Mengenang Senang (Lidya's Sidestory - END)
Dalam sebuah kamar yang tertata rapi dengan dominan warna putih. Ranjang dengan kelambu berwarna senada dengan tiang kayu kokoh. Aku dan Leon tengah duduk di tepi ranjang.
“Hai...”
“Hai juga...”
“Capek ya...”
“Iya...”
“Kok jadi grogi gini sih...”
“Padahal kita udah biasa ya kayak begini...”
Iya juga ya. Padahal kami sendiri tidak sekali dua kali berada dalam kamar tertutup. Suasana canggung mulai merasuk dalam diri kami masing-masing. Kemudian Leon menggenggam tanganku. “Sayang, anggap aja malam ini adalah saat pertama kali kita melakukannya. Hanya ada kita berdua saja. Jadi... tenang saja.” Ucap Leon seraya mengecup punggung tanganku. Leon pun mulai mendekatkan wajahnya padaku lalu menyambar bibirku. Aku sedikit tersentak. “Mmmmhhh... sebentar... Mmmhh...” aku menghentikan ciumannya di bibirku. “Kenapa, sayang?” Ku lihat raut kekecewaan di wajah Leon. “Enggak apa-apa sayang, aku bersih-bersih dulu. Kamu di sini aja. Malam masih panjang untuk kita, okay?” jelasku beralasan. “Huft... iya deh, enggak apa-apa. Aku bakal nunggu... istriku tersayang” katanya. Aku pun mengusap pipinya lembut dan mengecupnya. Kemudian aku berjalan menuju kamar mandi.
Aku menghapus riasan yang menempel pada kulitku beberapa jam ke belakang. Kemudian aku melepas gelungan rambutku dan menggerainya secara acak. Aku menatap cermin dan berkata “Tenang, Lidya... ini bukan pertama kalinya kamu melakukannya. Kamu sudah berjanji untuk membahagiakannya sampai selama-lamanya. Kamu bisa!” jujur aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku di malam pertama dengan status baruku sebagai istri seseorang. Namun harus aku usir jauh-jauh rasa gugup ini. Ya, kamu bisa.
Selanjutnya aku melepas kebaya dan kain batik yang aku kenakan selama acara tadi. Ku gantungkan sembarangan di hanger yang tersedia di kamar mandi. Begitu juga dengan pakaian dalamku. Ku nyalakan shower kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Segarnya air yang ku atur agar tidak terlalu dingin menyentuh tubuhku yang terekspos penuh tanpa ada penghalang apapun. Menenangkan syaraf dan perasaanku yang sudah tegang beberapa saat lalu. Segarnya aroma body foam yang kusapukan ke seluruh tubuhku semakin menyegarkan diriku. Tanpa satu sudut pun terlewat. Aku ingin Leon merasa nyaman dengan aroma kesegaran tubuhku. Tanpa berlama-lama aku segera membilas dan mengeringkan tubuhku. Tak lupa sedikit mem-blow dry rambutku yang juga basah. Ku lingkarkan handukku pada tubuhku. Ya, ini dia. Saatnya aku membuat suamiku bangga dengan diriku.
“Sayaaaang...” panggilku dengan nada manja sekeluarnya dari kamar mandi. Leon pun terkejut dari kesibukannya yang sedang memfokuskan diri pada handphonenya. Mungkin ia sedang membalas pesan-pesan ucapan selamat atas pernikahannya denganku. Aku pun mendekat ke arah ranjang perlahan. Ia sudah melepas jas hitam dan juga sepatunya. Ia melepas beberapa kancing atas kemejanya.
“Eh.. ha-hai udah beres bersih-bersihnya?” ujarnya terbata-bata.
“Lagi apa sayang?” tanyaku basa-basi
“Anu... eh... bales ucapan selamat dari temen-temen aja kok” ujarnya beralasan
“Kamu enggak mau gitu jemput istrinya gitu” godaku menantang kepekaannya. Ia hanya tersenyum membuang muka dan menggaruk-garuk kepalanya. Aku yakin ia sekarang sangat gugup dengan perlakuanku.
“Awww! Pelan-pelan sayang hahaha” aku setengah terkejut karena tiba-tiba ia bangkit dan menggendongku ke arah tepi ranjang. Kini aku berada dipangkuannya, dipeluk oleh lengan kekarnya. “Kamu kok nakal sih goda-goda aku begitu? Jangan bangunin Serigala yang lagi tidur ya?” candanya setengah mengancam. “Masa? Buktiin dong” tantangku balik sambil menyentil hidungnya.
“Ughhmm... Ahhhmm... Mmmmhhh”
Leon telah menyerbu bibirku. Mencari-cari lidah di dalam rongga mulutku dan berhasil menemukanya. Lidah kami begulat, menggeliat dan membelit satu sama lain. Kami saling meneguk liur kami masing-masing hasil dari ciuman panas kami. Aku yang makin panas dibuatnya makin menekan ciumannya, makin kuat mencecap liur yang terasa segar di kerongkonganku. Menjijikan? Tidak. Malah aku merasakan sensasi yang aneh dan makin membuatku makin terpacu untuk lebih panas lagi berciuman. Tangan Leon pun tidak tinggal diam menyentuh tubuhklu yang masih terbungkus oleh handuk.
“Mmmmh.... Mmmhhh... ough!” lenguhku saat ia meremas cukup keras payudara kiriku. Kini bibirnya telah berpindah pada leher jenjangku. Hembusan nafasnya yang tidak teratur terkadang menyapu kulitku, begitu juga lidahnya yang tak terhitung lagi ia menyapukannya ke seluruh sudut permukaan leherku yang makin membuatku melayang dan membuat logika berpikirku menjadi berhenti. Tidak ada kata benar dan salah saat ini. Yang ada hanya satu kata : Nikmat.
“Mmmmh... Harum banget sayang... uhmmmm” ucapnya sesaat ia menghirup dadaku yang tidak tertutup handuk. “Iya dong... ahhnn... biar kamu seneng sayang... ahhhh!” aku berteriak karena ia mengigit dan meninggalkan bekas merah kecil di leherku. “Aduh! Kok dijitak sih kepala aku?” protesnya karena aku menjitak kepalanya. “Jangan digigit bego! Kan malu kalo besok ketahuan sama orang” sergahku. “Salah sendiri bikin gemas hehehehe” ia terkekeh. Aku kembali menyambar bibirnya, menjelajah semua sudut rongga mulutnya dan memainkan lidahnya.
Will my tongue remember the taste of his lips?. Ya, pasti... karena aku menyukainya.
Leon melepas ciumanku yang mulai tidak terkontrol. “Mmm... ahhh... hhhh... Boleh dibuka enggak handuknya?” ujarnya meminta izin. “Boleh enggak ya? Mmmm...” balasku menggoda sambil berpura-pura berpikir. “Eh... eh... geli... hahaha... geli stop... ahahahahaha!” Leon menggelitiki ku bertubi-tubi. Membuatku hampir kehilangan keseimbangan dari posisi dudukku di atas paha Leon.
“Hayooo... aku gelitikin terus nih”
“Ahaha... iya iya berhenti dulu dong ah!”
Setelah ia berhenti menggelitikiku, ia pun bersiap menarik simpul handuk yang melingkar ditubuhku, namun ku hentikan... “Kenapa lagi? Aku gelitikin lag...”
“Sssst!” seperti biasa aku menutup mulutnya dengan telunjukku jika ia mulai bawel. “Kamu diem, biar aku yang buka sendiri”. Perlahan aku buka simpul ikatan handuk ku. Ku singkap pelan-pelan handuk yang melingkar dan akhirnya payudaraku terbuka bebas. Hanya ada Leon dan dinding dingin yang menyaksikannya. Leon menelan ludah entah karena memang tenggorokannya kering atau memang dia kagum dengan asetku yang berharga ini.
“Udah dibuka kok malah dianggurin, aku tutup lagi deh kalo gitu...” kataku seraya menutup kembali namun secepat kilat tangan Leon menahannya. Tiba-tiba ia mencaplok buah dada kiriku. Mencecapnya dengan kuat seakan ingin mengeluarkan air susunya, memainkan putingku dengan ujung lidahnya serta sedikit mengigit lembut. Tangan kirinya pun lantas tak tinggal diam. Ia meremasnya lembut. Bergantian ia melakukannya pada kedua sisi gunung kembarku. Aku rasa ia sangat menyukainya. “Oughh.... iyaaah... eggghh... i-iyaa disitu... terusss... ahhh” aku hanya bisa melenguh, mendesah, menjambak rambut dan memeluknya erat akibat perlakuannya.
“Mmhhhh... sayanggghh... aku nggak bisa nafashhhh...” Leon menggumam tidak jelas karena aku menekan kepalanya erat ke arah dadaku. “Ahhhh... maaf sayanghhh... abis enak bangetthhh” belaku tidak mau disalahkan.
Tidak terima dengan perlakuanku Tiba-tiba, “Ahhhh!” Leon membalikan tubuhku ke samping kiri dan kini aku telah berada di bawah tubuhnya. Leon seketika membuka kemeja lengan panjang berwarna putihnya. Aku rasa ia mulai kegerahan dengan
foreplay yang kami lakukan. Ia menduduki pahaku dan mengunci kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku. Ia menatap mataku dalam-dalam. Tatapan teduhnya malah membuat wajahku terasa panas.
“Apa sih sayang, jangan dilihatin gitu... aku malu...” kilahku seraya membuang pandangan ke arah samping.
“Kenapa harus malu? Tidak ada yang harus ditutup-tutupi lagi. Aku dan kamu telah menjadi kita” ucapnya yang kemudian mengecup bibirku. Kecupannya mulai turun ke arah dadaku. Aku memejamkan mata seketika menikmati segala bentuk cara ia mengekspresikan nafsu seksualnya. “Ahhh... jangan disitu sayanghhh... Emmhhh geliiihhh...” Leon mengelitiki ketiakku dengan Lidahnya. Kemudian aku merasakan sapuan lidahnya turun ke arah dadaku. Kembali ia mencecap kedua putingku. Kuncian di pergelangan tanganku telah terlepas, berpindah meremas kedua payudaraku. Lenguhanku makin menggila saat remasan dan lidahnya bermain di payudaraku. Setelah puas memainkan payudaraku yang sekal, lidahnya menyapu turun ke arah pusar. Ia sedikit bermain dengan lubang pusarku yang tentu saja membuatku kembali bergidik kegelian. Meski hanya sebentar, namun sensasinya sangat luar biasa diterima oleh otakku dan direspon oleh tubuhku. Aku teringat akan pelajaran Fisika tentang Hukum Gerak Newton Ketiga : Aksi akan selalu menghasilkan reaksi. Dan Leon membuktikannya. Tunggu, kenapa aku bisa memikirkan Teori Fisika saat bercinta?.
Tanpa ku duga, lidahnya telah sampai di depan mulut vaginaku. Ia mengecup-ngecup permukaannya sesekali. Hembusan nafas sesekali terasa menyapu permukaannya. Dan ahhhh... itu sangat menyiksaku. “Ahhh sayangggh, jangan gitu...” aku mengiba karena ia mulai mempermainkan gelegak nafsuku. “Jangan apa?” Tanya Leon menggodaku. “Auhhh kamu jahat sayanggggh... ayo buruan dijilat ahhhh....” aku memohon. “Dijilat apanya sayang?” kembali Leon menggodaku dengan sesekali menyentuh paha bagian dalamku. Aku gemas dengan kelakuannya “Dijilat dong sayanghhhh memek akuuuh...” aku sudah tidak memperdulikan kata-kata yang keluar dari mulutku.
I’m fuckin horny right now!
“Oh, bilang dong...”
“Ahmmmm iyahhh sayang... terussss... ahhhhh... augghhhkkk... Yeah keep it goin baby... Oh aku suka kamu mainin memek akuuuhhh... aaaah” aku mendesah tidak karuan. Racauanku sudah bisa terkontrol. Ini terlalu nikmat sayang. “Cleeep... Cleppp... cleppp” hanya itu bunyi yang aku dengar dari Leon yang berkarya di bawah sana.
Too much pleasure that I have to bare now. Tidak hanya lidahnya yang bermain cekatan di klitorisku, jarinya pun ikut membantu membuatku tersiksa dengan kenikmatan ini. Leon pun memasukan jari manisnya lagi dan mulai mengocok vaginaku. Vaginaku mulai becek. Suara kecipak terdengar. Aku mulai merasa ada sensasi geli yang mulai menyebar dari dalam vaginaku ke seluruh tubuh.
“Oughhh... sayaaaanggghh... a-aku... mau keluar... akkkkk...”
“Emmmhhh keluarin sayang... ehhhmmm”
“ARRGGGHH I’M COMINGGGHHH... AAKKKKKK! AAAAAHHH! AUUUH!!! AHHHH!!”
Aku mencapai orgasme pertamaku. Aku mengerang tanpa terkontrol. Pandanganku gelap seketika. Aku mengejang-ngejang ketika mengeluarkan cairan vaginaku. Aku didera kenikmatan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. “Hhhhh... ungghhh.... hahhh...” nafasku tersengal setelah orgasme itu. Aku hanya bisa memejamkan mata.
“Kamu istirahat dulu sayang,
you did a great job” ucap Leon yang telah berbaring di sampingku. Mengusap rambutku serta mengecup keningku. Ahh...
He treat me like I’m his queen. Ku rebahkan kepalaku di dada bidang Leon yang tidak terlapisi sehelai benang satu pun. Nafasnya mengalun seirama dengan detak jantungnya. Hanya nyaman yang aku rasa.
-o00o-
Nafasku mulai teratur, kesadaranku mulai kembali seperti semula setelah
foreplay yang kami lakukan tadi. Untuk beberapa menit aku merasa tidak ada di kamar ini. Ku lihat Leon memejamkan matanya sambil mengelus rambutku. Posisiku yang sedari tadi bersandar pada dada Leon, membuat aroma tubuhnya seketika tercium oleh hidungku dan membuat nafsuku kembali naik. Giliranku untuk memberikannya kepuasan.
Kusentuh area selangkangannya perlahan. Ku pijat lembut dari luar celana panjang hitamnya yang masih ia kenakan. Tak hanya menyentuh selangkangannya, aku juga menciumi dada dan bermain disekitaran puting Leon. Menanggapi perlakuanku, mau tak mau Leon pun tersadar dan membuka matanya lebar-lebar.
“Ahhhh... Sayang, kamu ugh... udah siap tempur lagi?” katanya sedikit melenguh tanda ia menikmati sentuhanku. Aku hanya tersenyum dan menyambar bibirnya. Sambil tetap memijat daerah selangkangannya yang mulai tercetak menggembung. Ku belit lidah Leon dan mengeluarkan segara jurus andalanku dalam berciuman. Aku tidak mempelajarinya bahkan aku tidak pernah menonton film biru. Semua hanya berdasar naluri dan rasa sayangku untuk memuaskan suamiku ini. Biar dia tahu bahwa hanya aku yang terbaik di antara wanita-wanita di luar sana sehingga dia tidak bisa macam-macam di luar sana.
Puas mencumbu bibirnya, kuarahkan kecupanku menuju perut lalu ke selangkangannya yang terlihat menyembul dari luar celananya.
“Iiih sayang, kasihan jagoan kecil kamu kegencet gini. Mau aku bantu lemesin enggak?” godaku manja.
“Ah, sayang kamu kok jadi nakal gini sih?” bingungnya yang makin membuatku lebih bernafsu lagi untuk menggodanya. “Aku kan nakal juga karena kamu hehehe” aku mengelak beralasan. Air mukanya sangat menunjukkan kegelisahan.
“Ughhh sayang, aku jangan disiksa gini dong, please?”
“Maunya diapain, sayang?” tanyaku sambil melepas ikat pinggangnya dan melepas celana panjangnya. Menyisakan celana dalamnya saja. Hmmm... sepertinya aku menikmati caraku menyiksa suamiku ini. “Please, Lidya... jangan kayak gini caranya” Semakin ia mengiba, semakin aku ingin menggodanya lebih. Ku kecup ujung kemaluannya yang menyembul dari balik celana dalamnya. “Mmmmmh... bilang dong, sayang... kamu mau aku ngapain?” sengaja aku memanjakan nada suaraku dan menyentuh ujung kemaluan dan buah zakarnya dengan ujung telunjukku. “Arggghhh... geli sayanggghhh... Iya, tolong sepongin kontol aku sayanggghhh... please!” seru Leon penuh penderitaan.
“Nah, gitu dong!” Sekejap penisnya meloncat setelah aku menurunkan celana dalamnya. “Ih, jagoan kecilnya nakal... hampir kena muka aku, ih!” ujarku pura-pura kesal sambil menyentil pelan ujungnya. “Auuuw! Sakit sayang”. Aku hanya bisa menahan tawaku melihat reaksinya. Aku sendiri tidak tahu kalau lelaki saat kemaluannya tegang, sentilan kecil pun bisa jadi siksaan luar biasa.
“Mmmmhhhh.... ughhh... auhhhmmm... slurrrppphhh” aku mengulum penisnya tanpa basa-basi. Ku keluarkan semua kemampua
oral sex-ku. Sesekali ku mainkan lidahku di ujung penisnya, mengorek lubang kencingnya dengan ujung lidahku. Sesekali ku kocok batang penisnya, kunaik turunkan genggaman mantabku pada batangnya sambil ku maju mundurkan isapanku. Liurku bagaikan pelumas yang memperlancar kocokanku. “Ahhhh... Iya sayanggg... arrrggghhh... Lidyahhh... terus begitu... enak banget sayanggghhh ough!”
Lenguhan dan ekspresi Leon membuatku makin bersemangat menjebol pertahanannya. Aku suka ekspresinya yang sangat menikmati kulumanku dan membuatku merasa Leon sudah dalam kendaliku. Ya,
oral sex buatku adalah cara terbaik mengontrol laki-laki. Mungkin dalam pikiran si lelaki, jika wanitanya mau meng-oral barangnya, mereka beranggapan bahwa merekalah sang penguasa. Namun sebenarnya, si wanitalah yang memegang kendalinya. Wanita bisa saja membuat lelaki keenakan sampai kelojotan, membuatnya merasa “kena tanggung” saat merasa akan orgasme... atau mengunyahnya seperti sosis cepat saji jika ia merasa sangat kesal.
Dear, our lovely men... don’t be so cocky.
“Ough... sayang, berenti, aku enggak mau kel-keluar mmmmh...” mendengar ia akan segera orgasme, aku mulai menaikkan level oralku. Aku menekan dalam-dalam penisnya masuk kerongkonganku. Makin cepat pula aku menaik turunkan kepalaku. “Stop sayanggghhh ah...” Ujar Leon sambil mengangkat kepalaku menghentikan aktivitas oralku.
“Mmmmhhh... Kenapa sayang? Enggak enak ya?” tanyaku pura-pura polos
“No, enak kok... tapi malam ini masih panjang, jadi kita nikmati saja momen-momennya” Halah, bilang aja enggak mau kalah waktu di-oral, dasar laki-laki banyak alasan. Leon pun merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Posisiku kini berada di atas tubuh Leon. Ia mencium bibirku sejenak. Meraba punggungku yang terekpos oleh udara dingin AC ruangan. “Kamu udah siap?” bisiknya lembut, menatap mataku dalam-dalam seolah menghipnotisku. “Kapan pun kamu mau, aku siap” jawabku mantab.
“Ahhh!” aku terpekik ketika Leon tiba-tiba membalik tubuhku dan membuatku berada tepat di bawahnya. Aku tersenyum sembari memegang kedua belah pipinya.
Leon kini mencengkeram kedua pergelangan tanganku dan memposisikannya di atas kepalaku. Ia menyeringai penuh keisengan lalu menggesek-gesekan ujung penisnya di antara belahan vaginaku dan menyentil klitorisku yang sedikit menonjol. “Emmmmh... kenapa enggak dimasukin sekalian sih... Ahhhh... ayo masukin... Enggghhh... Geli sayanghhhh...” Sial, Leon sengaja menggodaku dan itu berhasil membuatku gairahku makin naik. “Apanya yang dimasukin, hmmmm?” Tanya Leon retoris.
“Jangan iseng deh ahhhh... masukin cepet!”
“Jawab dulu pertanyaan aku, kamu mau apa yang dimasukin?” Tubuhku menggeliat tidak karuan. Curang, ia sengaja mencengkeram pergelangan tanganku agar aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu nakal, Leon.
“Uuuuughh... masukin sekarang sayang... mas-masukin kontol kamuuuh... ahhhh!” Dan penis Leon pun menghujam lubang vaginaku. Tubuh ku melinting seperti busur panah. Penisnya terasa memenuhi seluruh ruang yang ada dalam vaginaku. “Uhhhhmmm... ahhhhmmm” aku menggumam penuh kenikmatan saat Leon kembali mencumbuku. Ku rasa ia sengaja membuatku lebih bergairah lagi dengan mengulur waktu. Ia membiarkan penisnya tertancap, tidak segera menggoyangkan pinggulnya dan itu membuatku sangat tersiksa.
Will I remember the swing of his hips? Yes, I did. Even my shadows are remember it.
“Goyangin dong sayang... jahat ih!” aku merengek. “Enggak ah, aku mau lihat kamu blingsatan kayak cacing gini hahah”. Aku yang tidak terima dengan keisengan Leon, aku pun menggerakan otot vaginaku. Gerakannya seolah memijat penis Leon di dalamnya. “Ohhh... gila! Kamu apain kontol aku? Ughhh!” Leon pun mendesah.”. Mendapat rangsangan yang ku lakukan, Leon pun menggerakan pinggulnya perlahan.
“Ooohhh... Iya... terussss... Ahhhh...” aku mendesah ketika Leon mengayunkan pinggulnya perlahan. Aku pun mengimbanginya dengan melawan arah ayunannya. “Ahhhh... enak, yanghhhh...” Lenguh Leon sambil meremas kedua buah dadaku. “Cepetin lagi yanghhh... Oh, iyaa... engghhhhh” pintaku dan Leon pun menurutinya. Bunyi kecipak vaginaku nyaring terdengar seiring naiknya kecepatan goyangan Leon. Bunyi tumbukan selangkangan kami pun tak kalah nyaringnya. Membuatku makin bersemangat mengimbangi gerakannya. Leon mendekatkan wajahnya dan menyambar bibirku dan ku sambut dengan ciuman panas dan liar. “Hmmmmhh.... ngggghhh... Eeeeemhhh!!!” desahan tertahan tak terhindarkan di sela gempuran Leon pada vaginaku. Leon memeluk tubuhku, menciumi leher jenjangku, nafasnya yang memburu menyapu belakang tengkukku. Merinding aku dibuatnya hingg tapa sadar kakiku melingkar pada pinggangnya.
Puas dengan posisi misionaris, Leon menarik tubuhku. Aku yang tengah dibuai nafsu hanya menurutinya saja. Kini aku berada di pangkuannya. “Giliran kamu sayang yang gerak” perintah Leon. Aku pun segera menggerakan tubuhku naik turun, terkadang aku memvariasikan gerakan pinggulku dengan memutar pinggulku atau memaju mundurkannya. “Ougghhh sayanggghh... kamu hebat bangethhh... ahhhh!” Puji Leon saat aku menggoyang pinggulku layaknya penari perut. Merasa tidak ingin kalah denganku, Leon pun kembali menggerakan pinggulnya. Menghujamkan penisnya naik turun dengan kecepatan konstan. “Ah... ah... ah... ah... ah... oughhhmmmhh...” racauku seirama hujaman Leon di vaginaku. Aku hanya bisa pasrah memeluk Leon. “Arggggh! Sakit sayanghhh... auwww! Jangan digigit!” Leon mengaduh saat ku gigit pundaknya, meninggkalkan bekas merah. Aku sangat gemas dibuatnya karena kenikmatan surga dunia yang aku alami.
Bosan dengan posisi ini, aku pun mendorong tubuh Leon. Tindakanku ini membuatnya cukup terkejut. Tanpa melepas penisnya di vaginaku, aku memutar arah membelakangi Leon. Orang-orang menyebutnya “reverse cowgirl”, begitu yang aku temukan pada salah satu artikel internet. Bertumpukan dada bidang Leon, tanpa aba-aba, aku mulai menggerakan tubuhku naik turun.
“Hhhhhaaah... enggghh... engggghh... engghhh” desahku sesuai irama hujamanku pada selangkangan Leon. Aku meracau tak karuan, desahan memenuhi kamar, pendingin ruangan pun serasa tidak ada gunanya. Tangan Leon pun meremas pantatku. “Plak!” Leon sesekali menampar pantat sekalku. Bukan perih yang aku rasakan melainkan sensasi aneh yang makin membuatku makin liar. Kedua tangan Leon kini telah menangkup kedua buah dadaku. Meremasnya gemas layaknya boneka squishy. Leon pun mengimbangi hentakanku dan membuat kenikmatannya makin berlipat ganda. Perlahan sensasi gatal dari dalam vaginaku menyeruak, aku merasa akan segera orgasme.
“Sayanggghhh... akuuuhhh... ahhh... akuuuhh mau keluar... mmmmhh!”
“keluarin.... ayo keluarin... hnggghhh!”
Ku hentakkan pinggulku sekeras mungkin, begitu juga Leon yang makin cepat menusukkan penisnya, dan akhirnya...
“Aku keluaaar... arggggh! Nggggh! Ngggh! Ngghhh!”
Cairan orgasmeku memancar kencang. Tubuhku mengejang tidak karuan. Aku pun ambruk di atas tubuh Leon. Ia memeluk tubuhku sambil mengelus perut rataku. Leon mencari bibirku dan mencumbunya. Aku yang masih didera kenikmatan parah setelah orgasme, hanya pasrah mengikuti liukkan lidahnya. “Masih kuat?” desisnya singkat sambil memainkan kedua payudaraku. “Bentar, yanghhh... a-aku... masih lemes... ahhhh...” aku masih mengawang akibat orgasmeku. Otak dan tubuhku masih belum bisa berkoordinasi dengan semestinya. “Nggghhh... sayanghhh... jangan digerakin dulu... memek ahhh... aku... masih ngilu nih... nggghhh” pintaku manja pada Leon yang menggerakan pinggulnya. Meski pelan, vaginaku masih sensitif dengan rangsangan apapun. Itu menyiksa.
Namun Leon tidak menuruti permintaanku. Ia mendorong tubuhku ke depan dan memposisikan diriku untuk menungging. Leon kembali mengayunkan pinggangnya perlahan. Ujung jemarinya menyentuh punggungku, membentuk garis lurus naik dan turun. Sentuhan tidak penting ini pun membuatku kegelian. Lalu ia memegang pinggangku. “Angghhhh... bentar dulu yaaaangghh... ough!” aku memekik ketika ia kembali mengayun pinggulnya. Pelan... Pelan... dan perlahan ia menaikkan tempo sodokannya. “Hnggghhh... Oughhh... terus sayanghhh... harder please... Ahhhh... iya begitu... Awhhh!” nafsuku mulai bangkit lagi. “Plak! Plak! Plak!” beberapa kali Leon menampar pantatku dan meremasnya. Aku meraung dan mendesah dengan perlakuannya ini.
“Kamu suka, sayangghh... kalau aku tampar pantat kamu?”
Plak! Kembali tamparan mendarat mulus di pantatku yang entah seperti apa rupa kulit pantatku. “Augghhh! Iya sayangggghh... Ahh...” Otakku sudah tidak bisa aku percaya lagi. Ia mengirimkan sinyal yang berlawanan dengan logika normalku. Sodokan Leon semakin cepat dengan kecepatan konstan. Aku mulai merasa akan mencapai batasku. Oh, aku akan orgasme...
“Argghhh! Aku mau keluar lagi yaaaaanghhh! Ahhhhh... Eh... sayanghhh kenapa berhenti... Ahhhh... terusin...” Leon tiba-tiba menghentikan sodokannya dan melepas penisnya dari vaginaku “Aughhhh!” aku mengerang sesaat penisnya terlepas. Aku menatap penuh kekecewaan dan Leon hanya menyeringai penuh kemenangan. Sial!. Kena tanggung.
Leon tiba-tiba menjatuhkan dirinya kesamping lalu memiringkan tubuhku. Mengangkat paha kiriku sedikit dan mengarahkan penisnya ke selangkanganku yang sudah lembab sedari tadi. Ia berusaha mencari lubang vaginaku...
“Ahhhh... iya... terusin...”
“Yakin mau diterusin?” Leon kembali menggodaku. Entah kenapa dia jadi sangat menyebalkan di saat-saat seperti ini. Mungkin ia membalas dendam perlakuanku tadi saat awal pemanasan tadi.
“Kamu kok jadi brengsek gini sih? Ayoooo... terusin lagi... gue kentang bego!” aku mengutuk Leon.
“Hehehe... salah sendiri tadi ngerjain aku. Sekarang kena sendiri kan? Enggak enak kan?”
“Ah, bodo! Terusin enggak? Atau...”
“Atau apa?”
“Ahhhh! Nyebelin ih, ayo dong terusin sodokannya?” aku memohonnya kembali, bahkan kini pantatku yang bergoyang sendiri, namun rasanya tidak nyaman dalam posisi menyendok seperti ini. Ruang gerakku menjadi terbatas.
“Gini? Engghhh...” Leon hanya sekali menghujamkan penisnya. Dan aku makin dibuatnya belingsatan.
“Jahat! Ahhhh... yang bener dong!”
Sekali lagi ia menghujamkan penisnya... Dua... Tiga... Empat... perlahan... ia mulai menaikkan tempo sodokannya...
“Hhhngghhh! Oh... yes.... Oh my God... Iya... ya... ya.... auhhh! Dalemin lagi sayanggghhh... Oughhh terus... emut terus toket akuuhhh ahhhh it feel so good! Auhhh fuck!” Racauanku kembali menggema di seluruh penjuru kamar. Leon menyedot kuat puting payudaraku yang sudah mengacung keras. Tangan kirinya menggosok klitorisku saat ia menghujamkan penisnya dalam-dalam di lubang vaginaku. Aku hanya berharap kamar di lantai 2 villa ini kedap suara.
Dan gelombang orgasmeku mulai datang. “Hhhhh... aku mau keluar sayanghhh... aku mau keluarrrr... ahhhh!!”
“Tunggu sayangghhh... hhhh... aku juga mau keluar” ujar Leon seraya bangkit. Tanpa melepas penisnya, Leon mengangkat kaki kiriku melewati kepalanya. Dan otomatis Leon sudah berada di atas tubuhku. Leon mengalungkan kedua kaki jenjangku di pundaknya. Ia mendorong tubuhnya ke arahku dan membuat tubuhku seperti terlipat.
“Hhhhhh iyaaaah... terus cepetin... lebih dalem lagi... bentar lagi aku keluar sayangggh!” pintaku yang dituruti oleh Leon. Posisi kami saat ini membuatku makin kesetanan. Penisnya terasa menyentuh bagian terdalam rahimku. Ah... ini... kenikmatan ini sangat menyiksaku. Aku sudah tidak tahan lagi!.
“Oughhhh yangghhh ah! Aku... a-akuu... Ahhhhh!”
Cret! Cret! Cret Cret! Cret!
Cairan orgasme menyembur beberapa kali. Tubuhku kaku dan mengejan-ngejan. Pandanganku mengabur. Aku mendesah tanpa suara.
“Lidyaaargghh! I’m cumming! Ahhh! Ahhhh! Nggghhh! Nggghhh! Mmmmh!”
Leon pun menyusulku. Menembakkan pejunya beberapa kali di dalam vaginaku. Rasa hangat terasa menyentuh bagian dalam vaginaku. Leon menghujamkan dalam-dalam penisnya setiap ia menembakkan pejunya dan tak pelak mebuatku terlonjak-lonjak. Ini terlalu nikmat. Dan Leon ambruk di atas tubuhku...
“Hhhh... hhhh... hhhh...” nafas kami memburu. Bagaikan habis berlomba lari jarak pendek. Keringat telah membasahi kulit kami berdua, menimbulkan rasa lengket ketika mereka bersentuhan. Aku memeluk tubuh Leon dan menyilangkan kakiku di pinggangnya. Membiarkan penisnya tertancap di vaginaku untuk beberapa saat. Aku menenangkannya yang tengah bersandar di dadaku. Ku sisir rambut lurusnya yang sudah basah karena keringat dengan jemariku. Aku mencium keningnya.
“Terima kasih sayang... hhh... That was a wild ride” Pujiku pada Leon.
“Kamu juga hebat sayang... Aku enggak pernah selelah ini...” balasnya dengan tatapan sayu. Tiba-tiba Leon ingin bangkit dari posisinya sekarang. Namun aku menahannya. “Tunggu sayangggh... Biarin aku peluk kamu sebentar lagi...” Ia tersenyum. Namun ia tidak menuruti permintaanku. “Ahhhh... pelan sayangghh” pekikku ketika penisnya terlepas. Vaginaku masih terasa sensitif setelah permainan panas tadi yang entah berapa lama kami lakukan. Cairan sperma yang bercampur dengan cairan cintaku pun mengalir dari lubang vaginaku.
Leon bergeser dan berbaring di sampingku dan mengambil selimut. Ia pun menyelimut menyelimuti tubuh kami dan merapatkan dirinya padaku. Mendekap penuh kasih sayang.
“Kamu enggak perlu meluk aku... aku yang akan meluk kamu terus. Karena aku yang sepatutnya melindungi kamu, memberi kamu kehangatan dan membuat kamu bahagia...” ucapnya seraya mengenggam tanganku, mengisi sela jemariku yang diciptakan untuknya. “Kamu enggak usah repot-repot merindukan aku, karena pasti aku akan selalu ada sama kamu. Tepat di samping kamu, dalam keadaan apapun.” Aku terharu dan hampir meneteskan air mata. Leon mengusap air mataku yang menggenang di ujung kelopak mataku. “Enggak akan ada air mata kesedihan, karena aku enggak suka kamu sedih. Okay?”. Ujarnya lalu mencium keningku. Aku pun semakin merapatkan tubuhku pada Leon. Memasrahkan segala keadaan pada waktu dan menjadi wanita yang seutuhnya mencintai Leon. Aku adalah bahagianya, dan dia adalah bahagiaku.
“Sayang...” panggilku lirih sambil menatapnya
“Iya...” responnya penuh ketulusan dan kehangatan yang menyengat relung hatiku.
“Bisa nyanyiin aku satu lagu?”
“Lagu apa?”
“Apa aja, aku mau denger kamu nyanyi sebelum aku tidur”
“Hmmmm... Okay...” Leon pun melantunkan lirik dari sebuah lagu klasik dari musisi legendaris. Hangat tubuh Leon pun membuatku nyaman. Nada yang terlantun membuaiku untuk bersiap menuju alam mimpi. Dan semoga ini bukanlah mimpi yang menghilang saat aku terbangun.
-o00o-
Tahukah ketika kamu tiba-tiba menyadari kamu terbangun di samping orang lain yang menjadi pasanganmu selamanya setiap pagi? Melihat wajahnya saat masih terlelap dengan iler di ujung mulutnya? Rasanya aneh. Seketika kamu merasa tidak menyangka bahwa ia akan selalu ada di pagi hari setiap kamu membuka mata. Tapi rasanya bahagia. Kebahagiaan yang bisa kamu rasakan seumur hidup.
Namun kali ini berbeda. Aku terbangun di tengah malam menjelang dini hari. Waktu yang seharusnya aku masih terlelap.
“Yah, bangun!” ku goyangkan tubuh Leon.
“Ehhhhm... Kenapa sayang?”
“Perut aku rasanya mules banget nih, kayaknya udah waktunya nih...”
“Hah? Waduh... Kamu tunggu dulu. Aku siapin semuanya” Leon melompat dari kasur. Ia membuka lemari dan mengambil travel bag yang berisi perlengkapan untuk aku melahirkan dan bergegas mempersiapkan mobil untuk menuju rumah sakit.
Ya, aku sudah hamil dan akan segera melahirkan. Semua sudah dipersiapkan dengan terencana. Leon mempersiapkannya baik perlengkapan, rumah sakit di mana aku harus melahirkan dan lain sebagainya. Ia sangat siaga.
Selang beberapa lama, Leon menghampiriku yang tengah menahan mulas di perut. “Tenang ya, sayang... semuanya pasti lancar” Ia mencoba menenangkan aku yang tengah kesakitan. Leon sangat berhati-hati menuntunku menuju mobil sambil menelepon pihak rumah sakit. Berat rasanya menahan sakit dan membawa beban berat tubuhku.
“Aduh, yah! Sakit banget! Aku enggak tahan...” Aku mengerang di dalam mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan yang lengang. Aku merasakan ada sesuatu yang menggenang di jok mobil. “Yah, cepetan... kayaknya ketuban aku pecah” sahutku panik. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anak pertamaku ini. “Tahan sedikit, sayang... bentar lagi nyampe kok” jawab Leon berusaha menenangkanku. Perutku rasanya sangat melilit, ditambah gerakan anakku yang sesekali menendang di dalam perutku. Sabar ya, nak... sebenatar lagi kamu akan lahir. Leon pun tidak bisa menyembunyikan kepanikannya melihat keadaanku sekarang. Aku juga sedikit khawatir melihatnya kerepotan saat mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sambil menelepon orang tuaku untuk mengabarkan keadaanku saat ini.
Tak lama, sampailah kami di rumah sakit yang kami tuju. “Tunggu sebentar sayang, aku panggil perawat jaga dulu...” ucapnya sebelum ia berlari menuju resepsionis. Tak lama setelah itu, Leon telah bersama perawat yang mebawa kursi roda. Leon berhati-hati memapahku dari kursi penumpang dan membantuku duduk di kursi roda. Selanjutnya perawat membawaku ke kamar perawatan. Di kamar perawatan, dokter sedang memeriksa keadaanku yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Dibantu dengan seorang perawat, ia memeriksa tekanan darahku dan segala sesuatu, tak lupa menanyakan apa yang aku rasakan saat ini dan dokter pun memutuskan untuk segera melakukan proses persalinan. “Bagaimana, dok? Istri saya sudah bisa dilakukan persalinan?” tanya Leon ingin tahu. “Ya, Pak... Istri bapak harus segera melakukan persalinan. Dikarenakan air ketubannya sudah pecah, jadi harus segera dilakukan penanganan... Mbak, Lidya... Sabar sedikit ya, kami sedang menyiapkan ruang bersalin untuk anda. Jadi, saya mohon mbak untuk tenang ya... saya tinggal dulu untuk bersiap-siap” tukas sang Dokter meninggalkan kamar perawatan, diikuti oleh perawat yang membantunya tadi.
“Lidya...” Panggil seseorang dari ambang pintu tak lama berselang setelah dokter keluar.
Rupanya ibu dan ayahku yang datang. “Gimana keadaan kamu, nak?” Tanya ibuku khawatir. “Rasanya sakit banget, bu...” balasku lemah. “Tenang ya nak, semua pasti akan lancar. Ibu bakal di sini temenin kamu. Kamu yang kuat ya nak... demi anak kamu ini” kata ibuku sambil mengelus perut buncitku. “Bu, maafin aku kalau aku suka bikin ibu kesel. Sekarang aku tahu rasanya jadi ibu dulu...” sesalku saat mengingat semua kesalahanku sebelum ini. Aku tidak percaya karma, tetapi aku percaya bahwa kita suatu saat akan mendapat buah dari apa yang kita perbuat selama kita hidup. Baik sengaja atau tidak sengaja.
“Enggak apa-apa nak, ibu udah maafin semua sebelum kamu minta maaf...” Ibu memelukku. Seketika aku merasa tenang di tengah kesakitanku menjelang persalinan. “... Sekarang kamu harus berjuang, nak... Tuhan pasti kasih jalan untuk umat-Nya yang berjuang dengan segala keikhlasan” ujar ibu menyemangatiku. “Kamu bisa, sayang... Kamu calon ibu yang hebat” sahut ayahku tenang meski aku melihat raut mukanya yang tegang. Leon sedari tadi tidak bergeming dari posisi duduknya. Ia terus menggenggam tanganku. Aku menatapnya. Senyumannya membuatku makin merasa tenang dan semakin kuat menghadapi salah satu fase terbaik dalam hidupku. Menjadi seorang ibu.
“Permisi, Maaf... Ruang bersalin sudah siap. Jadi, Bu Lidya harus segera menyiapkan diri untuk proses persalinan...” Sahut perawat yang telah membawa tempat tidur dorong. Tak perlu waktu lama, dibantu oleh Leon dan ayahku memapahku ke tempat tidur dorong, untuk segera menuju ruang bersalin. “Nak, kita harus berjuang Kamu harus melihat betapa gantengnya ayah kamu.” Batinku pada buah hatiku yang tak sabar untuk segera lahir ini. Aku yakin ia merasakannya.
-o00o-
Dalam sebuah ruangan berdinding putih berhiaskan pernak-pernik khas anak-anak, dikelilingi alat-alat kedokteran yang tidak bisa dijelaskan satu per satu kegunaannya. Teriakan dan isakan tangis menggema hampir di seluruh sudut ruangan.
“Iya bu, terus dorong...” Perintah dokter memberi arahan. “Nnghhhhh! Hhhh! Aku enggak kuat... arrrghh!” aku mengerang kesakitan. Sudah hampir satu jam aku berusaha menahan sakit yang tidak bisa diterima oleh otakku. Bertaruh nyawa menjalani proses kelahiran yang sangat menyiksa ini. “Terus sayang, kamu pasti bisa, tahan sebentar ya...” Leon sedari tadi menyemangatiku, sesekali ia menyeka keringatku yang terus menerus keluar dari pori-pori kulitku. Ia setia menggenggam tanganku yang terus menerus aku remas sekuat tenaga. Kuku jemariku menancap dalam di kulit Leon karenaku. Aku sudah hampir kehabisan tenaga. Aku sangat lelah...
“Sekali lagi, bu... siap-siap mendorong setelah aba-aba saya... ambil nafas... 1... 2... 3... dorong!”
“Hnggghhh!!!” Sekuat tenaga aku mengejan. Semua dorongan aku fokuskan ke bagian bawahku.
“Kepala bayi sudah keluar, bu... satu dorongan lagi... 1... 2... 3... dorong yang kuat!”
Ku kerahkan semua tenaga yang tersisa dari diriku. Cengkeraman tanganku makin kuat pada tangan Leon. Aku merasa ada sesuatu yang keluar dari rahimku dan akhirnya...
Seorang bayi mungil telah lahir.
Aku terpejam beberapa saat. Rasanya nyawaku sudah berada di ujung tenggorokanku ketika anakku lahir. Lelah yang teramat sangat mendera tubuhku. Semua bebanku serasa diangkat begitu saja. Perasaanku campur aduk. Haru, bahagia, senang... tidak bisa aku ungkapkan. “Great job, honey... You’re doing a great job” tukas Leon setengah terisak.
Aku tidak sabar ingin melihat wajahnya untuk pertama kali. “Dok... Saya mau lihat anak saya...” Ucapku pada sang dokter. Tapi dokter tidak bergeming. “Dok... saya ingin lihat anak saya...” Dokter tampak menepuk-nepuk punggung anakku.
“Dok... Anak saya kenapa?” aku merasa ada yang aneh.
“Bu, tenang sebentar ya, dokter sedang melakukan perawatan pertama untuk anak ibu...” sahut seorang suster menenangkan. Aku tidak yakin. Aku ini ibunya. Aku yang mengandungnya selama 9 bulan. Aku lebih tahu!.
“Tolong, suster... saya mau lihat anak saya!” emosiku mulai memuncak. Aku sudah tidak peduli dengan keadaanku sekarang. Yang aku inginkan hanya anakku!. “Tenang sayang... tenang! Dokter sedang berusaha menolong. Kamu tenang” Aku tidak bisa tenang lagi ketika dokter memberi nafas buatan melalui sebuah alat yang tidak aku ketahui apa namanya. “Anak kita mas! Tolong... aku mau lihat anak kita mas!” aku berteriak sekuat yang aku bisa. Tangisku sudah bisa aku tahan. Nak, ayo... kamu pasti bisa!.
“Mbak Lidya... Kami sudah berusaha sekeras mungkin, tetapi... Tuhan berkehendak lain... saya turut berduka”
“Enggak dok... Enggak mungkin, tolong anak saya dok... saya mohon!”
Aku memberontak seketika. Namun Leon menahanku. “Mas... anak kita...” aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Leon. Ini tidak adil... sangat tidak adil. Kebahagiaanku seharusnya lengkap dengan adanya anak kami.
“Dok, boleh saya menggendong anak saya?” Ujar Leon tiba-tiba. Dokter pun menyetujuinya. Dibantu seorang suster, Leon telah menggendong bayi kami. Ia pun mendekatkan sang bayi padaku. Seorang bayi perempuan yan mungil dan tidak berdosa. Aku memegang jemari kecilnya. Jemari yang seharusnya bisa ku genggam saat berjalan di tengah taman kota. Jemari yang seharusnya membelaiku di saat aku sudah mulai renta.
The other night dear, as I lay sleeping
I dreamed I held you in my arms
But when I awoke, dear, I was mistaken
So I bowed my head and I cried
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away
Lagu ini.. Lagu yang dinyanyikan Leon saat malam pertama kali. Dan ia melantunkannya kembali untuk anaknya. Lirik demi lirik ia lantunkan dengan sangat tulus. Suara rendah hangatnya yang mirip sang penyanyi, Johnny Cash.
I'll always love you and make you happy
If you will only say the same
But if you leave me and love another
You'll regret it all some day:
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away
“Tuhan... Jangan ambil mentariku” batinku memohon. Ia pelengkap kebahagaiaanku. Aku telah jatuh cinta sejak ia dalam rahimku. Aku teringat betapa aku sangat menjaga baik-baik dirinya dalam kandungan. Betapa aku sangat mencintainya meski setiap jam ia berpolah di dalam perutku.
You told me once, dear, you really loved me
And no one else could come between
But now you've left me and love another;
You have shattered all of my dreams:
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away
Tiba-tiba, sesuatu meremas telunjukku dengan lembut. Ku lihat tangan mungil itu bergerak di atas telunjuku yang terselip di bawah telapak tangannya. “Mas, teruskan bernyanyi...” tukasku. Leon yang menyadari tanda-tanda kehidupan dari anak kami, tetap meneruskan nyanyiannya.
In all my dreams, dear, you seem to leave me
When I awake my poor heart pains
So when you come back and make me happy
I'll forgive you dear, I'll take all the blame
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away
“Nnghhh... Oeeeek! Oeeeek!”
Tangis seorang bayi pun pecah memenuhi ruangan yang sedari tadi terasa kelabu. Sebuah keajaiban terjadi di sini. Entah dari mana keajaiban itu datang. Anak kami hidup kembali dari jeratan maut. Terdengar tidak mungkin tapi ini terjadi. Dokter dan Suster-suster yang membantu kami pun tidak percaya dengan apa yang terjadi. Perasaanku sudah tidak bisa aku gambarkan lagi.
“Mungkin dia keganggu sama suara aku kali ya makanya dia bangun” gurau Leon yang sebenarnya punya karakter suara yang layak untuk masuk dapur rekaman. “Ini, kamu yang gendong sekarang”. Leon menyerahkan anakku ke dalam gendonganku. Ku dekap lembut dirinya yang masih bingung dengan apa yang ia lihat sekarang.
“Mau kita namain siapa anak kita?” sahutku.
“Hmmm siapa ya...” Leon berpikir sejenak. “Bagaimana kalau Leonidya, gabungan dari nama kita... Leon dan Lidya? Nama lengkapnya Leonidya Putri Wira Atmadja”
“Ide bagus... Hai, Leoni. Selamat datang di dunia” ucapku pada Leoni. Dan lengkaplah sudah kebahagiaan hidupku. Aku, Leon dan Leoni.
-o00o-
“Hmmm... ternyata hidup kita berwarna juga ya. Banyak kejadian yang ajaib terjadi” Ungkap Leon. Aku mengamininya. Terlalu keajaiban yang tidak bisa dijelaskan dengan logika normal manusia. “Aku bersyukur semua halangan telah kita lewati. Dan sekarang sudah ada Leoni yang melengkapi hidup kita” tukasku. “Ehemmm... Kamu ga mau nambah satu lagi kebahagiaan kita?” sahut Leon. “Hah? Maksudnya?” aku kebingungan dengan apa yang Leon maksud. “Ya... ngasih adik buat Leoni gitu biar ada temennya hehehe” kata Leon. “Hmmmm mau enggak ya?” tiba-tiba Leon mendekap pinggangku.
“Eh!” aku terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba itu. Lalu wajah Leon perlahan mendekatiku. Aku pun pasrah mengikuti kemauannya. Lalu...
“Ayah! Ibu!”
Suara teriakan lucu Leoni membuyarkan keinginan kami. “Eh, Leoni... sini nak” Sahut Leon gelagapan meminta Leoni untuk mendekat. “Ayah, Leoni mau jalan-jalan. Leoni Bosan di rumah terus, dengerin musik terus, Leoni mau mam Es krim” rajuk Leoni. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku ide yang cemerlang.
“Yah, bagaimana kalau kit ke fX?”
“Lho mau ngapain?”
“Aku mau mengenang senang” balasku singkat. Ya, aku ingin mengenang semua senang yang terjadi dan yang akan datang kelak dalam hidupku. Bersama kebahagiaanku.
THE END.