Daripada skeptis lbh mirip spt ga baca materi yg saya jabarkan. Gue jd capek ngulang2 sampe berbusa.
Biasa itu om. Pada umumnya orang2 memang lebih suka langsung menyantap makanan ketimbang harus repot memasak dulu.
*****
Sebenarnya, menurut hakikatnya, evolusi itu ada alias FAKTA. Mungkin Kang Maman selama ini udah termakan teori keranya si Darwin, jadinya terlanjur skeptis, kemudian ogah membaca, kemudian nge-gas, kemudian copas-copas, kemudian masuk ke mode bertahan 100% (Kalau di sepak bola, dalam situasi ini biasanya bek langsung menyapu bola ke depan tanpa tahu ke mana tujuan bola, yang penting jangan dekat2 gawang).
Kenapa saya bilang fakta? Karena makna fakta itu adalah sesuai dengan kenyataan di lapangan alias riil. Kita tidak bisa gandengkan teori dengan fakta karena keduanya punya arah yang berbeda. Kalau mau disejalankan, teori itu lebih dekat ke hukum, karena konteksnya ke ranah proses. Tapi, meskipun begitu, bukan berarti juga teori itu adalah lawannya hukum, sebagaimana hitam dan putih ataupun siang dan malam. Teori itu berdiri sendiri, bisa dipakai dengan hukum ataupun untuk mencari hukum yang baru jika fakta di lapangannya valid dan bisa diterima.
Contoh mudahnya itu adalah skripsi ataupun karya ilmiah. Skripsi itu termasuk ke dalam kategori teori. Di dalamnya terdapat hukum-hukum dan bisa juga skripsi itu menghasilkan hukum baru. Contohnya seperti Julius Robert Oppenheimer yang memakai teori-teori Albert Einstein untuk penemuan bom atom. Dan Albert Einstein juga meriset tentang hukum Newton dulu untuk mengembangkan teori relativitasnya. Tanpa hukum2 fisika klasik, bagaimana bisa ada fisika modern seperti saat ini? Begitu juga dengan teori evolusi. Jika kita tidak coba kembali mengulik masa lalu, bagaimana bisa kita mempelajari adanya fakta evolusi?
Tapi memang itulah masalahnya. Kalau para arkeolog nggak mau "korek-korek" fosil, bagaimana caranya proses evolusi bisa diidentifikasi? Para ilmuwan biasanya ingin sebuah hasil dan jawaban dari riset mereka, dan ini juga merupakan penyakitnya. Terkadang mereka (ilmuwan) suka mencetuskan jawaban "sementara" dulu, sementara mereka sendiri menguji kembali risetnya untuk mencari jawaban final. Bahkan tak jarang mereka mencetuskan jawaban sementara sebagai jawaban final, sehingga timbullah pro dan kontra. Salah satunya adalah teorinya si Charles Darwin yang nyeleneh itu.
Jadi, alangkah baiknya jangan padankan teori dengan fakta, karena memang tidak sejalan. "Laki-laki itu ganteng" adalah fakta, tapi apa penyebab ganteng itu sendiri harus dijelaskan secara spesifik. Disanalah teori mengambil tempat. Kalau mau membahas teori, ya balaslah dengan teori (atau hukum sekalian). Istilahnya, jika ingin makan, datanglah ke restoran biar bisa langsung makan. Jika ingin memasak, lihat resepnya dan ikuti proses memasaknya. Masalahnya, Kang Maman ini niatnya mau makan atau mau masak?
*****
Evolusi itu fakta, karena kita bisa lihat tanda2nya di kehidupan sehari-hari. Ada evolusi jangka pendek dan ada evolusi jangka panjang. Evolusi jangka pendek itu contohnya orang dungu yang banyak belajar kemudian jadi pintar. Evolusi jangka panjang itu contohnya manusia zaman dulu yang rata-rata berumur panjang sementara zaman sekarang biasanya sangat cepat menua. Pendek kata, evolusi itu adalah "perubahan".
Nah, perubahan ini biasanya disebabkan oleh elemen2 yang mempengaruhi. Contohnya, orang dungu bisa jadi pintar itu bisa terjadi jika neuron otaknya memang baik (hanya belum terisi saja), lalu individu itu rajin belajar, rajin istirahat, dst. Begitu juga dengan orang2 zaman sekarang yang lingkungannya cenderung tidak mendukung daya tahan tubuhnya, sehingga wafatnya lebih cepat.
Tapi dalam konteks yang lain, saya pribadi menganggap teori evolusi ini hanyalah sebuah "kesimpulan". Terlalu "tinggi" menurut saya jika ada teori yang mengatakan suatu spesies bisa berevolusi secara fisik karena lingkungannya "memaksanya" untuk berubah. Perubahan memang ada, tapi tak bersifat permanen. Teori evolusi ini hanyalah kesimpulan dari perkembangan kode genetik, tak lebih. Tidak ada yang namanya kera jadi manusia, kecuali justru ada kera purba yang malah lebih pintar dari kera zaman sekarang, yang merupakan nenek moyangnya kera. Persilangan mungkin jadi dasar mutasi genetiknya, versi DNA berubah secara mengejutkan layaknya teori ledakan kambrium. Itu salah satu dugaan terkuat saya pribadi.
Yang namanya makhluk bernyawa, kalau sudah nggak tahan sama lingkungannya, pilihannya cuma 2: migrasi atau mati. Tidak ada yang namanya perlahan-lahan berubah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jika seekor monyet tinggal di hutan yang sering kena pembakaran lahan, otomatis doi bakalan eksodus ke tempat lain (salah satunya ke permukiman penduduk). Ini bukan masalah adaptasi atau semacamnya, tapi kebutuhan makhluk hidup yang paling vital itu adalah MAKAN. Apakah ada monyet yang rela semedi nge-vape di tengah hutan yang sudah berasap?
Mungkin hal itu juga yang terjadi pada kera-kera golongan homo-homo apalah itu. Kekurangan makanan atau faktor alam membuat mereka punah, sementara mereka hanya meninggalkan "anggota keluarga" yang hanya setingkat spesies seperti yang kita lihat sekarang.
Begitu juga dengan..... aduhh...... bacotnya udah kebanyakan nih saya. Segitu dulu dah.