Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 14 HARI (RSP Series)

SATU



TEA


“Alle, ini honormu, maaf ya kalau ini adalah hari terakhir kamu bekerja di tempat saya sampai batas waktu yang belum pasti. Saya akan menghubungi kamu kalau bar sudah bisa buka kembali.” seorang wanita cantik berambut pirang menyodorkan sebuah amplop.

“Thanks, Elena. Kamu dan Francesco keep safe yah. Semoga kita bisa berjumpa lagi dalam keadaan sehat.” jawabku, seulas senyum coba kusunggingkan.

“Kamu yang harus menjaga diri. Ingat kamu jauh dari keluargamu, jangan membuat mereka khawatir. Dan kalau ada sesuatu yang urgent, kamu hubungi saya atau Francesco.”

Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Elena. Percakapan kami tentu saja kami lakukan dalam bahasa Inggris bercampur bahasa Italia seadanya. Kumasukan amplop ke dalam tas gendongku, kami pun saling memberikan pelukan serta ciuman perpisahan. Kulakukan hal yang sama pada Francesco suaminya.

Yeaah.. aku Alle dan ini adalah hari terakhir aku bekerja part time di bar milik Elena dan Francesco. Besok pemerintah negeri ini sudah menetapkan lockdown untuk seluruh kota dan zona. Penyebabnya adalah wabah covid-19 yang semakin meluas.

Kutatap langit sambil menghembuskan nafas panjang. Angin malam yang terasa segar kini seolah menjadi hembusan menakutkan yang membawa banyak ancaman. Musim semi yang indah berubah menjadi mimpi buruk.

Buona sera, Alle. Torni a casa?” sapa pria paruh baya yang sedang duduk melamun di salah satu bangku taman kota.
Ciao Alberto.” jawabku.

Setelah berbasa-basi aku pun melanjutkan langkah menuju sebuah supermarket yang buka sampai jam 24.00. Aku harus membeli keperluan untuk beberapa hari ke depan.

Tepat jam satu malam aku tiba di apartemen sederhanaku, sebuah hunian yang terletak di pinggiran kota ini.

Scusi signore, ci aspetta.” seorang polisi menghentikan langkahku.

“Hai ada apa ini?” aku terheran-heran karena ada beberapa polisi dan petugas bermasker keluar dari pintu utama apartemen. Aku langsung menduga bahwa ada penghuni yang positif terinfeksi.

“Kamu penghuni sini?” polisi itu balik bertanya.
“Iya. Saya tinggal di lantai lima.”
“Kamu berasal dari mana?”
“Indonesia.”

Dua polisi nampak saling bertatapan sebentar. Lalu salah seorang memintaku menunjukan dokumen.

“Bisa kita bicara sebentar?”
“Sure.”

Seorang petugas memberiku masker untuk kupakai, lalu polisi yang tadi memeriksa dokumenku megajakku duduk di sebuah kursi pinggir jalan. Seorang petugas medis ikut menemani.

“Begini Alle. Kebetulan bahwa kamu orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sini, jadi kamu bisa membantu orang-orangmu.”
“Maksud Anda?” aku semakin heran.

“Begini.. pihak kepolisian menahan tiga orang turis dari negaramu. Mereka tidak bisa pulang ke Indonesia bersama rombongan karena detektor kami mengindikasikan kondisi mereka tidak baik. Suhu tubuh mereka cukup tinggi. Kami sudah menghubungi kedutaan kalian, dan kami memutuskan untuk mengisolasi mereka di sini.” jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa tiga orang tersebut belum dideteksi apakah positif atau tidak, tetapi perlu dikarantina selama 14 hari di bawah pengawasan dinas kesehatan kota.

“Mengapa harus di sini?” heranku.
“Kamu tidak tahu kalau walikota sudah menjadikan apartemen ini menjadi salah satu tempat isolasi bagi turis asing yang tidak bisa pulang ke negara mereka?”

“Anjing!!” aku langsung memaki. Bagaimana mungkin aku harus tinggal satu gedung dengan para korban?

“Kamu bilang apa?” polisi itu tidak paham.
“Eh.. anu… dalam bahasa saya ‘anjing' itu artinya saya mengerti.”
“Bagus kalau begitu.”

Aku tidak punya pilihan, hanya bisa menyanggupi permintaan mereka. Kami sempat berdiskusi tentang beberapa hal. Seorang polisi juga memberikan ponselnya untuk berbicara dengan seseorang di ujung telpon. Rupanya adalah pegawai KBRI, yang kebetulan kukenal. Intinya aku hanya bertugas membantu mereka jika mereka membutuhkan keperluan selama karantina. Petugas medis memberiku petunjuk tentang gejala-gejala virus ini dan cara mengantisipasinya.

Setelah dirasa cukup, aku pun menaiki tangga. Kuputuskan menaiki tangga biasa dengan langkah gontai. Bukan karena aku enggan membantu yang membuatku lesu, namun karena aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan hidup, sementara masa lockdown tidak ditentukan sampai kapan.

Aku hanyalah seorang pelajar, yang merantau bermodalkan beasiswa kuliah. Sedangkan untuk biaya hidup aku harus mencari pekerjaan sendiri. Kampusku sudah libur sejak dua minggu yang lalu, kini pekerjaan pun diputus.

Karena sambil melamun, tak terasa aku tiba di depan kamar. Belum juga aku memasukan anak kunci, aku berhenti sebentar. Tanpa sadar dahiku mengkerut. Kupastikan nomor kamarku, kutengok nomor kamar sebelah.

“Bertetangga.” aku bergumam sendiri.

Kuputuskan untuk masuk kamar dan menyimpan bawaan. Kurebahkan tubuhku di atas kasur sambil menguping kegiatan di sebelah. Sepi tidak ada suara.

Kugosok mukaku beberapa kali, inginku adalah menghilangkan penat. Namun tetap saja sikap seperti ini tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Kuambil masker dan kuputuskan untuk menemui tamu malang di sebelah.

Butuh beberapa kali ketukan sebelum dibukakan pintu. Sosok seorang gadis muncul dengan mata sembab selepas menangis.

Yes? Good evening.” sapanya.

“Hai.. kamu Tea, kan? Aku Alle dari Indo juga.” sambil mengulurkan tangan.

“Oh. Kamu dari Indonesia juga?” suaranya terdengar sedikit lega. “Iya, saya Tea.” balasnya.

“Kamu?” lanjutnya lagi.
“Aku student dan sudah dua tahun tinggal di sini.”

Setelah berbasa-basi, gadis bernama Tea pun mempersilakanku masuk. Ternyata ia tinggal seorang diri.

“Katanya kalian bertiga?” sambil duduk di atas sofa kecil.

“Tante Sukma dan Tante Yasinta di apartemen 527. Di sana ada dua kamar, sedangkan aku ditempatkan di sini yang hanya ada satu kamar.” jawabnya.

“Oh gitu. Lalu bagaimana keadaanmu?” aku menatap Tea yang nampak kusut. Kulepas maskerku. Kadang rasa senasib-sepenanggungan membuat diri kurang waspada, dan tidak peduli jika memang ia terkena dan menular padaku. Hal yang sama Tea lakukan, ia melepas maskernya.

Aku sedikit terpana karena ternyata Tea adalah seorang gadis yang cantik. Meski wajahnya sedikit pucat dan sudah tidak bermakeup, namun tidak mampu menyembunyikan kecantikannya. Justru malah terlihat semakin alami.

“Aku gak sakit, Le. Kayaknya aku cuma kecapean aja sehingga suhu tubuhku tinggi, tapi petugas tidak peduli. Hiks…” Tea malah menangis.

I’m sorry to hear that. Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan petugas, mereka hanya menjalankan prosedur. Tapi kalian bertiga sudah diperiksa, kan?”

“Hiks.. hiks… sudah tapi hasilnya baru keluar tiga hari lagi.” ia masih terisak.

Aku hanya bisa menghiburnya, tanpa tahu harus berbuat apa selain itu. Setelah Tea sedikit tenang aku pun berdiri untuk memeriksa isi kulkas. Hanya ada roti dan beberapa buah-buahan.

“Untuk minum kamu bisa ambil dari keran langsung, untuk makan kalian dikirim atau harus beli sendiri?”

“Aku gak tahu. Logat Inggris mereka aneh dan gak jelas, lagipula aku panik jadi gak bisa nyimak semua.” jawab Tea.

“Yasudah yang penting kamu tenang dulu ya. Setidaknya besok masih bisa sarapan, untuk makan siang besok aku bawakan.”

“Makasih, Alle.”

Tea mencoba menelpon kedua temannya tetapi tidak seorang pun yang mengangkat. Mungkin mereka sudah tidur karena kelelahan setelah melalui proses yang panjang dan berbelit.

“Kalau gitu aku pamit dulu ya. Kamu istirahat aja, dan jangan terlalu panik.” ujarku pada akhirnya.

“Aku takut, Le. Kamu.. kamu…”

Aku menghela nafas halus, lalu aku membalas keragu-raguan ucapannya yang tidak ia lanjutkan: “Ok. Aku bisa menemanimu.”

“Makasih.” suaranya pelan, antara senang, takut, dan malu.

Aku pamit sebentar untuk mengambil cemilan dan susu kemasan ke kamarku. Kuambil juga bungkus kopi. Tak sampai lima menit aku kembali.

Kuberikan susu pada Tea, kuajari juga cara menyeduh air panas dan menyeduh kopi. Aku bersyukur karena isi apartemennya cukup lengkap, dan terdapat mesin untuk menyeduh espresso.

Kami duduk bersisian di atas sofa sambil berbagi cerita. Kukisahkan alasanku kenapa aku berada di negeri ini. Setelahnya Tea yang bercerita. Rupanya ia bersama rombongan yang berjumlah 20 adalah para pegawai dari sebuah perusahaan yang cukup besar di Jakarta. Mereka mendapat reward dari perusahaan untuk tour ke Perancis, Swiss, Budapest, dan berakhir di Italia.

Bu Sukma yang senasib dengan Tea adalah pimpinannya, sedangkan Bu Yasinta berasal dari divisi yang berbeda. Entah Tea sadar atau tidak, aku mendengarkan semua ceritanya sambil mengamati dan mengagumi kecantikan paras gadis ini. Untuk pertama kalinya setelah aku putus dengan pacarku karena tak tahan LDR, aku jatuh hati kembali. Tea telah mewakili kaum perempuan idaman yang berhasil mengusik sanubariku dan menumbuhkan rasa hangat di dalam hati.

Dan aku harus kecewa. Tea rupanya sudah punya pacar yang juga ikut serta dalam rombongan. Sebenarnya, pria beruntung bernama Bagas itu ingin extend untuk menemani Tea, tapi pihak berwenang tidak mengijinkan. Tea malah kembali terisak ketika menceritakan saat-saat terakhir perpisahannya dengan Bagas. Sedangkan dadaku tiba-tiba terasa sesak, merasa cemburu yang tidak seharusnya.

Kami terus ngobrol. Tea lebih banyak menyampaikan kesedihan dan ketakutannya, sedangkan aku sekali-kali menghibur sambil menjawab beberapa pertanyaan berkaitan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di kota ini.

Kuceritakan juga destinasi-destinasi indah di kota ini. Tentu saja saat ini sudah tidak bisa dikunjungi. Warga sudah diwajibkan tinggal di rumah. Yang berkeliaran tanpa tujuan dan keluar rumah tanpa “dokumen ijin keluar rumah” akan mendapat denda yang sangat besar; bahkan bisa dipenjarakan.

Aku terus bercerita, dan Tea hanya sekali-kali menanggapi dengan gumaman. Sunyi tak ada jawaban. Aku menengok. Rupanya ia tertidur di sampingku. Kuambil kotak susu yang masih ia genggam dan hampir terjatuh. Kuletakan di atas meja.

“Tea.” aku membangunkannya.

Namun sepertinya ia terlalu lelah. Fisik dan mentalnya terkuras. Kuberanikan menyentuh bahunya sambil kembali memanggil. Nihil. Kugoyang lebih keras, tak ada reaksi.

Terdorong rasa iba, kuraih tubuhnya. Kupangku dan kubaringkan di atas kasur. Kuraih ujung selimut untuk menutupi tubuhnya. Namun aku terhenti. Paras Tea begitu menyirepku. Ia begitu manis dan cantik. Para mantanku juga cantik. Namun Tea berbeda. Ia memiliki aura yang sulit kugambarkan. Apalagi pulas tidurnya membuat aura cantiknya semakin tergambar alami. Nampak kernyit lelah dan resah, namun sisanya adalah kemurnian tulusnya hati.

Nafas halusnya menggerakan busungan pada dadanya, kubayangkan ranumnya meski nampak berukuran sedang. Paha dan betisnya nampak bercahaya putih tersorot neon. Tea hanya mengenakan celana pendek sehingga memamerkan keindahan tubuh bawahnya. Tanpa sadar aku pun menelan liur. Rasaku semakin berdesir.

Aku mengerjap beberapa kali. Mencoba sadar diri. Dengan cepat kututupkan selimut, dan beranjak mengganti lampu ruangan dengan lampu tidur. Kuambil sebuah kertas dan kutinggalkan nomorku yang bisa ia hubungi besok pagi.

Aku kembali ke kamar dengan bayangan wajah Tea yang auto tersimpan di dalam benak. Sepertinya aku telah jatuh cinta pada jumpa pertama; dan aku terluka karena gadis itu telah memiliki pujaan hati.


*

*

*


Aku bangun agak siang. Sudah hampir jam delapan. Langsung kulihat smartphone, nampak ada banyak panggilan tak terjawab. Dari adikku, teman-teman kuliah, dan juga Elena. Mereka pasti ingin menayai kabar. Tapi sejenak aku mengabaikan mereka, langsung kubalas sebuah pesan dari nomor baru. Nomor Tea. Aku bergegas bangun untuk sikat gigi dan cuci muka. Kuambil pakaian ganti dari dalam lemari. Kusuwir jambul ‘si jalu’ sebelum kututupi dengan celana dalam. Kupakai celana jeans dan kaos oblong. Aku pun bergegas ke apartemen sebelah.

“Pagi Alle, ayo masuk.” sambut Tea, wajahnya nampak segar seusai mandi dan memulas makeup tipis.
“Pagi, Tea.”

Di dalam rupanya sudah ada dua wanita cantik yang sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi dan biskuit. Wajah keduanya nampak muram, dan sorot mata mereka tanpa semangat.

“Pagi, Bu. Saya, Alle.”
“Yasinta.”
“Alle.”
“Sukma.”

Keduanya menyambut uluran tanganku. Ada senyum terulas pada wanita bernama Yasinta dan Sukma itu. Sepertinya mereka sedikit terhibur karena masih bisa bertemu saudara sebangsa di ‘pengasingan’.

Tea menyodorkan cangkir kopi seduhannya, lalu kami duduk melingkar. Tea dan Bu Sukma duduk di atas kasur.

“Le, kamu bisa carikan saya hotel gak? Apartemen di sini tidak enak, dan kecil. Kalau di hotel kan segala kebutuhan bisa dipenuhi pihak hotel. Tidak apa-apa saya keluar uang banyak.” ujar Bu Yasinta. Dibandingkan Bu Rahma ia nampak angkuh dan arogan.

Kutatap Tea sebelum menjawab, ia mengangkat bahu dengan ekspresi putus asa. Kutatap Bu Rahma, ia pura-pura melihat keluar jendela.

“Maaf, Bu, sejak kemarin sudah tidak ada hotel yang buka. Kalaupun ada hanya dipakai sebagai tempat karantina karena rumah sakit sudah tidak bisa menampung.” jawabku dengan sopan.

“Di kota sebesar ini masa tidak ada hotel yang buka sih. Mereka sudah tidak butuh uang apa?” suara Bu Yasinta sedikit meninggi.

Fix. Aku langsung merasa antipati atas sikapnya. Paras cantiknya tidak lagi menarik.

“Maaf, Bu, kenyataannya memang seperti itu. Dan kalaupun ada, belum tentu pihak kepolisian mengijinkan karena kalian sedang berada dalam status ODP.” aku mencoba menjelaskan.

Di luar dugaan, Bu Yasinta langsung marah-marah dengan kata-kata yang sangat arogan. Ia menempatkan uang di atas segalanya.

“Bu Yasinta, jangan begitu. Ibu yang sabar yah, toh kita semua mengalami situasi yang sama. Kita berdoa saja agar hasil lab kita negatif.” Bu Rahma mencoba menenangkan.

Tea hanya diam sambil menatapku tidak enak hati.

“Tolonglah, Le, berapapun saya bayar deh. Kamu minta berapapun saya kasih.” Bu Yasinta masih keukeuh.

Aku sempat menyambut pagi dengan semangat karena akan bertemu Tea, tapi kini langsung sirna dan berubah suram. Ucapan Bu Yasinta sangat menyinggung perasaan dan harga diriku. Tanpa sadar tanganku menggenggam cangkir lebih keras.

“Maaf, ya Bu. Saya tidak bisa membantu. Ibu hubungi saja orang kedutaan siapa tahu ada yang bisa membantu ibu.” aku tetap berusaha sabar.

“Loh.. kamu kok begitu sih? Saya minta tolong kamu, tapi malah nyuruh cari orang lain!! Kamu kan sudah lama di sini. Lagian kita kan sama-sama dari Indo, di mana empatimu?!” Emosi Bu Yasinta meluap dan wajahnya merah padam.

“Bu..!” Bu Sukma dan Tea bersamaan.

“Bu!!” aku sudah tidak bisa menahan diri. “Kalau saya tidak mau menolong ibu, saya tidak akan ada di sini!! Kalau saya tidak punya empati, saya juga tidak akan menemui ibu. Kalau misalnya salah satu dari kalian atau bahkan ketiganya dinyatakan positif, saya juga bisa tertular karena menemui kalian tanpa masker seperti ini!”

“Kamu!!” jari lentik Bu Yasinta menunjuk ke arahku.

Melihat gelagat yang tidak baik, Bu Sukma langsung pindah duduk untuk menenangkan Bu Yasinta. Sedangkan Tea hanya duduk kaku sambil menatapku.

Kalau bukan karena menghormati Bu Sukma dan Tea, pasti aku akan melanjutkan mengungkapkan kemarahanku. Tapi aku lebih memilih diam demi mereka.

Ketegangan sedikit reda ketika smartphone Tea berbunyi. Ia mengangkat dan terlibat percakapan dalam bahasa Inggris. Rupanya dari petugas yang menanyakan kabar dan keadaan. Sementara Bu Yasinta dan Bu Sukma masih saling berdebat. Satu menenangkan, satu masih berusaha mempertahankan pendapat dan memaksakan keinginan.

Kudengar Tea juga menanyakan kemungkinan apakah salah satu dari mereka bisa pindah tinggal di hotel. Raut muka Tea sudah menjadi jawaban, bahwa pihak berwenang tidak mengijinkan. Aku menyeringai ke arah Bu Yasinta, dan ia melengos.

Kuputuskan untuk berdiri dan merokok di balkon kecil. Tatapanku luas keluar. Sepi dan lengang. Hanya sesekali mobil polisi yang terlihat berpatroli.

Kudengar Tea sudah mengakhiri sambungan telpon dan terlibat diskusi dengan Bu Sukma dan Bu Yasinta. Aku tetap bertahan untuk menenangkan diri, rokok kedua kusulut tanpa bisa kunikmati.

“Le, maaf yah. Kita bikin sarapan yuk, kami masih punya bekal sisa mie instant.” Tea datang memanggilku.

Kumatikan rokok dan mencoba tersenyum. “Orang kaya tapi bekelnya tetep aja mie instant.” gumamku setengah meledek. Tea melotot meski tetap tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

“Maafin Tante Yasinta yah. Dia memang begitu.” ujarnya setengah berbisik lalu mendahului kembali ke dalam.

Adalah Bu Sukma yang bisa mencairkan suasana. Ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ia memintaku mengajari beberapa hal berkaitan perlengkapan dapur. Cerita-cerita kecil ‘perkenalan’ saling kami bagikan. Tea membantu kami menyiapkan mangkok-mangkok plastik. Sedangkan Bu Yasinta tetap malas gerak dengan wajah datar.

“Kata polisi, sehari sekali akan ada petugas yang kontrol, tapi tidak ke semua apartemen, hanya pada orang-orang yang mengaku mengalami demam saja.” jelas Tea.

“Jadi kalian gak dikontrol?” tanyaku.
“Ya nggak kalau tidak ada keluhan mah. Tapi tetap saja tidak boleh ketahuan kalau kita berkumpul seperti ini.” jelasnya.
“Hmm… Yah susah sih kalau orang Indo harus menyendiri, secara sukanya kan ngumpul, kecuali.. Ooops…” aku tidak meneruskan kata-kataku.

Bu Sukma tersenyum kecil, Tea melotot ke arahku. Orang yang kumaksud pura-pura tidak mendengar sambil memainkan smartphone-nya.

Tak lama kemudian, mie instant pun telah tersaji dan kami makan bersama. Aku menikmati setiap sendokan, sudah lama rasanya aku tidak makan mie instant buatan negeri sendiri yang dicampur sambel XYZ yang pedas. Si judes Bu Yasinta juga terlihat makan dengan lahap.

Usai makan, ketiga kenalan baruku saling sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka berbagi kabar dengan keluarga masing-masing di Indo. Tea malah menelpon kekasihnya dan kembali berlinang air mata. Aku? Cemburu itu datang lagi.

Menjelang tengah hari Bu Rahma dan Bu Yasinta akhirnya pamit ke apartemen mereka yang hanya berselang satu lantai dengan aku dan Tea. Tentu saja setelah kubekali beberapa informasi tentang peraturan pemerintah berkaitan lockdown di kota ini, serta konsekuensinya jika melanggar.

“Aku boleh lihat apartemenmu gak, Le?” tanya Tea sepeninggalan mereka.
“Hmmm.. aku keberatan sih takutnya kamu memang positif dan aku bisa tertular.” kekehku.
“Alle!! Kamu kok jahat banget sih?!” gadis itu melotot dan aku semakin terkekeh.

Aku memberi kode dengan tangan supaya ia mengikutiku. Tea membuntuti menuju apartemenku; tentu saja setelah mengunci pintu sebelumnya.

“Selamat datang di istanaku.” ujarku setelah membuka pintu.

Tea masuk dan langsung mengamati seisi ruangan.

“Dasar ruangan cowok.” gerutunya.
“Kenapa emangnya?”
“Tuh lihat aja.” ia menunjuk ke berbagai sudut yang memang berantakan.

Aku hanya bisa terkekeh. Bukan hanya Tea, mantanku dulu juga suka begitu, ngomel ketika melihat kamarku yang tidak pernah rapi.

Sementara Tea melihat-lihat apartemenku, aku menyalakan laptop untuk mengunduh sebuah dokumen. Lalu kuprint dua lembar.

“Ngeprint apaan, Le?” Tea kepo.

“Nih, kamu isi.” ujarku sambil menyodorkan satu lembar.
“Iiih.. mana aku ngerti bahasa Italia gini? Lagian untuk apa sih?” Tea semakin penasaran.

“Ini adalah dokumen yang harus kita bawa kalau keluar rumah. Jadi kalau diperiksa polisi tinggal menunjukan ini. Biasanya akan diperiksa kalau keluar zona, atau kalau kita kedapatan tidak memakai masker.” jawabku.

Kuisi formulirku dan kutandatangani, setelahnya kuberikan kepada Tea agar ia bisa menyontek.

“So, aku sudah menulis, kamu bisa keluar apartemen sebatas ke supermarket, dan olahraga di taman. Tapi harus tetap jaga jarak dan pake masker.” jelasku.

“Makasih.” Tea nampak senang. “Eh, kamu sengaja yah gak mau ngasih tahu Tante Sukma dan Tante Yasinta.” selidiknya.

“Hehe.. males aku, apalagi setelah tahu Bu Yaasinta seperti itu. Nanti malah bikin masalah baru.” jawabku.

Aku dan Tea pun tertawa. Membicarakan Bu Yasinta malah menciptakan suasana kocak sendiri. Ia banyak bercerita bagaimana resenya wanita itu sejak hari pertama keberangkatan dari Jakarta. Aku dan Tea pun semakin akrab seolah sudah saling mengenal sejak lama.

“Ngomong-ngomong kalau kami beneran positif gimana yah? Kamu gak takut, Le?” tanya Tea.
“Kamu gak merasa demam, kan?”
“Nggak sih.”
“Kalau gak demam dan gak batuk yang disertai sesak dan nyeri pada tenggorakan sih masih bisa dibilang aman. Mungkin postif tapi daya tahan tubuhmu bisa menangkal. Aku.. sejauh fit sih aman juga.”
“Tapi kalau sudah terinfeksi, walaupun merasa sehat, tapi tetap bisa nularin ke orang lain, kan?”
“Itulah sebabnya pemerintah menerapkan lockdown. Itu untuk memutuskan rantai penularan. Memakai masker dan menjaga jarak adalah keharusan.” aku menjelaskan.

Tea mengangguk mengerti. Aku yakin ia bukan gadis sembarangan. Ia sudah banyak tahu melalui internet, sekalipun tidak mendapat penjelasan dariku.

Ngobrol dengan Tea membuatku semakin mengaguminya. Aku menyimpulkan bahwa ia adalah seorang gadis yang cerdas, cantik, dan energik. Posisi Tea di perusahaan tempatnya bekerja juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia menjabat sebagai wakil manager SDM. Sedangkan kekasihnya menjadi Kepala Cabang di Bekasi.

Waktu pun berlalu. Aku meminta Tea untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. Bukan apa-apa, sekedar berjaga-jaga agar kondisi tubuh tetap fit.

“Yaudah aku balik dulu ya. Makasih untuk ini.” Tea mengibas-ibaskan formulir yang tadi telah ia isi.
“Sama-sama.”

Kutatap punggung Tea. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin gadis itu pergi.

“Alle.” tiba-tiba pintu urung tertutup dari luar, Tea kembali melongok.
“Iya, Tea?”
“Makasih juga yang semalam.”
“Eh..”

Belum juga aku menjawab, Tea langsung menutup pintu dan menghilang. Aku tersenyum. Bahagia ini menghampiri, tanganku terkepal seolah merayakan kemenangan.

Tok tok.

Lima menit kemudian pintu diketuk.

“Ngapain lagi ni anak? Jangan-jangan ia merasakan hal yang sama denganku, selalu ingin berdekatan.” aku membatin senang, tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

Aku membuka pintu penuh semangat dan….

“Bu Yasinta?” senyumku redup. Bahagia berganti kecewa.
“Boleh saya masuk?” sambil celingukan.
“Iiya.. silakan, Bu.”

“Mumpung si Sukma tidur, jadi saya ke sini.” ujarnya sambil melewatiku mendahului masuk.

Tanpa permisi lagi ia duduk dan sedikit celingukan mengamati ruangan apartemenku. Untung beberapa pakaian kotor sudah kubereskan saat ada Tea tadi.

“Ada apa, ya Bu?” aku duduk di depannya.

“Saya lihat tadi kamu merokok. Saya minta donk.”

Jedeeeerrr!!!

Bukan karena rokoknya yang membuatku kaget. Aku tidak pernah keberatan seorang perempuan merokok. Tapi kenekatannya menurunkan harga diri demi sebatang rokok itu yang mengejutkan. Pikiran kotor langsung menghampiri, jangan-jangan dia juga tidak akan sungkan ketika menginginkan ‘rokok’ yang lain. Tapi segera kutepis pikiran itu.

Kukeluarkan rokok yang masih kukantongi dan kusodorkan. Kuberusaha gentle dengan menyalakan korek, meskipun aku sempat dibuatnya kesal. Bu Yasinta langsung menghisap dan menghembuskan asap dengan kencang.

Cara merokok wanita ini tidak ada seninya. Tapi kuyakin kalau Bu Yasinta memang seorang perokok. Ia menghisap dan menghembuskan secara kasar seperti itu hanya sekedar untuk membuang kegelisahan yang merungrungnya.

“Nanti saya belikan untuk ibu bawa ke kamar.” ujarku. Kusulut rokokku sendiri untuk menemaninya menikmati nikotin.

“Tidak ada yang tahu bahwa saya merokok.” singkatnya.

Dengan itu, ia mau mengatakan bahwa ia menolak tawaranku. Aku menyeringai kecut. Rokok bisa menjadi alasan ia sering datang ke apartemenku secara diam-diam. Aku masih antipati karena arogansinya.

Sampai batang pertama habis, tidak ada percakapan yang kami lakukan. Ia mencatut batang kedua. Aku kembali tersenyum kecut, jatahku semakin berkurang sementara isi tabungan semakin menipis.

Bu Yasinta nampak lebih santai dan menikmati rokok keduanya, wajah juteknya perlahan luntur. Ia malah mulai bertanya-tanya tentang asalku, jurusan kuliahku, dan sebagainya. Awalnya aku menjawab seperlunya, tapi karena sikapnya yang mulai bersahabat, akhirnya aku meladeni sambil sekali-kali menyampaikan petanyaan balik.

“Ibu mau kopi?” tawarku.
“Wine ada?”

Wow!! Kelas wanita ini memang tinggi.

“Di sini wine hanya untuk teman makan. Tapi kalau ibu mau saya masih punya Red Martini.”
“Itu lebih baik.”

Kuambil botol Martini dari dalam lemari, juga dua sloki. Kutuang dan kami minum bersama. Rupanya alkohol dan nikotin bisa menjadi sarana mengangkrabkan diri. Sikap arogannya hilang. Di mataku, aku malah melihatnya sebagai seorang wanita rapuh. Nampak tegar dan tegas di luar, keropos di dalam.

Dari caranya minum, jelas ia sudah sangat terbiasa. Dan aku berani bertaruh, satu botol Martini ini tidak akan membuatnya mabuk. Kedua pipinya yang memerah bukan alasan bahwa ia mabuk. Aku pegawai bar, dan aku sudah terbiasa berhadapan dengan banyak orang ketika minum.

“Sebenarnya kenapa ibu sampai terdeteksi panas tinggi, padahal aku lihat kalian bertiga baik-baik saja.” tanyaku.

“Kayaknya gara-gara saya begadang dan minum sampai pagi. Begini deh jadinya..” jawabnya, disusul sumpah serapah.

Aku terkekeh mendengarnya, sikap alim Bu Yasinta berubah binal. Ia tampil apa adanya dan tidak lagi jaim sebagai seorang wanita karier yang sangat disegani karena posisinya.

Cerita pun semakin mengalir. Bu Yasinta sudah tak segan lagi bercerita tentang serpihan hidup kesehariannya. Sekali lagi ia tidak mabuk, alkohol telah membuatnya lebih santai dan nyaman untuk mengeluarkan beban hidupnya.

Awalnya ia bukan perokok, apalagi peminum. Semuanya dimulai ketika keluarganya mulai tidak harmonis. Suaminya mulai ketahuan main serong, anaknya yang beranjak dewasa mulai punya gaya hidup sendiri dan -menurutnya- susah diatur. Rumah sudah tidak lagi menjadi oase tempat melepas lelah dari tekanan pekerjaan. Sebaliknya rumah malah membuat hidupnya merasa semakin tertekan. Akhirnya ia melarikan diri dengan merokok dan mencicipi berbagai minuman.

“Tapi, hanya pada rokok dan alkohol, kan Bu?” aku mencari peluang dengan memancingnya.
“Maksudmu?” ia meniup asap di depan wajahnya lalu menatapku tajam.
“Hehe…”
“Sorry yah.. gini-gini juga saya ogah nyari gigolo, mendingan beli dildo.”

Anjaaay!!! Aku tertawa mendengarnya, pun pula Bu Yasinta. Aku yang sempat kesal pada wanita ini, berubah menjadi simpati. Ia sebetulnya wanita yang baik, dan asik dijadikan partner ngobrol. Hanya jabatan dan nama baik yang membuatnya kadang bersikap arogan.

“Saya sih gak munafik yah, Le. Kebutuhan batang yang asli tetap ada, tetapi gimana lagi, saya masih punya suami walau sudah tidak mau menafkahi.” celetuknya.

“Saya paham, Bu.” aku mencoba memahami.

“Tapi kalau dipikir-pikir, kamu sepertinya pemuda yang bisa dipercaya Le. Kamu bisa bantu saya, gak?”

Pandanganku berbinar. Sudah dua tahun aku tidak nyuwir, dan sekarang sepertinya ada peluang.





Bersambung….
 
Terakhir diubah:
DUA



BU YASINTA


Konon, karakter asli seseorang akan kelihatan di saat situasi sulit, dalam tapal batas ketidakberdayaan. Dan sekarang aku percaya itu. Hanya dalam waktu tiga hari berkenalan dengan Tea, Bu Sukma, dan Bu Yasinta, aku sudah bisa mengenali dan memahami karakter mereka. Mudah? Tidak!!! Keberadaan mereka seringkali membuat situasi hidupku yang sulit malah semakin sulit. Aku seperti harus mengasuh tiga orang dewasa yang memiliki keunikan masing-masing.

Tea adalah gadis cantik dan pintar, namun perasaannya gampang rapuh. Tinggal diam tanpa banyak beraktifitas membuatnya cepat bosan dan bad mood. Juga banyak galau dan nangis sendiri ketika merindukan keluarga dan kekasihnya. Komunikasi memang lancar. Ia bisa menelpon atau video call, tetapi hanya dalam hitungan jam sikap riangnya bisa kembali berubah murung. Mendengar dan melihat tidaklah cukup baginya, kerinduannya adalah perjumpaan. Ia ingin segera berjumpa dan berada di tengah keluarga; juga ingin berjumpa dan dekat dengan Bagas sang kekasih.

Bu Yasinta adalah yang paling unik. Sikap sombong dan selalu merasa diri paling benar tidak pernah bisa hilang. Emosinya cepat meluap ketika pendapatnya disanggah atau keinginannya tidak bisa dikabulkan. Karakter boss bertipikal otoriter sangat melekat dalam dirinya. Di sisi lain yang kontras dengan itu, jiwa melindunginya cukup kuat. Ia sangat melindungi dan memperhatikan kebutuhan Bu Sukma dan Tea dengan caranya. Benar kata orang: “Hal paling menjengkelkan adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang baik untuk kita, tetapi caranya salah.” Itulah dia! Perhatian dan sikap pedulinya seringkali malah membuat kami bertiga tersulut emosi.

Bu Rahma? Dia adalah yang paling kalem dan keibuan. Sikap dan tutur katanya lembut. Boleh dibilang cukup sabar dan terlihat paling tegar. Tapi di balik semuanya itu, ia adalah yang paling suka menyendiri. Dia adalah family mom. Yang ada dalam pikirannya hanya suami dan anak-anak. Ia lebih memikirkan keluarga daripada keadaannya sendiri.

Dan tiba-tiba saja.. dalam tiga hari ini aku harus bergaul dengan tiga wanita betipe seperti itu. Kadang terasa merepotkan. Satu-satunya hiburanku adalah bahwa mereka tidak demam atau menunjukan gejala sakit lainnya. Itu sudah cukup bagiku.

Memasuki hari keempat aku bangun siang. Kemarin malam aku dan Tea sudah belanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Jadi aku tidak harus menemui mereka pagi ini. Jam sepuluh aku baru selesai mandi. Kubuka laptop sambil menikmati secangkir kopi. Kubuka beberapa berita di internet, kubrowsing juga beberapa artikel yang bisa kujadikan referensi tugas akhir.

Tak lama berselang smartphone-ku bergetar. Sigap aku mengangkatnya karena pihak Dinas Kesehatan menelpon.

“Pronto.”
“Buongiorno, Signor Alle.”
terdengar suara seorang wanita.
“Buongiorno, Signora….”
“Chiara.”
“Buongiorno, Signora Chiara.”


Setelah saling bersalam sapa, wanita bernama Chiara itu mengutarakan maksudnya menghubungiku.

“Kami sudah mendapatkan hasil lab atas nama Signora Sukma, Signora Yasinta, dan Signorina Tea. Kami pikir kamu boleh tahu agar kamu bisa membantu mereka, tapi ini rahasia. Apakah kamu bisa merahasiakannya?”

“Ya, saya akan merahasiakannya. Katakalah.” jawabku.

Kuseruput sisa kopiku. Biar bagaimana pun aku cukup tegang menanti berita yang akan Bu Chiara sampaikan, dan berharap bahwa hasilnya baik-baik saja.

Setelah mendengar kesanggupanku, Bu Chiara pun berkata, “Bagus kalau begitu. Mereka belum tahu, dan kami akan menelpon mereka setelah ini. Untuk hasilnya….”

“Signora Yasinta negatif.”

Aku menghela nafas lega mendengarnya.

“Signora Sukma juga negatif.”

Aku semakin lega.

“Bagaimana dengan Tea?” aku tidak sabar.
“Bagaimana kondisi dia sekarang?” ia malah balik bertanya.
“Kondisinya baik. Selama ini aku tidak melihat gejala sakit pada gadis itu.” jelasku.

Kudengar Bu Chiara menghela nafas, ujarnya, “Sehat belum tentu tidak terinfeksi, Signor Alle. Hasil labnya menunjukan positif.”

Degh!!

Dudukku langsung kaku mendengar penuturan Bu Chiara. Wajah Tea langsung terbayang, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana shock-nya gadis itu ketika mendengar hasil labnya. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar, kutanyakan sekali lagi. Dan jawabannya tetaplah sama.

“Apakah dia perlu dirawat di rumah sakit?” tanyaku lemah.
“Kalau kondisi sekarang dia baik, dia tidak perlu dirawat, tapi harus isolasi lokal.”

Bu Chiara pun menjelaskan langkah-langkah yang harus Tea lakukan, dan juga tindakan-tindakan preventif yang harus kubuat selama membantu dia. Ia juga menjelaskan bahwa yang terpenting aku harus membantu menjaga kondisi mental Tea supaya daya tahan tubuhnya tetap terjaga. Semakin stress seseorang, maka daya tahan tubuhnya akan melemah, dan itu akan semakin memudahkan virus untuk menyerang.

Aku dan Bu Chiara berbicara panjang lebar, dan baru setengah jam kemudian kami mengakhiri percakapan.

Kuputuskan untuk keluar kamar dan menemui Bu Sukma dan Bu Yasinta terlebih dahulu. Sambil menyusuri lorong pandanganku menyapu seluruh gedung. Sunyi dan sepi. Padahal hampir semua apartemen sudah terisi. Sebagian besar adalah warga asing yang diwajibkan menjalani karantina. Aku begidik. Keadaan menjadi mencekam sekalipun di siang bolong.

Bu Sukma membukakan pintu dan langsung mempersilakanku masuk sambil memberi kode dengan jari supaya tidak berisik. Aku paham, kulihat Bu Yasinta sedang menelpon. Aku langsung menduga ia sedang dihubungi petugas karena isi percakapannya, juga bahasanya yang menggunakan bahasa Inggris.

Aku dan Bu Sukma duduk di hadapan Bu Yasinta. Cukup lama kami menunggu, dan berakhir ketika Bu Yasinta menutup telpon sambil berteriak girang. Ia langsung mengabarkan hasil bahwa ia dan Bu Sukma dinyatakan negatif. Dua wanita itu saling berpelukan penuh bahagia.

Rasa syukur pun mereka ungkapkan. Bu Sukma malah berkaca-kaca karena saking senangnya. Aku? Senang ini ada, tetapi tetap saja aku bersedih karena Tea tidak mengalami nasib baik seperti mereka.

“Kita pulaaang.” pekik Bu Yasinta.

Mendengarnya aku hanya tersenyum kecut. Bu Sukma adalah yang pertama melihat kekakuanku.

“Kenapa, Le?”

Bu Yasinta ikutan menatapku dengan heran.

“Alle?!” Bu Sukma berubah khawatir.

“Selamat, ya Bu. Ibu berdua dinyatakan negatif, tapi…” aku menelan liur.

“Kenapa Tea?” Bu Yasinta langsung menduga.
“Alle?!” Bu Sukma berubah panik.

“Tea.. Tea.. ia dinyatakan positif.”

“Apaa?!!!”

Bersama ibu-ibu apapun bisa menjadi drama. Setelah saling berpelukan dan menangis bahagia, kini berganti pekik histeris penuh ketakutan. Titik air mata bahagia Bu Sukma berubah tangis sedih; Bu Yasinta mengerang kecil sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.

Tik tok tik tok.

Dua wanita yang tadi berbahagia, kini saling menangis menutup muka. Aku hanya mematung tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Memeluk mereka takut ditabok.

“Kita temui Tea.” Bu Yasinta berdiri sambil mengusapi wajahnya dengan kasar.
“Sebentar, kita bicara dulu.” aku mencegah.

Biar bagaimana pun secara prosedural kami harus menjaga jarak dengan Tea. Aku masih memikirkan etika Indonesia, tapi itu membuat dilema. Menemaninya tanpa masker pelindung akan membahayakan diri kami sendiri, tetapi jika memakai masker dan menjaga jarak bisa membuat Tea tersinggung dan semakin terpuruk.

Bu Yasinta menuruti usulku dan kembali duduk, tapi ia langsung marah-marah tidak jelas. Semua pihak disalahkan, termasuk pihak berwenang yang tak satu pun yang datang. Memberi kabar pun hanya melalui telpon. Sikap berapi-api Bu Yasinta malah membuat Bu Sukma menangis kembali. Ia nampak begitu stress dan frustasi. Hasil labnya yang negatif tidak lagi menjadi kabar yang menyenangkan.

“Bu Yasinta tenang dulu, kita bicarakan dengan kepala dingin. Lagi pula, sistem di sini sudah tertata secara baik. Mereka tahu kapan harus datang, dan kapan hanya menghubungi melalui telpon. Kalau semua kasus harus dibawa ke rumah sakit, maka semuanya akan semakin chaos, rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien lagi. Mereka memiliki prioritas.” aku berusaha menenangkan.

Kalau Bu Yasinta masih menggerutu, Bu Sukma mulai memanggil nama suami dan kedua anaknya di tengah tangis. Keduanya tidak membantuku mencari jalan keluar. Sampai akhirnya…

“Bu Yasinta, Bu Sukma… Sampel lab kalian diambil empat hari yang lalu, dan hasilnya baru keluar hari ini. Apa yang kita lakukan selama menunggu hasil lab? Kita sering berkumpul tanpa menjaga jarak, petugas tidak tahu tentang ini. Artinya, bisa saja kalau diperiksa ulang, kita semua sudah positif.”

Ucapanku sukses membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma diam. Keduanya duduk lesu menatapku.

“Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menemani Tea agar dia tegar dan tetap semangat.” ujarku lagi.

Bu Yasinta yang sudah agak tenang berujar, “Menurut penjelasan petugas tadi, secara teoritis saya dan Bu Sukma bisa pulang ke Indonesia sambil membawa surat keterangan. Tapi apakah kita tega meninggalkan Tea?”

“Jadi kita akan tetap tinggal di sini sampai Tea dinyatakan negatif?” Bu Sukma berbicara pelan seolah sedang berkata pada diri sendiri.

“Sebelum kita bertemu Tea, sebaiknya kita menyamakan persepsi dulu. Jangan sampai kita malah berdebat di depan dia.” aku menyampaikan usulan.

Drama kembali terjadi. Kedua wanita di hadapanku saling berdebat. Bu Sukma langsung setuju untuk menunda kepulangan, sedangkan malah Bu Yasinta yang plin plan, ia ingin pulang. Kupret!!!

Butuh waktu untuk menyamakan suara, meski pesertanya hanya berdua. Setengah jam kemudian baru ada kata sepakat, keduanya tidak akan pulang ke Indonesia jika tidak bersama Tea. Akhirnya aku bisa bernafas lega.

Setelah sepakat, kami bertiga menuju apartemen Tea. Meski agak berlawanan dengan suara hati, kami bertiga mengenakan masker.

Kami bertiga langsung menghambur masuk ketika mendengar suara tangisan di dalam. Beruntung pintunya tidak dikunci, mungkin Tea sempat keluar untuk mencariku.

Lari kami langsung terhenti ketika melihat Tea sedang duduk di atas lantai. Menangis tersedu sambil memeluk lutut.

“Tea.. Kamu tenang, ya sayang.” adalah Bu Sukma yang pertama bersuara. Tanggungjawabnya sebagai pimpinan gadis itu sekaligus rasa keibuannya membuat ia nampak lebih tenang.

“Kalian jangan mendekat! Hiiiks…” tiba-tiba Tea mengangkat muka, wajahnya bersimbah air mata. Tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah kami bertiga. Tampangnya sangat mengkhawatirkan, sinar hidupnya seolah sirna.

“Hei.. kamu jangan begitu. Ayo duduk.” Bu Sukma tidak menggubris, ia semakin mendekat dan menarik tangan Tea.

Gadis itu meronta dan beringsut mundur sampai ke pojokan. Sedih, marah, dan takut terbias dari raut wajah dan sorot matanya.

Kalau dalam keadaan normal mungkin Bu Sukma akan merangsek dan memaksa memeluk Tea, tapi tidak kali ini. Simpati dan empati bercampur dengan rasa takut. Kami akhirnya kebingungan sendiri dan hanya saling mematung sambil melihat Tea yang kembali menangis.

Kuputuskan menuju dapur dan membuat susu panas. Lalu kubawa dan kusodorkan pada Tea.

“Kamu minum dulu biar tenang.” ujarku.
“Jangan mendekat!” hardik Tea.

“Kamu jangan terlalu takut, Tea. Kami tidak menganggap kamu sebagai virus, tapi kamu adalah manusia, sesama kami, saudara kami.” Bu Sukma menyahut dari sampingku.

“Iya, Tea. Kalau kami tidak sayang kamu, kami tidak akan ada di sini.” Bu Yasinta menambahkan.

Tea menatap kami bertiga bergantian. Tangannya akhirnya terulur menerima gelas yang kusodorkan. Keadaannya sangatlah memprihatinkan, ingin rasanya aku mendekat untuk sekedar menggenggam tangannya dan memberi kekuatan. Tapi Tea malah semakin merapat ke tembok ketika salah satu dari kami mendekat.

Kami terdiam sambil menunggu Tea menghabiskan susunya. Setelah melihatnya lebih tenang, kuminta Tea berdiri dan duduk di atas kursi. Ia menurut, dan kami duduk berjauhan atas permintaan Tea sendiri.

“Tea, virus itu tidak akan menular melalui sentuhan.” ujarku. Kujelaskan kembali bagaimana cara kerja virus ini, sebuah informasi yang sebetulnya sudah saling kami tahu melalui penjelasan petugas yang menelpon, juga melalui berbagai informasi di internet.

“Iya, Tea. Maafkan kami kalau kami memakai masker, tapi ini adalah cara terbaik untuk saling melindungi. Tapi bukan berarti kita harus saling menghindari.” Bu Sukma ikut menenangkan Tea.

Setelah saling bersahut-sahutan menguatkan, akhirnya Tea bisa lebih tenang. Ia sebetulnya hanya kecewa atas hasil pemeriksaan labnya, bukan karena takut pada virus itu sendiri. Atas inisiatifnya, ia pun mengenakan masker dan nampak lebih rileks saling berbicara dari hati ke hati.

Namun drama kembali terjadi ketika Bu Yasinta menyampaikan bahwa ia dan Bu Sukma akan tetap tinggal sampai Tea dinyatakan boleh pulang ke Indonesia. Mereka mengalami nasib dan situasi yang sama, dan harus pulang ke Indonesia secara bersama-sama. Sementara Tea justru sebaliknya, ia meminta Bu Yasinta dan Bu Sukma segera pulang sebelum situasi di tanah air sendiri semakin tidak terkendali. Saat ini semuanya tidak bisa diprediksi. Perdebatan panjang terjadi, dan berakhir tanpa kesepakatan. Semua bertahan dengan pendapat masing-masing.

“Aku masih sendiri. Tapi Bu Sukma dan Bu Yasinta punya keluarga.” Tea masih bersikukuh.

Diam-diam aku semakin mengagumi gadis ini. Di balik keterpurukannya, ia masih memikirkan kepentingan orang lain.

Ucapan Tea tentu saja membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma nampak bimbang kembali. Kebulatan hati mereka untuk tetap tinggal nampak goyah. Mulutku terbuka untuk menyampaikan pendapat, aku siap membantu Tea sampai ia dinyatakan negatif dan boleh pulang. Tapi Bu Sukma berujar lebih cepat, “Kalau saya sendiri belum bisa memutuskan sekarang, saya mau bicara dulu dengan keluarga saya dan perusahaan.”

“Alle, kamu bisa membantu menghubungi pihak KBRI dan meminta pendapat mereka?” kali ini ucapannya ditujukan padaku, dan kusanggupi dengan anggukan.

Sebetulnya kami masih ingin ngobrol dan tidak berniat meninggalkan Tea, tapi gadis itu meminta kami pergi. Ia butuh waktu untuk menyendiri, juga ingin berbagi kabar dengan keluarganya. Akhirnya kami pun bubar setelah menyakinkan bahwa Tea akan baik-baik saja. Bu Sukma menyanggupi untuk masak makan siang, dan akan mengantarnya ke kamar kami masing-masing.

“Tea..” aku yang keluar terakhir memanggil gadis itu.
“Iya, Le?”

“Ingat kamu bukan virus, kami sayang kamu.” ujarku.

Tea mengangguk sambil berusaha tersenyum. Dia tidak tahu saja bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin mengganti kata “kami” dengan “aku”.

Setibanya di kamar, aku menghubungi seorang pejabat KBRI. Kukabarkan situasi dan kondisi mereka bertiga, dan rupanya pihak kedutaan pun sudah memperoleh informasi. Hal ini semakin memudahkanku dalam memberikan penjelasan. Soal apakah Bu Sukma dan Bu Yasinta memutuskan pulang atau tidak, itu diserahkan kepada mereka berdua, yang pasti ada plus minusnya baik untuk pulang maupun untuk yang ditinggalkan. Intinya, pihak kedutaan sendiri yang akan menemui dan berbicara dengan mereka sehingga aku sangat lega mendengarnya.



*

*

*


Di depan kamar setiap apartemen ada balkon kecil yang disekat oleh tembok pembatas di bagian kiri dan kanannya. Sebetulnya balkon ini sangat sempit dan tidak berfungsi sebagai tempat nongkrong, melainkan hanya untuk mempermudah penghuni jika ingin membersihkan kaca bagian luar. Dua hari ini, aku sering berada di balkon untuk mengamati keadaan Tea. Aku tidak ingin ia menunjukan sikap tegar di depan orang lain, tapi terpuruk ketika sendiri. Lama-lama Tea tahu kalau aku sering “mengintip”, akhirnya ia sendiri sering berada di balkonnya dan ngobrol berdua dengan berbataskan tembok setinggi dada. Sudah dua hari ini Tea membentengi diri dan tidak mengijinkan kami berkunjung ke kamarnya.

Seperti senja ini, kami berdua ngobrol sambil menyantap spagheti masakanku. Menikmati birunya langit senja yang seolah datang menghibur manusia yang dirundung sepi dan takut. Aku senang, karena meskipun dinyatakan positif mengidap Covid19, Tea nampak baik-baik saja. Makan dan istirahat teratur membuatnya bertahan, ditambah olahraga setiap malam dengan melakukan yoga di kamarnya.

“Masakanmu enak juga, Le.” ujarnya sambil menghabiskan isi piring.
“Pasti donk.” sombongku.
“Nyesel muji!”
“Hehe…”

Tea masih melanjutkan makannya, kesempatan ini kupakai untuk menatapnya. Sungguh cantik. Keadaannya yang seperti sekarang malah tidak membuatku iba, melainkan semakin kagum. Masa karantina membuatnya nampak semakin dewasa, dan lebih santai menghadapi hidup. Itu kurasakan dari caranya berpendapat dan berbicara.

“Kamu tidak berencana pulang dulu ke Indo, Le?” tiba-tiba ia bertanya.
“Nggak, aku di sini aja sampai selesai kuliah. Itu pun gak tahu sampai kapan kami bisa masuk kampus lagi.”
“Loh kenapa? Walaupun sama-sama menghadapi wabah, bukannya akan lebih baik berada di negeri sendiri, berada di tengah keluarga?”

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Jangankan punya uang untuk membeli tiket pesawat, bisa bertahan hidup sampai sebulan ke depan pun aku tidak yakin.

“Aku di sini aja, Tea.” ujarku sambil menatap ke kejauhan.

“Oh.” singkatnya.

Dari sudut mataku terlihat Tea menatapku lekat, tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku malah merasa jengah, dan sebelum ia bertanya lagi, aku pura-pura mengembalikan piring sambil mengambil minum.

Tea masih berada di posisinya yang sama. Matanya jauh memandang pada kaki langit yang bersemburat merah. Rambutnya yang sedikit pirang berkibar diterpa angin senja, berkilau keemasan karena pantulan sinar surya yang tersisa. Wajah Tea yang aslinya sedikit pucat, kini nampak bercahaya. Memberi aura yang serasi dengan merah bibirnya.

Aku mematung, terus memandangnya. Mengagumi kecantikan yang ia miliki. Hatiku pun membatin, “Bahagia seorang Bagas bisa mendapatkan cintanya.”

“Kenapa ngeliatinnya kok gitu banget?” aku tergagap mendapat pertanyaannya.

Langsung kualihkan pandangan ke bawah, pura-pura menatap jalanan.

“Ngg.. hanya untuk memastikan kamu sehat dan baik-baik saja.” aku mencari alasan.
“Bener?” ia mendekat mepet ke tembok yang menjadi pembatas kami.
“Iya.” aku membalas tatapannya, tapi hanya sebentar.
“Kamu bisa lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja kok.” ujarnya.
“Iyah.. aku lihat kamu sehat, tapi hatinya sih kayaknya enggak.” aku memberanikan diri menggoda.
“Sok tahu! Huh!!”

“Hehe..”

“Iih malah ketawa dianya.”
“Iyah Onaaa.. aku percaya.” aku memang merasa salah tingkah karena terciduk mengaguminya, sekaligus merasa gemas karena sikapnya.

“Ona?”
“Yah.. kamu kan kena corona.”

Dugh.. dugh.. aku langsung tercekat. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku langsung kembali menatap gadis itu dengan perasaan bersalah.

“Tuh mulut.. congornya pedes banget sih?!” Tea seperti sewot, tapi tertawa setelahnya.

“Maaf.. aku keceplosan tadi.” aku masih tidak enak hati, meskipun kulihat Tea malah tertawa.
“Hehe.. nyantai.. emang bener kan aku positif corona. Congormu juga positif pedes ternyata.”
“Tuh mulut!! Haha…” mau tidak mau aku pun ikut tertawa.
“Bodo!”

Jadilah.. aku dan Tea saling tertawa. Menertawakan kekonyolan, menertawakan situasi yang tidak bisa kami atasi.

“Kamu udah punya pacar, Le?” tanyanya ketika tawa kami reda.
“Nope. Aku memilih jomblo.”
“Haha.. bilang aja gak laku.”
“Mulutmu tuh yang pedes.”
“Hehe.. emang bener, kan? Sok-sokan jomblo itu pilihan… kalau memang gak laku ya bilang aja gak laku. Hahaha…”

Tawa Tea begitu lepas, ia nampak begitu senang karena telah berhasil membalas ledekanku. Aku malah kembali tertegun, bukan lagi sebuah tawa yang dibuat-buat, melainkan natural dan begitu lepas. Ini menampilkan sisi lain pribadinya, namun apapun itu, nada dasarnya selalu sama: ia cantik.

“Aku sudah putus, Tea, pacarku gak tahan LDR.” jiah.. aku malah curhat. Tapi kata-kata ini meluncur begitu saja, seolah membuka ruang bagi Tea agar bisa mengenalku lebih jauh.

“Wow.. sorry… tapi bukannya zaman sekarang mah LDR itu bukan masalah ya. Kalian kan masih bisa komunikasi setiap saat.” ujarnya.
“Halah.. kayak gak ngalami aja. Ini baru pisah beberapa hari dengan Bagas aja udah uring-uringan, padahal kan telponan hampir setiap saat.” aku menyahut.
“Hehe.. iya sih.”

Tea akhirnya banyak bertanya tentang kisah cintaku, dan aku menjawab tanpa beban. Mengingat masa lalu bukanlah sesuatu yang menggangu lagi bagiku, aku malah merasa lebih lega ketika akhirnya putus dengan pacar terakhirku.

“Jadi, sebenarnya pacarmu yang gak tahan LDR donk, jadi dia yang minta putus.” Tea menyimpulkan ceritaku.
“Yep. Aku selalu memulai suatu hubungan, tapi tidak pernah mengakhirinya.”

“Maksudmu?” Tea menyangga kedua dagunya dengan tangan yang ia tumpangkan di atas tembok pembatas.

“Ya.. aku selalu menyatakan perasaanku lebih dahulu, jika diterima dan akhirnya pacaran, aku tidak pernah memutuskan pacarku, kecuali dia yang meminta sendiri.”

“Oke. Aku paham, kamu mungkin tidak mau menyakiti hati pacarmu. Tapi kalau kamu sendiri merasa tidak cocok masa mau tetap mempertahankan hubungan?” Tea tidak sependapat denganku.

“Kita mungkin mudah sakit, tapi jangan mudah menyakiti.” jawabku.
“Sok bijak lu!!” ledek Tea.

Aku hanya tertawa kecil sambil mengangkat kedua bahu. Dan akhirnya.. tanpa diminta Tea pun banyak bercerita tentang hubungannya dengan Bagas. Ia merasa bersyukur bahwa bisa mendapatkan seorang kekasih yang baik, dewasa, dan mapan. Namun ia juga sedih, karena intensitas komunikasi mereka semakin berkurang, Bagas selalu punya alasan bahwa ia sibuk mengurus pekerjaan yang kini sudah mulai dilakukan di rumah alias work from home (WFH).

“Mungkin sebenarnya komunikasi kalian tidak berkurang, kamu aja yang merasa begitu karena kamu hanya di kamar dan tidak banyak kegiatan.” hiburku.
“Hmmm.. iya juga sih. Mungkin!” balasnya.

Aku dan Tea mengakhiri obrolan ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, kami saling pamit dan masuk kamar masing-masing. Kuputuskan untuk langsung mandi.

Jam sepuluh malam bel kamarku berbunyi. Ternyata Bu Yasinta yang datang. Tanpa permisi untuk kedua kali, ia langsung nyelonong masuk dan meraih bungkus rokok di atas meja. Dibukanya maskernya, dan langsung menyulut sebatang rokok. Tampangnya nampak kusut pertanda sedang banyak pikiran.

Tanpa banyak kata aku menemaninya duduk berhadapan. Kusulut juga rokokku.

“Kamu umur berapa, Le?” tanyanya tiba-tiba.
“Dua puluh empat, hampir dua lima.”
“Hmm.. anak sulung ibu baru 17 tahun tapi sangat susah diatur.” gumamnya.

Tanpa diminta ia pun menceritakan kegelisahan hatinya. Rupanya ia sangat mengkhawatirkan anak tunggalnya yang -menurutnya- semakin sulit diatur. Namanya Supra. Hobinya keluar malam dan baru pulang dini hari, bahkan sering tidak pulang. Penerapan aturan supaya tetap tinggal di rumah pun ia abaikan.

Yang membuat Bu Yasinta semakin sedih, Supra seolah tidak peduli jika ibunya sedang tertahan di luar negeri. Suaminya sendiri ada di rumah, namun juga seolah tidak berdaya mengatur anak semata wayang mereka.

Aku hanya diam mendengarkan, sekali-kali bergumam untuk menunjukkan bahwa aku tetap menyimak. Setelah menyampaikan semua unek-uneknya, ia berjingkat membuka kulkas.

“Kok kosong, Le? Bukannya kemarin belanja?” tanyanya ketika melihat isi kulkasku hanya terdapat beberapa bungkus persediaan makanan dan apel.

“Kan belanja untuk keperluan kalian?” ujarku.
“Lah kamu sendiri?”
“Saya mah gampang, Bu, kan sudah tahu supermarket sekitar sini.” jawabku dengan sedikit berbohong.
“Ooh.. Minumannya juga gak ada ya?”
“Hehhe.. habis juga. Tapi kalau ibu mau, kita bisa keluar?”
“Memang boleh?”
“Ibu bawa saja surat keterangan dari dokter kemarin.”
“Nice. Saya ambil dulu ya.”

Tanpa banyak berpikir, ia pun langsung kembali ke apartemennya. Dengan enggan aku mengambil dompetku, juga surat ijin keluar. Kutunggu Bu Yasinta di depan kamar. Tak lama kemudian ia kembali, dan kami menuruni lift sambil tanpa lupa mengenakan masker. Karena supermarket hanya diijinkan buka sampai jam delapan malam, aku dan Bu Yasinta pun membeli beberapa kaleng beer pada mesin di depan sebuah toko. Untuk bisa membelinya tentu saja harus menggunakan kartu identitasku untuk mendeteksi umur.

Kami tidak langsung kembali ke apartemen, melainkan duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang duduk di sebuah bangku, juga sambil minum dan merokok.

“Kenapa baru sekarang kamu ngajak saya keluar?” tanyanya sambil menyeruput isi kaleng. Ia nampak merasa senang karena akhirnya bisa keluar dari kamarnya dan menghirup udara luar.

“Hehe.. kemarin-kemarin kan masih nunggu hasil lab.” aku beralasan.
“Ini kan sudah dua hari sejak hasil labnya ada.”
“Hehe..”
“Bilang aja kamu sebenarnya gak mau ngajak saya keluar.”
“Bukan begitu, Bu..”
“Begitu juga gakpapa kok. Hehe…”

Obrolan tidak jelas kami sudah cukup membuat Bu Yasinta sedikit terhibur. Ia sudah tidak semurung kami. Semakin malam, semakin nampak beberapa warga dari gedung apartemen sebelah yang pada keluar untuk sekedar membawa binatang peliharaan mereka jalan-jalan. Tentu dengan mengenakan masker dan saling menjaga jarak. Sekali-kali aku saling sapa dengan orang yang dikenal.

“Eh.. itu.. kenapa sih kalau orang sini tidak malu-malu ciuman di tempat umum?” ujarnya sambil setengah menunjuk pada pasangan paruh baya yang sedang ciuman di bangku tak jauh dari kami berdua.

“Ya kultur mereka memang begitu.” jawabku. Aku melanjutkan, “Kalau di sini orang berciuman karena mengungkapkan kasih sayang, bukan mesum.”

“Tapi kalau saya sih lihatnya aja malah nafsu.” ia mulai menunjukan sisi nyablaknya.

Aku setengah tertawa mendengarnya, pikiranku mulai ngeres membayangkan bagaimana seorang wanita secantik Bu Yasinta mendesah di atas kasur.

“Ngomong-ngomong pesanan saya belum ada ya?” tanyanya lagi.

“Susah nyarinya, Bu. Sekarang toko-toko yang boleh buka hanya toko yang menyediakan kebutuhan primer, yang lain pada tutup semua.” jelasku.

Bu Yasinta memang pernah meminta tolong waktu minum di kamarku untuk mencarikan dildo, secara di eropa lebih murah dan lebih mudah mendapatkannya. Tapi dalam situasi sekarang, yang mudah pun berubah susah.

“Seks juga kan kebutuhan primer.” ujarnya, ucapannya semakin ngelantur dan mengundang pikiran mesum.

“Halah.. primer itu kalau ama pasangan, kalau ama dildo mah cuma nafsu doank.” aku berusaha mengimbangi gaya percakapannya.

“Kunyuk memang si Raksy.” ia mendumel.

Kalau tadi di apartemenku keluhannya berisi tentang anaknya, kini beralih tentang suaminya. Lima tahun lalu ia mendapati suaminya melakukan affair dengan wanita lain, dan sejak itu ia tidak pernah mau berhubungan badan lagi. Mereka memang tidak bercerai dan tetap tinggal serumah, namun semuanya langsung berubah seperti orang asing satu sama lain. Ketika kutanya kenapa mereka tetap mau bertahan, alasannya adalah Supra dan juga orangtua mereka masing-masing. Bu Yasinta dan Pak Raksy menikah karena dijodohkan orangtua mereka, dan mereka tidak mau mengecewakan kedua belah pihak jika bercerai.

Dari cerita Bu Yasinta aku langsung bisa menyimpulkan kenapa Supra bersifat seperti masa bodoh seperti itu. Rumah bukanlah tempat yang nyaman baginya. Salah satu alasan tidak bercerai adalah anak, tetapi situasi “dingin” di rumah malah membuat sang anak semakin tertekan.

“Kenapa sih orang harus selingkuh?” ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Inginku mengatakan bahwa suaminya selingkuh mungkin karena sikap Bu Yasinta sendiri yang cenderung otoriter, tapi aku takut membuat wanita ini tersinggung dan moodnya jelek kembali. Jawab berbeda kuberikan.

“Mungkin karena ketagihan rasa nikmat. Dan nikmat itu tidak didapatkan dari pasangan. Ibu sendiri kenapa masih setia? Meski tidak bercerai, kan kalau mau, ibu juga bisa selingkuh.”

“Gak tahu. Menurut kamu, kenapa saya tidak selingkuh?” ia malah balik bertanya.
“Mungkin ibu setia karena ibu ketagihan rasa nyaman yang pernah didapatkan. Orang selingkuh karena ketagihan rasa nikmat, sedangkan yang memilih setia karena ketagihan rasa nyaman.” aku ngasal.

“Hahaha.. jadi intinya tetap aja karena sama-sama ketagihan ya, cuma objeknya yang berbeda.” Bu Yasinta tertawa tanpa menyangkal atau mengamini pendapatku.

Obrolan kami semakin tanpa arah, bukan hanya tentang keluarganya, tapi apapun bisa dikomentari. Aku semakin mengenal Bu Yasinta malam ini. Di balik semua kelebihan yang ia miliki sebagai seorang wanita karier, ternyata hatinya sangatlah rapuh.

Obrolan kami sekali-kali diselingi canda tawa untuk menghilangkan semua beban yang mengganggu pikiran, dan tanpa disadari duduk kami pun semakin rapat. Kaleng minuman kami akhirnya habis, dan berbatang-batang rokok sudah kami bakar. Hening.. kehabisan kata.

“Eh..?” aku kaget ketika Bu Yasinta tiba-tiba memeluk lenganku sambil menyenderkan kepala.

“Makasih, Le, udah mau mendengarkan saya. Haissh… kenapa juga saya harus terbuka seperti ini kepada kamu, padahal kita baru saling kenal.” ujarnya.

Aku hanya diam, fokusku bukan lagi pada ucapannya, melainkan pada kenyal payudaranya yang menyentuh lenganku.

“Saya kesepian, Le.” lirihnya.
“Saya paham.” gumamku pelan.

Bu Yasinta pun semakin mengeratkan pelukan, sedangkan aku masih duduk kaku. Aku belum tahu apakah sikap Bu Yasinta ini hanya sekedar untuk mencari ketenangan, atau memang kode yang menjadi peluang untuk membuat kami berdua mengerang.

Bu Yasinta memindahkan tanganku agar melingkari bahunya. Dengan sedikit berdebar kuikuti maunya, kupeluk wanita paruh baya yang tubuhnya masih memesona ini. Merasa aku memberi respon positif, ia malah mendekapku dan menangis tersedu dalam pelukanku.

Secara naluriah aku balik mendekap, dan spontan mengusapi punggungnya. Ia pun semakin menangis.

“Saya butuh pelampiasan, Le. Hiks.. hiks…”
“Maksud ibu?”

Dadaku langsung berdetak kencang. Rasa iba dan nafsu bercampur menjadi satu.

“Kamu jangan pikir aneh-aneh, saya hanya butuh kamarmu untuk masturbasi. Gak mungkin di kamarku karena ada si Sukma.” jawabnya, tangisnya mulai reda.

“Lalu.. ehem.. euuu.. lalu aku? Kenapa.. kenapa…?” aku malah tergagap.
“Saya belum siap kalau harus dijamah lelaki lain. Bukan tidak ingin, tapi saya benar-benar belum siap melakukan perbuatan yang sama, seperti yang pernah dilakukan suamiku. Hiiks…”

Aku hanya bisa menelan liur. Ternyata Bu Yasinta adalah seorang wanita yang tangguh, dan aku harus menghargai itu.

“Maksudku, kalau ibu pake kamarku, lalu aku gimana?” aku mengalihkan jawaban.
“Ya terserah kamu, mendengar boleh, nonton jangan. Hehehe.. hiiiksss…”

Kupret!!!


Bersambung…..
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd