Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

Bimabet
Awas hu kena banned om momod klau update pakai syarat kek gitu.
Saran aja.
Kalau mau update jgn pk syarat bisa bahaya hu. Ente bisa jd anak band dibikin om momod

Wow, terima kasih banget sarannya. Strict juga ya di sini... Walau gw nggak ngeliat ada syarat seperti itu di aturan nulis cerbung.

Oke akan gw ralat. Sekali lagi terima kasih.


Pramugari-nya juga dong!

Terima kasih sarannya. Tapi, Joe merasa cukup dengan 1 wanita per 90 menit perjalanan udara.
 
PART 2
IA GADAI TUBUHNYA DEMI SUAMI

TING TONG! Suara bel pertanda ada tamu berbunyi.

TING TONG! Suara itu muncul untuk kedua kalinya. Siapa ya pagi-pagi sudah bertandang?

Pagi ini diawali dengan suara gemuruh di langit. Warna kelabu menghias awan. Mungkin sebentar lagi hujan. “Kok nggak cepet dibukain pintu pagarnya, Mang?” kataku separuh berteriak. Mang Ujang tergopoh-gopoh mendatangiku.

“Ngg, anu Den.. Anu...” Mang Ujang terbata-bata. “Anunya siapa, Mang?” tukasku cepat.

Mang Ujang sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Kami sering bercanda. “Ada... Ada anu.... Ada ninja!” wajahnya serius sembari melotot. “Ah, Mamang ada-ada aja.. “ kataku. “Mana ada ninja pagi-pagi mencet bel rumah?” tambahku sewot.

“Ya udah. Biar saya aja yg ke depan kalo gitu,” aku jadi penasaran

GLUDUK GLUDUK.

Suara petir bersahutan di kejauhan.
Kuintip ke arah luar pagar. Sosok hitam-hitam itu menghadap ke arah jalan. Kugeser pagarku yg lumayan berat.

Seorang wanita bercadar rupanya. Inilah mungkin yg Mang Ujang maksud dengan “ninja”. Hatiku bertanya-tanya, siapa gerangan perempuan ini? Ia berbalik. Tangannya yg memakai handsock berada di depan dadanya. Pakaiannya serba gelap. Hanya tersisa sepasang mata, alis, dan sedikit bagian kening untuk dilihat.

Aku memang sama sekali tak mengenalinya. Tapi, dalam hati aku mengagumi perempuan ini. “Sepasang mata yg indah,” gumamku.

Warnanya bukan hitam, tapi coklat bercahaya. Bagian putih matanya bersih, tapi menyimpan kegetiran hidup. Tatapannya sayu. Bulu matanya lentik. Alisnya pekat menggoda. Pangkal hidungnya lancip, mungkin hidungnya juga mancung.

Aku terpana. Ingin ku mengenalnya lebih jauh.

Pandangannya sedikit menunduk. Tangannya memegang sesuatu, kutaksir sebuah dompet kecil bermanik sederhana. Punggung tangannya putih mengkilat, namun bisa kulihat urat nadinya yg kebiruan. Agak kurus dan seperti lelah menghadapi dunia. Kau sendiri akan kagum, betapa dalam manusia mencoba memahami pribadi seseorang yg seluruh tubuhnya tertutup seperti enggan dijamah.

“A... Assalaamu’alaikum,” ia membuka perbincangan di tengah pikiranku yg hanyut ke mana-mana.

Suaranya lembut separuh basah, walau terkesan . .... sengaja dibuat berat.

“Waalaikumsalaam. Maaf, Kakak cari siapa ya?” jawabku berusaha sopan.

Ada kebingungan dan rasa gelisah yg tidak biasa dari wanita ini. Di atas kami, langit kian tak bersahabat. Suara guntur semakin lama semakin keras. Aku jadi sedikit tak sabar. “Betul dengan Bang Joe?” ia menyebut namaku. “Betul, saya Joe,” aku menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Dengan sigap ia membuat tangkupan tangan di depan dadanya sembari menunduk.

“Bodoh sekali kau, Joe! Wanita seperti ini tak bersalaman dengan lelaki yg bukan keluarganya!”
Suara dalam kepalaku berbicara dengan nada keras. Aku merasa bersalah karena lupa.

Ah, sekarang dapat kulihat cincin di jari manisnya. Kini aku kikuk, sekaligus sedikit patah hati. Ugh....

“Eh, iya maaf ya, kebiasaan,” kataku sambil pasang pose salaman yg sama. “Nama saya Jamilah, istrinya Bang Muhsin,” ia memperkenalkan diri. Otakku bekerja keras untuk mengingat nama. Dua nama lebih tepatnya.

“Jamilah? Muhsin?” bibirku bergumam seperti bicara dengan bagian otak yg sedang mencari berkas yg hilang.

Ketemu! “Oohh.. Bang Muhsin Saidi ya? Teteh ini istrinya?” tadi manggil kakak sekarang teteh. Duh nggak konsiten banget aku...

Tentu aku tahu nama Bang Muhsin. Dan merasa berhutang budi. Dulu, sekitar 2 tahun sejak Papa memutuskan untuk jadi mualaf, Papa kena stroke berat. Papa akhirnya meninggalkan kami tak lama setelah vonis dokter itu. Nah, di tengah keadaan keluargaku yg memang belum terlalu fasih ilmu agamanya, tak ada yg faham bagaimana seharusnya memandikan dan mengurus jenazah Papa.

Bang Muhsin ini semacam ustad tapi di kampung. Kalau.. .... kupikir lagi, usianya tak terpaut jauh denganku. Bang Muhsin lah yang membantu keluargaku. Tapi aku sama sekali tak mengenal istrinya. Setelah Papa meninggal pun aku tak mengetahui lagi kabarnya.

“Betul... Eng, saya ada perlu sama Abang..” tukasnya. Awan hitam di atas kami seperti mulai tak kuat menampung air. Rintik-rintik hujan mulai turun.

“Gimana kalau kita ngobrol di dalem aja? Masak mau sambil basah-basahan gini?” ajakku. Jiwa cabulku terusik. Setan berbisik agar ajian Mbah Wiryo kupakai lagi pada wanita ini. (Biar nyambung, silakan baca “AJIAN MBAH WIRYO”) — penulis.

Ia sepertinya bimbang. Aku bisa menangkap pikirannya itu. “Tenang aja, di dalam ada Bi Inah dan Mang Ujang kok,” aku coba membujuknya.

Mau berhasil atau tidak yg penting usaha. Dapet atau tidak dapat ikan, yg penting mata pancing dilempar dulu. Ya kan? Ia mengangguk setuju. Tanpa sadar telah masuk dalam jeratan pertama. “Tapi, saya gak bisa lama-lama..” tambahnya.

“Sama dong, saya juga gak kuat kalau lama-lama..” responku mulai menyerempet hal-hal begituan. Kepalaku mulai mengatur rencana dan jeratan kedua. Ia melepas sepatunya yg lusuh, tapi tetap memakai kaus kakinya. Dalam hati aku salut dengan keteguhan hati perempuan ini.

Tapi apakah dia kuat melawan ampuhnya ajian Mbah Wiryo? Akankah dia takluk ke dalam permainan kenikmatan yg aku rencanakan? Pintu ruang tamu yg besar sudah kubuka lebar. Membuatnya merasa “aman”. Kupersilakan ia duduk. Aku memanggil Bi Inah yg sudah sepuh.

Di luar, hujan mulai tercurah lebih lebat. Aku merasa keberuntungan selalu berada di pihakku. Dan feeling-ku biasanya tepat.

“Mau minum apa?”
Ia menolak halus. “Ng.. Ga usah repot-repot.. Saya mesti buru-buru, di rumah ada Ibu dan anak yg nungguin,” jawabnya diplomatis.

“Jangan gitu dong, Teh... Teteh kan tamu, dan kita disuruh memuliakan tamu..” jawabku tak mau kalah. “Lagian bukan aku yg repot, Bi Inah yg bikinin,”
Aku menyuruh Bibi membawakan teh hangat sekaligus brownies yg kubeli semalam.

Sesekali matanya memandang ke sekeliling ruangan. Terkesan canggung campur takut. Tipikal orang kampung yg jarang lihat lampu gantung mewah, atau rumah gedongan, kecuali dari sinetron di televisi.

“Sesulit apa menaklukkan hati wanita ini?” pikiranku mengatur siasat. Siasat bulus lebih tepatnya. Apakah semudah dan sesederhana pengalamanku di atas kapal udara beberapa hari lalu? Apa konsekuensi bila aku gagal?

Atau, lebih parah, ketahuan??

Aku harus sabar. “Silakan diminum dulu, Teh...” aku menawarkan begitu Bibi datang membawa nampan mini.

Ia mengangguk. “Makasih..” jawabnya singkat.

Aku makin penasaran, bagaimana wanita ini minum dengan cadar masih terpasang? Apakah ia melepasnya? Aku menunggu momen itu. Momen penyerahan diri. Ia mengambil cangkir, dengan tangan kanan. Dengan tangan kiri, ia hanya menyibakkan sedikit cadarnya, sekadarnya saja agar ada cukup ruang untuk cangkir.

Aku kecewa.

Kupikir aku bisa mengetahui wajahnya secara langsung.

Ia mengambil tisu yg agak jauh. “Mmm.. Maaf?” tanyanya. “Ya?” aku sedikit kaget karena fantasiku ambyar.

“Kuenya saya bawa pulang, boleh?”

“Oh, silakan Teh... Buat anaknya, ya? Nanti dibawain lagi ya, di belakang masih banyak..” jawabku cepat. “Ngomong-ngomong anaknya umur berapa?” tanyaku ingin tahu.

“Bulan depan jadi 2 tahun..”
Hooo... Mamah muda ternyata. Nafsuku semakin bergolak. Namun aku pasang wajah tenang dan agar tak terlalu kentara.

Ia masih terdengar bimbang dan tidak tenang. Aku rasa dia punya masalah di keluarganya. Hanya tebakan saja.

“Bang Muhsin, apa kabar?” Aku sok perhatian. “Hmm... Sebetulnya... Kedatangan saya kemari, berhubungan dengan Bang Muhsin..” jelasnya sambil agak terisak. Raut sedih terpancar, walau aku menangkap hanya dari matanya.

“Hlo, Bang Muhsin kenapa?” perasaanku mulai tak enak. “Suami saya, sudah 3 hari dirawat di RSUD B*o... Kalau Abang berkenan, saya... Saya.... Mau pinjam uang... Buat dipakai bayar operasi suami... Hiks...”

Wah, memang benar kata almarhum Papa. Kalau orang sudah lama tak ada kabar lalu datang tiba-tiba, biasanya urusan duit. Dua fakta yg tak bisa kupungkiri. Pertama, aku iba pada keluarga ini. Kedua, keluargaku merasa berhutang budi pada Bang Muhsin.

“Saya turut berduka ya Teh.. Bang Muhsin sakit apa? Kapan rencana operasi?” rasa penasaran tak dapat kusembunyikan. “Kata dokter, asam urat... Tapi sudah parah... Hiks... Kalau nggak cepet disedot, bisa makin parah... Hiks... “ tangisnya makin pecah. Aku jadi salah tingkah.

“Teteh tenang dulu ya, minum dulu...” kataku. “Teteh butuh berapa?” tanyaku lagi. Ia mengambil tisu lagi, mulai mengeringkan air matanya. Pandangannya makin menunduk. Aku pun tak menyangka Bang Muhsin kena asam urat. Orangnya memang agak gemuk sih, tapi..

“Kami.. Sudah tak punya apa-apa lagi... Tabungan, TV, kulkas, perhiasan, semua dijual atau digadai...”
Ia melepas cincin kawinnya, lalu meletakkannya di meja.

“Kalau memang Abang bisa bantu, ini satu-satunya yg tersisa. Jika digadai, nilainya tak seberapa... Hiks... Tapi, kalau Bang Joe kasih pinjaman, saya.. saya akan usahakan bayar walau dicicil...”

Kalimatnya menyentuh hatiku
“Biaya operasinya saja perlu 11 juta.. Hiks... Kami dapat uang dari mana?” jelasnya.

Oke. Itu jumlah yg sebetulnya sedikit bagiku. Selain dua fakta di atas, aku ketambahan fakta baru: aku tak kuat menahan nafsu untuk memanfaatkan situasi ini.

Setan-setan mengelilingiku. “Hmm... Terus terang, bisnis sedang sepi, Teh... Teteh kan tahu sendiri, sekarang lagi musim susah....” kataku jual mahal.

“Saya... Saya janji bakal bayar, Bang... “ ia mulai mengiba padaku. Namun aku harus cerdas memainkan peran ini.

Peran sebagai iblis. Semakin dalam kutarik ia ke pusaran keinginan bejatku, semakin mudah aku memanfaatkannya. Otakku senantiasa berputar untuk rencana selanjutnya.

“Begini saja.. “ kataku mencoba menenangkannya. Atau, mengelabuinya? “Saya akan bantu... Tapi...” kulihat matanya sedikit berbinar. “Ada syaratnya..” lanjutku.

“A... Apa... syaratnya, Bang?” ia agak mengerutkan dahi.

“Perjanjian hutang kan, harus ada hitam di atas putihnya. Teteh pinjamnya berapa, kapan dibalikin, dll, harus jelas..” kataku. “Ba.. Baik.. Bang... Saya janji akan membayarnya. Percayalah, Bang.. Saya.. Akan lakukan... Apapun demi suami saya..” isaknya masih tersisa.

Dalam hati aku tersenyum menang. “Apapun, katamu? Betapa mudah transaksi ini..” kataku dalam hati. “Baik Teh, yuk ikut saya ke atas,” kataku beranjak.

Ia mematung bingung.

“Kantor saya di lantai dua. Ada ruangan juga buat terima tamu bisnis. Ada printer, alat tulis, materai, dll.” Aku menjelaskan agar ia tak curiga.

Namun ia masih terdiam. Sangsi. “Ayolah... Teteh mau saya percaya, tapi Teteh gak percayaan sama saya..” bujuk rayuku politis sekali.

Ia bergeming. “Ba.. Baik...” katanya. Umpanku dimakannya.

Kami melangkah menaiki anak tangga. Pandangannya berputar ke segala penjuru. “Abang tinggal sendirian?” ia ingin tahu. Pertanyaan yg sama. Sama namun selalu sulit.

“Tinggal sendirian iya, tapi merasa sendirian sih nggak. Kan ada Mang Ujang dan Bi Inah. Sejak Papah masih ada pun, aku sudah anggap mereka keluargaku sendiri..” jawabku lirih.

Di luar, hujan semakin deras. Aku diuntungkan keadaan. Lantai dua adalah wilayah kerajaanku. Di sini tempatku bekerja, nge- game, deal usaha, tidur, mini-gym, makan. Singkat kata, semua hal. Bahkan Bi Inah tak sembarangan masuk kecuali kuizinkan.

Kubuka pintu salah satu ruangan. “Silakan duduk, Teh..” kataku. “Maaf berantakan.”

Ruangan ini adalah ruangan favoritku yg kedua, setelah kamar tidur. Di sinilah aku paling banyak menghabiskan waktu, setelah tidur, tentu saja.

Ada sofa bed, game console, laptop dan PC untuk aku kerja, serta TV 72 inchi multifungsi. Ruangan ini juga punya pintu ke kamar tidur. Kuhidupkan lampu tambahan. Kututup pintu. Ia menoleh dan bertanya, “mmm kok pintunya ditutup?”

“Di luar berisik karena hujan, lagian ruangan ini pake AC,” kataku seadanya. Ia menyilangkan tangan di dada dan mengelus bahunya sendiri.

“Eh, AC-nya terlalu dingin ya?” kataku
Kuatur kembali suhu melalui panel di dinding. “Teteh tunggu sebentar ya, aku cetak perjanjiannya dulu. Hm, Teteh bawa KTP kan?” kataku meyakinkan.

Aku harus berlagak profesional agar ia tak terlalu curiga, bahwa yg kupedulikan hanyalah
... dua bukit tersembunyi di balik gamis lebarnya. Bisikan setan telah merasukiku, namun aku masih bersabar. Jika aku terpeleset sedikit saja, rencanaku bisa amburadul.

“Bawa... Sebentar Bang..” katanya. Ia membuka dompet bermanik miliknya.

Aku perhatikan jari-jarinya yg putih. Apakah jari-jari itu bisa menggenggam batang kelaminku yg 20 cm? Ahh.. Membayangkan itu saja aku jadi tegang.

Tenangkan dirimu, Joe!

“Ini..” ia menjulurkan e-KTP dengan memegang ujungnya saja. Konsisten agar tak tersentuh tanganku, yg penuh dosa. Tentu saja.

“Aku copy dulu ya”
Ku berjalan menuju meja kerja. Di atasnya ada laptop yg selalu menyala.

Di luar, langit masih menyirami tanah dengan kucuran air yg deras. Untungnya ruangan ini kedap, jadi tak terlalu berisik.

Kulihat sekilas KTP-nya. Jamilah Suciati namanya. Hm, kuperhatikan lagi lekat-lekat. Fotonya yg tanpa cadar memang buram dan tak mudah dilihat. Tapi aku menangkap sosok cantik di balik cadarnya. Putih. Ayu. Menggoda imanku.

Kulihat tanggal lahirnya. Wah, ia ternyata lebih muda beberapa bulan dariku.

“Eng... Tahun lahir kita sama, ya?” kataku. “O, ya? Abang lahir bulan apa?” tanyanya. “Aku lebih tua pokoknya,” jawabku. “Ya sudah aku panggil kamu, Jamilah aja ya...” kataku sedikit memaksa.

“Engg... Panggil Mila aja Bang, “ jawabnya.

“Oke. Mila...”
Kucari file template perjanjian utang. Kuganti beberapa hal seperti nama, nomor identitas, dan yg diperlukan. Sederhana.

Tinggal memfotokopi KTP-nya dengan printer multifungsi milikku saja.

“Mila…” panggilku.

“Iya, Bang?”

“Foto kamu… manis sekali…” pujiku. “Kayak artis!”
Ia bersemu. Matanya menyipit. “Abang gombal ah…” komentarnya malu-malu. "A– Aku kan udah ada suami…"

"Ya kan kalau udah punya suami tapi masih cantik, nggak dosa." Aku pepet terus dia sampe mentok, sebelum ajian Mbah Wiryo aku keluarkan.

"Hush.. Udahan ah! Malu…" katanya. Dalam hati aku tersenyum. Katanya, kalau cewek digombalin tapi nggak marah, sebetulnya peluang berhasil "gesek-gesek" sudah lewat 90 persen. Sisanya tinggal membawa si cewek ke batang, eh jalan, yg benar.

Namun untuk lebih memastikan, tentu aku tetap mengandalkan ajian si Mbah. Surat perjanjian telah selesai kucetak. Demikian pula KTP Mila, telah kusalin. Tahap akhir dari “perjanjian semu” ini adalah mengambil materai enam ribu dari laciku, dan memintanya membubuhkan tanda tangan.

Aku sudah tak sabar ingin menggumulinya, menghisap p u t i n g nya. "Silakan dibaca dulu, lalu ditandatangani di bagian materainya," kataku sambil menyerahkan surat dan KTP-nya. Kali ini aku langsung meletakkannya di meja.

Setelah membaca sejenak, "Se— Semuanya jadi lima belas juta, Bang?" tanyanya. "Berapa saya harus kembalikan?" lanjutnya lagi
"Sama. Lima belas juta, juga,” jawabku mantap. Aku ini cabul, bukan lintah darat. Uangku tak berasal dari hal seperti itu.

“Aku hitung uangnya dulu.” Aku beranjak ke brankas di pojok ruangan. Kuputar nomor kombinasi rahasia.

CEKLEK.

Pintu brankas terbuka. Kulirik Mila. Kulihat ia termenung. Mungkin ia bingung bagaimana cara membayar hutang sebesar itu, melihat keadaan finansial suaminya yg tak mapan.

Tenang saja, Manis. Semua ini cukup kau bayar dengan tubuhmu.

Hati-hati aku mulai memasukkan 3 tumpuk pecahan 50-ribuan ke amplop coklat. Lalu aku melangkah mantap menujunya. “Sudah ditandatangani?” tanyaku. “Ng… Abang perlu cincin saya? Sekadar jaminan saja." Ia melepaskannya dan menaruhnya di meja.

"Tidak perlu," aku hendak menyerahkan amplop. "Tapi, aku punya satu syarat lagi," aku bersiap memulai aksiku. "Sy— Syarat apa itu, Bang?" Wajahnya mulai agak ketakutan.

Secepat kilat, kuturunkan celana training sekaligus boxerku. Tampaklah di hadapan wanita ini, p e n i s ku yang menegang sejak tadi. Berdenyut dan berayun ringan. Seperti memberi salam. Ah..

Kutunggu responnya. Matanya terbelalak. Badannya mundur hingga tersandar di sofa. Ia kaget tapi masih tak berkedip menatap burungku yang mengangguk-angguk.

"Ma— Maksud Abang, appaa?!" Ia memalingkan wajahnya ke samping. "Ak—Aku ini, wanita baik-baik, Bang.." ujarnya lagi terbata-bata

Nafasnya memburu. Dari ujung matanya kulihat kaca-kaca. Ia bertahan, dari rasa malu, takut, dan bingung. Ia susah payah menjaga benteng harga dirinya.

Namun pelet Mbah Wiryo berusaha meruntuhkan semua pertahanannya.

"Mari kita bersenang-senang sebentar, sayang…" ujarku. Dalam hatinya ada dilema. Antara menghinakan diri kepada nafsu birahiku, ataukah membiarkan suaminya mati lemas tak berdaya di Rumah Sakit.

Ia mulai sesenggukan. Aku menunggu efek pelet si Mbah bekerja. Seharusnya darah sudah berdesir di kemaluan-nya dan membuatnya kedutan. Hujan masih turun dengan derasnya. Hujan yg terbaur angin. Membuat taman yg tadinya tenang, menjadi tak karuan.

Perasaan Jamilah pasti sama tak karuannya dengan bunga-bunga yg tertiup topan. Dadanya bergemuruh. Isi kepalanya berkecamuk. Tangannya bergetar. Pandangannya kosong. Ia enggan menatapku. Atau, lebih tepatnya, burungku yg mengacung tegak.

Aku harus menguasai keadaan. "Ayolah, Mila. Satu permainan, dan satu masalah beratmu terselesaikan," ujarku.

Ia masih tak berkutik. Aku paham aku harus menunggu sedikit lebih lama. Pelet ini butuh proses. Walau birahiku sudah sampai ke ubun-ubun, aku tetap memberinya waktu. Hal ini pasti tak diduganya.

"Mila… Ini semua bukan salahmu. Keadaan yg memaksamu harus melayaniku. Lakukan ini demi suamimu. Demi anakmu juga," ujarku lembut. Sekadar berusaha mengurangi rasa bersalahnya. Jauh di dalam lubuk hati, aku juga merasa miris. Betapa kemiskinan dan keadaan kurang beruntung, harus memaksanya jatuh ke pelukan pria berlibido tinggi sepertiku.

Ia menoleh ke arahku. Kami saling tatap.

Kutangkap kegetiran hidup yg amat dalam dari matanya yg cantik.

"Kumohon," ia memelas, "jangan sampai Bang Muhsin tahu…." lanjutnya dgn suara parau.

Aku menatapnya serius. "Tenang, Mila… Ini hanya jadi rahasia kita berdua," jawabku mantap.

Kuselami perasaannya yg gelisah luar biasa. Namun di satu sisi keinginanku padanya telah memuncak. Makin kudekatkan pentungan dagingku ke arah wajahnya.

"Ayo, sayang…." tukasku.

Aku sebetulnya iba padanya. Tapi kami berdua telah terbenam dalam kubangan dosa. Tanggung. Kesempatan ini, kesempatan menindih tubuh yg sehari-hari terbalut rapat, tak akan datang dua kali. Ia mulai bereaksi. Atau bisa karena pengaruh jampian Mbah Wiryo juga, ia melepas cincin nikahnya. Dengan ekspresi jijik, perlahan ia menangkap k o n t o l ku dengan jemarinya yg mini. Kedua tangannya mulai meremas dan mengocok maju-mundur “belut” 20 cm.

Ia memandangku sesaat. Aku mulai mendesah nikmat. Ia cukup pintar memainkan perannya. Bayangkan kedua tangan yg tak pernah dipakai bersalaman ke lawan jenis, kini harus "berjabatan" dengan alat kelamin lelaki. Seperti apa rasanya??

"Mila... Uhh... Terus sayang... "

Aku mulai meracau sambil mendongak. Kini wajahnya tepat berada di depan p e l i r ku. Ia berhenti sejenak, bagai sedang merapal doa mau makan saja.

Disibakkan kain cadar yg dipakainya, lalu tak sampai hitungan detik setelahnya, "Hap!"

Ia lumat kepala jamurku seperti sedang berkaraoke.

“Sshh… Ahhhhh… Hmmm…”
Ahh… Ngilu tapi sedap.

Kupegang kepalanya dan kuelus pelan. “Aku lepas cadarnya Mila ya...” Aku merasa terganggu dengan kain penutup wajahnya. Ia tak menjawab. Juga tak menolak.

Dengan penuh rasa sayang, kulepas cadar Mila. Bak Fachri dan Aisha pada film Ayat-ayat Cinta.

Dari fotonya kutahu ia punya tahi lalat di pipi kirinya. Manisnya…

Ia tetap memeluk burungku dan mengocoknya dengan mulut. Aku merasakan sensasi surgawi, dioral oleh wanita berhijab. Luar biasa rasanya. Aku juga tak mau kalah aktif. Kugoyang pelan pantatku maju-mundur seirama dengan gerakan mulutnya.

"Uhuk uhuk! Hoek…" Sesekali ia mual dan berhenti untuk menarik nafas.

"Baru pertama kali?" tanyaku.

"Baru pertama kali yg se—sebesar ini…" jawabnya jujur. Perasaanku haru campur bangga, mengetahui torpedo suaminya kalah ukuran dari milikku.

“Mila… Terima kasih telah sudi menjadi budak s e k s-ku…”

Bibirnya yg setipis cabe rawit serasa sesak dengan batang k o n t o l ku. Tak muat masuk semuanya. Separuhnya pun tidak.

Parasnya cantik dan menggoda. Mengundang hasrat. Sejatinya perhelatan ini tak berhenti di hanya sekadar blow job.

Aku lebih cepat muncrat jika diemut. Kalau kira-kira sudah tak tahan lagi, akan kubopong tubuhnya ke kamarku saja. Mencuci seprai jauh lebih mudah dari mencuci sofa.

Mungkin sekarang ia benci padaku, namun rasa benci akan berubah jadi rindu jika aku penuhi hasrat seksual-nya yg tak tersalurkan karena suaminya tak mampu. Tak mampu secara fisik, juga ekonomi.

“Mila, akan ku bawa engkau ke singgasanaku, dan kujadikan kau ratu di kerajaanku…”

Kusudahi permainan sesi pertama ini, karena aku tak ingin KO duluan. Kukunci pintu ruangan kerjaku, dan kugendong ia menuju kamar.

Badannya cukup ringan, mungkin karena aku terlatih angkat beban yg beratnya setara. Kupandang terus matanya. Ia lingkarkan tangannya di leherku. Kubuka pintu menuju kamarku dengan sebelah kaki. Hati-hati aku berjalan menyamping agar kepalanya tak terantuk dinding.

Mungkin ia juga tak sabar untuk aku e n t o t. Sambil tersenyum ia membenamkan wajahnya di dadaku malu-malu.

“Sebentar lagi kau akan menikmati perzinahan ini, Mila…” kataku dalam hati.

“Bang…?”

Kuletakkan ia perlahan di kasurku yg berukuran raja. Kuredupkan lampu agar suasana jadi makin romantis. Biar bagaimanapun aku tak ingin menganggapnya sebagai pelacur. Hmm..

Aku berjalan menuju laci dan mengambil lilin aromaterapi. Kunyalakan sumbunya, lalu kuletakkan di meja kecil samping tempat tidur.

Kulihat, Mila berbaring miring menghadap jendela kamar tidurku yg bernuansa Scandinavi. Apakah ia masih malu? Bukankah lampu sudah kutemaramkan? “Bang Joe?” katanya memanggil pelan.

“Ya?”

“Ak— Aku… Takut…”

Aku bisa memahami kegaduhan perasaannya. Mungkin ia berpikir bahwa ini adalah sebuah pengkhianatan. Pembangkangan istri kepada suami. Pembohongan pada diri dan keluarganya.

“Tenang saja, Mila…” kataku. “Aku ingin… Pulang… “ pintanya.

Aku menghela nafas. “Dalam keadaan hujan angin seperti ini? Ayolah… Tidak akan ada yg tahu. Perlakukan aku seperti suamimu, cukup pagi ini saja,” kata-kataku penuh gombal.

Aku tahu dia sudah tak kuasa bertahan untuk tidak kutiduri.

Mungkin pula rapalan dari Mbah Wiryo tak cukup kuat. Aku mulai mempertanyakan keampuhannya. Ah, tapi sudah terlanjur basah, ya sudah berenang sekalian!

Aku tak peduli. Kusemprotkan pewangi di beberapa titik di tubuhku. Supaya lebih romantis.

Kupandang ia dari pojok ruangan. Gejolak nafsuku telah sampai ke ubun-ubun. Di ranjangku yg mewah, terbaring pasrah akhwat yg juga seorang istri ustad di kampungku. Ia terbaring tanpa daya dan tenaga.

Kaos kakinya masih terpasang. Kulihat ia memakai celana tambahan pula setelah rok yg panjang dan lebar. Pinggangnya ramping. Dari luar dapat kulihat bongkahan pantat yg cukup aduhai. Gamisnya besar, jadi aku masih penasaran ukuran BH-nya. Tangan dan wajahnya saja yg putih saja yg bisa kulihat.

Semua serba tertutup, tapi itu tak akan lama. Aku mulai merangkak dari tepian kasur, menuju “santapan” lezatku.

Suara gemeretak kaca jendela sesekali terdengar karena angin yg kencang. Balkon luas di lantai dua ini sudah lebih dari basah. Kilatan cahaya petir masih sesekali menyapa.

“Mila…” kataku. “Aku buka, ya?”
Ia diam saja. Tak ada tanda-tanda penolakan. Kurasa ia sudah tak bisa lagi melawan.

Aku mulai meraba bahunya. Kulucuti pakaiannya satu demi satu. Susah payah, karena bajunya pun ternyata berlapis-lapis. Luar biasa, tak kusangka aku akan mendapat berlian tersembunyi. Aku berbaring miring juga di belakangnya. Kumulai dari hati-hati meraba tangan, kemudian turun ke arah perut. Semakin ke bawah, aku menuju pantatnya yg hangat. Lalu kuelus mesra pahanya, hingga ke betis.

Kuhirup aroma tubuhnya. Kukecup pipinya lembut.

"Ehm…" Ia mendesis. Aku sendiri masih memakai boxer yg makin lama terasa makin sempit. Torpedoku sudah ingin meluncur ke lubang sasaran.

Kutarik rok panjang dan celananya, dan tersaji begitu indah dua bulatan pantat yang putih mulus seperti bakpao raksasa. Aku menelan ludah.

Kubuka pula pakaian atasannya yg berlapis. Aku cukup kesulitan, namun ia membantuku dengan sukarela. Mungkin juga tak sabar agar ini semua segera berakhir.

Sengaja aku sisakan jilbab lebarnya, bra hitam, dan celana dalam warna krem saja yg masih melekat. Aku ingin agak lama menikmati pemandangan indah ini. Kutaksir ukuran p a y u d a r a nya adalah 34B. Sangat indah dan tak kusangka ia menyimpan bulatan kenyal kembar itu di balik gamisnya.

Ugh... Kusibak jilbabnya. Aku mulai berani menciumi lehernya. Ternyata gayung bersambut, ia menoleh ke arahku dan mengajak bibirku berpagut.

“Mmhh.. mmmhhh... slurp...”

Lidah kami saling bermain, bagai sepasang kekasih yg tak bertemu lama dan menuntaskan hasrat cinta.

Tanganku tak menganggur. Kuremas satu di antara bukit kembarnya. Masih dalam keadaan memakai BH, kuselipkan tanganku dan kuraih puting susunya. Kugesek ringan dan sedikit kumainkan. Ia mengerang keenakan.

“Ssshhh... Bang.... Duh....” racaunya.

Setelah beberapa saat bermain di gunung, aku mulai menuruni lembah berbulunya. Kuselipkan jemariku dari atas, masuk menyelinap dan merasakan rambut kemaluannya yg halus.

“Akh... “ Mila mendesah ketika kugapai belahan bibir bawahnya yg mulai berlendir, pertanda rahimnya sudah hampir siap dibuahi.

“Kamu... Pakai KB?” Aku penasaran. “He eh…” Ia mengangguk pelan, sambil menikmati rabaan dariku.

Aku sedikit tenang. Berarti aku tak perlu mengeluarkan kondom. Ha ha.

Kuusap-usap bagian kewanitaannya, walau tanpa melihat. Aku tahu ia sudah pernah melahirkan. Kita lihat saja nanti rasanya.

Selesai berciuman, aku gunakan lidahku untuk menjilati bagian lain tubuhnya. Mulai dari leher, lalu turun ke atas dada. Bagian perutnya yg mulus dan rata tak luput dari bekas air liurku.

Aku menegang.

Kulepas kaitan BH Mila. Ingin sekali kuremas isi BH-nya yg menggairahkan itu. Ia terlentang. Penutup bukit kembar Mila telah kucampakkan entah ke mana. Di depan wajahku, kulihat gundukan yg nyaris bulat sempurna, licin, dan padat. Pentilnya kecoklatan dan mengacung seperti tombol bel cerdas cermat yg siap dipencet.

“Mila… Payu dara kamu indah sekali...”
Sedari tadi ia lebih banyak diam saja. Hanya erangan dan suara desis yg keluar dari mulut mungilnya.

Dengan kedua tangan, aku mulai menjelajahi dadanya yg menantang. Kuremas perlahan seperti orang mengaduk adonan donat.

Ia juga terlihat menikmati permainanku. Dengan gerakan seperti mengurut, aku perlakukan buah dadanya dengan penuh sayang.

Ia melenguh manja saat kusedot putingnya bergantian. Keluarlah cairan putih, air susu Mila.

“Bang… Jangan disedot please… Anakku masih butuh ASI,” pintanya. Aku menyudahi geloraku pada nenennya. Aku putar lidahku di atas puting susunya. Seperti sedang menjilati es krim saja. Sesekali aku kembali melumat bibirnya yg basah.

“Hmmppff… Ehh... Mmmm…”

Otomatis otong-ku jadi bergesekan dengan n o n o k nya. Semakin lama semakin mengeras saja otong ku.

Cukup lama aku bertahan di babak fore play. Kulihat celana dalamnya sudah lengket dan berlendir. Kalau diperhatikan lebih dekat lagi, sebagian bulu-bulunya yg halus menembus kain CD-nya.

“Mila sayang… Aku buka ya?” pintaku. Ia mengangguk pelan. Mungkin ia juga sudah tak tahan. Kutarik CD-nya dengan penuh harap dan cemas. Seperti apa m e k i wanita yg keluar rumah dengan cadar?

Selangkangannya putih dan pahanya tak bernoda. Ada sedikit bulu halus di bawah pusarnya.

Ia merapatkan pahanya. “Wooww….” Aku kagum setelah semuanya terbuka. Praktis ia hanya memakai jilbab lebar, yang kusingkap di bagian leher. Selebihnya, sempurna.

Barisan j e m b u t nya rapi terawat. V a g i n a nya khas beraroma. Aku sedot bagian atasnya, sampai membekas merah.

“Ahhh... Bang…”
Kubuka dua bibir bawahnya demi memuaskan rasa ingin tahuku. Dengan jari, aku belah Miss V nya yg merah muda merekah dan separuh basah.

Kusapu lidahku dari bawah menuju clit-nya, kumain-mainkan sejenak sesekali dengan jempolku.

“Aaaahh… Ja— Jangan Bang, gak tahan aku digituin.”

Ia memohon agar aku berhenti, namun tak kugubris. Kugapai celah surgawi miliknya dengan lidahku yg panjang. Kulumuri mulai dari bagian dekat a n u s nya hingga i t i l nya yang seperti biji kacang.

“Aaarrggghh…”

Serta merta ia rapatkan kakinya. Menjepit kepalaku di tengah.

Salam. Kuberikan layanan istimewa ini demi nafsunya terpuaskan. Semakin lama, semakin sedap, semakin berair dan meracau perempuan ini. Seprai sudah acak-acakan. Begitu juga jilbabnya, sudah tak kuasa menutupi rambutnya yg mulai keluar terlihat olehku.

“Enak sayang?” tanyaku sambil…
…kukenyot terus bibir vegi nya.

“Ahhh... Sss... Ooohh.... “ Badannya meliuk ke kanan dan ke kiri. Jemarinya menggenggam apapun yg bisa digapainya. Bantal, guling, selimut. Semua berantakan.

“Cruuttt... Cruut.. Crut..”

Cairan cintanya luber. “Bbb.. Bang... Abang.. Ohh... Udahan bentar,” katanya memohon sambil terpejam. Aku peluk ia erat-erat.

“Aku pipis dulu ya, Bang…” Ia lalu berjalan menuju kamar mandiku yg besar.

Kuperhatikan lenggok badannya dari belakang, masih dalam keadaan berjilbab. Namun hanya itu. Hanya jilbabnya yang terpasang. Selebihnya tak tahu bertebaran di mana. Jilbabnya menjulur hingga menutupi bokongnya yg indah, namun sesekali tersingkap sembari ia melangkah.

Kusyukuri pemandangan indah ini. Nikmatnya bidadariku ini. Padahal aku belum apa-apa. Ia berbalik.

“Abang ada handuk?”

Aku tersenyum, masih sambil menatapnya dari ujung ke ujung.

“Idih Abang... “ katanya. “Risih tau diliatin gitu…” Ia menutup bagian dadanya dengan sebelah tangan, dan sebelah tangan untuk Ms V nya.

“Habis seksi sih,” godaku. Aku berjalan menuju lemariku yg berukuran jumbo. Bahkan soal pakaian pun Bi Inah tak punya kuasa atasku. Kubuka laci paling bawah.

“Ini handuknya, Nyonya Manis…” Kuberi ia handuk tebal yg biasa aku pakai.

“Aw! Ih Abang!” Ia marah ketika kutepuk pantatnya gemas.

Langit seakan bocor, dan seluruh air di langit turun pagi ini. Entah kapan hujan akan berhenti. Kugeser tirai jendela. Di luar gelap sekali.

Aku mulai merapikan tempat tidur, untuk pertempuran kami di babak selanjutnya. Kupungut pakaian Mila satu-satu. Ahh... Celana dalamnya
Kuhirup sedikit celana dalam krem yg sudah berlumuran cairan v a g i n a nya.

“Hmmm...”

Aku selesai merapikan kasurku. Pakaian Mila pun kutumpuk di ujung ranjang. Ku semprot sedikit pengharum ruangan di atas seprai yg kusut.

Tubuhku masih prima menyambut ronde berikutnya
Mila keluar kamar mandi dengan berbalut handuk. Ujung jilbabnya yg hitam sepertinya sedikit basah.

“Yuk sini…” Kutepuk-tepuk kasur empukku, tak sabar memanggilnya.

Ia berjalan ke arahku sambil menunduk.

“Udah pipis, kan?” tanyaku. Ia mengangguk, lalu berbaring telentang. Wajahnya masih membelakangiku. Kupehanh dagunya lalu kuputar agar kami saling berpandangan.

“Mila Sayang…” panggilku. “Akan kuberikan permainan yg belum pernah kau rasakan sebelumnya.”

Aku buka handuk yg menutupi tubuhnya.

P e p e k nya masih sedikit basah, sisa-sisa dari kamar mandi. Aku sudah tak bisa menahan derasnya birahiku.

Kubuka boxerku yg juga telah berlendir. Isinya tersentak keluar dan membuat Mila menahan nafasnya.

“Astaga… Emang muat, Bang?!” tanyanya cemas.

“Makanya dicoba yuk,”
Kusiapkan “kereta api” tempurku di depan “terowongan” Mila yg menggoda untuk segera dimasuki.

Kumain-mainkan ujung kepala p e n i s ku di clit nya.

“Uuhh… Enak… Bang… Terus… Udah gak tahan…”

Ia makin binal. Tak dipedulikannya suami yg terbaring di rumah sakit. Tanganku tak mau terabaikan. Kulipat jilbabnya ke arah leher, lalu kugerayangi gundukan susu nya yang kencang.

Cerocosnya keluar seakan tak sadar.

“Duh… Ohhh... Pentilnya… Mainin pliss… Gelii… Ampun… Errgg…”

Padahal batangku belum masuk, masih ketuk pintu doang. Aliran air dari liang Mila terasa makin tak terbendung. Sepertinya ini momen yg tepat.

“Siap-siap ya Mila sayang…” kataku memberi aba-aba.

“Abang Joe… Pelan-pel… AAARRGGHHH!!!”

Bersamaan dengan kuhujamkan p e n i s ku sedalam yg aku bisa
Walau tak masuk seluruhnya, dapat kulihat badan Mila meregang. Pinggangnya melengkung, sehingga nampak tulang iganya yg seksi timbul. Kedua tangannya menggenggam erat bantal dan menutupi wajahnya.

Aku diamkan p e l i r ku agak lama di dalam m e m e k nya yg cair dan hangat. Pelan, kutarik seperempatnya keluar. Lalu kegerakkan maju lagi. Demikian seterusnya hingga bunyi kecipak antar kelamin kami menggema ke seisi kamar.

“Masukin lebih dalem nggak?” godaku.

“Uhh... Ohh.. Ampun... Sesek Bang… Ya ampun… Duh… Akh…” Tiap kali kusodok, ia meronta. Aku peluk ia. Ia balik memelukku. Kutempelkan pipiku ke pipinya.

Jleb. Bles. Bles. Clop.

Suara peraduan kami seperti bunyi lumpang dan alu yg dipakai menumbuk bumbu.

Pikiran nakalku timbul.

Aku lepas pegangan tangannya. Kucabut p e n i s ku seluruhnya. Ia termenung sebentar.

Aku mulai menggelincirkan sosis jumbo milikku di atas "lubang sumur" milik Mila. Hanya kugesek-gesek saja.

"Duh… Masukin dong Bang… Jangan siksa aku gini…" Ia memohon.

Aku masih ingin lebih lama menjahilinya. "Yah… Abang… Please Bang… Mila pengen…
Ia makin memelas.

N o n o k nya makin basah. Saat kepala jamurku sudah di depan lubang sempitnya, dengan sekali gerakan, kubenamkan seluruhnya sampai tak tersisa.

Zlebbb!

"Ooowwwhh…" Mila kembali berteriak. Untung di luar hujan, kalau tidak mungkin tetanggaku bisa dengar juga
"Terusin apa udahan, nih? Eh?" kataku sambil tetap bergoyang. Selain maju mundur, kadang juga kuputar-putar, atau kusodok menyamping. Kuusahakan menggaruk seluruh sisi lubang surgawinya dengan tongkatku yg besar dan panjang.

"Teruusss…" pintanya.

Aku letakkan kedua kakinya di atas pundakku. Pemandangan dari atas sini semakin luar biasa. M e m e k nya semakin terasa sempit dengan posisi seperti ini.

Kupompa terus. Kalau perlu sampai mblendung. Hi hi hi.

“Punya kamu enak banget, sempit kayak belum punya anak…” pujiku. “Jamilah… Pasti Bang Muhsin t i t i t nya kecil ya? Kamu jarang dipuasin dia, ya?” Aku hajar terus ia sampai mengaduh-aduh.

Sudah 10 menit kami di atas ring tinju empuk ini. Anggap saja per detik aku dapat 2x celup, berarti sudah lebih 1000 kali m e m e k nya menghisap batangku
Saat kemaluanku berada di dalamnya, serasa dipijat dan diremas-remas. Berdenyut dan berkedut nikmat. Legit walau berlendir.

Ia turunkan kakinya, lalu ia silangkan makin erat di pinggangku. Sepertinya sesaat lagi ia akan mencapai puncak kenikmatan langit ke-7.

Aku makin gencar memompa, mengaduk-aduk, seperti ingin menembus Miss V Mila hingga ke pantatnya. Kujambak jilbabnya dan kuciumi bibirnya.

“Hmmppfff… Mmmpppff…” Ia tak dapat bersuara.

Badannya mulai bergetar. Liang surgawinya terasa menjepit. Inilah saatnya, pikirku. “Aaaaahhhhh…!!"

Ia dorong badanku menjauh. P e n i s ku tercabut seperti batang ubi dari tanah yg padat. Badannya melengkung seperti udang terbalik. Terhentak sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu lunglai tanpa daya. Nafasnya tersengal. Ia meremas payu dara nya sendiri. Lanjut apa nggak? Udah 93% nyuruh lanjut. Tp gw lagi sibuk mau ujian, wkwkwk... Sabar ya boss
Ia telah mendapatkan orgasme yg hebat. Menggelepar bagai kemasukan.

Kunikmati tontonan ini. Inilah kali pertama aku melihat langsung seorang perempuan bercadar terpuaskan oleh lelaki yg bukan suami sahnya. Aku turut puas.

“Hah… Hah… Hah…” Jamilah mencoba mencari nafas. Tanpa mau membuang waktu, aku berbaring dan memeluknya dari belakang. Kugesek bibirku pada telinganya.

“Enak, sayang?” Ia tak menjawab.

Ya jelas enak dong kalau sampai kelojotan begitu. Aku jawab sendiri pertanyaanku.

“Saatnya ganti posisi, nih!” Aku membatin. Kuambil badannya dan kubuat ia menungging. Ia paham dan mengangkang agak lebar.

“Tahan ya, Sayangku…” Aku melihat ke arah cermin lemariku yg besar. Oh, aku semakin bernafsu. Ekspresi wajahnya lemas, tapi seakan belum ingin berhenti. Jilbab lebarnya sedikit basah dari keringat kami berdua. Tenagaku masih banyak. Badanku masih prima. P e n i s ku yg kekar siap menerjang lubang Mila dari belakang.

Karena sudah licin, aku lesatkan batangku dalam sekali gerakan maju.

ZZZZZLLEEEBBB!

“Arghhh…”

Ia tak tahan untuk tetap tak bersuara. Kugesek maju mundur seperti main kuda-kudaan.

Zlop! Plok! Plok! Slop! Zleb!

Suara hentakan pahaku dan pantatnya berima.

Jamilah meringis dan wajahnya kelihatan makin seksi bila kulihat dari kaca lemari.

“Ohh… Ahhh… Ssshh…”

Sambil berguncang, badan Mila tertungging menikmati setiap helaan sodokanku. Payu dara nya turut bergoyang, semakin menambah sensualitas persetubuhan kami.

Ohh… Aku sungguh tak menduga ajian Mbah Wiryo bisa membawaku hingga seperti ini.

Ah, orang tua itu. Bayang-bayang Mbah Wiryo muncul sekilas di ingatanku. Kutaksir umurnya sudah lewat separuh abad. Namun sepasang bola matanya meneduhkan, penuh ilmu dan pengalaman, bak orang yg sudah ribuan tahun hidup di bumi. Matanya terlampau banyak melihat kebusukan dunia. Selain melayaniku sebagai salah satu pelanggan yg istimewa (karena aku berani membayar mahal, untuk segalanya), ia juga banyak memberikan nasihat khas orang tua kepadaku.

Aku masih ingat salah satu wejangannya. Tentang “jalan hidup” yg aku ambil, tentang pilihan-pilihan. “Nak, sampeyan itu sebetulnya orang baik.. Mbah yakin suatu saat sampeyan akan kembali ke jalan sing bener. Cuman mungkin belum sekarang waktunya..”

Kira-kira itu salah satu dari sekian banyak pesan si Mbah. Aku tak tahu, apakah aku spesial di pandangannya? Dia sudah menjalani kehidupan yg orang normal tak bisa bayangkan. Lukanya telah terlalu banyak. Kekesalannya tak digubris. Dari Mbah Wiryo, aku bukan hanya belajar tentang dunia yg kelam semata, namun juga filosofi bahwa sejatinya ia juga tak ingin masuk ke sana. Tak seorang pun. “Ohh… En… Nak… Ugh… Ashh… Ampun… Ampun Bang…”

Erangan Jamilah membuatku fokus kembali pada perpagutan kami berdua. Sesekali kuremas dan kutepok pantatnya. Sangat menggemaskan.

Kulupakan sementara Mbah Wiryo. Aku ingin melampiaskan hasratku dulu. Ia makin lama makin meracau.

“Sodok… Terus… Duh… Ih Bang… Mentoook… Aduh… Ouch… “

Entah sudah berapa menit aku menghentak m e m e k nya. Sudah tak dapat lagi kurasakan betisku sendiri. Aku bosan gaya ini.

Kucabut p e n i s ku.

PLOP! Kugeser tubuhnya menjauh dari tengah kasur. Masih dalam posisi menungging, namun kini di ujung tempat tidur. Aku berdiri di belakangnya.

Bless!

Kembali kupompa ia. V a g i n a nya telah banjir. Cairan lengket keluar. Mengaliri pahanya yg mulus, seperti susu kental manis. “Hoh... Oh… Ih… Auch… Mmppff… Erh… Fff…” Jamilah menikmati sekali mengenyot p e l e r ku dengan m e k i nya.

Kupegang kedua tangannya ke belakang. Saat pantatku maju, kutarik bersamaan dengan gerakan menusuk.

Zzlopp! Bop! Flop! Plok!

Suara becek keluar dari hentakan kami
Setelah puas dengan gaya itu, aku coba gaya lain. Kini kugenggam dan kuremas kedua payu dara nya yg menggantung bebas. Jilbab lebarnya sedikit mengganggu, jadi kulilitkan saja di lehernya.

“Ayo Jamilah, ngomong dong kalau enak… Aku aduk-aduk ya sayang…” Aku pancing birahinya. Plok! Plok! Plok!

Suara yg khas seperti orang bertepuk tangan dalam keadaan basah.

Setelah beberapa waktu, aku lelah, namun masih jauh dari ingin keluar. Aku coba untuk membuatnya makin menungging.

Kupegang belakang lehernya, kutahan sebelah tangannya di belakang punggungnya. Ia semakin bersemangat. Sepertinya ia bakal keluar lagi.

“Ughhh… Ak—Akku… Keluaaarr!!” Ia memekik. Aku turunkan ritme goyangku. Kubiarkan ia menyemburkan kepuasannya.

“Ahhhh…” Ia bergidik seperti ayam betina selesai dibuahi.

“Ma—Maafkan aku, Bang Muhsin…” katanya lirih. Aku diam saja sambil menikmati kedutan m e k i nya yg dahsyat. Luar biasa perempuan ini, sangat disayangkan suaminya menyia-nyiakan tubuh semolek ini.

“Maafkan aku juga ya Bang Muhsin, sudah m e n g e n t o t istri Anda,” kataku berkelakar.

Dapat kulihat dari ujung matanya keluar air. Aku tak tahu apakah itu air mata kesedihan atau air mata keenakan. Hi hi hi. Aku nakal ya?

Biarin aja. Salah sendiri Bang Muhsin, kok cewek cakep begini dianggurin. Mendingan aku yg garap. Ha ha ha.

Kuajak ia berbaring. Aku ingin memompanya dari belakang, sembari berbaring. Ini tak jadi masalah kalau kau punya batang sepanjang 20 cm.

ZZLOOPPP!

Goyanganku semakin padu. Ranjangku berdecit. Untung mahal, tak gampang rusak.

Jamilah belum sempat menarik nafas panjang.

“Oh, nikmatnya m e m e k kamu, Mila… Belum pernah kemasukan yg kayak gini ya?” Aku menggenjotnya sambil meremas bongkahan susunya yg pulen.

“Aduh Bang… Udahan… Le— Lecet nih…” Ia meringis kesakitan.

“Perih-perih enak kan sayang?” godaku masih sambil terus menusuk-nusuknya.

Entah berapa menit suara plak-plok-plak-plok terdengar menggema di dalam kamarku yg luas. Aku ingin segera ganti gaya lagi. Sepertinya Jamilah sudah tak kuasa untuk mengimbangi ritme perzinahan ini.

Kupegangi sebelah kakinya, dan kuhentak sedalam yg aku mampu.

Zlob! Blok! Plok!

Kutempel mulutku di telinganya yg tertutup hijab. “Jamilah sayang, coba bilang… “

“Nggh… Eh… Fff…”

“Aku…”

“Ak—Akuu… Oh… Ssh…”

“Suka…”

“Su—Su—Suka…ah…”

“K o n t o l besar…”

“Ah… Aku… Suk—Suka… K o n t o o o o o o l… Duh… Hnggh…”

“Coba bilang lagi?” kataku

“Ak—Akuu.… Sukaa… Kon— K o n t o l l l l!!! Iyah… Aku… Suka ama k o n t o l ah… Abang… Gesekin… Ouch… Terus… Uh… Bang!”

Jamilah telah lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan yg kucipta untuknya. Resmi sudah raganya aku taklukkan.

Mulai kini, tiap kali aku “butuh”, ia dapat dengan mudah aku suruh-suruh untuk melayani libidoku yg tinggi.

“Istirahat dulu yuk?” Lama kelamaan kaki dan pinggangku pegal juga. Ternyata ia punya inisiatif.

“Oh… Abang kuat banget, beda sama Bang Muhsin, paling 15 menit udah KO”

Wanita ini ternyata tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Entahlah, siapakah sekarang yg menjadi budak s e k s siapa? Akukah yg menjadi budak s e k s baginya, ataukah aku ini tuannya?

“Gantian aku yg di atas aja Bang,” Mila mendudukiku. P e n i s ku masih berdiri tegang.

Zleeebbbbsss.…

Batangku seperti pedang dimasukkan ke dalam sarungnya. Amblas sampai ke pangkalnya. Oh, sungguh tak bisa kulukiskan dengan kata.

“Engghh…” Mila mulai mengerang. Selain naik turun, ia goyangkan pinggulnya bak penyanyi dangdut.

Kuremas pantatnya. Kupegang pula sesekali pinggangnya yg seksi, seperti bodi gitar spanyol.

“Kamu cantik, Mila…” pujiku.

“Ah… Gombal… Mila jadi perempuan ke berapa yg pernah Abang giniin?” Pertanyaannya mengagetkanku.

“Kamu wanita bercadar pertama yg aku e n t o t,” jawabku

Aku merem melek dibuatnya. Serius aku akan lebih cepat keluar kalau dioral, atau pakai gaya WoT seperti ini.

“Mila sayang, Abang udah mau ngecrot nih…” kataku jujur.

Aku mengubah posisi. Kutegakkan badanku. Aku duduk, ia masih tetap “berkuda” sambil memutar-mutarkan pinggul.

Kupilin-pilin puting susunya. Kujilat-jilat dan kadang kugigit manja. Kuhirup aroma lehernya. Jilbabnya makin kusut.

“Sayang, kita maen cepet yuk, biar keluar bareng,” kataku.

Plop! Kulepas dahulu batang k o n t i ku dari lubang kenikmatan Mila.

Aku beranjak menuju meja dekat lemari. Aku ambil iphone ku dan kubuka aplikasi perekam video.

“Idih Abang… Kok direkam sih?” Mila protes padaku.

“Buat kenang-kenangan ya sayang, supaya aku bisa inget kamu terus,” kilahku.

“Malu ah!” Wajahnya ditekuk. Ia makin cemberut.

Kucolek hidungnya yg mancung.

“Tenang aja, pake ini aja ya? Kan gak bakalan ada yg tahu!” Aku mengambil cadar miliknya dan memintanya memakainya kembali.

“Hah?! Entar kalau ketahuan gimana?” Ia masih tak yakin.

“Tenang aja sayang, ini buat berkas dokumenter aja kok, hi hi hi”

Aku pun tak mungkin sebodoh itu menyebarluaskan video pribadi. Semua akan tersimpan rapi di hard-disk virtualku di internet.

“Ngg… Iya deh…” Akhirnya ia setuju.

Aku ingin mengakhiri permainan terlarang ini dengan indah.

Blesssss...

“Ugghh…” Mila menerima sodokanku.

Kecipak… Ceplok… Pluk… Plak…

Kamera handphone-ku kuarahkan pada p e n i s yg merangsek masuk ke m e m e k Mila.

“Enak nggak sih, sayang? Ngomong dong…” kataku.

“Iyah… En… Enak, Bang… Terusin aja…” Ia melingkarkan kakinya di pinggangku. Erat seperti pengait hidup.

Aku mempercepat gerakan. Kulihat Mila sudah meremas p u t i n g susunya sendiri. Itilnya sambil kugesek-gesek dengan jariku. Ia melenguh.

“Terus Bang… Ayo… Uhhhh… Ouch… Dalem banget… Ampun… Besar banget… Ihh…” Aku makin semangat mendengar celotehnya.

Rasanya isi buah zakarku sudah akan mau meledak. Aku ingin Mila juga merasakan puncak kepuasan yg sama. Berbarengan menyemburkan cairan cinta.

“Mila… Uh… Aku udah mau keluar nih…” kataku.

“Iya Bang, oh… Sam—Sama-sama ya Bang… “ pintanya memelas.

Sambil masih memegang handphone yg dalam posisi recording, aku makin tak kuat ingin menumpahkan “putih telur” ku.

“Aku crotin di cadar kamu ya, Manis…” ideku nakal.

“Duh… Jang—Jangan Bang… Nanti ketahuan… Or…Orang… Rumah…Ssshhh.... Aahh..”

Tapi aku tak peduli.

Kuhentak hingga mata Mila seperti kemasukan setan.

“Ooohhh… Baangghh… Yess… Mmmpphh… Arrgghh… “ P e n i s ku yg gemuk dan lebar kujejalkan hingga ke dalam rahimnya.

“Mil… Mila… Abang keluaaaarr…”

Aku cabut dan kuarahkan selang airku ke wajahnya yg ngos-ngosan.

Tangan kiriku masih memegang hape. Tangan kananku mengocok-ngocok timun suri kebanggaanku, persis di wajah tertutup cadar Jamilah.

Zroooott… Zrot… Crot… Crut… Crit… Crot…

S p e r m a ku berhamburan seperti saos mayonaise keluar dari hotdog. Lelehannya juga masih mengalir.

“Aahh… Ssshh… Ah… Brrr…” Aku bergidik menahan nikmat. Mila terpejam karena sebagian p e j u h ku menutupi matanya.

“Amboy enaknya…” kataku.

Tombol rekam kumatikan. Lumayan jadi satu video “dokumenter”. He he he…

"Oh… Hosh… Hosh… " Nafas Mila juga kembang kempis tak beraturan. Ia menggeleng ke kanan dan ke kiri. Berusaha untuk meredakan gejolak birahi yang terlanjur memuncak.

Kubuka cadarnya, lalu kukecup bibirnya penuh kemesraan. "Terima kasih sayang," kataku tulus.

Ia berusaha membersihkan sisa-sisa s p e r m a ku. Kuperhatikan wajahnya yang putih bersih seperti dewi.

Aku berbaring di sampingnya. Kuselimuti dia, walau tubuh kami bermandikan keringat. Suhu AC yang dingin dan hujan di luar, tak sebanding dengan panasnya adegan ranjang kami.

"Aku yg harusnya terima kasih sama Abang," Ia merapat ke badanku yang kekar, lalu mengelus lembut burungku yg melemas, setelah memuntahkan lahar hangat di wajahnya.

Tenagaku terkuras habis. Badanku lunglai. Siang ini aku masih ada kuliah, sekaligus janjian dengan rekan usaha.

Kubuka lagi handphoneku, dan kuputar ulang hasil rekaman versi amatir kami.

"Iiihhh… Bang, aku kan jadi maluu… " tukasnya, berusaha merebut handphone dari tanganku.

"Eits, untuk do-ku-men-ta-si," Aku berkilah sambil menepis tangannya. Ha ha ha.

Kulihat jam dinding kamarku, sudah hampir jam 11. Hujan tak kunjung menipis. Langit masih suram. Rasa kantuk hebat dan lelah menyerangku, aku ingin tertidur sebentar.

Samar-samar kulihat Mila menurunkan selimut, lalu membuka jilbabnya. Ia berjalan ke kamar mandi.

Kuperhatikan dengan seksama bodinya yang aduhai. Meliuk-liuk sambil berjalan, mempertontonkan paha dan bongkahan padat pantatnya yang mulus dan indah.

Ia mengambil handuk yg tadi, lalu berjalan ke arah shower.

Tak lama kemudian, "Bang?" Ia memanggilku.

"Ya?" sahutku.

"Eng… Cara ngidupin showernya gimana?" Lugu sekali dia, bahkan dengan shower pun nggak pernah ketemu!

"Bentar ya, Sayang…" Aku berjalan menuju kamar mandi. Dapat kulihat bayangan tubuhnya dari kaca buram di sisi pancuran air. Entah kenapa aku kembali bernafsu.

Kubuka pintu kaca, dan saat itulah aku terhenyak. Tatapanku terpaku pada wajahnya. Wajah yang baru kali ini kulihat tanpa hijab dan cadar.

Wajah bidadari surga, walaupun aku tak pernah berada di sana, atau karena dosaku yang menggunung, membayangkan bisa sampai di sana.

"Bang? Ini gimana? Hmm… Maaf ya, Mila nggak ngerti," kata-katanya polos.

"Sini Abang ajarin, sekalian Abang mandiin," pancingku.

Kuhidupkan shower. Memancar air hangat yang membasahi tubuh kami berdua. Sejenak aku mulai merasakan kenikmatan hidup.

Kupeluk Mila, kubisikkan kata sayang. Kuelus mesra p a y u d a r a nya yg menantang. Aku tak boleh melewatkan kesempatan ini, toh di luar masih hujan.

Kulumat lagi bibirnya yang tipis merekah. Kusedot hingga ia susah bernafas. "Otong"-ku kembali e r e k s i.

Ia melihat ke bawah sebentar.

"Hah?? Abang mau lagi!?" katanya terkejut. "Ampun Bang… Kalau begini terus, m e m e k Mila bisa robek… " protesnya.

"Hi hi hi, biarin aja, soalnya kamu napsuin banget. Biar aku gembok m e k i kamu terus kuncinya aku yg pegang, biar Bang Muhsin nggak ikut-ikutan masukin."

Aku bersiap memberi sodokan di bawah kucuran air hangat.

Zleebbs..

Batangku ditelan v a g i n a nya.

"Aaahh…"

Mila mendesah keenakan. Sebelah kakinya kuangkat satu, kubantu ia menopang badannya. Kutekan ia hingga menempel pada dinding ubin kamar mandi.

Otot di dalam lubang senggama nya mulai berkedut dan memijit-mijit p e n i s ku.

"Uuggh.. Sssh… Abang… Ouch… " Hanya erangan semacam itu yang keluar dari mulutnya.

"Ohhh… Mila sayang… Enaknya n g e n t o t i n kamu kayak gini, kayak di film-film b o k e p," racauku.

Gunung berpentil merah muda miliknya pun turut aku usap-usap.

"Gila kamu Bang, gila gila gilaaa… N g e w e kayak kuda ajah! Ahh… Sodok terus Bang!" kata-kata Mila membuatku semakin kuat menggenjotnya.

Slopp… Slurp… Plok… Plak… Suara erangan, desahan, dan dorongan pantatku menuju liang surgawi Mila memenuhi ruang kamar mandiku.

Aku memompanya makin gencar. Aku juga tak ingin berlama-lama di shower, rasanya pegal dan lebih melelahkan.

"Mila Sayang… "

"Iyah… Ah… Bang?"

"Aku crot di dalem aja ya, Sayangku?"

"Iyah… Masukin… Masu— Masukin yg… Ah…. Dalem aja Bang… Ak— Aku… Pake KB… "

Biji kembarku yg separuh kosong turut terhentak-hentak beriringan dengan batangku yg keluar masuk v a g i n a Mila. Jepitannya terasa berbeda saat kami bermain dalam posisi berdiri.

“Dikit lagi aku orgasme, Sayang…” kataku.

“He eh, Bang… Mun—Muntahin yg banyak Bang… Ouch… Sampe mentok… Aduhh… Enak banget ya ampunnn…”

“Mila sayang, luar biasa jepitan kamu,” kataku lagi. “Jepit yg kenceng, Sayang… Aku udah ga tahan nih…”

“Aduh… T i t i t Abang… Ka—Kayak ada gerigi-geriginya… Ooohhh… Hah… M e m e k aku sampe gatel… Mmff…”

Air hangat dari shower masih mengalir. Kedutan dan hisapan lubang kemaluan nya makin terasa nikmat.

Saat kutarik p e n i s k u, m e m e k Mila seakan tak ingin melepaskannya, seperti vacuum cleaner saja.

Sepertinya kami akan keluar bersama. Kupercepat ritme sodokanku.

Szoppp! Plak! Bffh! Makin cepat dan semakin cepat. Akhirnya…

“Abaaang!!”

“Ahhhh.... Milaahh!!!” teriakanku menandai semprotan cairan cinta yg bertubi-tubi di dalam rahimnya.

Crooottt… Cruuutt… Cuuusss… Crut… Crut.

Semakin kendur namun tetap meleleh di dalam. Lututku bergetar. Dada kami saling melekat. Kupeluk ia erat. Bahagianya aku

“Yahhh… Meler deh…” Mila menggodaku dengan senyuman manisnya.

“Udah dong Milaku sayang, jangan disedot-sedot terus, aduh…” Cairan oli dari p e n i s ku memancar lemah. Aku meremas pantatnya yg bundar. Entah keringat ataukah air mandi yg membasahi kami sekarang.

“Iiiihhh si Abang, Abang tuh yg ngocor terus, hi hi hi,” tukasnya manja.

Kami saling menyabuni bagian tubuh, lalu mandi dalam keadaan berpelukan. Harus kuakui rambutnya sangat terawat, untuk ukuran orang yg tak mampu secara ekonomi, yg jelas tak punya uang untuk perawatan.

“Abang puas?” tanyanya sambil menatapku. “Puas banget dong! Kamu seperti telah membawaku ke atas awan, bidadariku…” jawabku mantap.

Selesai mandi, ia berpakaian. “Gara-gara Abang, cadar sama hijabku bau amis nih…” Ia bersungut.

“Santai, kan tinggal dicuci, aku punya pengering uap, kalau tidak kering juga nanti bisa pake hair dryer,” kataku memberi solusi. “Jika ditanyain, bilang aja basah kehujanan,” lanjutku lagi.

“Hi hi hi, basah apa dibasahin?” Kerlingnya nakal.

Ia mulai melakukan apa yg kusuruh. Sedangkan aku mulai merapikan dan mengemasi “barang bukti” sisa pagi ini.

Ketika aku merapikan rambutku di depan cermin. Tiba-tiba, Mila datang dari belakang dan memelukku.

“Bang?” Ia memulai obrolan.

Aku mendehem. “Kenapa? Mau digoyang lagi? Aku udah lemes tauk.”

Ia diam saja. Aku jadi kikuk. Kutarik dagunya. “Kenapa sih?” tanyaku penasaran. Ia menunduk.

“Abang udah punya pacar? Mila… Mila mau jadi pacar Abang…”

Ia memelukku makin erat. Pelukan yg tak biasa.

Aku balik memeluknya. Pelukan yg berbeda pula. Pelukan yg seolah tak akan lepas.

Kuelus pelan punggungnya. Kuhirup aroma rambutnya. Sebetulnya inilah kondisi yg tak aku harapkan. Kondisi di mana dua insan yg memuaskan hasrat birahi, terjebak dalam posisi saling berharap.

Berharap untuk sebuah komitmen.

Terus terang aku tak siap.

Semua hubunganku dengan wanita, hanya sekadar ingin melampiaskan nafsuku semata. Aku tak pernah mencampakkan, dan tak tahu rasanya ditinggalkan. Karena aku tak pernah berharap. Bahkan sekali pun.

Aku pun juga tak pernah meminta komitmen apapun dari partner s3ks ku.

Pertanyaan Mila barusan, entah apapun tujuannya, secara tak langsung memojokkan aku dalam suasana canggung dan bingung.

Aku tega? Ku pikir aku harus tega. Sebuah komitmen tak akan lahir dari ketidaksungguhan.

“Mila… Abang ga pernah punya pacar,” jawabku. “Tapi kapanpun Mila mau, Abang pasti datang,” lanjutku lagi. Aku rasa itu jawaban paling datar dan paling menenangkan yg aku bisa.

Aku matikan AC dan membuka tirai jendela. Ku giring Mila berjalan menuju balkonku yg lapang.

Hujan berangsur menipis. Alam pun paham urusan kami sudah selesai. Kubuka pintu kaca yg besar.

Segarnya udara selepas hujan. Bau tanah basah. Kutarik nafas dalam-dalam. Aahhh… Kami duduk bersebelahan. Rapat, seperti sepasang pengantin baru sehabis malam pertama.

“Kayak bulan madu ya, Bang? Hi hi hi…” Mila tersenyum menampakkan giginya yg putih dan rapi.

“Hhmm… Bukan. Kayak orang habis n g e n t o t!”

Ia mencubitku genit. “Romantis dikit napa, Bang?” pintanya.

“Katanya tadi pengen cepet pulang?” tanyaku.

“Gak jadi… Soalnya…” kalimatnya putus. “Soalnya apa?” tanyaku lagi.

“Soalnya… Enak sih!” jawabnya malu-malu. Kusadari jawabannya sangat wajar. Jawaban seorang istri yg mendamba suami perkasa, yg memberi kepuasan lahir batin.

Tak lama, Mila pun pamit pulang.

***

Beberapa hari setelahnya, Bang Muhsin akhirnya dioperasi dan berangsur pulih. Aku yg tak sempat menjenguknya di RS, akhirnya berkunjung ke rumahnya setelah ia dibolehkan pulang.

Ia berkali-kali berterima kasih atas pinjaman uang yg aku berikan. Aku tak mungkin berterima kasih atas “pinjaman” tubuh istrinya padaku, kan?

Sesekali Jamila mencuri-curi pandang ke arahku.

Kami bersikap biasa saja, walau dalam hati kapan-kapan ingin aku gerayangi lagi tubuh indah di balik hijab lebarnya itu.

Oh, jika mengingat peristiwa itu, celanaku seketika menjadi terasa sempit.



CATATAN PENULIS:

- Semua cerita adalah fiksi, tidak berasal dari pengalaman pribadi, atau kisah sebenarnya. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, alur, dan lain-lain, adalah murni kebetulan semata.
- Mohon maaf kalau ada kesalahan penulisan, gw sendiri masih belajar. Btw, perlu gw ceritakan bahwa cerita di atas gw ambil dari twit-twit gw sendiri yang gw kumpulin. Jadi mohon maaf kalau ada kesalahan copy-paste. Saran, kritik, komentar, sepedas apapun pasti penulis terima.

Salam,
sukaniqab


Next Part : https://v1.semprot.com/threads/ahmad-jonathan.1351145/post-1902013356
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd