Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

When The Sun Goes Down (NO SARA)

Minta pindah aja ke momod coba, siapa tau bisa.
Lagian ane mikir ini cerita juga tamat bebrapa chapter wkwkwk
 
EPISODE 7: IT STARTED OFF WITH A….

=====

Tiara

=====

Hidup memang bekerja dengan cara yang misterius. Kini sudah sebulan aku berhubungan dengan Tiara, meski hingga kini kami belum bisa mengatakan bahwa kami berpacaran. Namun bila ditanya oleh orang-orang di lingkungan kami, kami hanya menjawab dengan ‘kami memiliki satu sama lain’.

Aku juga mulai menjaga Tiara lebih jauh dari sebelumnya. Selama sebulan ini, aku selalu menemani Tiara ketika ia mendapatkan pesanan dari klien. Tiara pun juga rela membeli tiket ke acara-acara yang aku liput. Aku yang berbasis di videografi dan desain dengan Tiara yang kuat di fotografi, kami berdua menjadi pasangan dokumentasi yang berbahaya.

Sedangkan untuk kehidupan personal kami, hanya langit yang menjadi pembatasku dengannya. Aku yang selama ini bisa bergerak sendiri kini mulai bergantung dengannya, dan Tiara pun sama. Tak jarang aku rela menempuh jarak Bandung-Jatinangor hanya untuk menemaninya makan dan kemudian mengantarnya pulang ke Bandung. Meskipun begitu, kami sepakat untuk tidak menceritakan hubungan kami kepada kedua orangtua kami, meski pada kasusnya Tiara, ia menceritakan hubungan kami ke adiknya.

Seperti contohnya hari ini, aku mengajak Tiara untuk menemaniku membeli gitar dan gear. Karena Unwanted memiliki visi untuk mengadakan tur di awal tahun nanti, aku juga harus menginvestasi alat-alat yang lebih memadai selagi kami mengumpulkan modal dari panggungan-panggungan selama sebulan ini dan mencari sponsor.

=====

“Kamu, teh gitar punya berapa, Dil?” Tanyanya selagi menyeruput mie ayam.

“Berapa, ya? Di Bandung ada tiga, di Jakarta ada satu cuma nggak boleh dipake sama ayah aku.” Jelasku.

“Kenapa gitu?”

“Gitar koleksi, jadi sama ayah aku dijaga banget meski emang itu gitar buat aku.”

“Tapi kamu sampe keluar sepuluh juta tadi, kamu masih ada uang pegangan, kan?” Tanyanya lagi.

“Ya, ada lah. Gila juga aku ngosongin rekening cuma buat begituan.” Jawabku.

Yah, Tiara juga mengeluarkan 30 juta untuk kameranya, sih. Tapi mungkin situasinya berbeda karena Tiara juga masih mendapatkan uang saku dari orangtuanya, meski memang tidak sebesar bayaran dari pekerjaannya.

Setelah menyantap makanan kami, awalnya kami hendak pergi menuju ke tempat dimana kami bisa melihat city-light di kota Bandung. Hari ini juga masih weekday dan seharusnya tidak akan semacet itu.

Meski kami sudah sering bepergian bersama, aku tak pernah mengajak Tiara pergi untuk hanya sekedar menghabiskan waktu bersama. Ini merupakan pertama kalinya aku dan Tiara pergi hanya karena kami memang ingin main.

Selagi kami menyusuri jalan Bandung, langit mulai gelap dan gemuruh sudah mulai terdengar. Mengikuti arus balik kerja juga, jelas kami terjebak dalam kemacetan. Meski sebenarnya macetnya tidak separah bila kami sedang berada di akhir pekan dimana jalanan Bandung dipenuhi dengan kendaraan berplat B.

“Ah, elah. Buruan jalan, kek anjing!” Lanturku kesal.

“Ih, udah sih Dil sabar aja. Entar malah enak dong kita sampe sana city-light langsung keliatan.” Balas Tiara menenangkanku.

Benar saja. Tak lama setelah kami sedikit berbincang tentang kemacetan dan gemuruh petir, langit mulai menitikkan air hujan tipis. Tentu para pemotor termasuk kami mulai kalang kabut mencari tempat untuk berteduh, namun aku dan Tiara lebih memilih untuk menghantam gerimis selagi hujannya belum lebat.

Meski tetap macet, aku masih bisa mencari celah-celah di jalan supaya kami bisa lebih cepat sampai di lokasi. Bila memang terjadi apa-apa, kosku masih searah dengan tempat yang ingin kami tuju. Melihat bawaanku juga, sebaiknya aku menaruh barang sejenak.

Akupun langsung mengarahkan perjalananku ke kosan. Namun seiring kami menyusuri jalan, volume air yang berjatuhan mulai meningkat dan dihadapi oleh jalanan yang lebih kosong, aku menancapkan gasku cukup kencang.

“Dil, ujan Dil!” Teriak Tiara.

“Iyaa, Ti. Ini ke kosan aku dulu aja, ya buat naro barang!” Ajakku.

Meski belum lebat, tetap saja hujan membasahi tubuh kami berdua. Ketika sampai di kosanku, aku langsung buru-buru memarkirkan motor dan mengamankan barang-barang yang terkena basah. Aku juga langsung mengamankan gitar yang baru saja kubeli dan memastikan apakah plastic wrap yang digunakan cukup untuk menahan air hujan.

Selagi aku mengamankan gitar dan alat-alat lainnya, aku juga memerhatikan Tiara yang sedang basah kuyup.

Ini pertama kalinya aku melihat tubuh Tiara yang terbentuk secara jelas karena basah diguyur hujan. Aku jelas berbohong bila aku tidak terkesima. Melihat lekuk tubuhnya yang indah, bahkan Teh Laras yang begitu semok tak dapat menandinginya.

Tiara juga menggigil. Bahkan sepertinya untuk menghangatkan badan, rokok yang ia bakar pun tidak cukup untuk membuatnya lebih nyaman. Di dinginnya hawa jam segini dan tubuh kami yang sedang basah kuyup, kami hanya bisa mengharapkan hujan ini sebagai hujan lewat saja.

Tapi? Tentu saja tidak. 15 menit kami menunggu, langit masih belum menandakan akan mulai mereda hujannya. Akupun juga mulai kedinginan. Selama-lamanya aku tinggal di Bandung, tubuh Jakartaku tetap saja tidak bisa berbohong.

Ditambah lagi, ruang tamu di kosanku sudah diisi oleh sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan kerja kelompok. Aku yang ingin bergabung dengan mereka juga enggan karena aku tak begitu kenal, ditambah dengan aku yang membawa Tiara kesini, pasti akan menjadi bahan omongan meski kos kami terhitung bebas.

“Wah, kalo begini ceritanya mah kita yang ada maleman di teras.” Gurauku ke Tiara yang baru menghabiskan rokoknya.

“Aduh, iya euy. Ini semaleman cuma ngeringin badan doang yang ada.” Balasnya sembari menggosok-gosok bahunya.

Ting!

Muncul ide di dalam benakku. Mungkin ini akan menjadi pertama kalinya aku bisa membawa perempuan memasuki kamar kosku. Naluriku sebagai seorang lelaki juga tak mungkin membiarkan Tiara kedinginan seperti ini. Lagipula menunggu hujan di teras ini sangat tidak nyaman, dan angin juga juga selalu bertiup kearah kami yang malah menambah penderitaan kami.

Tapi, apa mungkin bisa? Tiara kan punya pengalaman traumatis selama berhubungan dengan Raynel. Apa mungkin dia mau menunggu hujan di kamarku? Hubungan kami juga baru berjalan sebentar. Apakah ini langkah yang terlalu besar?

“Apa aku pinjem mobil Morris dulu aja, ya?” Ucapku asal.

“Ih, gak usah. Malah nggak enak sama Morris kalo kita jalan tapi dianya nunggu disini.” Balasnya.

“Lah, ajak aja.”

“Gak mau. Kasian kalo dia jadi nyamuk.”

“Ish, gengsi amat bilang mau berduaan aja.” Ledekku.

Tiara hanya tertawa mendengar ucapanku. Kini Tiara juga mulai mendekati dan menyandarkan kepalanya di bahuku selagi aku menikmati rokok untuk menghangatkan badan.

Sudah cukup lama kami menunggu hujan, dan masih belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Dinginnya hawa juga sudah mulai menusuk dan siksaan ini semakin membuatku tak nyaman. Melihat ke ruang tamu juga, mereka sepertinya akan memakan waktu yang lama berada disana.

Pikiranku pun mulai berkecamuk. Aku harus memasuki kamarku untuk berganti pakaian dan menghangatkan badan. Entah apa yang akan Tiara katakan, aku harus berani mengajaknya karena ini demi kebaikannya juga.

“Ti, mau nunggu di kamar aku aja, nggak?” Tawarku.

“Dill!” Jawabnya tak nyaman.

“Hey, I promise aku nggak bakal ngelakuin hal yang nggak bikin kamu nyaman, oke? Kalo kamu udah nggak nyaman, nanti kita pesen Gr*b aja kesananya.” Ajuku untuk meyakinkannya.

Meski memakan waktu yang agak lama, Tiara akhirnya menyetujui ajakanku. Tiara juga memaksaku untuk menjulurkan jari kelingkingku untuk melakukan perjanjian.

Kami pun beranjak memasuki bangunan. Tentu saja anak kosanku yang sedang memenuhi ruang tamu ini sedikit terkejut melihatku membawa Tiara ke dalam. Tiara pun juga canggung. Bagaimana juga, tak etis membawa seorang perempuan ke dalam bangunan kos lelaki, apalagi ke dalam kamarnya.

Setelah memasuki kamar, aku langsung membuka semua kemasan dan mengeringkan jaketku di hadapan kipas angin yang kuhadapkan ke jemuran. Tiara juga langsung mengamankan barang-barang penting yang berada di tasnya dan menjemur tasnya disamping jaketku.

“Ti, kamu mau ganti baju, nggak?” Tawarku lagi.

“Yah, gak bawa baju ganti aku.” Jawabnya.

“Mau pake baju aku dulu aja?” Tanyaku yang ia iyakan.

Akupun langsung menuju ke lemariku. Bila aku jahat, bisa aja aku memberinya pakaian yang dapat menggodaku. Tapi demi kelancaran hubungan kami, niat itu aku kubur dalam-dalam. Aku juga memberinya opsi untuk mengenakan celana pendek atau celana panjang, dan aku juga memberikannya kaus dan hoodie just in case ia masih belum nyaman membuka hijab di depanku.

Setelah kuberikan setelanku ke Tiara, dia langsung beranjak menuju ke kamar mandi untuk mengganti setelan. Selagi Tiara berada di kamar mandi, aku juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mengganti pakaian.

Beberapa lama kemudian, Tiara beranjak keluar dari kamar mandi. And holy fuck, Tiara terlihat sangat manis di hadapanku.

Tiara kini mengenakan celana training yang begitu longgar di kakinya. Celana pendeknya jelas tak ia kenakan demi menjaga auratnya. Namun melihatnya yang kini tak mengenakan jilbab membuatku terpana. Tentu saja, ia tak langsung terang-terangan menunjukkan rambutnya kepadaku. Tetapi aku melihat betapa manisnya ia dengan kupluk yang melindungi rambutnya dan aku juga bisa melihat lehernya yang mulus tanpa cacat.

“Untuk ukuran cowok, kamar mandi kamu bersih, deh.” Ucap Tiara selagi menjemur pakaiannya pula.

“Ekspektasi kamu serendah apa, deh?”

“Yaa, selama aku ke kosan temen aku yang cowok, kamar mandi mereka semua teh jorok banget.” Jawabnya.

Tiara merebahkan dirinya di karpet selagi aku mengambil barang-barang yang baru saja kubeli. Berhubung ini pertama kalinya aku menyentuh efek digital ini, aku juga harus mempersiapkan preset yang akan kugunakan saat tampil nanti.

Sebagai seorang gitaris, sangat perlu hukumnya untuk mengetahui komposisi efek yang akan digunakan. Penggunaan efek juga tak mungkin hanya berpaku pada satu jenis. Dengan menggunakan efek digital, alat ini memberiku fasilitas untuk membuat simulasi kabinet tanpa perlu memiliki kabinet analog.

Selain itu juga, ini pertama kalinya aku memiliki gitar bersenar 7. Untuk memainkan musik hardcore seperti Knocked Loose dengan nada yang rendah, menggunakan gitar bersenar 7 akan sangat memudahkanku. Selain itu, gitar Schecter Demon-7 ini sudah menjadi impianku setelah cukup lama mengandalkan BC Rich Mockingbird yang baru saja kujual dan Squier Telecaster yang kupunya.

Dengan memiliki gitar-gitar ini, aku bisa menggunakan gitar Schecter untuk memainkan musik keras yang heavy-hitting, dan Squier dapat kuandalkan untuk memainkan lagu yang lebih melodik.

Aku yang kini sedang menyiapkan preset dan mengutak-atik alat yang kubeli di mejaku mulai menarik perhatian Tiara. Tiara juga terlihat takjub melihat set-up mejaku yang tertata rapi meski dipenuhi dengan kabel, soundcard, serta Midi Controller yang nyaris mengambil seluruh ruang di mejaku.

“Kamu kalo mixing sama mastering lagu sendiri, Dil?” Tanyanya yang tiba-tiba menggenggam bahuku dari belakang.

“Nggak, sih. Kalo produksian yang ngurus Seno semua. Aku disini cuma buat nulis demo sama gear buat ngerekam gitar sama bass aku yang punya, biar nge-press biaya rekaman juga.” Jelasku tanpa menoleh kearahnya.

Tiara tak menjawab pertanyaanku. Kemudian, alih-alih kembali keatas karpet, Tiara terus memerhatikanku yang sibuk dengan duniaku sendiri. Aku yang sedang menggunakan earphone untuk mendengar suara gitarku juga membuatku tak begitu peka dengan sekitar. Entah ada dorongan apa, Tiara tiba-tiba memelukku dan mengusap-usap rambutku yang masih basah. Namun layaknya seorang Fadil, aku tak begitu menggubris perlakuannya meski di dalam hati aku merasa sangat salah tingkah.

“Kalo punya cowok gitaris emang kayak gini, ya?” Ledek Tiara, dan tiba-tiba…

*Ccupph…*

TIARA TADI MENCIUM KENINGKU?! APA MAKSUDNYA INI?! BUKANNYA SEHARUSNYA IA MERASA TIDAK NYAMAN DENGAN BERADA DI KAMARKU BERDUA SAJA?!

“Eh?” Ucapku reflek.

“Eh, maaf kalo kamu kaget.” Balasnya yang ikut salah tingkah.

“Aku bukannya kaget malah bingung, anjir!” Jawabku membuatnya tertawa. “Katanya kamu nggak nyaman!”

“Hahahaha,” tawanya manis.

“I’m sorry, I got a little bit carried away.”

Setelah itu, Tiara kembali beranjak keatas karpet. Aku yang sedang fokus mengurusi preset malah terdistraksi dan konsentrasiku menjadi buyar untuk sejenak. Meskipun begitu, aku tetap melanjuti pekerjaanku hanya untuk mengalihkan pikiran dan tidak ada pikiran intruisif untuk melakukan hal-hal aneh.

“By the way, kalo mau rebahan di kasur gak papa, kok Ti.” Ucapku menawarkan tempat merebahkan diri yang lebih nyaman.

Tiara pun mengiyakan perintahku. Kini ia berbaring di kasurku dan mengenakan selimut untuk menghangatkan dirinya. Setelah memastikan Tiara merasa nyaman, akupun melanjutkan kegiatanku.

Detik berubah menjadi menit, dan menit berubah menjadi jam. Aku yang masih sibuk mengutak-atik efek baruku mengalihkan kepekaanku kepada waktu. Bahkan, Tiara yang sedang berada di kamarku saja kuanggurkan dan tak kuajak mengobrol.

Di luar juga hujan masih membasahi bumi. Tak ada tanda hujan akan mereda dalam waktu dekat. Bahkan dari yang kudengar sejenak, hujan malah turun semakin deras yang bahkan pada beberapa waktu mengganggu pendengaranku yang sedang memainkan gitar.

Bila kondisi di luar terus seperti ini, tak mungkin aku mengajak Tiara melihat city-light lagi. Hari sudah terlalu malam dan hawa dinginnya malah akan menyiksa Tiara dengan pakaiannya yang masih basah. Aku bahkan mulai menghubungi Morris untuk meminjam mobil. Namun sayangnya saat ini ia juga sedang berkencan, dan aku tak mungkin mengantar Tiara pulang menerjang hujan lagi.

“Buset, nggak reda-reda ini ujan.” Basa-basiku yang kini merapikan alat-alat setelah puas menciptakan preset untuk keperluan tampil.

Tiara tak menjawab perkataanku, dan tak ada jawaban darinya membuatku menoleh kearahnya. Betapa terkejutnya pula aku melihat Tiara yang kini sedang tertidur pulas. Ia tertidur dengan damai. Wajahnya yang datar dalam tidurnya juga membuat suasana hatiku begitu tenang.

Akupun kembali merapikan alat-alatku, dan setelah selesai, aku beranjak mendekati Tiara ke samping ranjang. Aku tak langsung membangunkannya, namun aku terus memerhatikan sesosok dewi yang sedang tertidur di hadapanku.

Tiara benar-benar cantik. Meski saat ini Tiara terlihat begitu berantakan dengan rambutnya yang terurai melewati kupluk yang ia kenakan, hal itu tak membuatku bosan untuk terus terpana melihat parasnya. Hingga saat ini, bahkan aku masih tak bisa memercayai bahwa aku memiliki hubungan dengannya tiap aku melihat wajahnya.

“Ti,” ucapku membangunkannya. “Kamu masih mau nunggu ujan?”

“Hmm?… Eh… Aku pules, ya?…” jawabnya setengah sadar.

“Iyaa,” jawabku.

“Kamu mau pulang ke rumah apa balik ke Nangor?”

“Nggak tau, sih… Aku juga nggak ada kelas besok…” jawabnya.

“Mau pesen Gr*b aja? Ini ujannya masih awet soalnya.” Tawarku.

“Hmmm… Gak papa, deh nunggu aja… Orangtua aku juga pasti marah kalo aku pulang sendirian…” jelasnya dengan kesadaran yang masih mengawang.

“Yaudah, kalo mau tidur lagi sok aja. Nanti kalo reda aku bangunin.” Balasku yang ia balas dengan anggukan.

Alih-alih kembali tidur, Tiara langsung meraih handphone-nya untuk mengumpulkan kesadaran. Aku yang mulai mengantuk juga kini mulai merebahkan diri diatas karpet sembari membuka media sosialku.

Waktu terus berjalan dengan derasnya hujan menutupi kesunyian di kamarku. Hawa yang lebih nyaman di dalam kamarku juga membuatku mulai mengantuk. Handphone-ku juga sudah kubiarkan tergeletak di atas karpet. Sementara itu, Tiara masih sibuk memainkan handphone-nya dan kini Tiara kembali segar sementara aku mulai mengantuk berat.

“Hoaaam. Ngantuk lagi, aku.” Lanturku selagi menguap.

“Apa aku nginep aja, ya?”

Pertanyaan tadi malah membuatku kembali segar. Apa maksudnya? Kok malah tiba-tiba ia ingin menginap disini? BERSAMAKU?!

Tiara benar-benar manusia yang penuh dengan teka-teki. Bahkan sudah sebulan kami berhubungan dan aku masih belum bisa memecahkan misteri dari segala keunikan di dalam benaknya.

“Kamu udah janji nggak bakal ngapa-ngapain aku, kan?” Tanyanya lagi menanyakan keyakinanku.

“Ya, iya sih.” Jawabku bingung. “Cuma emang kamunya oke?”

“Kalo udah begini ceritanya, nggak mungkin juga atuh aku pulang ke rumah. Udah semalem ini, Dil.” Jawabnya.

“Gak papa, kok. Mau aku anter ke Nangor juga gak papa.” Balasku.

“Atuh udah malem.” Tolaknya. “Lagian juga ini ujannya deres banget, kamu mau nunggu sampe jam berapa?”

“Ti, kamu tuh bener-bener cewek dengan segala kejutan, dah.” Ucapku yang masih dilanda dengan kebingunan.

“Ini gak papa, loh kalo kamu mau pulang naik Gr*b aku ikut kamu dulu abis itu aku balik naik Gr*b lagi atau nginep di Seno.”

Tiara hanya tertawa mendengar ucapanku. Ia mulai bangkit dari tidurnya dan kini ia menghadap kearahku dan kembali memainkan rambutku selagi aku menyandarkan tubuhku ke ranjang.

“Hahahahaha. Kamu kok bisa, sih sebaik ini?” Ledeknya kepadaku.

“Kalo kamu mikirin aku nyaman atau nggak, selama kamu nggak aneh-aneh, aku bakal tetep nyaman, kok.”

“Ih, manis banget omongannya.” Ledekku lagi.

“Lagian aku juga percaya, kok kamu nggak akan aneh-aneh. Kayak yang aku bilang sebelum kita mulai berhubungan juga, aku siap ngambil resiko apapun cuma buat ngeliat gimana hubungan kita.” Jelasnya yang malah meluluhkan hatiku.

“Kamu ngomong gitu malah ngebikin aku pengen ngejaga kamu banget, tau.” Jawabku.

“Berarti selama ini pilihan aku buat berhubungan sama kamu bener, dong?” Tanya retorisnya yang diiringi dengan senyuman manisnya, dan ia kembali mencium keningku.

Aku hanya bisa terdiam salah tingkah melihat perlakuannya. Namun bukannya menjadi tenang mendengar ucapannya, pikiranku malah menjadi semakin berkecamuk.

Apakah ini semua hanya menjadi ujian baginya? Apakah dia ingin mengujiku untuk melihat apakah aku benar-benar orang yang pantas baginya? Bahkan untuk menggeser badanku saja, aku tak bisa karena pikiran ini selalu berputar tak membuatku nyaman.

Ditambah, aku yang menyandarkan diri juga disambut olehnya. Kini Tiara yang sedang memainkan handphone-nya menghadap kearahku yang sedang membelakanginya. Jemarinya juga bertempag di rambutku dan tak pernah ia lepas. Hal ini malah membuatku kembali resah, tak mungkin ia merasa tak nyaman bila ia melakukan ini. Tapi di sisi lain, kejadian traumatisnya juga menghalangku untuk menyimpulkan disitu saja.

Sepertinya, aku memang tak berbakat untuk membuka isi hati wanita.

Perlahan, aku juga semakin mengantuk di tengah kenyamanan yang ia berikan. Mataku mulai terpejam dan akan memakan waktu beberapa menit saja bagiku untuk bisa tidur. Sekarang kondisi malah berbalik, dimana Tiara sekarang masih segar dan aku sudah sangat mengantuk. Tiara juga pasti menyadari kondisiku sekarang karena beberapa kali aku nyaris tumbang ia langsung menahan tubuhku.

“Dil, kamu mau tidur di atas aja, nggak?” Tanyanya tiba-tiba.

“Nggak, Ti. Kamu aja yang di atas.” Jawabku.

“Bukan, ih. Maksudnya kamu sama aku.”

NAH, KAN?! APA LAGI MAKSUDNYA INI COBA?!

Bahkan sebelum aku menjawab, Tiara langsung memindahkan badannya dan memberikanku ruang untuk berbaring di sampingnya. Aku bahkan tak diberi waktu untuk berpikir karena Tiara mulai menarik tanganku.

Aku hanya bisa pasrah. Sekarang apapun yang terjadi, aku menyerahkan semuanya kepada yang Maha Berkuasa. Meskipun begitu, aku juga tidak memulai langkah dan bertindak lebih jauh. Kini kami berdua berbaring di kasur dan saling menghadap ke langit, let’s just keep it at that.

“Ti,” ucapku. “Aku masih bingung, deh sama yang ngebuat kamu nggak nyaman, tuh apa.”

“Kenapa, emang?” Jawabnya.

“Kayak gini, loh. Ini sekarang kita posisinya di kamar berduaan, seranjang bareng, dan ini harusnya malah ngebikin kamu nggak nyaman setelah kejadian yang pernah kamu alamin.” Jelasku.

Mendengar penjelasanku, Tiara malah membalikkan badannya dan kini ia berbaring menghadapku yang masih menatap langit-langit. Aku juga malah semakin canggung. Bila Tiara menghadapku demi komunikasi yang lebih baik, aku harus ikut melihat kearahnya.

Bahkan aku sudah tidak memikirkan hal-hal lain. Tak ada sedikitpun pikiran kotor yang melintas di pikiranku. Padahal, momen seperti ini dimana hanya segelincir udara kosong yang memisahkan kami sangat mendukung untuk melakukan hal-hal yang menuju ke arah sana.

“Dil, kamu tuh jangan terlalu berpaku sama apa yang aku alamin ketika sama Raynel.” Pesannya kepadaku.

“Aku tau, disini kita sama-sama tergila-gila dengan satu sama lain dan kita nggak mau kepeleset sedikitpun. Di sini banyak hal yang kita pertaruhkan, dan bahkan kita belom mulai pacaran secara resmi. Aku ngehargain kamu yang ngejaga aku banget, tapi bukan berarti kamu juga nggak bisa nikmatin momen intimasi kayak gini kalo kita lagi bareng gini.” Lanjutnya lagi.

“Dari yang aku rasain, aku tau kok seberapa nggak maunya kamu nyakitin aku dan ngebuka luka lama dari kejadian yang pernah aku alamin. Tapi jangan malah selalu mikir ke situ terus, ya? Sekarang ketika aku mulai nyaman dan bisa terbuka sama kamu, kamunya malah dikendaliin sama ketakutan kamu.”

Setelah Tiara mencurahkan isi hatinya, akupun mulai ikut berbaring menghadap kearahnya. Aku tak menjawab apa-apa, dan Tiara juga tetap melemparkan senyuman termanisnya kepadaku.

Untuk menunjukkan bahwa ia masih berada di zona nyaman, Tiara kembali menciumku di dahi. Tangannya pun mulai memainkan pelipisku selagi kami saling menghadap. Bila tak ada pemikiran tentang apa yang sedang kurasakan, pasti aku sudah menyosor bibirnya.

Namun sekuat hati aku menahan pemikiran itu. Sekarang, Tiara lah yang memegang kendali dan mengatur tempo momen intimasi kami. Tapi aku juga tak mungkin selalu menunggu pergerakannya. Mau kutaruh dimana mukaku sebagai lelaki? Kalu begini ceritanya, mungkin Tiara akan mengganggapku sebagai lelaki submissive.

“Ti,” ucapku setelah sekian lama dibalut dengan kesunyian. “Aku boleh meluk kamu, nggak?”

Tiara tak menjawab dengan perkataan. Ia langsung mendorong tubuhnya semakin dekat denganku. Bahkan, ia juga menarik tanganku untuk memeluknya dengan erat.

Meski kami berpelukan erat, aku juga menyisakan sedikit ruang di tubuh bagian atas kami supaya kami tetap bisa saling menatap. Sejak pertama aku melihat parasnya dari dekat, tatapanku tak pernah sekalipun ingin kupindahkan ketika ada momen bagiku untuk menikmati ini. Ditambah dengan Tiara yang masih memainkan jemarinya di pelipisku, ia selalu mengarahkanku untuk menatap ke wajahnya yang dibalut dengan senyuman termanis yang pernah kulihat.

Jelas saja. Mau bagaimana juga, setan pasti akan memasuki isi pikiran kami. Wajah kami semakin mendekat. Bahkan ada beberapa saat ketika hidung kami bersentuhan. Semakin kami mendekat, hasrat yang kukubur dalam-dalam juga mulai bangkit dari kuburnya. Wajahku terus mendekatinya, dan Tiara yang terbawa suasana juga ikut beraksi dengan menarik kepalaku perlahan.

*Ccupphh…*

Hilang sudah keperjakaan bibirku.

*Ccupphh… ccupphh… Ccupphh…*

Aku yang belum pernah melakukan ini hanya bisa terdiam selagi Tiara memagut bibirku dengan lembut. Meskipun begitu, aku mulai mempelajari dan mengikuti tempo yang ia mainkan. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengimbangi pagutannya dan ciuman kami terasa semakin nikmat.

*Ccupphh… Ccupphh… Ccupphh…*

Tak lama kami berciuman, aku melepas ciuman yang sangat kunikmati tadi. Tiara benar-benar membawaku ke perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ciuman tadi seperti Tiara mengajakku terbang menembus lapisan-lapisan awan yang meneduhi kami dan menghempaskanku untuk melayang bersama dengan bintang-bintang yang bersinar.

Aku tak akan pernah menyesali bila harus melepas ciuman pertamaku dengannya. Tiara adalah orang yang sangat kudambakan dan yang kucari selama ini meski baru beberapa bulan kami saling bertemu. Semesta benar-benar menunjukkan keajaibannya dengan mempertemukanku dengannya di saat kami sedang saling berusaha untuk melupakan masa lalu kami.

“Am I a good kisser?” Tanyaku iseng selagi mengingat sensasi yang sebelumnya kurasakan.

“Di awal kamu kaku banget, sih. Tapi perlahan kamu bisa ngikutin juga.” Jawabnya. “Emang kamu nggak pernah ciuman sebelumnya?”

“Pacaran aja nggak pernah.”

“Ih, masa sih?” Tanyanya tak percaya.

“Waktu aku abis buat mikirin gitar sama band. Boro-boro aku ada waktu buat pacaran.” Candaku.

“Hahahahahaha.” Tawanya manis. “Tapi apa kamu fine dengan ini? Aku takut kalo kamu belom siap.”

“Ti, malah harusnya aku yang nanya!” Jawabku yang semakin bingung dengan posisinya.

“Aku gak bisa bilang kalo aku udah siap atau belom. Namanya intimasi —baik itu seks atau sekedar deket banget— bagi aku udah sakral. Aku terima-terima aja kalo aku bisa begini sama kamu.” Jelasku.

“Kamu orang yang aku dambain banget, dan kamu juga orang yang selama ini aku cari meski kita baru kenal bentar. Bagi aku, segini udah berarti banget. Tapi di sisi yang sama, aku nggak tau tentang kehidupan ini karena aku belom pernah terjun sama sekali. Ditambah sama trauma kamu, aku bener-bener bingung gimana harus memposisikan diri karena aku nggak mau nyakitin kamu.”

“Dil,” jawabnya dan sekarang Tiara menaruh kedua tangannya di pipiku. “Kenapa, ya diantara anak band yang pernah deketin aku, malah anak hardcore yang paling nggak red flag?”

“Mungkin kalo emang dibandingin sama apa yang aku lakuin sama Raynel dulu, ini emang nggak ada apa-apanya. Tapi aku aware, kok kalo ini juga udah cukup jauh.” Jelasnya berusaha untuk membuatku tenang.

“Aku udah ancur banget, Dil. Aku udah bisa nerima itu meski aku tetep berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Tapi bukan berarti aku juga benci sama ini. Ini pertama kalinya aku bisa bener-bener ngerasa damai, dan itu semua juga karena aku tau seberapa jauh kamu mau ngejaga aku demi hubungan kita.”

“Terus, konklusinya apa?” Tanyaku karena penjelasan Tiara masih sangat abu-abu di telingaku.

“Bagi aku, ini bukan tentang apa yang aku lakuin. Tapi ini semua tentang sama siapa aku ngelakuin ini. Meski aku tau ini emang udah terlalu jauh, tapi aku bisa tenang pas kita ciuman tadi karena aku tau aku ngelakuin ini sama orang yang bener-bener sayang sama aku.” Jelasnya.

“Tapi, untuk malem ini jangan lebih jauh dari ini, ya? Biarin waktu yang ngebawa alur hubungan kita.” Pintanya kepadaku.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku kembali menyosor bibirnya. Tentu Tiara begitu kaget dengan apa yang kulakukan. Namun perlahan, Tiara mulai merespons pagutanku.

Seperti yang Tiara minta, aku tak langsung membawa pergumulan kami terlalu cepat. Meski jiwa keperjakaanku sudah begitu menggebu-gebu untuk melampiaskan semua hasrat yang tak terbendung, aku tetap menjaga tempo dan memastikan Tiara tidak terkejut.

Pagutan demi pagutan, tempo mulai kami naikkan dan ciuman kami perlahan mulai meliar. Kami berpindah posisi dimana kini aku membawahi Tiara diantara kedua kakinya selagi kami terus berciuman. Kelamin kami pun bergesekan, dan gesekan itu nyaris membutakanku dengan nafsu karena mau bagaimanapun juga, gairah ini akan terus mendorongku untuk maju meski dengan sekuat iman aku menahan itu semua.

Tiara pun ikut merespon perpindahanku. Selagi kami berciuman, Tiara menjepit tubuhku dengan kakinya di punggungku membuat tubuhku semakin menindihnya dan dadaku menekan payudaranya. Hal ini sebenarnya semakin menyiksaku karena dorongan dari dalam diriku semakin kuat untuk menyentuh tempat terlarangnya.

Dengan beberapa gesekan yang terjadi, aku juga bisa melihat bahwa Tiara juga mulai bernafsu. Bahkan entah apa yang ia rasakan, tiba-tiba Tiara membuka hoodie yang ia kenakan dan kini aku bisa semakin jelas melihat lekukan tubuhnya yang ditutupi oleh kaos band Turnstile yang aku miliki.

Ini merupakan pertama kalinya aku melihat Tiara tanpa kerudung secara langsung. Betapa indahnya juga momen ini ketika pertama kali aku melihatnya seperti ini, kami sedang dibuai oleh kenikmatan yang tak ada duanya. Rambut hitam pekatnya terurai di atas kasur. Bentuk rambutnya yang bergelombang juga sangat memuji bentuk wajahnya. Ia juga tak mengenakan anting atau jenis aksesoris lainnya yang membuat kecantikannya semakin terasa murni.

Melihat pemandangan ini, aku melepas ciumanku dan memerhatikan momen langka yang disuguhkan di depanku. Tiara yang peka pun membiarkanku. Malah, ia terlihat salah tingkah ketika senyuman di wajahku tak pernah pudar selagi aku menatap wajahnya.

“Cantikan aku pake kerudung atau nggak?” Tanyanya.

“Aku cuma bisa bilang kalo aku mau jadi satu-satunya cowok yang bisa ngeliat kamu gak pake kerudung selain keluarga kamu.” Jawabku yang membuatnya semakin salah tingkah.

“Okay, my gatekeeper.”

Setelah itu, kami tak lanjut berciuman. Perlahan juga aku mulai menjatuhkan tubuhku di tubuhnya. Meski tanpa persetujuannya, aku membenamkan wajahku di gundukan payudaranya yang begitu mengundang kepalaku untuk tertidur diatasnya.

Meski awalnya Tiara agak canggung, perlahan ia mulai menemukan kenyamanan di tengah posisi kami. Tiara memelukku begitu erat, dan rambutku tak pernah lepas dari usapannya yang membuatku semakin nyaman.

“Dil,” ucapnya tiba-tiba.

“Apa ini juga terlalu cepet buat bilang kalo aku sayang banget sama kamu?”

“Aku sayang kamu juga, Ti.” jawabku tanpa benar-benar menjawab pertanyaannya, dan aku melihat senyumannya yang semakin melebar dan bahkan membuatnya meneteskan air mata.

Setelah menemukan ketenangan, aku bisa kembali peka dengan lingkungan sekitar. Rintikan air hujan sudah tidak terdengar di telingaku, dan kini kami dibalut dengan kesunyian di tengah kenyamanan ini.

“Ujannya udah reda, tuh.” Ucapku. “Mau aku anter pulang, nggak Ti? Mumpung masih jam segini.”

“Ih, bego banget aku kalo nyia-nyiain momen begini.” Jawabnya membuatku tertawa.

“Hahahahaha.” Tawaku pelan.

“Eh, Ti. Apa kita mau liat city-light di rooftop aja?”

“Lah, tau gitu mah mending kita liat dari kosan kamu aja.” Guraunya meledek.

“Lah, mana tau aku kalo kamu mau ke kosan aku. Mau nggak, nih?” Balasku sewot.

“Ayo, Dil. Sambil delivery makanan, yuk?” Ajaknya.

Setelah itu, kami menyegarkan diri melawan rasa kantuk. Aku juga langsung beranjak dari tubuhnya dan Tiara juga ikut bangkit dan mempersiapkan diri.

Aku yang kembali merasa kedingingan mengambil jaketku dan membawa beberapa batang rokok untuk kunikmati di atas nanti. Tiara pun kembali mengenakan hoodie yang ia lepas. Namun, alih-alih mengenakan kupluknya, Tiara mengambil jilbabnya yang tadi ia jemur.

“Kamu nggak papa pake jilbab masih basah gitu?” Tanyaku khawatir.

“Loh, kan kamu yang bilang kalo kamu nggak mau ada cowok lain yang ngeliat aku nggak pake hijab. Nanti kalo ketemu tetangga kamu gimana?” Jawabnya yang malah membuatku salah tingkah.

Aku yang luluh dengan ucapannya kembali menarik Tiara ke pelukanku. Aku kembali mencium bibirnya, dan kami yang sebenarnya sudah siap kembali berciuman mesra. Selagi kami berciuman, aku menarik tubuhnya ke kursi yang berada di samping kami.

Aku langsung menduduki kursiku, dan aku mengarahkan Tiara untuk duduk di pahaku tanpa melepas ciuman kami. Kami kembali berciuman liar. Tanganku kutumpukan di pinggangnya yang ramping, dan Tiara melingkarkan kedua tangannya di leherku.

Posisi ini membuat kelamin kami kembali bersentuhan, dan aku sudah tidak bisa menahan hasrat yang terlalu lama kupendam malam ini. Akupun memindahkan kedua tanganku mengarah kearah pantatnya yang bulat. Jelas Tiara begitu kaget ketika kedua tanganku berada di tempat yang tidak seharusnya. Namun sepertinya Tiara juga merasakan hal yang sama denganku.

Berbeda denganku yang pertama kali melakukan ini, Tiara sudah begitu lama tidak melakukan hubungan intim. Aku memang bukan ahli penguak perasaan, apalagi di bidang ini. Tapi yang kuterka, dengan apa yang Tiara lakukan dengan Raynel dulu dan sudah sangat lama semenjak kejadian itu, Tiara pasti memendam begitu banyak hasrat hingga akhirnya ia melepaskannya ketika bercumbu denganku.

Aksi Tiara juga mendukung pemikiranku tentang ini. Karena saat ini, Tiara memagut bibirku semakin liar. Genggamanku di pantatnya pun semakin kencang. Pantatnya yang lembek mengikat tanganku seperti gaya tarik magnet dan tak membuatku ingin melepas genggamannya disana. Meskipun begitu, aku yang masih memiliki sedikit kesadaran memberhentikan ciuman kami karena aku takut Tiara malah membuka luka lama yang sudah lama terkubur.

“Ti,” ucapku. “Ini gak papa aku megang-megang kamu?”

“It’s okay, sayang. Tapi janji sama aku nggak boleh lebih dari ini, ya?” Jawabnya menagih janji yang kami buat tadi sebelum kami kembali ciuman.

Setelah mendapatkan izin, tubuh Tiara menjadi tempat dengan akses terbuka bagi tanganku untuk berlabuh. Perlahan genggamanku berubah menjadi remasan-remasan kecil yang membuat kami semakin dibuai dengan gairah yang tak pernah kurasakan.

Remasan kecilku perlahan semakin meningkat. Cengkramanku selagi kami berciuman membuat Tiara semakin menggila menghajar bibirku. Aku yang ikut terlena juga melakukan hal yang lebih dimana kedua tanganku berlabuh di payudaranya.

Gumpalan daging ini bahkan membuatku semakin candu. Tanganku benar-benar tidak bisa lepas sedikitpun selagi bibir kami mengadu. Tiara juga membiarkanku memainkan kedua payudaranya, bahkan pada beberapa saat aku mendengar desahan pelan di sela-sela ciuman kami.

“Mmmhh… Ahhh…”

Setelah sekian lama, akhirnya Tiara melepas kedua tanganku dari payudaranya dan ciumannya.

“Dil, udah, yah. Aku takut kalo kita malah kelepasan malem ini.” Mohonnya kepadaku.

“Anything you want, Ti.” Jawabku membuatnya tersenyum. “Nanti malah nggak jadi ngeliat city-light juga kita.”

“Hahahaha. Yaudah, yuk sayang.”

Tiara pun menarik kedua tanganku dan kami beranjak keluar dari kamarku. Selagi kami berjalan menyusuri koridor, Tiara tak pernah melepas genggaman tangannya dariku. Ia pasti juga sudah sangat menunggu momen ini untuk kembali dengan orang yang tepat baginya.

Malam ini, kami menikmati indahnya malam Bandung bersama. Dengan Tiara yang selalu menempel denganku, kedinginan yang sebelumnya menyayat-nyayat kulitku sudah tidak kugubris berkat kehangatan yang ia berikan kepadaku.

Puas menikmati indahnya malam Bandung, kami pun kembali ke kamar tanpa menjauh sesentimeterpun. Tiara yang kini lebih terbuka denganku juga kembali membuka jilbabnya. Bahkan dia kembali menanyakanku terkait celana pendek yang tadi kukenakan. Melihat Tiara, bahkan perempuan yang dekat denganku sekalipun seperti ini, tentu menjadi sebuah pengalaman yang takkan pernah kulupakan. Tak mungkin juga aku berbohong bila Tiara semakin membuat senjataku terus menegak ketika melihat kulitnya yang begitu mulus terpampang di hadapanku.

Setelah mengganti pakaian, kami kembali ke ranjang dan kembali tidur berhadapan. Tentu saja, kami kembali berciuman sejenak tanpa ada batasan. Meski hari ini memang tidak sesuai dengan rencana yang kusiapkan, this would do just fine, if not, even better.

(To be Continued)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd