Episode 41
Interogasi
POV Lina
Interogasi Jeepers Creepers dikawal banyak orang, namun yang berhak masuk ke modul penahanan adalah gue, Kak Puri, dan Erna. Gue gak khawatir karena gak ada cowok, karena udah melewati pelatihan.
“Serem juga.” Gue bergidik melihat si inhuman ini.
Permukaan kulitnya yang berbintil membuat gue geli, begitu pun Puri. Hanya Erna yang lebih tenang, pasti karena dia lebih terbiasa daripada kami berdua. Di sudut lain, si inhuman menundukkan kepalanya sedari tadi, berbalut handuk putih besar melingkari lehernya. Dia hanya mengenakan celana terusan dari jaket kendali yang sobek sana sini.
Microphone gue pasang di atas meja interogasi, terhubung dengan speaker di ruangan kami.
“Sia wa’ang?” Erna mulai bicara, dagunya dianggukkan.
Hening cukup lama, si Jeepers Creepers berkali-kali memindahkan bola matanya antara Erna, gue, dan Puri. Niscaya situasi saat ini akan membuat siapa saja merinding kalau gak kuat mental.
“Kasa bae kayo ngato.” Jawab si Jeepers Creepers.
Erna tempak tercekat. Entah apa arti kata-katanya. Gue belum pernah ikut pelatihan bahasa minang. Jadi, gue tanya langsung aja ke Erna.
“Apa artinya?”
“Itu.. bukan bahasa Minang, itu bahasa orang Solok, Kerinci, atau Tebo. Mirip, tapi....” Erna mengucurkan setetes keringat dari pipinya.
“Artinya, Erna?”
“Katanya, bahasa gue tadi kasar banget.”
Apakah ini artinya si inhuman adalah penguasa bahasa daerah di Sumatra? Apa dia juga bisa bahasa Batak, Aceh, Palembang? Jelas masih terlalu dini untuk disimpulkan, tapi mungkin akan berharga kalau diteruskan. Si Jeepers Creepers juga gak menunjukkan intensi menyerang.
“Terusin aja. Masih bisa kan?” Usul gue.
Erna mengangguk.
Erna banyak berdiskusi dengan si Jeepers Creepers. Setiap si inhuman selesai bicara, Erna menerjemahkannnya ke dalam bahasa Indonesia. Erna menceritakan bahwa si inhuman sangat senang bisa bicara sama orang serumpun. Erna berkali-kali mengucapkannya dengan sebutan ‘urang awak’. Namun, selain itu belum ada info yang penting.
Selama gak ada intensi menyerang, membuat si Jeepers Creepers merasa nyaman adalah pilihan terbaik. Bahkan, ketika dia mengajak Erna bicara sambil duduk bersila, kami menyetujuinya. Info pun sedikit demi sedikit kami dapatkan.
"Bahasanya berubah terus." Kata Erna.
Erna turut menambahkan kalau bahasa daerah yang digunakan si Creepers berubah berkali-kali. Kalau diasumsikan, mungkin inhuman ini memang penguasa daerah sana.
Erna terus menerjemahkan, usia si inhuman mungkin sudah dua ribu tahun lebih. Dia sangat lama telah berkeliling Swarnadwipa di masa jayanya. Dia pernah bertemu dengan raja-raja di Sumatra mengatasnamakan pelindung hutan. Di masa yang lain, dia bersembunyi, gak mau ikut-ikutan dari peperangan Kree di laut timur.
Jauh sebelum itu, Erna kembali menerjemahkan setelah menelan ludah, dia adalah kepala suku orang rimba.
“Tunggu dulu, Swarnadwipa itu apaan?” Puri bersuara.
“Swarnadwipa gak tau?” Erna menaikkan bahunya.
“Nggak.”
“Swarnadwipa, Swarnabhumi, itu nama lain pulau Sumatra.” Jelas Erna.
Pertanyaan Puri memang bagus, tapi terlampau terlambat untuk sebuah respon.
“Awak urang biaso.” Si inhuman terbatuk setelahnya.
“Dulu dia orang biasa, kaya kita.” Erna kembali menerjemahkan.
Gue paham, inhuman jelas dulunya memang orang biasa. Apalagi buat si Jeepers Creepers ini. Eksperimen dan perbudakan Kree yang dirasakannya pasti membuahkan trauma atau semacamnya.
Erna memotong lamunan gue. Dia menerjemahkan cerita panjang si inhuman. Setelah menjadi korban eksperimen Kree, dia awalnya dinomorsatukan oleh sukunya sendiri. Tapi seiring waktu, generasi berganti, sukunya berbalik takut karena dia tak kunjung tutup usia.
Dengan bijak, si inhuman menunjuk seorang penerusnya untuk menjadi kepala suku. Setelah itu, dia sendirian berkelana sepanjang Sumatra, belajar banyak bahasa, dan mengabdikan diri untuk menjaga hutan. Beberapa kali dia juga keluar Sumatra dan bertemu inhuman lain.
“Erna, coba tanya kenapa dia bisa ketangkep Watchdog?” Gue menyuruh Erna.
Erna mengangguk.
“Dek kayo tatangkok?”
“Awak lah tuo.” Si Jeepers Creepers menyeka hidungnya.
Erna hendak menerjemahkan, tapi gue udah tau duluan. Tumben bahasanya ada yang bisa gue mengerti. Artinya yaitu dia udah tua.
Gue bisa mengerti, mengikuti teknologi masa sekarang seperti adanya jaket kendali, inhuman seperti si Jeepers Creepers bisa aja ketangkep. Pun, gue juga akhirnya paham apa hubungannya sama Alan. Inhuman tua dan kuno ini hendak dimanfaatkan Alan.
Pertanyaan penting sekarang tinggal dua. Apakah kekuatannya? Dan kenapa dia mengincar Puri?
Erna kembali berdiskusi sesuai arahan gue. Jawabannya ternyata sederhana, kekuatannya serupa dengan kelelawar, yaitu suara infrasonik yang bisa didengar kembali sebagai direksi terbang. Gelombang itu juga dapat melacak inhuman yang memiliki frekuensi kuat.
“Inhuman tracker lagi.” Gue menyimpulkan.
“Penangkap gelombang? Erna...” Puri memanggil Erna.
“Men! gelombang infrasonik di mana-mana. Kelelawar, codot, tetesan air, gak ada bedanya.” Erna membela diri.
Erna gak mau dituduh gak bisa mencari si Jeepers Creepers duluan.
Pertanyaan kedua, soal mengincar Puri. Gue gaak menyangka si Jeepers Creepers ternyata malah meminta maaf kalau membuat takut. Dia hanya mencari inhuman dengan frekuensi kuat untuk dijaga dari kedatangan Alan. Dia gak mau inhuman lain menjadi incaran. Tapi, akibat usia tuanya, kemampuannya mengendur. Bayangan Puri diduganya sebagai badan inti, dan frekuensinya diterima secara lambat.
“Gue udah pergi, dia baru dateng.” Puri memainkan tangannya sebagai ilustrasi.
“Dan Kenia jadi sasaran yang salah.” Gue menambahkan.
Oke, masalah kelar. Setelah dia berjanji tidak akan merusak lagi, kami bertiga meninggalkannya untuk selanjutnya dirawat. Mungkin dia akan dibebaskan setelah mendaftar Sokovia Accords dan mendapat identitas baru di zaman modern ini.
“Maaf, nama kakek siapa?” Tanya gue, sesaat sebelum keluar.
Si Jeepers Creepers menggeleng. Erna menerjemahkan kata-kata gue, tapi jawabannya tetap sama. Hanya gelengan kepala.
"Gak punya nama?" Tanya gue.
"Entah." Jawab Erna.
---
POV Hari
Tiga gerombolan cewek baru aja keluar dari modul. Hasilnya memuaskan untuk sebuah interogasi tanpa embel-embel ancaman. Musuh sebenarnya setelah ini tinggal Alan seorang. Itu pun kalau dia tidak memiliki aliansi lain.
“Heran gue.” Kata Lina.
“Kenapa, Lin?” Tanya gue
“Dia itu emang gak punya nama atau gimana sih.”
“Gue juga heran.” Tambah Erna.
Lina sama Erna justru mempermasalahkan nama si Jeepers Creepers.
“Dani sama Kenia mana?” Tanya Puri.
“Mereka lagi keluar.”
“Kalo gak salah sekarang udah mau pagi di Jakarta. Kenia gak sekolah?” Tanya Puri lagi.
Soal Kenia sekolah, udah dibicarain sama nyokap tadi malam. Dia boleh gak masuk hari ini sampai masalah selesai. Selain itu, mungkin waktunya gak akan kekejar kembali ke Jakarta hanya dengan quinjet.
Hape gue bergetar. Ada pesan dari Sigit di grup rahasia.
Sigit: Mas, Mbak, aku udah sembuh. Tapi mungkin akan latihan intensif selama seminggu. Belum ditambah saya harus kuliah siangnya. Jadi, mungkin kita gak sempet ketemu. Soal info terbaru tentang Alan akan saya kabarin juga pelan-pelan. Maaf ya mas, mbak, saya gak sempet bikin pintu ke mana saja mulai hari ini. Ya pokoknya gitu deh. Salam buat yang lain ya.
Rupanya memang ancaman dari Alan lebih dari sekedar isapan jempol. Sigit sampai harus diisolasi untuk latihan. Mungkin gue juga harus latihan. Seenggaknya memperkuat kewaspadaan biar gak kecolongan.
“Pulang kapan?” Lina nanya.
“Bentar lagi deh.” Erna yang jawab.
“Lin, S.H.I.E.L.D. punya alat latihan mandiri gitu gak sih?” Gue bertanya balik.
Lina berpikir sebentar.
“Sebenernya sih ada, framework namanya. Simulasi tarung gitu. Tapi sumber masalah markas besar sekarang justru dari framework itu. Tau kan, android.” Lina memberi harapan palsu.
Gue menghembuskan nafas.
“Kalo samsak tinju ada?” Erna menyambung.
“Samsak banyak. Ambil aja di gudang.” Lina malah menyeriuskan jawaban.
---
POV Sigit
“Paham tak?” Tanya salah satu Master yang mengajariku teori.
“Paham.”
“Oke. kita lanjutkan setelah kamu kembali ke sini.”
Master satu ini orangnya kurus, tinggi, dan berkulit sawo matang. Dia orang Malaysia, ras melayu, yang sama lancarnya kalau bicara bahasa Indonesia. Dari berbagai macam orang dengan masing-masing suku dan bangsanya, aku tergolong jarang bertemu dengannya.
Dia adalah mentornya Alan, Kak Zul namanya. Berhasil menjadi Master Penyihir di usia muda. Gak salah kalau kemampuan sihir Alan bisa berkembang pesat. Menurut Kak Zul, merasa sangat bertanggung jawab atas menyelewengnya Alan hingga berakibat aku terluka.
Aku mengambil tasku, lalu membuka portal untuk kembali ke Surabaya.
“Sigit!” Eva tampak berlari dari kejauhan.
“Ya?”
“Mau pulang?”
“Iya, ada kuliah. Udah bolos dari minggu kemarin.”
Eva mengkhawatirkan diriku yang udah gak pulang berhari-hari. Aku memang pernah gak pulang bertahun-tahun. Tapi waktu itu ceritanya orang tuaku sudah yakin aku meninggal di Nepal. Kali ini kasusnya lain, mereka mungkin udah lapor RT atau polisi sejak beberapa hari lalu, seperti kejadian aku menghilang selama seminggu di akhir tahun lalu. Atas alasan itu juga, Eva bersikeras meminta ikut ke Surabaya.
“Kamu gak pulang berapa hari? Mau alasan apa ntar?” Tanya Eva lagi.
“Apa aja lah.”
“Kamu harus jujur.”
“Soal sihir-sihiran ini? Gak mungkin lah, disangkanya aku murtad ntar.”
Gak mungkin aku menjelaskan soal begini ke oang tuaku. Atas dasar agamaku, sihir jelas-jelas dilarang. Bahkan, pasti dengan mudahnya diargumentasikan dalam kegiatan syirik. Padahal, aku tahu kemampuan kami berdasarkan metode sains.
Aku gak paham fisika, tapi singkatnya, kami mengaplikasikan teori mekanika kuantum. Kami mengambil energi dari semesta yang lain untuk dijadikan kekuatan. Tentunya, dengan cara yang benar. Setiap segel punya makna tersendiri. Kalau tidak, maka semesta akan menolak dan terjadi bencana. Suatu waktu bisa terjadi gempa bumi, gelombang pasang, angin topan, atau apapun.
“Aku aja yang jelasin kalo gitu.” Eva berinisiatif.
“Mereka aja gak kenal kamu.”
“Kalo gitu kenalan dulu.”
Jawaban Eva memang simple. Tapi gak akan jadi simple ketika momen terjadi. Selain itu, ada kemungkinan aku akan dibuang dari rumah.
“Percaya, gak akan susah.” Eva meyakinkan.
“Percaya?”
“Dari dulu siapa sih yang selalu bener.”
Eva membuatku mati langkah. Akhirnya kubiarkan dia ikut ke Surabaya.
Kami tiba di depan rumahku setelah subuh. Seperti yang udah diduga, bokap dan nyokap terbengong-bengong dengan kedatangan kami, apalagi setelah mendengar penjelasan Eva. Aku sampai harus membuka baju untuk menunjukkan luka tusuk yang sudah hampir sembuh hanya dalam hitungan hari.
Setelah matahari terbit, untungnya aku diperbolehkan berangkat kuliah.
“Kelar kan.” Eva ngeledek.
“Iya deh.” Aku mengusap kepala belakangku.
“Aku balik ya, jangan lupa kamu jadi punya hutang.”
“Eh??”
Eva memang seperti penyihir. Bukan penyihir seperti tipikalku, tapi penyihir yang bisa memanipulasi persepsi orang. Setelah membantuku, dia bahkan menghitungnya sebagai hutang. Pasti seks lagi sebagai gantinya.
Gapapa lah, aku juga keenakan.
Kuliah berlangsung membosankan. Aku gak begitu kenal dengan teman-teman kuliahku karena kesibukan menjadi penyihir. Ospek pun aku bolos. Sejak awal kuliah, aku lebih berkeliling Indonesia, bertemu Mas Hari dan kawan-kawannya, hingga kembali berurusan dengan penghuni Kamar Taj.
Sore harinya aku kembali ke Kamar Taj. Latihan dengan Kak Zul hari ini adalah penguasaan tubuh astral. Aku diajari terbang secara seimbang, bertahan dalam zona astral selama mungkin, dan merasakan adanya bahaya. Nepal miliki zona waktu +5.45 dari GMT, artinya hanya kurang 75 menit dari WIB. Perbedaan waktu tersebut otomatis gak memberikan banyak pengaruh untuk lama waktu latihan.
Menjelang jam sepuluh malam, aku baru selesai latihan. Aku segera menuju kamarku untuk mandi. Gak gue sangka, latihan di dunia astral ternyata juga bisa menyebabkan keringat mengucur deras dari tubuh yang asli.
Tok. Tok...
“Sigit.” Suara Eva
“Masuk, gak dikunci.”
Eva masuk membawakan senampan makanan berat, ada nasi yang butirnya besar-besar khas india, sayur, dan daging. Padahal, aku sendiri gak kepikiran lagi untuk makan malam. Badanku udah terlampau letih hanya untuk mengambil makan malam di kantin asrama.
Aku baru saja selesai memakai baju kaos longgar berwarna merah marun di depan lemari. Di sisi lain, Eva meletakkan nampan makanan di meja belajarku. Kemudian, dia duduk di atas kasur sambil bersender di bantal yang bertumpu dinding.
“Makan, Git.” Eva membuka sebungkus roti.
“Kamu mau sampai kapan pakai mantra bahasa?” Aku menuju meja.
“Sampai lancar bahasa Indonesia.”
“Penting banget?”
Eva mengangguk. Aku mengambil nampan makananku, lalu mulai memakannya di atas kasur agar bisa terus ngobrol dengan Eva.
“Penting banget.” Eva mengacungkan telunjuk.
“Buat apa?” Aku menggigit potongan daging pertama.
“Temen aku di kamar sekarang kan cuma kamu.”
“Masa? Rupert? Tommy? Pada ke mana mereka?”
Eva dari dulu memang suka gonta ganti cowok hanya untuk memuaskan hasratnya. Perlu digarisbawahi, aku memang salah satu korban Eva akibat tawar menawar. Karenanya juga, berimbas ke diriku yang sekarang jadi baper.
“Termasuk golongan yang pulang kampung.” Eva menggigit rotinya untuk kesekian kali.
Ada senangnya juga aku mendengar jawaban Eva. Meskipun aku bukan yang pertama, atau juga bukan yang dicintainya, aku merasa lega tubuh Eva gak dibagi-bagi ke orang lain lagi. Pokoknya aku baper lah.
“Masih untung gak gabung sama Alan.” Aku gengsi mengutarakan tanggapan sebenarnya.
“Buruan abisin makanannya.” Eva menyuap potongan roti terakhir.
Eva beralih menuju teko air minum. Setelah itu, dia mulai menggodaku dengan meniup belakang kupingku. Kini aku bimbang di antara melanjutkan untuk ‘membayar hutang’ atau istirahat. Otot-ototku udah lelah, tapi otot di selangkanganku baru saja bangkit.
“Eva, aku capek.” Kupegang kepala Eva.
“Gapapa, kamu tiduran aja.” Dia berbisik.
Peri macam apa yang ada di sebelahku ini. Kalau saja bukan peri, mungkin dia adalah setan yang bertugas menggoda iman melalui selangkangan. Eva, dalam keeksotisannya, adalah penggoda iman terbaik yang pernah aku temui melalui tawar menawar.
Nampan makan beserta sisa makananku kini sudah terlempar ke lantai. Eva memberiku seteguk minum, lalu direbahkannya tubuhku. Pakaianku dilucutinya satu per satu. Telapak tangan Eva bergerak halus menyusuri perutku, turun hingga menjelajahi kedua belah paha. Bibirnya bolak-balik berpindah antara puting kiri dan kananku.
Suatu ketika, kepala Eva kembali tegak. Dia menyibak rambutnya ke sebelah kiri. Dia menggenggam penisku kuat-kuat, diarahkannya tegak lurus mengacung, lalu dimasukkanlah penisku ke dalam rongga mulutnya sangat dalam.
Kepalanya bergerak luar biasa cepat daripada biasanya.
“Ahh.. aku.. bisa bisa keluar duluan.” Aku menelan ludah, mengakibatkan jakunku naik turun.
“Kalo gitu kita langsung aja.” Eva melepas kulumannya.
Eva melepas seluruh pakaian dan melemparnya sembarangan. Dia gak menari erotis, tapi imajinasiku memberikan visual seperti itu. Pantatnya yang bulat bergerak memutar-mutar sambil berangsur turun. Penisku ditekannya kuat-kuat hingga seluruh batangnya basah seketika.
Tangan kiri Eva turut andil mengacungkan penisku. Dalam satu hentakkan, masuklah seluruh batang kejantananku itu ke liang surganya.
“Main kilat yahh...” Tatapan Eva tajam menusuk, tanpa eyeliner.
“Ahhhh...”
Aku sungguh-sungguh tak bisa merespon balik setiap kata-kata Eva, setiap godaannya. Sisa-sisa tenagaku terfokus hanya untuk menegakkan tongkat sakti. Oleh karena itu, pita suaraku bukan prioritas.
Hanya tiga menit, aku dan Eva sama-sama mengejang. Di saat ini lah aku justru teringat bahwa kecolongan soal keamaan, namun tak terucap sebagai peringatan. Terserah saja, Eva pasti tau cara menanggulangi ini. Terakhir kali kami bersenggama satu malam penuh, toh dia justru keenakan.
“Eva... Aku keluaar..” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Aku juga... ahhh.” Desahnya, diikuti tubuhnya yang ambruk menimpaku.
Detak jantung Eva terasa jelas menembus dadaku. Selang beberapa detik kemudian, aku baru menyadari Eva sama lelahnya denganku. Laju nafasnya tidak seperti biasa sehabis kami bermain cinta.
“Kamu habis latihan juga?” Tebakku.
“Yap, penaklukkan pusaka.” Eva menutup wajahnya di dadaku.
“Buat apa?”
Eva bukan seorang yang bertugas penuh untuk penguasaan skill bertarung. Dia seorang sejarawan penyihir. Terlebih, penguasaan pusaka butuh waktu dan tenaga penuh sebagais seorang pejuang sihir.
Eva berguling ke sebelah kiri.
“Buat bantu kamu.” Jawabnya sambil menarik selimut.
Please, Eva, jangan buat aku lebih baper lagi.
BERSAMBUNG