--------------------------------------------
Buatku, tidak ada hari yang lebih membahagiakan daripada hari ini.
Buatku, tidak ada momen yang lebih indah daripada penyatuan dua orang yang memang sudah bersumpah untuk saling setia.
Buatku, senyumnya hari ini adalah senyum yang paling cantik. Senyum paling cantik dari orang paling cantik yang pernah hadir di dalam hidupku.
Rekaman adegan tadi tergambar kembali di kepalaku, mulai dari melihatnya berdiri dengan anggunnya di hadapanku, dalam balutan baju pengantin berwarna coklat muda. Baju pengantin yang sederhana tapi indah. Aku sendiri memakai jas yang berwarna senada. Dan semuanya tampak cocok dengan baiknya.
Memoriku terasa seperti bergerak kembali di kepalaku dalam gerakan slow motion. Mulai dari kedatanganku ke area akad nikah, lalu melihat Kyoko yang begitu cantik muncul dihadapanku. Juga ketika melihatnya berjalan dengan anggun ke arahku, dan kemudian duduk bersama di depan penghulu, yang juga bertindak sebagai wali nikahnya.
Dan pada saat aku mengucapkan ucapan sakral itu, waktu mendadak berhenti. Ingatanku kembali ke semua momen yang pernah kami alami bersama, senang maupun sedih, lantas semua kelembutan dan kesabaran Kyoko ter-flashback di kepalaku. Aku menganggapnya sebagai pertanda. Pertanda bahwa semua ini memang tepat, tanpa cela dan tanpa kesalahan. Kyoko adalah istri dan teman hidup yang sempurna.
Kini lengannya melingkari tanganku, dan kami sedang berjalan ke tengah kerumunan tamu yang memancarkan aura kebahagiaan yang sama besarnya dengan yang kami rasakan. Tangan satunya menggenggam buket bunga sederhana yang ia pegang sedari tadi.
Hatiku terasa bergetar saat musik yang dimainkan oleh Jacob Manuhutu dan band pengiringnya berhenti. Dan jantungku lantas ikut berhenti ketika Jacob membisikkan kalimat yang menurutku ajaib itu ke microphone.
“Para tamu undangan, kita sambut pasangan pengantin kita yang berbahagia, Achmad Ariadi Gunawan – Arya, dan istrinya, Kyoko Kaede”
--------------------------------------------
Musik Jazz mengalun dengan indahnya mewarnai SUASANA. Aku duduk di sebuah kursi, dengan jas ku bertengger di punggung kursi. Kyoko duduk tak jauh dariku. Dia tampak sedang mengobrol dengan seru bersama teman-temannya yang memang khusus datang dari Jepang bersamanya.
Bisa kurasakan ada sosok yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku melirik ke samping. Stefan. Rambut panjangnya digerai dengan asal. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang coklat, dan dasi kupu-kupu yang berwarna coklat pula. Itu memang seragam yang dipakai oleh para personil Hantaman di pernikahanku, mirip dengan pakaian yang kukenakan, namun mereka tidak memakai jas dan suspender.
“Congrats” bisiknya.
“Lo udah kasih selamat tadi lho pas abis akad, kok ngasih selamat lagi haha….” senyumku sambil meneguk segelas air dingin.
“Well, gue udah ga bisa ngomong apa-apa lagi kan yang sifatnya nyetanin elo kalo lo udah kawin Ya… Jadi gue speechless hari ini..” senyumya. “Dan gue doain supaya lo ga jadi seperti orang yang gue bilang sebelom-sebelomnya”
“Amin”
“Itu Om Jaya-nya elo ya?” tanyanya sambil menunjuk ke salah satu meja. Dan Stefan menyalakan rokoknya.
“Iya, gue sempet khawatir dia kagak dateng, tapi akhirnya dateng juga” kami melihat ke arah Om Jaya Tejasukmana, guru gitar legendaris di kalangan musisi Jazz Jakarta, yang merupakan orang yang sangat berpengaruh pada karir musikku.
“Bagus, setanin dia supaya main di panggung Ya” bisik Stefan lagi.
“That’s my plan….”
“Eh setan, malah ngerokok di kawinan kakak gue” suara kesal Ai tiba-tiba terdengar dari belakang. Ai mengenakan strapless dress berwarna coklat muda, menyesuaikan dengan warna bajuku dan Kyoko.
“Lah, itu guru gitarnya kakak lo juga ngerokok” balas Stefan dengan nada ketus ke Ai.
“Dia kan udah sepuh, biarin lah…. Gak ada yang bisa ngelarang… Kalo elu tuh…”
“Lah ngatur-ngatur, yang kawinnya aja ga sewot, elunya rese…” potong Stefan.
“Kan gue adiknya yang kawin”
“Berantemmm mulu… Gue suruh nikah ntar kalian berdua lama-lama” tawaku melihat mereka berdua.
Dan sebelum sempat mereka membalas ledekanku, aku mendengar suara yang sangat familiar.
“Aya, here” panggil Kyoko mendadak, mengalihkan pandanganku dari adikku dan Stefan yang tampaknya siap untuk ronde ledek-ledekan diantara mereka berikutnya. Aku bangkit dari kursiku dan menghampiri Kyoko. Kami saling tersenyum. Musik dari panggung sudah selesai. Kyoko memanggilku karena kami memang harus naik ke panggung, untuk mengucapkan terimakasih kepada para tamu dan keluarga. Dan Kyoko harus melemparkan buket bunga ke arah para perempuan-perempuan single yang ada disini. Ritual standard pernikahan modern, tapi memang menarik untuk dijalankan.
Kyoko meraih tanganku dan dia lalu berdiri. Kami berjalan beriringan ke panggung, mengambil alih perhatian dari Jacob yang sudah sedari tadi menghibur kami semua. Tidak ada MC di pernikahan ini, dan semuanya berjalan natural tanpa Wedding Organizer yang biasanya bertindak sebagai time keeper. Hanya butuh dua orang yang repot malam ini, Dian dan Ai, dua orang perempuan hebat yang sangat berarti untukku.
“Assalamualaikum dan Selamat malam” bisikku dengan senyum yang penuh di atas panggung, dan para tamu serta keluarga menjawab salamku.
“Terimakasih semuanya sudah sempetin datang di pernikahan saya dan Kyoko yang sederhana ini” senyumku. “Saya dan Kyoko mau ngucapin terimakasih, buat semuanya, buat kalian…..” aku mendengarkan tepuk tangan yang hangat dari arah tamu.
Aku menatap ke arah ibuku yang duduk bersama keluarga besarku. “Mama, terimakasih selama ini sudah ngebesarin saya dan Ai jadi orang yang seperti sekarang ini, dan sekarang Arya udah berkeluarga, dengan lancar, dengan baik, mudah-mudahan kami berdua bisa ambil contoh kekuatan dan ketegaran dari Mama” Ah rasanya susah menahan haru. Aku menatap ibuku lama, dan dia sepertinya sangat memahami besarnya rasa terimakasihku padanya.
“Buat adik saya, Ai….” lanjutku setelah ibuku. Mereka berdua adalah orang-orang luar biasa yang memperkuat diriku selama ini. “Makasih sudah nemenin Mas-mu ini tumbuh sampe umur segini, dan kebahagiaan ini semua gak bakal lengkap tanpa kamu” Ai tertawa lebar menatapku dari jauh, merasakan kehangatan yang besar di resepsi pernikahan malam ini.
Mataku melihat hamparan tamu yang tidak banyak itu, tapi semuanya sungguh berarti untukku. Aku menarik nafas panjang. Lagi lagi nafas panjang, karena rasanya otakku benar-benar penuh dengan kata-kata.
“Keluarga besar dari keluarga papa dan mama… Terimakasih sudah bantu saya selama ini, tidak Cuma pernikahan ini aja, tapi semuanya, terutama sepupu-sepupu yang kompak, yang selalu bikin saya senyum kalau ingat kalian semua” aku menatap ke arah Dian dan suaminya, yang tampak serasi malam ini. Dan juga satu persatu muka om, tante, sepupu-sepupuku tampak muncul di mataku. Ya, ini saatnya juga membuktikan ke mereka kalau aku kedepannya tidak akan seperti ayahku.
“Kyou-Kun…. Nii..San… Doumo Arigato Gozaimashita…. Because of you, we’re together, because of you, all of this possible” senyumku ke arah pria Jepang itu, Kyoushiro Kaede, sang kakak ipar, yang tentunya tersenyum dan mengangkat gelasnya dari jauh untuk memberi selamat bagi kami, entah keberapa kalinya.
“Keluarga saya yang lain, Hantaman… Stefan, Anin dan Bagas – juga Sena” mereka berpencar, tapi aku dapat menangkap mereka semua dengan mataku. “Kalian bikin saya dewasa, kalian bikin saya jadi lebih hebat lagi, makasih, dan Anin, ditunggu kawinannya” ya, bisa ditebak, aku bicara seperti itu, dia langsung salah tingkah. Padahal Zee ada di Jepang sana. Aku juga memperhatikan senyuman Sena dan Stefan yang mengangkat gelas ke arahku. Entah gelas apa itu, di pernikahanku tidak ada minuman keras. Dan juga Bagas, yang tetap bermuka datar di samping istrinya yang sedang hamil.
“Temen-temen musisi, lingkungan saya tumbuh, makasih banyak….” bisa kulihat satu persatu wajah yang akrab, beberapa musisi Jazz, musisi Rock, dan pembuat ulah seperti Kang Bimo dan Kang Wira yang ditemani oleh Kang Giting.
“Temen-temen kuliah, halo…” aku menyapa ke arah kerumunan teman-teman kuliahku.
“Haloo” balas mereka dengan nada bahagia.
“Makasih buat kalian, dan gue tungguin undangannya Rendy ama Anggia” tunjukku ke mereka berdua yang disambut oleh tawa mereka.
“Juga Om Jaya, halo Om, sehat terus Om, nanti abis Kyoko lempar bunga naik panggung ya, saya penasaran banget pengen liat Om naik panggung sekaliiii aja dalam hidup saya, mudah-mudahan Om berkenan, dan makasih banget atas ilmunya dari jaman saya bocah sampe sekarang” Om Jaya tampak menekuk jidatnya dan tertawa tanpa suara, reaksinya atas todonganku untuk bermain di panggung. Beberapa orang tampak bertanya-tanya siapakah pria tua keturunan Tionghoa itu, terutama saudar-saudaraku.
“Dan terakhir, semuanya yang gak bisa saya sebut satu persatu, makasih…. Kalian semua teman dan keluarga yang hebat…” ucapan penutupku direspon oleh tepuk tangan lagi, tepuk tangan yang hangat dan memenuhi telingaku dengan nyamannya.
“Okei… Sekarang… Kyoko mau lempar… Bunga… Bagi perenpuan yang, singeru… ayo ke depan Panggung” bisik Kyoko di microphone dengan muka bersemu merah.
“Jangan malu-malu” bisikku sambil tertawa. Bisa kudengar suara-suara tamu mulai kasak-kusuk tampil ke depan. Ai maju duluan dengan tampang jumawa, mengangkat bahunya sambil menatap lucu ke arah aku dan Kyoko.
Lucu melihat sedikit demi sedikit para perempuan yang masih single maju ke depan panggung. Ada yang bersemangat, ada yang canggung, ada yang tarik-tarikan, saling bercanda. Ah, mereka serepot ini untuk sebuah ritual lempar buket bunga. Memang, menurut takhayul yang entah dari mana, siapapun yang bisa menangkapnya akan menikah selanjutnya. Kupikir mereka juga sudah kebelet ingin nikah, terutama yang maju dengan penuh semangat.
“Stefan gak maju?” tanyaku di microphone, yang disambut dengan tawa.
“Gue kan bukan cewek!” teriaknya.
“Gapapa maju aja, biar cepet kawin” tawa beberapa teman mengiringi reaksi Stefan yang menggeleng dan bahkan membakar rokok lagi.
Beberapa tamu undangan, sepupu dan teman kuliah yang belum menikah maju ke depan juga, menyusul mereka yang lebih bersemangat maju.
“Woi maju woi, biar cepet punya pacar” aku menyuruh Arwen yang ada di tengah-tengah tamu untuk maju. Dan dia tampaknya terpaksa maju dengan senyum lebarnya. Ya, dia datang, tidak dengan ditemani siapa-siapa, tidak membawa gandengan dan tidak juga dengan teman perempuan. Dia datang sendiri.
Setelah tampaknya tidak ada lagi yang maju. Kyoko lantas berbalik dan mengambil ancang-ancang. “Siap-siap” bisikku memberi aba-aba di microphone. Pemain drum langsung mengerti akan aba-aba itu dan lantas membuat drum roll sebagai penanda bahwa Kyoko sudah siap melempar buket bunga ke belakang.
Semua tamu diam, memperhatikan drum roll yang terus-terusan berbunyi.
Dan.
Suara simbal memekakkan telinga. Itu tanda Kyoko akan melempar. Dan sudah terjadi. Bisa kulihat betapa lucunya para perempuan yang berdandan itu saling berdesakan ingin mengambil bunga yang dilempar Kyoko. Aku melihat bunga itu turun perlahan ke kerumunan dan akhirnya sebuah tangan yang familiar meraih buket itu.
“Lah dia yang dapet!” suara Kang Bimo terdengar begitu nyaring malam itu.
“Hahaha” tawa Ai, sambil memeluk bunga itu dengan muka bahagianya.
“Lah adik saya sendiri” bisikku di microphone, yang disambut dengan tepuk tangan dan siulan tamu undangan. Muka Ai tampak begitu sumringah dengan keberhasilannya menangkap buket bunga.
“Berarti bakal ada kawinan lagi di keluarga ini dalam waktu dekat ya? Fan, siap-siap” ledekku dan Stefan terlihat mendengus kesal. Aku hanya tertawa saja tanpa suara melihat reaksi Stefan.
Kyoko melihat ke arahku dan mengangguk, aku juga mengangguk. Dia lantas turun sendiri dari panggung. Aku masih akan bicara sedikit.
“Jadi, lanjut yang tadi, permintaan saya untuk guru gitar saya tercinta….. Om Jaya, please maju Om, saya udah gak tahan pengen liat anda main” senyumku.
Om Jaya menggeleng-geleng dengan muka senyum kecutnya dan mematikan rokoknya di asbak. Dia lantas berjalan ke arah panggung dengan langkah tegapnya walaupun usianya sudah tua. Aku menyambutnya saat dia sudah naik ke atas panggung. Kami berdua bersalaman lantas berpelukan sejenak. Rasanya hangat, dan rasa penasaranku soal ilmunya yang selama ini hanya bisa kunikmati di ruang tamunya, kini sebentar lagi akan kudengarkan dan kunikmati dari sisi penonton.
Dia mendekati microphone setelah melepas pelukanku. Tangannya masih menggenggam bahuku, entah tanda ikut bahagia, ataukah tanda bangga.
“Jadi main apa saya?” tanyanya di microphone.
“Main gitar om” jawabku sambil senyum.
“Lagu apa maksudnya, kalo saya sih gak bisa main yang lain selain gitar” tawanya dan disambut oleh tawa-tawa kecil tamu yang medengar dialog di atas panggung itu.
“Terserah Om Jaya”
“Kok terserah saya, kan yang nyuruh kamu…” matanya memicing, seakan mencoba menjitakku dengan tatapannya.
“Lagu yang Om pikir cocok untuk hari ini aja, lagu yang kira-kira ada maknanya buat saya”
“Ah, ngerjain, oke lah…. Saya terima ajakan kamu untuk main sekarang…” jawab Om Jaya dengan muka setengah bercanda.
“Oke, ladies and gentlemen, Om Jaya Tejasukmana” Aku menyerahkan panggung ini ke Om Jaya. Tamu lantas bertepuk tangan lagi dan aku turun dari panggung, meninggalkan maestro tua itu sendiri di panggung.
Pemain gitar Jacob menerima aba-abaku dan menyerahkan gitar ke Om Jaya. Dengan agak enggan ia mengalungkan gitar itu dan lantas menarik kursi. Dia lantas duduk, dan beberapa orang membantunya menyetting amplifier dan menyesuaikan microphone agar dia mudah menjangkaunya.
Om Jaya lalu terlihat berbincang-bincang di panggung dengan Jacob. Tampaknya berembuk untuk penampilannya malam ini. Prosesnya cukup lama, mungkin sambil dia mendircet Jacob sedikit-sedikit, harus bagaimana nanti. Akhirnya Jacob mengangguk, dan menyingkir dari perbincangannya dengan Om Jaya, menggenggam kembali upright Bass nya, atau yang biasa dikenal sebagai Bass Betot oleh orang awam.
“Saya kayaknya dikerjain sama murid saya yang satu ini” ucapnya di microphone setelah proses rembuk selesai. “Jadi, saya ini gak pernah manggung-manggung, pernah dulu pas muda, tapi saya kan guru, ngapain manggung, ya kan?” para tamu tertawa kecil. “Ah, yasudah tapi, karena ini pernikahannya dia, dan mungkin saya sebentar lagi lewat, ya saya kabuli aja permintaannya….”
Dia mengambil nafas dalam dan melemaskan jari-jarinya.
Dan dia melanjutkan kalimatnya. “Saya sama Jacob aja ya mainnya, yang lainnya jangan ikut bunyi” senyumnya. “Dan saya mau cerita sedikit….”
“Saya mau cerita tentang pasangan hidup saya….. Istri saya, almarhum, yang meninggal sudah lama sekali…. Waktu saya umur berapa, 40an mungkin… Dan sekarang saya sudah agak lupa saya ulang tahun yang keberapa…. Haha..” dia menarik nafas panjang di sela-sela kalimatnya. Dia tampak menerawang jauh, mungkin mengingat-ngingat semua hal yang telah ia jalani sendirian selama ini.
“Saking lamanya dia pergi, sampai saya udah lupa rasanya sedih sendirian” tawanya kecil. “Saya lupa rasanya lonely malah”
“Dan saya gak pernah, kepikiran nikah lagi, cari istri… Nggak, Nggak pernah, walau anak-anak saya nyuruh, tapi saya gak pernah…” dia menatap cincin kawin yang masih melingkar di tangannya yang keriput.
“Bahkan saya gak pernah mau lepas cincin ini……”
Dia menarik nafas lagi, menaikkan volume gitar dan mulai bicara lagi.
“Alasannya mudah saja, seperti judul lagu ini – There Will Never Be Another You”
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Aku kini sudah di rumah. Berbaring dengan nyamannya di atas kasurku, memperhatikan langit-langit. Di benakku masih terbayang alunan gitar Om Jaya. Alunan gitar yang luar biasa lembut, dan menyejukkan hati.
There will never be another you. Ya, there will never be another Kyoko.
Kyoko lantas masuk ke kamarku, dan dia mengunci pintu kamar. Dia sudah mengenakan baju tidurnya yang lucu, yang tampak seperti sebuah t-shirt besar yang menutupi tubuhnya. Dia baru saja menyelesaikan ritual mandi, membersihkan diri setelah acara pernikahan yang menguras tenaga ini.
Kyoko duduk di sampingku dan tersenyum.
“Hai, suami” sapanya.
“Hai, istri” sapaku balik.
“Akhirnya ya” aku tersenyum dan memeluknya dari samping.
“Husband to waifu” tawanya dan dia beringsut masuk ke dalam pelukanku.
Kami berdua lantas berciuman ringan, sambil melepas lelah.
“Jyadi, Aya mau ajak Kyoko ke mana?” tanyanya.
“Besok sih kita nonton JJF ya” jawabku.
“Maksud Kyoko, Hanimun nya”
“Oh, ke Jogja, aku dah beli tiket, tadi sih…. enak jaman sekarang bisa beli pake apps ya…”
“Hai, tahu kan Jogja, tapi Jogja kemana saja, Kyoko sempat lihat-lihat Jogja, Browsing, banyak yang omoshiro di Jogja….” senyumnya.
“Kita liat lah kemana arah angin bawa kita ke Jogja nanti” jawabku.
Ya, honeymoon yang tidak terlalu dipersiapkan, tapi dengan spontan aku lantas tadi mengajaknya ke Jogja beberapa hari untuk melepaskan penat setelah rangkaian acara pernikahan, menjauh dulu dari studio dan musik yang beberapa waktu belakangan benar-benar menyita waktu dan pikiranku.
“Hai.. tapi kemana yang benar-benar menarik di Jogja?” lanjut Kyoko.
“Semuanya menarik kalo perginya sama kamu” balasku.
“Uso”
“Uso janaiyo…” aku mencium pipinya dan mempermainkan hidungku untuk membuatnya geli.
“Ahaha… Aya….”
“Sini” aku memeluknya dengan erat, sambil menarik tangannya dan memaksanya untuk mengusap-ngusap rambutku.
“Ah, Obochan” Kyoko Cuma tersenyum dan mengabulkan permintaanku untuk manja-manjaan. Aku tidak menjawab dan hanyut kedalam irama tangannya mengacak-ngacak dan mempermainkan rambutku. Aku memeluknya erat, dan membiarkan mukaku menempel di dadanya.
Kyoko, akhirnya resmi menjadi istriku. Mimpi macam apa ini? Pertama kali bertemu, masih kuingat, dia yang kaget melihatku tidur di lantai café miliknya dan kakaknya. Lalu seperti ingin memukulku dengan sapu. Lalu kencan pertama yang tidak jelas itu, karena mesin kopi rusak. Entah bagaimana, angin takdir membawa kami sampai jadi pasangan kekasih. Dan masih bisa kuingat dengan jelas, ciuman lembut kami di Tokyo Skytree yang begitu hangat. Belum lagi air matanya yang menetes saat kami berpisah sementara.
Lalu Fuji Rock, dengan kejadian super konyol yang isinya Zee dan dia berebut aku. Juga insiden yang berujung ke false positive tes kehamilan itu. Lalu kedatangannya ke Indonesia, hal-hal yang tidak mengenakkan dengan Kanaya, juga lamaranku yang diterimanya dengan bahagia pada saat pergantian tahun di Bandung.
Dan terakhir, rangkaian tur Hantaman di Jepang dengan segala carut-marut dunia persilatannya. Momen-momen manis dan juga hal-hal menyakitkan terjadi disana. Dan sekarang, dia sudah jadi Istriku. Perjalanan yang gila, dan tidak mungkin hal ini bisa kulupakan, ini pengalaman hidup yang luar biasa indah dan menariknya.
“Aya” bisik Kyoko.
“Hmm?”
“Aishiteru” dia lantas mencium rambutku. Aku beringsut naik dan mencium erat bibirnya tanpa aba-aba. Kyoko hanya bisa menerima ciumanku dengan reaksi kaget yang lucu. Memang lucu, suami istri, tapi istrinya kaget saat suaminya main cium.
Aku tidak ingin melepaskan ciumanku. Di kamar yang temaram itu, aku lantas melumat bibir Kyoko dengan hangatnya. Lucunya, aku bisa merasakan Kyoko tersenyum. Tersenyum dalam proses saling mencium itu.
Tidak bisa rasanya melepas pelukan ini, melepas ciuman ini. Rasanya kami berdua jadi satu. Tidak hanya suami istri, tapi satu badan. Ah, ini yang benar-benar kami berdua tunggu. Bersatu tidak hanya tempat dan waktu saja, tapi juga jiwa. Aku melepaskan ciumanku dan menatap matanya di dalam cahaya yang minim. Matanya terlihat begitu terang.
“Aya to Kyoko” bisiknya.
“Aku dan kamu” balasku.
Kami berciuman kembali. Larut dan lupa oleh waktu. Lupa akan semua hal yang ada disekitar kami, karena memang beginilah rasanya dimabuk cinta. Tanganku mendadak turun, mencoba menyentuh bagian lain selain pinggang. Aku meraba pahanya yang lembut, dan bergeser ke lututnya. Aku menarik kakinya agar sedikit melingkari kakiku. Kyoko juga melakukan hal yang mirip. Tangannya merayap dan menarik perutku agar menempel ke perutnya.
“Nanika?” tawanya.
“Nande?” balasku.
“Sore… Nanda?” tawanya sambil menunjuk dengan matanya.
“Kore?” aku menekankan badanku ke Kyoko, memberikannya pertanda bahwa ada sesuatu yang bangun dibawah sana.
“Ah, Aya” dia lantas melumat bibirku lagi, dan satu tangannya dengan cepat menggenggam benda yang tadi terasa oleh badannya saat kami berdua berpelukan. Ya, penisku sudah berdiri tegak akibat bermesraan dengan istriku sekarang.
Setelah memposisikan diriku agar ia bisa leluasa mempermainkannya, aku tak tahan lagi untuk masuk ke dalam baju tidurnya. Tanganku masuk lewat bawah, dan meraba yang bisa kuraba, merayap mulai dari paha, ke pantat dan pinggangnya. Sudah berapa kali aku menyentuh badannya yang benar-benar mulus itu, dan tak sedikitpun ada rasa bosan maupun rasa jenuh. Kyoko memang selalu menarik untuk dijelajahi.
“Mmmnnn….” bisiknya pelan di tengah beradunya kedua bibir kami. Kami tak henti-hentinya saling melumat dan saling merasakan dengan bibir kami. Kami tak ingin ini berhenti. Ini terlalu nyaman dan nikmat untuk kami.
Perlahan, aku mencoba meraba lagi, menyingkap sedikit baju tidurnya, agar aku bisa meraba buah dadanya dari dalam bajunya. Tapi gagal, bentuk baju tidur itu menghalangi pergerakan tanganku, sehingga aku putus asa, tapi aku lantas melakukan hal lain. Tanganku merayap kebawah, mengenggam celana dalamnya, dan mencoba menariknya.
Dia tak melawan.
Dia tak memberikan perlawanan sedikitpun, pasrah saat aku menarik, melepas dan menjadikan celana dalam itu tidak berada di tempatnya lagi. Dia bahkan mencoba beringsut, agar aku bisa dengan lancar membukanya tanpa harus kami menghentikan ciuman kami dan melepas pelukan kami. Tak berapa lama, aku mulai meraba langsung ke bagian intimnya, tanpa harus memberitahunya dengan gerakan-gerakan yang tak perlu.
Lembab. Dia pun merespon dengan menggenggam erat penisku. Kami saling meraba, dan ciuman kami tidak dapat dilepaskan. Terlalu nikmat, terlalu menghanyutkan dan terlalu nyaman.
Jari telunjukku bermain, menyentuh bibir vaginanya, dengan penuh kelembutakn. Bisa kurasakan bagian tubuh di sekitarnya bereaksi dengan pelan, sedikit bergetar walau dia menahan getarannya agar dia bisa terus-terusan menikmati ciuman yang masih kami pertahankan. Dia tidak ingin sentuhanku yang lain menghentikan kemesraan kedua bibir kami.
Tapi di satu sisi, dia terus menggenggam dan mengocok pelan penisku yang masih diselimuti oleh celana tidurku. Padahal dia bisa dengan mudah memintaku melepasnya atau berinisiatif sendiri. Tapi itu tidak semudah itu, dia harus rela melepaskan ciuman denganku dulu.
Jadi dia hanya bisa menstimulasiku dengan hanya menggenggamnya dan menyentuhnya di luar celana.
Aku yang sekarang mundur.
“Haha” tawaku melihat senyumnya yang penuh arti. Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, bahkan dengan tidak sabar, aku menurunkan celanaku dan membuangnya entah kemana. Kyoko juga sudah tidak bisa menunggu lagi. Dia menggenggam penisku dengan lembut dan mengocoknya pelan, sambil menatapku.
Aku bisa merasakan nafasnya memburu, dan kusentuh kembali bibir vaginanya yang tampaknya sudah siap. Dia sudah siap. Dia selalu siap untuk ini. Bahkan mungkin tidak perlu lagi banyak sentuhan yang tak perlu atau adegan-adegan biasanya. Dia sudah siap dan dia tersenyum.
Kudorong tubuhnya, agar tidur telentang dan aku menyingkap kedua pahanya. Aku bergerak, memposisikan diriku di depan kakinya yang terbuka. Dan dari sudut inilah dia terlihat begitu cantik. Pasrah, dan tanpa membuka baju tidurnya pun, dia sudah terlihat sangat seksi.
Penisku sudah berdiri tegak, melihat istriku membuka kedua kakinya, dengan badan masih tertutup oleh baju tidur yang menggemaskan itu, dan senyumnya yang mengundangku. Dan perlahan, aku menerima undangannya. Aku melepaskan t-shirtku sehingga aku telanjang bulat. Bisa kurasakan, aku semakin mendekat, dan ujung penisku menyentuh pintu masuk ke tubuhnya yang telah rela menerimaku.
“Ahhh…. Aya…” Kyoko merintih pelan, merasakan hangat dan nikmatnya saat tubuh kami berdua bersatu. Proses ciuman kami yang lama membuat segalanya menjadi mudah. Kakinya terbuka lebar, dan aku menggenggam pahanya, sambil menusukkan penisku perlahan, menikmati kehangatan ini.
Kyoko meringis, kenikmatan, menutup matanya, sambil tangannya meremas bantal yang jadi tempat bertumpu kepalanya. Dia berusaha untuk tidak bersuara malam ini. Aku terus menjadikan gerakanku sebagai sumber kenikmatannya. Kurasakan detak jantungnya, nafasnya, semua mengikuti gerakanku.
Hangat sekali rasanya. Kenikmatan menjalar perlahan, mematikan rasa di kepalaku, dan semua perhatianku hanya tertuju pada Kyoko. Kyoko yang sedang fokus merasakan kenikmatan yang diberikan oleh suaminya. Kenikmatan yang akan terus ia rasakan seumur hidupnya. Aku terus memompakan penisku dengan gerakan yang teratur, pelan, merasakan dinding vaginanya melumat penisku.
Dindingnya begitu terasa hangat dan lembut. Kulit pahanya terasa begitu halus, sehingga membuat tanganku secara tidak sadar merayap ke atas dan aku mencondongkan tubuhku. Aku menekankan penisku ke dalam vaginanya, saat aku merubah sedikit posisi tubuhku agar tanganku bisa meraih tubuhnya. Kyoko tersentak kaget sejenak, saat penisku makin menghunjam ke dalam lubang kewanitaannya.
Tanganku bertumpu di samping badannya, sambil tangan satunya mencoba meremas buah dadanya dari luar pakaiannya. Bibirku menyentuh lembut bibirnya, namu karena aku terlalu fokus bergerak dibawah sana, aku tak dapat melumatnya dengan maksimal. Aku merasakan nafas panasnya menyentuh mukaku. Aku bisa merasakan tubuhnya menggelinjang pelan merasakan kenikmatan. Perutnya kadang menegang, kadang ia juga menarik rambutku dengan kekuatan yang lemah, pertanda stimulus yang kuberikan benar-benar efektif.
Entah berapa lama aku menggerakkan batang penisku di dalam kehangatan tubuhnya. Rasanya benar-benar nyaman, dan bibir kami berdua kini bersentuhan. Tanganku sudah tidak mampu lagi untuk bertindak nakal, karena menjadi tumpuan tubuhku. Kyoko merintih tanpa suara, membisikkan padaku nafasnya.
Tidak, bukan Cuma nafas, tapi rasa nafsunya yang bergejolak di dalam tubuhnya.
Hawa panas yang keluar setiap ia bernafas menggambarkan betapa dia merasakan bahwa tubuhku memberikan kenikmatan yang luar biasa padanya.
“Aya…. “ bisiknya.
“Ya?”
Dia lantas mencoba memutar badannya, ingin mengambil alih kendali. Aku menahannya dan malah melumat bibirnya, memeluknya erat, merasakan buah dadanya yang lembut di pelukanku. Penisku bergerak dengan perlahan namun pasti, memberikan kenikmatan yang lebih pada dirinya.
Kyoko mencoba lagi untuk mengambil alih kendali, memposisikan badannya diatas. Tapi aku tidak menyerah. Aku suka dia detik ini. Aku suka caranya merespon rangsanganku. Aku suka pemberontakan-pemberontakan kecilnya yang lemah. Dan aku suka betapa nafasnya sudah semakin tidak beraturan, sudah tidak senada dengan gerakanku.
“Nggghhh” dia menggelinjang kecil, merasakan getaran yang terjadi di dalam vaginanya, menjalar membuat tubuhnya merasakan geli. Kepalanya terdongak, mulutnya terbuka lebar, meneriakkan kenikmatan dalam pelan. Matanya tertutup begitu rapat, dia melayang entah kemana sambil memelukku dengan dekapan yang lemah.
Akupun terlena, gerakanku makin kencang, perlahan namum pasti gerakannya semakin membuatnya merasakan nikmat.
Dan disitulah aku lengah. Kyoko mendadak bangkit, mencium hidungku dengan cepat, mengalihkan perhatianku. Dia lalu mendorong tubuhku dan aku kehilangan keseimbangan. Dia dengan cepat menaiki badanku yang ia paksa untuk tidur telentang. Aku menurut saja, aku sudah tidak bisa menahannya lagi.
Kyoko menduduki penisku, dan dia duduk dengan tegak. Pantatnya bergerak pelan, memutar dengan perlahan, memberikan rangsangan yang luar biasa pada batang penisku. Sudah tak tertahan lagi, rasanya, tapi Kyoko seperti ingin mempermainkanku. Dia lantas membuka baju tidurnya perlahan, sambil terus memutar pantatnya pelan.
Aku bisa melihat bentuk tubuhnya yang indah, buah dadanya yang bulat sempurna, menyempurnakan paras cantiknya yang benar-benar menggoda. Dia lalu meremas buah dadanya, seperti menggodaku, sambil terus mengocok penisku dengan gerakan tubuhnya.
“Nani o mimasuka?” tanyanya dengan nada mendesah.
“Kyoko….” bisikku menjawab. Dia menanyakan apakah yang aku lihat sekarang dengan mataku.
“Nani o mimasuka?”
“Kyoko… Watashi no… Ahh…” aku menggelinjang kegelian saat Kyoko menggerakkan pantatnya agar penisku menghunjam lebih dalam lagi.
Kyoko lantas menggetarkan badannya dengan luar biasa di atas tubuhku. Dia bergerak ke arahku. Dia lantas bertumpu dengan tangannya, untuk mendekatiku. Aku memeluk pinggangnya, membenamkan kepalaku di atas dadanya, merasakan badannya yang lembut, hangat dan luar biasa nikmat.
Kulit kami berdua bersentuhan, bersentuhan dengan lembutnya. Aku tak ingin membiarkannya bergerak sendiri. Aku juga menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya, dengan gerakan yang cepat dan dia juga melakukan tindakan yang sama. Kami saling menatap, dengan tatapan yang penuh nafsu dan kehangatan. Kami berdua bergetar, bersama, menyatukan badan kami. Kami berdua saling memberi kenikmatan yang menjalar, membuat kami mati rasa dan menjadi satu.
Ya, memang sebentar lagi terasa. Rasanya seperti sudah diujung tanduk. Aku tidak bisa lagi mengantisipasi ledakan yang akan terjadi. Kyoko pun melepaskannya, melepaskan semua penahan di dalam tubuhnya dan dia siap untuk merasakan kehangatan yang akan kuberikan kepadanya.
Pelan, namun pasti, perasaaan itu kurasakan. Penisku semakin mengeras, merasakan aliran darah terus menjalar kesana, membuatnya sangat tegang. Sementara badan Kyoko menjadi kaku, dia sepertinya berupaya agar tubuhnya tidak kaget saat orgasme itu tiba.
“Aya…” bisiknya dan rasanya dia menggigit bibirnya sendiri. “Ahh…” Badannya mendadak menjadi tegang, dan gerakannya menjadi tidak beraturan. Dia tidak bisa menahan dan mengatur ritmenya lagi.
“Aahh… Ahhh…” rintihnya, tak tertahan lagi. Badannya mendadak tersentak, dia berteriak tanpa suara. Berteriak dalam kenikmatan.
“Kyoko…. Aahhh…” aku tak bisa menahannya lagi. Kurasakan benda hangat keluar dari ujung penisku, di dalam lubang kewanitaan Kyoko.
Terjadilah. Cairan hangat itu meledak di dalam tubuh Kyoko. Kyoko pasti merasakan kenikmatan yang luar biasa karena dia terlihat terkejut dan tersentak. Matanya tertutup, nafasnya memburu, dan dia terlihat terpaku, karena ini pertama kali dalam hidupnya dia merasakannya. Merasakan seorang lelaki yang mencintainya melepaskan kehangatan di dalam dirinya. Kehangatan yang membutakan indra-indranya sejenak, ditengah puncak kenikmatannya.
Dia terbius, tak sadar dan tenggelam dalam kenikmatan.
“Aaaahhh………..” rintih Kyoko tak karuan, saat dia menegang, sambil merasakan spermaku mengalir di dalam tubuhnya. Pasti dia merasakan rasa hangat yang kini juga kurasakan. Bisa kurasakan kelembaban dinding vaginanya sekarang. Dia menggelinjang perlahan-lahan, seiring dengan rasa lemas yang kudapat.
Kami bersatu. Aku berada di dalam Kyoko. Dan rasanya begitu luar biasa. Kyoko sekarang tergolek lemas, sambil sedikit demi sedikit bergetar, bergetar merasakan hangatnya spermaku di dalam tubuhnya. Kami saling menatap dan saling berciuman dengan lemahnya, tanpa kuasa lagi melepas penisku dari dalam tubuhnya. Kami saling berpelukan, berciuman, dan saling merasakan bahwa kenikmatan telah datang. Kami merasakannya bersama, dan kini tidak ada penghalang lagi diantara diriku dan dirinya.
Tidak, kami tidak ingin melepaskan pelukan kami. Kami membiarkan badan kami tetap bersatu, dan merasakan bahwa diri kami tidak ingin berpisah selamanya. Kami saling menatap. Saling merasakan bahwa kami diciptakan untuk satu sama lain.
Kami diciptakan untuk bersama. Kyoko diciptakan untuk tinggal bersamaku. Aku diciptakan untuk tinggal bersama Kyoko. Kami berdua diciptakan untuk selalu berdua seumur hidup. Dan kami menyadari, bahwa malam ini kami telah membuktikan bahwa kami tidak bisa dipisahkan lagi seumur hidup.
Kyoko lantas tersenyum lemah padaku. Dia lalu membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa selama hidupku.
“Aya… itsumademo… Isshoni itai…”
I want to be with you forever…
Tentunya aku menginginkan hal yang sama. Dan bisa kurasakan bahwa hidup ini akan semakin ringan bersamanya. Dan kami berdua terbenam, malam itu, tenggelam bersama. Menjadi satu bersama.
“Pasti, kita akan berdua terus, gak akan pisah lagi…. Sampai tua, sampai mati” bisikku.
“Sampai mati”
“Sampai mati”
--------------------------------------------
BERSAMBUNG