Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 14 HARI (RSP Series)

TUJUH


Aku duduk di sebuah cafe mewah dan ekslusif di kawasan Tamrin. Meja sudah dibereskan pelayan, menyisakan gelas dan botol red wine merk terkenal dan berharga mahal. Keteguk nikmat, lalu berpaling pada wanita cantik yang sedang berdiri memunggungi. Hanya dua meter di hadapanku. Ia nampak begitu menikmati semerbak temaram kota Jakarta.

Tanpa sadar bibirku tersungging seiring rasa cinta yang semakin besar. Kutatap tubuh langsingnya, juga setiap lekuk indah yang terbungkus gaun panjang berwarna hitam. Kulit punggungnya terlihat hingga ke pinggang, penutup belakang hanyalah berupa kain halus yang membentuk huruf ‘V’. Lebar di bahu, lalu meruncing hingga bagian pinggang.

Rambut semi pirang indahnya dibiarkan tergerai, memberi efek aura keemasan karena bias lampu.

Setelah menikmati makan malam romantis sambil bernostalgia, kini ia butuh sejenak merenggang otot karena terlalu lama duduk.

Seakan sadar sedang kukagumi, ia pun menengok. Mata kami beradu pandang, dan bibir merahnya menyunggingkan senyum. Malu kukagumi, ia memainkan ujung rambutnya, tangannya menutupi belahan dadanya yang rendah, tangan kiri memegang gelas berisi anggur merah yang tinggal setengah.

Kuberi kode supaya mendekat dan kembali ke tempat duduknya. Ia pun melangkah, kini aku disuguhi pemandangan indah betis dan paha kirinya karena gaun panjangnya terbelah. Suara ketukan high heels berwarna merah marun bagaikan irama musik yang mengiringi langkah dan gerak pinggulnya.

Kami berhadapan dan saling menatap mesra.

“Setelah semuanya beres, sekarang masih ada satu yang tersisa, dan aku mau menyelesaikannya malam ini.” ujarku tanpa mengalihkan tatapan.

Keningnya mengkerut, seolah heran dan bertanya. Anggukan kecil ia berikan.

“Aku tidak pernah mengatakannya, tapi kita sudah dewasa untuk saling mengerti apa yang dirasa. Dan malam ini…”

Aku berhenti sebentar. Kurogoh kotak beludru berwarna biru yang sejak tadi kukantongi. Kugenggam di bawah kolong meja. Meski begitu, wanita itu bisa melihatnya karena meja terbuat dari kaca.

“Malam ini aku harus mengatakannya.” perlahan kuangkat kotak di tanganku. Ekspresinya berubah kaku dan sedikit menahan nafas.

“Jadilah masa depanku.” kubuka kotak itu.

Sebuah cincin berlian sudah terpajang, berkilau dosorot cahaya lilin. Wanita pujaan hatiku nampak terbelalak dan bibirnya sedikit terbuka. Ia menggeleng beberapa kali seolah tidak percaya. Jujur aku tidak pernah menyatakan cintaku selama ini, tidak pernah menembaknya untuk kujadikan pacar, layaknya pasangan pada umumnya. Tapi aku yakin, ia tahu perasaan sayangku padanya. Sama seperti sayang dia padaku yang selalu disembunyikan sejak awal perkenalan.

Dan malam ini.. aku tidak ingin menjadikannya pacar, melainkan tunangan yang akan segera kunikahi. Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang, dan aku tidak akan pernah menyesal mengungkapkan ini. Jika ia menerima, itulah jalan hidup dan bahagia masa depanku; tetapi jika menolak, aku tidak akan pernah menyesal mencintainya.

“Alle, ini.. ini…” ia tidak bisa berkata-kata.

“Jangan pernah merasa terpaksa, tapi aku mohon dengarkanlah suara hati ibu. Bahagiaku akan menjadi bahagia kita berdua jika ibu menerima, tetapi jika tidak bersedia, aku akan tetap bahagia karena pernah mencintai ibu.”

Yeah.. wanita cantik di hadapanku adalah Bu Yasinta. Wanita yang kuyakin akan menjadi bagian dari indah sisa perjalanan hidupku, meski rentang usia kami berjarak sebelas tahun. Anaknya sendiri lebih pantas menjadi adikku, usia kami selisih delapan tahun.

“Maukan ibu menerima cintaku?”

“Alle…” ia masih nampak tidak percaya, dan ekspresinya terlihat bimbang.

Aku tak bergeming dari tatapanku. Kupandang wajahnya sambil tersenyum, dan kupancarkan tekad serta keyakinanku. Tangan kiriku terulur, meminta tangannya.

Bu Yasinta menghela nafas beberapa kali, kemudian bibir tipisnya rapat dan membentuk garis lurus. Ia sedang menahan gejolak hatinya.

Hampir satu menit aku menunggu, dan aku siap. Siap diterima, tetapi juga siap ditolak. Apapun itu, cintaku padanya tidak akan luntur.

Jantungku mulai berdebar kencang, satu menit yang sangat menentukan, dan rasanya sangatlah panjang. Dan.. aku tersengal, detak jantungku lebih kencang. Bukan kecewa, tetapi karena bahagia tiada tara.

Jemari kedua tangan Bu Yasinta yang sejak tadi saling meremas di atas pangkuan terurai. Tangan kirinya terulur, dan nampak bergetar. Aku menyentuh halus, dingin kurasakan.

Tangan kananku mengelurkan cincin dari kotaknya, lalu kutatap kembali kedua bola mata indahnya. Secara perlahan kupasangkan cincin yang sudah kusiapkan sejak dua bulan yang lalu. Bu Yasinta menutup mulutnya dengan tangan kanan, matanya berkaca-kaca.

Misiku mendapatkan cintanya akhirnya tercapai. Cincin itu sudah terpasang. Kuangkat tangannya sambil sedikit merunduk, kukecup lembut.

Bu Yasinta sudah tidak bisa menahan gejolak perasaannya. Ia langsung berdiri dan menghambur ke dalam pelukanku. Ia menangis. Kubiarkan ia menumpahkan bahagia dan harunya, kudekap lembut sambil mengecup rambutnya.

“I love you.” bisikku.
“I love you too.” jawabnya dengan tetap masih terisak.

Dekapanku makin erat. Aku tidak malu pada beberapa pasang mata yang melirik ke arah kami. Aku justru bangga mereka tahu aku mendapatkan cintaku.

Akhirnya Bu Yasinta mengurai pelukan. Kuusap pipinya dengan lembut, kukeringkan air matanya dengan pelan agar tidak melunturkan makeupnya.

“Aku janji, aku tidak akan membuatmu menangis karena aku.” ujarku. Aku sudah menghilangkan ‘kata’ ibu saat memanggilnya.

“Makasih. Tapi, Mas, aku malu.” ia menggenggam punggung tanganku yang sedang mengusap wajahnya. Ia juga tidak memanggil namaku lagi.
“Kamu manggil apa, sayang?” bahagiaku tak tergambar.
“Mas, barusan manggil aku apa?” ia tak kalah bahagia.

Kukecup keningnya dan ia kembali memeluk beberapa saat lamanya.

“Maas.. ah kamu. Aku masih belum percaya.” ujarnya sambil kembali ke tempat duduk masing-masing.

Selanjutnya kami tak lepas bersentuhan, tangan kami selalu saling menggenggam. Sedikit kenangan sama-sama kami ungkapkan, khususnya tentang perasaan yang selama ini saling kami tutupi dan sembunyikan.

“Mas, jangan gitu banget ngeliatinnya.” ia jengah selalu kutatap dengan penuh rasa sayang.

Sikapnya sangat menggemaskan, seperti bukan wanita yang sudah pernah menikah.

“Kamu kok jadi malu-malu gini sih, padahal dulu waktu di Italia….”
“Maaas… aku ngambek nih.”

Mukanya merah padam, bibirnya cemberut. Ditariknya tangannya sehingga genggaman kami terlepas. Ia menunduk sambil memainkan cincin yang baru kupasangkan.

“Sayang.”
“Apaaah?” ia masih malu karena aku menyinggung masa lalunya.

“Aku tidak ingin menunda, secepatnya kita menikah.” ujarku.
“Maas..?” ia seolah kembali mendapat kejutan yang sama sekali tak terduga.

Kujelaskan rencanaku untuk segera memperkenalkannya pada orangtuaku di Bandung, kemudian kami akan melamarnya sekalian menentukan tanggal pernikahan.

“Aku tidak ingin pesta besar, yang penting upacaranya sah dan sakral.” ujarku.
“Aku keberatan.” ia memotong lugas.
“Ya kalau kamu maunya pesta juga gak apa-apa.” sahutku.

“Bukan itu, Mas. Pernikahan itu sangat sakral dan akan menjadi yang pertama bagimu. Aku ingin agar kita mengadakan pesta bukan untuk aku, tapi untuk Mas.” ia menolak.
“Bagiku, yang sakral itu cinta kita dan ijab qobulnya, bukan pesta.” aku masih mempertahankan pendapatnya.

“Hmm…” ia kehabisan kata-kata karena rayuanku.

“Ayo pulang.” sepertinya ia tidak mau melanjutkan diskusi malam ini.

Kupanggil pelayan untuk membawakan bill, sedangkan Bu Yasinta pamit ke toilet. Sepuluh menit kemudian, kami meninggalkan cafe.

Wanitaku berjalan anggun di sampingku, tangannya mengapit lenganku. Ia terlihat berwibawa layaknya wanita karier yang sukses dan terhormat, namun juga anggun dan lembut seperti wanita pada umumnya. Keluar dari lift, gantian tanganku yang melingkar pada pinggangnya.

Aku memang memperlakukannya dengan lembut dan romantis, tetapi juga sewajarnya. Aku masuk ke dalam mobil, ia melalui pintu berseberangan. Tidak kubukakan.

“Haaah….” aku menghembuskan nafas lega sekaligus ungkapan bahagia.

Awal dunia baru kujalani, ada tunangan di sampingku, dan akan selalu bersama menemani.

Bu Yasinta urung mengenakan safety belt ketika kutarik lembut bahunya sambil menyondongkan badan. Kecupan hangat kudaratkan di atas keningnya, ia memejamkan mata meresapi. Senyumnya terpulas, ia sedang merasakan diri sebagai wanita sejati, yang memang pantas untuk dicintai.

Seusai mencium keningnya, gantian ia yang mengecup bibirku lembut. Hanya tipis tapi sudah mengungkapkan rasa cinta yang tak mampu lagi diungkap kata-kata.

“Mas, Sukma dulu atau Tea?” tanyanya sambil meremas lembut tanganku yang menumpang di atas pangkuannya. Kini mobil yang kukendarai sudah melaju di jalanan ibu kota.

“Maksudmu, sayang?” senyumnya tersipu. Ia masih sering terlihat tersanjung dengan panggilan sayangku.

“Yang kita kabari tentang hubungan kita.” jawabnya.

“Desta dulu lah.” jawabku. Desta adalah anaknya, yang sebulan lalu baru berangkat ke Milan untuk menempuh pendidikan di sana.

“Setelahnya baru orangtua kita.” lanjutku.

“Iya, maksudku selain mereka.” ia menatapku.

“Bu Sukma, secara dia kan sahabatmu.” aku menjawab.
“Kok sepikiran sih?”

Aku hanya terkekeh dan ia mengecup punggung tanganku.

Sejenak kami terdiam, hanya genggaman tangan yang menyalurkan energi tentang rasa yang kami miliki. Pikiranku sejenak mengingat wanita yang namanya baru kami sebutkan.

Sepulang dari Italia dua tahun lalu, Bu Yasinta dan Tea menyandang status Orang Dalam Pengawasan dan harus menjalani karantina lokal. Bu Sukma berbeda, ia sempat dirawat di rumah sakit karena memang terbukti positif Covid19. Dalam masa karantina itu, nasib malang masih menimpanya. Rupanya ia mengandung (benihku) yang masih berusia satu minggu dan keguguran.

Saat itu aku tidak tahu, karena aku sendiri dirawat intensif di rumah sakit karena tubuhku sudah ditunggangi virus. Dan sampai aku pulang ke Indonesia tujuh bulan kemudian, tak seorang pun yang memberi tahuku jika Bu Sukma sempat mengandung janin dari benihku.

Tentu saja Bu Sukma terpukul. Jiwanya tergoncang. Untung atas bantuan Bu Yasinta, suami dan keluarganya tidak tahu bahwa ia mengandung janin muda, mereka hanya tahu karena pendarahan. Orang kaya mah bebas, dokter juga bisa diajak bekerjasama tanpa melanggar etika medis. “Tanggungjawab dokter adalah mempertanggungjawabkan secara medis, bukan memberi tahu kepada keluarganya bahwa Bu Sukma mengandung.” jelas Bu Yasinta saat itu yang ia kisahkan kembali kepadaku. Karena dokternya juga adalah dokter keluarga, maka kasus pun ditutup dan perselingkuhan kami tidak tercium.

Butuh waktu bagi Bu Sukma untuk keluar dari rasa berdosanya. Ia pun akhirnya keluar dari pekerjaan dan lebih fokus sebagai ibu rumah tangga. Setahun kemudian, keluarga Bu Sukma pindah ke Batam karena suaminya pindah kerja ke sana. Sekepulanganku, aku dan Bu Sukma sudah bertemu tiga kali. Tanpa perselingkuhan apalagi persetubuhan. Ia tidak ingin jatuh pada dosa dan trauma yang sama.

Bagaimana dengan Tea? Aku menyayanginya, dan rasa yang sama ia miliki. Namun ia bukanlah gadis yang gampang mengambil keputusan untuk masa depan. Sepulangnya ke Jakarta, ia masih melanjutkan hubungannya dengan Bagas. Namun juga intensif berkomunikasi denganku. Kesimpulanku, aku dan Bu Sukma telah selingkuh, namun kadar nafsu lebih besar dari perasaan. Sebaliknya, Tea telah selingkuh hati tanpa memberikan tubuhnya. Aku? Tentu saja menjadi pihak yang melakukan keduanya.. pada keduanya…

Ketika aku pulang ke Jakarta, beberapa kali aku meminta Tea untuk memilih, namun ia selalu ragu. Akhirnya, aku yang memilih menyakiti dengan berhenti mengharapkannya. Hubungan kami sempat renggang, namun lagi-lagi peran Bu Yasinta sangat besar untuk membantu kami memperbaiki hubungan dan melanjutkan persahabatan. Kini Tea sudah menikah dengan Bagas.

Kenapa aku akhirnya menjatuhkan pilihan dengan meminang wanita di sampingku? Ini adalah kisah yang panjang. Relasinya dengan suami semakin sulit diperbaiki, dan ia pun mengajukan gugat cerai ke pengadilan. Enam bulan sekepulangan dari Italia, ia menyandang status janda.

Mungkin sudah jalan semesta, ketika tak lama kemudian aku diperkenalkan kepada Desta, untuk membantunya melanjutkan studi di Milan. Kami menjadi dekat, dan secara perlahan aku bisa membantunya untuk berubah sikap dan berekonsiliasi baik dengan ibunya maupun dengan ayahnya.

Aku dan Bu Yasinta semakin dekat dan bersahabat. Sampai pada titik aku sadar, aku mencintainya. Rasa itu sejujurnya sudah tumbuh sejak di Italia, namun tersamar oleh situasi sulit dan kenikmatan sesaat bersama Bu Sukma.

Sudah berulang kali aku menyiapkan rencana untuk melamarnya, tetapi selalu gagal. Ia seakan tahu akan rasaku (seperti juga yang ia rasakan tanpa ia ungkapkan, namun tersamar melalui sikap dan perhatian), tetapi selalu menghindar di saat-saat aku sudah menyiapkan rencana. Alasannya adalah ketakutan. Trauma pada rumah tangganya yang pertama, takut karena rentang usia, takut akan stigma sosial.

Malam ini adalah kesempatan terbaik, dan aku tidak meragukan keyakinanku. Pilihanku tidak akan salah. Aku memilih wanita yang sudah teruji setia. Wanita yang tahu kekuatan dan kerapuhannya. Kuatnya akan menutupi rapuhku, kuatku akan melengkapi kekurangannya. Ia yang bertahun-tahun tidak bahagia dan merasa teraniaya dalam hidup perkawinannya, telah tetap memilih setia, tanpa niat membalas perselingkuhan mantan suaminya. Wanita secantik dan semapan Bu Yasinta, apapun bisa ia dapatkan jika ia mau. Para pria telah datang tanpa diminta. Tapi itu tidak ia lakukan. Status sebagai seorang istri tetap ia jaga; dan ketika sudah bercerai, status barunya tidak membuatnya bebas mencari kepuasan diri.

Bandingkan… Bu Sukma memang setia, tetapi mudah terombang-ambing, dan gampang terbuai. Pribadinya yang melankolis membuatnya mudah terhanyut godaan, dan ketika ia sadar.. semuanya sudah telanjur. Aku tidak menyalahkannya, aku yang bangsat dalam hal ini. Tapi inilah penilaianku.

Tea gadis yang cantik dan baik. Jujur tentang rasa yang ia miliki, tetapi sulit mengambil pilihan hati. Bukan tipe gadis yang mandiri. Kubayangkan kalau aku tetap memperjuangkan cintaku dan memperistrinya, maka ia akan sangat bergantung padaku, dalam hal apapun. Itu bukan tipe pasangan yang kuinginkan.

Tanpa sadar aku tersenyum di akhir mengingat itu semua, kutoleh kekasihku yang memiliki beda jauh rentang usia. Rupanya ia juga sedang menatapku.

“Mikirin apa, kok senyum-senyum sendiri?” tanyanya.
“Mikirin kita. Aku bahagia.” jawabku.

“Maaas…” ia bertingkah manja.

Ia memeluk lengan kiriku sambil menumpangkan kepala pada pundak.

“Makasih, sayang, aku merasa sangat berharga sebagai seorang wanita. Aku sungguh merasa dicintai. Aku merasa terhormat memperoleh cinta dan kasih sayangmu.” tulusnya.

“Kamu layak mendapatkannya, sayang.”

Ia tidak menyahut lagi, tapi pelukannya semakin erat.

Tak lama kemudian kami tiba di parkiran apartemen. Semenjak aku dipromosikan sebagai manager pemasaran di perusahaan tempatku bekerja, aku dan Bu Yasinta tinggal di apartemen yang sama, tetapi beda tower. Aku merasa cukup beruntung karena jalan hidup dan karierku dimudahkan. Aku diterima kerja di sebuah perusahaan asing (Italia) yang bergerak di bidang finance insurance. Kemampuan bahasa Italia menjadi andalan, dan aku menjadi yang terdepan dalam segala urusan yang berhubungan dengan kantor pusat di Roma. Di samping itu, skill-ku membuat strategi-strategi pemasaran pasca krisis ekonomi global akibat wabah Corona, membuatku bisa menduduki jabatan yang sekarang ini.

“Gak boleh pulang.” ujar wanitaku saat aku mengecup keningnya dan menunggu ia keluar mobil.

Aku nurut. Kuparkirkan mobil, dan urung melanjutkan ke basement towerku. Ia menggandengku mesra menuju lift.

Setibanya di apartemennya yang luas dan mewah, aku mengerti mengapa ia melarangku pulang. Ia melempar tas tangannya ke atas sofa dan langsung melingkarkan tangan pada leherku. Kupeluk pinggang rampingnya sambil bertatapan dekat. Sangat cantik. Kalau tidak memperhatikan secara seksama, orang tidak akan menyangka bahwa ia setua umurnya.

“Udah nahan dari tadi.” lirihnya.

Inilah kekasihku yang selalu jujur. Ia tidak pernah menutupi apa yang ia inginkan. Apa adanya, walaupun dalam batas tertentu terkadang terkesan memaksakan kehendak.

Kukecup bibirnya berulang-ulang. Ia membalas. Kecupan kelima langsung disambung cumbuan. Tubuhnya merapat, bibir kami basah saling melumat. Lidah pun membelit menari. Khidmat dan nikmat.

“I love you, Mas Alleku sayang.” lirih tulusnya dengan nafas sedikit pendek.
“I love you too, sayang.”

Kali ini kecupan lembut, dan kami bergandengan menuju sofa. Duduk berpelukan. Pelukan sebagai sepasang kekasih. Pelukan yang sudah sekian lama kuimpikan.

Puas bercumbu bermesra ia melepas high heelnya. Lalu rebahan dengan kaki menumpang di atas pangkuanku. Belahan gaunnya tersibak, betis dan pahanya terpamer indah. Kupijit-pijit halus sambil bercengkerama. Rencana masa depan mulai kami susun.

Sempat berdebat. Tapi ia akhirnya setuju bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan secara sederhana dan hanya mengundang para sahabat. Kami hanya ingin merayakannya berdua, dengan berbulan madu ke Eropa. Budafest adalah tujuan pertama, dan Milan menjadi destinasi terakhir.

“Aku ingin selalu ada bersamamu, bukan ingin pesta meriah.” ujarku, dan ia bangkit memelukku dengan mata sedikit berkaca. Setelahnya ia berbaring kembali.

Kami sepakat. Besok pagi, Bu Yasinta akan mengabari anaknya, lalu kedua orangtuanya di Semarang. Aku akan mengabari orangtuaku di Bandung. Ayah dan ibuku sendiri pasti tidak akan keberatan aku menikahi seorang janda yang memiliki selisih umur cukup jauh. Justru merekalah yang mendorongku untuk mengejar cintaku, siapapun itu, dan meminangnya sebelum terlambat.

Pijitanku pada kakinya lama-lama berubah elusan, dan merayap naik menuju pangkal selangkangan. G-string merah membayang, membangkitkan gairah.

“Maaass…” ia mendesah manja sambil menahan tanganku.

“Setelah ini gak boleh ada barang asing lagi masuk sini.” godaku sambil mengerling ke arah pusat selangkangannya.
“Jangan dibahas lagiii.. aku malu… sejak cerai udah nggak lagi kok.” rajuknya dengan pipi merona merah.

“Masaa?” aku semakin menggoda.
“Beneran.. udah ah.. bete kan jadinya.” ia cemberut dan langsung menurunkan kedua kakinya.

Ia lupa umur, hanya sisi lembut dan halus sebagai wanita yang ia punya. Tingkahnya menggemaskan, merajuk minta dimanja.

“Iyah.. aku percaya. Sinih…” kutarik tubuhnya supaya duduk menyilang di atas pangkuan.

Bibir manyunnya kukecup gemas. Ia semakin cemberut. Kukecup lagi sambil mengusapi kulit punggungnya. Ia pun menggelinjang halus dan terkikik geli.

Cumbuan kami kali ini lebih panas. Dan tangan kami saling menjelajah dan meremas.

“Mmmmh… Maaas.” ia melenguh, dilanjutkan pekikan kecil ketika aku memangku tubuh langsingnya. Langsung kubopong ke dalam kamar.

“Nggak nunggu halal dulu?” ia bertanya manja.
“Cintaku padamu halal.”

Gelap.. layar tertutup… cerita ini sudah…


TAMAT




Muncul tulisan bergerak….

"14 HARI"
by RSP27.

Terima kasih kepada...
para sohib dan sohibah semua
maaf atas segala kentang
maaf atas salam sapa yang kurang
maaf sering telat updetan
maaf kalau ada kata yang kurang berkenan.


-RSP Family Imagination-
C@2020





 
HASTAGAHNAGAHHHH...kenapa cerita bagus seperti ini udah tamat aja suhu...😭😭😭

Btw thanks update nya suhu. What a masterpiece 🥂


Duduk nyender nunggu epilog. Edisi hanimun di eropah...hak...hak....hak...
 
Ceritanya mngalir makany asik membacanya
Ceritanya gak lebay makanya wajar slalu di nanti updatenya
Ceritanya gak panjang bgt hanya 7 eps makanya ada perasaan puas membacanya
Di tunggu karya berikutnya

Bravo !!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd