Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

Bimabet
Lha konti ente kan sebesar lengan wkwkwwk

:(( kasihan amat ceweknya kalau gitu...
woww MILA istri ustadz malah jadi ngebayangin seseorang wanita istri ustadz juga Gile Min Gan Suhu namanya MILA juga wah jadi sange
Kebetulan semata hahaha.
suka banget yg cadaran gini bro hehe
Sama donk...
bgus bgt critanya,, bnyakin lg donk fantasi2 sex ama akhwat..
Rencananya semua cerita ini akan di situ situ juga
Wah ga nyangka ideny dri Sang Penggali Kubur... ini legend bgt tp kentang krn mpe skrg endingnya ga ktm2...

Lanjuuut bos... Saran jgn akhwat niqab aje. Klo bs chinese jg biar adil. Wkwkwk piss

Sampe sekarang juga gw nyariin tuh ending kayak pegimana sih?? Haha.. Punya versi lengkapnya nggak Om?

Semoga bisa ke situ-situ juga ya. Terima kasih sarannya.
 
Menarik nih ceritanya... Bikin jamilah tambah liar .. ijin ikut nyimak sambil numpang rebahan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Oke. Part 6 sedang ditulis. Sampai part 5 sudah siap. Tinggal ditandaskan. Oh, sayang sekali ini cuma fiksi. :)




Fiksi semata. Tapi imajinasi dan asumsi masing-masing sih bebas.



"Kemasukan tangan" <-- sumpah dah ini gw kagak ngarti haha... Anyway, thank you!


Naahh... Belum kepikiran sih.


Kurang eksplisit apa lagi dari cara ane pilih username ?

Siap, mungkin di part 193 entar. Haha...


Thank you sarannya. Gw terinspirasi sebuah kisah dewasa dengan judul "Sang Penggali Kubur", bisa dicari dengan kata kunci: pelet juragan karta. Di situ tokoh utamanya cuma sendirian, dan dia dengan mudahnya mendapatkan korban hanya dengan ajian / pelet. Nggak serunya, di situ ya cuma 1 PoV doang, dan targetnya wanita "umum" aja. Sedangkan gw, di Part 4 nanti bakal ada PoV berbeda, dan keseluruhan target adalah cewek dengan hijab.

Well, gw nggak ngerti gw bikin endingnya seperti apa. Di twit**ter, gw bikin cerita ini sambil ngadain polling. Jadi sebetulnya alur cerita ini adalah hasil "gotong royong" dari followers gw juga, yang kasih DM, yang kasih komen, dll. Mereka ini turut membangun cerita ini dari awal sampai akhir.

Kira-kira gitulah hahaha.
ID twit**ter-mu apa?
 
Cerita sukaniqab masih berusaha menemani kebosanan Anda dengan fiksi wanita hijab terbaik. Selalu penulis ingatkan bahwa keseluruhan cerita hanya imajinasi semata, BUKAN berdasar kisah nyata.

Selamat membaca.

Supaya nyambung, silakan lihat tab likes penulis. Sudah ada 2 cerita sebelumnya: ‘Ajian Mbah Wiryo’ dan ‘Ia Gadai Tubuhnya Demi Suami’. Semuanya saling berkaitan.

PART 3
KUCUMBU DOKTER EVA DI RUANG PRAKTEK

“Mau diantar ke dokter, Den?”

Mang Ujang menawarkan bantuan. Seperti biasa, aku menggeleng dengan halus. Padahal demamku sudah 40 derajat, dan sejak dua hari lalu tak kunjung membaik.

“Nanti kalau Aden kenapa-kenapa, Mamang gak tanggung jawab ya,” kata Mang Ujang ketus.
Ia benar. Dalam sosok dirinya ada seorang Ayah, dan dalam diriku ada sosok anak yg bebal susah diatur. Kekhawatirannya adalah kekhawatiran khas orang tua.

“Kalau harus ke rumah sakit, males Mang!” jawabku.

Gigiku gemeretak. Bahuku menggigil.

Selama aku sakit, Bi Inah dan Mang Ujang bergantian merawatku. Aku tak butuh dan tak merasa butuh siapa-siapa lagi. Kupikir semuanya akan segera baik-baik saja. Nyatanya tidak.

Kini aku hanya meringkuk dalam selimut. Kalau kuingat lagi…
Ini semua gara-gara aku kesulitan mencari ayam kampung hitam untuk disembelih di hari Kamis Pahing.

Entah kenapa, tak kunjung kutemukan apa yg menjadi syarat dari Mbah Wiryo itu. Di pasar becek, di ujung kampung, sampai dari toko online, semuanya tak mampu menjawab.
Tapi aku tak menyerah. Bang Badrun, hansip keliling yg merangkap sebagai tukang gali kubur, akhirnya menyanggupi permintaanku.

Tentu dengan sedikit bayaran. Namun dibanding jika aku harus mengulang perjalanan menuju Mbah Wiryo, semuanya jadi tak seberapa.
Aku tak mungkin menyuruh Mang Ujang atau Bi Inah. Mereka berdua sudah terlalu sering curiga, apalagi saat kejadian bersama Jamilah tempo hari lalu.

Ah, Jamilah… Kalau ingat dia, darahku kembali berdesir menuju area kemaluanku.

Yg mereka tahu, aku adalah anak baik-baik yg berusaha hidup sendiri dengan warisan bisnis dari Papa dan petuah hidup Mama.

“Kalau ke dokter umum saja, gimana?” Mang Ujang masih berusaha membujuk.
Sebetulnya aku benci dokter, rumah sakit, atau apapun yang berkaitan dengannya. Bagiku, industri kesehatan hanyalah alat bisnis.

Mengapa petugas kesehatan berbaju putih-putih bak malaikat? Menurutku karena ingin menyamarkan niatan komersialisasi mereka saja. Tak lebih.
Sakitku akan semakin parah, dan terang saja itu menghambatku kuliah dan menjalankan usahaku.

Namun akhirnya aku harus mengalah. "Baiklah, yang dekat-dekat saja, Mang… " pintaku lirih.
Mang Ujang mulai mengambil kunci Fortuner. "Mobil putih aja Mang, yang itu kan barusan dicuci?" Ia mengangguk. Suara guntur saling meledek di langit. Musim hujan sepertinya menyambangi kami lebih awal.

Aku tak mau usiaku habis hanya untuk ke salon mobil saja.

Aku bersiap. Kuambil jaket bomberku. Kutahan meriangku. Dompet, handphone, semuanya kumasukkan ke dalam saku. Kupakai kaos kaki yang sedikit tebal. Tak lupa sapu tangan jika hidungku meler.

"Sakit apa ini? Jangan-jangan 'dikirim' sama saingan bisnis?" Aku berseloroh dalam hati.
“Mamang bawa payung, kan?”

“Selalu ada di mobil, Den,” jawab Mang Ujang.

Tanpa lama, kami berdua sudah menembus jalan kampung, dan menuju keramaian kota.

Jemariku masih menari di atas gawai. Menjawab semua chat. Rekan usaha, teman kuliah yg kuabaikan, calon pembeli, dan…
Nomor siapa ini? Tasya? Dia bilang jangan saling kontak via WhatsApp? Hm, bikin bingung aja nih cewek.

“Udah sampe, Den!” Mang Ujang buat aku kaget. Cepat betul, pikirku. Kukesampingkan dahulu Tasya dan memori indah kami berdua di langit.

Di luar, rintik hujan menyambut.
“Ga pake payung, Den?” tanya Mang Ujang.

“Nggak usah, Mang. Aku lari aja, mumpung belum deres. Mamang tunggu di mobil ya, nanti kalau kelar aku telpon. Hapenya jangan dimatiin!”

“Baik, Den.”

Kuberondong Mang Ujang dengan sederet perintah.

“Eh, satu lagi, kalau ngerokok jangan di dalam mobil, ya!” pesanku. Aku kurang suka aroma kretek. Entah kenapa usaha Mang Ujang untuk berhenti tak kunjung berhasil.

Aku bersiap bak sprinter, dengan garis finish hanya 30 meter.
Aku berlari menuju bangunan berwujud ruko 2 lantai. Ternyata ramai juga. Kulewati beberapa kendaraan yang parkir.

Aku tiba di garis akhir: sebuah beranda. Semua tanpa kebasahan berarti. Badanku berkeringat. Aku tak tahu itu pertanda baik atau justru aku harus cepat dapat obat.
Kubaca dalam hati plang besar di depan:

PRAKTEK UMUM
dr. EVA SUGANDI

SIP:43/309/Dinkes/S-P/ Ah... Bodo amat. Tak kuteruskan membaca deretan angka itu karena terlalu malas. Dan tak penting.

Bagian depan digunakan untuk sebuah apotek kecil. Kuliah beberapa orang menunggu.
Mungkin mereka sedang menunggu racikan obat.

Ada 2 orang pegawai apotek yang cukup cantik. Salah satunya berjilbab lebar. Sedangkan satu lagi, tak berjilbab namun dari bongkahan payu dara nya kulihat menggairahkan. Keduanya sedang melayani pembeli.

Aku antri di mana?

Kuputuskan mengantri di wanita berjilbab lebar. Wajahnya lebih manis, dan keluguannya mungkin menyembunyikan nafsunya yg besar. Di depanku ada seorang Bapak tua yang jaketnya agak lusuh. Sepertinya ia selesai cek gula darah. Akhirnya tiba juga giliranku.

“Assalaamu’alaikum Mbak”
“Wa’alaykumsalaam…”

Senyumnya manis sekali kayak gula dua kontainer. Jilbabnya warna ungu muda, dipadu bros emas dan kemeja panjang warna putih. Lumayan juga nih kalau aku bisa kenalan dan sepik-sepik iblis. Siapa tahu hoki dapat darah p e r a w an. Ah…
“Cari apa ya, Bang?” jawabnya tak kalah ramah. Aku gelagapan. Lupa kalau sedang sakit.

“Oh.. Saya, mau periksa. Dokternya ada?”

“Ada. Tunggu sebentar ya, Abang kena antrian nomor 3.”

Ia mengambil secarik kertas dan pena. “Silakan isi nama, usia, sama no hape ya Bang.”
Sebuah formulir. Sangat kolot sekali. Seperti pada umumnya.

Kuserahkan kertas berikut isinya pada si hijaber ungu. “Saya udah isi. Mbak nggak isi juga? Minimal nama sama nomor handphone,” godaku. Ia tersipu. Tapi tak merespon lagi.
“Tunggu sebentar ya, duduk saja dulu nanti nama Abang dipanggil.”

Aku mengangguk, lalu melangkah ke bangku panjang. “Ini mungkin akan lama,” pikirku. Aku kembali berkutat pada handphone-ku.
Di luar, tetesan air hujan semakin gencar. Gemuruh di langit bak suara orkestra dengan dominan suara drum dan simbal.

Tak kulihat mobilku parkir di depan. Mungkin Mang Ujang parkir agak jauh. Biarin aja lah, toh nanti aku bisa telpon dia kalau butuh.
Kurapatkan jaketku. Kuperhatikan sekeliling. Hanya ada 3 orang yg sedang menunggu. Satu per satu mulai dipanggil ke dalam. Kulihat bangunan ruko ini cukup panjang ke belakang.

“Bapak Jonathan?” Suara dari kasir yg toge membuat pandanganku berpindah dari layar hape ke arahnya.
“Silakan Pak,” katanya lagi.

Aku menurut. Sebuah lorong panjang dengan lampu seadanya menungguku. Di sebelah kiri adalah ruangan yg posisinya persis di belakang kasir. Aku rasa itu gudang obat. Di dalamnya dapat kulihat tumpukan barang berupa kardus coklat, dan 2 atau 3 orang.
Di ujung lorong ada ruangan yg sedikit lebih luas dan terang. Kuteruskan melangkah.

Di hadapanku ada pintu warna putih mengkilat. Kuketuk perhalan dan kudengar ada suara dari dalam.

“Silakan masuk.”

Suara itu memanggil. Kuputar gagang pintu dengan mantap. “Silakan duduk, Jonathan,” Sang pemilik suara masih memunggungiku. Yg bisa kulihat hanya hijabnya lebar dan terkesan mewah.

Aku penasaran seperti apa wajah Dokter Eva.
Aku meletakkan pantatku di kursi. Dokter itu berbalik dan mengembangkan senyumnya. Aku terperangah.

Ternyata ia seorang dokter muda yg cantik.

Seketika semua anggapan burukku tentang dokter dan seluruh dunia kesehatan runtuh.
Di depanku berdiri seorang wanita berhijab yg wajahnya mempesona. Seperti ada keturunan Arab sedikit. Coat putihnya senada dengan kulitnya yg putih. Matanya jernih dengan tatapan tajam. Bulu matanya seakan palsu, tapi original.

Pikiranku jadi tak karuan.
Mulutnya mungil dan imut, dengan lipstik merah yg berkilau. Alisnya lancip. Hidungnya sedikit besar. Dan ukuran dadanya, wow seperti kubah yg menjulang. Dua buah pula.

Kubayangkan yg tidak-tidak. Jika saja…
“Namanya lucu juga ya, ‘Ahmad Jonathan Nainggolan’.” Ia membuka obrolan dan pernyataan yg tak biasa.

Namun hal semacam ini sering kudapat. Akan sangat panjang bila kuceritakan semuanya. Jadi kuputuskan diam saja tak menjawab, dan fokus pada khayalanku.
“Eh, kok bengong? Hayo, mikirin apa tuh?” Dokter Eva mungkin sedang menggodaku. Tak mungkin kujawab dengan “Iya, saya sedang berpikir bagaimana caranya meniduri dan bergumul dengan Anda.”

Kutaksir umurnya masih 30-35. Tak kulihat cincin kawin di jarinya, mungkin sengaja dilepas.
“Mm… Panggil saya, Joe. Joe saja,” kataku.

“Oh, oke Joe, keluhannya apa? Kok sepertinya pucat?”

Dalam waktu hanya beberapa detik, aku membuat rencana nakalku.

“Ngg… Maaf Dok, saya malu mau cerita.”

“Kok udah besar masih malu? Ceritakan saja, sakit apa?”

“Hmm… Jadi di area kemaluan saya… “ bicaraku tercekat. Aku ingin menunggu reaksinya.

“Ya? Kenapa kemaluannya?” tanyanya. Ia masih terkesan profesional. Mungkin masih tertanam dalam benaknya kode etik profesi dokter.
“Ada… Semacam tonjolan kecil sebesar biji rambutan. Kalau dipegang sakit.” Aku berusaha lancar menjelaskan, seolah memang karena itulah aku kemari.

Dalam momen yg super singkat tadi aku berhasil merancang rencana untuk mempertontonkan batang pemuas nikmatku kepada dokter ini.
Karena salah satu alasan di mana aku bisa telanjang bebas tanpa harus merasa risih adalah medikasi!

Kini aku bisa melampiaskan hasratku pada semua dokter wanita berhijab di seluruh dunia. Persediaanku hampir tanpa batas.
Aku sampai tertawa dalam hati, merayakan kejeniusanku barusan.

“Oh, ya? Bisa tumor jinak, bisa juga ada penyakit kulit. Banyak kemungkinan. Sudah berapa lama, Joe?”

“Tonjolannya sudah ada sejak lama, tapi sakitnya baru terasa sebulan terakhir, Dok…”
“Oke, coba saya cek dulu ya… Silakan berbaring di tempat tidur.”

Aku berdiri dan melangkah menuju dipan dengan busa yg tipis. Kurebahkan badanku. Dokter Eva menggeser tirai. Di dalam, kami tinggal berdua. Pikiran cabulku semakin menjadi.
“Coba celananya dibuka ya, Joe…”

Ha ha ha ha ha. Ini dia yg aku tunggu!

Tanpa sungkan, kuangkat pinggangku, lalu aku pelorotkan celanaku hingga ke lutut. Berikut boxer tipisku. P e n i s ku yg masih malu-malu belum terlalu aktif.

Kuperhatikan ekspresinya.
“Astaga…” Aku mendengar Dokter Eva kaget.

Wajahnya memerah seketika. Antara malu atau nafsu.

“Sa— Saya… Ambil sarung tangan dulu ya,” katanya.

Kurasa ia hanya sekadar menyembunyikan ekspresi terangsang dan hasratnya yg besar.
Aku tersenyum saja. Kuanggap Mbah Wiryo telah berhasil. Sekali lagi.

Tak lama, ia kembali dengan sarung tangan dari karet. Wajahnya masih bersemu. Dia pasti panas dingin dan kedutan luar biasa.

Ia lalu memasang maskernya.
Sebetulnya aku tak merasakan sakit apapun. Namun memang benar bahwa ada tonjolan yg tak biasa di bagian bawah torpedoku. Ini semua hanya akal-akalanku saja.

Kuabaikan dahiku yg panas dan badanku yg meriang. Sesaat lagi aku akan mendapat kenikmatan yg sepadan.
Dokter Eva memegang senter di tangan kanannya, dan memegang Mr P milikku dengan jempol dan jari telunjuk tangan kirinya. Darah mengalir hingga menuju ujung kepala k o n t o l ku.

“Ugghhh…” Aku berpura-pura mengerang. Ia masih mengamati sosis daging terbesar yg ia pernah lihat.
“Yang ini ya?” Ia menekan tonjolan kecil dengan telunjuknya.

“Iya Dok,” kataku singkat. “Eng… Dok?” kataku lagi.

“Ya?”

“Punya saya kekecilan ya?”

Aku ingin mulai mencicil foreplay kami dengan obrolan yg sedikit menyerempet ke arah begituan.
“Hi hi hi hi… Kekecilan gimana?! Ini sih kayak timun bangkok,” jawabnya jujur.

Ia mulai meremas p e n i s ku dengan kedua tangannya. “Uhhh…” Aku melenguh lemah.

“Dok…”

“Ya, Joe?”

“Mungkin kalau dijilat dokter, sakit saya bisa sembuh.”

Aku semakin frontal.
Semoga ia tak marah.

Tanpa kuduga, ia membuka masker dan sarung tangannya. Dengan senyumnya yg penuh arti, ia menatapku dengan nakal. Digenggamnya Mr P milikku dengan kedua tangannya.

Dengan ujung lidahnya, ia lumasi kepala jamurku.

“Seperti ini?” katanya bernafsu.
“Ssshhh… Ahhh… Iya, Dok… Tol—Tolong sembuhkan saya, Dokter…” Aku mengerang keenakan.

Walau mulutnya terlihat kecil, namun hisapannya luar biasa dalam.

“Kamu sering dioral seperti ini, Joe?” katanya sambil tangannya tetap bergerak naik turun.


“Belum pernah oleh seorang dokter. Apalagi yg berjilbab.”

"Hmmm... " Emutan dari mulutnya membuat aku melayang. Sungguh hebat dokter ini.

"Sering latihan ya, Dok?"

"Dulu. Sama suami."

Aha, itu mungkin alasan ia tak memakai cincin kawin. Aku tak mau memperpanjang tema itu, cukup p e n i s ku saja yang memanjang.

"Ah, enak Dok..."
"Joe, kamu bersih banget. Sering cukuran, ya?"

Setiap kali ia bicara, tangannya tak berhenti mengocok batang kejantananku. Kurasa ia memang tak ingin memberiku jeda.

"I-Iya Dok, risih kalau bulunya panjang," jawabku singkat, sambil tetap memandang matanya yg indah.

Dokter Eva mulai menggapai biji kembarku. Ia mengangkatnya sedikit, membuka ruang untuk bagian antara skrotum dan anus.

Tanpa merasa jijik, ia jilati bagian itu. Masih tetap sambil meremas-remas dan mengocok.

"Terus, Dok..."

Kulipat bantal supaya agak tinggi.
"Bijinya besar. Pasti isinya banyak, hi hi hi hi," kata-katanya semakin membuat aku terangsang.

"Emang nggak pernah beginian sama pasien, Dok?" tanyaku penasaran.

"Nggak. Baru kali ini. Hebat ya kamu? Pake pelet apaan sih?" Pertanyaannya membuatku terhenyak.
“Bahaya,” pikirku, “jangan-jangan dia tahu aku pakai aji-ajian untuk pemikat wanita?”

“Ih Dokter, nggak lah Dok, Dokter aja yg horny…” Aku ngeles dengan segala jurus.

Sejauh ini yg mengetahui ajian ini hanya aku dan Mbah Wiryo. Kuharap selamanya akan jadi rahasia kami berdua.
Ia tampak risih dengan jilbabnya yg lebar. Sedikit mengganggu. Ia lipat agar tak terlalu menjulur ke depan. Bongkahan dadanya dapat kulihat makin jelas.

Ini adalah masalah wanita ber-“aset” besar, mau ditutup pakai niqab sekalipun, lelaki masih dengan mudah mengetahuinya.
Aku pun demikian. Kupelorotkan celanaku makin ke bawah, lalu kulepas sekalian. Begitu pula jaketku.

Kunikmati “pemeriksaan” ini. Aku jadi teringat #fakedoctor, tapi di situasiku, ini adalah #fakepatient.

Betapa lucunya.
Dokter Eva kembali melahap batangku dengan rakus. Mengulum p e n i s pasien mungkin tak pernah terbayang di benaknya.

Nyatanya, karena kombinasi alat vitalku yg panjang, tebal, dan berlemak, serta dahaga seks-nya yg tak terpuaskan sejak lama, semua hal ini terjadi.
Ah, satu lagi: ajian Mbah Wiryo.

Caranya menjilat semakin buas saja. Aku tak mau crot di dalam mulutnya. Aku mau keluar di dalam rahimnya yg hangat.

“Dok…”

“Hmm…” Ia menatapku, masih sembari mengulum.

“Mau coitus, atau n g e n t o t?”
TOK TOK TOK TOK TOK.

GLEK. Suara pintu diketuk. Jantungku serasa mau copot, ketika pintu langsung terbuka dan seseorang masuk tiba-tiba.

“Dok?”

Suara itu memanggil.

Dengan panik dan secepat kilat, aku gapai celanaku. Namun dengan cepat pula Dokter Eva menghentikanku. Ia lalu memberi isyarat jari telunjuk di depan mulutnya.

“Andien?” Dengan super tenang ia menjawab, sambil mengenakan maskernya kembali.
Hanya ada tirai tipis antara pegawainya itu dengan kami. Lebih tepatnya, Dokter Eva dan aku yg tanpa celana, dengan p e n i s tegak yg berlumuran air liur.

“Dok, ma—maaf ganggu. Mmm… Air hujannya rembes lewat dinding lagi.”

Suara itu sepertinya milik wanita berhijab ungu tadi.
“Oh, tolong minta Yanto geser rak obatnya dulu, besok saya panggil orang, ya…”

“Ba—Baik, Dok.”

“Ada pasien lagi, Ndien?”

“Sudah pulang, Dok. Besok katanya mau ke sini lagi.”

“Oke. Setelah ini kalian pulang aja, saya ada bedah ringan.”

“Dok? Gak butuh bantuan saya?”
“Saya bisa sendirian.”

“Baik, Dok. Permisi ya, Dok. Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalaam.”

Sumber suara itu akhirnya melangkah keluar ruangan. Pintu tertutup kembali. Hatiku masih was-was.

Ah, padahal sebetulnya seru juga kalau bisa main kuda-kudaan bertiga. Haha.
“Dokter kok bisa kalem? Kalau kita ketahuan terus gimana?” semprotku.

“Karena aku dokter, kamu pasien, dan kita berada di ruang periksa. Apa kemungkinannya?” Wanita ini cantik sekaligus cerdas, kombinasi yg mengerikan. Aku takjub.
Ia kembali memandangi tongkat ajaibku. Ujungnya sudah berlendir. Aku sangat siap untuk bercinta. Sedangkan Dokter Eva masih berpakaian lengkap. Ini tak adil.

“Kau tahu, Joe?”

“Apa, Dok?”
“Aku bisa mengetahui jumlah detak jantung semenit dari memperhatikan p e n i s yg sedang ereksi.” Ia menerangkan.

Fakta aneh yg aku sebetulnya tak terlalu peduli.

Ia melepaskan maskernya, lalu menoleh ke arahku sembari melempar senyum nakal.
Kugenggam cepat lehernya. Kudekatkan bibir kami berdua. Kuberikan ciuman paling panas yg aku bisa. Kuulur lidahku ke bagian belakang barisan giginya yg rapi.

Air ludah kami bercampur. Lidah kami saling berpagutan. Dapat kurasa rasa lengket lipstiknya.

Mmm… Hffff… Cup… Slup..
Kuremas mesra punggung dokter Eva, sedangkan rambutku dijambaknya lembut. Tanganku yg satu lagi tak mau diam. Kugenggam toket nya yg besar dan kenyal.

“Ugh…” erang dokter Eva.

Aku masih menikmati berciuman dengan wanita yg lebih tua dariku.
“Ak—Aku kunci pintu dulu ya.” Ia beranjak. Setidaknya kami bisa lebih tenang “bermain”. Hasratku sudah tak terbendung. Akan kuberikan ke dokter ini pengalaman terbaik bersama pasien.

Ia mulai melepas semua atribut dokternya. Perlahan, ia lepas pula semua pakaiannya.
Tinggal hijab lebar, BH, dan CD putih berenda saja yg masih melekat. Pemandangan yg luar biasa menyegarkan. P e n i s ku makin berkedut tak ter k o n t o l, eh terkontrol.

Di mana lagi kau bisa mendapat pelayanan yg 'menyehatkan' sekaligus menyenangkan seperti ini?
Hijabnya ia gulung. Belahan dadanya terlihat rapat. Kulitnya putih halus. Lemak perutnya tak seberapa. Sungguh seksi. Ada bayangan hitam bulu kemaluannya yg terlihat karena lingerie-nya sedemikian tipis.

Kulepas kaosku. Kupamerkan dada bidangku, sepaket dengan bulu-bulunya.
“Naik sini, Dok. Sekarang gantian aku yg jadi dokternya,” perintahku. Ia naik ke dipan periksa.

Pelan-pelan, kupelorotkan celana dalamnya yg seperti tali. Aku gulung sampai keriting. Aroma kemaluan menyeruak.

“Wangi, Dok,” kataku. Ia tersipu malu.
"Joe?"

"Ya, Dok?"

"Ak-Aku udah lama nggak begini,"

"Tapi pernah, kan, Dok?"

Aku elus lembut pahanya yang tanpa cela. Kuciumi dan kuraba perlahan. Wanita adalah makhluk Tuhan yang luar biasa. Ia tercipta memang untuk dinikmati lelaki.
Ia hanya diam sambil memandang ke samping. Kedua tangannya memegang ujung bantal. Aku mulai eksplorasi hutan rimba miliknya.

Langsung kulumasi liang kenikmatannya. Kutekan perlahan di bagian klitorisnya dengan lidah. Daging yg serupa jengger ayam itu aku hisap-hisap.
“Ahhhhh…”

Ia menggelinjang. M e m e k nya mulai becek. Seranganku makin gencar. Sedotanku makin liar. Akan kubuat lebih basah lagi.

“Hmmppfff…” Ia menutup mulutnya, seakan tak kuat menahan untuk tidak berteriak keenakan. Pinggangnya terangkat. Tulang punggungnya melengkung.
“Joe… Ohh… Gila kamu… B*ngsat enaaakk… Teruuuss… Sssshh…”

Padahal kalau dipikir-pikir ini cuma lidah ketemu sama ‘jengger ayam’. Bibir atas ketemu bibir bawah. Sama-sama daging tanpa tulang.

“Langsung masukin aja yuk, Joe.”

“Tapi pemanasan aja belum, Dok,” protesku.

Dokter Eva mengelus batang kemaluanku dari luar boxer. “Please, Joe,” pintanya memelas.

Kalau kupikir, ia benar juga. Waktu kami berdua terbatas. Aku bisa memuaskannya lain waktu.

Kugoyang dipan periksa. Aku menyangsikan dipan periksa didesain untuk dua orang sekaligus.
“Dok, sepertinya dokter harus membeli tempat tidur yang lebih kuat,” kataku. “Ini tak cukup kuat untuk permainan kita.”

“Kamu benar.” Ia beranjak. “Makanya kamu diet dong, hi hi hi,” tawanya renyah.

Badanku memang bongsor. Sebanding dengan kebongsoran p e n i s ku.

Dengan langkahnya yg gemulai, ia berjalan menuju bagian belakang ruangan.

Duh, de javu.

Aku teringat Jamilah yg sedang menuju toilet kamarku dulu. Ah, Jamilah… Suatu saat akan kugarap lagi dia.
Kuperhatikan dokter Eva susah payah mengeluarkan sesuatu dari lemari. Kuperhatikan lebih seksama.

Sebuah kasur lipat!

Ide yg bagus, Dok. Ini lebih baik dibanding harus membuat suara decit besi dipan.
Aku gelar kasur sederhana itu. Sedikit lusuh sih, tapi selalu ada orang bercinta dengan alas seadanya. Jerami, rumput, sarung. Apapun.

Tak menunggu lama, kami mulai saling mencium dan meraba kembali. Sebuah jeda dalam seks membuatmu harus kehilangan momen dan mengulang semuanya.
“Hmmm… Slurrp…”

Kukenyot p u t i n g Dokter Eva kuat-kuat. Bergantian kiri dan kanan. Adil merata. Kusibak jilbabnya. Sesekali kuhisap pula lehernya. Kutinggalkan bekas merah yg sulit hilang.
Kugenggam kedua pergelangan tangannya, dan kutarik ke atas. Wajahku tepat di atas wajahnya. Ia masih mengenakan jilbab lebarnya, sedang aku masih bercelana pendek. Hanya itu yg membungkus kami.

“Tunggu apa lagi, Joe. Perkosa aku sesukamu… Kasari aku, please…” Ia makin memelas.
Kulepas jilbabnya yg sebetulnya sudah acak-acakan sedari tadi. Ternyata rambutnya pendek. Tapi panjangnya lebih dari cukup untuk dijambak.

Kupeluk dan kujilati bagian belakang telinganya. Wangi parfumnya menambah gairahku bercinta.

“Please Joe, masukin aja, aku nggak tahan…”
“Katanya tadi pengen disiksa, Dok?” Aku tersenyum menggodanya.

Ia membantuku memelorotkan celana. Penutup terakhirku. Ia kocok batang kejantananku. Makin lama makin cepat. Ukurannya makin maksimal, dokter Eva terbaring dan membimbing meriam Belandaku menuju liang surgawinya.
Aku berangkat karena rasa sakit, dan berakhir di ruangan ini dengan rasa nikmat. Rambut dokter Eva berada di sela-sela jemariku.

Penetrasiku sudah lebih dari cukup. Tanpa usaha berarti, kulesatkan torpedo kapal selamku, seiring dengan lenguhannya yg melengking.

“Ooouccchhh…”
Kami mulai menikmati irama gerakan naik-turun, alias goyang dombretku. Perlahan, ritmenya kutingkatkan.

“Engg… Ahhh… Och… Hhmmpp… Sshh… Fffuuuck… God… Keep going, Joe… Damn good… Acchh…”
Bunyi kecipak membahana di ruang periksa dokter Eva yg mungil. Ia terbaring pasrah, ditindih pasiennya sendiri. Demi merasakan k o n t o l ku yg kekar, ia tanggalkan statusnya sebagai wanita berhijab lebar, sekaligus sebagai seorang dokter.

“Enak, Dok?” tanyaku.
“Desahannya jangan kencang-kencang ya Dok, mungkin pegawaimu belum pulang, hi hi hi.”

Tak butuh waktu lama, ia menerima orgasme pertamanya.

“Uuuggghh…”M e m e k nya bagai kebanjiran. Aku meredakannya dengan membelai lembut pipinya. Tubuhnya bergetar. Peluh mengalir di dahinya.
“Lagi, Dok?”

“Istirahat dulu please…”

Aku berbaring di sampingnya, masih dengan penis yg menegang. Ia menggenggam daging lonjongku dengan tangan kirinya.

“Kamu luar biasa, Joe. Apakah kamu bersih?”

“Jika kau tak yakin, tadi kita bisa pakai caps, Dok.”

“No… Aku… Aku ingin lebih.”

“Maksudmu, Dok?” Aku mengerutkan kening.

Dokter Eva mengubah posisinya. Ia duduk dan menatapku dari depan.
“Buahi aku, Joe. Aku ingin anak darimu. Aku ingin… Keturunan.”

Aku tercekat, kemudian bangkit juga ke posisi duduk. Mengapa pembicaraan ini menjadi serius sekali?

“Apa yg kau inginkan, Dok? Aku tak mau bermain cinta.” Kupegang erat lengannya. Kutatap matanya lekat-lekat.
“Jika kau ingin seks, let’s finish it tonight. Tapi maaf Dok, aku tak bisa memberi selain dari itu.” Aku tak mau percakapan ini berkembang seperti aku dan Jamilah.

Semua harus dijelaskan di awal. Bahwa aku tak ingin ini berlanjut dengan konsekuensi yg aku tak bisa hadapi.
Aku tentu tak siap jadi ayah.

“Joe… Kau salah paham…” Ia mengelus pipiku.

Raut wajahnya yg cantik tiba-tiba berubah. Aku jadi dapat melihat nuansa ‘tua’ dari diri dokter Eva. Ada kesedihan. Ada duka lara, terpendam bertahun-tahun, yg baru tersentuh malam ini.
Bisa jadi, luka dalam yg sudah lama tertutup itu, aku buka malam ini. Ya, olehku yg bajingan ini.

“Mantan suamiku dulu,” ia memulai cerita, “mengidap kemandulan.”

Pelan-pelan aku mulai menangkap perasaannya. Gunung yg tadinya hanya kulihat puncaknya saja, kini mulai menyeruak menjadi pohon-pohon, langit mendung, dan aliran sungai.

Semuanya menjadi semakin jelas, mencipta pemandangan yg tak aku lihat sebelumnya.
“Kami sudah coba berbagai cara, Joe. Namun pada akhirnya, kami harus berpisah. Lebih tepatnya, dia meninggalkanku. Ia yg memaksaku untuk menerima keputusannya. Ak—Aku… tersiksa…”

Setelah ia selesai bicara, ada keheningan yg tak aku pahami.
Mungkin aku belum dewasa. Hanya sekadar anak kuliahan yg masih suka main game, dan spontan melakukan apa saja.

Ternyata, sebuah pernikahan bisa serumit itu…

Ia masih diam. Aku jadi merasa tak enak.
“Mungkin,” akhirnya aku bersuara, “ia ingin kau bahagia, walau kalian tak bersama lagi, Dok.” Aku mencoba memberi jawaban paling bijak yg aku bisa.

Jawabanku terlihat polos.. Namun jawaban itu juga yg menggambarkan hubunganku dengan kedua orangtuaku.
Hujan di luar rasanya semakin deras. Namun dari ruangan ini, suaranya tak terlalu bisa terdengar. Air yg membasahi bumi, seperti ingin membersamai air mata yg mengalir dalam hati dokter Eva.

“Itu juga yg dikatakannya dulu,” jawabnya.
“Ruko ini akan aku jual. Rumah, mobil, apapun yg aku punya. Rencananya aku akan pindah ke kota lain yg sepi. Yang lebih damai. Membuka lembaran hidup baru.” Ia melanjutkan.

Perempuan ini mencoba terlihat tegar, walau semuanya rapuh baginya.
Mungkin terlalu banyak kenangan indah dokter Eva bersama suaminya dahulu. Kenangan yg terselip di sela-sela yg ditinggalkan.

Kenangan yg membuat lukanya kembali berdarah, terbuka, dan tak kunjung kering.
“Ironi sekali ya, Dok. Kau adalah seorang dokter, tapi kau tak bisa menjahit lukamu sendiri.”

Aku mengajaknya berbaring. Kami memandang langit-langit. Dokter Eva mendekapku erat, lalu mengusap dadaku, bersandar di bisepku yg besar.

“Apa rencanamu, Dok?”
“Beri aku anak, Joe. Dan aku akan pergi dari kehidupanmu. Kurasa aku cukup kuat membesarkannya sendirian.”

Aku berpikir sejenak. Mungkin beginilah kejadiannya ketika kau bercakap-cakap dengan wanita yg terlalu pintar, dan jauh lebih tua.
“Baiklah,” kuhela nafasku. “Mohon izin crot di dalam ya Dok.” Aku tatap dalam-dalam matanya yg bening. Ia tersenyum manis sekali. Lalu melirik batang p e l i r ku.

“Hi hi hi hi, lagi lemes aja gedenya udah segini, hi hi hi” godanya sambil cekikikan.
Kami melanjutkan ke ronde kedua. Kali ini aku tak perlu pemanasan berarti. Tubuhnya yang hangat kupeluk dari belakang. Aku mau pakai gaya sideways.

Zzzzleebb…

“Uuuhhh… Nancep banget, Joe…”

“Eva…” kataku. Karena obrolan tadi aku jadi merasa lebih akrab. Aku mulai memanggil namanya.

“Ya, sayangku?” Eva ternyata merasakan hal yg sama.

“Tetek kamu kenyal banget kayak balon air,” pujiku.

“Apaan sih? Hi hi hi…”
Kuangkat kaki kanannya agar p e n i s ku lebih leluasa. Kusodok makin keras. Ia mulai bereaksi. Keuntungan dari gaya ini adalah aku masih bisa menciumi bibirnya yg lembut.

Tak lama, “Ooohhhhh…” Cairan pelumasnya keluar banyak sekali.

“Ah… Ah… Hah…” Ia mencoba mencari nafas.
Aku membimbingnya untuk menungging. Ia faham maksudku.

“Arrgghhh…” Ia berteriak keras sekali saat kutusukkan suntikan jumboku ke dalam m e k i nya yg berbulu.

Langsung aku bekap mulutnya dengan tanganku.

“Mmmppfff… Hhmmm… Pppfff…”

“Jangan berisik, dong. Kita bisa ketahuan nih. Hi hi hi…” kataku. Kulepas kembali tanganku dari mulutnya.
“God… Harder please… F*ck me harder, Joe… F*cking good… So deep… Argh… Hah… Hah…”

Aku tak kunjung akan orgasme. Jujur lebih unggul Jamilah dari banyak hal. Tapi dapat gratis tak boleh protes. Hahaha.
Tak sampai beberapa menit berselang, kurasakan ia akan mendapat orgasme. Lagi.

“Uuuuhhh…” Lolongan dokter Eva panjang. Ada ledakan-ledakan kecil dari dalam tubuhnya. Ia terhentak beberapa kali, tersungkur lalu tengkurap lemas.
“Hah… Gila kamu, hebat banget, Joe. Pro banget sih maennya… Aku sampai dapet berkali-kali.”

Ada perasaan bangga di dalam hatiku. “Ayo lanjut, sayang… Aku paling cepet keluar kalau pake gaya WoT,” kataku.
Kini aku yg berbaring. “Aku minum dulu, Joe,” ia bangkit menuju dispenser. Ugh, pantatnya yg montok kuperhatikan. Ingin rasanya kutampar sampai merah bongkahan padat itu.

Ia mengambil handphone, lalu bersiap berkuda di atasku. Yg tak aku sangka, ia meletakkan hape-nya di telinga
Hey, hey, hey. Kau tak sedang akan menelpon seseorang saat kita sedang senggama, kan??

Zzzzzleeebbb……

V a g i n a nya mulai menelan tongkat kenyalku.

“Assalaamu’alaikum?” Suara di seberang sana menjawab. Seorang lelaki.

Damn! Dokter ini nekat juga.
“Wa—Wa’alaikumsa—salaam…” Dokter Eva berkata patah-patah sambil pantatnya naik turun. Sensasi yg luar biasa.

“Ma—maaf ya ak—aku masih ada pas—pasien…”

“Kamu di klinik? Andien sama Hera masih di sana? Aku jemput ya?”
Wah, perhatian sekali lelaki ini. Siapa dia? Keluarga? Pacar kah? Dadaku sedikit bergemuruh karena rasa cemburu. Eh, kok aku cemburu, sih?

Emang aku ini siapanya? Aku cuma pasien palsu yg di t i t i d nya ada ajian dari dukun.
“Udah ng—nggak usah, aku bent—tar lagi bisa pul—lang sendiri,” dokter Eva berusaha bicara normal, namun gagal. Terang saja, bukankah dasar liangnya sedang kuaduk-aduk, dan pantatnya sedang kuremas-remas?

“Eva? Kamu sakit? Ada siapa di sana?” Lelaki itu tak menyerah.
“Hujan der—ras nih, put—putus-putus. Ga—gak usah jemp—put gapapa. Udah dulu ya, aku sib—buk, assalaamu’alaikum…”

Tanpa menunggu jawaban salam, panggilan telpon ditutupnya.

“Edan kamu, Eva…” kataku.
“Iya, aku jadi gil—gila karena kam—kamu e n t o d, Joe… Ahhh…”

Ia masih menggerakkan pinggulnya maju mundur. Aku merasakan kedutan m e m e k nya makin gencar.

“Ooohhh… Aku sampai… Jooooeee…” Ia terkulai di atasku. Payudaranya menempel di dadaku. Puting kami saling bertemu.
Padahal aku hampir sampai. Segera kubaringkan ia. Aku akan mengakhiri permainan kami dengan gaya missionary. Supaya ketika saat kami klimaks bersamaan, wajah kami saling berpandangan.

Zlop, slop, flop, plak, plop, blop…
Bunyi ‘mesin dongkrak’ masuk ke gua sempit Eva. Seperti menggaruk bagian dalam liang kewanitaannya. Saat kutarik, dapat kulihat daging bagian dalamnya seperti akan ikut tertarik keluar.

“Joe… Ah… Dikit lagi aku sam—sampai…”
“Uh ah uh ngk… Mau anak cowok ah ah ah atau cewek, sayang? Heh?”

“Cowok ajah… Oohh… Biar ku—kuat kay—kayak kamuuhh… Oohhh…”

Kuteruskan goyangan pinggulku, kali ini dengan kecepatan dan mode full throttle.

Pak pak pak pak pak pak…
“Uhhh… Evaa…” Aku terpekik merenguh nikmat. Badanku bergidik.

“Joooooeeee…”

Zzzrooott… Sssruuuttt… Crutt… srooott…

Cairan cintaku memuncrat di dalam. Melesatkan jutaan sel kelamin lelaki, yg berlomba berenang menuju inti rahim yg hangat. Siap menjadi jabang bayi.
Kuhentak lagi dengan lemah batang k o n t o l ku. Sengaja menghabiskan yg tersisa di dalam buah zakar.

“Eerggh… Ahh…”

Crutt… Crot crot crot…

“Aaahh… “ Linu sekali di ujungnya.
Selangkangan kami masih saling menempel. Kuisi setiap rongga v a g i n a Eva dengan lahar sperma ku. Sebagiannya meleleh melewati anus, bercampur keringat di belahan pantatnya yg serupa garis.

“Ampun, Joe… Panas banget p e j u h kamu, sayang… Kayak kuah bubur sumsum, hi hi…”
“Sedotan lobang kamu juga enak, sayang…” pujiku.

Cairan kami banyak sekali. Yg kental tersisa di dalam, yang encer sebagiannya meleleh melewati anus, mengalir dan bercampur keringat di belahan pantatnya yg serupa garis.
Dengkulku serasa kopong dan lemas. Burungku rasanya mau patah. Peluhku bercucuran, menetes di atas payudara Eva yg mempesona.

Kubiarkan torpedoku menyusut, lalu tercabut dengan sendirinya.

Penampakannya seperti pisang rebus yg diolesi susu kental manis putih.

Plop…
“Terima kasih, Joe. Aku sering nyuntik orang, sekarang gantian aku yg ‘disuntik’… Hi hi hi…”

“Ha ha ha ha…” aku tertawa mendengar jokes kotornya. “Sama-sama, sayang. Kalau kamu belum hamil, kita akan coba terus, ya. Layananku bergaransi. Se-la-ma-nya,” lanjutku.
Kami berciuman hangat agak lama.

“Pasti pacar kamu seneng ya, Joe… sering diginiin setiap hari?”

Aku terdiam sebentar.

“Dok? Apakah aku terlihat seperti orang yg bisa berkomitmen?”
“Suatu saat nanti, pasti. Sekarang kau masih muda, masih meluap-luap. Seiring waktu, aku yakin akan hadir cinta terbaik buatmu.”

Sebuah wejangan dari seorang dokter. Free of charge.

“Aku harap demikian.” Aku menjawab lirih. Walau momen itu entah kapan tiba.
Kami berjanji akan melakukannya lagi kapan-kapan. Mungkin tidak di ruang praktek dokter dan tidak di atas selembar kasur tipis lagi. Entahlah.

Aku mengemasi barang-barangku, Eva pun demikian. Kami bertukar nomor handphone.
Aku kembali tampil sebagai anak kuliahan biasa, sedangkan ia kembali menjadi dokter berhijab lebar yg murah senyum dan sholehah.

Aku berterima kasih lalu pamit. Pelan-pelan kubuka kunci pintu dan keluar. Kulihat sekilas, sepertinya semua pegawai sudah pulang.

“Aman,” pikirku.
Kususuri temaramnya lorong. Hanya tersisa lampu dengan cahaya yg tak seberapa. Aku berusaha berjalan tanpa suara.

DEG!

Aku kaget setengah mati.

Di depanku perempuan berjilbab ungu yg menjaga kasir tadi sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

“Eh? Be—Belum pulang?” tanyaku. Ia menoleh.

Aku berusaha tenang dan bersikap biasa saja.

Sial. Apakah dia bisa mendengar peraduanku dengan majikannya barusan?
“Belum, Bang. Nunggu hujan reda.” Dia menjawab dengan keramahannya yg khas.

Aku melakukan monolog dalam hati. ‘Siapa ya namanya tadi? Hmmm… Kalau tak salah, Andien.’

“Oh, nunggu dijemput?” tanyaku penasaran.

“Nggak, Bang. Biasanya naik angkot atau ojek aja.”

Rejeki nomplok!
(Bersambung habis jumatan)

Nggak enak woy ngetik ginian dalem masjid, wkwkwk....
“Nah, kebetulan. Bareng aja, yuk? Aku bawa mobil.”

“Mobil? Di mana?”

Berarti Mang Ujang parkirnya nggak di depan klinik.

“O, bentar ya, aku telpon Mamang dulu,” Aku mengambil ponsel dari saku dan memanggil kontak teratas di daftar favoritku.
Tuuutt tuuuutt tuuut.

Agak lama dia mengangkat.

“Assalaamu’alaikum?” Dari suaranya, sepertinya ia baru bangun dari tidur.

“Wa’alaikumsalaam. Mang, jemput ya?” kataku ringkas.
“Nggak usah repot-repot, Bang… Aku nunggu hujan reda aja. Atau… Nungguin Bu Dokter…” Ia terlihat menghindar dari tawaranku.

Aku jadi merasa terangsang, eh, maksudnya tertantang untuk mendekatinya. Yg jual mahal seperti ini biasanya barang bagus. Langka coy!
“Yakin? Hujannya awet banget loh? Nanti kalau kemaleman, gimana?” Aku mulai melancarkan teknik marketing ala Papah.

“Hmmm…” Dia tampak berpikir keras. Tatapannya menunduk. Agak lama juga ternyata proses tarik-ulur bin maju-mundur sama akhwat ini.

Tapi aku tak akan menyerah.
Tak seberapa lama kemudian...

“Nah, itu dia Mang Ujang sudah datang.” Aku menunjuk ke arah mobil putih yg sedang parkir mundur. “Yuk?” Aku mengajaknya lagi.

“Hah? I—ini mobil Abang?” Ia menampakkan keterkejutan dan rasa takjub.
“Iya. Eh, bukan ding, ini mobil warisan Papah. Lebih sering buat disewakan jadi mobil pengantin baru.” Aku sengaja menyebut frasa ‘pengantin baru’. Biasa, mancing-mancing…

“Waa… Aku belum pernah naik Al—Alphard…” katanya lugu. Dalam hati aku tersenyum.
“Mirip-mirip angkot juga sih. Bedanya, Mang Ujang nggak ngetem sambil ngerokok,” candaku.

Mang Ujang tampak turun sambil membawakan payung besar. Ia menaikkan celana panjangnya, takut kebasahan.

“Maaf ya Den, Mamang ketiduran. Habis Den Amat lama banget.” Ia membela diri.
“Nggak papa, Mang.” Wajahku beralih ke Andien. “Kenalin nih Mang, namanya Andien. Kita temenin sampe rumahnya ya, Mang…”

“Oke. Siap, Den. Mau dianterin sampe KUA juga Mamang siap,” katanya berkelakar.

Andien hanya tersipu malu-malu. Hahaha. Sebuah kemajuan.
“Tolong bukain pintu ya, Mang…” Aku mengambil payung dan bersiap ‘menggiring’ Andien masuk mobil. Mang Ujang menekan remote. Pintu mobil terbuka.

Sekejap, aku merasa Andien agak canggung aku payungi.

‘Hm. Wangi juga nih akhwat…’ gumamku sambil berkhayal saat ia naik ke mobil.
Aku gantian menjemput Mang Ujang di teras klinik. “Pinter juga Den nyari yg bening-bening?” Ia berbisik. “Hush, entar orangnya denger loh…” Aku berusaha jaim.

Aku duduk di depan, agar Andien tak merasa tak nyaman. Aku memasang seat belt. “Andien, rumahnya di mana?” tanyaku.
“Eng… Anu, di deket Masjid An-Nur, asrama putri Yayasan Baitul Jannah, Bang,” jelasnya.

“Oh, sebrang SPBU ya? Siap meluncur.” Mang Ujang menekan pedal gas.

Sepanjang jalan aku banyak bertanya tentang pekerjaannya di klinik dr Eva, tentang kuliahnya dulu (sampai D3)…
…kampung kelahirannya, hingga rencananya melanjutkan ke jenjang S1.

Ternyata ia juga masih punya keluarga jauh di kota ini.

“Masih sering maen ke rumah sepupunya?” tanyaku ingin tahu.

“Udah jarang, sih, kadang sepupu yg dateng ke asrama, bawain makanan,” tukasnya.
Kubah masjid mulai terlihat. Mobil melambat. Mang Ujang menghidupkan lampu sein kiri.

“Nanti turun di depan masjid aja ya, Bang,” pinta Andien.

“Mau aku anterin sampe dalem aja? Masih deres loh hujannya… Nanti basah, dong? Suka basah-basahan?” Aku masih usaha nyerempet dikit.
“Nggg… Ng—nggak usah, Bang. Makasih. Nggak enak nanti diliat orang.” Ia konsisten sekali dengan prinsipnya. Hmmm… Aku suka akhwat yg susah ditaklukkan seperti ini.

“Emangnya kita ngapain? Kan kita nggak ngapa-ngapain?” Aku sekadar menguji. Makin penasaran!
“Makasih banyak, Abangku… Diajak naik Alphard aja aku udah seneng, ini pertama kalinya loh… Hi hi hi hi…”

Kamu naik Alphard aja seneng, apalagi naik kuda-kudaan sama aku? Pasti tambah ketagihan. Argh… Pikiran cabulku menyeruak.
“O ya udah nih aku kasih payung buat kamu ya… Bawa aja. Hadiah.” kataku sambil menyodorkan payung ke belakang.

“Eh? Nanti Abang sama Mamang gimana?”

“Gampang. Aku kan pedagang payung. Di toko masih banyak!” kataku sambil bercanda. “Udah nih, ambil aja.”
“Hi hi… Iya deh, makasih ya… “ Pintu kiri mobil terbuka. “Makasih ya, Bang. Makasih juga ya Mang Ujang. Assalaamu’alaikum,” ia menutup obrolan.

Kuperhatikan ia dari jauh. Bodinya lumayan. Parasnya cantik dan bersahaja. Sosoknya menghilang ditelan derasnya air dari langit.
“Den? Mau nyusul?” Mang Ujang bergurau.

“Nggak lah, Mang,” jawabku sambil senyum-senyum. Aku sudah dapat nama dan tempat tinggalnya. Kuanggap itu sebuah pencapaian. Kubuka ponselku. Kuketik pesan WA pertamaku untuk dr Eva.

+ Dok? Coba tebak yg barusan kuantar pulang.
dr Eva is typing…

Ting.

- Andien? What did you do to her? LoL.

+ Nothing. Kami hanya ngobrol di mobil.
- Dia masih hijau. Jangan macam-macam. Hi hi hi…
+ Kita lihat nanti, Dok.
- Ok. Good luck, Joe. Asal jatahku jangan dikurangin ya… ;)

Wah, dia pake emoticon kayak pacaran.
Aku masih tersenyum sendiri. Kuraba selangkanganku. Masih terasa ngilu di bagian tertentu. Pandanganku kulempar ke luar jendela.

“Kok, kayaknya seneng banget, Den?” Mang Ujang terlihat penasaran. “Sakit apa, kata dokter? Tadi nggak dikasih obat?” tanyanya seperti memberondongku.
“Hi hi hi… “ kataku. “Udah sembuh, Mang.”

‘Good sex leads to good health’

Malam itu aku merasa lelah sekaligus happy di saat yg bersamaan.

“Tadi aku dibedah kecil, terus ada suntikannya juga.” Aku menjawab asal-asalan. Berharap Mang Ujang berhenti menginterogasi.
Tak mungkin kujawab bahwa aku habis menanam benih, menebar bibit, di ladang seorang janda montok yg bertahun-tahun hidup tanpa bisa dipuaskan hasrat seksualnya.

Tinggal menunggu waktu saja sampai ia hamil. Aku yakin bibit yg kupunya adalah bibit kualitas super. Unggul!
Awan mengirim sendu, namun hatiku cerah ceria seperti bunga sakura mekar. Hidup tanpa orang tua tak membuatku melemah, apalagi lemah syahwat.

Kupandang teriknya mentari, dengan gayaku sendiri. Berharap esok hariku akan indah, seindah mimpi-mimpiku.

PART 3 SELESAI​


CATATAN PENULIS:
Karena lumayan banyak yang kirim DM, mohon maaf tidak bisa membalas satu per satu dengan cepat, selain karena kesibukan gw juga.. Mohon pengertiannya ya. Saran dan kritik, seperti biasa, silakan dikirim. Semua masukan pasti gw baca kok, bahkan sekadar koreksi untuk typo. Thank you!

Salam,
sukaniqab


Next Part : https://v1.semprot.com/threads/ahmad-jonathan.1351145/post-1902028569
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd