percaya diri dan semakin mengintimidasi, sambil memberi penekanan pada frasa “kamera tersembunyi”.

Wanita ini mengerikan. Ia tahu pergumulanku dengan dokter Eva!

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku makin tak sabar.

"Kau butuh uang? Akan kuberikan. Pulanglah, Hera. Aku letih sekali," tukasku makin ketus.

Matanya menyipit, seolah memberikan senyum di balik cadarnya yang gelap.

"Joe… Apapun yang kamu berikan ke dokter Eva, aku ingin hal yang sama!"

Ia lalu mendorongku perlahan. Kami masuk ke ruangan kerjaku. Dengan sekali dorongan tambahan, aku terduduk di sofaku yang lembut. Ia mengunci pintu.

CEKLEK.

Lalu, ia berbalik menantangku. Oh, tidak… Apakah ini akan sesuai dengan perkiraanku?

Ia mulai membuka kancing gamisnya dari atas. Nafsuku menggeliat. Perempuan ini sudah merasa kegatalan rupanya.

WOOOOBBS.

Ia memamerkan payudara jumbo miliknya. Luar biasa.

Buah dada berwarna putih, sangat kontras dengan gamisnya yang gelap. Ukurannya brutal menggembung dan mencuat seolah ingin meledak. Jika keduanya bisa kau lepaskan, kau seakan ingin memantulkannya di lantai lalu melesatkannya ke ring basket.

Dunk! Dunk!!

"Aku akan memuaskanmu, tapi nanti gantian ya, Joe…"

Aku pasrah. Uang. Senggama. Apapun itu. Apa bedanya bagiku. Aku punya segalanya. Akan kutuntaskan urusan ini secepatnya. Kuberikan yg ia inginkan, supaya lekas pulang dan jangan kembali lagi.

Kejam? Biar saja!

Ia mulai berlutut. Resleting celanaku menjadi target selanjutnya. Ia memelorotkan jeansku dengan mudah saat pinggangku kuangkat. Pupil matanya makin besar.

"Kau juga menginginkan ini?" tanyaku sambil mulutku menunjuk ke arah batang kebanggaanku yang mulai menonjol.

Ia memelorotkan celana boxerku, pertahanan terakhirku.

WUUUSSHH.

Matanya melotot. Tangannya menutupi mulutnya yang separuh menganga.

“Astaga, ini pertama kalinya aku melihat Mr P sebesar ini,” pujinya.

“Tak pernah menonton film?” tanyaku.

“Film tak nyata, Joe.”

Ia meludahi belahan payudaranya, memberikan pelumas alami untuk mengapit lontongku yang masih dingin.

"Aaahhh... Nice..." Aku mendesah.

Ia mulai menggerakkan payudaranya maju mundur. Penisku makin memanjang dan berair. Gerakannya seperti perempuan yang sudah lulus sertifikasi pelatihan "Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan".

"Nikmati saja, Joe..."

Hera mengecup pucuk kontolku saat mendekati mulutnya. Sesekali ia mainkan lidahnya di ujung jamur raksasaku. Rasanya sungguh nikmat tak terkira.

Tapi ini posisi yang lemah buatku. Aku akan cepat sekali muncrat jika ia terus-terusan seperti ini.

"Buka semua bajumu, Sayang... Aku tak sabar menindihmu," tukasku.

Ia melepas seluruh pakaiannya. Cadar, gamis, pakaian dalam. Kini tak tersisa sehelai benangpun yang menutupi badannya.

"Mantap...." gumamku tanpa berkedip. Air ludahku mengembang hampir menetes.

Aku termangu melihat lekuk tubuh yang nyaris sempurna. Walau wajahnya jauh di bawah standarku, tapi aku tak peduli. Aku sudah horny berat!

"Unfair. Kau masih berpakaian, Joe..." protesnya.

Kulepas seluruh pakaianku, dan kulempar entah ke mana.

Kini kami sudah sama-sama telanjang bulat.

Kurangkul dia dan kududukkan di atas pangkuanku. Penisku masih bermain-main di gerbang kewanitaannya. Lidah kami berpagut tanda saling bertukar liur. Kucoba membuat memeknya berlendir juga. Ia mendesah, dan semakin basah.

"Hmmm... Mssss... Aasshh.... Slurrpp... Ngghhh.."

Kusisir rambutnya dengan jemariku. Kujambak dengan pelan dan penuh perasaan. Ciumanku menjalar dari mulut, dagu, leher, dan belakang telinga Hera. Kugigit mesra kuping kanannya.

"Berteriaklah sekencang yang kamu bisa, Hera. Ruangan ini kedap suara," kataku.

"Engghh... Pinter banget kamu, Joe," sanjungnya.

Buah pepaya ukuran bangkoknya menggantung dan mencuat menantangku. Ujung putingnya mengeluarkan cairan bening. Kuremas dan kuhisap sekuat tenaga.

Ia pun menjerit manja.

"Aaahh... Nakal..."

"Siapa yang lebih nakal? Aku, atau wanita bercadar yang sengaja datang hanya untuk minta disetubuhi?" godaku.

"Aku melihat rekaman video kalian berkali-kali," tukasnya jujur.

"Lalu, kepengen juga?"

"Siapa yang tidak?"

Aku melanjutkan mengurut payudara 4 liternya. Kuhirup aroma di sela keduanya. Kubasahi putingnya dengan air ludahku lalu kupilin-pilin seperti memainkan analog stick PlayStation. Area areola Hera yang hitam sepadan dengan ukurannya yang luar biasa.

"Ini terlihat asli," kataku.

"Memang asli. Uhhh...." katanya bersungut.

"Apa buktinya? Sini aku belah dulu..." kataku berkelakar.

"Hi hi hi hi... Jahat ih, kayak psikopat!" Ia mencubit lenganku.

Permainan awal kami sepertinya cukup. Aku membalikkan posisi. Ia masih di pangkuanku, namun membelakangiku.

"Mau ngapain, Joe?"

"Nikmati saja, Sayangku..."

Dengan tangan kiri, aku memeras payudara kirinya. Mulutku berperan mengemut payudara kanannya. Sedang tangan kananku mulai bermain di area yang lebih sensitif: klitoris.

"Ngghhh... Joe.... Gaya apa nih?"

Sluurp. Slerrpp.

Jariku mulai menekan bagian itilnya dengan gerakan memutar. Ia terlihat semakin tenggelam dalam kenikmatan yang kuberikan.

Tak perlu lama bagi Hera untuk mengejan dan menyerah kalah di ronde awal ini.

"Uggh.. Joe... Eghh... Ennnaakk... Ma–mau... Kel–keluaarr.."

Pahanya terasa menegang dan kaku. Kepalanya mendongak ke atas. Tangannya membantu tanganku meremas payudaranya sendiri. Pinggulnya bergoyang tanda tak tahan.

"Aaahhhhrrr... Aaahhhhh....."

SERRRRR. SEEERRRR. CREET.

Cairan keluar dari celah surgawinya. Telapak tanganku yang basah segera kuusap ke permukaan gunung kembarnya. Kusedot lehernya yang harum. Ia bergidik dan menggelinjang.

Aku kembali mengatur posisi. Burungku sudah tak sabar ingin bersarang.

Ia duduk di sofa, sedangkan aku berbalik menyerangnya dari depan.

"Siap ya..." kataku memberi aba-aba.

BLEESS.

"Heeenggkkkhhh... "

Responnya bercampur antara keenakan dan kaget. Inilah akibatnya bila vaginamu terlalu gatal. Dan kita baru saja mulai.

Hera merespon dengan kontraksi di otot selangkangannya. Otongku masih belum masuk seluruhnya. Kutepuk-tepuk memeknya dengan timun mudaku yang sudah meregang maksimal.

"Tahan ya..." ujarku kembali memberi pertanda. Kucoba sekali lagi dengan kecepatan awal yang meningkat.

BLOOSSSSHH.

"Engkkhhhh... Daleem..."

Kubenamkan penisku sentimeter demi sentimeter. Palung berbulu halus milik Hera terasa sempit dan menjepit kencang. Saat vaginanya sudah semakin basah dan cukup licin, aku memompanya semakin cepat.

WUT. WUT. BLOS. ZLEP. PLOK. PLOK.

Kedua kakinya sengaja kuangkat ke atas kedua pundakku. Sebetulnya kakiku agak pegal, karena sofa ini tak terlalu tinggi, terpaksa aku harus agak membungkuk. Sulit, tapi achievable.

ak lupa sebelah tanganku masih berusaha menaikkan birahinya dengan mencubit putingnya ringan.

"Ahk.. Hegkk.. Jooo... Gede banget sumpaah... Hen–hennaakk.. Iiiihh.... "

Bagian hitam dari mata Hera tak dapat kulihat lagi.

Sepertinya ia mulai kerasukan dan keenakan. Kugenjot tubuhnya makin kencang.

PLOK. PLAK. FOK. BLES. ZLEB. ZLOP.

Lemak pahanya yang menggelambir turut bergetar setiap kali aku menghentak. Jariku sesekali mengelus bagian atas memeknya untuk semakin menambah keras lenguhannya.

"Joooo... Aarrghhh..... Ak–Akkuuu... Keluarrr!"

Segera kucabut penisku dan kubiarkan dia tuntas menggelepar.

CRET. CREEETT. CREEETTTT.

Ia mendapatkan orgasme, sedang aku belum apa-apa. Nafasku memburu. Hari ini aku bercinta dengan dua wanita berbeda.

Cukup prestatif.

Aku tak mau membuang waktu. Tenagaku akan kuporsir untuk kepuasan di puncak permainan ini.

Kuarahkan tubuh sintalnya membelakangiku. Ia menungging di sofa. Pantatnya yang mulus membuatku menelan ludah. Ini posisi ideal bila wajah pasangan seks-mu tak ingin kau lihat.

ZLOOOPP. Kali ini aku menusuknya tanpa surat pemberitahuan.

"AAAAKKHH... Sak-sakkitt.. Jooo... Pelan-pelan... Peler kam-kamu tuh, gedeee... Ohhh... Ssshh..."

Hera semakin binal saat kulesatkan torpedoku berkali-kali untuk menggaruk dinding kemaluannya.

SLOOP. PLOK. PLAK. PAK. ZLODD.

Kutarik kedua tangannya ke belakang. Aku semakin bernafsu untuk cepat menyemprotkan "protein shake" dari bonggol jagung milikku.

"Jang-Jangan... Keluarin... D-di... Dal-dalem.. Joo.."

Ah, takut bunting ternyata perempuan ini. Baiklah. Fokus, Joe.

"Kita keluarin bareng ya, Her..." kataku.

"Duuh... Ampppuun... Bisa robek nih memekku... Joooee.. Gilaaaa... Panjang banget punyamuu.. Sampe tembus niih.."

Persetubuhan kami sepertinya tak lama lagi usai.

"Aahhhh.... Oooohhhh... Ngghhh..." Hera sepertinya keluar duluan. Tapi aku masih ingin menahan diri lebih lama lagi.

SLOP. PLAK. PLOK. PLAK. SLORP.

"Kas-kasar banget siihh.. Duuhhh... Joooe... Arghkk.."

"Aaahhh.... Aaaaaaaah!" Aku berteriak menggeram untuk menahan beberapa detik sebelum semprotan pejuhku benar-benar keluar. Momennya harus benar-benar pas. Jangan sampai terlambat nyabut!

PLOP!

"Aaaaaaaaahhhhhhh...."

Kucabut batang kontolku seraya mengocok-ngocoknya. Kuarahkan ke punggung dan pantat Hera yang empuk.

CRRROOOT. CROOOT. CROT. CRROOOTTTT.

Sel kelamin jantanku membasahi kulit Hera yang putih.

Seperti susu kental manis yang dioleskan di atas kue apam. Agak encer, tapi kurasa masih berkualitas. Tak banyak yang tersisa dari permainanku bersama Larissa.

Ah, mengapa aku jadi ingat dia lagi?

"Cuk-cukup, Joe... Kamu hebat banget... Capek... " katanya memujiku.

Aku melongo dan tertegun.

Apa yang telah kulakukan?

Aku mengejar Larissa mati-matian. Bersitegang di dalam lemari. Kepalaku hampir bolong ditembak plokis. Untung tidak ketahuan. Dan kini... Aku bersama wanita lain. Sedari awal aku tak berminat. Dia yang datang padaku.

Dengan mudahnya sebuah belahan daging gratis hadir minta diisi sosis jumboku. Ini semua terlalu mudah.

Entah mengapa aku jadi kangen Larissa. Kangen sekali...

Kulirik jam. Ah, masih ada waktu sampai suaminya pulang.

"Aku harus pergi," kataku memotong urusan ini.

"Ha? Sekarang?" Hera kebingungan melihat gelagatku

"Maafkan aku, Hera."

"Maksudmu, benar-benar 'sekarang'? Mau ke mana, Joe?"

Semuanya terdengar tak masuk akal. Tapi firasatku bilang aku harus kembali menemui Larissa. Aku rindu wajahnya. Rindu senyumannya yang menenangkan.

Ialah gadisku.

"Maafkan aku... Aku... Terburu-buru..." Aku berusaha mencari pakaianku. "Mang Ujang akan mengurus semua keperluanmu," kataku singkat.

Setelah rapi dan siap, kupandang Hera yang ketus mematung sambil separuh bugil. Ia pasti kecewa.

"Memangnya apa harapannya padaku?" kataku membela diri dalam hati.

"Sudah ya, sekali lagi aku minta maaf."

Kulangkahkan kaki cepat-cepat dan kuturuni tangga dua anak demi dua anak. Kugapai kunci motor dan menuju garasi.

Mang Ujang terdiam saat aku hendak pergi nyaris tanpa berkata apapun. "Hlo, Den, tamunya udah pulang?" tanyanya.

"Belum. Masih di atas. Nanti tolong dilayani ya, Mang. Aku ada urusan penting nih," kataku tergesa. Ia melongo.

VRROOOM.

Cepat kupanaskan CBR kesayanganku. Helm kupasang. Begitulah orang cerdas menghargai kepalanya sendiri.

Mang Ujang menangkap apa yang kupinta. Ia membuka pintu garasi sekaligus pagar.

VRRROOOMM.

Kupacu motorku sekencang yang aku bisa. Di persimpangan, aku sempat diteriaki pengendara lainnya. Kuambil resiko itu.

Ada apa dengan perasaan ini? Kok, aku jadi begini? Firasat ini sepertinya memaksaku untuk bergegas berjumpa dengan Rissa.

Ialah pujaan hatiku. Madu bagi sakitku. Penawar rasa rinduku. Ratu kerajaanku. Kupersembahkan nektar terbaik padanya. Ialah yang kutuju sekarang.

Ialah satu-satunya wanita yang membuatku sepenuhnya sadar ingin menidurinya. Akulah yang mengejarnya.

Bukan iseng bersama Tasya. Bukan memanfaatkan keadaan Jamilah yang suaminya sedang susah. Bukan bersama dokter Eva karena demamku. Apa lagi Hera, perempuan itu tak masuk hitungan!

Saat ini yang kupikirkan hanya Larissa.

Bunga terindah di kebun hatiku. Penggoyah iman, pelipur nestapa kalbu. Hangat pelukannya masih tertancap dalam ingatan dan sanubari.

Hanya untuk sekadar memandang wajahnya aku rela menggenggam bara, menentang cemeti dewa, atau menenggak empedu asmara.

Dengan jantung masih berdetak kencang, akhirnya aku tiba di depan kontrakannya. Kupelankan laju motorku.

Ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah. Nyaliku ciut. Perasaanku sedikit dongkol. Apa itu mobil suaminya?

Hm, kurasa tidak. Adakah tamu lain yang mengunjunginya? Ah.. Sialan. Di saat begini, haruskah aku pulang dan mengurungkan niatku untuk berjumpa Larissa?

"Persetan. Aku ini Ahmad Jonathan Nainggolan, tak ada yang kutakuti," kataku pada diri sendiri.

Toh aku bisa saja mengaku ingin bertemu Rissa sebagai teman kuliah.

Kulangkahkan kaki menuju pintu. Mantap.

Namun sedari tadi ada yang aneh. Pintunya tertutup rapat. Keadaan ini terlalu sepi. Seperti tiada orang di dalam. Jadi, ini mobil siapa? Sekadar numpang parkir, kah?

Dengan harap-harap cemas, kuketuk pintu.

TOK TOK TOK.

"Assalaamu'alaikum."

Tak ada jawaban. Tapi aku mendengar samar-samar suara dari dalam. Aku mencoba berkonsentrasi dan mendekatkan gendang telingaku di daun pintu.

"Hmmppff..."

Suaranya tak jelas, namun aku yakin di dalam ada orang.

Bulu kudukku bergidik tatkala aku mendengar suara dari dalam.

"Tol-looongggg!"

Tak salah lagi. Itu suara Larissa!

"Ris-Rissa? Kamu di dalam?!?" Dengan panik aku berusaha mendengar suaranya lagi.

"Hhmmmmppppffff..."

Sepertinya ia dalam bahaya! Kucoba membuka pintu depan.

CEKLEK.

Ah, tidak terkunci. Nasib baik! Aku lalu berlari ke arah kamarnya, berusaha membuka pintu.

CEKLEK CEKLEK.

Terkunci.

"Larissa?" panggilku lagi. "Kamu di kamar?"

DOK DOK DOK DOK. CEKLEK CEKLEK.

"Hmmmpppffff!" Hanya suara itu yang bisa kudengar. Ap–apakah di dalam ada orang? Perampok kah? Larissa seperti sedang disekap!

Otakku berpikir keras. Kuharap aku masih kuat dan berhasil mengingat satu dua jurus bela diri yang pernah kupelajari.

Lawanku bisa saja bersenjata. Aku mesti waspada.

DOK DOK DOK. CEKLEK CEKLEK.

"Hey, menyerahlah kalian! Buka pintunya! Kalau tidak, akan aku dobrak!!”

Teriakan yg keras kuharap membuat siapapun di dalam jadi gentar.

Tak ada jawaban. Yang bisa kudengar hanya suara Larissa yang tertahan. Mulutnya seperti sedang disumpal sesuatu.

Ya Tuhan, ku tahu dosaku menggunung tinggi. Namun untuk sekali ini saja, kumohon tolong aku menyelamatkan orang yg kucinta.

“Bismillah…”

Aku bersiap menendang pintu. Kutarik nafas panjang, dan mengambil jarak.

BRAKK.

Pintu tua itu hanya bergeming. Pergelangan kakiku sakit. Aku mundur tidak untuk menyerah, tetapi mengambil ancang-ancang untuk percobaan kedua.

BRRAAKKK!

-- PART 07 SELESAI
Mantap ceritanya hu.. ditunggu lanjutan part 8 nya...
Penasaran ane.... Mumpung udah lewat lebaran nih...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd