seravi_yvi
Guru Semprot
- Daftar
- 6 Jun 2017
- Post
- 553
- Like diterima
- 654
Langit bersemu merah seiring munculnya sang mentari. Suara binatang mulai terdengar di dalam hutan yang penuh pepohonan besar. Pepohonan itu mengelilingi sebuah villa yang berdiri kokoh di lereng gunung dengan posisi menghadap ke sebuah danau.
Suara berisik terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.
“Pikiran gue blank. Boring!! ” Seorang perempuan berambut pirang berucap keras.
“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang menyala. “Liat ini! Susu gue mengkerut!”
“Signal buruk sekali. Payah!” Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal. Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.
“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally failed!”
Dua pasang mata melirik malas ke arah sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang menggangu keheningan pagi.
“Gue bela-belain kaga tidur semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”
“Em, elo payah kalo bikin rencana! ”
“Next event gue yang urus!! Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"
*
Anggi mendesah resah di dalam mobil mewah yang melaju meninggalkan kampung menuju ibu kota. Wajah cantiknya keruh. Perempuan muda berperawakan sedang itu duduk bertopang dagu. Mata indahnya mengintip lewat kaca mobil, melihat pepohonan yang melambai sedih mengucapkan salam perpisahan untuknya.
Anggi melirik Emilia yang tertidur nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.
“Apakah Bu Emilia benar-benar orang baik?” Anggi membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.
“Bu, kita udah sampe.”
Anggi tersentak mendengar suara si supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.
“Ini rumah saya, Anggi.”
Anggi turun dari mobil kemudian mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai tiga.
Tap Tap Tap
Suara alas kaki menghantam tangga terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai tiga menoleh ke arah sumber suara.
“Em, elo baru pulang? “ Seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.
“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia santai. “Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff baru gue. Dia bakal tinggal di sini. ” Emilia memperkenalkan Anggi. “Anggi, ini Jonathan, kakak saya,” Emilia melanjutkan.
Anggi tersipu malu melihat wajah ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.
“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”
Anggi hanya tersenyum dan mengangguk. Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.
Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak. Orang tua Emilia tidak berada di sana dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik, pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.
Pekerjaan yang diberikan Emilia kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya. Anggi sangat menghomati Emilia. Bagi gadis yang memiliki tahilalat di atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain. Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang wanita primadona di kampungnya.
“Tap Tap Tap”
Anggi hafal suara itu. Itu adalah suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa kali menyapa sekedar berkata “haii Anggi!”, “selamat pagi Anggi ”, “selamat sore Anggi.” Mereka tidak pernah mengobrol lebih jauh.
Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda ditulis oleh beberapa orang.
"LELAKI BANGSAAT !!!! BERWAJAH MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"
"WANITA PENIPU !! PEMBOHONG !!
" KELUARGA TERKUTUK !!"
"GUE ANCUUUR , ELO REMUK ! DASAR LONTE SIALAN !!
Tulisan yang berisi makian kasar itu membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.
Mendung tebal menyelimuti kota, berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada pertemuan khusus sejak pagi.
Udara lebih dingin dari biasanya. Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.
Suara lagu favorit Anggi mengalun lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia. Dia memutar tubuh di depan cermin beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan pinggul indah.
Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.
Ttjddduuuuaaaarrrr
Suara petir menggelegar. Anggi menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya kaget.
Tjddduuaarrrraaaaaaarrrrr
Terdengar suara petir yang lebih keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.
Blaaam
Lampu padam. Aliran listrik terputus. Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba, mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.
Tap Tap Tap
Anggi mendengar derap kaki berlari menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan pakaian.
“ Nggi.. Anggii!”
Anggi mendengar suara orang memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari kamar.
“Anggii.. Anggiii! ” Sesosok tubuh yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.
“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang? Kenapa lari-lari?”
“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan, “ujan dan gelap, saya males sendirian.”
“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”
“A-Lima.” Jawaban Emilia berbarengan dengan lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.
Hujan sudah berhenti turun ketika mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana. Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.
“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh, Bu?”
“Warna menunjukan identitas. Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.
Luas kelima bangunan itu hanya setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa kursi kayu panjang berderet di dekatnya.
Anggi mengikuti Emilia berjalan ke arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya. Emilia pernah bercerita kepada Anggi, nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.
“Nggi, kamu jangan baper ama mereka. Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia berpesan kepada Anggi.
Seorang wanita memakai dress hitam panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.
Wanita lain memakai dress merah duduk menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan angkuh. Dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall. Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan, “cepetan dong! Saya mau ke bandara!”, “cepetan dong! saya mau makan malam!”, “ cepet cepet cepet! Saya sudah ditunguin taxi!” Semua yang diucapkan Davina itu adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.
Di dekat Davina, seorang wanita memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun. Selain itu, dia memiliki kebiasaan memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.
Emila kemudian duduk di dekat seorang perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia. Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.
“Itu adalah gallery kami, berisi barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan bercat kuning tidak jauh dari mereka.
“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan yang tertutup kain.
“At least, itu hasil imajinasi gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan Monica. “Dasar tukang bacot!”
“Anggi, kami berlima mau membahas sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”
Anggi mengerti ucapan Emilia. Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’ oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.
“Em, asisten lo ngikut terus ya?” ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya. “Elo balik jadi anak manja dan penakut, hihihi.”
Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke arah Anggi . “Gue demen dia. Dia polos dan bisa dipercaya,” ujarnya lirih. “Gue ngerasa nyaman ama dia.”
“Yakin?” Davina menatap tajam. “ Elo kagak bakal korbanin dia, kan? kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.
“Gimana, kalian udah dapet cowo keren untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.
“Of course! Gue tinggal julurin lidah aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.
“Berarti persiapan udah beres, ya?” tanya Emilia.
“Yes, but we need extra money.”
“Em, lo mesti ajak assiten lo terlibat dalam game!” Davina berucap serius. “Game kali ini spesial!”
“Emang game-nya apaan?” Emilia penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu dan membuat Emilia berpikir.
Anggi mulai merasa bosan. Menurut Anggi yang tidak mengerti seni, terlalu banyak benda yang menurutnya aneh berada di tempat itu. Barang yang sama sekali tidak membuat Anggi kagum. Anggi lebih menyukai pakaian indah ketimbang benda seperti itu. Mungkin cara orang kaya menghabiskan uang adalah dengan membeli benda seperti itu, pikir Anggi.
Anggi memutuskan berjalan keluar ruangan. Dia mendekat ke arah A-Lima berkumpul dan hendak minta ijin kepada Emilia untuk berjalan-jalan di taman.
Denting suara gelas beradu terdengar ketika anggota A-Lima mengangkat tangan bersulang.
“Kamu mau wine, Nggi?””
“Bikin mabuk ya Bu?”
“Enggak kalo sedikit. Mau coba?”
“Eh, tidak usah Bu. Dulu pacar saya ngelarang saya minum yang bikin mabuk.”
“What?! Elo punya pacar Nggi? ” Monica berteriak sambil tertawa.
“Dulu Bu. Sekarang dia udah nikah ama orang.” Anggi tersipu malu dan juga merasa sedih.
“Udah diapain aja?” Rimelda menaikan kedua alis mengoda. “Susumu pasti sering disedot dan diremes yaaaa?! Hihihi.”
“Gimana rasanya Nggi? Enak ? Geli?”
“Eh! Enggak Bu!” Wajah Anggi merah padam.
“Bo’ong! Sini gue cek! Gue tau mana yang udah pernah disedot ato belom! Hihihi.”
Anggi terdiam dan merasa risih. Serangan dari mereka memang susah dilawan. Dia merasa malu, jengah, dan bingung. Emilia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggi merasa wajahnya semakin panas.
Mereka bersorak seperti berdemo. Anggi buru-buru pamit ke taman karena sangat malu. Terdengar gelak tawa di belakangnya. Dia berusaha tidak terlalu memikirkanya. Dia mulai mengerti kenapa Emilia menyuruhnya agar tidak baper.
Suasana di taman saat itu hening. Udara berhembus segar dan dingin setelah hujan. Anggi menikmati rumput yang basah menyentuh kakinya. Dia melanjutkan berjalan menikmati indahnya malam.
Anggi melihat sebuah bangunan besar yang memiliki warna tembok biru muda tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah pintu yang memiliki warna aneh membuatnya tertegun. Terdapat sebuah tulisan di tengah-tengah pintu.
“KE-GEM-BI-RA-AN” Anggi membaca tulisan itu sambil menjulurkan tangan meraba.
“Pintu itu hasil kegilaan si Em, bos elo.”
Anggi menoleh ke arah sumber suara. Rimelda dan Davina sudah berdiri tidak jauh dari Anggi.
“Em suka corat-coret sembarangan. Bagi gue itu kotor, tapi bagi dia itu seni, “ ujar Rimelda.
“Bulan depan, kami mau pesta di sini,” ujar Davina sambil menunjuk bangunan berwarna biru muda itu. “Lo dateng ya, Anggi!”
“Mungkin Bu, kalo Bu Emilia mengijinkan,” ujar Anggi ragu.
“Hahaha. Bahasa lo kaku amat!” Rimelda tertawa. “Udah berapa bulan lo kerja ama Em?”
“Sudah tiga bulan lebih, Bu.”
“Betah?” Kedua alis Rimelda naik. “Biasanya kagak ada yang betah ama dia lebih dari dua bulan!”
“Meskipun sering marah sama saya, dia baik sekali,” ujar Anggi tulus mencoba membela Emilia. Davina dan Rimelda saling pandang, kemudian kompak tertawa begitu keras. Anggi keheranan.
“Hihihi. Hati-hati Anggi! Em itu monster!” Rimelda berbisik. “Emmmmm, mungkin lebih kejam dari monster. Kami kenal Em udah dari dulu. Sebelum lo lahir.”
”Lo itu polos. Dia suka orang polos, Hahaha. “
Anggi mengerutkan alis. Mungkin ini yang dimaksud Emilia kalau teman-temanya rese dan kelewatan. Sebelum berlalu, mereka mengingatkan Anggi lagi.
“Oh ya. Inget datang bulan depan! Kami ada game seru."
Senin, 20:00
Anggi berdandan rapi. Dia mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jeans biru yang menunjukan bentuk indah pinggulnya. Wajahnya cerah berseri. Bibirnya terlihat lebih merah karena lipstick. Emilia berjalan di sampingnya. Wanita yang tingginya hampir sama dengan Anggi itu juga mengenakan kemeja berbahan sutra lembut berwarna biru gelap. Bawahannya berupa celana panjang longgar juga berwarna biru. Sangat kontras dengan kulit putihnya. Dia menggenggam sebuah handbag berwarna hampir sama dengan pakaiannya.
Mereka berdua berjalan di bawah cahaya remang lampu taman di Rumah A-Lima. Bintang di langit bertaburan indah. Tidak seperti sebulan yang lalu, ketika pertama kalinya Anggi kesana.
Hari ini akan diadakan pesta di rumah A-Lima. Anggi melihat jumlah kendaraan di parkir lebih banyak dibandingkan ketika pertama kali dia ke sini. Bangunan itu juga sudah di dekorasi berbeda, ada beberapa kursi di dekat kolam renang. Lampu di depan masing-masing ruangan menyala lebih terang.
Rimelda yang memakai dress ketat hitam menyambut mereka dengan segelas minuman. Seperti biasa, dia itu selalu tampil heboh dan seksi. Belahan dadanya terlihat menggoda. Dia juga menggunakan wedges yang cukup tinggi.
Davina dengan dress panjang berwarna merah menyala. Dress lembut itu sampai ke mata kakinya. Dia terlihat begitu anggun. Warna rambutnya saat ini adalah biru dengan sedikit warna abu-abu menyala.
Diandra mengenakan pakaian mirip Anggi. Sebuah kemeja longgar, berwarna biru dengan garis-garis putih horizontal. Dia juga memakai celana jeans ketat. Kacamata yang dikenakan saat ini berbentuk kotak. Bibir munggil wanita itu begitu glossy, basah dan menggoda. Rambut pendek sebahu tidak mampu menyembunyikan leher jenjangnya.
“Kamu cantik sekali malam ini. Sudah siap bermain?” Rimelda bertanya kepada Anggi. “ Elo yang bakal gantiin Em, kan?”
“Iya Bu.”
“Be carefull sweety. She so tricky. Em itu licik!” Monica menakuti Anggi. Anggi terlihat ragu. Dia menatap Emilia meminta penjelasan.
“Dia udah sepakat jadi wakil gue. Elo tinggal jelasin peraturannya ama dia. ” Emilia menyahut dengan tenang. “Kami tidak akan mengubah keputusan.”
Anggi sudah berjanji menggantikan Emilia dalam permainan itu, tetapi dia belum mendapat informasi mengenai permainan apa yang akan mereka mainkan. Emilia juga mengatakan kalau dia tidak mengetahui detail permainan. Hanya Monica dan Davina yang tahu karena merekalah yang merancang game-nya. Emilia mampu meyakinkan Anggi kalau permainan itu hanya untuk bergembira.
“Actualy, this game a bit different. Game yang WOW dan enggak akan terlupakan. Tapi elo malah minta asisten elo ngewakilin. I hope, elo gak nyesel nanti, Em!”
“Kalo boleh tau, itu game apa?” Tanya Anggi. Perasaanya mulai tidak enak.
“Ayo masuk ke kamar Biru Muda. Gue jelasin di sana,” sahut Davina.
Rasa ingin tahu yang membuncah menuntun Anggi mengikuti langkah Emilia memasuki satu-satunya pintu penghubung. Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas tetapi remang. Hanya ada cahaya redup di langit-langit ruangan yang cukup tinggi. Cahaya itu hanya membantu membuat bentuk samar yang memberi penunjuk akan adanya suatu benda.
Kamar Kegembiraan atau juga disebut Ruang Biru Muda adalah ruangan luas yang bentuknya mirirp tempat pertunjukan seni panggung. Luas ruangan itu 600 meter persegi dengan tinggi tembok delapan meter. Setengah ruangan itu adalah panggung dan setengah lagi adalah ruangan kosong yang biasanya diisi kursi sebagai tempat menonton. Hanya ada sebuah pintu masuk di sebelah Utara dekat panggung. Panggung berbentuk memanjang dengan tinggi satu meter dari lantai.
Monica mengarahkan teman-temannya ke tengah-tengah ruangan. Memersilahkan mereka duduk di kursi yang berjarak sekitar dua meter dari tangga yang berfungsi untuk naik ke atas panggung.
“Let’s start the game!”
Davina tertawa renyah kemudian menekan saklar. Seketika cahaya terang menyorot dari atas menyinari sepertiga panggung, yaitu bagian kanan panggung. Memperlihatkan sebuah tempat tidur berwarna putih berukuran 4 x 4 meter dikelilingi kelambu tipis biru muda. Di atasnya duduk lima orang lelaki memakai penutup mata dengan pakaian serba hitam.
Saklar kedua ditekan. Cahaya kembali menyorot dari atas, kali ini kebagian sebelah kiri panggung. Di sana terdapat lima kursi berderet. Di setiap kursi, duduk satu orang lelaki menghadap ke arah kursi penonton. Mereka mengenakan penutup mata warna hitam dan juga masker bibir. Pakaian mereka cukup aneh, yaitu celana pendek dan baju kaos mirip pakaian olahraga. Warnanya mencolok dan masing-masing memiliki warna berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.
Saklar ketiga ditekan dan lampu menyorot ke tengah-tengah panggung. Seluruh panggung menjadi terang. Terlihat dua buah sofa berwarna biru tua sepanjang dua meter di posisiakan berhadapan. Jarak antar sofa sekitar satu setengah meter. Di antara sofa berdiri dua orang yang memakai topeng power ranger. Jenis kelamin mereka tidak dapat dikenali dengan jelas karena mengenakan jubah hitam lebar bertuliskan ‘JURI’. Selain itu, terdapat juga sebuah layar berukuran lebar tidak jauh dari sofa, menunjukan angka 00:00:00. Penanda, jam : menit : detik.
Alis Anggi mengkerut. Gadis itu menggigit kukunya. Sejak tadi dia berpikir, kira-kira permainan apa yang akan mereka mainkan. Sudah pasti ini bukan permainan yang biasa. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya.
Monica yang menggunakan kaos putih tanpa lengan dan celana jeans pendek berdiri di hadapan kelima wanita lainnya. Sebuah tatoo bunga kecil terlihat di lengan kanan wanita itu.
“Oke! Dengerin baik-baik! Aturan mainnya simple,” kata Monica.
“Pertama, kalian harus memilih salah satu dari lima lelaki yang duduk di kursi.” Telunjuk Monica mengarah ke panggung tempat lelaki pakaian warna-warni duduk. “Mereka memiliki nomor di punggung baju masing-masing.”
“Setelah kalian memilih, kalian akan mendapat nomer urut sesuai nomor yang tertera di punggung mereka. Ada nomor dari satu sampai lima.” Monica melanjutkan penjelasannya.
“Kemudian kalian akan masuk ke dalam permainan. Kalian dan jagoan pilihan kalian akan saling berhadapan di sofa di tengah panggung.“ Monica menarik nafas sejenak. ”Tugas kalian gampang-gampang nikmat. Kalian diberi waktu tiga puluh menit untuk membuat mereka ‘croot’ tanpa menyentuh. Sudah ada juri yang akan menjadi pengawas dan tukang hitung waktu.”
“Crot?! Maksudnya apa Bu?” Anggi mengerutkan alis bingung.
“Sperma menyembur dari penis mereka, Anggi! Hihihi,”
Anggi shock. Ucapan yang baginya tabu diucapkan dengan santai oleh mereka. Meskipun dia menjadi paham dengan apa yang dimaksud ‘croot’, tetap saja Anggi merasa malu dan risih.
“Simple-nya begini Anggi, kamu hanya perlu berhadapan dengan lelaki pilihanmu, biarkan dia memainkan penisnya sendiri. Kamu hanya perlu menggoda. Tapi ingat! TIDAK BOLEH menyentuh mereka.”
“Elo boleh buka baju dan pamerin toket lo!”
Dug Dug Dug. Jantung Anggi menendang-nendang. Wajahnya merah, mendengarnya saja dia sudah malu, apalagi harus melakukan itu semua. Dia tidak percaya perempuan itu mengatakan dengan begitu luwes hal yang menurut Anggi sangat tabu.
“Mimpi! Ini pasti mimpi!”
Anggi diam-diam mencubit kulitnya. Anggi merasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi. Dia mendadak ingin pergi dari ruangan itu, tetapi sudah terlamabat. Dia sudah berjanji dengan mereka. Bisa saja hal yang lebih gila akan terjadi kalau dia membatalkan janjinya.
“Kamu paham kan, Nggi?!”
Anggi tersentak. Dia menganguk lemas, tidak terucap apapun dari bibirnya. Ludahnya mendadak terasa pahit.
“Pemenangnya adalah yang memiliki waktu tercepat untuk croot dan yang kalah adalah yang membutuhkan waktu paling lama untuk croot!”
“Gimana kalo kaga croot setelah waktu habis?” Diandra bertanya.
“Berarti mereka homo, atau kalian bukan wanita asli. Hihihi.” Davina tertawa manis.
“Trus lima laki di tempat tidur itu mo ngapain?”
“Gue akan jelasin lebih lengkap dari atas panggung. Okaay?”
Rimelda yang memakai dress ketat hitam maju ke panggung. Dia mengulangi apa yang dijelaskan Monica tadi dengan lebih bersemangat dan berapi-api.
“Yang butuh waktu paling lama untuk ‘croot’ dinyatakan sebagai pecundang atau loser. “
“Hukuman bagi pecundang adalah menjadi budak mereka yang ada di tempat tidur!”
Rimelda menunjuk tempat tidur yang berisi lima lelaki dengan mata tertutup kain. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari tempat tidur. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan bergembira.
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
Kata-kata itu berputar di kepala Anggi. Anggi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendekat ke arah Emilia dan mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin membatalkan permainan itu. Dia tidak sanggup melakukannya.
“Elo mau ingkar janji?! Tidak segampang itu!” Davina berucap dengan sorot mata tajam. “Kalo elo gak mau ikut. Elo bakal diserahin pada lelaki di panggung.”
“Kamu dianggap kalah tanpa bermain!! “ Monica menimpali. “ Bukan begitu Em?”
Anggi gemetar. Dia memandang Emilia penuh harap.
“Anggi, jangan permalukan saya. Tolong ikut bermain. Kamu pasti bisa!” Emilia berucap serius.
Anggi merasa ada tembok besar yang mendadak menghimpit tubuhnya mendengar ucapan Emilia. Harapannya untuk tidak ikut bermain pupus sudah. Dia mencoba menguasai diri. Mencoba menguatkan hati sambil menunduk dengan tubuh bergetar. Dia merasakan tubuhnya mendadak begitu panas. Aliran darahnya sangat cepat. Ketakutan menguras seluruh fokusnya. Dia menyesal berjanji mewakili Emilia.
“Oke, sekarang kita persilahkan tamu spesial kita untuk memilih jagoannya.” Teriak Rimelda dari panggung. “Anggi! Kamu yang pertama memilih!”
Saking fokusnya Anggi dengan pikiran sendiri, dia tidak mendengar ketika Rimelda menyebut namanya beberapa kali.
“Anggi!” Teriakan Emilia menyadarkanya.
“Eh! Apa?”
“Kamu pilih yang mana?”
Anggi mengumpat dalam hati. Sekarang dia harus memilih diantara kelima lelaki berpakaian aneh itu. Dalam kekalutan Anggi mencoba keberuntungan mengunakan trik kuno. Dengan tangan gemetar dia menghitung kancing kemejanya.
Merah
Kuning
Hijau
Biru muda
Biru tua
Merah
Hitungan Anggi berhenti di merah. Dengan gugup Anggi menunjuk lelaki yang memakai pakaian warna merah. Dia berdoa dalam hati agar mendapat hal yang terbaik. Lelaki itu memiliki nomor punggung 4. Setelah semua memilih, hasilnya adalah, Monica Nomor 1, Rimelda nomor 2, Davina Nomor 3, Anggi Nomor 4, dan Diandra Nomor 5.
Anggi lega sekaligus galau berat. Dia sedikit lega karena masih punya waktu berpikir. Dia mulai menghitung, dia mempunyai waktu maksimal 90 menit sebelum gilirannya tiba.
“Kenapa mereka tenang sekali?” Anggi heran ketika melirik wajah anggota A-Lima. “Apa hukuman itu hanya sekedar ancaman?”, Anggi membatin. “Atau mereka memang gila?”
“Ayo kita mulai. Nomor satu maju ke panggung!” Terdengar teriakan juri.
Anggi mencoba mengumpulkan ketenangan. Matanya teralihkan ke panggung karena penasaran. Juri melepas penutup mata si nomor 1. Laki-laki itu duduk di sofa menunggu Monica yang melenggok anggun menuju panggung.
Monica menghempaskan tubuhnya ke sofa dan duduk berhadapan dengan si nomor 1. Pahanya yang kencang berisi hanya sedikit tertutup celana pendek ketat.
“Mulai!” terdengar teriakan juri.
Monica bersandar di sofa, dia meremas paha. Tatapan matanya menggoda lelaki di depannya. Lelaki itu sudah memelorotkan celana sampai ke lutut. Tangan kanannya memegang penis sambil mengocok pelan.
Deru nafas si nomor 1 semakin berat ketika Monica melepas celana pendek sekaligus celana dalamnya dan melempar ke sofa tempat duduk si lelaki. T-shirt Monica yang agak lebar menyembunyikan vagina wanita itu dari pandangan si lelaki. Dada si lelaki berdebar keras melihat bokong dan pinggul Monica yang begitu menggoda. Tangannya semakin cepat mengocok penis.
Monica kemudian duduk bersandar di sofa menghadap si lelaki. Perempuan berkulit putih itu menaikkan kedua kaki. Membuka lebar paha sehingga kakinya membentuk huruf M. Dia menyingkap ke atas T-Shirt yang dikenakan sehingga terlihat vagina tembem tanpa rambut di bawah perut yang rata dengan tatoo ivy melingkari pusar.
Lelaki di depannya semakin tegang. Kocokan penisnya semakin cepat. Nafasnya tersengal menyaksikan jari tangan Monica mengubel-ubel alat kelamin sendiri. Permukaan lubang vagina Monica terlihat cukup jelas oleh si nomer 1. Monica menjulurkan lidah kemudian membasahi tangan dengan air liur. Tangannya kembali turun memainkan vagina. Monica membelai klitoris, gerakan tangannya sangat cepat. Bokongnya bergerak menggesek sofa. Desahan keluar dari bibirnya.
Plllaakkk
Pllaaakk
Tangan kiri Monica menampar paha sendiri sehingga bergetar dan berwarna kemerahan. Tangan kanan semakin bersemangat memainkan vagina. Wanita itu merasakan tubuhnya semakin panas. Dia membuka T-Shirt yang dikenakan dan melempar ke lantai. Payudara Monica tidak dapat ditutup sempurna oleh bra yang dikenakannya, terlihat menyembul indah menggairahkan.
Monica berdiri. Dia menungging ke arah si nomor satu. Menggerakan pinggul dan meliuk menggoda.
Pllaaakkk Plaaakkkk Plaaakkkk
Monica menampar pantat sendiri yang membulat.
Penis si nomer satu berkedut keras menyaksikan pantat Monica yang bergerak menggoda. Monica kemudian mengangkang dan menungging. Dia kembali memainkan vagina dalam posisi itu. Dua jari wanita itu masuk keluar masuk vagina sendiri dengan cepat.
Pleeek Pleeek Pleeek
Terdengar suara vagina yang basah ketika bersentuhan dengan tangannya.
Si nomor 1 merasakan aliran darahnya begitu panas. Dia berdiri sambil mengocok penis dengan cepat. Dia membayangkan penisnya masuk ke lubang vagina Monica.
“Ahhhh Ahhhh hhsssshhhh”
“Arrrgggggggggg Hhhhhhhh”
Crooooooottt croooot
Pada hitungan 00:12:40. Si nomor 1 mengejang dengan sperma menyemprot ke lantai dan hampir mengenai tubuh Monica. Nafas lelaki itu tersengal. Monica mendekat ke arahnya dan memberi kecupan di bibir lelaki itu.
“Thanks....!”
Monica terlihat puas. Kemudian dengan bangga dia menaikkan tangan menghadap ke arah teman-temannya sambil berteriak. Si nomor 1 meninggalkan panggung dan Monica mengenakan pakaian, kemudian kembali duduk mencari teman-temannya.
Tubuh Anggi bergetar hebat menyaksikan hal itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Gilaaaa! Ini gilaaa!”
Tubuh Anggi panas bukan main. Keringat dingin muncul di keningnya. Dia menatap keempat perempuan lain yang berada di sampingnya. Semua menunjukan ekspresi biasa saja. Rimelda dan Davina malah terlihat berteriak penuh semangat. Emilia dan Diandra kalem.
“Ayoo! Nomer dua maju!!”
Rimelda berlari ke atas panggung. Dia begitu bersemangat. Si nomer 2 sudah duduk di sofa tanpa mengenakan penutup mata.
“Masker lo lepasin dong!” Rimelda berteriak. Si nomer 2 menurut. Rimelda tersenyum senang, “Anak baik. Ayyooo kita bersenang-senang!”
Si nomer dua berhadapan dengan Rimelda. Celananya melorot sampai ke lutut. Melihat perempuan berpakaian seksi itu dia sudah merasa sangat tegang. Bentuk tubuh Rimelda berisi dan fuck-able sekali.
Rimelda meraih tali dress di lengan dan melepasnya. Dia menarik turun dengan pelan. Payudara yang bulat menyembul indah. Lelaki itu menahan nafas melihat payudara besar tapi kencang milik Rimelda. Putingnya mengacung menantang. Rimelda menggoyangkan tubuh. Kedua payudara bergetar. Tubuh si nomer dua juga bergetar hebat. Dia mengocok penisnya semakin cepat.
“Elo pengen nyedot ini? ” Rimelda meremas dada sambil mendesah penuh nafsu. “Julurin lidah lo dan jilat sepuasnya. Eyyyaaahhhhhh... aaaa shhhh!”
Lelaki itu menurut dan menjulurkan lidah seperti orang sedang menjilat payudara. Rimelda mendesah sambil menggoyangkan tubuh erotis. Dia meremas payudara sendiri dengan kasar. Memainkan puting dengan jemari seolah disedot oleh lelaki itu. Dia membayangkan dan begitu menghayati.
“WOW! Penis lo gede banget! Kalo elo menang, gue bakal ngeseks ama elo!” Rimelda menjulurkan lidah. “Gue bakal telen penis lo sampe nyangkut di tenggorokan gue! Pasti nikmat banget. Mulut gue pasti meluber. Owwwwwwhhhh.”
“Ato kontol elo mau di jepit pake ini?” Rimelda menggesekkan kedua payudara.
“Kalo elo masih belom puas, gue masih punya aset yang lain!” Rimelda dengan tergesa melepas dress beserta dalamannya sehingga dia telanjang bulat. Tubuh indah Rimelda benar-benar terekspos di hadapan lelaki itu.
“Liat bokong gue!” Rimelda membelakangi lelaki itu. Dia menggerakkan pinggul sehingga bokongnya bergetar. Perempuan itu kemudian menari erotis. “ Elo suka kan? Kalo elo mau. Nanti Elo bisa tampar, cium, dan gigit ini sepuasnya! ”
“Gue akan goyang elo sampe puas dan minta ampun! Hihihi.”
Rimelda kemudian menungging. Dia menunjukan vagina indahnya ke hadapan lelaki itu.“Elo boleh masukin kontol elo ke sini!”
“Gue bakal jepit, remes, aduk sampe elo teler!” Rimelda goyang ngebor di atas panggung. Lelaki itu mendesah dan bersemangat mengocok penisnya. Gerakan tangannya super cepat. Wajahnya merah menahan nafsu.
“Hhhmmmmppps sssssshhhhh!!”
Crooooootttt crrrooot
Spermanya menyemprot. Waktu yang di butuhkan adalah, 00:10:13.
Rimelda melonjak girang. Dia berlari ke arah lelaki itu kemudian mengelus penis yang mulai mengecil.
“ Elo kalah, Monic!”
Rimelda berteriak sambil menunjuk Monica. Dia kemudian mengenakan pakaian dan kembali ke tempat duduk.
“Nomer tiga, maju!”
Davina berdiri kemudian menghadap ke arah lima perempuan di dekatnya. Dengan gerakan lincah wanita itu melepaskan dress dan melemparkan ke wajah Rimelda.
“Gue bakal ngalahin elo!”
Davina tersenyum angkuh. Dengan hanya menggenakan celana dalam dan bra dia melangkah anggun menaiki panggung, dengan gaya seorang model dia berputar beberapa kali sambil tersenyum menggoda ke arah si nomor 3.
“Mulai!” Juri mengeluarkan aba-aba.
Davina berdiri di hadapan lelaki yang duduk telanjang dengan penis yang sudah tegang. Mata lelaki itu menatap lekat tubuh indah perempuan yang ada di depannya. Pinggang Davina sangat ramping, perutnya rata tanpa timbunan lemak, pantatnya begitu menonjol kebelakang dan sangat kencang.
Dengan gerakan tubuh indah dan menggoda, dia melepas celana dalam dan bra. Melempar lembut ke lelaki di depannya. Celana dalam Davina tepat mendarat di wajah lelaki itu.
“Pake CD gue buat ngocok penis elo. Dijamin lebih lembut dari tangan lo!”
Lelaki itu mengambil bra dan celana dalam Davina. Dia menempelkan di wajahnya. Tubuh lelaki itu menggigil menghirup aroma menggairahkan yang masih melekat di sana. Dia kemudian memakai celana dalam Davina untuk membungkus penis dan menggerakkan naik turun. Ucapan Davina benar. Celana dalam itu sangat lembut dan terasa begitu hangat. Lelaki itu mendesah nikmat sambil mengamati tubuh telanjang Davina di depannya.
Davina duduk di lantai cukup dekat dengan si nomor tiga. Wanita bertubuh langsing itu meremas payudaranya yang berukuran sedang tetapi kencang. Menjulurkan lidah menjilat puting dengan lidah yang meruncing dan basah. Gairah si nomer tiga begitu menggebu. Tarikan nafasnya sangat berat. Lembut celana dalam Davina membuat penisnya cepat berkedut. Dia mengocok penis sambil menghirup aroma bra Davina yang masih menempel di hidungnya.
Davina mengangkang. Vaginanya berbentuk tipis indah. Sangat pas dengan bentuk tubuhnya yang langsing. Dia membasahi jemari tangan, kemudian dengan jari dia melebarkan permukaan lubang vaginanya yang berwarna kemerahan. Pantatnya bergerak menggesek lantai. Jari tangannya menggosok klitoris dengan cepat.
Lelaki itu masih belum croot meskipun nafasnya sudah menderu kencang. Tatapan matanya semakin nanar ketika melihat Davina sudah berada di ujung sofa. Perempuan itu mengangkang dan menggesekkan vagina di pinggiran sofa yang lembut. Pinggul perempuan itu menyentak indah, teratur dan sangat erotis.
Si nomor tiga dapat melihat cukup jelas vagina Davina bergerak menyusuri lembutnya sofa. Dia membayangkan penisnya berada di lubang vagina perempuan itu. Dia memimpikan bokong semok davina menari lincah di atas tubuhnya. Dia mengocok penisnya dengan cepat, semakin cepat berpacu dengan waktu.
“Ahhhhhh Shhhaaaatttttt!”
Sperma lelaki itu menyempot. Lelaki itu sengaja mengarahkan penisnya ke bra Davina. Si nomor 3 croot pada, 00:14:15 .
“Bra dan CeDe gue lo ambil sebagi hadiah!” ujar Davina. Dia kemudian berjalan ke arah teman-temannya dengan tubuh telanjang. Mengenakan dress tanpa bra dan celana dalam.
Anggi merasa tubuhnya bergetar hebat. Anggi tegang bukan main. Dia tahu beberapa detik lagi adalah gilirannya. Dia masih bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Adegan yang diperagakan ketiga perempuan itu masih belum bisa dipercaya oleh Anggi. Mereka perempuan tidak tahu malu. Itulah yang ada di benak Anggi.
No 1 : 00:12:40
No 2 : 00:10:13.
No 3 : 00:14:15
Hasil sementara Rimelda menang dan Davina yang kalah. Posisi Monica aman. Mereka hanya menunggu hasil dari Anggi dan Diandra.
“Ingat! Hukuman bagi yang kalah adalah dipersembahkan kepada lima monster buas yang ada di sana! Berhati-hatilah kalian dalam bermain!”
Ucapan Rimelda berputar-putar di kepala Anggi, dia merasa pusing. “Apakah aku harus kabur dari sini?” Anggi melihat sekelilingnya. Sepertinya hal itu tidak memungkinkan.
“Ayo! Sekarang giliran si nomor empat!”
Anggi menatap ke panggung. Lelaki nomor 4 sudah berjalan ke arah sofa. Anggi masih tidak bergeming.
“Ayo Anggi! Semangat! Kamu pasti bisa!”
Rimelda berteriak. Seperti diperintah, tubuh Anggi bergerak maju ke panggung dengan lunglai. Wajahnya begitu pucat. Dia berjalan seperti tidak sadar. Pikirannya melayang kemana-mana. Otaknya sudah tidak kuat memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Anggi mulai sesak ketika berada di panggung. Dia merasa begitu asing dengan tempatnya berpijak. Asing dengan orang yang menggelilinginya. Anggi merasa berada di dimensi lain yang menyesatkan. “Apa yang harus kulakukan agar bisa menang?”
“Kalian siap? Kami akan mulai menghitung!” Teriakan juri memasuki telingga Anggi tetapi otak gadis itu tidak bisa mencerna. Anggi tidak merespon. Dia tercekat dan tidak dapat menyahut.
“TUNGGU!!!” Terdengar teriakan keras dari kursi penonton “ GUE MAU DUEL!!”
Anggi terkejut mendengar suara Diandra. Dia melihat perempuan berkacamata itu berdiri kemudian naik ke panggung. Diandra menjelaskan kalau duel yang dimaksud adalah mereka akan maju berbarengan, nomor 4 dan nomor 5 akan manggung bersama. Menggoda jagoan masing-masing secara bersamaan.
“I think, itu seru juga. Gue setuju!”
“Gue sih Yes!”
“Gue juga!”
Teman-teman yang lain juga menyetujui permintaan Diandra. Terdengar sorakan mereka memberi dukungan.
“Gimana?! Elo, mau duel, Nggi?”
Anggi pasrah. Dia setuju saja. Dalam pikirannya hasilnya akan sama. Semua akan terasa berat baginya. Baik duel atau tidak.
“Kalian siap?” Terdengar teriakan juri. ” Kami akan mulai menghitung!”
“Siap! Gue sangat siap!”
Waktu mulai berjalan. Anggi kebingungan.
“Apa aku harus menari?”
“Apa aku harus telanjang?”
“Apa aku harus menawari mereka bercinta?”
Pertanyaan itu datang silih berganti di kepalanya. Anggi melirik Diandra yang berada di sebelah. Dia melihat Diandra duduk santai sambil melipat salah satu kaki. Diandra memejamkan mata bersandar di sofa. Seperti orang tidur.
Diandra seperti sadar kalau Anggi memandangi. Bibir mungilnya berdecak kemudian dia membuka mata dan melirik Anggi. “Elo tegang banget! Ini hanya game. Santai aja!” Diandra kembali memejamkan mata. Sorot matanya begitu tenang. Seolah tidak terjadi apapun. Anggi tidak menyahut. Dalam hatinya dia mencaci maki Diandra.
“Kenapa bisa seperti itu?” Anggi membatin. “Apa mereka sudah terbiasa dengan lelaki?”
Anggi tidak punya waktu banyak memikirkan Diandra karena terdengar teriakan dari kursi penonton. Dia menelan ludahnya beberapa kali. Kepalanya berputar mengamati sekelilingnya. Dia benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Ayyoooo Anggiii! Buat dia crooot!”
“Tunjukan kalau dirimu wanita yang hebat. Ayo kalahkan Diandra!”
Suara Rimelda dan Monica begitu riuh sehingga Anggi mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Teriakan itu menyadarkan Anggi akan beratnya hukuman bagi yang kalah.
Waktu semakin cepat berlalu. Anggi masih belum melakukan apapun. Dia melirik si nomer 4 dan nomor 5. Dia melihat mereka menggengam penis yang sudah menegang. Telinga Anggi tiba-tiba mendengar derai tawa Diandra.
“Lumayan! Bisa tidur lima belas menit!”
Anggi tersentak dan langsung melihat ke arah layar.
00:15:04
“Salah satu dari kita pasti kalah! Hahaha,” ujar Diandra.
Anggi memaki dirinya sendiri. Ternyata dia telah terjebak dalam permainan Dindra. Sekarang dia mengerti kenapa Diandra tidak melakukan apapun, ternyata perempuan itu menunggu waktu selama lima belas menit.
“Permainana ini sudah diatur. Yang kalah sudah ketahuan.” Diandra menaikan salah satu sudut bibirnya. “Salah satu dari kita akan kalah!”
Dindra kemudian berdiri dan berteriak. Dia menaikan kedua tangan dan menghadap ke arah teman-temanya di kursi penonton. Teman- temannya bersorak gembira, wajah Anggi pucat. Dia melihat hal yang sangat berbeda dari Diandra.
Anggi memalingkan pandanganya ke arah kursi, dia melihat Monica berbisik-bisik kepada Emilia. Emilia tertawa lepas sambil melirik Anggi. Dia begitu bergembira melihat ketegangan Anggi.
“Ayo semanggat, Nggi!” Emilia kegirangan. Dia bertepuk tangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Entah kenapa Anggi menjadi muak mendengar kata-kata Emilia yang biasanya begitu dikaguminya. Senyum manis Emilia seolah berubah menjadi senyum penyihir jahat yang memperdaya anak-anak.
Cuiiih! Anggi ingin sekali meludahi wajah Emilia. Wajah perempuan itu mendadak terasa asing bagi Anggi. Dia ingin menumpahkan amarahnya. Semua ini terjadi karena dia menuruti permintaan Emilia. Wanita jahanam itu menariknya kepermainan ini. Anggi sedih dan muak, dia merasa ditipu dan dikhianati. Rasa benci kepada Emilia memuncak. Tangan Anggi mengepal. Kelopak matanya panas dan berkedip cepat.
“Inikah monster yang dikatakan teman-teman Emilia?!”
Air mata Anggi menetes. Dia mengusap dengan jari. Dia tidak ingin ketahuan menangis.
“Aku harus menang! Harus!!”
Emosi Anggi sudah tidak bisa dikendalikan. Dengan tangan bergetar hebat karena rasa frustasi, dia melepas kancing kemeja.
“Inikan yang kalian mau!”
Anggi menjerit. Dihempaskan kemeja sehingga terbuka. Dengan penuh amarah dia melemparkan kemeja ke arah Emilia dan teman-temannya. Dia tidak peduli dengan tubuhnya yang hanya mengenakan bra dan celana panjang. Perasaan malu lenyap ditelan amarah.
“Buka!”
“Buka!”
Penonton semakin riuh. Anggi merasa dirinya sudah gila. Tangannya semakin bergetar, Dia meraih kait bra dan hendak melepasnya.
Plaaaakkk
Kedua telapak tangan Diandra memukul pipi Anggi, sebelum Anggi sempat melepas bra. Tangan Diandra bergerak, memutar kepala Anggi sehingga wajah mereka berhadapan.
“Lihat wajah gue! Semua sudah diatur. Yang kalah sudah di tentukan sebelum kita memilih mereka! Elo percaya bukan?” Diandra tersenyum licik.
“Oh Tidak!!” Anggi memekik tidak percaya melihat wajah Diandra penuh cairah sperma. Senyum Diandra membuat kesadaran Anggi mulai berkurang.
“Aa aa aku kalah!! Tiii tiddaaaak!”
Dug Dug Dug
Jantung Anggi menendang dadanya dengan keras. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa semakin berat. Dia mencoba menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba mengisi paru-parunya dengan oksigen. Otaknya menolak. Anggi merasakan lantai yang dipijaknya berputar. Dia mengoyangkan kepala ketika kesadaran mulai berkurang. Nafasnya tersengal, dia merasa tidak mampu menopang tubuhnya. Anggi terjatuh lunglai.
“Anggi!!!”
“Sempit banget! Sepertinya masih perawan, hehehehe!”
“Gue yang pertama!”
“Tidak! Gue yang pertama!”
“Gue!”
“Gue!”
Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan.
Di ruangan luas bercat biru tua dengan nyala lampu terang benderang, lima wanita duduk mengitari meja besar yang penuh dengan hidangan makanan. Suara gelak tawa mereka bercampur dengan denting peralatan makan yang beradu.
“Asisten lo gimana, Em?”
“Aman,” jawab Emilia, “ tapi dia polos banget. Gue jadi nyesel.”
“Elo emang kejam, Em! ” Rimelda menyahut. “Gue udah ngasi tau dia buat ngejauhin Elo, tapi dia gak mau. Hihihi.”
“Gue enggak kejam. Kalian aja yang bikin permainan kurang ajar.”
Rimelda tertawa kemudian bangkit untuk mengambil sesuatu di kulkas.
“Kalian pasti suka ini.” Rimelda mengacungkan botol berisi minum berwarna merah. “ Magic mushroom!”
“It’s very old fashioned! Minuman kuno dan ketinggalan jaman!” Monica mencibir.
“Kuno tapi gue masih suka. Sekarang susah nyarinya. Hargai lah!”
Rimelda kemudian meletakkan botol itu di sebuah meja kaca tebal berbentuk persegi tidak jauh dari meja makan. Di atasnya terdapat beberapa jenis kue dan camilan terbungkus plastik. Empat buah sofa panjang berukuran sama dan berwarna biru mengelilingi meja setinggi setengah meter itu.
Rimelda duduk di salah satu sofa kemudian berucap, “ Gue suka minuman ini karena efeknya enggak buruk. Kita bisa tertawa sepanjang malam, seperti dulu!” Rimelda kemudian menuangkan minuman itu ke dalam sebuah gelas kecil. “ Elo mau minum ini kan, Monic?”
“Yes!! Let’s ejoy the night!”
Anggi terbaring telentang di atas springbed dengan mata terpejam. Sebuah bantal menyangga kepalanya. Deru nafasnya halus. Dia masih belum sadarkan diri. Telinga Anggi samar-samar mendengar suara, tetapi kelopak matanya enggan dibuka meskipun dia sudah mencoba beberapa kali.
Anggi merasakan jari lembut menyentuh pipi kemudian menyusuri bibirnya. Begitu lembut sampai Anggi terbuai. Tenaga yang hendak digunakanya untuk membuka mata mendadak hilang, dihisap oleh sensasi nikmat dan lembut yang menjalar di bibirnya.
“Bibir?!“
Anggi merasa ada seseorang yang menempelkan bibir di atas bibirnya. Bibir lembut itu kemudian mengulum bibir Anggi. Anggi pasrah dan tidak bisa melawan. Bahkan ketika bibir itu semakin mendesak, Anggi malah mengikuti alurnya. Dengan mata masih terpejam, Anggi membuka bibir, menyambut lidah yang lembut dan hangat memasuki rongga mulutnya. Lidah mereka bergulat saling membelit. Anggi menggeliat dan mendesah. Dia tidak berusaha membuka mata. Dia memilih menikmati dengan mata terpejam.
Indera perasa Anggi jauh lebih peka. Nafas Anggi menderu berat ketika merasakan jemari lembut membelai lengan, kemudian bergerak menyentuh payudaranya. Jemari itu terasa begitu halus di kulit Anggi, darah Anggi berdesir bergejolak. Payudaranya mengeras.
“Shhhhssss ! Hmmmmpppp!!”
Anggi mendesah tertahan saat merasakan jemari tangan memainkan payudaranya. Meremas lembut gundukan, kemudian membelai putingnya. Ciuman di bibirnya semakin panas dan bergairah, Anggi sampai menggerakan kepala mengimbangi.
Tangan Anggi perlahan terangkat. Dia ingin menyentuh sesuatu untuk pelampiasan rasa nikmat. Tetapi dia tidak bisa menyentuh apapun, tanganya berhenti sejenak di udara, kemudian turun dengan kencang menghantam kasur.
Bluuug
Kasur begoyang, begitu juga tubuh Anggi. Dia tersentak kaget. Sensasi nikmat yang tadi dirasakan Anggi mendadak lenyap, menguap dengan cepat seiring kesadaranya yang mulai pulih.
“Kamu baik-baik saja, Nggi?”
Mata Anggi langsung membuka mendengar suara lembut Emilia. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuh Anggi sehingga dia tidak mampu menjawab. Ditatapnya wajah Emilia dan Diandra dengan tatapan kosong. Kesadaran Anggi semakin pulih. Dia menyadari dirinya sudah berada di sebuah ruangan bercat hijau. Mendadak dia teringat kejadian di Ruang Kegembiraan, wajahnya langsung pucat. Dia melihat ke sekujur tubuhnya dengan panik.
“Apa semua yang terjadi di panggung hanya mimpi?” Anggi membatin.
“Game belum selesai, kamu udah gedubrak duluan!” Diandra berucap sambil tertawa. “Em tadi nangis meraung-raung! Dikiranya dikau udah koid. Mati! Haahaha!”
Ucapan Diandra membuat Anggi menyadari kalau yang terjadi di panggung bukan mimpi. Dia kemudian teringat kejadian sebelum dia pingsan. Teringat hukuman yang akan diterimanya. Wajahnya mendadak pucat.
“Saya kalah. Saya takut!” Suara Anggi bergetar.” Bagaimana dengan hukumanya?” Anggi merasa khawatir.
“Mana mungkin menghukum orang yang pingsan. Kami tunggu kamu sadar dulu.” Ucapan Diandra membuat Anggi semakin panik.
“Hihihi, bukan kamu yang kalah tapi lelaki pilihan Diandra.” Emilia menjawab sambil tertawa, “yang croot nomer empat, bukan nomer lima. Mungkin penisnya bengkok, makanya nyemprot ke muka Diandra.”
Diandra tertawa kemudian ikut menjelaskan. Anggi akhirnya tahu kalau sperma yang menyemprot ke wajah Diandra adalah sperma cowok nomer empat, jagoan Anggi.
“Hukumannya gimana? Tidak serius?” Anggi merasa heran kenapa Diandra masih di sini dan tidak dipersembahkan kepada lima lelaki di tempat tidur. Selain itu Anggi merasa bersyukur karena tidak sampai harus menggoda lelaki itu dengan hal yang memalukan baginya. Meskipun dia sudah sempat panik dan membuka bajunya.
“Tetep jalan. Yang nerima hukuman kan yang kalah, yang tidak croot. Gue kan hanya salah pilih jagoan,” ucap Diandra tenang. “Kita kan hanya pemilih. Mereka yang bertanding dan nerima resiko.”
Anggi lega dan baru mengerti sekarang. Ternyata yang dianggap loser atau pecundang bukanlah wanita yang memilih, tetapi pria yang tidak bisa ‘croot’. “Pantes aja mereka tenang sekali!” Anggi membatin. Dia mulai sadar kesalahannya mengartikan kata, tetapi masih ada suatu pertanyaan yang terbesit di benaknya.
“Trus lelaki yang kalah itu diapain?”
“Tidak croot berarti homo. Dia pasti lagi gembira ama teman sejenisnya, “ sahut Diandra. “Seperti yang gue bilang di panggung, permainan ini udah diatur si Monic dan Davi. Yang kalah udah ketahuan sebelum permainan dimulai.”
“Homo tidak akan ngaceng liat wanita kayak kita ini, dia hanya tertarik sesama jenis.”
Diandra kembali menjelaskan. Kelima lelaki yang berada di tempat tidur itu adalah gay dan salah satu dari kelima lelaki yang ikut lomba ‘croot’ juga gay. Monica si event organizer sengaja merancang hal itu. Dia sudah memprediksi lelaki yang gay tidak akan bisa “croot” ketika disuguhi tubuh wanita cantik.
Anggi bergidik mual membayangkan hal itu. Dia tidak percaya ada lelaki yang menyukai sesama jenis. Apalagi lelaki itu terlihat keren.
“Game itu memuakan. Terlalu banyak kelemahanya.” Diandra protes. “ Em beruntung elo mau ngewakilin!”
“Gue sengaja minta duel karena gue males ngegodain mereka. Gue pikir, elo bakal nari telanjang di panggung. Eh ternyata, elo malah panik,” Diandra menjelaskan.” Kalo duel kan cuma butuh satu orang aja untuk godain. Toh, kedua laki itu duduk tidak disekat dan bisa liat kita langsung. Rencana gue, elo yang telanjang, gue yang diem. Hasilnya kan bakal sama, yang gay yang tidak croot. Hihihi!”
“Monic ama Davi bodoh. Mereka setuju-setuju aja pas elo minta duel. Hihihi.”
“Otak mereka mah selalu eror kalo lagi kepepet.”
Diandra dan Emilia tertawa lepas. Anggi juga merasa begitu lega. Janji Emilia kepadanya terbukti, dia aman dan selamat.
“Oh ya! Tadi kamu tidur sambil senyum-senyum. Mimpi indah ya, Nggi?”
Wajah Anggi mendadak bersemu merah mengingat ciuman dan belaian yang dirasakanya tadi. “Huft, Mimpi yang tampak nyata.” Dia merasa malu. Malu karena mimpi itu dan malu karena pingsan ketika permainan.
“Kamu makan dulu! Kamu belum makan dari sore.” Emilia menunjuk makanan di atas meja kecil di pojok ruangan. “Saya ma temen-temen di kamar sebelah. Ruangan biru tua. Kamu ke sana aja kalau mau gabung.”
“Daaahhh Anggi,” Diandra melambaikan tangan kemudian meninggalkan Anggi sendirian.
Pikiran Anggi masih kalut ketika Diandra dan Emilia meninggalkanya. Dia menghempaskan diri ke tempat tidur dengan kuat. Dia ragu apakah dia berada di alam nyata atau mimpi. Dia merasa sangat aneh dan asing dengan momen yang dilaluinya. Semua rasanya seperti mimpi di malam yang panjang. Rasa benci kepada A-Lima yang sempat mengusik pikiranya sudah hilang. Dia menyesal karena sempat menganggap Emilia penipu.
Anggi mengusap wajah. Dia mencoba mengakrabkan diri dengan suasana di sekitarnya. Ditatapnya ruangan luas tempatnya sekarang tidur. Tembok warna hijau. Langit-langit ruangan yang tinggi, di tengahnya ada tiga buah lampu besar menggantung, berbentuk bawang putih dan mengeluarkan cahaya berwarna kekuningan.
“Aku harus makan!”
Rimelda, Davina, dan Monica sudah kehilangan kontrol karena magic mushroom. Mereka beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Saling lempar camilan dan mengeluarkan kata-kata jorok dan aneh. Posisi tubuh mereka di atas sofa sudah tidak beraturan. Ada yang tidur dengan kaki naik ke sandaran sofa, ada yang telentang dengan menaruh bantal di bawah pinggang. Sementara itu, Diandra dan Emilia masih tetap terjaga kesadaranya meskipun rasa kantuk menghinggapi mereka. Mereka sama sekali tidak ikut mengkonsumi minuman tersebut.
“Davi, gue udah sange nih! Cepetan suruh mreka kemari!”
“Sabar! Sejam lagilah. Hahaha.
“Lama amat! Gue keburu jadi oma-oma seksi nih! Hihihi”
BRAAAAAAAAAKKK
“Bangsaaaattt!!!”
Terdengar suara keras berbarengan dengan pintu terhempas kuat dan menghantam dinding. Seorang lelaki yang hanya mengenkan celana pendek buru-buru memasuki ruangan tempat A-lima berpesta. Di tubuhnya terlihat beberapa memar dan bercak kemerahan. Dia berjalan teseok-seok menahan sakit. Alisnya tertekuk, pandangan matanya tajam dan liar.
“Ini kejutan elo?”
“Bukan.”
“Who is he? “
“Ntahlah! Bukan gue yang ngundang.” Davina cuek. “Biarin aja!”
Lelaki penuh memar itu berjalan dengan nafas memburu kemudian berhenti di dekat meja makan tidak jauh dari tempat A-Lima berkumpul. Bentuk tubuh lelaki itu cukup bagus. Perutnya rata meskipun tidak terlalu berotot. Hanya saja pandangan matanya aneh dan penuh amarah.
“Kalian kan yang bikin permainan terkutuk itu. Kalian pikir itu lucu?” Lelaki itu berteriak.
“Itu cuma game. Elo siapa sih? Kok baper amat?”
“Kalian kurang ajar! Berani-beraninya kalian ingkar janji!!” Lelaki itu berteriak sambil mengacungkan pisau yang didapatkanya dari atas meja. “Gue akan balas semua ini!”
Terdengar gelak tawa dari sofa. Lelaki itu semakin marah.
“Eh! Kayaknya dia si nomer lima,” ujar Davina, “gue inget wajahnya.”
“Hah! Si homo? Ngapain dia kemari?” Rimelda menatap lelaki yang beramput acak-acakan itu.
“Woy nomer lima! Elo pengen nyoba cewe?! Bosen ama laki, ya? Hahahaha.” Davina beteriak.
“DIAAAMMM!!! GUE BUKAN HOMO!!!”
Teriakan lelaki itu menggelegar bagai guruh. Nafasnya menderu. Dadanya naik turun.
Kembali terdengar gelak tawa A-Lima. Lelaki itu menggeram dengan mata mendelik. Bibirnya bergetar menahan amarah. Dengan cepat tangannya bergerak ke atas meja, menyambar mangkuk berisi makanan dan melemparkan ke arah sofa.
Wuuuuuttttt
Mangkok melayang di samping kepala Rimelda, kemudian menghantam sandaran sofa dan terpental ke lantai. Kuah yang ada di dalamnya berhamburan dan terciprat ke wajah Emilia dan Diandra. Wanita yang sedari tadi diam, sekarang berubah menatap geram ke arah si nomor lima.
Lagi dan lagi terdengar gelak tawa riuh. Lelaki itu menjadi bingung kemudian berteriak parau.
” Bangsaaaaattt!! Kalian akan liat apa yang bisa gue lakuin!! ” Dia mengacungkan pisau ke arah para wanita. “Gue entot kalian semua baru tau rasa!!”
“Haaiiii...! Tunggu dulu.” Rimelda berdiri seolah menghalangi si lelaki. “ Inikan yang elo mau?” Suara lembut Rimelda dikombinasi dengan tatapan menggoda ke arah si nomor lima. Dengan liukan tubuh indah disertai tawa renyah, dia menurunkan dress yang dikenakanya sampai ke pinggang. Bra warna hitam yang menutup payudaranya di lempar ke atas meja. Payudaranya yang berukuran jumbo terekspos.
“ Nyusu dulu yuk! Biar enggak salah paham. Hihihihi. ” Rimelda mengguncangkan tubuh. Kedua payudaranya yang besar berbenturan lembut. Pemandangan itu tidak lepas dari pandangan si lelaki. Lelaki itu merasa jengah. Wajahnya mendadak panas. Nafasnya memburu melihat bentuk payudara Rimelda yang menggiurkan, tetapi lelaki itu tetap tidak bergerak, dia terpaku di dekat meja. Genggaman tangannya pada pisau mulai kendor.
“Hahahaha. Maybe elo kaga bisa bikin dia on, Mel! You already too old! Udah jadi nenek-nenek. Hihi, “ Jari lentik Monica bergerak meletakan rokok di atas asbak kaca. Perempuan dengan bentuk tubuh indah itu kemudian berdiri mengangkang di atas sofa. Dengan terburu-buru dia melepas dress yang dipakai, kemudian melempar ke arah si lelaki. Bra dan celana dalam yang melekat di tubuhnya tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuh Monica yang mengagumkan. Dia menggoyangkan pinggul menari erotis di atas sofa.
“ C’mon, baby!! You can touch me everywhere.” Monica menjulurkan lidah, melenggak-lenggok semakin liar, kemudian tertawa.
Nafas lelaki itu semakin berat. Matanya melotot menyaksikan tubuh Monica. Bentuk pinggul yang indah, pusar yang menggoda, paha yang kencang dan semakin terlihat mulus ketika diterpa cahaya lampu.
“Hahahahahahahahah! Goblog goblog goblog. Kalian semua oon! ” Davina tertawa keras. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arahnya. “Udah tau gay malah kalian ajak ngeseks. Dia kagak bakal ngaceng! ”
Ucapan Davina membuat Rimelda dan Monica menghentikan gerakan. Kedua wanita itu menatap Davina, kemudian tertawa. “Anjir! Gue baru ngeh! Hahahaha.” Efek minuman yang mereka konsumsi cukup berat. Otak mereka menjadi kacau.
Lelaki itu melotot marah ke arah Davina. Mereka beradu pandang. Lelaki itu kalah, dia menunduk. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kepala melirik Rimelda dan Monica. Lelaki itu menyadari tatapan mata Monica mengarah ke celananya. Dia langsung mengumpat dalam hati ketika tahu penisnya tidak bereaksi. Dia merasa seperti pecundang ketika mendapat pandangan mata mencemoh dan senyum sinis dari kedua gadis itu.
“Elo pikir, gue tertarik ama perempuan hina dan murahan macam kalian. Kalian hanya sampah!”
Teriakan parau penuh amarah keluar dari mulut lelaki itu. Itu adalah pembelaan atas harga dirinya yang remuk. Pembelaan kepada penisnya yang tidak bisa berdiri melihat wanita seksi. Tubuhnya gemetar. Dia menunduk dengan bola mata berputar linglung. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada dirinya.
“Udahlah numbe fifth. Kalo jadi gay yang gentle. Gak usah sok jadi pejantan tangguh. Tempatmu bukan di sini. Hihihi!”
“NO ngaceng NO party!”
Cacian dan hinaan membuat lelaki itu geram. Matanya berkaca-kaca. Dia teringat peristiwa yang terjadi kepadanya beberapa jam lalu. Peristiwa yang menguras emosinya. Peristiwa yang memberinya memori buruk sepanjang hidupnya.
Dia melempar pisau ke atas meja. Giginya beradu keras sampai menimbulkan suara ‘kriieet-kriieet’. Matanya berputar liar kebingungan.
“BANGSAAAT!!”
“Kalian semua bangsaaat!!”
“SETAAAAN!!
“Mampus kalian semua!!”
Bug Bug Bug
Tangan lelaki itu mengepal keras. Menghantam meja kayu beberapa kali sehingga peralatan makan yang ada di atas meja bergetar hebat dan mengeluarkan suara gemericing.
BLAAAGGG
Tendangan keras menghujam kaki meja. Nafas lelaki itu terengah-engah. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mengatur nafas kemudian memegang kepala, menjambak rambut dan mengurut keningnya. Dia stress.
Bibirnya berdecak gelisah. Dia tertunduk dengan sorot mata tajam, kemudian memejamkan mata kuat sambil menarik nafas dalam, mencoba mengusir rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Tetapi tiba-tiba bayangan sebuah peristiwa kembali berkelebat di kepalanya. Rahang lelaki itu kembali mengeras menahan emosi.
A-Lima sama sekali tidak peduli kepadanya. Mereka sama sekali tidak menunjukan rasa takut. Lelaki itu mendengus pedih. Dia merasa diabaikan dan tidak dianggap sama sekali. Dia mulai merasakan hal yang aneh mengenai kelima wanita itu. Mereka memiliki ketenangan luar biasa. Amarahnya yang meluap tidak bisa menggubris ketenangan mereka.
“Gue bunuh mereka baru tau rasa!!”
Lelaki bergegas maju terseok-seok. Dia menubruk ke arah Monica, mencekik leher wanita itu. Monica sama sekali tidak melawan dan malah tertawa. Tidak ada pancaran ketakutan di matanya. Lelaki itu mendadak gugup. Menjadi ragu akan kemampuannya untuk membunuh. Dia tidak memiliki mental untuk melakukan hal itu. Dengan frustasi dia melepas cekikan, kemudian menelikung tangan Monica ke belakang dan mengikat dengan dress milik Monica. Kakinya juga diikat dengan kain serbet.
“Ngapain sih elo?” Rimelda heran dengan kelakuan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan dia juga mengikat tangan Rimelda kebelakang.
Beberapa menit kemudian, Davina, Diandra, dan Emilia juga diikat dengan kain serbet yang ada di meja. Mereka sama sekali tidak memberikan perlawanan, sorot mata mereka juga begitu tenang. Tanpa pancaran rasa takut.
“Ini rencana siapa sih? Lumayan keren, kayak ada drama-dramanya gitu! Hihihi.” Rimelda kembali menceracau.
“Enggak! Ini konyol banget! “ Diandra menggerutu setelah didorong paksa merapat ke tembok.
“Elo turutin aja kemauan si gay ini.” Rimelda tertawa lepas. “Gue pengen liat kejutan apa yang bakal dia buat.”
A-Lima duduk sejajar, bersandar di tembok dengan tangan dan kaki terikat. Sementara itu, si lelaki duduk di sofa, jarinya mengetuk meja kaca beberapa kali. Raut wajahnya keruh menandakan kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan amarah.
Setelah hampir sepuluh menit tidak terjadi apa-apa. Rimelda memandang keempat temannya, kemudian dia berteriak.
“Hi nomor lima. Elo mau ngapai sih? Mendingan elo jilatin vegi gue. Kalau gue puas, gue bayar elo lima puluh juta.”
Lelaki itu melotot marah ke arah Rimelda.
“Nama gue Rio!!! Stop panggil gue nomor lima!!!”
Teriakan lelaki itu menggelegar. Raut mukanya begitu jelek. Kelima tawanan saling pandang kemudian nyengir keheranan.
“ Nice to meet you, Rio, salam kenal! Hihihi. ” Terdengar suara merdu Monica, kemudian disambung gelak tawa.
“Ngapain elo kaga balik ke temen-temen elo?! Elo kan kaga bisa ngaceng ngeliat cewe!”
“Diaaam!! Dasar mulut sampah! Kalian pantas makan sampah!”
Rio muak mendengar ocehan mereka. Dia berdiri dan melangkah cepat ke arah para tawananya, kemudian berhenti di hadapan Rimelda dan Monica. Dia memelorokan celana, mengeluarkan penis.
Seeerrrr
Rio mengencingi wajah Rimelda dan Monica bergantian. Rio tertawa ganjil. Dia seperti orang gila.
“Kenapa elo kagak kencing dalam vegi gue. Kayaknya enak! Hihihi”
“Emang bisa?! Elo kagak liat tadi tititnya kagak ngaceng. Don’t forget. He is a gay!”
Wajah Rio menjadi semakin terbakar. Rio ingin menendang mereka tetapi dia tidak melakukannya. Rio tahu, mereka akan menikmati siksaan darinya. Mereka tidak akan peduli dan terus mengoloknya. Ancaman Rio tidak ada artinya bagi mereka. Mereka begitu tenang tanpa rasa takut.
“Apa mereka tidak waras? Apa seperti ini mental orang kaya?”
Rio melangkah meninggalkan mereka dan menghempaskan tubuh ke sofa. Dia menengadah menatap langit-langit. Rio memejamkan mata, terbayang dengan tujuanya ke rumah itu. Tawaran uang yang cukup menggiurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ada hal yang disembunyikan Rio. Dia sebenarnya duduk gelisah karena rasa sakit di anusnya. Dia melirik hidangan di atas meja yang tersisa cukup banyak dan tidak dimakan. Hal itu membuat Rio tersenyum kecut. Bagi Rio, makanan sebanyak itu sangat penting, cukup baginya untuk bekal seminggu. Namun bagi orang kaya ini, semua itu hanya sesuatu yang gampang dicari dan tidak begitu berguna.
“Hai..! Elo kasian banget! Disiksa, dibunuh, kemudian di sia-siakan!”
Rio berbisik pedih menatap ayam goreng di genggaman tangannya. Bisikan itu lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri. Sekarang dia merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna setelah disiksa.
Dengan perasaan kacau, dia menggigit ayam goreng. Terasa agak pahit di bibirnya yang kering. Dia kemudian meneguk minuman. Mengisi perutnya yang kosong semenjak beberapa jam yang lalu. Semakin lama dia semakin rakus memasukan makanan ke mulutnya. Dia ingin menelan semua makanan yang berhasil digigit. Kemudian menghancurkan bersama kepedihan hatinya.
Setelah makan, energi kembali memenuhi tubuhnya. Rio bersandar di sofa. Kepalanya menengadah menatap lampu yang menggantung, kemudian matanya menatap tembok yang berisi lukisan indah. Pikirannya dan tubuhnya lelah, dia memutuskan untuk memejamkan mata beberapa saat.
Ketenangan Rio terusik oleh suara wanita tawanan. Emosi Rio kembali tersulut.
“Gue harus robek mulut wanita itu satu persatu!!! Dasar wanita jalang!!”
Suara berisik terdengar dari dalam villa. Dari sebuah kamar luas yang memiliki teras terbuka.
“Pikiran gue blank. Boring!! ” Seorang perempuan berambut pirang berucap keras.
“Super dingin! Brrrrrr!” Wanita mengenakan jaket tebal menyahut, jemari lentiknya menjepit sebatang rokok yang menyala. “Liat ini! Susu gue mengkerut!”
“Signal buruk sekali. Payah!” Terdengar sahutan dari wanita lain yang rebah di sofa dibalut selimut tebal. Bibirnya berdecak galau karena signal di handphone-nya tidak stabil.
“Tanpa lelaki?! It’s okay, but at least, harus ada sesuatu yang bikin gairah gue membara. It’s totally failed!”
Dua pasang mata melirik malas ke arah sumber suara. Mereka menarik nafas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke hamparan danau yang tenang. Mereka enggan meladeni ocehan teman-temanya yang menggangu keheningan pagi.
“Gue bela-belain kaga tidur semaleman. Gue kira bakal ada kejutan. Nothing happened!”
“Em, elo payah kalo bikin rencana! ”
“Next event gue yang urus!! Gue udah punya rencana super duper hebooh!!!"
*
Anggi melirik Emilia yang tertidur nyenyak di sampingnya. Emilia adalah wanita yang menawarkan pekerjaan kepada gadis berumur dua puluh tahun itu. Tawaran gaji yang menggiurkan membuat Anggi menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Anggi mengenal Eimilia dua hari yang lalu ketika dia mendapat tugas mengantar perempuan cantik nan kaya itu berkeliling kampung untuk melihat beberapa tempat wisata.
“Apakah Bu Emilia benar-benar orang baik?” Anggi membatin ragu. Dia kemudian memejamkan mata. Mencoba menghilangkan pikiran negatif yang beberapa kali berkelebat di kepalanya.
“Bu, kita udah sampe.”
Anggi tersentak mendengar suara si supir. Dia mengucek mata dan merapikan rambut yang acak-acakan. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuhnya. Emilia sudah turun lebih dulu.
“Ini rumah saya, Anggi.”
Anggi turun dari mobil kemudian mengikuti Emilia melangkah di jalan berpaving yang membelah taman menuju pintu rumah. Lantai marmer yang berkilau indah membuat Anggi semakin terpukau. Anggi merasa berada di tempat asing tetapi mengagumkan. Anggi mengikuti langkah Emilia. Membantu menjijing tas milik Emilia menaiki tangga kayu menuju lantai tiga.
Tap Tap Tap
Suara alas kaki menghantam tangga terdengar nyaring di belakang Anggi. Anggi yang baru menginjakan kaki di lantai tiga menoleh ke arah sumber suara.
“Em, elo baru pulang? “ Seorang lelaki mengenakan pakaian olahraga menyapa mereka.
“Iya, gue baru nyampe,” ujar Emilia santai. “Oh ya Jo! Kenalin ini Anggi, staff baru gue. Dia bakal tinggal di sini. ” Emilia memperkenalkan Anggi. “Anggi, ini Jonathan, kakak saya,” Emilia melanjutkan.
Anggi tersipu malu melihat wajah ganteng Jonathan. Matanya tidak berkedip cukup lama, menatap wajah mirip aktor kesukaannya yang sering dilihatnya di televisi.
“Hai Anggi, semoga betah di sini ya.”
Anggi hanya tersenyum dan mengangguk. Jonathan memeluk Emilia sesaat dan memberi kecupan di kening adiknya sebelum kembali melanjutkan lari menuju kamarnya di lantai empat. Bola mata Anggi bergerak mengikuti sampai lelaki itu tidak terjangkau pandangannya.
**
Rumah keluarga Emilia berlantai empat bergaya semi modern. Isi rumah sangat komplit. Mulai dari kolam renang, tempat olahraga, tempat yoga, dan taman yang indah. Emilia tinggal di lantai tiga dan Anggi kebagian satu kamar yang ukuranya sepertiga kamar Emilia. Bagi Anggi kamar itu cukup luas. Dia juga mewarisi beberapa perabotan dari penghuni sebelumnya.
Adaptasi Anggi tidak sepenuhnya lancar. Minggu pertama, Anggi gelisah bukan main dan sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya. Dia merasa berada di tempat asing yang tidak nyaman. Minggu kedua, Anggi mulai menemukan kenyamanan. Emilia sering mengajaknya keluar, menemani bertemu klien, dinner atau pesta tertentu. Dia juga sudah hapal para penghuni rumah di sana, yaitu Emilia, Jonathan, Sapta si sopir, Ryan si tukang kebun, Torus si satpam, dan Mimi seorang tukang masak. Orang tua Emilia tidak berada di sana dan hanya sesekali berkunjung. Mereka memiliki memiliki banyak usaha. Pabrik, pertambangan, usaha rokok, penginapan, dan beberapa usaha kecil. Jonathan lebih banyak mengurusi usaha itu, sementara Emilia membangun bisnisnya sendiri yaitu membuka beberapa butik hasil desain dia dan teman-temannya.
Pekerjaan yang diberikan Emilia kepada Anggi tidak begitu berat tetapi butuh kesabaran karena mood Emilia yang sering turun naik. Selain itu, jam kerja Anggi juga tidak menentu. Emilia sudah mengajarkan banyak hal baru kepadanya. Anggi mulai terbiasa ke bank, ke supermarket, mengunakan komputer, mebuat gambar dan banyak pekerjaan lainnya. Anggi sangat menghomati Emilia. Bagi gadis yang memiliki tahilalat di atas alis kanan itu, Emilia seperti wanita yang berasal dari dimensi lain. Kulitnya yang putih, matanya yang indah penuh pesona, bibirnya yang kemerahan dan senyumnya yang begitu berharga. Anggi merasa menjadi begitu kecil dan tidak berarti ketika dibandingkan dengan perempuan itu, padahal Anggi adalah seorang wanita primadona di kampungnya.
“Tap Tap Tap”
Anggi hafal suara itu. Itu adalah suara kaki Jonathan ketika berlari menaiki atau menuruni tangga. Itu sekaligus sebagai penanda bagi Anggi kalau Jonathan ada di rumah. Lelaki itu beberapa kali menyapa sekedar berkata “haii Anggi!”, “selamat pagi Anggi ”, “selamat sore Anggi.” Mereka tidak pernah mengobrol lebih jauh.
Adaptasi Anggi hampir mendekati sempurna andai saja dia tidak melihat beberapa coretan di dalam lemari pakaian di kamarnya. Lemari yang dipakai mantan staff Emilia. Tulisan tangan dengan gaya berbeda, penanda ditulis oleh beberapa orang.
"LELAKI BANGSAAT !!!! BERWAJAH MALAIKAT, BERHATI IBLIS!"
"WANITA PENIPU !! PEMBOHONG !!
" KELUARGA TERKUTUK !!"
"GUE ANCUUUR , ELO REMUK ! DASAR LONTE SIALAN !!
Tulisan yang berisi makian kasar itu membuat Anggi mengerutkan kening bertanya-tanya.
***
Dua bulan berlalu.
Mendung tebal menyelimuti kota, berbarengan dengan terbenamnya sang mentari. Hari ini adalah jatah liburnya Anggi, Emilia memberi Anggi waktu bersantai di rumah karena Emilia ada pertemuan khusus sejak pagi.
Udara lebih dingin dari biasanya. Anggin berhembus cukup kencang menghempas tirai di teras sehingga menimbulkan suara berisik ketika beradu dengan jendela. Tidak berapa lama, hujan turun begitu deras. Anggi baru saja selesai mandi. Dia berdiri menatap cermin dengan rambut digelung ke atas. Senyumnya mekar saat menatap pantulan tubuhnya yang dililit handuk warna putih. Tonjolan payudaranya yang indah tercetak di handuk.
Suara lagu favorit Anggi mengalun lembut dari handphone-nya. Anggi ikut menyanyi sambil mengoleskan lotion di leher, kemudian lengan, kaki, dan pahanya yang kencang berisi. Dia memonyongkan bibir, mengoleskan listik berwarna merah pemberian Emilia. Dia memutar tubuh di depan cermin beberapa kali, mengagumi tubuhnya sendiri. Perut rata, pinggang ramping dan pinggul indah.
Ketika Anggi sedang asik menilai diri sendiri, terlihat kilatan cahaya di cermin. Anggi refleks menutup telingga dan memejamkan mata.
Ttjddduuuuaaaarrrr
Suara petir menggelegar. Anggi menahan nafas. Dia tidak takut petir, hanya saja suaranya terkadang membuatnya kaget.
Tjddduuaarrrraaaaaaarrrrr
Terdengar suara petir yang lebih keras. Suaranya bergema menakutkan. Anggi memaki dalam hati.
Blaaam
Lampu padam. Aliran listrik terputus. Ruangan gelap gulita membuat Anggi bergerak kelimpungan. Dia meraba-raba, mencoba meraih hanphone-nya yang masih memutar lagu.
Tap Tap Tap
Anggi mendengar derap kaki berlari menaiki tangga. Dia buru-buru merapikan handuk karena belum sempat mengenakan pakaian.
“ Nggi.. Anggii!”
Anggi mendengar suara orang memanggil. Dia mencoba menyalakan flash light di handphone dan keluar dari kamar.
“Anggii.. Anggiii! ” Sesosok tubuh yang menggunakan handphone sebagai senter bergerak cepat ke arah Anggi.
“Iya, Bu. Ada apa? Ibu baru pulang? Kenapa lari-lari?”
“Duuhh! Saya lupa kalo hari ini ada janji, kamu temenin saya, ya!” Wajah Emilia keruh karena kelelahan, “ujan dan gelap, saya males sendirian.”
“Iya Bu, ketemu dengan siapa?”
“A-Lima.” Jawaban Emilia berbarengan dengan lampu di rumah itu menyala. Anggi lega dan melihat ke luar, banyak rumah yang masih gelap gulita. Dia tahu, pasti pak satpam menyalakan genset.
*****
Emilia mengemudikan mobil melewati jalan sepi yang membelah hutan Mangrove menuju sebuah rumah yang disebut Emilia sebagai ‘Rumah A-Lima’. Rumah itu terletak di dekat tebing yang menghadap ke pantai.
Hujan sudah berhenti turun ketika mereka sampai di pintu gerbang yang menyatu dengan tembok tinggi. Tembok itu mengelilingi lima buah bangunan yang berukuran luas, menyembunyikan dari pengelihatan orang luar. Kelima bangunan bergaya modern tetapi sederhana. Memiliki ukuran hampir sama, tetapi dengan warna cat berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.
“Kenapa warna bangunannya aneh-aneh, Bu?”
“Warna menunjukan identitas. Identitas itu sebagai pembeda. Perbedaan membuat mudah dikenali.” Jawaban Emilia cukup membuat Anggi bingung dan tidak melanjutkan pertanyaan.
Luas kelima bangunan itu hanya setengah dari luas tempat itu. Ada sebuah taman dengan rumput pendek hijau dan kolam renang di tengah-tengah, di dekatnya terdapat parkir mobil dengan lantai paving abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu berderet tiga pohon besar nan rimbun. Di bawahnya terdapat lampu bulat besar yang menyala redup. Beberapa kursi kayu panjang berderet di dekatnya.
Anggi mengikuti Emilia berjalan ke arah kamar berwarna kuning. Di teras kamar yang terang, ada empat orang yang menunggu Emilia. Anggi mengenal mereka, mereka adalah anggota A-Lima, sebuah group tidak resmi yang beranggotakan Emila dan empat orang temannya. Emilia pernah bercerita kepada Anggi, nama A-Lima berasal dari nama mereka. Kelima anggota memiliki nama berakhiran huruf ‘A’. Emilia, Diandra, Rimelda, Davina, dan Monica. Mereka berteman sudah sejak lama dan sama-sama berasal dari keluarga kaya. Mereka setidaknya berkumpul sekali dalam sebulan. Meskipun tidak selalu dengan anggota lengkap.
“Nggi, kamu jangan baper ama mereka. Mereka terkadang rese dan kelewatan batas. Apalagi kalau mereka mabuk.” Emilia berpesan kepada Anggi.
Seorang wanita memakai dress hitam panjang berjalan anggun menghampiri Anggi. Anggi tersenyum dan menyapa. Dia adalah Rimelda, salah seorang teman Emilia yang merupakan seorang produser film. Keluarganya memang memiliki usaha di bidang perfilman. Rimelda berkulit mulus kecokelatan, buah dada besar dan bentuk bokong membulat indah.
Wanita lain memakai dress merah duduk menyilangkan kaki sambil menyedot sebatang rokok. Dia adalah Davina. Davina kurus, tinggi, pinggang langsing dan perut rata, tetapi payudaranya cukup besar. Warna kulitnya hampir sama dengan Rimelda. Sorot matanya terkesan angkuh. Dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai model. Perkejaan utamanya adalah bekerja di perusaah keluarga. Anggi pernah dititipkan oleh Emilia kepada wanita ini selama beberapa jam di mall. Menurut Anggi, Davina adalah wanita merepotkan dan suka bikin heboh. Dia punya hobi merecoki kasir dan SPG sehingga kelabakan dengan perkataan, “cepetan dong! Saya mau ke bandara!”, “cepetan dong! saya mau makan malam!”, “ cepet cepet cepet! Saya sudah ditunguin taxi!” Semua yang diucapkan Davina itu adalah bohong. Davina tidak melakukan hal penting setelahnya.
Di dekat Davina, seorang wanita memakai kaos putih dan bercelana pendek asik memainkan handphone. Terlihat tatoo bunga melintang di pegelangan tangan kanannya. Dia adalah Monica si seniman. Monica memiliki bentuk tubuh ideal. Ukuran dada, perut, pinggul dan bokongnya sangat pas, tidak terkesan gemuk atau kurus. Hanya saja dia memiliki kaki berbentuk X sehingga caranya berjalan kurang angun. Selain itu, dia memiliki kebiasaan memiringkan kepala ke kiri, mungkin itu adalah salah satu efek dari bakat seninya sebagai pelukis. Dia keturunan indonesia dan New Zealand. Monica senang mencampur bahasa indonesia dengan bahasa Ingris ketika berbicara sehingga terkesan agak kacau. Dia sempat berkuliah di Australia.
Emila kemudian duduk di dekat seorang perempuan berkacamata bulat besar, berambut pendek sebahu, bermata sipit, dan kulit putih. Bibirnya begitu mungil dan tipis kemerahan. Dia memakai kemeja dan celana panjang, pakaian favoritnya. Dia keturunan tionghoa sama seperti Emilia. Dia bernama Diandra, seorang dokter hewan. Dia adalah yang termuda dari mereka berlima. Diandra merupakan teman Emilia ketika mereka kuliah di USA.
“Itu adalah gallery kami, berisi barang seni dari berbagai daerah di dunia.” Emilia menunjuk sebuah ruangan bercat kuning tidak jauh dari mereka.
“Kecuali lukisan-lukisan jelek dan berantakan itu,” ujar Rimelda sambil mengarahkan telujuk ke beberapa lukisan yang tertutup kain.
“At least, itu hasil imajinasi gue. Tidak payah seperti elo yang tidak bisa berimajinasi,” terdengar sahutan Monica. “Dasar tukang bacot!”
“Anggi, kami berlima mau membahas sesuatu. Kamu liat-liat ke sana dulu, ya!”
Anggi mengerti ucapan Emilia. Perempuan itu menyuruhnya menjauh karena mungkin akan membicarakan sesuatu yang tidak boleh dia dengar. Anggi masuk ke dalam ruangan yang disebut ‘Gallery’ oleh mereka. Pandangan mata teman-teman Emilia mengikuti.
“Em, asisten lo ngikut terus ya?” ujar Rimelda sambil mengelus rambutnya. “Elo balik jadi anak manja dan penakut, hihihi.”
Emilia tersenyum manis kemudian memutar kepala, menoleh ke arah Anggi . “Gue demen dia. Dia polos dan bisa dipercaya,” ujarnya lirih. “Gue ngerasa nyaman ama dia.”
“Yakin?” Davina menatap tajam. “ Elo kagak bakal korbanin dia, kan? kayak asisten elo yang dulu.” Dia melanjutkan ucapan sambil merapikan bajunya yang kedodoran. Emilia menarik nafas panjang. Hening beberapa detik. Tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.
“Gimana, kalian udah dapet cowo keren untuk pesta?” Terdengar suara Rimelda.
“Of course! Gue tinggal julurin lidah aja dapet cowo,” ujar Monica sambil mengoyangkan kepala.
“Berarti persiapan udah beres, ya?” tanya Emilia.
“Yes, but we need extra money.”
“Em, lo mesti ajak assiten lo terlibat dalam game!” Davina berucap serius. “Game kali ini spesial!”
“Emang game-nya apaan?” Emilia penasaran. Davina mendekatkan bibir ke telinga Emilia. Dia membisikan sesuatu dan membuat Emilia berpikir.
******
Gallery merupakan ruangan yang luas. Cahaya lampunya remang. Ukiran-ukiran antik khas Bali dan Jepara menghiasi dinding. Ada juga beberapa lukisan yang dibingkai dengan kayu berukir. Banyak meja kayu solid di tengah ruangan, beberapa diberi alas kain tenun tradisional. Di atas beberapa meja kayu terdapat topeng berbentuk wajah manusia. Di pojok ruangan, di atas lantai berwarna coklat tua, ada beberapa lampu yang terbuat dari kayu memancarkan cahaya kuning redup. Banyak anyaman dari bahan rotan dan bambu tergantung di dinding.
Anggi mulai merasa bosan. Menurut Anggi yang tidak mengerti seni, terlalu banyak benda yang menurutnya aneh berada di tempat itu. Barang yang sama sekali tidak membuat Anggi kagum. Anggi lebih menyukai pakaian indah ketimbang benda seperti itu. Mungkin cara orang kaya menghabiskan uang adalah dengan membeli benda seperti itu, pikir Anggi.
Anggi memutuskan berjalan keluar ruangan. Dia mendekat ke arah A-Lima berkumpul dan hendak minta ijin kepada Emilia untuk berjalan-jalan di taman.
Denting suara gelas beradu terdengar ketika anggota A-Lima mengangkat tangan bersulang.
“Kamu mau wine, Nggi?””
“Bikin mabuk ya Bu?”
“Enggak kalo sedikit. Mau coba?”
“Eh, tidak usah Bu. Dulu pacar saya ngelarang saya minum yang bikin mabuk.”
“What?! Elo punya pacar Nggi? ” Monica berteriak sambil tertawa.
“Dulu Bu. Sekarang dia udah nikah ama orang.” Anggi tersipu malu dan juga merasa sedih.
“Udah diapain aja?” Rimelda menaikan kedua alis mengoda. “Susumu pasti sering disedot dan diremes yaaaa?! Hihihi.”
“Gimana rasanya Nggi? Enak ? Geli?”
“Eh! Enggak Bu!” Wajah Anggi merah padam.
“Bo’ong! Sini gue cek! Gue tau mana yang udah pernah disedot ato belom! Hihihi.”
Anggi terdiam dan merasa risih. Serangan dari mereka memang susah dilawan. Dia merasa malu, jengah, dan bingung. Emilia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggi merasa wajahnya semakin panas.
Mereka bersorak seperti berdemo. Anggi buru-buru pamit ke taman karena sangat malu. Terdengar gelak tawa di belakangnya. Dia berusaha tidak terlalu memikirkanya. Dia mulai mengerti kenapa Emilia menyuruhnya agar tidak baper.
Suasana di taman saat itu hening. Udara berhembus segar dan dingin setelah hujan. Anggi menikmati rumput yang basah menyentuh kakinya. Dia melanjutkan berjalan menikmati indahnya malam.
Anggi melihat sebuah bangunan besar yang memiliki warna tembok biru muda tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah pintu yang memiliki warna aneh membuatnya tertegun. Terdapat sebuah tulisan di tengah-tengah pintu.
“KE-GEM-BI-RA-AN” Anggi membaca tulisan itu sambil menjulurkan tangan meraba.
“Pintu itu hasil kegilaan si Em, bos elo.”
Anggi menoleh ke arah sumber suara. Rimelda dan Davina sudah berdiri tidak jauh dari Anggi.
“Em suka corat-coret sembarangan. Bagi gue itu kotor, tapi bagi dia itu seni, “ ujar Rimelda.
“Bulan depan, kami mau pesta di sini,” ujar Davina sambil menunjuk bangunan berwarna biru muda itu. “Lo dateng ya, Anggi!”
“Mungkin Bu, kalo Bu Emilia mengijinkan,” ujar Anggi ragu.
“Hahaha. Bahasa lo kaku amat!” Rimelda tertawa. “Udah berapa bulan lo kerja ama Em?”
“Sudah tiga bulan lebih, Bu.”
“Betah?” Kedua alis Rimelda naik. “Biasanya kagak ada yang betah ama dia lebih dari dua bulan!”
“Meskipun sering marah sama saya, dia baik sekali,” ujar Anggi tulus mencoba membela Emilia. Davina dan Rimelda saling pandang, kemudian kompak tertawa begitu keras. Anggi keheranan.
“Hihihi. Hati-hati Anggi! Em itu monster!” Rimelda berbisik. “Emmmmm, mungkin lebih kejam dari monster. Kami kenal Em udah dari dulu. Sebelum lo lahir.”
”Lo itu polos. Dia suka orang polos, Hahaha. “
Anggi mengerutkan alis. Mungkin ini yang dimaksud Emilia kalau teman-temanya rese dan kelewatan. Sebelum berlalu, mereka mengingatkan Anggi lagi.
“Oh ya. Inget datang bulan depan! Kami ada game seru."
*******
Sebulan kemudian di Rumah A-Lima.
Senin, 20:00
Anggi berdandan rapi. Dia mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jeans biru yang menunjukan bentuk indah pinggulnya. Wajahnya cerah berseri. Bibirnya terlihat lebih merah karena lipstick. Emilia berjalan di sampingnya. Wanita yang tingginya hampir sama dengan Anggi itu juga mengenakan kemeja berbahan sutra lembut berwarna biru gelap. Bawahannya berupa celana panjang longgar juga berwarna biru. Sangat kontras dengan kulit putihnya. Dia menggenggam sebuah handbag berwarna hampir sama dengan pakaiannya.
Mereka berdua berjalan di bawah cahaya remang lampu taman di Rumah A-Lima. Bintang di langit bertaburan indah. Tidak seperti sebulan yang lalu, ketika pertama kalinya Anggi kesana.
Hari ini akan diadakan pesta di rumah A-Lima. Anggi melihat jumlah kendaraan di parkir lebih banyak dibandingkan ketika pertama kali dia ke sini. Bangunan itu juga sudah di dekorasi berbeda, ada beberapa kursi di dekat kolam renang. Lampu di depan masing-masing ruangan menyala lebih terang.
Rimelda yang memakai dress ketat hitam menyambut mereka dengan segelas minuman. Seperti biasa, dia itu selalu tampil heboh dan seksi. Belahan dadanya terlihat menggoda. Dia juga menggunakan wedges yang cukup tinggi.
Davina dengan dress panjang berwarna merah menyala. Dress lembut itu sampai ke mata kakinya. Dia terlihat begitu anggun. Warna rambutnya saat ini adalah biru dengan sedikit warna abu-abu menyala.
Diandra mengenakan pakaian mirip Anggi. Sebuah kemeja longgar, berwarna biru dengan garis-garis putih horizontal. Dia juga memakai celana jeans ketat. Kacamata yang dikenakan saat ini berbentuk kotak. Bibir munggil wanita itu begitu glossy, basah dan menggoda. Rambut pendek sebahu tidak mampu menyembunyikan leher jenjangnya.
“Kamu cantik sekali malam ini. Sudah siap bermain?” Rimelda bertanya kepada Anggi. “ Elo yang bakal gantiin Em, kan?”
“Iya Bu.”
“Be carefull sweety. She so tricky. Em itu licik!” Monica menakuti Anggi. Anggi terlihat ragu. Dia menatap Emilia meminta penjelasan.
“Dia udah sepakat jadi wakil gue. Elo tinggal jelasin peraturannya ama dia. ” Emilia menyahut dengan tenang. “Kami tidak akan mengubah keputusan.”
Anggi sudah berjanji menggantikan Emilia dalam permainan itu, tetapi dia belum mendapat informasi mengenai permainan apa yang akan mereka mainkan. Emilia juga mengatakan kalau dia tidak mengetahui detail permainan. Hanya Monica dan Davina yang tahu karena merekalah yang merancang game-nya. Emilia mampu meyakinkan Anggi kalau permainan itu hanya untuk bergembira.
“Actualy, this game a bit different. Game yang WOW dan enggak akan terlupakan. Tapi elo malah minta asisten elo ngewakilin. I hope, elo gak nyesel nanti, Em!”
“Kalo boleh tau, itu game apa?” Tanya Anggi. Perasaanya mulai tidak enak.
“Ayo masuk ke kamar Biru Muda. Gue jelasin di sana,” sahut Davina.
Rasa ingin tahu yang membuncah menuntun Anggi mengikuti langkah Emilia memasuki satu-satunya pintu penghubung. Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas tetapi remang. Hanya ada cahaya redup di langit-langit ruangan yang cukup tinggi. Cahaya itu hanya membantu membuat bentuk samar yang memberi penunjuk akan adanya suatu benda.
Kamar Kegembiraan atau juga disebut Ruang Biru Muda adalah ruangan luas yang bentuknya mirirp tempat pertunjukan seni panggung. Luas ruangan itu 600 meter persegi dengan tinggi tembok delapan meter. Setengah ruangan itu adalah panggung dan setengah lagi adalah ruangan kosong yang biasanya diisi kursi sebagai tempat menonton. Hanya ada sebuah pintu masuk di sebelah Utara dekat panggung. Panggung berbentuk memanjang dengan tinggi satu meter dari lantai.
Monica mengarahkan teman-temannya ke tengah-tengah ruangan. Memersilahkan mereka duduk di kursi yang berjarak sekitar dua meter dari tangga yang berfungsi untuk naik ke atas panggung.
“Let’s start the game!”
Davina tertawa renyah kemudian menekan saklar. Seketika cahaya terang menyorot dari atas menyinari sepertiga panggung, yaitu bagian kanan panggung. Memperlihatkan sebuah tempat tidur berwarna putih berukuran 4 x 4 meter dikelilingi kelambu tipis biru muda. Di atasnya duduk lima orang lelaki memakai penutup mata dengan pakaian serba hitam.
Saklar kedua ditekan. Cahaya kembali menyorot dari atas, kali ini kebagian sebelah kiri panggung. Di sana terdapat lima kursi berderet. Di setiap kursi, duduk satu orang lelaki menghadap ke arah kursi penonton. Mereka mengenakan penutup mata warna hitam dan juga masker bibir. Pakaian mereka cukup aneh, yaitu celana pendek dan baju kaos mirip pakaian olahraga. Warnanya mencolok dan masing-masing memiliki warna berbeda. Merah, kuning, hijau, biru muda, dan biru tua.
Saklar ketiga ditekan dan lampu menyorot ke tengah-tengah panggung. Seluruh panggung menjadi terang. Terlihat dua buah sofa berwarna biru tua sepanjang dua meter di posisiakan berhadapan. Jarak antar sofa sekitar satu setengah meter. Di antara sofa berdiri dua orang yang memakai topeng power ranger. Jenis kelamin mereka tidak dapat dikenali dengan jelas karena mengenakan jubah hitam lebar bertuliskan ‘JURI’. Selain itu, terdapat juga sebuah layar berukuran lebar tidak jauh dari sofa, menunjukan angka 00:00:00. Penanda, jam : menit : detik.
Alis Anggi mengkerut. Gadis itu menggigit kukunya. Sejak tadi dia berpikir, kira-kira permainan apa yang akan mereka mainkan. Sudah pasti ini bukan permainan yang biasa. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hatinya.
Monica yang menggunakan kaos putih tanpa lengan dan celana jeans pendek berdiri di hadapan kelima wanita lainnya. Sebuah tatoo bunga kecil terlihat di lengan kanan wanita itu.
“Oke! Dengerin baik-baik! Aturan mainnya simple,” kata Monica.
“Pertama, kalian harus memilih salah satu dari lima lelaki yang duduk di kursi.” Telunjuk Monica mengarah ke panggung tempat lelaki pakaian warna-warni duduk. “Mereka memiliki nomor di punggung baju masing-masing.”
“Setelah kalian memilih, kalian akan mendapat nomer urut sesuai nomor yang tertera di punggung mereka. Ada nomor dari satu sampai lima.” Monica melanjutkan penjelasannya.
“Kemudian kalian akan masuk ke dalam permainan. Kalian dan jagoan pilihan kalian akan saling berhadapan di sofa di tengah panggung.“ Monica menarik nafas sejenak. ”Tugas kalian gampang-gampang nikmat. Kalian diberi waktu tiga puluh menit untuk membuat mereka ‘croot’ tanpa menyentuh. Sudah ada juri yang akan menjadi pengawas dan tukang hitung waktu.”
“Crot?! Maksudnya apa Bu?” Anggi mengerutkan alis bingung.
“Sperma menyembur dari penis mereka, Anggi! Hihihi,”
Anggi shock. Ucapan yang baginya tabu diucapkan dengan santai oleh mereka. Meskipun dia menjadi paham dengan apa yang dimaksud ‘croot’, tetap saja Anggi merasa malu dan risih.
“Simple-nya begini Anggi, kamu hanya perlu berhadapan dengan lelaki pilihanmu, biarkan dia memainkan penisnya sendiri. Kamu hanya perlu menggoda. Tapi ingat! TIDAK BOLEH menyentuh mereka.”
“Elo boleh buka baju dan pamerin toket lo!”
Dug Dug Dug. Jantung Anggi menendang-nendang. Wajahnya merah, mendengarnya saja dia sudah malu, apalagi harus melakukan itu semua. Dia tidak percaya perempuan itu mengatakan dengan begitu luwes hal yang menurut Anggi sangat tabu.
“Mimpi! Ini pasti mimpi!”
Anggi diam-diam mencubit kulitnya. Anggi merasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi. Dia mendadak ingin pergi dari ruangan itu, tetapi sudah terlamabat. Dia sudah berjanji dengan mereka. Bisa saja hal yang lebih gila akan terjadi kalau dia membatalkan janjinya.
“Kamu paham kan, Nggi?!”
Anggi tersentak. Dia menganguk lemas, tidak terucap apapun dari bibirnya. Ludahnya mendadak terasa pahit.
“Pemenangnya adalah yang memiliki waktu tercepat untuk croot dan yang kalah adalah yang membutuhkan waktu paling lama untuk croot!”
“Gimana kalo kaga croot setelah waktu habis?” Diandra bertanya.
“Berarti mereka homo, atau kalian bukan wanita asli. Hihihi.” Davina tertawa manis.
“Trus lima laki di tempat tidur itu mo ngapain?”
“Gue akan jelasin lebih lengkap dari atas panggung. Okaay?”
Rimelda yang memakai dress ketat hitam maju ke panggung. Dia mengulangi apa yang dijelaskan Monica tadi dengan lebih bersemangat dan berapi-api.
“Yang butuh waktu paling lama untuk ‘croot’ dinyatakan sebagai pecundang atau loser. “
“Hukuman bagi pecundang adalah menjadi budak mereka yang ada di tempat tidur!”
Rimelda menunjuk tempat tidur yang berisi lima lelaki dengan mata tertutup kain. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari tempat tidur. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan bergembira.
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
“Menjadi budak lima lelaki yang ada di tempat tidur?”
Kata-kata itu berputar di kepala Anggi. Anggi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia mendekat ke arah Emilia dan mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin membatalkan permainan itu. Dia tidak sanggup melakukannya.
“Elo mau ingkar janji?! Tidak segampang itu!” Davina berucap dengan sorot mata tajam. “Kalo elo gak mau ikut. Elo bakal diserahin pada lelaki di panggung.”
“Kamu dianggap kalah tanpa bermain!! “ Monica menimpali. “ Bukan begitu Em?”
Anggi gemetar. Dia memandang Emilia penuh harap.
“Anggi, jangan permalukan saya. Tolong ikut bermain. Kamu pasti bisa!” Emilia berucap serius.
Anggi merasa ada tembok besar yang mendadak menghimpit tubuhnya mendengar ucapan Emilia. Harapannya untuk tidak ikut bermain pupus sudah. Dia mencoba menguasai diri. Mencoba menguatkan hati sambil menunduk dengan tubuh bergetar. Dia merasakan tubuhnya mendadak begitu panas. Aliran darahnya sangat cepat. Ketakutan menguras seluruh fokusnya. Dia menyesal berjanji mewakili Emilia.
“Oke, sekarang kita persilahkan tamu spesial kita untuk memilih jagoannya.” Teriak Rimelda dari panggung. “Anggi! Kamu yang pertama memilih!”
Saking fokusnya Anggi dengan pikiran sendiri, dia tidak mendengar ketika Rimelda menyebut namanya beberapa kali.
“Anggi!” Teriakan Emilia menyadarkanya.
“Eh! Apa?”
“Kamu pilih yang mana?”
Anggi mengumpat dalam hati. Sekarang dia harus memilih diantara kelima lelaki berpakaian aneh itu. Dalam kekalutan Anggi mencoba keberuntungan mengunakan trik kuno. Dengan tangan gemetar dia menghitung kancing kemejanya.
Merah
Kuning
Hijau
Biru muda
Biru tua
Merah
Hitungan Anggi berhenti di merah. Dengan gugup Anggi menunjuk lelaki yang memakai pakaian warna merah. Dia berdoa dalam hati agar mendapat hal yang terbaik. Lelaki itu memiliki nomor punggung 4. Setelah semua memilih, hasilnya adalah, Monica Nomor 1, Rimelda nomor 2, Davina Nomor 3, Anggi Nomor 4, dan Diandra Nomor 5.
Anggi lega sekaligus galau berat. Dia sedikit lega karena masih punya waktu berpikir. Dia mulai menghitung, dia mempunyai waktu maksimal 90 menit sebelum gilirannya tiba.
“Kenapa mereka tenang sekali?” Anggi heran ketika melirik wajah anggota A-Lima. “Apa hukuman itu hanya sekedar ancaman?”, Anggi membatin. “Atau mereka memang gila?”
“Ayo kita mulai. Nomor satu maju ke panggung!” Terdengar teriakan juri.
Anggi mencoba mengumpulkan ketenangan. Matanya teralihkan ke panggung karena penasaran. Juri melepas penutup mata si nomor 1. Laki-laki itu duduk di sofa menunggu Monica yang melenggok anggun menuju panggung.
Monica menghempaskan tubuhnya ke sofa dan duduk berhadapan dengan si nomor 1. Pahanya yang kencang berisi hanya sedikit tertutup celana pendek ketat.
“Mulai!” terdengar teriakan juri.
Monica bersandar di sofa, dia meremas paha. Tatapan matanya menggoda lelaki di depannya. Lelaki itu sudah memelorotkan celana sampai ke lutut. Tangan kanannya memegang penis sambil mengocok pelan.
Deru nafas si nomor 1 semakin berat ketika Monica melepas celana pendek sekaligus celana dalamnya dan melempar ke sofa tempat duduk si lelaki. T-shirt Monica yang agak lebar menyembunyikan vagina wanita itu dari pandangan si lelaki. Dada si lelaki berdebar keras melihat bokong dan pinggul Monica yang begitu menggoda. Tangannya semakin cepat mengocok penis.
Monica kemudian duduk bersandar di sofa menghadap si lelaki. Perempuan berkulit putih itu menaikkan kedua kaki. Membuka lebar paha sehingga kakinya membentuk huruf M. Dia menyingkap ke atas T-Shirt yang dikenakan sehingga terlihat vagina tembem tanpa rambut di bawah perut yang rata dengan tatoo ivy melingkari pusar.
Lelaki di depannya semakin tegang. Kocokan penisnya semakin cepat. Nafasnya tersengal menyaksikan jari tangan Monica mengubel-ubel alat kelamin sendiri. Permukaan lubang vagina Monica terlihat cukup jelas oleh si nomer 1. Monica menjulurkan lidah kemudian membasahi tangan dengan air liur. Tangannya kembali turun memainkan vagina. Monica membelai klitoris, gerakan tangannya sangat cepat. Bokongnya bergerak menggesek sofa. Desahan keluar dari bibirnya.
Plllaakkk
Pllaaakk
Tangan kiri Monica menampar paha sendiri sehingga bergetar dan berwarna kemerahan. Tangan kanan semakin bersemangat memainkan vagina. Wanita itu merasakan tubuhnya semakin panas. Dia membuka T-Shirt yang dikenakan dan melempar ke lantai. Payudara Monica tidak dapat ditutup sempurna oleh bra yang dikenakannya, terlihat menyembul indah menggairahkan.
Monica berdiri. Dia menungging ke arah si nomor satu. Menggerakan pinggul dan meliuk menggoda.
Pllaaakkk Plaaakkkk Plaaakkkk
Monica menampar pantat sendiri yang membulat.
Penis si nomer satu berkedut keras menyaksikan pantat Monica yang bergerak menggoda. Monica kemudian mengangkang dan menungging. Dia kembali memainkan vagina dalam posisi itu. Dua jari wanita itu masuk keluar masuk vagina sendiri dengan cepat.
Pleeek Pleeek Pleeek
Terdengar suara vagina yang basah ketika bersentuhan dengan tangannya.
Si nomor 1 merasakan aliran darahnya begitu panas. Dia berdiri sambil mengocok penis dengan cepat. Dia membayangkan penisnya masuk ke lubang vagina Monica.
“Ahhhh Ahhhh hhsssshhhh”
“Arrrgggggggggg Hhhhhhhh”
Crooooooottt croooot
Pada hitungan 00:12:40. Si nomor 1 mengejang dengan sperma menyemprot ke lantai dan hampir mengenai tubuh Monica. Nafas lelaki itu tersengal. Monica mendekat ke arahnya dan memberi kecupan di bibir lelaki itu.
“Thanks....!”
Monica terlihat puas. Kemudian dengan bangga dia menaikkan tangan menghadap ke arah teman-temannya sambil berteriak. Si nomor 1 meninggalkan panggung dan Monica mengenakan pakaian, kemudian kembali duduk mencari teman-temannya.
Tubuh Anggi bergetar hebat menyaksikan hal itu. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Gilaaaa! Ini gilaaa!”
Tubuh Anggi panas bukan main. Keringat dingin muncul di keningnya. Dia menatap keempat perempuan lain yang berada di sampingnya. Semua menunjukan ekspresi biasa saja. Rimelda dan Davina malah terlihat berteriak penuh semangat. Emilia dan Diandra kalem.
“Ayoo! Nomer dua maju!!”
Rimelda berlari ke atas panggung. Dia begitu bersemangat. Si nomer 2 sudah duduk di sofa tanpa mengenakan penutup mata.
“Masker lo lepasin dong!” Rimelda berteriak. Si nomer 2 menurut. Rimelda tersenyum senang, “Anak baik. Ayyooo kita bersenang-senang!”
Si nomer dua berhadapan dengan Rimelda. Celananya melorot sampai ke lutut. Melihat perempuan berpakaian seksi itu dia sudah merasa sangat tegang. Bentuk tubuh Rimelda berisi dan fuck-able sekali.
Rimelda meraih tali dress di lengan dan melepasnya. Dia menarik turun dengan pelan. Payudara yang bulat menyembul indah. Lelaki itu menahan nafas melihat payudara besar tapi kencang milik Rimelda. Putingnya mengacung menantang. Rimelda menggoyangkan tubuh. Kedua payudara bergetar. Tubuh si nomer dua juga bergetar hebat. Dia mengocok penisnya semakin cepat.
“Elo pengen nyedot ini? ” Rimelda meremas dada sambil mendesah penuh nafsu. “Julurin lidah lo dan jilat sepuasnya. Eyyyaaahhhhhh... aaaa shhhh!”
Lelaki itu menurut dan menjulurkan lidah seperti orang sedang menjilat payudara. Rimelda mendesah sambil menggoyangkan tubuh erotis. Dia meremas payudara sendiri dengan kasar. Memainkan puting dengan jemari seolah disedot oleh lelaki itu. Dia membayangkan dan begitu menghayati.
“WOW! Penis lo gede banget! Kalo elo menang, gue bakal ngeseks ama elo!” Rimelda menjulurkan lidah. “Gue bakal telen penis lo sampe nyangkut di tenggorokan gue! Pasti nikmat banget. Mulut gue pasti meluber. Owwwwwwhhhh.”
“Ato kontol elo mau di jepit pake ini?” Rimelda menggesekkan kedua payudara.
“Kalo elo masih belom puas, gue masih punya aset yang lain!” Rimelda dengan tergesa melepas dress beserta dalamannya sehingga dia telanjang bulat. Tubuh indah Rimelda benar-benar terekspos di hadapan lelaki itu.
“Liat bokong gue!” Rimelda membelakangi lelaki itu. Dia menggerakkan pinggul sehingga bokongnya bergetar. Perempuan itu kemudian menari erotis. “ Elo suka kan? Kalo elo mau. Nanti Elo bisa tampar, cium, dan gigit ini sepuasnya! ”
“Gue akan goyang elo sampe puas dan minta ampun! Hihihi.”
Rimelda kemudian menungging. Dia menunjukan vagina indahnya ke hadapan lelaki itu.“Elo boleh masukin kontol elo ke sini!”
“Gue bakal jepit, remes, aduk sampe elo teler!” Rimelda goyang ngebor di atas panggung. Lelaki itu mendesah dan bersemangat mengocok penisnya. Gerakan tangannya super cepat. Wajahnya merah menahan nafsu.
“Hhhmmmmppps sssssshhhhh!!”
Crooooootttt crrrooot
Spermanya menyemprot. Waktu yang di butuhkan adalah, 00:10:13.
Rimelda melonjak girang. Dia berlari ke arah lelaki itu kemudian mengelus penis yang mulai mengecil.
“ Elo kalah, Monic!”
Rimelda berteriak sambil menunjuk Monica. Dia kemudian mengenakan pakaian dan kembali ke tempat duduk.
“Nomer tiga, maju!”
Davina berdiri kemudian menghadap ke arah lima perempuan di dekatnya. Dengan gerakan lincah wanita itu melepaskan dress dan melemparkan ke wajah Rimelda.
“Gue bakal ngalahin elo!”
Davina tersenyum angkuh. Dengan hanya menggenakan celana dalam dan bra dia melangkah anggun menaiki panggung, dengan gaya seorang model dia berputar beberapa kali sambil tersenyum menggoda ke arah si nomor 3.
“Mulai!” Juri mengeluarkan aba-aba.
Davina berdiri di hadapan lelaki yang duduk telanjang dengan penis yang sudah tegang. Mata lelaki itu menatap lekat tubuh indah perempuan yang ada di depannya. Pinggang Davina sangat ramping, perutnya rata tanpa timbunan lemak, pantatnya begitu menonjol kebelakang dan sangat kencang.
Dengan gerakan tubuh indah dan menggoda, dia melepas celana dalam dan bra. Melempar lembut ke lelaki di depannya. Celana dalam Davina tepat mendarat di wajah lelaki itu.
“Pake CD gue buat ngocok penis elo. Dijamin lebih lembut dari tangan lo!”
Lelaki itu mengambil bra dan celana dalam Davina. Dia menempelkan di wajahnya. Tubuh lelaki itu menggigil menghirup aroma menggairahkan yang masih melekat di sana. Dia kemudian memakai celana dalam Davina untuk membungkus penis dan menggerakkan naik turun. Ucapan Davina benar. Celana dalam itu sangat lembut dan terasa begitu hangat. Lelaki itu mendesah nikmat sambil mengamati tubuh telanjang Davina di depannya.
Davina duduk di lantai cukup dekat dengan si nomor tiga. Wanita bertubuh langsing itu meremas payudaranya yang berukuran sedang tetapi kencang. Menjulurkan lidah menjilat puting dengan lidah yang meruncing dan basah. Gairah si nomer tiga begitu menggebu. Tarikan nafasnya sangat berat. Lembut celana dalam Davina membuat penisnya cepat berkedut. Dia mengocok penis sambil menghirup aroma bra Davina yang masih menempel di hidungnya.
Davina mengangkang. Vaginanya berbentuk tipis indah. Sangat pas dengan bentuk tubuhnya yang langsing. Dia membasahi jemari tangan, kemudian dengan jari dia melebarkan permukaan lubang vaginanya yang berwarna kemerahan. Pantatnya bergerak menggesek lantai. Jari tangannya menggosok klitoris dengan cepat.
Lelaki itu masih belum croot meskipun nafasnya sudah menderu kencang. Tatapan matanya semakin nanar ketika melihat Davina sudah berada di ujung sofa. Perempuan itu mengangkang dan menggesekkan vagina di pinggiran sofa yang lembut. Pinggul perempuan itu menyentak indah, teratur dan sangat erotis.
Si nomor tiga dapat melihat cukup jelas vagina Davina bergerak menyusuri lembutnya sofa. Dia membayangkan penisnya berada di lubang vagina perempuan itu. Dia memimpikan bokong semok davina menari lincah di atas tubuhnya. Dia mengocok penisnya dengan cepat, semakin cepat berpacu dengan waktu.
“Ahhhhhh Shhhaaaatttttt!”
Sperma lelaki itu menyempot. Lelaki itu sengaja mengarahkan penisnya ke bra Davina. Si nomor 3 croot pada, 00:14:15 .
“Bra dan CeDe gue lo ambil sebagi hadiah!” ujar Davina. Dia kemudian berjalan ke arah teman-temannya dengan tubuh telanjang. Mengenakan dress tanpa bra dan celana dalam.
Anggi merasa tubuhnya bergetar hebat. Anggi tegang bukan main. Dia tahu beberapa detik lagi adalah gilirannya. Dia masih bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Adegan yang diperagakan ketiga perempuan itu masih belum bisa dipercaya oleh Anggi. Mereka perempuan tidak tahu malu. Itulah yang ada di benak Anggi.
No 1 : 00:12:40
No 2 : 00:10:13.
No 3 : 00:14:15
Hasil sementara Rimelda menang dan Davina yang kalah. Posisi Monica aman. Mereka hanya menunggu hasil dari Anggi dan Diandra.
“Ingat! Hukuman bagi yang kalah adalah dipersembahkan kepada lima monster buas yang ada di sana! Berhati-hatilah kalian dalam bermain!”
Ucapan Rimelda berputar-putar di kepala Anggi, dia merasa pusing. “Apakah aku harus kabur dari sini?” Anggi melihat sekelilingnya. Sepertinya hal itu tidak memungkinkan.
“Ayo! Sekarang giliran si nomor empat!”
Anggi menatap ke panggung. Lelaki nomor 4 sudah berjalan ke arah sofa. Anggi masih tidak bergeming.
“Ayo Anggi! Semangat! Kamu pasti bisa!”
Rimelda berteriak. Seperti diperintah, tubuh Anggi bergerak maju ke panggung dengan lunglai. Wajahnya begitu pucat. Dia berjalan seperti tidak sadar. Pikirannya melayang kemana-mana. Otaknya sudah tidak kuat memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Anggi mulai sesak ketika berada di panggung. Dia merasa begitu asing dengan tempatnya berpijak. Asing dengan orang yang menggelilinginya. Anggi merasa berada di dimensi lain yang menyesatkan. “Apa yang harus kulakukan agar bisa menang?”
“Kalian siap? Kami akan mulai menghitung!” Teriakan juri memasuki telingga Anggi tetapi otak gadis itu tidak bisa mencerna. Anggi tidak merespon. Dia tercekat dan tidak dapat menyahut.
“TUNGGU!!!” Terdengar teriakan keras dari kursi penonton “ GUE MAU DUEL!!”
Anggi terkejut mendengar suara Diandra. Dia melihat perempuan berkacamata itu berdiri kemudian naik ke panggung. Diandra menjelaskan kalau duel yang dimaksud adalah mereka akan maju berbarengan, nomor 4 dan nomor 5 akan manggung bersama. Menggoda jagoan masing-masing secara bersamaan.
“I think, itu seru juga. Gue setuju!”
“Gue sih Yes!”
“Gue juga!”
Teman-teman yang lain juga menyetujui permintaan Diandra. Terdengar sorakan mereka memberi dukungan.
“Gimana?! Elo, mau duel, Nggi?”
Anggi pasrah. Dia setuju saja. Dalam pikirannya hasilnya akan sama. Semua akan terasa berat baginya. Baik duel atau tidak.
“Kalian siap?” Terdengar teriakan juri. ” Kami akan mulai menghitung!”
“Siap! Gue sangat siap!”
Waktu mulai berjalan. Anggi kebingungan.
“Apa aku harus menari?”
“Apa aku harus telanjang?”
“Apa aku harus menawari mereka bercinta?”
Pertanyaan itu datang silih berganti di kepalanya. Anggi melirik Diandra yang berada di sebelah. Dia melihat Diandra duduk santai sambil melipat salah satu kaki. Diandra memejamkan mata bersandar di sofa. Seperti orang tidur.
Diandra seperti sadar kalau Anggi memandangi. Bibir mungilnya berdecak kemudian dia membuka mata dan melirik Anggi. “Elo tegang banget! Ini hanya game. Santai aja!” Diandra kembali memejamkan mata. Sorot matanya begitu tenang. Seolah tidak terjadi apapun. Anggi tidak menyahut. Dalam hatinya dia mencaci maki Diandra.
“Kenapa bisa seperti itu?” Anggi membatin. “Apa mereka sudah terbiasa dengan lelaki?”
Anggi tidak punya waktu banyak memikirkan Diandra karena terdengar teriakan dari kursi penonton. Dia menelan ludahnya beberapa kali. Kepalanya berputar mengamati sekelilingnya. Dia benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Ayyoooo Anggiii! Buat dia crooot!”
“Tunjukan kalau dirimu wanita yang hebat. Ayo kalahkan Diandra!”
Suara Rimelda dan Monica begitu riuh sehingga Anggi mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Teriakan itu menyadarkan Anggi akan beratnya hukuman bagi yang kalah.
Waktu semakin cepat berlalu. Anggi masih belum melakukan apapun. Dia melirik si nomer 4 dan nomor 5. Dia melihat mereka menggengam penis yang sudah menegang. Telinga Anggi tiba-tiba mendengar derai tawa Diandra.
“Lumayan! Bisa tidur lima belas menit!”
Anggi tersentak dan langsung melihat ke arah layar.
00:15:04
“Salah satu dari kita pasti kalah! Hahaha,” ujar Diandra.
Anggi memaki dirinya sendiri. Ternyata dia telah terjebak dalam permainan Dindra. Sekarang dia mengerti kenapa Diandra tidak melakukan apapun, ternyata perempuan itu menunggu waktu selama lima belas menit.
“Permainana ini sudah diatur. Yang kalah sudah ketahuan.” Diandra menaikan salah satu sudut bibirnya. “Salah satu dari kita akan kalah!”
Dindra kemudian berdiri dan berteriak. Dia menaikan kedua tangan dan menghadap ke arah teman-temanya di kursi penonton. Teman- temannya bersorak gembira, wajah Anggi pucat. Dia melihat hal yang sangat berbeda dari Diandra.
Anggi memalingkan pandanganya ke arah kursi, dia melihat Monica berbisik-bisik kepada Emilia. Emilia tertawa lepas sambil melirik Anggi. Dia begitu bergembira melihat ketegangan Anggi.
“Ayo semanggat, Nggi!” Emilia kegirangan. Dia bertepuk tangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Entah kenapa Anggi menjadi muak mendengar kata-kata Emilia yang biasanya begitu dikaguminya. Senyum manis Emilia seolah berubah menjadi senyum penyihir jahat yang memperdaya anak-anak.
Cuiiih! Anggi ingin sekali meludahi wajah Emilia. Wajah perempuan itu mendadak terasa asing bagi Anggi. Dia ingin menumpahkan amarahnya. Semua ini terjadi karena dia menuruti permintaan Emilia. Wanita jahanam itu menariknya kepermainan ini. Anggi sedih dan muak, dia merasa ditipu dan dikhianati. Rasa benci kepada Emilia memuncak. Tangan Anggi mengepal. Kelopak matanya panas dan berkedip cepat.
“Inikah monster yang dikatakan teman-teman Emilia?!”
Air mata Anggi menetes. Dia mengusap dengan jari. Dia tidak ingin ketahuan menangis.
“Aku harus menang! Harus!!”
Emosi Anggi sudah tidak bisa dikendalikan. Dengan tangan bergetar hebat karena rasa frustasi, dia melepas kancing kemeja.
“Inikan yang kalian mau!”
Anggi menjerit. Dihempaskan kemeja sehingga terbuka. Dengan penuh amarah dia melemparkan kemeja ke arah Emilia dan teman-temannya. Dia tidak peduli dengan tubuhnya yang hanya mengenakan bra dan celana panjang. Perasaan malu lenyap ditelan amarah.
“Buka!”
“Buka!”
Penonton semakin riuh. Anggi merasa dirinya sudah gila. Tangannya semakin bergetar, Dia meraih kait bra dan hendak melepasnya.
Plaaaakkk
Kedua telapak tangan Diandra memukul pipi Anggi, sebelum Anggi sempat melepas bra. Tangan Diandra bergerak, memutar kepala Anggi sehingga wajah mereka berhadapan.
“Lihat wajah gue! Semua sudah diatur. Yang kalah sudah di tentukan sebelum kita memilih mereka! Elo percaya bukan?” Diandra tersenyum licik.
“Oh Tidak!!” Anggi memekik tidak percaya melihat wajah Diandra penuh cairah sperma. Senyum Diandra membuat kesadaran Anggi mulai berkurang.
“Aa aa aku kalah!! Tiii tiddaaaak!”
Dug Dug Dug
Jantung Anggi menendang dadanya dengan keras. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa semakin berat. Dia mencoba menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba mengisi paru-parunya dengan oksigen. Otaknya menolak. Anggi merasakan lantai yang dipijaknya berputar. Dia mengoyangkan kepala ketika kesadaran mulai berkurang. Nafasnya tersengal, dia merasa tidak mampu menopang tubuhnya. Anggi terjatuh lunglai.
“Anggi!!!”
*****
Di ruang kegembiraan, sebuah lampu menyorot terang ke atas panggung. Lima tubuh telanjang bulat menatap buas ke arah sesosok tubuh yang terikat di ranjang. Mereka seperti hewan buas yang baru diberikan mangsa.
“Sempit banget! Sepertinya masih perawan, hehehehe!”
“Gue yang pertama!”
“Tidak! Gue yang pertama!”
“Gue!”
“Gue!”
Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan.
******
Senin, jam 23:30. Beberapa jam setelah pesta di Ruang Biru Muda
Di ruangan luas bercat biru tua dengan nyala lampu terang benderang, lima wanita duduk mengitari meja besar yang penuh dengan hidangan makanan. Suara gelak tawa mereka bercampur dengan denting peralatan makan yang beradu.
“Asisten lo gimana, Em?”
“Aman,” jawab Emilia, “ tapi dia polos banget. Gue jadi nyesel.”
“Elo emang kejam, Em! ” Rimelda menyahut. “Gue udah ngasi tau dia buat ngejauhin Elo, tapi dia gak mau. Hihihi.”
“Gue enggak kejam. Kalian aja yang bikin permainan kurang ajar.”
Rimelda tertawa kemudian bangkit untuk mengambil sesuatu di kulkas.
“Kalian pasti suka ini.” Rimelda mengacungkan botol berisi minum berwarna merah. “ Magic mushroom!”
“It’s very old fashioned! Minuman kuno dan ketinggalan jaman!” Monica mencibir.
“Kuno tapi gue masih suka. Sekarang susah nyarinya. Hargai lah!”
Rimelda kemudian meletakkan botol itu di sebuah meja kaca tebal berbentuk persegi tidak jauh dari meja makan. Di atasnya terdapat beberapa jenis kue dan camilan terbungkus plastik. Empat buah sofa panjang berukuran sama dan berwarna biru mengelilingi meja setinggi setengah meter itu.
Rimelda duduk di salah satu sofa kemudian berucap, “ Gue suka minuman ini karena efeknya enggak buruk. Kita bisa tertawa sepanjang malam, seperti dulu!” Rimelda kemudian menuangkan minuman itu ke dalam sebuah gelas kecil. “ Elo mau minum ini kan, Monic?”
“Yes!! Let’s ejoy the night!”
******
Selasa, 00:01
Anggi terbaring telentang di atas springbed dengan mata terpejam. Sebuah bantal menyangga kepalanya. Deru nafasnya halus. Dia masih belum sadarkan diri. Telinga Anggi samar-samar mendengar suara, tetapi kelopak matanya enggan dibuka meskipun dia sudah mencoba beberapa kali.
Anggi merasakan jari lembut menyentuh pipi kemudian menyusuri bibirnya. Begitu lembut sampai Anggi terbuai. Tenaga yang hendak digunakanya untuk membuka mata mendadak hilang, dihisap oleh sensasi nikmat dan lembut yang menjalar di bibirnya.
“Bibir?!“
Anggi merasa ada seseorang yang menempelkan bibir di atas bibirnya. Bibir lembut itu kemudian mengulum bibir Anggi. Anggi pasrah dan tidak bisa melawan. Bahkan ketika bibir itu semakin mendesak, Anggi malah mengikuti alurnya. Dengan mata masih terpejam, Anggi membuka bibir, menyambut lidah yang lembut dan hangat memasuki rongga mulutnya. Lidah mereka bergulat saling membelit. Anggi menggeliat dan mendesah. Dia tidak berusaha membuka mata. Dia memilih menikmati dengan mata terpejam.
Indera perasa Anggi jauh lebih peka. Nafas Anggi menderu berat ketika merasakan jemari lembut membelai lengan, kemudian bergerak menyentuh payudaranya. Jemari itu terasa begitu halus di kulit Anggi, darah Anggi berdesir bergejolak. Payudaranya mengeras.
“Shhhhssss ! Hmmmmpppp!!”
Anggi mendesah tertahan saat merasakan jemari tangan memainkan payudaranya. Meremas lembut gundukan, kemudian membelai putingnya. Ciuman di bibirnya semakin panas dan bergairah, Anggi sampai menggerakan kepala mengimbangi.
Tangan Anggi perlahan terangkat. Dia ingin menyentuh sesuatu untuk pelampiasan rasa nikmat. Tetapi dia tidak bisa menyentuh apapun, tanganya berhenti sejenak di udara, kemudian turun dengan kencang menghantam kasur.
Bluuug
Kasur begoyang, begitu juga tubuh Anggi. Dia tersentak kaget. Sensasi nikmat yang tadi dirasakan Anggi mendadak lenyap, menguap dengan cepat seiring kesadaranya yang mulai pulih.
“Kamu baik-baik saja, Nggi?”
Mata Anggi langsung membuka mendengar suara lembut Emilia. Kesadaran belum sepenuhnya kembali ke tubuh Anggi sehingga dia tidak mampu menjawab. Ditatapnya wajah Emilia dan Diandra dengan tatapan kosong. Kesadaran Anggi semakin pulih. Dia menyadari dirinya sudah berada di sebuah ruangan bercat hijau. Mendadak dia teringat kejadian di Ruang Kegembiraan, wajahnya langsung pucat. Dia melihat ke sekujur tubuhnya dengan panik.
“Apa semua yang terjadi di panggung hanya mimpi?” Anggi membatin.
“Game belum selesai, kamu udah gedubrak duluan!” Diandra berucap sambil tertawa. “Em tadi nangis meraung-raung! Dikiranya dikau udah koid. Mati! Haahaha!”
Ucapan Diandra membuat Anggi menyadari kalau yang terjadi di panggung bukan mimpi. Dia kemudian teringat kejadian sebelum dia pingsan. Teringat hukuman yang akan diterimanya. Wajahnya mendadak pucat.
“Saya kalah. Saya takut!” Suara Anggi bergetar.” Bagaimana dengan hukumanya?” Anggi merasa khawatir.
“Mana mungkin menghukum orang yang pingsan. Kami tunggu kamu sadar dulu.” Ucapan Diandra membuat Anggi semakin panik.
“Hihihi, bukan kamu yang kalah tapi lelaki pilihan Diandra.” Emilia menjawab sambil tertawa, “yang croot nomer empat, bukan nomer lima. Mungkin penisnya bengkok, makanya nyemprot ke muka Diandra.”
Diandra tertawa kemudian ikut menjelaskan. Anggi akhirnya tahu kalau sperma yang menyemprot ke wajah Diandra adalah sperma cowok nomer empat, jagoan Anggi.
“Hukumannya gimana? Tidak serius?” Anggi merasa heran kenapa Diandra masih di sini dan tidak dipersembahkan kepada lima lelaki di tempat tidur. Selain itu Anggi merasa bersyukur karena tidak sampai harus menggoda lelaki itu dengan hal yang memalukan baginya. Meskipun dia sudah sempat panik dan membuka bajunya.
“Tetep jalan. Yang nerima hukuman kan yang kalah, yang tidak croot. Gue kan hanya salah pilih jagoan,” ucap Diandra tenang. “Kita kan hanya pemilih. Mereka yang bertanding dan nerima resiko.”
Anggi lega dan baru mengerti sekarang. Ternyata yang dianggap loser atau pecundang bukanlah wanita yang memilih, tetapi pria yang tidak bisa ‘croot’. “Pantes aja mereka tenang sekali!” Anggi membatin. Dia mulai sadar kesalahannya mengartikan kata, tetapi masih ada suatu pertanyaan yang terbesit di benaknya.
“Trus lelaki yang kalah itu diapain?”
“Tidak croot berarti homo. Dia pasti lagi gembira ama teman sejenisnya, “ sahut Diandra. “Seperti yang gue bilang di panggung, permainan ini udah diatur si Monic dan Davi. Yang kalah udah ketahuan sebelum permainan dimulai.”
“Homo tidak akan ngaceng liat wanita kayak kita ini, dia hanya tertarik sesama jenis.”
Diandra kembali menjelaskan. Kelima lelaki yang berada di tempat tidur itu adalah gay dan salah satu dari kelima lelaki yang ikut lomba ‘croot’ juga gay. Monica si event organizer sengaja merancang hal itu. Dia sudah memprediksi lelaki yang gay tidak akan bisa “croot” ketika disuguhi tubuh wanita cantik.
Anggi bergidik mual membayangkan hal itu. Dia tidak percaya ada lelaki yang menyukai sesama jenis. Apalagi lelaki itu terlihat keren.
“Game itu memuakan. Terlalu banyak kelemahanya.” Diandra protes. “ Em beruntung elo mau ngewakilin!”
“Gue sengaja minta duel karena gue males ngegodain mereka. Gue pikir, elo bakal nari telanjang di panggung. Eh ternyata, elo malah panik,” Diandra menjelaskan.” Kalo duel kan cuma butuh satu orang aja untuk godain. Toh, kedua laki itu duduk tidak disekat dan bisa liat kita langsung. Rencana gue, elo yang telanjang, gue yang diem. Hasilnya kan bakal sama, yang gay yang tidak croot. Hihihi!”
“Monic ama Davi bodoh. Mereka setuju-setuju aja pas elo minta duel. Hihihi.”
“Otak mereka mah selalu eror kalo lagi kepepet.”
Diandra dan Emilia tertawa lepas. Anggi juga merasa begitu lega. Janji Emilia kepadanya terbukti, dia aman dan selamat.
“Oh ya! Tadi kamu tidur sambil senyum-senyum. Mimpi indah ya, Nggi?”
Wajah Anggi mendadak bersemu merah mengingat ciuman dan belaian yang dirasakanya tadi. “Huft, Mimpi yang tampak nyata.” Dia merasa malu. Malu karena mimpi itu dan malu karena pingsan ketika permainan.
“Kamu makan dulu! Kamu belum makan dari sore.” Emilia menunjuk makanan di atas meja kecil di pojok ruangan. “Saya ma temen-temen di kamar sebelah. Ruangan biru tua. Kamu ke sana aja kalau mau gabung.”
“Daaahhh Anggi,” Diandra melambaikan tangan kemudian meninggalkan Anggi sendirian.
Pikiran Anggi masih kalut ketika Diandra dan Emilia meninggalkanya. Dia menghempaskan diri ke tempat tidur dengan kuat. Dia ragu apakah dia berada di alam nyata atau mimpi. Dia merasa sangat aneh dan asing dengan momen yang dilaluinya. Semua rasanya seperti mimpi di malam yang panjang. Rasa benci kepada A-Lima yang sempat mengusik pikiranya sudah hilang. Dia menyesal karena sempat menganggap Emilia penipu.
Anggi mengusap wajah. Dia mencoba mengakrabkan diri dengan suasana di sekitarnya. Ditatapnya ruangan luas tempatnya sekarang tidur. Tembok warna hijau. Langit-langit ruangan yang tinggi, di tengahnya ada tiga buah lampu besar menggantung, berbentuk bawang putih dan mengeluarkan cahaya berwarna kekuningan.
“Aku harus makan!”
>><<
Selasa, 01:30
Rimelda, Davina, dan Monica sudah kehilangan kontrol karena magic mushroom. Mereka beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Saling lempar camilan dan mengeluarkan kata-kata jorok dan aneh. Posisi tubuh mereka di atas sofa sudah tidak beraturan. Ada yang tidur dengan kaki naik ke sandaran sofa, ada yang telentang dengan menaruh bantal di bawah pinggang. Sementara itu, Diandra dan Emilia masih tetap terjaga kesadaranya meskipun rasa kantuk menghinggapi mereka. Mereka sama sekali tidak ikut mengkonsumi minuman tersebut.
“Davi, gue udah sange nih! Cepetan suruh mreka kemari!”
“Sabar! Sejam lagilah. Hahaha.
“Lama amat! Gue keburu jadi oma-oma seksi nih! Hihihi”
BRAAAAAAAAAKKK
“Bangsaaaattt!!!”
Terdengar suara keras berbarengan dengan pintu terhempas kuat dan menghantam dinding. Seorang lelaki yang hanya mengenkan celana pendek buru-buru memasuki ruangan tempat A-lima berpesta. Di tubuhnya terlihat beberapa memar dan bercak kemerahan. Dia berjalan teseok-seok menahan sakit. Alisnya tertekuk, pandangan matanya tajam dan liar.
“Ini kejutan elo?”
“Bukan.”
“Who is he? “
“Ntahlah! Bukan gue yang ngundang.” Davina cuek. “Biarin aja!”
Lelaki penuh memar itu berjalan dengan nafas memburu kemudian berhenti di dekat meja makan tidak jauh dari tempat A-Lima berkumpul. Bentuk tubuh lelaki itu cukup bagus. Perutnya rata meskipun tidak terlalu berotot. Hanya saja pandangan matanya aneh dan penuh amarah.
“Kalian kan yang bikin permainan terkutuk itu. Kalian pikir itu lucu?” Lelaki itu berteriak.
“Itu cuma game. Elo siapa sih? Kok baper amat?”
“Kalian kurang ajar! Berani-beraninya kalian ingkar janji!!” Lelaki itu berteriak sambil mengacungkan pisau yang didapatkanya dari atas meja. “Gue akan balas semua ini!”
Terdengar gelak tawa dari sofa. Lelaki itu semakin marah.
“Eh! Kayaknya dia si nomer lima,” ujar Davina, “gue inget wajahnya.”
“Hah! Si homo? Ngapain dia kemari?” Rimelda menatap lelaki yang beramput acak-acakan itu.
“Woy nomer lima! Elo pengen nyoba cewe?! Bosen ama laki, ya? Hahahaha.” Davina beteriak.
“DIAAAMMM!!! GUE BUKAN HOMO!!!”
Teriakan lelaki itu menggelegar bagai guruh. Nafasnya menderu. Dadanya naik turun.
Kembali terdengar gelak tawa A-Lima. Lelaki itu menggeram dengan mata mendelik. Bibirnya bergetar menahan amarah. Dengan cepat tangannya bergerak ke atas meja, menyambar mangkuk berisi makanan dan melemparkan ke arah sofa.
Wuuuuuttttt
Mangkok melayang di samping kepala Rimelda, kemudian menghantam sandaran sofa dan terpental ke lantai. Kuah yang ada di dalamnya berhamburan dan terciprat ke wajah Emilia dan Diandra. Wanita yang sedari tadi diam, sekarang berubah menatap geram ke arah si nomor lima.
Lagi dan lagi terdengar gelak tawa riuh. Lelaki itu menjadi bingung kemudian berteriak parau.
” Bangsaaaaattt!! Kalian akan liat apa yang bisa gue lakuin!! ” Dia mengacungkan pisau ke arah para wanita. “Gue entot kalian semua baru tau rasa!!”
“Haaiiii...! Tunggu dulu.” Rimelda berdiri seolah menghalangi si lelaki. “ Inikan yang elo mau?” Suara lembut Rimelda dikombinasi dengan tatapan menggoda ke arah si nomor lima. Dengan liukan tubuh indah disertai tawa renyah, dia menurunkan dress yang dikenakanya sampai ke pinggang. Bra warna hitam yang menutup payudaranya di lempar ke atas meja. Payudaranya yang berukuran jumbo terekspos.
“ Nyusu dulu yuk! Biar enggak salah paham. Hihihihi. ” Rimelda mengguncangkan tubuh. Kedua payudaranya yang besar berbenturan lembut. Pemandangan itu tidak lepas dari pandangan si lelaki. Lelaki itu merasa jengah. Wajahnya mendadak panas. Nafasnya memburu melihat bentuk payudara Rimelda yang menggiurkan, tetapi lelaki itu tetap tidak bergerak, dia terpaku di dekat meja. Genggaman tangannya pada pisau mulai kendor.
“Hahahaha. Maybe elo kaga bisa bikin dia on, Mel! You already too old! Udah jadi nenek-nenek. Hihi, “ Jari lentik Monica bergerak meletakan rokok di atas asbak kaca. Perempuan dengan bentuk tubuh indah itu kemudian berdiri mengangkang di atas sofa. Dengan terburu-buru dia melepas dress yang dipakai, kemudian melempar ke arah si lelaki. Bra dan celana dalam yang melekat di tubuhnya tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuh Monica yang mengagumkan. Dia menggoyangkan pinggul menari erotis di atas sofa.
“ C’mon, baby!! You can touch me everywhere.” Monica menjulurkan lidah, melenggak-lenggok semakin liar, kemudian tertawa.
Nafas lelaki itu semakin berat. Matanya melotot menyaksikan tubuh Monica. Bentuk pinggul yang indah, pusar yang menggoda, paha yang kencang dan semakin terlihat mulus ketika diterpa cahaya lampu.
“Hahahahahahahahah! Goblog goblog goblog. Kalian semua oon! ” Davina tertawa keras. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arahnya. “Udah tau gay malah kalian ajak ngeseks. Dia kagak bakal ngaceng! ”
Ucapan Davina membuat Rimelda dan Monica menghentikan gerakan. Kedua wanita itu menatap Davina, kemudian tertawa. “Anjir! Gue baru ngeh! Hahahaha.” Efek minuman yang mereka konsumsi cukup berat. Otak mereka menjadi kacau.
Lelaki itu melotot marah ke arah Davina. Mereka beradu pandang. Lelaki itu kalah, dia menunduk. Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kepala melirik Rimelda dan Monica. Lelaki itu menyadari tatapan mata Monica mengarah ke celananya. Dia langsung mengumpat dalam hati ketika tahu penisnya tidak bereaksi. Dia merasa seperti pecundang ketika mendapat pandangan mata mencemoh dan senyum sinis dari kedua gadis itu.
“Elo pikir, gue tertarik ama perempuan hina dan murahan macam kalian. Kalian hanya sampah!”
Teriakan parau penuh amarah keluar dari mulut lelaki itu. Itu adalah pembelaan atas harga dirinya yang remuk. Pembelaan kepada penisnya yang tidak bisa berdiri melihat wanita seksi. Tubuhnya gemetar. Dia menunduk dengan bola mata berputar linglung. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada dirinya.
“Udahlah numbe fifth. Kalo jadi gay yang gentle. Gak usah sok jadi pejantan tangguh. Tempatmu bukan di sini. Hihihi!”
“NO ngaceng NO party!”
Cacian dan hinaan membuat lelaki itu geram. Matanya berkaca-kaca. Dia teringat peristiwa yang terjadi kepadanya beberapa jam lalu. Peristiwa yang menguras emosinya. Peristiwa yang memberinya memori buruk sepanjang hidupnya.
Dia melempar pisau ke atas meja. Giginya beradu keras sampai menimbulkan suara ‘kriieet-kriieet’. Matanya berputar liar kebingungan.
“BANGSAAAT!!”
“Kalian semua bangsaaat!!”
“SETAAAAN!!
“Mampus kalian semua!!”
Bug Bug Bug
Tangan lelaki itu mengepal keras. Menghantam meja kayu beberapa kali sehingga peralatan makan yang ada di atas meja bergetar hebat dan mengeluarkan suara gemericing.
BLAAAGGG
Tendangan keras menghujam kaki meja. Nafas lelaki itu terengah-engah. Dia mencoba menenangkan diri. Dia mengatur nafas kemudian memegang kepala, menjambak rambut dan mengurut keningnya. Dia stress.
Bibirnya berdecak gelisah. Dia tertunduk dengan sorot mata tajam, kemudian memejamkan mata kuat sambil menarik nafas dalam, mencoba mengusir rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Tetapi tiba-tiba bayangan sebuah peristiwa kembali berkelebat di kepalanya. Rahang lelaki itu kembali mengeras menahan emosi.
A-Lima sama sekali tidak peduli kepadanya. Mereka sama sekali tidak menunjukan rasa takut. Lelaki itu mendengus pedih. Dia merasa diabaikan dan tidak dianggap sama sekali. Dia mulai merasakan hal yang aneh mengenai kelima wanita itu. Mereka memiliki ketenangan luar biasa. Amarahnya yang meluap tidak bisa menggubris ketenangan mereka.
“Gue bunuh mereka baru tau rasa!!”
Lelaki bergegas maju terseok-seok. Dia menubruk ke arah Monica, mencekik leher wanita itu. Monica sama sekali tidak melawan dan malah tertawa. Tidak ada pancaran ketakutan di matanya. Lelaki itu mendadak gugup. Menjadi ragu akan kemampuannya untuk membunuh. Dia tidak memiliki mental untuk melakukan hal itu. Dengan frustasi dia melepas cekikan, kemudian menelikung tangan Monica ke belakang dan mengikat dengan dress milik Monica. Kakinya juga diikat dengan kain serbet.
“Ngapain sih elo?” Rimelda heran dengan kelakuan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan dia juga mengikat tangan Rimelda kebelakang.
Beberapa menit kemudian, Davina, Diandra, dan Emilia juga diikat dengan kain serbet yang ada di meja. Mereka sama sekali tidak memberikan perlawanan, sorot mata mereka juga begitu tenang. Tanpa pancaran rasa takut.
“Ini rencana siapa sih? Lumayan keren, kayak ada drama-dramanya gitu! Hihihi.” Rimelda kembali menceracau.
“Enggak! Ini konyol banget! “ Diandra menggerutu setelah didorong paksa merapat ke tembok.
“Elo turutin aja kemauan si gay ini.” Rimelda tertawa lepas. “Gue pengen liat kejutan apa yang bakal dia buat.”
A-Lima duduk sejajar, bersandar di tembok dengan tangan dan kaki terikat. Sementara itu, si lelaki duduk di sofa, jarinya mengetuk meja kaca beberapa kali. Raut wajahnya keruh menandakan kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan amarah.
Setelah hampir sepuluh menit tidak terjadi apa-apa. Rimelda memandang keempat temannya, kemudian dia berteriak.
“Hi nomor lima. Elo mau ngapai sih? Mendingan elo jilatin vegi gue. Kalau gue puas, gue bayar elo lima puluh juta.”
Lelaki itu melotot marah ke arah Rimelda.
“Nama gue Rio!!! Stop panggil gue nomor lima!!!”
Teriakan lelaki itu menggelegar. Raut mukanya begitu jelek. Kelima tawanan saling pandang kemudian nyengir keheranan.
“ Nice to meet you, Rio, salam kenal! Hihihi. ” Terdengar suara merdu Monica, kemudian disambung gelak tawa.
“Ngapain elo kaga balik ke temen-temen elo?! Elo kan kaga bisa ngaceng ngeliat cewe!”
“Diaaam!! Dasar mulut sampah! Kalian pantas makan sampah!”
Rio muak mendengar ocehan mereka. Dia berdiri dan melangkah cepat ke arah para tawananya, kemudian berhenti di hadapan Rimelda dan Monica. Dia memelorokan celana, mengeluarkan penis.
Seeerrrr
Rio mengencingi wajah Rimelda dan Monica bergantian. Rio tertawa ganjil. Dia seperti orang gila.
“Kenapa elo kagak kencing dalam vegi gue. Kayaknya enak! Hihihi”
“Emang bisa?! Elo kagak liat tadi tititnya kagak ngaceng. Don’t forget. He is a gay!”
Wajah Rio menjadi semakin terbakar. Rio ingin menendang mereka tetapi dia tidak melakukannya. Rio tahu, mereka akan menikmati siksaan darinya. Mereka tidak akan peduli dan terus mengoloknya. Ancaman Rio tidak ada artinya bagi mereka. Mereka begitu tenang tanpa rasa takut.
“Apa mereka tidak waras? Apa seperti ini mental orang kaya?”
Rio melangkah meninggalkan mereka dan menghempaskan tubuh ke sofa. Dia menengadah menatap langit-langit. Rio memejamkan mata, terbayang dengan tujuanya ke rumah itu. Tawaran uang yang cukup menggiurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ada hal yang disembunyikan Rio. Dia sebenarnya duduk gelisah karena rasa sakit di anusnya. Dia melirik hidangan di atas meja yang tersisa cukup banyak dan tidak dimakan. Hal itu membuat Rio tersenyum kecut. Bagi Rio, makanan sebanyak itu sangat penting, cukup baginya untuk bekal seminggu. Namun bagi orang kaya ini, semua itu hanya sesuatu yang gampang dicari dan tidak begitu berguna.
“Hai..! Elo kasian banget! Disiksa, dibunuh, kemudian di sia-siakan!”
Rio berbisik pedih menatap ayam goreng di genggaman tangannya. Bisikan itu lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri. Sekarang dia merasa menjadi orang yang sangat tidak berguna setelah disiksa.
Dengan perasaan kacau, dia menggigit ayam goreng. Terasa agak pahit di bibirnya yang kering. Dia kemudian meneguk minuman. Mengisi perutnya yang kosong semenjak beberapa jam yang lalu. Semakin lama dia semakin rakus memasukan makanan ke mulutnya. Dia ingin menelan semua makanan yang berhasil digigit. Kemudian menghancurkan bersama kepedihan hatinya.
Setelah makan, energi kembali memenuhi tubuhnya. Rio bersandar di sofa. Kepalanya menengadah menatap lampu yang menggantung, kemudian matanya menatap tembok yang berisi lukisan indah. Pikirannya dan tubuhnya lelah, dia memutuskan untuk memejamkan mata beberapa saat.
Ketenangan Rio terusik oleh suara wanita tawanan. Emosi Rio kembali tersulut.
“Gue harus robek mulut wanita itu satu persatu!!! Dasar wanita jalang!!”
......
Terakhir diubah: