Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG A Tale That Wasn't Right

Status
Please reply by conversation.

FelixDF

Semprot Baru
Daftar
22 Aug 2014
Post
37
Like diterima
8
Lokasi
Death Valley
Bimabet
Permisi suhu-suhu sekalian. Biarlah saya melanjutkan cerita yang pernah saya buat sebelumnya tentang Aurel. Saya lupa judulnya, karena sudah lama tidak menyemprot (baca: membuka semprot).

Cerita ini rawan macet dan murni fiksi. Jika ada kesamaan, terutama nama, itu hanya kebetulan dan tanpa disengaja.

Langsung saja, silakan dinikmati. :)
 
Terakhir diubah:
POV: Narrator

Enam dan tiga puluh purnama telah berlalu semenjak terpetiknya bunga perawan Aurel. Kini lustrum ketiga telah membuat gadis itu resmi menjadi seorang remaja. Pubertas telah bekerja dengan baik pada tubuhnya: buah dadanya semakin membesar, pinggulnya semakin melebar, dan beberapa helai rambut tipis mulai tumbuh di daerah mons pubis dan ketiaknya, jika saja ia tidak mencukurnya secara teratur. Ia benar-benar telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan seksi.

Kejadian itu, pertemuannya dengan ketua KPA yang berujung pada deflorasi yang tak diharapkan itu, tidak membuatnya merasa jera. Setelah rasa sakit pasca-deflorasi itu menghilang, dengan menggunakan sisa uang tabungannya untuk membayar ongkos naik bus, ia mulai pergi ke mall itu kembali untuk mendapatkan uang tambahan dari para lelaki dewasa, sebagai imbalan atas kepuasan seksual sesaat yang ia berikan kepada mereka. Obsesinya pada uang telah membunuh rasa jeranya.

Beruntung bagi gadis itu, cairan pembuat bayi milik Kak Reno yang tersemprot ke dalam rahimnya tidak sampai membuatnya hamil, karena saat itu tubuh mudanya tidak sedang berovulasi. Ibunya pun lebih fokus pada pekerjaan kantornya, ia tidak terlalu memperhatikan anak semata wayangnya itu. Bahkan, ia tidak tahu jika anaknya telah dilecehkan, diperkosa, dan hampir dihamili oleh lelaki dewasa yang jauh lebih tua darinya. Sementara itu, ayahnya telah meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang saat Aurel berumur tiga tahun. Kondisi tersebut membuat Aurel menjadi cukup terlantarkan dengan sedikit perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya.

POV: Aurel

Angin berembus sedikit lebih kencang seiring aku berlari meninggalkan halte bus dan menuju ke rumahku. Melirik ke atas, aku melihat awan-awan hitam mulai berkumpul dan merangkak dari arah tenggara menuju ke arahku. Sepertinya siang ini akan turun hujan.

“Aurel, tunggu!” teriak seorang anak laki-laki di belakangku.

Aku mengenal pemilik suara itu. Bobby. Teman sekelas dan sekaligus tetangga samping rumahku. Ia adalah anak yang pendiam dan jarang bersosialisasi saat di sekolah. Dan entah bagaimana, ia selalu masuk peringkat lima besar di kelas, meski ia bukanlah seorang kutu buku. Ia lebih suka bermain game daripada belajar.

Menoleh ke belakang, aku melihat Bobby sedang berlari ke arahku dan bus yang aku tumpangi baru saja berakselerasi. “Kamu satu bus sama aku, ya, tadi?” tanyaku setelah ia berada di sisiku.

“Iya. Aku duduk di tengah. Aku juga baru nyadar kalo tadi satu bus sama kamu,” jawabnya sambil terengah-engah.

“Pantes aja…” balasku. “Aku tadi berdiri di deket pintu belakang. Eh, gimana… ntar jadi, 'kan?”

“Iya lah. Tapi kayaknya kita harus cepet-cepet sampe di rumah. Mau ujan nih. Yuk…” Berkata begitu, ia tiba-tiba menggandeng tanganku dan mempercepat langkahnya.

Kami pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Kulihat ia sempat menoleh ke arahku dan tersenyum sebelum ia masuk ke dalam rumahnya. Ah, kurasa anak itu menaruh perasaan kepadaku. Tapi aku tak peduli, aku lebih suka lelaki dewasa yang lebih tua dariku.

Terengah-engah, aku pun berhasil sampai di rumahku dengan noda basah di bagian belakang bajuku, tepat di balik tas punggungku. Namun, itu tidak membuatku lebih risih jika dibandingkan dengan noda basah di celana dalamku. Adalah seorang lelaki tua di dalam bus tadi yang membuat celana dalamku menjadi sebasah ini.

Saat itu, aku sedang berdiri di dekat pintu belakang karena kondisi bus yang penuh. Momentum yang tercipta saat bus itu berbelok dan mengerem membuat tubuh lelaki di belakangku semakin merapat ke tubuhku. Beberapa kali aku merasakan sebuah benda tumpul menggesek dan menekan pantatku yang berbalut rok biru dan celana dalam putih. Aku tahu itu adalah penisnya yang sudah tegang. Tak lama kemudian, aku merasakan lelaki itu memegang pinggulku dengan erat, napasnya memburu, dan penisnya semakin menekan-nekan pantatku dengan kuat. Kemudian, tiba-tiba saja gerakannya berhenti dan pegangannya pada pinggulku mengendur.

“Ohh… cewek SMP memang nikmat,” bisiknya di telingaku dengan napas yang masih memburu. “Pantatnya aja udah bikin crot, apalagi memeknya.”

Aku merasakan tangan lelaki itu masuk ke dalam rok sekolahku, merabai pantatku sejenak dan meremasnya sebelum merayap ke depan dan menangkupi gundukan vaginaku dari luar celana dalamku. Lalu jari tengahnya bergerak ke atas dan ke bawah, menelusuri sepanjang celah vaginaku sambil terus menambah tekanan di vulvaku. Aku ingin menjerit, tapi tubuhku seolah-olah melarangku untuk melakukannya.

Aku tak bisa menolong diriku sendiri dari sentakan pinggulku setiap kali ujung jari lelaki tua itu menyentuh klitorisku dan mengirimkan getaran nikmat yang semakin bertambah intens di dalam diriku. Aku dapat merasakan beberapa tetes cairan cintaku menggelitiki dinding vaginaku seiring mereka mengalir turun dan membasahi celana dalamku. Sensasi geli itu membuat kedua pahaku saling menghimpit dan menggesek satu sama lain, seperti orang yang sedang menahan pipis, sehingga tangan lelaki tua itu pun terjepit dengan nikmat di antara kedua pahaku yang hangat. Aku hampir saja mendesah ketika lelaki itu menarik kedua sisi celana dalamku ke tengah dan menyelipkannya di antara bibir vaginaku.

Dan tiba-tiba saja bus itu berhenti. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa bus itu telah sampai di halte dekat rumahku. Merapikan rok SMP-ku, aku pun melangkah keluar dari transportasi umum itu tanpa melihat wajah lelaki yang sudah melecehkanku itu.

Rangsangan tidak tuntas yang diberikan oleh jemari lelaki itu ditambah dengan gesekan celana dalamku pada celah vaginaku saat berlari bersama Bobby tadi, membuat organ intimku semakin terasa basah dan gatal, menuntut sebuah kepuasan seksual. Masuk ke dalam rumah, aku melepaskan sepatu dan kaos kakiku, lalu menuju ke sofa yang berada di ruang tamu. Dengan sedikit perasaan kesal bercampur horny, aku melemparkan tas sekolahku ke atas sofa dan duduk di bagian yang kosong.

Aku merasakan cairan cintaku kembali menggelitiki dinding vaginaku seiring aku mengangkat kedua kakiku ke atas sofa. Duduk dengan posisi mengangkang, aku membiarkan rok biruku tergulung di sekitar pinggang. Menarik celana dalamku yang sudah basah itu ke samping, aku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang nikmatku dan mulai memompanya keluar-masuk dengan kecepatan sedang. Ohh, jariku terasa seperti disedot-sedot oleh lubang sempit yang hangat, lembut, dan basah.

Memejamkan mata, aku mencoba untuk menikmati setiap gesekan jari tengahku pada dinding vaginaku yang bergerinjal, menghilangkan rasa gatal di dalam sana dan menggantinya dengan rasa nikmat. Ujung jari tengahku yang tak mampu meraih bagian terdalam vaginaku, membuatku sedikit kesal. Namun, rasa kesal itu segera menghilang ketika jari telunjuk tangan kiriku mulai membelai klitorisku dengan gerakan memutar. Dapat kurasakan wajahku kini telah memerah dan napasku mulai memburu. Aroma seks milik seorang cewek SMP yang khas pun mulai memenuhi ruang tamu.

Mendesah dalam lautan ekstasi, aku hampir saja meraih puncak kenikmatan ketika bel pintu rumahku berbunyi. Menyebalkan, lagi-lagi orgasmeku harus tertunda. Dengan segera, aku merapikan pakaianku dan mencoba untuk mengatur napasku. Lututku terasa lemas seiring aku melangkahkan kakiku menuju ke pintu depan rumahku. Membuka pintu, aku mendapati temanku, Bobby, sedang berdiri di balik pintu pagar rumahku. Ia telah berganti pakaian, sekarang ia memakai setelan kaos dan celana sepak bola berwarna putih. Menghampiri Bobby, aku mendorong pintu pagar itu ke samping untuk membukanya.

“Oh, ternyata kamu, Bob. Masuk yuk,” ucapku, mengajaknya masuk ke dalam rumahku. “Kirain siapa tadi…”

POV: Bobby

Masuk melewati pintu pagar, aku menutupnya kembali dan mengikuti Aurel dari belakang. Ia masih memakai seragam sekolah dan tampak sangat kelelahan. Butiran keringat tampak menetes menuruni wajah dan lehernya, beberapa bahkan sampai masuk ke celah atas baju seragam sekolahnya yang kusut. Menurutku, kondisi Aurel yang seperti ini malah membuatnya terlihat semakin manis. Bukan, mungkin kata seksi lebih tepat kali ini.

Desain rumah di kompleks kami secara umum terlihat sama. Rumah modern minimalist berlantai dua dengan rumput gajah yang tampak menguasai halaman depan, menutupi sebagian besar tanahnya dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk satu pohon palem kecil, bunga-bunga, dan jalan bebatuan. Selain itu, halaman depan juga dikelilingi oleh pagar besi setinggi satu setengah meter.

“Kamu kenapa, Rel?” tanyaku, masuk ke dalam rumah Aurel. “Wajah kamu kok merah gitu. Napas kamu juga agak ngos-ngosan.”

“Masa' sih? Gara-gara abis lari tadi deh kayaknya, hihihi,” jawabnya sambil tersenyum aneh, seperti ada yang sedang disembunyikan. “Bentar, ya, aku mau mandi sama ganti baju dulu. Kamu duduk dulu aja di sana.” Ia menunjuk ke arah sofa warna ungu yang tertata rapi di atas karpet merah yang berada di ruang tamu.

Sofa-sofa itu ditata sedemikian rupa mengelilingi sebuah meja kaca berbentuk oval, sehingga dua sofa menjadi saling berhadapan dan satu sofa lagi menghadap ke arah TV LCD yang cukup besar. Sepertinya ruangan ini, selain berfungsi sebagai ruang tamu, juga sebagai ruang keluarga.

Seiring aku berjalan mendekati sofa, tiba-tiba saja hidungku menangkap aroma aneh. Aroma itu entah mengapa membuat jantungku berdebar semakin kencang dan mataku terasa berat, seperti orang yang sedang mengantuk. Secara naluri, aku mengendus-endus untuk mencari sumber aroma itu. Melihat tas Aurel tergeletak di atas salah satu sofa, aku menghampiri tas itu dan mengendusnya. Bukan. Mendekatkan hidungku ke taplak meja, aku mengendus kain warna merah itu juga. Bukan. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengakhiri pencarian ini. Aku takut kalau sampai ketahuan Aurel dan dianggap sebagai anak yang aneh. Duduk di atas sofa, aku menunggu Aurel selesai dengan aktivitasnya.

POV: Aurel

“Ahh… emhh… emhh… ahh…” Aku berusaha untuk meredam suara desahanku agar tidak sampai terdengar oleh Bobby. Di sinilah aku sekarang, duduk di toilet dengan kaki yang terbuka lebar. Baju seragam dan rok sekolahku telah tertumpuk di dalam keranjang pakaian kotor yang berada di pojok kamar mandi. Namun, aku belum sepenuhnya telanjang, celana dalam putihku masih mendekap erat selangkangan remajaku, melindungi organ intimku dari sentuhan langsung jariku yang sedang meluncur mulus di sepanjang celahnya. Lendir vaginaku merembes ke luar celana dalamku, melubrikasi pergerakan jariku ke atas dan ke bawah dengan baik.

Tak butuh waktu yang lama, gesekan jariku pada celah vagina dan klitorisku dari luar celana dalam sudah cukup untuk mendorongku menuju puncak kenikmatan yang telah aku nanti-nantikan sejak tadi. Aku dapat merasakan getaran nikmat merambat dari seluruh tubuhku dan berkumpul di vaginaku. Getaran itu semakin bertambah kuat dan membuat napasku semakin memburu karena menahan rasa nikmatnya, sebelum akhirnya meledak dan memompakan sensasi puas dan rileks ke seluruh tubuhku seiring dengan sentakan pinggulku.

Otot pahaku mengencang, pinggulku tersentak-sentak, selangkanganku menabrak-nabrak telapak tanganku. Aku dapat merasakan vaginaku berkedut-kedut dengan hebat, berkontraksi dan memuntahkan cairan orgasme berwarna putih pekat yang kental dan lengket. Cairan ini berbeda dengan cairan pelumas alamiku yang berwarna putih bening, yang keluar saat aku sedang terangsang.

Iseng-iseng, kuarahkan tanganku menuju ke vaginaku yang masih berbalut celana dalam. Basah. Kain penutup organ intimku itu telah basah kuyup, dan warnanya telah berubah menjadi lebih gelap. Bahkan, ketika aku merekatkan jari telunjuk dan jempolku lalu membukanya kembali, benang lendir yang lengket pun tercipta di antara kedua jari itu. Tersenyum nakal, aku mendekatkan jari yang berlumuran lendir cintaku itu ke mulutku dan menyedotnya sampai bersih. Hmm, rasanya tidak terlalu buruk.

Bangkit berdiri, aku melepas celana dalamku dan melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Berjalan menuju shower, aku pun lanjut untuk mandi. Aku merasa tak enak jika membuat temanku menunggu terlalu lama.

POV: Bobby

Merogoh ke dalam saku celana, aku mengeluarkan ponsel pintarku, mencoba untuk mengusir penat dengan bermain game. Beberapa usapan dan ketukan jemariku pada layarnya telah mengantarku masuk ke dalam game MMORTS favoritku. Beberapa menit telah berlalu sejak aku tenggelam di dalam dunia game, tapi aroma aneh di ruang tamu ini tak kunjung menghilang. Mengusap bagian atas layar ke arah bawah, aku melihat jam digital di ponselku sudah menunjukkan pukul satu lewat empat puluh tiga menit. Sudah sekitar setengah jam aku menunggu Aurel. Dasar cewek, kalau mandi pasti lama.

Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul bayangan tubuh telanjang Aurel di kepalaku. Rambut ekor kudanya yang berwarna pirang gelap telah tergerai dan terlihat basah di bawah guyuran air shower. Kedua matanya yang berwarna biru tua tampak simetris terhadap hidungnya yang mancung dan agak melengkung ke atas. Bibir merah mudanya sedikit terbuka, menampakkan gigi putihnya yang rapi. Sungguh wajah yang indah. Sempurna.

Mengarahkan pandanganku ke bawah, aku dapat melihat tubuh ramping Aurel yang polos, tapi kabut tebal menutupi daerah dada dan selangkangannya. Sial, umpatku. Dan tiba-tiba saja, bayangan Aurel seperti tersedot ke dalam lubang hitam. Seluruh tubuhnya melayang dan berputar spiral mengelilingi sebuah titik. Semakin ia mendekati titik itu, semakin tubuhnya mengecil. Hingga akhirnya, lenyaplah tubuh cewek pujaanku itu dari kepalaku.

Beberapa detik kemudian aku dapat merasakan celanaku mulai menyempit. Oh tidak, kumohon jangan sekarang. Mengambil bantal sofa, aku menggunakannya untuk menutupi tonjolan di celanaku, dan berharap agar isi di dalamnya segera melunak sebelum Aurel melihatnya.

Keheningan di ruangan ini sirna setelah pintu kamar Aurel terbuka. Aku melihat ia keluar dari kamarnya dengan wajah yang kini tampak lebih segar. Tubuh remajanya kini terbalut oleh setelan baju santai tanpa lengan dan celana pendek berwarna pink dengan taburan gambar kue kering dan biskuit. Pakaian itu sebenarnya lebih cocok jika disebut sebagai pakaian tidur atau piyama karena cukup longgar dan bahannya yang terbuat dari kain katun. Ia benar-benar terlihat sangat manis dan menggemaskan dalam balutan pakaian itu.

Aurel berjalan mendekatiku. “Hai, Bobby,” katanya. “Maaf, ya, kalau lama mandinya, hihi. Biasa… cewek 'kan banyak yang harus dibersihin.”

“Iya. Nggak apa-apa kok, Rel. Lagian, aku juga sambil nge-game, jadi nggak kerasa lamanya, hehe.”

“Kalau itu sih udah bisa ditebak,” ucapnya, meledekku. Ia mengambil tasnya yang tergeletak di atas sofa. “Yaudah, yuk. Kita kerjain di kamar aku aja, soalnya sambil di-charge laptopnya, lowbat.”

Aku mengikuti Aurel berjalan kembali menuju ke kamarnya di lantai dua. Aku sempat ragu ketika sampai di depan pintu kamarnya. Kulihat Aurel masuk ke dalam kamarnya dan duduk di atas kasurnya. Lalu ia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ia menoleh kepadaku yang masih berdiri di luar pintu.

“Masuk aja, Bob. Tuh, laptopnya udah aku nyalain. Langsung pakai aja,” katanya, melirik ke arah meja belajarnya. “Aku mau ke bawah dulu. Laper nih. Kamu udah makan, belum, Bob?”

“Ehh… belum sih…” jawabku jujur sambil berjalan menuju meja belajar Aurel. Aku memang belum sempat makan di rumah karena tergesa-gesa, takut terburu hujan.

“Yaudah, aku ambilin juga kalau gitu.”

Belum sempat aku membalas ucapannya, ia sudah keluar dari kamarnya terlebih dahulu, meninggalkan aku sendirian yang sedang bingung dengan apa yang harus aku lakukan sekarang. Teringat dengan izin yang telah diberikan oleh Aurel kepadaku untuk menggunakan laptopnya, aku duduk di kursi yang berada di depan meja belajar itu dan mulai mengeksplor folder My Music, mencari lagu enak yang mungkin dapat menemaniku mengetik tugas kelompok yang sudah kami rancang sebelumnya di sekolah.

POV: Aurel

Menuruni tangga, aku dapat merasakan silir angin yang membawa udara dingin menerpa pahaku, membelainya dengan lembut dan membuat tubuhku merinding geli. Mencengkeram erat pegangan tangga, aku harus berhenti sejenak agar tak sampai jatuh karena sensasi itu. Sensasi yang membuatku ingin menyentuh daerah sensitifku, meremas buah dadaku yang ranum, memilin puting merah mudaku yang mungil, membelai klitorisku, dan…

Aku menggeleng untuk menghilangkan pikiran nakal itu dari kepalaku.

Suara tetesan air hujan pada atap rumahku mengiringi langkah pertamaku di lantai satu. Beberapa detik kemudian hujan mulai turun dengan deras, mengisi seluruh rumah ini dengan suara gemuruhnya.

Tiba di dapur, aku melirik ke arah meja makan. Kosong. Tak ada satu makanan pun yang tersaji di sana. Bahkan, piring dan peralatan makan yang lain juga tak ada di sana. Kekecewaan melanda hatiku, hanya sedikit, aku telah terbiasa dengan semua ini. Dengan malas, kuseret kedua kakiku menuju kulkas dan membukanya. Kulihat setengah lingkaran pizza teronggok di dalamnya. Mendesah, aku menutup pintu lemari pendingin itu kembali dan berjalan menuju kompor. Lebih baik aku memasak mie kuah instan saja, kurasa lebih cocok di saat udara dingin seperti ini.

Beberapa pasang menit selanjutnya, dua mangkuk mie kuah rasa soto dengan tambahan sawi hijau dan telur rebus, tersaji di atas nampan yang sedang kubawa menuju ke kamarku. Uap panas dari kedua mangkuk itu mencolek-colek hidungku seiring aku menaiki tangga, menggodai aku dengan aroma lezat yang membuat perutku semakin tak tahan. Aroma yang tak asing bagiku, tapi tetap nikmat.

“Duh… maaf, ya, Bob, kalau lama,” kataku kepada Bobby. Ia duduk di kursi belajar sambil memakai headphone di kepalanya.

Melihat gerakan mulutku, ia melepas headphone itu. “Hah? Apa, Rel?” tanyanya, meminta pengulangan.

“Maaf, kalau lama. Abisnya harus masak dulu tadi. Sebenernya ada sih pizza dingin, tapi nggak cocok kali kalau ujan-ujan gini. Jadi, aku bikinin mie kuah aja,” jelasku sambil menaruh mangkuk untuknya di bagian kosong meja belajar.

“Ohh,” katanya. “Iya, nggak apa-apa, Rel. Ini aja aku udah makasih banget karna udah dikasih makan, padahal aku 'kan nggak minta tadi.”

“Yaudah, yuk, makan. Mumpung masih anget.”

Mengambil kursi lain, aku duduk di samping Bobby dan mulai menyantap makananku sambil sesekali melihat ke layar laptop, memeriksa pekerjaan Bobby. Mungkin saja ada yang salah ketik, pikirku. Terkadang aku harus mencondongkan badanku ke depan agar dapat membaca dengan baik.

Bobby menoleh ke arahku. “Gimana, Rel?” tanyanya. “Ada yang salah ketik?”

“Emh… sejauh ini sih belum ada. Tinggal lanjutin sisanya aja abis ini.”

Aku tahu, mata coklat Bobby sempat menjelajahi area dadaku saat ia menoleh ke arahku tadi. Ah, mungkin karena lubang leher bajuku yang longgar itu terbuka dan menampakkan isinya saat aku membungkuk tadi, memanjakan teman cowokku itu dengan pemandangan buah dada remajaku. Entah mengapa, hal itu membuat darahku berdesir. Baru kali ini tubuhku bereaksi karena tatapan cowok seusiaku.

Kami pun lanjut memakan sisa makanan kami dalam hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Setelah selesai makan, kutumpuk mangkuk kami di atas nampan dan pamit ke Bobby untuk pergi ke bawah, mencuci barang-barang yang telah kami kotori tersebut dan mengambil air minum.

POV: Bobby

Aku memperhatikan Aurel keluar dari kamar ini. Kasihan sekali cewek itu. Di usianya yang relatif muda, ia sudah dituntut untuk hidup mandiri. Bahkan, kebersihan rumah ini sebagian besar adalah hasil dari kerja kerasnya. She has been forced to bear the lion's share. Meski begitu, aku hampir tidak pernah melihat kesedihan di wajahnya; ia selalu tampak ceria.

Teringat dengan masakannya, meski hanya mie instan biasa, tapi rasanya benar-benar enak. Bukan karena tambahan sayur ataupun telur, tapi entah mengapa mie itu rasanya berbeda, seperti ada tambahan bumbu atau sesuatu. Mungkin karena ia membuatnya dengan hati yang tulus. Dengan cinta.

Aku juga ingat di saat ia menjadi begitu dekat denganku, secara fisik. Ia duduk tepat di sebelahku. Makan bersama denganku. Wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari wajahku, meski tak saling berhadapan. Dan… ketika ia mencondongkan badannya ke depan untuk membaca tulisan di layar laptop dengan lebih jelas, aku dapat melihat lewat pandangan periferalku, buah dadanya mengintip malu-malu padaku melalui lubang leher dan lengan bajunya yang longgar.

Aku juga masih ingat, berpura-pura bertanya mengenai hasil ketikanku, aku menoleh ke arah Aurel agar dapat melihat buah dadanya dengan jelas. Oh, betapa buah itu ranum sekali; bulat, kencang, putih, mulus. Siap untuk dipetik dan dinikmati.

Aku merasakan penisku menggeliat perlahan seiring aku memutar ulang peristiwa itu di otakku. Sesaat kemudian aku menyadari: jika aku bisa melihat kulit buah dadanya secara langsung, itu berarti ia tidak sedang memakai…

Penisku langsung melonjak tegang sampai ke ukuran maksimalnya saat mengetahui hal itu. Begitu tegang, hingga terasa ngilu. Dan lebih parah lagi, aku lupa memakai celana dalam. Jadilah sebuah tenda kecil di bagian depan celana bolaku. Menolehkan kepala ke segala arah, aku tidak dapat menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi ereksiku. Oh tidak, semoga saja Aurel tak melihatnya.

“Cari apa, Bob?” Suara Aurel mengagetkanku. Ia telah kembali dari lantai bawah.

“Oh, itu, tadi kayak denger suara nyamuk. Aku cari-cari, nggak ketemu,” kataku beralasan.

“Pengagum rahasia kamu kali tuh nyamuk. Dicari, malah ngumpet, hihihi,” ucapnya, meledekku. Lagi.

Aku hanya tersenyum, sebagian karena Aurel tak tahu alasanku yang sebenarnya, dan sebagian lagi karena vibrasi positif yang ia pancarkan lewat senyuman cerianya. Kulihat ia menaruh segelas air putih di dekatku.

“Hihihi, jangan ngambek donk, Bob,” katanya. “Mending kita lanjutin aja ngetiknya. Sini, biar aku yang diktein.” Ia duduk di kursi yang ia tempati tadi dan mengambil kertas rancangan yang aku letakkan di bawah laptop.

Aku membiarkan jemariku menari-nari di atas keyboard sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Aurel. Pijakan jemariku pada permukaan keyboard warna silver itu menciptakan rentetan huruf di layar laptop. Huruf-huruf tersebut bersatu padu membentuk rangkaian kata, tepat seperti yang didiktekan oleh Aurel.

Sepertinya Aurel mulai lelah dengan posisi duduknya. Kulihat ia menarik kursinya sedikit ke arah depan, kedua tangannya ia letakkan di atas meja dan badannya sedikit ia bungkukkan. Posisi yang sekarang malah membuat buah dadanya semakin terlihat jelas melalui lubang lengan bajunya.

Menelan ludah, aku sesekali berpura-pura meminta konfirmasi atas kalimat yang ia diktekan agar dapat melihat ke arahnya tanpa dicurigai. Buah dadanya hampir dapat kulihat seutuhnya, kecuali bagian di sekitar puncak dan putingnya.

Aku merasakan penisku berkedut, mengeluarkan cairan precum, membasahi celanaku. Kulihat buah dada itu lagi, penisku berkedut lagi. Kulihat lagi, berkedut lagi. Argh, aku tak tahan. Aku butuh pelepasan.

Jantungku terlewat sedetak ketika Aurel, dengan tiba-tiba, menoleh ke arahku. Matanya, dengan perlahan, merayap ke bawah menuju ke tonjolan di celanaku. Begitu tiba di tempat tujuan, mata biru tuanya itu berbinar menatap tenda kecil yang dibuat oleh ereksiku itu. Kulihat Aurel menggigit bibir bawahnya, menatap mataku sejenak, dan kembali menatap selangkanganku.

“Iiihhh… Bobby,” katanya dengan nada gemas. “Kamu ngompol, ya… kok celana kamu basah dikit gitu sih?”

“Ehh… iya, Rel,” kataku, terbata-bata. “Ehh… udah dari tadi sih, nahan pipis.”

“Makanya kalau kebelet pipis tuh langsung keluarin aja. Jangan ditahan-tahan. Jadi basah, 'kan…”

“Ehh… aku boleh pinjem kamar mandinya, nggak, Rel?” tanyaku. “Bentar aja.”

“Pinjem aja,” jawabnya sambil tersenyum. “Lama juga nggak apa-apa kok, hihi.”

Sial, betapa malunya aku ketahuan ereksi di dekat cewek pujaanku. Namun untungnya, Aurel mengira kalau aku mengompol. Ia tidak tahu kalau noda basah di celanaku itu disebabkan oleh cairan precum-ku, disebabkan oleh penisku yang sedang terangsang berat oleh visual buah dadanya yang ranum itu.

Beranjak dari tempat duduk, aku berjalan menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar Aurel ini. Tonjolan di celanaku membuatku sedikit kesulitan untuk bisa berjalan dengan baik. Aku sempat mendengar Aurel tertawa tertahan di belakangku. Ah, cewek itu semakin membuat wajahku memerah karena menahan malu… dan nafsu.

Masuk ke dalam kamar mandi, aku menutup pintu dan menguncinya. Kulihat di bagian pojok terdapat keranjang pakaian kotor. Di dalamnya, tertumpuk pakaian seragam sekolah Aurel beserta rok birunya. Sebuah celana dalam tampak tergeletak pasrah di atas rok itu. Celana dalam tersebut berwarna putih dan di bagian atasnya terdapat pita kecil berwarna pink. Namun, entah mengapa di bagian bawahnya tampak lebih gelap dan berkilauan, seperti…

Basah.

Penasaran, aku mengambil celana dalam itu untuk memeriksanya. Kusentuh bagian yang lebih gelap itu dengan ujung jariku. Memang basah. Dan… agak lengket. Mendekatkan ke hidungku, aku mengendus bagian itu.

Jantungku berdetak lebih kencang.

Aroma ini seperti tak asing bagiku. Oh iya, aku ingat. Ini adalah aroma yang sama seperti yang tercium saat di ruang tamu tadi. Oh, ternyata berasal dari daerah paling pribadi milik Aurel. Dari vaginanya. Aku jadi bertanya-tanya, kira-kira apa yang dilakukan Aurel di ruang tamu saat sebelum aku datang kemari tadi…

Apakah ia bermasturbasi?

Menurunkan celana ke paha, aku mengelus-elus penisku sambil membayangkan Aurel sedang bermasturbasi di ruang tamu. Ia masih memakai baju seragam sekolah dan rok birunya. Ia duduk di salah satu sofa yang saling berhadapan dan aku duduk di seberangnya.

Kubayangkan Aurel menatap mataku sambil meraba-raba kedua payudaranya dari luar baju seragamnya. Sesekali ia meremas-remas gundukan di dadanya itu. Cewek itu membiarkan ujung jarinya menari-nari di sekitaran puncak buah dadanya untuk waktu yang cukup lama sebelum bergerak ke atas untuk melolosi kancing kemejanya satu per satu.

Setelah melolosi kancing terakhir, kedua tangan Aurel mengusap-usap perut ratanya dengan gerakan yang sensual. Lalu, dengan perlahan, tangan kanannya merayap ke atas menuju ke buah dadanya yang hanya terlihat sedikit saja olehku karena masih tertutup kain baju seragamnya, meski kancingnya sudah dilolosi.

Kulihat tangan kanan Aurel menyelinap masuk ke dalam baju seragamnya. Tangan itu bergerak-gerak di dalam sana, mengelus-elus payudara kirinya dengan lembut dan sesekali meremasnya dengan gemas. Semua itu ia lakukan sambil masih menatapku lekat-lekat. Sebuah desahan erotis keluar dari mulutnya setiap kali ia meremas payudaranya yang menggemaskan itu.

Dapat kulihat puting payudara kirinya telah menonjol di balik bajunya, menusuk kain putih itu dengan kekerasannya. Tangan kanan Aurel kembali merayap ke bawah menuju ke perutnya, dan di saat yang sama, tangan kirinya merayap ke atas menuju ke payudara kanannya. Kulihat tangan kiri itu mereplikasi gerakan tangan kanannya tadi, tapi kali ini pada payudara kanannya.

Setelah beberapa usapan dan remasan, mengeraslah puting payudara kanannya itu. Dan kini kedua puting payudara yang imut itu telah mengeras dengan sempurna. Masih menatap mataku lekat-lekat, ia membelai kedua tonjolan kecil di dadanya itu dari luar baju seragamnya sambil tersenyum. Lalu ia bangkit berdiri dan berbalik membelakangiku.

Kubayangkan Aurel menoleh ke belakang dan tersenyum nakal kepadaku. Lalu ia kembali menghadap ke depan dan melepas baju seragamnya. Menarik lengannya keluar dari kemejanya secara bergantian, Aurel kembali menoleh ke belakang dan melempar baju seragamnya ke arahku lewat atas bahunya. Kemeja putih itu mendarat tepat di wajahku, membiusku dengan aroma tubuh remajanya. Aroma buah dadanya yang manis.

Penisku berkedut senang. Cairan precum meleleh keluar dari lubangnya, membasahi puncak tonjolan di celanaku. Namun, aku harus menyingkirkan baju itu dari wajahku dan merelakan aroma nikmat itu pergi dariku agar dapat melihat pertunjukan Aurel selanjutnya.

Terpampanglah kini ke hadapanku, punggung cewek SMP yang putih dan mulus. Kulihat dari belakang, ia menangkupi kedua buah dadanya sebelum akhirnya berbalik menghadapku dan duduk di atas sofa lagi. Kedua tangannya yang mungil masih menangkupi payudaranya, mengobstruksi pandanganku dari puting payudaranya.

Dengan wajah memohon, aku membalas tatapan mata Aurel, berkata dalam diam agar ia mau melepaskan tangkupan tangannya pada buah dadanya. Mengerti akan maksudku, Aurel membiarkan tangannya meluncur ke bawah, menghadiahiku dengan pemandangan buah dadanya secara utuh dan tanpa penghalang.

Buah dada itu membulat padat, kencang terangsang. Areolanya berwarna sama dengan warna kulit di sekitarnya yang putih mulus, membuat buah dada itu seolah-olah tak memiliki areola. Sementara puting payudaranya yang berwarna pink tampak mengeras, memahkotai setiap puncaknya dengan keimutan yang menggoda.

Aurel lalu menaikkan kedua kakinya ke atas sofa dan membukanya lebar-lebar. Duduk dengan posisi mengangkang, cewek itu mendesah tertahan saat tangannya yang mungil itu mengelus-elus paha dalamnya. Semakin lama, elusan itu semakin turun ke bawah. Ia membiarkan tangannya menggosok-gosok lipatan pahanya sejenak sebelum akhirnya menyeretnya menuju ke vaginanya yang masih terbungkus celana dalam putih.

Kulihat Aurel membiarkan jarinya berlarian ke atas dan ke bawah di sepanjang celah vaginanya, membuat kain celana dalamnya sedikit masuk ke dalam celah itu, mencetak bibir vaginanya yang montok dengan jelas. Sesekali ia tampak menggali-gali lubang vaginanya dari luar celana dalam. Masih menatap mataku lekat-lekat, cewek pujaanku itu mendesah dan melenguh seiring ia memanipulasi organ intimnya. Dapat kulihat celana dalamnya kini mulai basah oleh cairan cintanya.

Menggigit bibir bawahnya, Aurel bangkit berdiri lagi, tapi kali ini ia tidak berbalik badan. Membungkuk sedikit, ia merogoh ke dalam roknya dari bawah dan menarik celana dalamnya lepas dari kedua kakinya secara bergantian. Ia melakukannya secara berhati-hati agar vaginanya tak sampai terlihat olehku.

Dengan celana dalam di tangannya, Aurel berjalan menghampiriku layaknya seorang model catwalk. Satu kakinya ia letakkan di depan kaki yang lain. Lalu celana dalam itu ia putar-putar di jari telunjuknya seperti seorang cowgirl yang akan menangkap buruannya menggunakan tali laso.

Setelah sampai di depanku, Aurel duduk di atas pahaku dan membekap hidungku dengan celana dalamnya yang sudah basah oleh cairan cintanya itu. Lalu, dengan tatapan menggoda, cewek itu menggerakkan pinggulnya maju-mundur secara perlahan sambil berpegangan pada leherku menggunakan tangannya yang lain.

Setiap kali pinggulnya maju, Aurel semakin merapat kepadaku. Hingga akhirnya kurasakan vaginanya menggesek-gesek penisku, meskipun aku tak dapat melihatnya secara langsung karena selangkangan kami tertutupi oleh rok SMP-nya. Namun, gesekan itu sungguh terasa mengingat hanya kain celana sepak bolaku yang membatasi sentuhan langsung penisku dari vaginanya.

Aku dapat merasakan bibir vagina Aurel yang lembut membungkus batang penisku yang keras dengan kehangatan celahnya. Bergerak maju-mundur, cewek itu meratakan nektar manis yang keluar dari dalam lubang kegadisannya di sepanjang batang kejantananku, semakin membasahi celanaku yang memang sudah basah oleh cairan precum-ku itu dengan cairan cintanya.

Aku membayangkan tubuh belia Aurel meliuk-liuk di atas pangkuanku. Terkadang, ia menyelingi gerakan maju-mundur pinggulnya dengan gerakan atas-bawah, membiarkan pintu vaginanya tergedor-gedor oleh penis tegangku. Aku yakin, jika tidak terhalangi oleh kain celanaku, pasti penisku sudah masuk ke dalam lubang terlarangnya yang hangat dan basah itu.

Dengan mata yang mulai sayu, Aurel membiarkan lenguhan erotis terlepas dari mulut mungilnya seiring ia menggerakkan pinggulnya dengan lebih cepat. Kurasakan tekanan vaginanya pada penisku juga semakin kuat. Napas semakin memburu, keringat bercucuran, kami sudah hampir sampai pada tujuan kami: orgasme.

Kembali ke dunia nyata, kukocok penisku semakin cepat sambil menempelkan celana dalam Aurel tepat di bagian yang basah ke hidungku dan menghirup aromanya dalam-dalam, mengisi penuh paru-paruku dengan aroma paling pribadi milik cewek pujaanku. Aroma vagina Aurel.

Imajinasi liarku ditambah dengan aroma vagina Aurel dan kocokan pada penisku, terlalu berlebihan bagiku. Aku merasakan spermaku melesat cepat dari kantong sperma, melewati urethra dan menuju ke lubang di kepala penisku. Sepersekian detik sebelum spermaku keluar, kubungkus penisku dengan celana dalam Aurel. Menempelkan lubang penisku tepat di bagian yang menutupi vaginanya, aku membiarkan penisku berejakulasi.

Penisku berkedut, semen meleleh. Kutarik pinggulku, kudorong lagi, berkedut lagi, muncrat.

Semprotan pertamaku begitu kuat sampai-sampai menembus kain celana dalam Aurel dan mendarat di baju seragam dan rok birunya yang tertumpuk di dalam keranjang pakaian kotor di depanku.

Kutarik pinggulku lagi, kudorong lagi, penisku berkedut, muncrat, ahh.

Kudorong lagi, berkedut lagi, muncrat lagi, ahh, ahh, ahh. Aku keluar. Nikmat. Penis berkedut, semen meleleh. Kubasahi celana dalam Aurel dengan bibit remajaku. Kepuasan menyelimutiku.

Orgasme pun pergi, kabur dariku, meninggalkanku dengan napas memburu dan tubuh yang lelah. Cepat, terlalu cepat berakhir.

Mengelap penis dan jemariku dengan bagian celana dalam Aurel yang masih kering, kulemparkan kain yang sudah basah oleh campuran cairan cinta kami itu kembali ke dalam keranjang dan lalu keluar dari kamar mandi.

POV: Aurel

Aku melihat Bobby sudah keluar dari kamar mandi. Jika dilihat dari wajahnya yang menyiratkan rasa lelah dan puas, aku yakin ia pasti baru saja beronani. Hihi, kuharap aku tidak terlalu berlebihan karena sudah menggodanya dengan buah dadaku secara sengaja. Entah mengapa, menggoda cowok seumuranku yang punya sifat introvert seperti Bobby menimbulkan sensasi tersendiri bagiku.

“Gimana, Bob? Udah lega, 'kan?” godaku kepadanya.

“Ehh… i-iya, Rel,” jawabnya, grogi. “Makasih, ya… udah boleh pakai kamar mandi kamu.”

“Iya. Pasti pipisnya banyak banget, ya, Bob?” Aku melirik ke arah jam dinding. Sudah sekitar lima belas menit ia ada di dalam sana.

Ia hanya tersenyum dan tak berani menatap mataku. Kulihat ia berjalan kembali ke meja belajar dan duduk di kursi yang ia tempati tadi.

“Yaudah, yuk. Kita lanjutin lagi,” kataku, “tapi yang semangat donk, masa' sambil lemes gitu, emang kamu di kamar mandi tadi abis lari maraton, ya?”

“Ehh… tadi aku agak mules dikit, Rel,” balasnya dengan mata yang bergerak-gerak. “Mungkin mie bikinan kamu terlalu pedes.”

“Masa' sih… Perasaan, aku nggak nambahin cabe atau yang lain deh.”

“Nggak tau, Rel. Mungkin perutku aja yang terlalu sensitif.” Bobby memegangi perutnya sejenak sebelum mengembalikan tangannya ke posisi mengetik.

Aku tahu, jika dilihat dari bahasa tubuhnya, Bobby telah berbohong, meski alasannya cukup masuk akal. Namun, itu bukanlah suatu masalah bagiku. Aku hanya suka menggoda temanku itu, membuatku merasa menjadi superior dan berkuasa atas dirinya.

“Kok bisa sampai tegang gitu sih, Bob?” tanyaku, menggodanya lagi. “Itu, ya, yang namanya ereksi?”

“Ehh… i-iya, Rel. Aku tadi ereksi,” jawabnya dengan wajah memerah.

“Emang kamu abis ngapain sih tadi?”

“Nggak ngapa-ngapain kok, Rel. Emang cowok tuh bisa ereksi kalau pas lagi nahan pipis. Sama pas lagi udara dingin,” jelas Bobby tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

“Ohh, gitu… kirain kalau pas lagi terangsang aja.” Aku mengangguk mendengar penjelasan Bobby. Ini benar-benar informasi yang baru bagiku. Kurasa aku harus memberi teman cowokku itu sebuah hadiah kecil sebagai gantinya.
 
Cerita baru lagi.. Disambut dgn doa, semoga TS tetap sehat dan semangat menulis smp tuntas.. hehe
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Fuhh... Suka dengan cara suhu menggambarkan, dengan kata2 yang detail...
 
Kalo tau judul itu berasal dari sebuah lagu yang dipopulerkan oleh grup band Helloween, mungkin kita seumuran hahahahaa...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Menurut ane, kalau Aurel serius pengen belajar seks sih, lebih baik sama oom-oom kaya daripada sama sebayanya.
Wah, komentar berbobot yang relevan seperti ini yang saya butuhkan. Terima kasih buat sarannya, akan nubie pertimbangkan.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd