Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Vanquish

Chapter 19
What About The Plan?


Marto baru saja kembali dari tempat latihannya. Meskipun masih berjalan dengan bantuan tongkat, namun terlihat sudah mulai ada perkembangan. Rasa sakit yang dia rasakan pun berangsur-angsur membaik. Obat yang diberikan oleh Rio memang luar biasa, selain patah pada tulangnya yang membaik, kondisi fisiknya pun cukup cepat untuk kembali bugar. Kini dia sudah lebih nyaman ketika berlatih seperti ini.

Marto berjalan bersama dengan Zainal. Keduanya nampak lebih dekat sekarang, dimana Zainal meskipun masih kecil, ternyata menjadi teman ngobrol yang cukup asyik untuk Marto, karena kecerdasan Zainal yang mampu dengan cepat menyerap apa-apa yang diajarkan oleh Marto, dan anak kecil itu memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, sehingga mereka berdua tak pernah kehabisan bahan obrolan. Marto yang belum pernah punya anak sudah menganggap Zainal ini seperti anaknya sendiri.

Saat memasuki rumah, terlihat sudah ada Rio disitu, membawa sebuah tas ransel. Mereka saling sapa saat ibu Zainal keluar membawakan mereka minuman. Melihat sepertinya ada yang akan dibicarakan oleh Marto dan Rio, yang sepertinya adalah hal yang serius, Yani pun mengajak anaknya untuk ke belakang, menyiapkan makan siang untuk mereka.

“Gimana kondisi abang sekarang?” tanya Rio.

“Udah lumayan Yo, berkat obat yang kamu kasih, sekarang badanku pun udah lebih fit, makasih ya,” jawab Marto.

“Ah udah, nggak usah sungkan gitu. Trus latihannya gimana bang?”

“Udah lebih baik kok sekarang, hari ini on target semua.”

“Wah bagus dong bang.”

“Iya sih, tapi masih harus ditingkatin lagi, nanti kan sasaranku bergerak semua, nggak diem kayak gini.”

“Tenang aja kalau itu bang. Sekarang kan abang latihannya dari jarak 1 km lebih, nanti pas hari H nya kita bikin cuma 500 meter kok, jadi pasti kena kalau itu kan?”

“Lho kok cuma 500 meter?” tanya Marto.

“Iya, aku udah survey lokasinya, dari jarak segitu udah aman buat abang,” jawab Rio.

“Oh, kalian udah tahu lokasinya? Dimana?”

“Di sebuah gudang di sebelah barat kota Jogja. Gudang itu dulunya bekas tempat penggilingan padi, tapi udah lama banget nggak dipakai. Bahkan semua alat-alatnya udah nggak ada, jadi kosong gitu tempatnya.”

“Gudang bekas penggilingan padi di baratnya Jogja? Kayaknya kok nggak asing ya,” ujar Marto.

“Iya, gudang itu punya salah seorang warga setempat, yang ternyata dia salah satu anak buah Ramon,” jawab Rio.

“Oh iya iya, aku ingat, dulu aku pernah kesana, ngirim paket.”

Marto memang pernah ke tempat itu dulu, untuk transaksi narkoba. Tempat itu memang cukup pas untuk melaksanakan rencana jahat Fuadi dan Baktiawan. Letaknya di sebuah kabupaten di sebelah barat Yogyakarta. Sekitar 10 km dari jalan raya. Saat hendak memasuki daerah itu, akan melewati hamparan persawahan yang luas. Di sekitar gudang itu sendiri banyak dikelilingi pepohonan yang sepertinya sengaja ditanam untuk menyamarkan keberadaan gudang tersebut. Dia tak menyangka justru tempat itu yang akan dipilih oleh mantan bossnya itu.

Sepertinya Rio sudah bekerja dengan cukup baik, lokasi pesta itu kini sudah diketahui, tinggal bagaimana menyusun rencana untuk menggagalkan pesta itu. Marto sudah berlatih dengan hasil yang cukup bagus. Dia percaya saja dengan rencana yang akan dibuat oleh Rio nantinya.

“Jadi rencana kita gimana nantinya?” tanya Marto.

“Hmm, sepertinya akan sedikit lebih menantang bang. Mereka akan menyiapkan lebih banyak pasukan, karena itulah ini aku bawain amunisi tambahan buat abang,” jawab Rio.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Marto.

“Soalnya mereka sudah tahu akan ada yang membantu keluarga Wijaya,” jawab Rio.

“Loh, kok mereka bisa tahu?” tanya Marto lagi.

“Iya, jadi semalem itu si Ramon ternyata berencana untuk menjebak Ara. Dia ngajak Ara, Lia, Nadya dan suaminya buat liburan ke pantai di Gunung Kidul. Mereka nginap di sebuah penginapan, yang ternyata adalah milih dari pamannya Beti, istri Ramon. Si pamannya ini udah tahu kelakuan bejat keponakannya itu, dan sebelum ini sering kerja sama dengan Ramon dan Beti buat ngejebak wanita-wanita yang jadi korbannya Ramon,” terang Rio.

“Aku tahu itu dari hasil aku nyadap ponselnya Ramon. Makanya aku selidiki dulu semuanya. Dan semalem, waktu mereka lagi ngerjain ketiga wanita itu, aku manyusup lesitu, terus aku tembak mereka pakai peluru bius, kecuali si pamannya itu, aku tembak aja pakai racun, pastinnya sih sekarang udah mati orangnya,” lanjut Rio.

“Lha kok pakai dimatiin segala Yo?” tanya Marto.

“Biar aja lah bang, dia udah terlalu banyak mangsa cewek, dengan atau tanpa bantuan Ramon. Ya itu hukuman setimpal lah buat dia,” jawab Rio santai.

“Maksudku, kenapa orang itu yang kamu habisi? Kenapa bukan Ramon aja sekalian?” tanya Marto lagi.

“Ramon itu bagian abang, nanti abang aja yang habisin dia. Lagipula kalau Ramon kita habisi sekarang, rencana kita buat ngungkap kebusukan Fuadi dan Baktiawan bisa berantakan. Dengan membunuh orang yang dekat dengan Ramon, kita bisa memainkan emosinya, saat emosinya nggak stabil seperti sekarang, dia pasti akan lebih gegabah dalam bertindak, itu akan memudahkan kita nantinya bang,” jelas Rio.

“Ya masuk akal juga sih, terus abis itu gimana?”

“Setelah mereka semua pingsan, aku samperin si Ara. Dan ternyata benar, Ara udah ditelanjangi sama Ramon, untungnya sih belum sampai diapa-apain. Terus aku pakain baju-bajunya, termasuk juga Lia. Aku packing barang-barang mereka, terus aku anter ke rumah masing-masing.”

“Udah gitu doang?”

“Ya nggak lah, nggak seru kalau cuma gitu doang bang.”

“Lha emang kamu bikin apa lagi?”

“Aku lalu ngambil ponselnya Ramon. Aku sempat lihat, ternyata dia udah ngambil banyak fotonya Ara yang lagi nggak sadar. Mulai dari masih pakai baju komplit sampai telanjang, dan foto-foto itu dikirim ke Fuadi. Dia juga sempat ngambil foto Lia yang lagi digarap suaminya Nadya. Nah, tadinya mau aku hapus foto-foto itu, pas disitu ada kejadian menarik bang.”

“Kejadian menarik apa?” tanya Marto penasaran.

“Waktu aku lagi pegang ponselnya Ramon, tiba-tiba kayak ada pesan masuk gitu. Notifikasinya muncul di layar, tapi yang aneh bukan seperti format SMS, MMS, email atau notifikasi sosial media gitu, karena penasaran aku klik aja, tiba-tiba muncul tulisan ‘don’t mess with the princess’, terus layarnya ngeblank sekitar semenit, lalu balik normal lagi,” terang Rio.

“Nah anehnya, setelah itu aku buka lagi ponselnya. Rupanya ponsel itu diretas, hampir semua data hilang, termasuk foto-foto Ara dan Lia yang tadinya mau aku hapus, bahkan history chat dia yang ngirimin foto-foto Ara dan Lia ke Fuadi ikutan lenyap. Dan aku baru sadar, di pesan yang tadinya muncul di layar ponsel Ramon, ada sebuah simbol yang aku kenali, simbol dari seorang hacker kelas dunia,” lanjut Rio.

“Hacker kelas dunia? Siapa?” tanya Marto makin penasaran.

“Kode namanya E-coli,” jawab Rio.

“E-coli? Kayak nama bakteri? Hacker darimana? Aku belum pernah dengar.”

“Orang Indonesia. Memang sepertinya nama itu diambil dari nama bakteri, Escherichia coli, atau lebih umum disingkat E-coli. Bakteri yang ada di usus besar manusia. Secara umum bakteri ini nggak berbahaya, tapi beberapa jenis diantaranya bisa menyebabkan kerancunan makanan serius buat manusia,” jawab Rio.

“Hacker ini udah lama dicari pihak kepolisian, untuk diajak kerja sama, karena beberapa kali mengatasi serangan hacker iseng di beberapa instansi pemerintah. Dia bahkan pernah mengalahkan beberapa kelompok hacker paling berbahaya di dunia, makanya sekarang si E-coli ini jadi buruan utama,” lanjutnya.

“Tapi sampai sekarang keberadaannya belum diketahui. Aku udah beberapa kali bekerja sama dengan rekan-rekan dari luar negeri buat ngelacak E-coli, tapi nggak pernah berhasil, yang ada dia malah ngacak-acak sistem kami. Dan sekarang dia muncul, dan menurut perkiraanku, dia berada di pihak keluarga Wijaya. Pertanyaannya sekarang adalah, ada hubungan apa seorang hacker dengan reputasi dunia itu dengan keluarga Wijaya?” pungkas Rio.

Marto terdiam setelah mendengar penuturan Rio. Memang benar, kasus ini bertambah menarik saja, karena melibatkan seseorang yang tak pernah mereka perkirakan sebelumnya. Apakah hacker ini ada hubungannya dengan Budi juga? Setelah punya hubungan dengan seorang anggota Vanquish yang masih aktif seperti Rio, kini dia berhubungan dengan seorang hacker kelas dunia juga? Sepertinya kali ini Baktiawan dan Fuadi berurusan dengan orang yang salah.

Mereka pasti tak akan pernah mengira, orang yang sedang mereka hadapi sekarang punya koneksi dengan kemampuan sehebat ini. Dan kalau mereka menyadari berhadapan dengan orang-orang seperti ini, mereka pasti akan menyiapkan anggota yang lebih hebat lagi, jadi pertarungan nantinya akan menjadi semakin menarik.

“Jadi, apa rencana kita selanjutnya?” tanya Marto.

“Tetap seperti rencana awal, kita tunggu mereka bergerak, baru kita sergap,” jawab Rio.

“Tapi sepertinya tak akan semudah itu Yo. Ramon pasti sudah lapor kepada Fuadi ataupun Bakti tentang yang kamu lakuin sekarang. Mereka pasti akan menambahkan orang untuk acara mereka nanti, dan aku yakin itu bukanlah orang sembarangan. Dan kalau mereka masih berpikir kalau aku sudah mati, mereka pasti memperikarakan ada anggota pasukan khusus yang membantu Wijaya, jadi sebaiknya kamu siapkan dulu alibi untuk kamu, Dino dan Karim,” ujar Marto.

“Udah kok, semua anggota Vanquish sekarang ini sedang membuat alibi mereka. Makanya Doni dan Karim belum ada disini sekarang. Dan kalau untuk penambahan orang, asalkan totalnya nanti tak lebih dari 100 orang, kita masih bisa mengatasinya, meskipun mungkin sedikit lebih lama,” jawab Rio.

“Lagipula aku juga melakukan sesuatu yang mungkin bakal membingungkan buat mereka. Di beberapa tempat di rumah itu aku kasih tanda, pesan maksudnya, dan pesan itu sama dengan pesan yang ditulis oleh E-coli, yaitu don’t mess with the princess. Biar mereka makin bingung apa hubungan antara orang yang semalam menolong Ara dengan E-coli, haha,” lanjut Rio.

“Hmm, ya sepertinya ini akan jadi sangat menarik. Apa kamu nggak berpikir bakal ada kejutan yang lain lagi Yo?”

“Kejutan lain apa bang?” tanya Rio.

“Hmm, mungkin akan ada bantuan lain lagi, selain kita berempat, dan si hacker itu, atau justru, dari pihak Fuadi dan Bakti bakal ada bala bantuan yang diluar prediksi kita,” jawab Marto.

“Entahlah bang, kalau pun ada bantuan lagi itu sih bagus buat kita. Dengan munculnya E-coli aja aku udah kaget banget. Dan kalau bantuan tak terduga dari pihak lawan, kan kita udah antisipasi dengan adanya abang, yang pastinya juga nggak akan mereka duga,” jawab Rio.

“Apa sama sekali nggak ada bayangan, siapa E-coli itu sebenarnya?” tanya Marto.

“Sama sekali nggak, orang ini licin banget, nggak pernah ninggalin jejak yang bisa dilacak, sama sekali nggak ada petunjuk bang. Dia seperti sedang menjalankan sebuah sistem yang nggak punya kelemahan, mau dibobol dari mana aja susah,” Rio menggelengkan kepalanya.

Marto kembali termenung. Kejadian-kejadian ini sudah terlalu jauh dari apa yang direncanakan dulu. Dulu rencana mereka hanya membalaskan dendam Bakti kepada Wijaya, dan memuaskan hasrat Fuadi kepada Ara. Rencana-rencana awal yang mereka susun juga selalu berjalan dengan lancar. Korban-korban tambahan telah mereka dapatkan, untuk mendukung acara puncak di malam pergantian tahun nanti.

Ara yang rencananya akan menjadi menu utama, dengan wanita-wanita lain di sekitarnya yang menjadi menu pelengkap. Menggagahi mereka di hadapan keluarga Wijaya, lalu setelah semua terpuaskan tinggal menghabisinya satu persatu. Semua rencana sudah disusun matang-matang, bahkan alat-alat pendukung sudah dilengkapi semuanya.

Namun sekarang kenapa menjadi serumit ini? Bahkan melibatkan orang-orang dari satuan khusus yang sifatnya rahasia. Melibatkan pula seorang hacker kelas dunia. Belum lagi nanti bagaimana respon dari Fuadi dan Baktiawan menghadapi ini. Siapa lagi yang bakal mereka sewa atau perbantukan untuk melindungi rencana mereka.

Situasi sudah berkembang terlalu pesat. Bahkan dirinya sendiri pun menjadi korban dari bagian pengembangan rencana itu. Biar saja lah mereka menganggap dirinya sudah mati, dan pada saatnya nanti dia akan muncul untuk memberikan kejutan. Namun entah kenapa, feeling Marto mengatakan bahwa kedepannya, akan ada hal yang lebih besar lagi dari ini, entah apa itu, dia tahu kalau mereka harus menunggu untuk itu.

“Oh iya, satu hal lagi bang. Sebelum berangkat menyelamatkan Ara dan yang lainnya, kemarin aku sempat mengikuti Safitri,” ujar Rio mengagetkan Marto.

“Safitri? Bagaimana keadaannya sekarang Yo?” tanya Marto antusias.

“Dia baik-baik aja. Kemarin dia ke Ullen Sentalu sama anak dan mertuanya. Tapi dari wajahnya terlihat tertekan, sepertinya dia menanggung beban yang cukup berat,” kata Rio.

“Ya, tentu saja. Pasti ini semua karena Ramon,” sahut Marto.

“Ya sepertinya begitu. Dan sepertinya dia sedang merindukan seseorang, sepertinya itu abang deh.”

“Ah tahu darimana kamu?”

“Haha, aku kan hanya mengira-ngira saja. Siapa lagi coba?”

“Apa sebaiknya aku mengabarinya dulu Yo?”

“Jangan bang, lebih baik jangan dulu. Biarkan saja dia tak tahu keberadaan abang. Kalau dia tahu, itu akan riskan buat abang. Biarkan sekarang ini semua orang berpikir kalau abang udah bener-bener mati. Sabar aja dulu bang, aku janji abang akan bersama dengan dia lagi nanti, sampai saat itu tiba, aku akan coba melindungi dia dari Ramon, dengan caraku sendiri. Abang tahu gimana komitmenku terhadap janji kan?”

Marto tak menjawab, tapi dia membenarkan perkataan Rio. Sebaiknya dia memang tak muncul dulu karena saat ini Safitri pasti sedang diawasi oleh Ramon. Salah-salah kemunculannya bisa menjadi blunder. Apalagi Rio sudah berjanji untuk menjaganya. Meski belum sepenuhnya bisa mempercayai Rio, tapi saat ini Rio lah satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. Dia harus bersabar, sampai saatnya nanti tiba.

***

“Paaa, Om Yusri paaaa, huhuhu,” tangis Beti meledak.

Ramon yang memeluk istrinya pun merasakan kesedihan yang sama. Dia juga merasa marah, dendam, sangat dendam, kepada orang yang telah membunuh pamannya ini. Sore itu jasad pamannya langsung diurus dan dikuburkan. Kepada orang-orang sekitar Ramon beralasan bahwa Pak Yusri meninggal karena overdosis menegak minuman oplosan. Sebelumnya dia telah membersihkan darah yang keluar dari lubang-lubang di kepala pamannya itu. Dia juga meminta agar jasad pamannya ini secepatnya dikubur, agar tidak sampai harus diotopsi.

Jika sempat dilakukan otopsi, dia takut nanti hasil temuannya bisa menjadi bumerang dan berbalik menyerang dirinya, karena dia sangat yakin, Pak Yusri telah tewas karena ditembak dengan peluru beracun oleh orang yang menyerangnya. Kini, di depan makam Pak Yusri, Beti masih menangis tersedu-sedu. Bagaimana pun jahat dan buruknya apa yang telah mereka lakukan selama ini, kehilangan orang yang dicintai dengan cara seperti itu pastinya akan meninggalkan duka yang mendalam, ditambah lagi dengan rasa dendam.

Ramon tak tahu siapa orang yang telah menyerang mereka dan membunuh pamannya, namun dia tahu persis orang ini pasti adalah orang yang membantu keluarga Wijaya. Dia yang semula hanya berniat membantu rencana bossnya, kini memiliki kebencian yang begitu mendalam pada keluarga Wijaya. Ketertarikannya terhadap Ara kini menjadi obsesi penuh dendam. Dia akan meminta terang-terangan nanti kepada bossnya, setelah sang boss selesai menikmati Ara, agar menyerahkan wanita itu padanya, dia ingin membuat perhitungan sendiri dengannya.

Kalau bisa, dia juga akan meminta jatah untuk menghabisi salah satu dari keluarga Wijaya, dan yang menjadi sasarannya kini adalah Budi. Mungkin Budi tak tahu menahu tentang persoalan ini, tapi bisa jadi Budi lah yang mengirim bantuan untuk menyelamatkan Ara, sekaligus membunuh pamannya. Kalau pun Budi tak pernah menyuruh orang itu untuk menghabisi pamannya, tapi tetap Budi lah yang harus bertanggung jawab atas semua ini.

“Huks paaa, mama nggak terima om pergi dengan cara kayak gini pa, huhuhu,” tangis Beti memecah lamunan Ramon.

“Papa juga ma, papa akan membuat perhitungan dengan keluarga Wijaya. Papa akan buat sengsara Ara dan Budi. Papa bersumpah selama papa masih hidup, mereka nggak akan bisa hidup tenang!”

Dendam kesumat telah menyala di dalam diri Ramon. Dia tahu masih harus mengikuti perintah-perintah bossnya untuk menjalankan rencana mereka, namun dia juga harus membuat rencana sendiri bagaimana membalas dendam kepada pembunuh pamannya ini, atau orang yang bertanggung jawab telah mengirim orang itu sehingga menyebabkan kematian pamannya.

Ramon menghubungi beberapa orang pentolan preman di kota ini, sesuai perintah dari Fuadi. Selain meminta penjagaan, dia secara pribadi juga meminta disiapan senjata api untuk menjadi pegangannya. Bekerja sama dengan orang-orang seperti ini memang harus banyak mengalah, terlebih memang kita yang butuh. Selalu ada saja permintaan mereka, mulai dari yang wajar hingga yang membuat geleng-geleng kepala.

Untuk membujuk para pentolan preman itu, dia harus mengeluarkan sejumlah persediaan obat-obatan haram dari gudang dan membagikannya ke mereka secara gratis. Ditambah lagi Ramon akan memberikan kepada pentolan preman itu beberapa orang wanita untuk bisa melayani dan menyenangkan, sekaligus memuaskan mereka. Ramon akan memilih beberapa dari koleksi wanitanya yang terbaik. Kali ini dia tidak membuat pengecualian sama sekali, bahkan istrinya, maupun korban barunya Safitri, akan dia berikan bila memang diminta oleh si pentolan preman.

Rencana ini belum diketahui oleh istrinya, karena sekarang dia sedang dalam keadaan terguncang. Namun itu bisa diberitahukan nanti, karena untuk imbalan wanita telah mereka sepakati akan dilakukan setelah misi ini selesai. Tapi untuk obat-obatan itu mereka minta diberikan di awal. Katanya dengan mengkonsumsi obat-obatan gila itu, mereka bisa lebih rileks dan berani menghadapi apapun.

Ramon menuntun istrinya untuk meninggalkan kuburan pamannya menuju mobil. Mereka harus segera pulang. Sedangkan untuk mengurusi penginapan peninggalan pamannya ini akan diserahkan sementara kepada pengurus desa setempat, sambil dia menghubungi anak sang paman, yang juga sepupu dari istrinya, yang saat ini sedang merantau ke luar pulau.

Namun sebelum pulang Ramon menyempatkan diri untuk ke rumah pamannya terlebih dahulu. Dia tahu bahwa pamannya telah memasang sejumlah kamera pengintai di penginapannya dan sudah menjadi kebiasaan pamannya untuk merekam semua aktivitas di rumah itu. Dia ingin melihat rekamannya, siapa tahu dari situ dia akan mendapatkan petunjuk siapa yang telah menyerangnya dan membunuh pamannya.

Sampai di rumah pamannya, Ramon segera menuju ke sebuah ruangan yang pernah beberapa kali dia masuki bersama mendiang pamannya itu. Terlihat beberapa monitor yang biasa digunakan sang paman untuk memantau aktivitas yang terjadi di penginapannya. Orang-orang pasti tak pernah menduga bahwa di rumah yang terlihat cukup sederhana ini, terdapat sebuah ruangan dengan lusinan perangkat canggih.

Ramon kemudian menyalakan peralatan itu satu persatu. Biasanya sang paman sudah mengatur peralatan itu untuk otomatis merekam, dan nantinya dia akan mengedit sendiri mana rekaman yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang. Namun alangkah terkejutnya Ramon, begitu layar monitor itu menyala, hanya tampak warna hitam pekat dengan tulisan berwarna merah. Tulisan yang sama persis dengan yang tertulis di cermin penginapan mereka, Don’t mess with the princess.

“Bangaaat! Apa-apaan ini?” teriak Ramon.

Dia kemudian mengambil sebuah keyboard dan membantingnya dengan keras hingga hancur berantakan. Kedua telapak tangannya menjambak rambutnya sendiri, lalu mengusap wajahnya penuh emosi. Siapa sebenarnya dalang di balik semua ini? Bahkan sampai kamera pengintai milik pamannya pun diretas juga, semua data yang tersimpan di komputer pamannya raib, seperti yang terjadi pada ponselnya. Siapa orang yang bisa memiliki kemampuan sehebat ini?

Ramon beranjak ke ruang tamu, dimana disana istrinya masih menangis sesenggukan. Dia mencoba menenangkan dirinya dulu sebelum kembali mengemudi untuk pulang, karena akan berbahaya bagi dirinya dan istrinya jika mengemudi dalam keadaan emosi menguasai dirinya. Setelah agak tenang, dia pun mengajak istrinya pulang. Sepanjang dua jam perjalanan dia hanya diam membisu saja. Suara yang terdengar di dalam mobil hanya suara tangis istrinya, yang akhirnya terhenti saat istrinya entah tertidur atau pingsan karena kelelahan.

Sesampainya di rumah, Beti terbangun dan kembali histeris, hingga Ramon terpaksa memberikan obat penenang kepada istrinya agar bisa beristirahat. Dia juga menghubungi Tata, memintanya datang ke rumah untuk membantu mengurusi istrinya, dan mengiburnya ketika sudah tersadar nanti. Ramon berganti pakaian, dan dia segera keluar rumah, menuju ke tempat Safitri. Dia ingin meluapkan semua emosinya, termasuk rasa kentangnya karena gagal menggauli Ara kepada Safitri.

Tapi sial bagi Ramon, dalam perjalanan menuju rumah Safitri, ban mobilnya bocor. Bukan hanya satu tapi keempat-empatnya. Bertambah murka lah pria itu. Siapa pula yang memasang ranjau paku di jalan sesepi ini? Saat dia keluar dari mobil untuk memeriksa ban mobilnya, saat itu hujan turun dengan begitu lebatnya.

“Aaaarrrghhh brengsek!” maki Ramon sambil menendang-nendang bannya yang sudah kehabisan angin itu.

Orang-orang yang melihatnya hanya berpikir bahwa Ramon sedang kesal karena ban mobil yang bocor ditambah hujan yang lebat. Namun lebih daripada itu, kekesalan Ramon hanya dia sendiri yang mengetahuinya. Dia merasa nasib sial benar-benar akrab dengannya dua hari ini. Saat dia hampir mendapatkan apa yang dia mau, semua itu justru berakhir tragis dengan kematian pamannya. Saat dia hendak melampiaskan kekesalan dan kekentangannya, malah berakhir dengan kesialan di sebuah jalanan yang sepi di tengah hujan deras.

Dia mengutuki dengan berbagai sumpah serapah. Emosinya dia luapkan di bawah guyuran hujan deras. Dia kemudian masuk ke dalam mobil dalam keadaan basah kuyup, meraih ponselnya dan menghubungi Tata. Ternyata Tata masih dalam perjalanan ke rumahnya, dan Ramon meminta Tata untuk menjemputnya terlebih dahulu. Tidak mendapatkan Ara atau Safitri, Tata pun jadilah, pikir Ramon.

***

Seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih dan perutnya yang kini tambun, sedang merenung di teras rumahnya. Fuadi nampak berpikir keras. Kejadian yang semalam menimpa Ramon sungguh mengusik pikirannya. Apalagi tadi Ramon juga mengabarkan bahwa pamannya sekaligus pemilik penginapan tempatnya menjebak Ara dan teman-temannya telah tewas, dengan kondisi yang mengenaskan.

Jika Ramon dan yang lainnya hanya dibuat pingsan, kenapa pamannya dibunuh? Padahal pamannya ini tak pernah terlibat dengan rencananya. Dia hanya muncul ketika Ramon mempunyai rencana untuk menjebak Ara, dan akan lebih memudahkan untuk menggiringnya nanti ke tempat pesta. Tapi kini orang yang tak ada kaitannya dengan rencana mereka malah dibunuh.

Orang ini pasti tidak sembarangan membunuh, pasti dia punya tujuan tertentu. Orang yang memiliki kemampuan cukup istimewa karena bisa mengetahui dengan persis apa yang sedang direncanakan oleh Ramon. Orang yang telah memiliki persiapan yang baik sebelum mendatangi dan menyerang Ramon dan yang lainnya.

Mengetahui dengan pasti rencana Ramon, orang itu pasti melakukannya dengan cara menyadap pembicaraan di ponsel Ramon. Jika benar begitu, jangan-jangan sudah lama orang ini melakukan penyadapan, hingga dia sudah menyadap juga anggota-anggota komplotan yang lain. Ini tidak bisa dibiarkan, dia harus mencari cara lain untuk bisa berkomunikasi dengan Bakti maupunn yang lainnya.

Dengan kemampuan seperti itu, dia yakin yang melakukannya adalah orang yang sangat terlatih, dari suatu satuan khusus. Rasanya kemampuan itu setara dengan Marto. Apakah memang orang itu salah satu anggota Vanquish? Jika benar seperti itu, berarti yang dihadapi kali ini bukan main-main. Misi balas dendamnya kali ini membawanya ke sesuatu yang lebih besar lagi.

Terlebih lagi seorang hacker kelas dunia turut ikut campur. Bukan hanya foto-foto Ara yang baru dikirim Ramon sekarang yang hilang, bahkan foto-foto dan video yang dia gunakan untuk mengancam dan memperbudak wanita-wanita lainnya ikut raib. Dia benar-benar harus mencari bala bantuan lain, yang bisa mengatasi lawan-lawannya itu.

Tapi masalahnya adalah, dia tidak lagi memiliki anak buah dengan kapasitas sebaik Marto ataupun E-coli. Untuk melakukan pekerjaan yang baik dan benar, dia punya banyak anak buah hebat dan mudah saja untuk mengerahkan mereka, tapi untuk melakukan pekerjaan kotor seperti ini, sudah pasti anak buahnya akan menolak mentah-mentah. Memanfaatkan koneksi pun percuma saja, karena tak ada yang setara dengan Marto.

Dia sudah melakukan kontak dengan para mata-matanya, untuk menanyakan keberadaan semua anggota Vanquish yang ada, dan semuanya sedang dengan kegiatan mereka masing-masing, di tempatnya masing-masing. Hal itu sudah dibuktikan dengan informasi dari mata-mata yang dia punyai. Kalau memang bukan anggota Vanquish, berarti ada anggota dari satuan lain yang setara. Semakin sulit untuk menerka siapa yang saat ini membantu Wijaya.

Namun jika bala bantuan Wijaya itu sampai bisa mengetahui rencana Ramon kemarin, besar kemungkinan dia juga sudah mengetahui rencana balas dendam yang akan dia lakukan di malam pergantian tahun nanti. Tapi kenapa tidak dicegah dari sekarang? Kenapa hanya menyelamatkan Ara dari rencana kecilnya, bukan rencana intinya? Bahkan orang itu hanya mengirimkan pesan agar jangan bermain-main dengan Ara.

Apakah orang itu juga menginginkan terjadi suatu hal yang lebih besar? Apakah akan tetap membiarkan rencana mereka berjalan, lalu pada saat itu baru melakukan tindakan? Jika benar, artinya itu hanyalah sebuah pancingan untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Itu adalah sebuah tantangan.

Waktu yang dia punyai tinggal beberapa hari lagi, dan kini sudah ada masalah sebesar ini. Rencana itu sudah tak bisa ditunda lagi, lebih tepatnya, Baktiawan sudah tak mau lagi menunda rencana ini, sehingga mau tak mau dia akan menerima tantangan dari orang misterius itu. Fuadi memutar otaknya, strategi apa yang sebaiknya digunakan, yang itu sama sekali tak akan diduga oleh pihak lawannya. Ini sudah bukan misi balas dendam lagi, tapi juga perang strategi antara mereka dan lawannya.

Tiba-tiba Fuadi teringat sesuatu. Strategi? Ah iya, benar sekali, kalau urusan strategi, orang itu tak ada duanya. Dia harus mengawasi benar orang itu, apakah dia yang terlibat dengan hal ini atau bukan. Karena jika dia terlibat hal ini, sudah pasti dia akan mendapatkan bantuan dari anggota lainnya. Karena Rio Argiantono kini menjadi pimpinan Vanquish, punya kewenangan penuh untuk memberikan instruksi ke anak buahnya. Dia harus lebih mengawasi Rio sekarang.

Kalau dia memang terlibat dan membantu Wijaya, Fuadi terpaksa harus menggunakan cara itu. Terlalu berlebihan sebenarnya jika menggunakan cara itu untuk hal semacam ini, namun apa boleh buat daripada misinya gagal dan semuanya menjadi berantakan.

Fuadi tahu pasti ponselnya sedang disadap, karena itulah dia memanggil salah seorang ajudannya dan disuruhnya membeli ponsel dan nomor baru. Setelah menunggu beberapa saat, dia aktifkan ponsel dan nomor baru itu, kemudian mencari nomor telepon seseorang yang sudah lama sekali tak pernah dihubunginya. Sebuah pembicaraan singkat, yang sedikit membuat terkejut orang yang dihubunginya. Namun dengan sebuah janji manis yang diberikan oleh Fuadi, orang diseberang telepon itu pun menyanggupinya.

Kini Fuadi nampak lebih lega, paling tidak dia sudah mengantisipasi salah satu kemungkinan yang akan menjadi penghambat bagi rencananya. Kini dia kembali menghubungi seseorang. Seseorang yang dikenal sebagai raja preman ibukota, dengan anggota yang sangat banyak, dan sebagian kecil dari mereka adalah anggota terlatih, anggota yang berani mati demi kepentingan orang yang bersedia membayar mereka dengan harga yang sangat tinggi.

Bala bantuan sudah didapatkannya, sekarang tinggal menunggu kabar dari Ramon saja, yang sudah dia perintah untuk menghubungi dedengkot preman di Jogja untuk menyiapkan anggota-anggota terbaiknya untuk mengamankan lokasi diadakannya pesta. Jika semua sudah beres, tinggal bagaimana mengurusi hacker yang telah ikut campur dalam rencananya ini.

Misi balas dendam yang semula dia anggap sebagai hal yang tak terlalu sulit, kini berubah menjadi sangat rumit, dengan keterlibatan orang-orang yang sama sekali tak pernah dia perhitungkan sebelumnya. Entah dari pihak yang mana, tapi jelas dia kali ini menyesal karena telah meremehkan target mereka. Target empuk yang terlihat seperti anak kucing yang lemah ini, ternyata dikelilingi oleh singa-singa yang begitu kuat dan berbahaya.

***

Drrrrttt.. Drrrrttt.. Drrrrttt..
Rio mengambil ponselnya, terlihat sebuah pesan singkat masuk, pengirimnya adalah Komjen Baskoro, seorang petinggi kepolisian yang saat ini bertanggung jawab atas Vanquish. Melihat pesan singkat itu, Rio mengernyitkan dahinya. Sesuatu yang tak masuk akal, membuatnya geleng-geleng kepala. Marto yang melihatnya ikut terheran-heran.

“Sinting, nggak bener ini,” ujar Rio.

“Ada apa Yo?” tanya Marto penasaran.

“Komandan Baskoro ngirim SMS, isinya instruksi agar semua anggota Vanquish merapat ke Mabes untuk pembekalan, karena akan ditugaskan memantau potensi teroris di malam tahun baru di beberapa lokasi di ibukota,” terang Rio.

“Loh, itu bukannya udah ada bagiannya sendiri? Densus 88 kan?” tanya Marto.

“Iya, ini sudah ada bagiannya sendiri. Dan semua informasi potensi teror udah diinfokan dari BIN ke Densus, kenapa harus manggil Vanquish? Ada yang nggak bener ini,” ujar Rio.

“Nggak bener gimana maksud kamu?”

“Instruksinya, semua anggota yang cuti juga harus dipanggil bertugas. Selama ini, dalam kondisi segenting apapun, kalau ada anggota Vanquish yang cuti ya cuti aja, nggak pernah ada kayak gini. Ini pasti ulah Fuadi, dia sudah mulai mencium pergerakan kita rupanya,” gumam Rio.

“Terus, gimana kalau udah kayak gini?” tanya Marto.

“Info dari anggota yang lain mereka nggak dapat SMS dari komandan, berarti aku yang disuruh untuk ngumpulin anggota. Kalau gitu, aku harus balik dulu ke Jakarta bang, biar aku beresin dulu komandan Baskoro,” jawab Rio.

“Loh, diberesin gimana?”

“Kalau ini ada hubungannya sama Fuadi, pasti ada sesuatu dibalik instruksi ini. Mungkin ya, aku curiganya nih, ada sesuatu yang dijanjiin buat komandan Baskoro. Aku harus membongkar ini secepatnya, lalu balik lagi kesini,” lanjut Rio.

“Ah sialan, kenapa malah disaat seperti ini? Jadi aku cuma harus nunggu aja?”

“Terpaksa gitu bang, tapi aku bakal balik secepatnya. Di ransel ini, ada ponsel yang bisa abang pakai, tapi inget bang, jangan menghubungi orang lain dulu, karena akan semakin riskan kalau ada yang tahu abang masih hidup,” ujar Rio.

“Oke, segera kabari perkembangannya, biar aku mempersiapkan diri disini,” jawab Marto.

Tak lama kemudian Rio berpamitan kepada Marto, Yani dan Zainal. Dia kembali meninggalkan uang yang cukup banyak kepada Yani. Rio juga tak lupa meninggalkan obat untuk Marto, dan kali ini membawakan Zainal buku-buku ilmu pengetahuan untuk anak seusianya. Setelah itu Rio bergegas pergi, setelah kembali mengingatkan Marto agar benar-benar jangan sampai menghubungi orang lain selain dirinya.

Selepas Rio pergi, Marto dan kedua orang lainnya kembali masuk ke dalam rumah, sibuk sendiri-sendiri. Zainal yang begitu senang dengan buku pemberian Rio langsung membuka dan membaca halaman demi halaman. Sedangkan Yani pergi ke belakang, entah apa yang sedang dia kerjakan. Marto sendiri kembali duduk termenung setelah melihat isi ransel yang diberikan oleh Rio tadi.

Ratusan peluru, sebagai tambahan amunisi tempurnya beberapa hari lagi. Dan juga sebuah ponsel. Bukan sebuah ponsel pintar yang bisa dipakai untuk membuka internet. Sebuah ponsel jadul yang hanya bisa telepon dan SMS saja. Sesekali muncul keinginannya untuk menghubungi Safitri, ingin mendengar suaranya. Dia sangat merindukan wanita itu. Rasanya dia benar-benar mencintai Safitri. Tapi dia tahu harus menahan diri dulu, untuk beberapa hari ini.

Marto sadar, Safitri pun pasti dalam bahaya. Dia paham sifat Ramon, jika sudah dikuasai dendam, semua yang dia miliki akan dia korbankan untuk sekedar memuaskan hasrat dendamnya itu. Jika saat ini Fuadi dan Baktiawan berniat menambah anggota mereka, hanya ada dua hal yang akan menjadi alat negosiasi mereka, narkoba dan wanita.

Narkoba sudah jelas, tinggal ambil stok di gudang. Tapi untuk wanita, dia takut semua wanita yang sudah menjadi aset mereka akan diberikan, termasuk Safitri. Jika Ramon masih menggunakan kebiasaan lama, maka dia masih bisa sedikit tenang, karena biasanya upah berupa wanita akan diberikan ketika pekerjaan sudah beres. Tapi jika Ramon sudah tak mengikuti kebiasaan itu, maka dia harus bisa memperingatkan Safitri.

Tapi kini Rio pun harus mendapatkan panggilan darurat, yang sedikit mencurigakan. Bisa jadi analisa Rio benar, bahwa semua ini hanyalah akal-akalan Fuadi saja. Tapi kenapa Fuadi bisa begitu saja mempengaruhi seorang petinggi kepolisian, pasti ada sesuatu yang dijanjikan. Lalu bagaimana dia harus memperingatkan Safitri? Dia tak bisa menghubunginya, tak mungkin juga tiba-tiba muncul di hadapannya.

Dia berharap urusan Rio bisa cepat selesai. Waktu sudah tinggal beberapa hari lagi, tak sampai sepekan, jika terlambat maka semua yang telah mereka rencanakan akan sia-sia, Fuadi dan Baktiawan akan sukses menjalankan pesta mereka. Keinginannya untuk membalas dendam kepada Bakti dan Ramon pun terancam gagal.

Di tengah lamunannya dia tersadar ternyata Zainal sudah berada di sampingnya, sepertinya ingin menanyakan sesuatu. Zainal tahu, jika Marto sedang terlihat melamun berarti dia sedang memikirkan sesuatu dan tak ingin diganggu, karena itulah sedari tadi dia hanya diam saja menunggu Marto selesai dengan lamunannya. Melihat Marto yang sudah tersenyum kepadanya, Zainal ikut tersenyum dan mulai menanyakan tentang buku yang dia baca tadi. Sementara itu Yani, ibu Zainal tampak tersenyum melihat tingkah anaknya dengan Marto. Tak terasa tetes air mata turun membasahi pipinya, entah kenapa Yani sendiri pun tak tahu.

***

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam mas,” Ara menyambut suaminya kemudian mencium tangan Budi.

“Duh istriku ini makin cantik aja, kangen deh sayang, cup,” ujar Budi sambil mencium kening Ara.

“Dih baru dateng udah ngegombal aja sih mas, hehe,” jawab Ara tersipu.

“Lha emang cantik kok, dan kangen juga, hehe,” jawab Budi.

“Adek juga kangen sama mas. Mas capek ya, mau adek pijitin?” tanya Ara.

“Wah mau banget dek, semuanya ya dipijitin, hehe.”

“Huuu maunya, ya udah tapi mandi dulu ya, bau acem ih,” ujar Ara.

“Biarin bau acem, gini aja kamu nemplok terus, iya nggak sayang,” jawab Budi sambil memeluk tubuh istrinya.

Mereka berdua segera masuk ke dalam rumah berangkulan. Budi baru saja pulang dari Jakarta. Kali ini dia naik taksi, tidak mau dijemput oleh istrinya, karena ingin sang istri istirahat di rumah saja. Budi kemudian pergi mandi dan mengganti pakaiannya, sedangkan Ara membereskan barang bawaan suaminya itu.

Setelah itu mereka pun duduk bercengkrama di ruang keluarga sembari menunggu pembantu menyiapkan makan malam. Budi pun menceritakan kegiatannya selama mengikuti kegiatan kantornya itu. Betapa membosankannya, karena sebenarnya memang itu bukan bagian Budi, harusnya orang lain yang berangkat tapi entah kenapa malah dia yang disuruh berangkat.

“Oh iya dek, aku kemarin malam ketemu si Sakti lho,” ujar Budi.

“Oh ya? mas ngehubungi Mas Sakti ya? Terus kalian kemana aja mas?” tanya Ara.

“Nggak sih, dia yang nelepon duluan dek. Kami cuma ngopi aja dek, orang dia nyamperin mas udah malam kok, habis kita telponan kemarin itu lho,” jawab Budi.

“Oh, kirain mas yang telepon duluan. Hmm ngopi aja? Apa sambil rokokan juga? Hmm,” tanya Ara sambil mencubit hidung suaminya.

“Haha ampun dek, iya sambil rokokan juga, hehe,” jawab Budi tanpa berusaha mengelak, namun dia tersadar sesuatu dari omongan istrinya, bagaimana Sakti bisa tahu kalau dia di Jakarta ya? Budi lalu memasang wajah cengengesan supaya Ara tak curiga kalau dia sedang memikirkan sesuatu.

“Haha, dasar ya, mumpung lagi keluar dipuas-puasin gitu ngrokoknya,” Ara tersenyum saja melihat suaminya cengengesan.

“Hehe, kan mumpung dek. Terus, liburan kamu gimana sayang?” tanya Budi.

“Liburannya aneh mas,” jawab Ara, tiba-tiba wajahnya cemberut.

“Heh, aneh? Aneh gimana?” tanya Budi.

“Ya aneh mas, kan gini mas, kemarin tu kita berenam seharian main di pantai. Terus malemnya kan kumpul di penginapan buat makan malam. Nah habis makan malam itu, kita ngobrol-ngobrol gitu di ruang tengah. Terus habis itu adek nggak inget apa-apa lagi, nggak tahu ketiduran atau gimana. Tahu-tahu pas bangun udah di kamar mas tadi pagi,” ujar Ara menjelaskan.

“Di kamar? Kamar kita maksudnya dek? Kamar rumah ini?”

“Iya mas di kamar tidur kita sendiri di rumah ini.”

“Loh, kok gitu? Lha teman-teman kamu yang lain gimana?” tanya Budi.

“Ya sama mas, mereka juga gitu, adek nanya sama Lia dan Nadya, mereka juga bingung kok bisa udah ada di rumah masing-masing, padahal malamnya masih disana. Dan seingat adek ya mas, semalam kan barang-barang belum adek beresin, masak tadi pagi pas bangun udah rapi di travel bag,” lanjut Ara.

“Kok bisa gitu ya dek? Itu teman-teman kamu gitu juga? Barang-barangnya udah rapi juga gitu tanpa mereka rapiin?”

“Kalau Lia sih iya, kalau Nadya nggak tahu tadi belum bales lagi wasap adek,” jawab Ara.

“Lha Mas Ramon sama Mbak Beti? Gitu juga.”

“Nggak tahu mas, adek kan nggak punya kontak mereka. Mau nanya ke Nadya lha dia aja belum balesin wasap adek,” jawab Ara.

“Kok aneh ya dek?”

“Nah aneh kan, makanya adek bilang tadi liburannya aneh. Pokoknya nanti kalau liburan lagi adek maunya sama mas deh, kalau mas nggak ikut adek juga nggak ya mas?”

“Iya deh, lain kali mas usahain bisa ikut kalau ada liburan lagi. Oh iya, baru keinget, besok tahun baru si Sakti jadi kesini dek, kita bakar-bakar ikan atau jagung gitu aja ya di halaman,” ujar Budi.

“Oh, iya deh mas, nanti biar Ara siapin semuanya,” jawab Ara.

Obrolan mereka terhenti saat si pembantu mengatakan makan malam sudah siap. Kedua insan yang sedang dilanda rindu ini pun segera menyantap makanan yang telah disiapkan. Masih sambil sesekali canda tawa ringan mengiringi makan malam mereka. Ara melihat wajah suaminya seperti menyembunyikan sesuatu. Begitu pun Budi, melihat wajah istrinya seperti menyembunyikan sesuatu.

Keduanya memang tidak menceritakan semua kepada pasangan masing-masing apa yang telah mereka alami kemarin malamnya. Namun sebenarnya, keduanya sudah sama-sama saling mengetahui, meskipun tidak utuh semuanya, namun paling tidak, sedikit rahasia pasangan masing-masing, mereka sudah saling tahu, tanpa saling memberi tahu.

***

to be continue…
 
Chapter 20
Arrival


Marto kembali melihat kalender yang terpasang di dinding kayu rumah yang sudah beberapa hari ini dia tinggali. 30 Desember 2014, itu artinya besok adalah malam pergantian tahun. Belum lagi ada kabar dari Rio setelah kepergiannya 3 hari yang lalu. Dia semakin gelisah, apakah rencana yang sudah mereka susun akan gagal? Apakah sampai besok Rio juga tak akan datang menjemputnya?

Seharusnya hari ini dia sudah ada disini untuk menjemput Marto, dan mereka sudah harus berpindah posisi untuk lebih mendekat ke tempat dimana Fuadi dan Baktiawan akan melaksanakan rencana jahat mereka. Namun hingga saat ini Marto masih duduk manis di teras rumah milik Yani, tanpa ada kepastian, bahkan kabar sama sekali dari Rio. Semua akan terlalu mendadak jika dilakukan esok hari, dan kemungkinan akan lebih sulit lagi untuk menyusup ke tempat yang sudah mereka persiapkan, karena Marto yakin hari ini pun anak buah Ramon pasti sudah mulai berjaga disana.

Selain mengkhawatirkan tentang rencananya, Marto juga semakin mencemaskan kondisi Safitri, wanita pujaannya yang kini telah masuk ke dalam jerat Ramon ini. Marto khawatir jika saja nantinya Safitri akan menjadi bagian dari rencana Fuadi dan Baktiawan, sebagai salah satu korban tentu saja. Jika hal itu sampai terjadi, Marto tentu tak akan bisa memaafkan mereka. Tapi bagaimana dia bisa melindungi Safitri jika sampai saat ini saja Marto masih tak bisa beranjak dari rumah ini.

Di tengah lamunan dan kecemasannya, mendadak dia tersadar oleh kehadiran Yani. Wanita yang sudah beberapa hari ini menampungnya, bahkan merawatnya dengan sangat baik. Wanita yang entah asal usulnya darimana ini, telah berperan besar terhadap pemulihan fisik Marto setelah hampir mati dilempar ke jurang oleh Ramon dan anak buahnya. Wanita yang sempat sesaat mengingatkan Marto pada mendiang istrinya yang sudah pergi sepuluh tahun yang lalu.

Yani meletakkan secangkir kopi hitam kental di meja. Sudah menjadi kebiasaan bagi Marto memang menghabiskan sore harinya dengan secangkir kopi hitam yang hanya diberi sedikit sekali gula, Yani sudah hapal dengan selera Marto ini. Kali ini Yani menemaninya duduk setelah tadi sempat sebentar memperhatikan Marto yang melamun dan seperti gelisah, tidak seperti hari-hari sebelumnya.

Pada awal pertemuan mereka, memang tak pernah menghabiskan waktu untuk mengobrol. Kalaupun ada pembicaraan hanya sekedarnya saja, setelah keperluannya beres, tak ada lagi yang mereka bicarakan. Namun dua hari terakhir Yani mulai sedikit terbuka dan mau lebih banyak bicara dengan Marto. Dia mulai bisa menceritakan banyak hal, yang sebelumnya sama sekali tak pernah dia lakukan dengan siapapun.

Rumahnya yang memang agak terpencil, dan sifatnya yang pendiam membuatnya tak banyak bergaul dengan para penduduk desa terdekat. Kini setelah menghabiskan beberapa waktu dengan Marto ada di rumahnya, dia mulai berani untuk bicara, dan bahkan menceritakan kegiatan sehari-harinya kepada Marto. Tentang kesehariannya yang kadang membantu beberapa penduduk desa untuk mencucikan pakaian mereka, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa dia lakukan asal bisa menghasilan uang baginya.

Yani bercerita kepada Marto bagaimana kadang dia mendapatkan godaan dari bapak-bapak penduduk desa ketika dia sedang bekerja di rumah mereka. Kebanyakan memang hanya sebatas ucapan berupa ajakan untuk berbuat hal yang tak senonoh, namun ada juga beberapa yang dengan iseng mencuri kesempatan untuk bisa memegang bagian tubuhnya.

Namun Yani bukanlah perempuan yang bisa menerima begitu saja ketika dilecehkan. Beberapa orang yang mencoba dan berhasil menyentuk bagian tubuhnya itu selalu berakhir dengan bekas merah di pipi mereka, dan selalu dia laporkan kepada para istri mereka, yang memang terkenal galak di desa itu, sehingga kini tak lagi ada yang berani menggodanya lagi.

“Diminum dulu mas kopinya.”

“Eh iya, makasih Yan.”

“Kok ngelamun aja tho mas dari tadi?” tanya Yani.

“Ini Yan, nunggu kabar dari Rio, udah tiga hari ini nggak ada kabarnya sama sekali,” jawab Marto sambil menyeruput kopinya yang masih panas.

“Bukannya Mas Marto kemarin dikasih henpon sama dia? Ya ditelepon aja tho mas.”

“Iya sih dikasih henpon tapi nggak dikasih nomernya. Lha aku nggak tahu nomernya Yan gimana mau nelpon, yowes lah nunggu aja ini. Zainal mana mbak?”

“Oh itu lagi main-main di belakang mas.”

Mereka kembali melanjutkan obrolan saat Yani kembali menceritakan kegiatannya hari ini. Ada seorang warga desa yang memintanya membantu membersihkan rumah karena mereka baru saja mengadakan hajatan. Namun saat sedang bersih-bersih sendiri dia kembali mendapat godaan dari si tuan rumah. Karena hanya berupa kata-kata yang menurut Yani masih cukup wajar maka dia tak bereaksi berlebihan.

Marto mendengarkan sambil memandangi wajah Yani. Sebenarnya Marto tak benar-benar mendengarkan Yani dengan seksama, justru lebih memperhatikan wajah Yani yang sedang bercerita. Wanita ini sebenarnya cukup cantik, meskipun kini wajahnya sedikit kusam dan berkerut, tapi masih terlihat bahwa pada dasarnya wanita ini cantik. Mungkin jika lebih terawat, kecantikannya akan lebih terpancar lagi.

Pakaian yang membalut tubuhnya pun cukup sederhana dan tak terlalu menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, namun sekali waktu Marto pernah melihatnya dengan pakaian yang cukup memperlihatkan tubuhnya, dan menurut Marto tubuh Yani sebenarnya juga cukup bagus. Sekali lagi, kalau misalnya tubuh Yani lebih terawat, dan pakaiannya lebih modis, bisa jadi wanita ini bakal lebih menarik daripada Safitri.

Suaranya merdu, sedikit banyak membuatnya teringat kepada suara mendiang istrinya karena memang terdengar hampir mirip. Pantas saja jika dia sering digoda oleh bapak-bapak di desa, karena dengan penampilan apa adanya seperti ini saja, tanpa perawatan dan polesan di wajah dan tubuhnya, dia masih lebih menarik daripada istri-istri mereka, yang juga terkenal galak-galak. Apalagi jika Yani ini dirawat dan dipoles, serta diberikan pakaian yang modis, jangankan bapak-bapak penduduk desa, dia sendiri pun mungkin akan sangat tertarik pada wanita ini.

‘Eh loh, kok aku malah berpikiran yang nggak-nggak gini sih, haduuuh,’ batin Marto.

Menggeleng-gelengkan kepalanya, Marto berusaha mengusir pikiran-pikiran jeleknya tentang Yani. Untuk saja Yani tak memperhatikan Marto, dan malah masih dengan asyiknya bercerita sambil pandangannya lurus ke depan, entah apa yang dilihatnya.

Dari beberapa hari terakhir ketika Yani sudah mulai terbuka untuk bercerita dengan Marto, sudah berulang kali Marto berusaha mengorek informasi tentang masa lalu Yani, dari mana asal usulnya, bagaimana dia bisa berada dan tinggal di tempat terpencil seperti ini, hingga siapa suami dan ayah dari Zainal serta kemana sekarang perginya lelaki itu. Namun sayangnya Yani tak bisa mengingat satupun.

Dari tatapan mata Yani, Marto bisa tahu dan yakin kalau Yani berkata jujur. Namun hal itu justru semakin membuatnya penasaran, tentang masa lalu Yani dan apa yang membuatnya bisa seperti ini, bisa benar-benar lupa pada masa lalunya.

Obrolan mereka sempat terhenti ketika Zainal datang dan meminta makan kepada ibunya. Yani kemudian pamit kepada Marto dan beranjak ke dapur menyiapkan makan untuk anaknya, juga untuk makan malam Marto nanti. Marto tersenyum melihat Zainal yang melangkah mengikuti ibunya menuju dapur. Anak lelaki itu adalah anak yang sangat cerdas sebenarnya, hanya saja kondisi saat ini yang membatasinya untuk bisa lebih berkembang lagi.

Kondisi yang membuat Marto menjadi iba. Dia berkeinginan suatu saat nanti harus bisa membantu Yani dan anaknya ini. Entah bantuan seperti apa, tapi yang jelas dia tak ingin melihat mereka berdua hanya terkurung saja di lingkungan ini, terlebih Marto meyakini ada sesuatu yang menarik dari masa lalu Yani. Meskipun saat ini dia dan bahkan Yani sendiri tak mengetahuinya, namun dia akan berusaha membantu Yani agar bisa mengingat lagi masa lalunya, dan berharap itu bisa merubah kehidupan Yani dan Zainal kedepannya.

Hari semakin beranjak sore, tak lama lagi senja akan datang menyapa. Kegelisahan kembali mendatangi Marto. Kegelisahan terhadap Safitri, apakah saat ini dia sedang baik-baik saja? Atau justru sedang dalam masalah? Juga kegelisahan terhadap Rio dan terhadap rencana-rencana mereka. Apakah Rio akan datang menjemputnya? Atau justru pada akhirnya Rio tak jadi datang dan mereka tak bisa berbuat apapun untuk mencegah Fuadi dan Baktiawan?

***

“Boss, ini saya udah di stasiun sama Renata, tinggal nunggu Filli,mungkin setengah jam lagi sampai
“Oke, nanti langsung bawa ke Kaliurang aja, ke villanya Risman.”

“Oke boss. Oh iya, satu hal lagi boss
“Apa lagi?”

“Hmm, malam ini mereka boleh dipake nggak boss
“Pakai aja sepuasnya, kamu sama Risman, tapi malam ini aja ya, mulai besok pagi jangan ada yang nyentuh mereka, siapin mereka buat besok malam.”

“Wah oke, Siap boss

Ramon kembali meletakkan ponselnya, dan mengarahkan kembali tangannya mengelusi kepala wanita cantik yang kini sedang mengoral penisnya. Dia membelai rambut pendek wanita itu, yang terlihat begitu telaten menjilat dan mengemuti penis Ramon meskipun dengan kondisi yang amat terpaksa.

“Ohh, sepongan kamu makin mantap Fit, bikin nggak kuat aja, ooohh.”

Safitri tak menjawab, mulutnya sudah sedari tadi tersumpal oleh penis besar Ramon yang sudah semakin tegang. Dia masih memakai pakaian dinasnya, lengkap. Dia baru saja selesai mengikuti razia lalu lintas besar-besaran bersama dengan rekan-rekannya tadi ketika mendapat SMS dari Ramon yang menyuruh menemuinya di suatu tempat. Safitri yang memang sudah berada di genggaman Ramon tentu saja tak bisa menolak dan bergegas menuju ke tempat dimana Ramon sudah menunggunya.

Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil MPV milik Ramon. Ramon duduk di jok tengah sedang menikmati bagaimana polwan cantik ini memberikan servis pada penis kebanggannya. Tangannya sesekali menekan kepala Safitri agar penisnya masuk semakin dalam di mulut Safitri, yang tentu saja membuat wanita itu beberapa kali tersedak.

Safitri masih melanjutkan kulumannya pada penis itu saat tangan Ramon mulai meraba daerah dada Safitri. Diremas kedua dada mungil itu bergantian. Terasa oleh Ramon bahwa Safitri tak memakai branya, sesuai dengan perintah dari Ramon. Tangan Ramon kemudian bergerak untuk melepas beberapa kancing baju seragam Safitri hingga kini payudaranya yang tak tertutup bra itu nampak menyapa dirinya.

Segera saja kedua tangan Ramon meraih kedua bukit kembar Safitri. Tidak terlalu besar memang, masih kalah jika dibandingkan dengan beberapa wanita yang pernah dinikmati oleh Ramon. Namun sensasinya jelas berbeda, apalagi dengan kondisi Safitri yang masih memakai pakaian dinasnya itu.

“Eeeummphhhh,” lenguh Safitri tak jelas karena mulutnya masih tersumpal oleh penis Ramon.

Jari-jari Ramon yang memuntir-muntirnya, kadang menarik dan meremasi kedua buah dadanya membuat tubuh Safitri menggelinjang kegelian, karena memang area itu adalah salah satu titik rangsangan baginya.

Ramon tersenyum puas melihat bagaimana Safitri masih menuruti apa yang dia perintahkan, yaitu untuk tidak lagi memakai pakaian dalam apapun di balik seragam dinasnya itu. Untung saja baju seragam memiliki bahan yang cukup tebal, dan juga bentuk payudara Safitri yang sama sekali tak kendor, sehingga tidak menampakan kalau dirinya tidak memakai pakaian dalam.

Ancamannya terhadap Safitri yaitu keselamatan anak dan mertuanya ternyata sangat ampuh untuk bisa menaklukan wanita ini. Dan kini, dengan patuhnya dia memberikan pelayanan mulut untuk penisnya. Setelah kejadian meninggalnya pamannya akibat dibunuh oleh seseorang, Ramon memang melampiaskan semuanya kepada Tata dengan menyetubuhinya habis-habisan. Tapi dia masih ingin melampiaskan sisa-sisa amarahnya dengan menyebutuhi Safitri.

Setelah sekian menit penisnya mendapat kuluman dari bibir mungil Safitri dan kini sudah begitu keras, dia menarik badan Safitri dan memposisikan wanita itu menaiki tubuhnya. Dia ingin merasakan pelayanan dengan lubang surgawi Safitri.

“Sekarang giliran memek kamu yang muasin kontolku Fit, ayo kamu masukkan,” perintah Ramon.

Safitri tak banyak membantah, dia langsung meraih penis Ramon yang sudah tegang dan mengarahkannya ke bibir kemaluannya. Lubang vaginanya masih belum terlalu basah sebenarnya, tapi dia ingin segera mengakhiri permainan ini dan pulang ke rumah.

“Uuuugghhhh,” lenguh Safitri ketika kepala penis Ramon menyeruak masuk ke dalam vaginanya.

Terasa sedikit perih, namun dia paksakan untuk menurunkan pinggulnya perlahan, hingga akhirnya penis Ramon terbenam seluruhnya di lubang vagina sempitnya. Didiamkan sejenak penis itu untuk memberikan waktu pada vaginanya beradaptasi. Ramon hanya diam saja tak bergerak, dia ingin Safitri yang aktif melayaninya.

Setelah dirasa vaginanya terbiasa dengan penis besar Ramon, dia pun perlahan mengangkat tubuhnya, lalu menurunkan lagi, mengangkatnya lalu menurunkan lagi, begitu terus berulang-ulang hingga kini cairan pelumas mulai membasahi dinding kemaluannya.

Gerakan Safitri mulai dipercepatnya, membuat mobil yang mereka tumpangi ini terlihat bergoyang dari luar. Beruntung mobil itu terparkir di sebuah halaman gedung kosong yang cukup tersembunyi dari jalan sehingga tak akan ada yang memperhatikannya.

Tangan Ramon mulai bergerak ke arah dada Safitri yang terbuka, meremasi dan memilin putingnya untuk memberikan rangsangan lebih pada wanita itu, agar semakin liar gerakannya. Dan benar saja, disentuh pad area-area sensitifnya, membuat birahi Safitri perlahan mulai naik tak terkendali.

Gerakan naik turun pinggul Safitri semakin cepat, dan kini dikombinasikan dengan gerakan maju mundur. Matanya terpejam, bibirnya dia tutup rapat-rapat, ingin menahan sebisa mungkin agar tak mengeluarkan desahan sehingga tak terkesan dia juga menikmati persetubuhannya ini.

Ramon tersenyum melihat bagaimana Safitri mati-matian menahan desahannya, tapi dia punya cara lain. Dimainkannya lidahnya di kedua puting payudara Safitri, menjilatinya dengan lembut, terkadang menariknya dengan kasar, sambil kedua tangannya meremasi kedua buah dada itu. Sesekali Ramon menjelajahkan lidahnya ke leher Safitri, mengecup dan menjilatinya, lalu kembali lagi ke dada mungil Safitri.

“Hhmmmpp,, aaagggghhhhh,, aaaaaagghhhh,,”

Rupanya apa yang dilakukan Ramon berhasil memaksa Safitri membuka mulut dan mengeluarkan desahannya. Serangan kenikmatan di vagina dan buah dadanya membuatnya tak mampu lagi bertahan. Dia bahkan kini memeluk erat kepala Ramon yang masih bermain di kedua payudaranya, dan meremasi rambut pria itu.

Gerakan pinggulnya pun bahkan semakin liar, berusaha mengejar klimaksnya sendiri. Entah sudah berapa hari vaginanya tak diisi oleh batang kejantanan milih Ramon ini, terlebih dia baru saja selesai mengalami datang bulan, yang entah mengapa lebih panjang masanya daripada biasanya.

Masih tersisa rasa tak rela dari Safitri, sehingga dia tak mempedulikan Ramon, namun kini dia hanya ingin mengejar klimaksnya sendiri, sehingga gerakan pinggulnya semakin dipercepat. Terasa sesuatu yang begitu nikmat mulai menjalari seluruh tubuhnya, dan berpusat di pangkal pahanya.

Vaginanya sudah semakin basah, hingga bunyi kecipak terus terdengar saat penis Ramon keluar masuk di lubang vaginanya. Ramon sendiri sudah mulai menggerakkan pinggulnya, hingga setiap pertemuan kedua kelamin itu terasa sekali hingga menyentuh dinding rahim Safitri. Hal ini tentu membuat vagina Safiri semakin basah, dan dia merasakan puncak kenikmatan yang sedang dia kejar mulai mendekat.

“Aaaahhh,, Ouuhhh,, Aaaahhh,,”

“Aaahh memekmu nikmat banget Fit, ayo terus goyangin Fit, puasin kontolku.”

Dinginnya AC di dalam mobil ini seolah tak terasa. Badan kedua insan ini telah dibasahi oleh keringatnya masing-masing. Gerakan mereka semakin tak terkendali, sama-sama ingin mengejar klimaksnya sendiri-sendiri, hingga akhirnya,

“Aaaaaaaaaaaaaaaarghhhhhh.”

Safitri melenguh panjang, dibarengi dengan tubuhnya yang menegang dan pelukannya yang semakin erat di kepala Ramon. Dia sudah mendapatkan klimaksnya. Terasa dinding vaginanya berkedut-kedut memberikan pijatan nikmat pada penis Ramon, yang diam saja membiarkan Safitri menimati dulu sisa-sisa orgasmenya.

Tak berapa lama badan Safitri melemas, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya lunglai dalam pelukan Ramon. Dia masih belum bergerak, begitu juga Ramon, masih mendiamkan saja penisnya yang masih tegang di dalam vagina Safitri, setelah tadi disiram oleh cairan hangat dan kini menikmati pijatan dari kedutan dinding vaginanya.

Dengan penis yang masih menancap di lubang vagina Safitri, Ramon memiringkan dan merebahkan tubuh wanita itu ke samping. Dia atur lagi posisi kedua kaki Safitri hingga berada di pundaknya, lalu dengan tiba-tiba kembali menyerang Safitri dengan kecepatan penuh.

“Aarrgghhh,, eemmpphh aaahhhhhh.”

Safitri yang tak siap menerima serangan mendadak itu terpekik. Meskipun vaginanya sudah sangat becek, namun mendapat serangan tiba-tiba yang begitu kencang dari penis sebesar itu tentu saja membuatnya kaget dan sedikit sakit. Namun setelah berhasil menguasai dirinya, dia kembali menahan sebisa mungkin agar tak banyak mengeluarkan desahan lagi, karena kini dia tahu Ramon hanya ingin mencari klimaksnya sendiri.

Gerakan pinggul Ramon memang semakin cepat dan cepat, membuat Safitri meringis dan tangannya menggapai-gapai mencari apa saja yang bisa dia pakai sebagai pegangan. Matanya tertutup dan kini bibirnya mengeluarkan sedikit rintihan yang nyaris tak terdengar, akibat perlakuan Ramon yang sedemikian kasar.

“Aaahhh,, Aaahhh,, Aaahhh,, memek kamu emang mantep Fit, aaaahhh.”

Ramon terus menggerakkan penisnya dengan kasar menyetubuhi Safitri. Dia menarik penisnya hingga menyisakan kepalanya saja, lalu mendorong kembali hingga seluruh penisnya habis tertelan oleh vagina Safitri. Begitu terus dia lakukan berulang-ulang dengan kecepatan yang tinggi.

Perlakuan kasar dari Ramon ini, selain membuat sakit pada pangkal pahanya, namun disisi lain ternyata kembali membangkitkan birahi Safitri. Dia ingin memungkirinya namun tubuhnya tak bisa bohong, hingga akhirnya dia kembali melenguh panjang, mendapatkan orgasme dari permainan kasar Ramon.

Namun kali ini Ramon tak menghentikan gerakannya untuk memberi waktu Safitri menikmati orgasmenya, tapi dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan kasar, karena dirasa tak lama lagi orgasmenya sendiri yang akan datang. Semakin lama gerakan Ramon semakin cepat dan kasar, hingga akhirnya dia tusukkan penis besarnya itu sedalam-dalamnya ke lubang vagina Safitri, membuat mata Safitri membelalak dan mulutnya terbuka lebar membentuh huruf O.

Croott,, Croott,, Croott,, Croott,, Croott,,

Lebih dari lima kali semprotan sperma mengenai dinding rahim Safitri. Rasa geli nan hangat itu nyatanya mampu membuat Safitri juga kembali mendapatkan orgasme, meski tak sedahsyat yang sebelumnya. Dia masih merasakan penis Ramon berkedut, sepertinya sedang mengeluarkan sisa-sisa spermanya ke rahim Safitri.

Setelah beberapa saat penis Ramon mulai lemas dan mengecil lalu dia keluarkan dari lubang kemaluan Safitri. Wanita itu segera mengambil tissu untuk membersihkan kemaluannya, yang baru saja menampung begitu banyak cairah sperma. Setelah itu Safitri tahu dia masih memiliki satu tugas lagi, yaitu membersihkan penis Ramon dengan mulutnya.

Beberapa saat kemudian keduanya telah berpakaian rapi, namun masih duduk di jok tengah mobil Ramon. Ramon membelai lembut kepala Safitri, sesekali memainkan rambut pendeknya, sedangkan Safitri hanya terdiam saja, masih mengatur nafasnya sebelum meninggalkan mobil ini.

“Kamu siap-siap ya Fit, beberapa hari lagi aku ada tugas buat kamu.”

“Tugas apa?”

Ramon terdiam, membuat Safitri penasaran lalu menatap wajah Ramon yang masih membelai rambutnya. Safitri menanti dengan cemas, jangan-jangan Ramon akan menyuruhnya melayani laki-laki lain, suatu hal yang sudah lama sekali dia takutkan.

“Aku mau kamu melayani seseorang.”

DEG! Benar, Ramon benar-benar menyuruhnya untuk melayani orang lain. Matanya terbelalak, dia tak bisa mempercayai ini. Apa yang selama ini dia takutkan akhirnya keluar juga dari mulut Ramon.

“Nggak, aku nggak mau! Kamu pikir aku pelacur? Seenaknya memberikanku pada orang lain?”

Tangan Ramon yang sedari tadi membelai rambut Safitri bergerak ke belakang kepalanya dan langsung menjambak rambutnya, membuat Safitri meringis kesakitan dan kedua tangannya bergerak ke belakang kepalanya untuk menghentikan tangan Ramon.

“Heh dengar ya, sejak memek kamu dimasuki sama kontolku, sejak itu kamu udah jadi pelacurku. Aku nggak butuh persetujuan kamu. Yang ada kamu harus nurutin semua perintahku, atau aku bakal nyelakain anak dan mertuamu, mengerti?!” bentak Ramon.

Air mata Safitri perlahan turun. Selain karena rasa sakit akibat jambakan Ramon, juga rasa sakit di hatinya karena Ramon menyuruhnya untuk memberikan tubuhnya kepada orang lain lagi. Kalau itu terjadi, lalu apa bedanya dia dengan wanita-wanita penghibur yang selama ini dia tangkap dan dia beri pembinaan tentang norma-norma kesusilaan?

“Hiks, aku mohon mas, hiks jangan jual aku,” pinta Safitri dalam isaknya.

“Aku nggak menjual kamu, aku hanya menyuruhmu untuk melayaninya, sebagai balas budiku kepada Toro dan anak buahnya.”

“To,, Toro??” tanya Safitri terkejut.

“Iya, Toro. Sudah sekarang kamu turun, aku mau pulang. Oh iya, karena kamu udah nurut, setelah ini kamu boleh pakai daleman lagi. Sudah sana!”

Ramon dan Safitri kemudian turun dari mobil. Ramon berpindah ke belakang kemudi, lalu menyalakan dan menjalankan mobilnya meninggalkan Safitri yang masih berdiri terbengong. Dengan tatapan mata yang kosong, Safitri berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ.

Masuk ke dalam mobilnya, Safitri tak segera menyalakannya. Dia masih terbengong tak percaya. Toro? Dia harus melayani Toro? Dan kemungkinan juga bakal melayani anak buah Toro? Ini tidak mungkin. Toro adalah seorang pimpinan preman yang sangat ditakuti di daerah ini. Dia orang yang sangat lihai, beberapa kali kepolisian gagal menangkapnya karena begitu pandainya dia berkilah.

Toro sudah beberapa tahun ini menjadi incaran kepolisian, namun tak pernah bisa ditangkap. Selain lihai, dia juga dilindungi oleh beberapa pejabat daerah karena berjasa pada oknum-oknum pejabat itu. Bahkan kabarnya, Toro juga memiliki sekutu dari pihak kepolisian, hanya saja belum diketahui siapa oknum polisi yang bekerja sama dengan Toro.

Safitri teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu, ketika Marto masih bekerja satu kantor dengannya. Marto saat ini juga bekerja sama dengan Toro, dan bahkan memberikan dua orang polwan angkatan baru yang menjadi korban Marto untuk dinikmati oleh Toro dan anak buahnya. Menurut cerita dari mereka berdua, mereka dipaksa melayani nafsu binatang Toro dan anak buahnya dengan berbagai macam permintaan. Bahkan mereka juga disiksa secara seksual.

Setelah peristiwa itu hampir seminggu keduanya tak bisa masuk bekerja karena masih mengalami trauma dan juga sakit di sekujur tubuhnya. Beruntung saat itu keduanya tak sampai hamil akibat perbuatan Toro dan para anak buahnya, namun siksaan yang mereka terima membuat trauma berkepanjangan bagi keduanya, karena setelahnya mereka masih sering diminta datang untuk melayani Toro maupun anak buahnya, dan mereka tak bisa menolak karena berada di bawah ancaman. Untungnya kini mereka berdua sudah dipindah tugaskan sehingga tak perlu lagi berurusan dengan komplotan bandit itu.

Tapi kini justru dirinya yang akan dilemparkan ke sarang Toro. Dia tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi padanya nanti jika benar-benar masuk ke dalam genggaman Toro. Bagaimana nasibnya? Nasib anaknya? Memikirkan itu membuat air matanya turun dengan begitu derasnya.

Dalam kegelisahannya itu dia teringat pada Marto. Dimana dia sekarang? Saat ini Safitri benar-benar ingin Marto hadir dan menyelamatkannya dari situasi ini. Dia ingin Marto bisa mengeluarkannya dari semua penderitaan ini. Dia ingin Marto bisa mendampinginya melewati setiap waktu kedepannya. Dia berharap Marto segera datang. Dia berharap, sangat berharap.

Tak berapa lama kemudian Safitri menyalakan mobilnya, mengemudikannya meninggalkan tempat ini, menuju rumahnya, pulang. Tanpa dia sadar sama sekali, sepasang mata rupanya sedari tadi mengamatinya dari balik semak-semak. Bahkan sudah sejak tadi sepasang mata itu mengamati apa yang dia lakukan bersama Ramon. Meskipun kaca mobil Ramon sangat gelap dan tak nampak apa yang terjadi di dalam, namun orang itu sangat yakin bahwa di dalam mobil goyang itu sedang terjadi pergumulan yang panas, apalagi beberapa kali dia dengar teriakan dari Safitri.

Selepas Safitri pergi meninggalkan tempat ini, baru dia keluar dari semak-semak. Orang itu tersenyum, lalu memasukkan kembali ponselnya, setelah mengatur video yang baru saja dia rekam, dan sekarang dia simpan satu folder dengan sebuah video lainnya. Video wanita yang baru saja meninggalkan tempat ini tadi, sedang menunggangi seorang pria paruh baya di malam pernikahan putri dari pria itu, yang dia ambil beberapa bulan lalu di tempatnya bekerja.

***

“Hai Re.”

“Hai mbak, gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah baik, kamu sendiri gimana?”

“Baik juga mbak.”

Kedua wanita kakak beradik itu berpelukan erat. Orang-orang di stasiun yang melihatnya beranggapan mungkin keduanya sudah sangat lama tak bertemu sehingga berpelukan begitu erat untuk melepas kerinduannya. Namun sebenarnya, arti pelukan itu sangat jauh berbeda dengan yang dipikirkan orang-orang. Hanya mereka berdua yang tahu, dan seorang pira kurus yang sedang berjalan mendekati mereka sambil tersenyum mesum.

“Udahan kangen-kangenannya? Yuk berangkat,” ujar pria itu sambil membantu membawakan tas milik Filli.

Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi, pria kurus itu kemudian masuk ke dalam mobilnya dan segera menyalakan mesinnya. Kedua wanita itu duduk di jok belakang. Mobil itu kemudian melaju meninggalkan parkiran stasiun menuju ke tempat yang diperintahkan bossnya tadi.

Ketiga orang itu hanya terdiam sepanjang perjalanan. Filli dan Renata berpegangan tangan, namun mereka tak saling pandang, tapi sedang melihat pemandangan sepanjang jalan dari kaca mobil itu. Hari sudah senja, matahari sudah turun ke peraduannya. Genggaman kakak beradik itu begitu erat, seolah sedang menguatkan masing-masing. Mereka saling memahami perasaan masing-masing meskipun tanpa harus dikatakan.

Perjalanan mereka tempuh hampir setengah jam, ketika akhirnya mereka sampai di sebuah villa di kawasan Kaliurang. Begitu membuka pintu dan turun dari mobil, hawa sejuk yang cenderung dingin langsung menyapa kulit halus mereka. Sementara pria kurus itu mengambil barang di bagasi, terlihat di pintu villa itu seorang pria paruh baya dengan perut buncitnya menunggu mereka.

Renata dan Filli berjalan mengikuti pria kurus itu menuju ke pintu villa menemui pria yang sudah sedari tadi menunggu mereka.

“Malem Pak Risman,” sapa pria kurus itu.

“Malem juga Tito, mereka berdua yang dibilang sama Ramon?” jawab Risman.

“Benar pak, gimana? Yahud kan? Hehe.”

“Mantep bener To, hehe.”

“Ini namanya Mbak Renata, ini kakaknya Mbak Filli. Mbak, dia pemilik villa ini, namanya Pak Risman,” Tito memperkenalkan kedua wanita itu pada Risman.

Setelah bersalaman, Risman lalu mengajak mereka bertiga masuk dan langsung menuju ruang makan. Rupanya dia sudah mempersiapkan makan malam untuk mereka berempat. Renata dan Filli masih merasa kikuk namun tak terlalu dipedulikan oleh kedua pria itu. Keduanya asyik menyantap makanan yang telah disiapkan sambil ngobrol. Sementara Renata dan Filli makan sekedarnya saja.

Setelah selesai makan, Risman memanggil seorang wanita muda untuk membereskan semuanya, dan mereka pun menuju ruang tengah. Sambil menonton TV, kedua pria itu melanjutkan obrolan tanpa mempedulikan Renata dan Filli. Kedua wanita ini pun merasa begitu jengah dengan suasana ini, hingga akhirnya Risman mengajak mereka ngobrol juga.

“Mbak Renata dan Mbak Filli ini asalnya dari mana?”

“Saya dari Solo pak, kalau kakak saya dari Surabaya,” jawab Renata.

“Oh, sudah berkeluarga?” tanya Risman, yang dijawab dengan anggukan oleh keduanya.

“Mbak Filli anaknya udah berapa?” tanya Risman lagi.

“Anak saya dua pak,” jawab Filli.

“Kalau Mbak Renata?”

“Kalau anak saya baru satu pak,” jawab Renata.

“Udah lama kenal sama Tito dan Ramon?”

“Eehhm, baru beberapa bulan pak,” jawab Filli ragu-ragu.

“Iya pak, baru 7 bulan yang lalu mereka kami entotin pak,” ujar Tito blak-blakan, membuat terkejut kedua wanita itu.

“Haha, mulutmu ini lancang bener To,” jawab Risman, sedangkan kedua wanita itu hanya menunduk saja.

“Oke, jadi gini Mbak Filli sama Mbak Renata, saya cuma nyiapin satu kamar buat kita berempat malam ini, jadi kita mainnya barengan nanti ya,” ujar Risman.

“Main, maksud bapak?” tanya Filli terkejut. Meskipun sudah mengetahui apa maksud Risman, tapi tetap saja dia tak menduga bakal seperti ini jadinya.

“Mbak Filli ini beneran nggak tahu apa pura-pura nggak tahu? Emang Tito tadi nggak ngomong pas di mobil?” tanya Risman.

“Haha, saya nggak ngomong apa-apa tadi pak,” sahut Tito.

“Woo pantesan mereka kaget, hehe. Jadi gini mbak, malem ini kalian berdua ngelayanin kami sampai besok pagi. Saya rasa mbak berdua tahu maksudnya kan? Dan saya rasa mbak berdua tahu kalau nggak bisa nolak kan?” tanya Risman, sambil beranjak mendekati Filli.

“Eh, saya,, kami nggak paham pak,” jawab Filli gugup, terlebih saat Risman telah duduk di sebelahnya.

“Belum paham ya? Nggak papa, nanti juga paham sendiri kok, yang jelas, malam ini kita nggak akan tidur mbak sampai besok pagi,” ujar Risman sambil tangannya dia letakan di paha Filli yang masih terbungkus celana jeansnya.

Tito pun tak hanya diam melihat, dia juga mendekat dan duduk di sebelah Renata, lalu meletakkan tangannya di paha Rena yang juga masih terbungkus celana panjang. Kedua wanita ini begitu gugup dengan kondisi ini. Mereka sudah tahu apa yang dimaui oleh kedua pria itu, dan mereka juga tahu kalau tak bisa menolaknya. Mereka memang sudah pernah disetubuhi oleh Tito, namun dengan Risman? Bertemu saja baru kali ini, sehingga itulah yang membuat jengah kedua wanita itu.

Tangan Risman bergerak mengelus paha Filli yang terbungkus celana, begitu pun tangan Tito di paha Renata. Kedua wanita itu masih menunduk, rasa malu dan tak rela disentuh oleh pria lain masih begitu mereka rasakan, meskipun pada akhirnya nanti mereka tahu harus kembali menyerahkan tubuhnya kepada kedua pria itu.

“Mmmmphhh sluurrpp.”

Filli menengok ke samping saat dilihatnya Renata sudah diciumi dengan rakus oleh Tito, bahkan tangan Tito sudah bermain-main di payudara Renata. Tangan Renata terlihat sempat menahan tangan Tito namun pelukan Tito membuatnya tak bisa berbuat banyak. Saat sedang melihat adiknya dicumbui oleh Tito, tanpa dia sadari tiba-tiba tangan Risman juga sudah berada di payudaranya dan langsung meremasnya.

“Aaahhh paak jangaammmpphhh, sluuurphh,” belum selesai penolakan Filli bibirnya sudah disambar dan dilumat dengan rakus oleh Risman.

Lidah Risman menyeruak masuk mencari-cari lidah Filli, setelah ketemu dikaitnya lidah itu dan ditariknya menuju ke bibir Risman, lalu dihisapnya dengan gemas. Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada Renata yang kini mulai melayani lumatan bibir Tito. Tangan Tito yang begitu aktif kemudian merangsek masuk melalui bagian bawah kaos Renata, lalu tangannya menyusup ke balik bra dan langsung memilin puting Renata yang mulai mengeras.

Tito sudah cukup lama tak bertemu dengan Renata sehingga begitu merindukan tubuh wanita yang ketiga lubangnya sudah pernah dia nikmati itu. Malam ini dia ingin habis-habisan menikmati ketiga lubang Renata lagi. Selain itu, dia juga ingin merasakan satu lubang dari Filli yang belum pernah dia rasakan karena waktu itu dilarang oleh Ramon.

Kini kaos yang dipakai Renata sudah dilepaskan dan dilempar begitu saja oleh Tito. Branya pun tak bertahan lama setelah dengan terburu-buru Tito melepaskannya. Melihat kedua buah dada Renata yang sudah terbebas itu tak menunggu waktu lama bagi Tito untuk mencaploknya. Lidahnya dia mainkan di kedua putingnya bergantian. Tangan kiri Tito meremasi payudar kanan Renata, sedangkan tangan kanannya turun untuk melepas kancing celana Renata.

Tak butuh waktu lama bagi Renata untuk telanjang bulat, saat celana dalamnya ikut terengut bersama celana panjangnya. Tito pun tak menunggu lebih lama untuk menelanjangi dirinya sendiri. Sekilas Renata melihat keadaan kakaknya Filli. Nampaknya Risman lebih sabar daripada Tito. Mereka berdua masih berpagutan dengan panasnya, sementara tangan Risman baru membuka seluruh kancing baju Filli, dan membukanya ke kanan kiri tanpa melepasnya. Bra Filli pun hanya diangkat belum dilepaskan.

Renata tak bisa lagi melihat kondisi kakaknya karena tiba-tiba Tito meraih kepalanya dan memaksanya untuk mengulum penis pria kurus itu yang telah berada tepat di hadapannya. Renata langsung membuka mulutnya dan masuklah penis yang cukup panjang itu. Renata memaju mundurkan kepalanya memberikan pelayanan kepada pria yang bukan suaminya itu, pria yang dengan beberapa temannya yang lain telah memaksanya mengkhianati suaminya saat malam pernikahan adik kadungnya.

Sementara itu Filli mendapat perlakuan yang sedikit berbeda. Meskipun bibirnya dilumat dengan ganas, tapi tangan Risman memperlakukan buah dadanya dengan cukup lembut, tidak ada remasan kasar disana, begitu lembut, yang mau tak mau perlahan membangkitkan birahi Filli sehingga tanpa dia sadari dia membalas pagutan Risman tak kalah ganasnya.

“Pak Risman, pindah ke kamar aja gimana?” ujar Tito membuyarkan pagutan Risman dengan Filli.

“Ya udah, ayok.”

Risman sempat terpana melihat tubuh Renata yang sudah ditelanjangi oleh Tito. Tito mendahului masuk kamar dengan menuntun Renata. Risman pun berdiri, dan menarik Filli untuk berdiri juga. Namun sebelum melangkah Risman kembali mencium bibir Filli, tapi kini tangannya sambil menelanjangi Filli. Dia lepaskan kemeja dan bra Filli, lalu tangannya bergerak turun, melepaskan celana panjang sekaligus celana dalam Filli.

Risman kembali terpana melihat tubuh wanita yang sudah memiliki 2 anak ini. Tubuhnya masih begitu sempurna. Sambil menikmati keindahan tubuh Filli Risman pun menelanjangi dirinya sendiri, membuat Filli jengah dan melemparkan pandangannya ke arah lain. Lamunan mereka terhenti saat mendengar suara pekikan Renata dari dalam kamar. Sepertinya Tito sudah memulai permainan ini. Risman pun menatap Filli sambil tersenyum, lalu menggandeng tanggannya menuju ke kamar yang sudah dia siapkan. Malam ini akan menjadi malam yang melelahkan bagi kedua wanita ini, dan malam yang menyenangkan bagi Tito dan Risman.

***

Sebuah mobil sedang mewah keluaran pabrikan asal negeri Ratu Elizabeth itu nampak memasuki gerbang perumahan elit di kawasan ring road utara Jogja, menuju ke sebuah rumah mewah di bagian tengah kawasan perumahan itu. Seorang pria turun dari mobil itu, disambut oleh pria baruh baya yang perutnya sudah membuncit.

“Selamat datang Bakti.”

“Apanya yang selamat datang? Ini rumahku Ad, kamu aja yang datang duluan.”

“Haha, nggak papa kan sesekali tamu menyambut tuan rumah,” gelak Fuadi.

Keduanya pun masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah nampak sudah ada Ramon dan Tata. Keduanya sedang berbincang, namun terhenti ketika melihat kedatangan Baktiawan.

“Malem boss, selamat datang,” sambut Ramon.

“Malem oom, selamat datang yaa,” berbeda dengan Ramon, Tata langsung memeluk Bakti menyambut kedatangannya.

“Iya, malem juga.”

Bakti kemudian duduk, masih dipeluk oleh Tata, sedangkan Fuadi duduk di seberang mereka.

“Bagaimana persiapan untuk besok Mon?”

“Untuk lokasinya udah beres boss, saya udah ngirim orang kesana buat nyiapin dan jaga disana. Saya juga udah hubungi Toro, dia menyanggupi mengerahkan anggota-anggota terbaiknya. Dan kata boss Fuad, bantuan tambahan juga udah siap, mereka bakal datang besok siang dan langsung menuju lokasi,” terang Ramon.

“Hmm oke, lalu masalah penjemputan korban kita gimana?”

“Saya udah bagi-bagi tugas. Renata dan Filli sekarang udah diurus sama Tito, mereka sedang di villanya Risman sekarang. Untuk Wijaya, istrinya, anak dan menantunya, juga dua teman Ara yaitu Lia dan Nadya sudah saya tugaskan orang-orang kita boss, sudah siap semuanya.”

“Satu lagi Mon.”

“Apa itu boss?”

“Kamu sekalian siapin orang buat menjemput Sakti.”

“Sakti? Sakti anak boss? Dia dijemput juga boss?” tanya Ramon kebingungan.

“Iya, dia juga akan ikut pesta kita. Udah kamu nggak usah bingung, besok kamu juga bakal tahu.”

“Oke boss, saya siapkan dulu orangnya,” Ramon pun beranjak keluar dan memanggil anak buahnya, menyusun ulang rencana karena ternyata ada korban tambahan.

“Dia kamu kamu ikutkan juga Bakti? Apa udah cukup?” tanya Fuadi.

“Ya, udah cukup buat dia. Udah waktunya dia tahu,” jawab Baktiawan.

“Haha, sepertinya akan lebih menarik lagi ya besok,” ujar Fuadi.

“Maksudnya apaan sih om?” tanya Tata yang tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Fuadi dan Baktiawan.

“Nggak papa sayang, besok kamu juga tahu kok. Kamu kok sendirian aja sih? Kami kan berdua ini, kamu kuat emangnya?” tanya Bakti.

“Hehe, tenang aja om, bentar lagi bakal ada yang datang kok, spesial deh buat Om Bakti sama Om Fuad,” jawab Tata dengan nada manja.

Saat Ramon sedang berada di depan rumah mendiskusikan rencana penculikan untuk korban-korbanya besok, tiba-tiba masuklah sebuah mobil ke halaman rumah ini. Ketika pintu belakang terbuka, nampak dua orang wanita dan seorang pria keluar dari mobil itu. Si pria tak lain adalah anak buah Ramon yang memang dia tugaskan untuk menjemput kedua wanita ini.

Seorang wanita berpenampilan modis dengan memakai gaun sepanjang lutut tanpa lengan berwarna biru tua, sedangkan wanita yang satunya lagi berpenampilan lebih tertutup dengan kerudung di kepalanya. Ramon tersenyum melihat kedua wanita yang dari wajahnya nampak gugup ini. Dia segera mendekati mereka, lalu menggandeng tangan keduanya dan mengajak masuk ke dalam.

“Ayok, boss udah nunggu di dalem, jangan pasang tampang kayak gitu, senyum ya.”

Kedua wanita itupun mencoba untuk tersenyum, setelah itu mereka mengikuti Ramon yang menariknya masuk ke dalam rumah. Nampak di dalam ruang tengah itu Baktiawan yang masih dipeluk oleh Tata dan Fuadi sedang bersenda gurau, lalu terdiam melihat Ramon masuk menggandeng dua wanita cantik.

“Boss, teman main kalian berdua udah dateng nih,” ujar Ramon.

“Wah wah, bener-bener spesial rupanya. Barang yang istimewa ini Mon, haha,” ujar Fuadi yang langsung berdiri menyambut kedua wanita ini.

Ramon pun menyerahkan kedua wanita itu kepada Fuadi, lalu memberi kode kepada Tata untuk mengikutinya meninggalkan kedua bossnya. Tata pun tersenyum, lalu mengecup pipi Baktiawan, berpamitan dan mempersilahkan bossnya untuk berpesta. Bakti pun segera berdiri menghampiri kedua wanita itu, lalu menggandeng wanita yang berkerudung, mengajaknya duduk, begitu pula Fuadi mengajak duduk wanita bergaun biru tua itu.

Kedua wanita itu masih nampak kikuk. Mereka tahu malam ini akan bekerja keras untuk melayani kedua boss ini, dan harus siap jika disuruh untuk melakukan apapun, karena menurut informasi dari Ramon kedua boss ini kadang memiliki permintaan yang aneh-aneh ketika berhubungan seks.

Sedangkan Baktiawan dan Fuadi tersenyum-senyum saja melihat wajah kedua wanita yang terlihat gugup itu, itu menunjukkan bahwa sebenarnya mereka bukanlah wanita nakal. Ini yang disukai oleh Baktiawan dan Fuadi, menyetubuhi wanita baik-baik dan membuat mereka menjerit antara keenakan dan kesakitan ketika penis besar mereka mengobrak-abrik ketiga lubang yang dipunya wanita-wanita ini, seperti yang akan mereka lakukan sebentar lagi.

***

“Eeeeuummmmhhh, aaaaahhhhhh maaasssshh, aaahhh.”

Terdengar desahan dari Ara saat suaminya menciumi dan menjilati lehernya. Salah satu daerah paling sensitif Ara yaitu di bagian leher di bawah telinga kirinya, yang kini sudah diketahui oleh Budi, selalu saja menjadi sasaran Budi ketika mulai mencumbui istrinya seperti saat ini. Baru disentuh sedikit saja pasti tubuh Ara akan bergetar-getar, menandakan percikan birahi dalam dirinya mulai keluar.

Budi perlahan membuka piyama yang dipakai oleh Ara, sambil menciumi bagian dada Ara yang terbuka. Ara membantu suaminya dengan mengangkat punggungnya ketika Budi hendak melepaskan kait bra yang terletak di belakang, lalu meloloskan piyama dan bra itu dari tubuh Ara. Sesaat Budi terdiam melihat ada sesuatu di dada Ara, di dekat putingnya.

“Dek, ini apa e dek? Kayaknya bukan bekas mas deh?” tanya Budi sambil menunjuk bekas tanda merah di dada Ara.

“Apa mas? Oh itu, adek juga nggak tahu mas, masak sih digigit semut? Adek kan rajin mandi,” jawab Ara.

“Haha, gara-gara kamu terlalu rajin mandi kali dek, semut jadi gemes terus gigitin kamu gini,” kelakar Budi.

“Ih mana ada ceritanya kayak gitu mas, masak gara-gara rajin mandi malah digigit semut?” ujar Ara cemberut.

“Beneran deh dek, nih mas aja jadi makin gemes, cup, sluuurpphh,” ucap Budi yang langsung dilanjutkan mencumbui dada istrinya.

“Aaaahhh maaasshhh nakaaaalll.”

Budi terus mencumbui istrinya, namun pikirannya memikirkan hal lain. Dia selama ini memang sering meninggalkan bekas cupangan baik di leher maupun di dada Ara, kadang juga di bagian lain dari tubuh istrinya. Dia tak khawatir akan hal itu karena keseharian Ara yang tertutup sehingga tak mungkin akan dilihat orang lain.

Namun seingat Budi, dia belum pernah meninggalkan jejak seperti itu di dekat puting istrinya. Lalu kenapa bisa ada tanda seperti itu? Dia tahu persis tanda itu bukan bekas gigitan semut, tapi bekas gigitan orang. Kalau bukan dia yang membuat tanda itu di dada istrinya, lalu siapa?

Sedang asyiknya mencumbui dada istrinya, sambil memikirkan siapa yang membuat tanda lain di dada istrinya, tiba-tiba ponsel Budi berbunyi.

“Haduuuuh siapa sih ini ngganggu aja deh ah,” ujar Budi.

“Angkat dulu mas, siapa tahu penting,” ujar Ara.

“Iya dek, bentar yaa.”

Budi pun beranjak mengambil ponselnya yang dia letakan di meja samping ranjang. Ternyata sahabatnya Sakti yang menghubunginya. Ada apa malam-malam begini?

“Assalamualaikum. Hallo Sak, ada apa nih?
“Waalaikumsalam. Lagi sibuk nggak Cing

“Yaa lumayan sih, ada apa emangnya?”
“Wahaha, lagi ehem ehem ya, sorry Cing ganggu bentar

“Iya nih gangguin aja kamu. Ada apaan emangnya?”
“Nggak sih, gua cuma pengen ngabarin aja, ini gua baru nyampe Jogja, tapi nginep hotel dulu, besok siang atau sore gua ke rumah lu ya Cing

“Oh gitu, iya gampang, Ara juga udah beli ikan sama jagung tuh, besok kita bakar rame-rame Sak.”
“Wah pengertian banget deh kalian, haha. Oke deh, lu lanjut aja Cing ehem ehemnya, gua juga mau nyari cewek dulu lah, jadi ikutan pengen gua

“Haha, dasar gendeng kamu itu Sak, ya udah sana, besok aku kabari lagi.”
“Haha, oke my broo

Budi kembali meletakkan ponselnya di meja, lalu mendekati istrinya kembali yang masih bertelanjang dada.

“Siapa mas? Mas Sakti ya?”

“Iya dek, dia udah di Jogja ternyata, baru nyampe, dan besok sore baru mau kesini,” jawab Budi.

“Oh gitu, kalau gitu besok malem jadi acara disini mas?” tanya Ara.

“Ya jadi dong sayang.”

“Terus, cuma kita bertiga doang? Aku belanjanya kebanyakan dong mas kalau cuma bertiga.”

“Hmm, entar deh kita pikirin lagi kira-kira siapa yang mau diajak lagi.”

“Oke deh mas kalau gitu, biar nggak mubazir juga belanjaan adek, hehe.”

Sesaat kemudian ponsel Budi kembali berbunyi, kali ini notifikasi pesan masuk. Apa mungkin dari Sakti lagi ya? Pikir Budi. Dia pun mengambil ponselnya lagi dan membuka pesan wasap yang ternyata dari nomor asing.

‘Besok bakal jadi hari yang sangat berat Cing, lu harus bener-bener hati-hati, sangat hati-hati

Budi terpana sesaat. Lagi-lagi peringatan dari nomor asing. Sudah cukup lama dia tak mendapat pesan misterius lagi setelah kematian Pak Dede, dan kini tiba-tiba orang misterius itu mengiriminya pesan lagi. Apa yang bakal terjadi besok? Kenapa pula dia harus sangat berhati-hati?

“Kenapa mas?” tanya Ara menangkap ada yang tak beres dari wajah suaminya.

“Oh nggak papa dek, ini si Sakti ngewasap lagi, nanyain urusan besok,” jawab Budi berbohong.

“Oh kirain ada apaan,” ujar Ara, melihat suaminya kembali meletakkan ponselnya.

“Bukan apa-apa kok sayang, nggak usah dipikirin, yuk lanjutin lagi,” ujar Budi.

Ara hanya tersenyum saja melihat tingkah suaminya ini. Dia kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, mengundang sang suami untuk segera menjamah tubuhnya. Ara tahu suaminya tadi berbohong, ada sesuatu yang dia tutupi dan membuatnya gelisah, karena itulah malam ini dia akan melayani suaminya sebaik mungkin untuk mengurangi rasa gelisah sang suami.

***

to be continue…
 
Mantap suhu,,,,alan...tiba2 lost contack.....cerita menuju ending ya hu?
 
zupper sekali mister alan smith apdet borongan :beer:

wah...mulai muncul benang merah, hubungan antara budi dan rio nih
 
Nice update Mr. No 14

Cerita ente mengalir dengan baik,

Selalu sabar menunggu update selanjutnya
Sehat selalu masta
:beer:
 
. terimakasih atas update'y sudhu..... :ampun:

ijin :baca: shu


setia menunggu ending'y....
 
Wah mantap bener deh updatenya, masih gak kebayang endingnya bakal kayak gimana :mantap:

Lanjutkan juragan :jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd