Bagian Empat : Pertanda dari Laut
"Bii, emang ga apa-apa kita di atap gini?" Manda buka pembicaraan beberapa saat setelah kapal ja..., eh, berlayar? Lah tapi ini pake mesin kan? Ah, sabodo teuing! Oke, pake kata 'jalan' aja. Fix.
Gue angkat bahu, dan kepala gue langsung di tempeleng Manda. "Serius, ah! Nanti kalo jatoh gimana?" omel Manda ke gue.
"Jatoh ya nyebur neng, ribet amat. Lagi juga pasti gue tolongin, masa segitu teganya gue," bales gue.
"Bener?"
"Iye."
"Berarti kalo aku butuh atau minta tolong, kamu pasti ada buat aku?"
Gue tatap mata Manda, cukup lama. Sekedar pengen tau, kenapa dia nanya gitu. "Iye, pasti ada."
Manda ngacungin kelingking. "Promise me?"
Gue sambut kelingkingnya, membuat kelingking kami saling bertautan. "I do," jawab gue.
"Asik, berarti nanti pas udah di homestay, tolong entotin Manda ya, Bii?"
Ngehe! Nyesel gue pengen tau tadi. "Pikiran lo kenapa ke ngentot mulu sih?" tanya gue, sewot.
"Abis gatel, Bii. Ga mau ya?"
"Bukan gitu, ini kan liburan. Masa mau-" gue tarik nafas, panjaaang banget. "Terserah lo deh," dan gue nyerah ngeladenin kebinalan Manda.
"Nah, gitu dong. In this trip, I'm your bitch. Kita bisa make love di pantai, di tempat gelap, di kebun kosong, dermaga, anywhere. Asik asik!" celoteh si minus, kegirangan.
"Bodo amaaaaaat....!!!" teriak gue, frustasi.
Kapal semakin jauh ninggalin pelabuhan. Muara Angke keliatan makin kecil di belakang sana, dan air laut yang keruh dan hitam mulai berganti ke hijau kebiruan. Gue dan Manda ngeliatin kiri dan kanan, berusaha menikmati setiap pemandangan yang tersaji.
Kapal mulai mendekat ke empat pulau yang letaknya berjajar; dengan dua pulau saling yang berdekatan di sisi kiri. Manda ga bisa berenti melotot mandangin pulau-pulau itu, mungkin ini pertama kali dia trip ke laut. Who knows.
Pas kapal makin mendekat untuk lewatin jajaran pulau, gue bisa ngeliat dari atas sini, para penumpang di geladak saling gaduh. Beberapa ada yang nanya nama pulau yang lagi kita lewatin, dan banyak juga yang berfoto ria dengan latar belakang pulaunya.
Gue merhatiin seorang cowok berambut cepak dan berkemeja seragam travel, yang lagi asik ngejelasin tentang pulau-pulau yang lagi dilewatin kapal. Iseng, gue nyimak penjelasannya.
"Di sisi kiri, itu namanya pulau Onrust. Pas jaman pendudukan kolonial, Onrust jadi pos penghubung ke Sunda Kelapa. Nah, disampingnya itu pulau Cipir. Dulu pulau itu difungsikan sebagai penjara," jelas si cowok travel. "Seharusnya ada satu pulau lagi disamping Onrust dan Cipir, tapi tenggelam karena abrasi," lanjut dia.
Wuih, info baru nih. Asik, dengerin lagi ah!
Terus si cowok tunjuk satu pulau yang ada di sisi kanan kapal. "Yang disana itu pulau wisata, Bidadari. Sebelum pencemaran laut ga separah sekarang, pulau itu laris banget jadi destinasi liburan. Sayang, sekarang mulai sepi," lanjut dia lagi.
Dia lalu tunjuk ke satu pulau di timur, pulau yang bahkan dari jauh pun gue bisa liat ada benteng yang berdiri kokoh disana. "Itu namanya pulau Kelor, sementara orang kompeni sebutnya Kherkof. Di pulau itu berdiri satu benteng, yaitu benteng Martello, yang dulu berfungsi sebagai benteng pertahanan jika ada perompak yang mau ke Sunda Kelapa," kata dia. "Yah, semacam pos pengamanan lah," dan kalimat tadi nutup penjelasan dadakan si cowok travel.
"Harusnya Tour Leader kita yang jelasin, bukannya nguping penjelasan dari travel agent lain," gerutu gue.
"Yaudah sih Bii, enjoy aja," timpal Manda. "Kamu bawel, persis kayak dulu."
Tadinya gue mau protes, tapi kalimat terakhir dari Manda sukses bikin gue speechless.
Manda lalu senderin kepala di bahu gue, sambil ngerangkul manja. "Bii, aku ngantuk," katanya.
Gue yang lagi duduk bersila, inisiatif arahin Manda supaya rebahan, dengan paha gue yang jadi bantalnya. "Tidur aja dulu, ntar gue bangunin kalo udah mau sampe," tawar gue ke Manda.
Manda lalu tidur dengan posisi menyamping, agak meringkuk. Ga butuh waktu lama bagi Manda untuk tidur pulas. Kasian, dia kayaknya capek banget.
Gue iseng merhatiin mukanya yang lagi tidur. Cantik. Semua sikap binalnya menguap gitu aja, pas gue mandangin muka lelahnya. Begitu tenang. Seakan, Manda yang gue liat sekarang ini yang asli, yang jujur.
Berada di atas atap, otomatis gue kena sengatan matahari pagi lebih panas dari mereka yang di bawah gue. Gila, nyengat banget panasnya! Bahkan semilir angin ga mampu alihin panas yang gue rasain. Bagus gue pake jaket, kalo engga udah kebakar kulit gue. Tapi sejenak, gue merhatiin paha Manda yang sebagian besar terekspos-karena cuma pake hotpant.
"Ga nyaman banget, tidur tapi kepanasan. Mana baru setengah jam perjalanan," gue ngomong sendiri, sambil merhatiin Manda.
Akhirnya, gue inisiatif buka jaket terus tutupin paha Manda pake jaket gue. Lumayan lah, daripada paha dia belang. Terus, badan gue condong ke depan, buat nutupin muka Manda biar ga kena sinar matahari. Lah, gue yang kepanasan dong? Ya ga apa-apa deh, paling cuma item. Item keling, maksudnya. Tapi ya wajar kalo laki-laki item sih.
Gue iseng merhatiin laut. Warnanya sekarang udah membiru, jernih banget. Tapi biru tua, dan gue pernah belajar kalo laut warnanya udah biru tua, itu berarti kedalaman dasarnya dibawah seratus meter. Gila, ga ada kesempatan itu mah kalo udah tenggelam.
Tapi gue ngerasa ada ketenangan tersendiri pas gue lagi merhatiin laut. Hati gue jadi tentram, pikiran gue makin tenang. Dan mungkin karena ini pertama kalinya gue liat laut, gue gampang sadar akan sesuatu. Laut itu hebat, menguasai dua pertiga dari komposisi dunia. Meskipun dominan, tapi laut ga sombong. Sebenernya kalo mau, laut bisa aja tenggelamin daratan dengan gampang. Tapi laut lebih milih kerjasama dengan kutub utara dan selatan, merubah sebagian besar debit airnya jadi gunung es, cuma supaya daratan ga tenggelam. Miris, manusia ciptain bom waktu super yang bernama pemanasan global-ngebuat es di kedua kutub meleleh. Lucu, pada akhirnya manusia sendiri yang nambah satu lagi daftar upcoming tragedy. Cuma masalah waktu, untuk nunggu angka satu pertiga ditelan sama yang dua pertiga.
Entah sejak kapan gue jadi pemikir. Kayaknya baru merintis pagi ini, dan Manda udah jadi peringkat pertama di pikiran gue. Banyak banget pertanyaan yang muter-muter di otak, seiring semakin sunyi suasana di sekitar. Orang-orang dibawah gue yang tadinya masih berisik, sekarang udah pada tidur pulas, mirip mayat.
Kenapa gue putus sama Manda?
Kenapa gue beralibi karena jarak yang misahin kita?
Kenapa gue ga bisa ngeyakinin diri sendiri, kalo hubungan jarak jauh itu bukan bencana?
Shit! Pikiran-pikiran kayak begitu makin bikin gue galau. Dan gue maki diri sendiri, bego kalo nyesel sekarang. Sekalipun gue nyesel, itu ga akan balikin gue ke masa pake seragam SMA. Ga akan balikin gue ke tiap malem minggu, ngabisin waktu sama Manda di Paris Van Java. Ga akan balikin gue ke hari dimana gue mesti pamit sama temen sekelas, dan pura-pura ga liat saat Manda ngeliatin gue dengan mata sedihnya dari jendela kelasnya yang ada di lantai dua.
"Ah, anjing!" maki gue, entah ke siapa.
Ada yang pernah bilang ke gue: kalo kita bisa mengerti laut, maka laut akan membuka kenangan kita akan seseorang, yang tadinya terkubur jauh di bagian hati yang paling dalam. Who knows, tapi gue rasa itu terjadi, sekarang.
Gue coba untuk ngeliat lagi muka lelapnya Manda, dan gue baru sadar: rasa deg-degan itu masih ada. Lebih tepatnya, kembali ada. Njirr, gue galau guys! Cuma butuh kurang dari dua puluh empat jam buat gue supaya ngerasain lagi rasa nyesek ini. What the fuck is happening here?!
Cukup lama gue melamun, dan baru sadar kalo jauh di depan sana udah mulai keliatan satu pulau yang kayaknya lumayan panjang. Gue bingung, bener itu pulau tujuan kita?
"Nah, itu pulau Tidung udah keliatan. Setengah jam lagi kita sampe!" teriak si cowok travel, dan seketika suasana kembali berisik. Mulanya dari geladak, terus merembet sampe ke dalem kapal. Akhirnya, seisi kapal berisik semua.
Oke, sebentar lagi sampe. Saatnya bangunin Manda. Sebelum itu...
"Wahai laut, jika memang engkau yang membuka kenanganku tentangnya, maka berikan aku pertanda. Pertanda-pertanda yang akan menuntunku menuju jawaban dari dua pertanyaan, apakah aku dan dia bisa kembali bersama, atau hanya memang sebatas ini saja?"
Gue garuk-garuk kepala. Bisa-bisanya gue doa kayak tadi! Njiiirr, mellow abis! Huwaaa, jijik Bi, jijik!
"Manda, bangun. Udah mau sampe tuh," kata gue sambil ngeguncang-guncang badannya.
Manda bangun, duduk di sebelah gue terus ngucek-ngucek mata. "Itu pulaunya, Bii?" tanya dia sambil nunjuk pulau di depan.
"Kata si travel boy dibawah situ sih, iya itu pulaunya. Udah ngumpul nyawa?"
Manda ngangguk, dan tatapannya berhenti di jaket gue yang nutupin pahanya. "Bii, kamu...," dia speechless, ga ngelanjutin kalimatnya.
"Udah ga usah dipikirin. Jaket doang ini."
Manda natap gue, terus senyum. Tulus banget. "Makasih, Bii. Makasih banyak," katanya.
Kata 'makasih' itu seketika jadi moodbuster gue. Dan gue langsung sadar, ini pertanda pertama yang laut tunjukkin ke gue.
"Udah tiga kali lo bilang makasih. Diobral?"
"Yeee~ dasar senior gelo!"
Kami langsung siap-siap, biar nanti pas kapal sandar, kami langsung nyeberang ke dermaga.
Dan gue yakin, ini bakalan jadi liburan terbaik yang pernah gue lakuin!
Weeey~ pantai sudah menunggu, kawan!
Bersambung