Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Vanquish

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter 22
Pick Them Up!


“Mah, pagi ini papah nggak bisa nganterin mamah ya,” ujar Hendri pada istrinya.

“Lha kenapa pah?” tanya Nadya.

“Barusan si boss telepon, minta papah berangkat sekarang buat nyiapin materi meeting, ada kunjungan dari orang kantor pusat.”

“Lha kok mendadak pah?”

“Nggak tahu juga mah, orang kantor pusat ni rese banget deh, harusnya sih jadwal meeting masih nanti siang, eh ini minta dimajuin jadi jam 8, mana materi belum beres lagi, hadeeh.”

“Ya udah nggak papa kok pah, mungkin orang kantor pusatnya pengen cepet selesai, biar hari ini bisa pulang cepet, hehe.”

“Iya juga sih mah.”

“Terus gimana ya pah, mamah udah janji pula mau jemput Lia?” tanya Nadya.

“Hmm, papah coba minta tolong Mas Ramon aja gimana mah?” tanya balik Hendri.

“Ya terserah sih, asal nggak ngerepotin dia aja pah.”

Hendri kemudian mengambil ponselnya menghubungi Ramon, sementara Nadya masih bersiap-siap di kamarnya. Dan tak lama kemudian Hendri kembali ke dalam kamar untuk mengabarkan kepada Nadya.

“Mah, Mas Ramon bisa kok nganterin mamah hari ini, sekalian jemput Lia juga nggak papa katanya, soalnya hari ini dia agak longgar.”

“Oh ya syukur deh kalau gitu pah.”

“Kalau gitu papah berangkat dulu ya mah, cup,” Hendri mengecup bibir istrinya kemudian segera berangkat ke kantornya.

Nadya masih melanjutkan dandannya. Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2014, mungkin juga tak terlalu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini. Pasti rekan-rekannya juga seperti itu. Disaat beberapa instansi lain sudah berlibur, dan beberapa temannya juga ada yang mengambil cuti, dia masih harus masuk kerja. Tapi kabarnya mereka hanya akan masuk setengah hari saja.

Sebenarnya dia pun setengah hati untuk masuk kerja hari ini, karena entah kenapa dia merasa sesuatu yang kurang mengenakan, yang dia sendiri juga tak tahu apa itu, semacam firasat buruk. Ditambah lagi kejengkelannya karena sang suami tak bisa mengantarkan karena harus berangkat lebih awal, tapi masih untung ada Ramon yang bersedia menjemput dirinya dan Lia.

Sekitar 20 menit kemudian ponsel Nadya bergetar, ternyata Ramon sudah berada di depan rumahnya. Kebetulan juga Nadya sudah selesai dandan, lalu mengambil tas kerjanya dan segera memastikan ke pembantu untuk membereskan pekerjaannya hari ini, hingga berpesan agar tak lupa untuk mengunci pintu rumah.

Dia melihat mobil Ramon terparkir di depan rumahnya. Hubungan mereka setelah kejadian di penginapan milik mendiang paman Ramon memang sudah kembali membaik, meskipun baik Nadya maupun suaminya masih merasakan ada keanehan. Hendri yang saat itu sedang menyetubuhi Lia yang tak sadarkan diri, dan Nadya yang sedang panas-panasnya bersetubuh dengan Pak Yusri tiba-tiba tak sadarkan diri, dan begitu sadar sudah berada di rumah, beserta semua barang-barang mereka. Hal yang sama terjadi pada Ara dan Lia, yang pada saat sadar sudah berada di rumah mereka masing-masing.

“Pagi Mas Ramon,” sapa Nadya.

“Pagi juga cantik, duh ceria banget kayaknya?” balas Ramon.

“Hehe Mas Ramon bisa aja deh. Maaf lho mas kepaksa ngerepotin lagi.”

“Halah udah santai, kayak sama siapa aja. Ayok masuk. Jadi jemput Lia?” tanya Ramon.

“Iya mas jadi, nggak papa kan agak mutar mas?”

“Nggak papa cantik, baru jam segini juga. Tapi, eehhm..” ucap Ramon menggantung.

“Tapi apa mas?” tanya Nadya.

“Kangen nih Nad sama kamu, hehe.”

“Haha, baru berapa hari nggak ketemu udah digombal aja.”

“Kok nggombal sih, serius sayang. Aku pengen lihat susumu dong Nad, hehe.” pinta Ramon terkekeh.

“Ihh mas, masak disini? Nggak ah,” tolak Nadya mendengar permintaan vulgar dari Ramon.

“Ayoo dong, aku nggak jalan ni kalau nggak dikasih liat susu,” Ramon justru mematikan mesin mobilnya.

“Aah Mas Ramon, entar kalau ada yang liat gimana?”

“Kacanya gelap gini Nad, nggak ada yang liat, percaya deh.”

Setelah melihat keadaan sekitar pun, akhirnya Nadya mengalah. Dia membuka beberapa kancing baju seragamnya, hingga terlihatlah bagian dada Nadya yang masih tertutup oleh bra warna hitamnya. Ramon melihatnya sambil tersenyum, sedangkan Nadya masih mengawasi kondisi sekitar.

“Udah ni mas, ayo jalan dong, keburu telat entar.”

“Hehe, kurang Nad, coba kamu lepasin BH kamu deh,” pinta Ramon lagi.

“Hah, lepas gimana? Udah deh mas jangan aneh-aneh ah,” tolak Nadya.

“Ya kamu lepas, nggak usah pake BH ke kantornya. Cobain deh, pasti asyik. Kalau nggak aku nggak mau jalan pokoknya,” paksa Ramon.

“Iiih Mas Ramon jangan gitu dong, masak lepas disini? Gimana caranya coba?”

“Yaa terserah kamu kalau itu Nad,” jawab Ramon cuek.

Nadya terdiam sejenak. Melepas bra dan ke kantor tanpa bra? Dia belum pernah kepikiran itu sama sekali sebelumnya. Dia ingin menolak, tapi dirinya belakangan ini sudah dirasuki berbagai macam fantasi oleh Ramon maupun suaminya sendiri hingga akhirnya dengan sukarela menyerahkan tubuhnya pada Ramon dan pamannya, membuat dadanya berdesir memikirkan dirinya pergi ke kantor tanpa pakaian dalam.

Kembali Ramon memaksa dan akhirnya Nadya pun kembali mengalah. Dengan susah payah karena sedang berada di mobil, dia pun akhirnya berhasil melepaskan branya tanpa harus menanggalkan bajunya. Namun ketika hendak dia masukkan ke tasnya, Ramon melarangnya dan malah memintanya, kemudian dimasukkan ke tas Ramon, Nadya pun pasrah saja.

Kini Nadya duduk di samping Ramon dalam keadaan beberapa kancing bajunya terbuka, memperlihatkan keindahan buah dadanya yang sekarang tanpa ditutupi oleh bra. Ramon pun tersenyum dan menyalakan mesin mobilnya, tapi tak kunjung menjalankan mobilnya itu.

“Lho mas kok nggak jalan sih? Kan udah Nadya turutin permintaan Mas Ramon?” protes Nadya.

Ramon tak menjawabnya, justru membuka resleting celana panjangnya, kemudian mengeluarkan penisnya yang sudah setengah ereksi. Nadya terkesiap melihatnya. Dia sudah bisa menebak apa yang dimaui oleh Ramon. Dia memang merindukan penis yang lebih perkasa dibanding milik suaminya itu. Namun mengulumnya di dalam mobil yang berjalan, ini gila, pikir Nadya.

“Sepongin dong Nad, sampai nanti di rumah Lia.”

Nadya menatap Ramon. Dia tahu kalau dia tak menurutinya Ramon tak akan menjalankan mobilnya. Akhirnya dia pun menundukkan kepalanya, meraih penis Ramon lalu mengocok perlahan sebelum kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Ya, dia merindukan penis Ramon yang bisa membuatnya orgasme berkali-kali itu.

Mendapati keinginannya terpenuhi, Ramon pun melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang menuju ke rumah Lia. Sambil menikmati hisapan mulut Nadya pada penisnya, sesekali Ramon membelai kepala Nadya yang terbungkus kerudung. Sekitar 20 menit perjalanan hingga mereka tiba di rumah Lia, tepat saat Ramon menyemburkan cairan spermanya memenuhi mulut Nadya, yang langsung ditelan begitu saja olehnya.

Lia rupanya sudah menunggu di depan rumah. Suaminya sudah berangkat kerja beberapa menit yang lalu. Melihat mobil yang dia kenali, Lia tahu bahwa Ramon lah yang mengantar mereka hari ini. Jendela mobil terbuka dan Nadya menyapa Lia. Dia pun segera menuju pintu belakang dan membukanya.

“Pagi Mas Ramon??” sapa Lia.

“Pagi juga cantik, yuk naik,” balas Ramon.

Lia sudah berada di dalam mobil kini, duduk di bangku tengah. Mobil Ramon kemudian berjalan kembali menuju ke arah kantor Lia dan Nadya. Masih ada sedikit kecanggungan yang dirasakan oleh Lia mengingat kejadian misterius yang menimpa dirinya dan teman-temannya. Ingin sebenarnya dia menanyakan itu kepada Lia maupun Ramon yang kebetulan hari ini menjemputnya, tapi dia masih bingung bagaimana harus memulainya.

Saat mobil itu melewati jalanan yang cukup sepi tiba-tiba saja sebuah sedan bergerak cepat mendahului dan berhenti tepat di depan mobil Ramon untuk menghadangnya, membuat Ramon terkejut dan seketika menginjak rem. Tak lama berselang terlihat tiga orang bertopeng keluar dari mobil sedan itu dan menuju ke arah mobil Ramon. Ketiganya terlihat membawa senjata api, membuat wajah Ramon, Nadya dan Lia menjadi tegang.

“Buka pintunya!”

Ketiga orang itu menggedor pintu mobil sambil menodongkan senjata mereka, memaksa Ramon untuk membuka pintunya. Begitu terbuka ketiga pria bertopeng ini langsung merangsek menodongkan senjatanya ke Ramon, Nadya dan Lia.

“Hei apa-apaan ini? Siapa kalian?” teriak Ramon.

“Diam!” bentak salah seorang yang memakai topeng itu sambil menempelkan ujung pistol ke kepala Ramon.

Nadya dan Lia melihat kejadian itu menjadi sangat ketakutan hingga tak memperhatikan dua pria lain yang juga menodongkan pistol ke arah mereka. Saking ketakutannya hingga mereka tak menyadari kedua pria itu mengeluarkan sapu tangan dan langsung membekap wajah mereka, yang tak lama kemudian membuat keduanya tak sadarkan diri setelah sempat meronta.

“Gimana ni boss? Langsung dibawa ke TKP?”

“Ya, langsung bawa saja kesana, aku urus dulu yang lain. Dan ingat, jangan diapa-apain dulu, nanti jatah kalian ada sendiri,” jawab Ramon sambil mengambil ponsel kedua wanita itu.

Tubuh Nadya dan Lia yang tak sadarkan diri kemudian diangkat oleh anak buah Ramon dan di masukkan ke mobil mereka, lalu berlalu menuju ke tempat yang telah diperintahkan Ramon setelah sebelumnya Ramon meminta dua orang anak buahnya untuk berpindah ke mobilnya. Ramon sendiri melanjutkan perjalanannya, bukan menuju kantornya, tetapi menuju rumah Wijaya.

***

“Pak Sarbini ijin lagi ya yah?”

“Iya buk, istrinya sakit lagi katanya.”

“Kasihan yah bu Sarbini, kayaknya sekarang lebih sering kumat sakitnya.”

“Iya buk, apa coba kita periksain aja ya?”

“Iya yah ibuk setuju, siapa tahu ada komplikasi lain. Kan udah lama dari dulu waktu kita periksain itu.”

“Kalau gitu biar nanti ayah ngomong sama Sarbini.”

Wijaya dan istrina Aini sedang sarapan pagi itu. Lagi-lagi hari ini supirnya Sarbini ijin untuk tidak bekerja karena istrinya sedang sakit. Hari ini memang tidak ada agenda khusus bagi Wijaya. Dia hanya akan pergi ke kantornya, memeriksa pengamanan untuk malam pergantian tahun nanti, setelah itu mungkin langsung pulang. Jadi absennya Sarbini tak begitu menjadi masalah baginya.

Absennya Sarbini sebenarnya bukan karena istrinya yang sedang sakit. Memang akhir-akhir ini istri Sarbini lebih sering kambuh penyakitnya, tetapi hari ini sebenarnya dia baik-baik saja. Sarbini nyatanya saat ini sedang berada di sebuah kamar hotel bersama Tata, setelah semalaman mengayuh birahi bersama. Hal ini tentu saja merupakan rencana dari Ramon dan Tata agar upaya mereka untuk bisa menculik Wijaya dan istrinya tidak ada gangguan.

Rumah Wijaya kini memang lebih sepi sejak Ara menikah dan tinggal bersama suaminya. Kini hanya tinggal Wijaya dan Aini ditemani oleh seorang pembantu yang sudah lebih dari sepuluh tahun ikut dengan mereka. Sarbini sendiri sebagai supir tidak selalu menginap di rumah ini, bahkan lebih sering pulang ke rumahnya sendiri. Dia baru akan menginap kalau Wijaya ada agenda sampai larut, atau agenda yang harus dimulai pagi-pagi sekali.

Dengan Wijaya yang masih bekerja hingga sekarang, praktis hanya tinggal Aini dan pembantunya yang ada di rumah. Untuk itulah sudah sejak beberapa tahun lalu Wijaya membuatkan sebuah butik yang dikelola oleh Aini supaya istrinya itu ada kegiatan dan tidak kesepian. Terlebih di saat seperti ini, ketika sang anak sudah pergi ikut suaminya.

Meskipun begitu tak jarang Ara dan suaminya mengunjungi rumah ini. Kadang Ara datang sendirian bila sang suami sedang ada tugas keluar kota. Aini juga sudah mulai sering mengajak Ara ke butiknya, karena suatu saat nanti butik itu akan diserah kepada anak semata wayangnya.

Sebelum sarapan tadi Ara sudah sempat mengabarkan kepada Aini untuk malam ini bisa datang ke rumahnya karena mereka akan mengadakan acara kecil-kecilan untuk menyambut malam pergantian tahun. Terlebih ada sahabat Budi yang akan datang kesana. Wijaya pun menyanggupinya saat diberi tahu oleh Aini.

Mereka sudah selesai sarapan, dan kini bersiap untuk pergi ke tujuan masing-masing. Karena Sarbini tidak masuk, jadi Aini akan berangkat bersama dengan Wijaya. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di butik, dan kondisinya masih sangat sepi karena memang butik baru akan buka jam 9. Namun terlihat sudah ada dua orang karyawati Aini yang datang untuk membersihkan butik.

Selepas kepergian Wijaya Aini melihat ada dua orang pria sedang berada di ruko sebelah butiknya. Butik ini memang berada persis di samping deretan ruko yang beberapa di antaranya masih kosong, dan sepertinya kedua pria ini sedang melihat ruko tersebut, mungkin akan membelinya, pikir Aini. Kedua pria itupun menghampiri Aini.

“Selamat pagi bu,” sapa seorang diantaranya.

“Selamat pagi juga pak. Lagi lihat ruko ya?” tanya Aini.

“Iya bu, yang ini kayaknya masih kosong ya bu?” tanya pria itu.

“Iya pak, kalau yang sebelah ini memang masih kosong. Mau ngambil pak?”

“Iya, tapi mungkin kita mau nyewa dulu aja bu, mau bikin kedai kopi. Ibu yang punya butik sebelah?”

“Iya pak saya yang punya butik. Ya udah kalau gitu saya masuk dulu pak.”

“Oh iya silahkan bu.”

Tanpa kecurigaan Aini pun masuk ke dalam butiknya, menyapa kedua karyawatinya yang sedang bersih-bersih. Setelah sekitar 15 menit pekerjaan kedua karyawatinya ini pun selesai, dan mereka masuk ke ruang loker untuk berganti pakaian dengan seragam kerjanya. Masih cukup waktu sampai nanti jam buka butik.

Setelah berganti pakaian kedua karyawati yang usianya masih cukup muda ini pun menghampiri Aini yang sedang berada di meja kasir, sedang memeriksa kembali daftar stok barang. Beberapa hari terakhir memang butik yang menyediakan kebaya dan gamis itu cukup banyak pembeli, hingga membuat Aini harus segera mengisi gudang lagi karena stok barang sudah mulai menipis.

Aini sedang asyik memeriksa daftar stok bersama kedua karyawatinya, saat kemudian masuklah dua pria yang tadi ditemui oleh Aini di depan butiknya. Baru saja Aini hendak mengatakan kalau mereka belum buka salah seorang pria itu sudah angkat bicara terlebih dahulu.

“Permisi bu, maaf, boleh saya numpang kamar kecil?”

“Oh boleh pak. Indah, tolong tunjukkan kamar kecilnya ya,” ujar Aini pada salah seorang pegawainya.

“Baik bu, mari pak silahkan,” jawab gadis itu.

Selagi temannya pergi ke kamar kecil, pria yang satunya melihat-lihat kondisi di dalam butik ini. Namun dia tidak sedang mengamati pakaian yang terpajang, jelas saja tidak mungkin dia yang bertampang sangar itu tertarik dengan kebaya dan baju gamis. Tapi pria ini sedang mencoba mengamati apakah di dalam butik ini terpasang kamera CCTV atau tidak. Setelah dia pastikan tidak ada kamera yang terpasang, dia pun melangkah mendekati Aini.

“Disini khusus jual kebaya dan baju muslim ya bu?” tanyanya berbasa-basi.

“Iya pak, khusus perempuan. Mungkin mau beliin buat istrinya mungkin pak?” tanya Aini.

“Boleh juga sih, bagus bagus koleksinya, hehe.”

Sreeet. Tiba-tiba saja pria itu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya dan langsung menodongkan ke pegawai Aini yang berada di dekatnya. Melihat itu tentu saja membuat Aini terkejut setengah mati. Dia berpikir bahwa kedua pria itu adalah perampok, dan akan segera menguras uang di butiknya ini.

“Aaa,, ada apa ini pak?”

“Diam! Atau perempuan ini mati!” gertak pria itu.

“Buuu,” gadis itu ketakutan menyadari sebuah pistol menempel di kepalanya yang masih terbungkus kerudung.

“Tenang Ri, tenang. Tolong jangan sakiti kami pak. Kalau bapak mau silahkan ambil uang kami pak,” ujar Aini mencoba tenang, sambil membuka laci tempatnya menyimpan uang.

Dari wajahnya terlihat begitu ketakutan, namun dia mencoba tenang. Apalagi dilihatnya gadis yang sedang ditodong pistol itu begitu ketakutan hingga tubuhnya gemetaran. Pria itu tak berkata apa-apa namun menatap Aini dengan tajam, membuat nyali Aini semakin menciut, hingga tiba-tiba seseorang membekap Aini dengan sebuah kain, dan tak lama kemudian dia kehilangan kesadarannya.

“Beres. Terus gimana?” tanya pria yang membekap Aini, yang tadi beralasan ke kamar kecil.

“Mana cewek yang tadi? Bawa kesini aja,” ujar pria yang sedang menodongkan pistolnya.

Pria itu pun kembali ke belakang, dan tak lama kemudian kembali dengan membopong tubuh gadis yang mengantarnya ke kamar mandi yang kini dalam keadaan terikat tangannya ke belakang dan mulut tersumpal kain.

“Terus diapain nih?” ujar pria itu setelah meletakkan tubuh sang gadis di lantai.

“Inget pesen si boss kan? Silent and clean,” jawab pria yang membawa pistol.

“Sekarang?”

“Entar dulu, nunggu temennya yang lain. Iket juga cewek ini biar nggak macem-macem.”

Rupanya kedua pria ini telah beberapa hari mengamati butik ini sehingga hafal kebiasaan karyawan disini yang kesemuanya adalah gadis muda, karena tak lama berselang datanglah dua orang lagi pegawai butik ini. Ketika masuk mereka sangat terkejut melihat kedua temannya dalam keadaan terikat kedua tangannya dan mulut tersumpal oleh kain.

Melihat itupun kedua pegawai ini segera menghampiri temannya berniat untuk membantunya meskipun kedua teman mereka yang terikat itu memberikan kode dengan menggelengkan kepala. Namun kedua pegawai tak memahami isyarat dari temannya yang terikat itu, dan tanpa mereka sadari dua orang pria yang memegang pistol yang sudah dilengkapi peredam suara telah berada di belakang mereka.

***

Selepas mengantar Aini ke butiknya, Wijaya melajukan kendaraannya menuju ke kantornya yang terletak di kawasan ring road utara Yogyakarta. Dari awal berangkat tadi dia sudah merasa tidak enak. Entah kenapa tapi dia seperti memiliki firasat bahwa sesuatu yang buruk sedang, atau akan terjadi. Namun karena tidak ingin membuat istrinya cemas, dia diam saja.

Dan kini perasaan cemas Wijaya itu semakin kuat. Selama ini jika dia merasakan sebuah firasat buruk, biasanya memang akan benar-benar terjadi, tapi kali ini dia mencoba untuk lebih mendinginkan kepalanya. Dia menduga-duga tentang Marto, meskipun pria itu sudah sebulan ini sama sekali tidak ada kabarnya. Meskipun secara diam-diam dia mengerahkan beberapa anggotanya untuk mencari Marto, namun hingga saat ini masih saja belum ada kabar sama sekali.

Saat sedang melamun itulah tiba-tiba dia terkejut saat dia merasakan mobilnya tertabrak oleh mobil di belakangnya. Sontak dia melihat ke kaca spion tengah, dan terlihat dua orang pria yang sedang cekcok. Lebih tepatnya pria yang berada di belakang kemudi seperti sedang dimarahi oleh pria di sampingnya.

Melihat itu pun Wijaya turun dari mobilnya untuk melihat keadaan. Dan dia dapat melihat ekspresi keterkejutan dari kedua pria yang masih di dalam mobil yang menabraknya. Dengan tersenyum Wijaya memberikan kode kepada dua pria itu untuk keluar dari mobilnya, dan kedua pria itu pun menurut.

Pria yang tadi mengemudikan mobil itu nampak menunduk, seperti takut melihat Wijaya. Sedangkan pria satunya, yang sepertinya lebih tua juga diam saja, seperti bingung harus mengucapkan apa kepada Wijaya.

“Maa,, Maaf pak, kami udah nabrak mobil bapak,” ucap si pria yang tadi memarahi si pengemudi dengan nada sedikit gugup.

“Iya mas, nggak papa. Apa lagi buru-buru ya kok sampai nabrak? Saya bisa lihat surat-suratnya?” tanya Wijaya.

Si pengemudi tadi diam saja lalu menoleh ke temannya. Dari situ Wijaya berkesimpulan bahwa si pengemudi ini kemungkinan belum memiliki SIM.

“Maaf pak, jadi begini, adek saya ini belum punya SIM, ini aja masih belajar. Dia masih belum lancar nyetirnya pak makanya sampai nabrak mobil bapak. Tapi kalau STNKnya ini ada pak,” ujar pria itu sambil menyerahkan STNK mobil kepada Wijaya untuk diperiksa.

“Benedictus Ramona, itu anda?” tanya Wijaya.

“Benar pak, panggil saja Ramon,” jawab Ramon.

“Jadi ini mobil Mas Ramon? Dan mas yang ini, adek anda?” tanya Wijaya lagi.

“Iya pak. Hari ini saya ngajak adek saya untuk belajar nyetir mobil, mumpung saya lagi libur.”

“Oke, jadi gini ya Mas Ramon. Kalau memang adeknya belum bisa dan belum memiliki SIM, lebih baik berlatihnya di tempat yang memang untuk latihan, bukan di jalan umum seperti ini, karena bisa membahayakan pengguna jalan yang lain. Kalau di tempat latihan kan juga ada instrukturnya, dan jalurnya pun memang khusus untuk latihan, lebih aman karena tidak ada kendaraan lalu lalang,” ujar Wijaya menjelaskan.

“Iya pak. Kami tadi sebenarnya dari mini market. Dan waktu pulang saya pikir sekalian saja mengajari adek saya supaya bisa nyetir mobil. Eh tahunya malah nabrak mobil bapak. Yaa, kami mohon kebijaksanaannya pak,” sahut Ramon.

“Ya sudah, kali ini bisa saya tolelir. Tapi setelah ini tolong adeknya diajari di tempat latihan saja ya, jangan sampai kejadian seperti ini lagi. Ini masih mending kalian nabrak mobil saya, kalau yang ditabrak pengendara motor atau sepeda, kan bisa repot urusannya.”

“Baik pak, terima kasih. Kami minta maaf, ini yang terakhir,” ujar Ramon.

“Kalau gitu saya permisi dulu mas mau lanjut ke kantor,” pamit Wijaya.

“Mari pak silahkan,” jawab Ramon.

Wijaya kemudian berbalik hendak melangkah pergi. Namun baru saja dia berbalik dan memunggungi Ramon, sebuah benda kecil dan tajam terasa menusuk ke tengkuknya. Kemudian sesuatu yang dingin menjalar dengan cepat dari tempat itu menuju ke otaknya. Tak perlu waktu lama untuk menunggu obat yang disuntikkan itu menjalar menuju kepalanya. Sama, terasa dingin, dan beraaat.

Wijaya yang tidak siap menerima hal itu dengan cepat kehilangan kesadarannya, dan ditangkap oleh Ramon dan rekannya ketika hendak terjatuh. Ramon pun memberikan kode kepada seorang anak buahnya lagi yang sedari tadi bersembunyi di dalam mobilnya untuk keluar. Mereka lalu mengikat Wijaya dan kemudian dimasukkan ke dalam mobilnya sendiri. Anak buah Ramon yang tadinya bersembunyi itupun mengemudikan mobil Wijaya menuju ke tempat yang telah ditentukan.

“Oke, bapaknya udah beres, ayok kita cek ibunya gimana.”

Ramon dan rekannya yang pura-pura belum lancar mengemudikan mobil tadi kemudian berputar balik, menuju ke arah butik Aini untuk melihat perkembangannya. Ramon tiba di depan butik milik Aini ini sekitar 15 menit kemudian. Dia melihat kedua anak buahnya baru saja keluar dari butik itu. Saat mereka melihat Ramon, mereka memberikan isyarat bahwa semuanya sudah beres, dan menunjuk ke arah mobil menunjukkan bahwa Aini sudah berada di dalamnya. Ramon menanyakan kondisi di dalam butik, dan di balas dengan mengacungkan jempol oleh kedua anak buahnya itu.

Ramon tersenyum puas. Wijaya dan istrinya sudah berhasil mereka dapatkan. Kini mereka beralih ke target selanjutnya, anak Wijaya. Ramon pun meninggalkan tempat itu, kemudian disusul tak lama kemudian oleh mobil anak buahnya yang membawa Aini. Mobil itu meninggalkan butik dalam keadaan tertutup tanpa siapapun tahu di dalamnya ada empat orang gadis muda yang sudah tak bernyawa dengan bagian kepala tertembus timah panas.

***

“Ara, Wulan, itu si Nadya sama Aliya belum datang juga ya?”

“Eh bapak. Belum pak belum datang.”

“Udah coba dihubungi?”

“Udah pak tadi udah coba saya hubungi, tapi dua-duanya nggak diangkat.”

“Hmm udah jam segini, bolos berarti mereka ya?”

“Hehe kurang tahu juga ya pak.”

“Hadeeh dasar, mentang-mentang besok libur udah curi start aja mereka.”

Ara dan Wulan pun sempat terdiam melihat Pak Hamid kembali ke ruangannya. Keduanya menarik nafas lega. Beruntung pimpinannya itu tidak marah, mungkin suasana hatinya sedang bagus, atau karena memang hari ini banyak meja yang sudah kosong sehingga dia memakluminya saja, meskipun Nadya dan Lia tidak sedang cuti hari ini.

“Kemana ya mereka Ra?” tanya Wulan sambil mengelus-elus perutnya yang kian membesar.

“Nggak tahu deh Wul. Tadi ditelepon nggak ada yang ngangkat. Malah Nadya wassap aku nih nanti jam 12 suruh ke rumah Lia,” jawab Ara.

“Lah, ngapain?” tanya Wulan lagi.

“Ya nggak tahu. Mau ikut nggak nanti?”

“Aduh nggak bisa deh Ra, aku habis ini dijemput suamiku terus kita mau ke dokter, biasa ngecek si dedek, hehe,” jawab Wulan.

“Waah di dedek udah mau nongol ya Wul?”

“Hehe iya nih Ra, kira-kira bulan depan. Kamu sendiri udah kontrol belum?” tanya Wulan.

“Belum Wul, aku ke dokter ya baru sekali aja pas mastiin aku hamil itu. Entar deh kalau suamiku udah longgar,” jawab Ara.

“Oh oke deh, kalau gitu salam aja deh ya buat Lia sama Nadya. Tapi kira-kira mereka kenapa ya?” tanya Wulan kebingungan.

Ara mengangkat kedua bahunya. Dia sendiri pun bertanya-tanya kemana dan kenapa kedua sahabatnya ini. Tak biasanya mereka bolos kerja seperti ini, meskipun besoknya adalah hari libur. Apalagi beberapa kali dihubungi tak ada dari keduanya yang mengangkat teleponnya. Tapi Ara tak mau terlalu ambil pusing. Mungkin nanti sepulangnya dari kantor dia akan ke rumah Lia, seperti ajakan dari Nadya tadi.

Hari ini memang Pak Hamid memutuskan untuk bekerja setengah hari saja, karena dia ada acara dengan keluarganya. Para karyawan tentu saja menyambutnya dengan senang. Apalagi pekerjaan di hari ini cukup sedikit dan itupun sudah mereka selesaikan, sehingga sebelum jam 12 pun bisa langsung pergi, kalau pimpinannya juga sudah meninggalkan kantor tentunya.

Jam baru menunjukkan pukul 11 lewat sedikit ketika Pak Hamid keluar dari ruangannya membawa tass kerjanya. Dia hanya tersenyum saja ketika para karyawan melihatnya, seolah mengatakan, ‘saya pulang dulu ya, kalian terserah kalau mau pulang sekarang.’ Dan karyawannya pun tersenyum seolah mengatakan, ‘oke boss.’

Dan benar saja, ketika melihat mobil Pak Hamid keluar dari gerbang kantor, para karyawan pun bersorak dan bergegas untuk meninggalkan kantor, tak terkecuali Ara. Dia menghubungi suaminya terlebih dahulu, mengabarkan kalau dia sudah akan pulang tapi akan mampir dulu ke rumah Lia. Budi mengiyakan, dan mengatakan nanti akan makan siang dulu bersama dengan Sakti dan beberapa rekan kantornya. Dia tetap akan pulang sore hari sesuai dengan jadwalnya.

Setelah itu Ara pun meninggalkan kantor dan mengemudikan mobilnya ke arah rumah Lia. Sepanjang perjalanan dia masih bertanya-tanya kenapa Nadya menyuruhnya ke rumah Lia, apakah Lia sedang sakit? Tapi kalau memang sakit kenapa tidak memberi kabar dan malah bolos dari kantor?

Ara sudah berada di sebuah jalan yang cukup sepi ketika dia rasakan mobilnya sedikit oleng. Beruntung dia mengemudikan dengan kecepatan rendah sehingga bisa mengendalikan laju mobilnya. Dia pun meminggirkan mobilnya dan keluar untuk memeriksa. Ara menepuk dahinya ketika dilihatnya ban depan mobilnya kempes, sepertinya bocor.

“Haduuh kok pakai bocor segala sih. Mana bocornya disini lagi.”

Ara melihat keadaan sekitar, sepi. Dia sendiri jelas tak bisa mengganti ban mobilnya, tapi disini juga tidak ada yang bisa dimintai bantuan. Ketika mengambil ponselnya hendak mencari bantuan, dilihatnya dari arah yang berlawanan sebuah mobil sedang menuju ke arahnya. Ara berharap dia bisa mendapat bantuan dari mobil itu.

Ketika mobil itu mendekat Ara memberikan isyarat agar mobil itu mau berhenti dan bisa membantunya. Mobil itu berhenti dan kemudian keluar seorang pria dari dalamnya.

“Loh, Ara? Kamu ngapain disini?”

“Eh Mas Ramon tho? Dari mana mas?”

“Biasalah tukang kredit, keliling nyari mangsa, hehe. Kamu ngapain disini?” Ramon mengulang pertanyaannya.

“Eh ini mas, anu, ban mobil Ara bocor,” jawabnya sambil menunjuk bannya yang sudah kehabisan angin.

“Oalah, bawa serep?”

“Ada mas.”

“Alat-alatnya ada juga nggak?”

“Nggak tahu sih mas, Ara nggak pernah ngecek, biasanya Mas Budi yang ngecek.”

“Hmm, kang, bisa bantu nggak? Bannya bocor nih,” ujar Ramon pada seseorang di dalam mobil.

“Bisa boss, ada alat-alatnya nggak?” tanya orang itu, kemudian keluar dari mobil Ramon.

“Coba kamu cek dulu kang,” perintah Ramon.

Orang itu pun meminta Ara untuk membuka bagasi mobilnya. Dan setelah beberapa saat orang itu mengambil peralatan yang ternyata ada di mobil Ara, beserta ban serepnya untuk segera mengganti bannya yang bocor, sedangkan Ramon menemani Ara mengajaknya ngobrol.

“Itu kok mobilna penyok gitu mas depannya?” tanya Ara.

“Iya, tadi pas lagi di jalan tiba-tiba mobil di depanku ngerem mendadak, akunya nggak sempat ngerem jadi deh ketabrak. Mau dimarahin ternyata bapak-bapak udah tua, ya udah deh,” jawab Ramon.

“Ooh,” jawab Ara singkat, tak tahu yang dimaksud Ramon adalah ayahnya.

“Jam segini kok kamu udah nggak di kantor Ra?” tanya Ramon sambil melihat arlojinya.

“Hehe iya mas, udah pada pulang semua kok tadi temen-temen,” jawab Ara polos.

“Setengah hari doang ya? Haduh dasar pegawai negeri santai.”

“Hehe, ya gitu deh mas, kan ngikutin bossnya aja.”

“Lha terus kok lewat sini? Mau kemana emang?”

“Ooh, mau ke rumah Lia mas, dia nggak masuk hari ini.”

“Lho kenapa emangnya? Sakit?”

“Belum tahu mas, makanya ini Ara mau kesana.”

Selama ngobrol dengan Ara mata Ramon jelalatan memandangi tubuh Ara. Bagaimanapun juga Ramon pernah melihat bagaimana tubuh wanita cantik ini tanpa sehelai benangpun. Terbayang-bayang kembali dalam benak Ramon bagaimana tubuh indah Ara. Dia bertekad malam ini harus bisa menikmatinya, meskipun itu sisa dari bossnya. Hitung-hitung untuk menuntaskan permainan mereka tempo hari, dan juga untuk membalas dendam atas kematian pamannya.

Ara sendiri tak sadar sedang dipandangi oleh Ramon karena sudah memperhatikan teman Ramon yang sedang mengganti mobilnya. Dia pun menjawab pertanyaan Ramon sekerdarnya. Lagipula entah kenapa Ara merasa sangat tidak nyaman berdekatan dengan teman suaminya itu. Terlebih masih tersimpan berbagai macam pertanyaan mengenai kejadian tempo hari di pantai itu, yang menurut Ara Ramon tahu sesuatu.

Karena terlalu memperhatikan orang yang sedang mengganti bannya, Ara tidak menyadari kalau Ramon sedang mempersiapkan sesuatu. Tak lama kemudian urusan mengganti ban sudah selesai. Ara bersyukur karena bisa melanjutkan perjalanannya ke rumah Lia sehingga tak harus berlama-lama dengan Ramon.

“Oke mbak, udah beres ini.”

“Oke mas, makasih ya banmmmmmppphhhh.”

Belum selesai Ara berbicara Ramon sudah membekap wajah Ara dengan sebuah sapu tangan. Dia sempat meronta saat kemudian tercium bau menyengat dari sapu tangan itu, yang membuat Ara merasa sesuatu yang dingin menjalar dari hidung menuju ke otaknya, membuat rontaannya semakin melemah, dan semuanya menjadi gelap.

“Oke, beres. Sekarang kamu bawa gadis ini ke TKP pakai mobil dia. Aku akan urus sisanya.”

“Oke siap boss.”

“Ingat ya, gadis ini milik boss besar. Jangan ada yang berani menyentuhnya kalau masih ingin hidup!”

“Beres boss, saya udah paham.”

Tubuh Ara kemudian dimasukkan ke mobilnya, lalu orang yang tadi mengganti ban itu mengemudikan ke arah lokasi acara untuk malam ini. Wijaya sudah dibawa menuju lokasi, begitu pula istrinya. Sedangkan Tito juga mengabarinya bahwa sekarang dia sudah berjalan menuju lokasi membawa Filli dan Renata yang saat ini dalam keadaan kaki dan tangan terikat, serta mulut dan mata tertutup.

Hmm, tinggal dua orang lagi yang harus dia jemput, Budi dan Sakti, dan nampaknya yang ini akan lebih sulit, pikir Ramon. Dia segera menghubungi anak buahnya yang sedang mengawasi Budi dan Sakti, serta memanggil beberapa orang lagi sebagai cadangan, persiapan kalau saja Budi dan Sakti harus dilumpuhkan dengan sedikit kasar.

***

“Hallo Cing, ada apaan
“Hoy, salam dulu kek.”

“Ahaha, Assalamualaikum pak haji, ada apa ya
“Waalaikumsalamh. Haha, dasar kamu Sak. Masih di hotel? Aku jemput sekarang ya?”

“Iya nih nungguin lu lama amat. Buruan, laper gua
“Oke boss, udah meluncur ini, tunggu aja di lobby

“Oke sip, Assalamualaikum
“Waalaikumsalam.”

Budi sedang mengendarai mobilnya untuk menjemput Sakti di sebuah hotel di kawasan jalan Gejayan. Karena hotel yang tak terlalu jauh dari kantornya, dengan bergerak ke arah utara, kemudian di perempatan dia belok ke kanan melewati kawasan kampus yang siang ini cukup rame, lalu sampai di jalan Gejayan belok kiri, tak lama kemudian sampailah Budi di hotel tersebut, dan ternyata Sakti sudah menunggunya dengan sebatang rokok yang tinggal setengahnya.

“Woy, ayo naik,” ujar Budi.

“Oke boss. Wah, rame nih?” tanya Sakti saat melihat ke dalam mobil sudah ada dua orang rekan kerja Budi.

“Iya, temen kantorku nih, Candra sama Dipta,” jawab Budi.

“Hallo salam kenal, gua Sakti,” Sakti pun memperkenalkan diri kepada kedua teman Budi.

“Makan dimana kita Cing?” tanya Sakti.

“Lha kamu mau makan apa?” Budi bertanya balik.

“Pengen bebek goreng nih, yang di depan situ aja gimana?”

“Wah kalau yang disitu rame banget, jalanan macet pula, ke yang di ring road aja ya? Deket fly over?

“Oke deh ngikut aja gua Cing.”

Mobil pun beranjak meninggalkan hotel menuju ke tempat makan yang dimaksud. Jalanan siang ini memang lumayan macet, mungkin karena memang nanti malam adalah malam pergantian tahun, banyak orang yang sudah berada di Jogja untuk ikut merayakannya. Beberapa saat kemudian mereka terbebas dari macet hingga melenggang mulus di jalan lingkar utara.

Keempat pria itu saling bercanda di dalam mobil, saat ada dua buah mobil SUV berwarna hitam sedang mengikuti mereka. Tak ada yang menyadari itu kecuali Budi, karena itulah dia memilih untuk lewat ring road dengan harapan tidak akan terlalu memancing perhatian dan memakan banyak korban.

Setelah melewati perempatan Monjali, kondisi jalanan lebih lengang, hal ini membuat Budi semakin tegang karena mengetahui apa yang akan terjadi. Dan benar saja, tak lama kemudian salah satu SUV yang membuntuti mereka tiba-tiba menyalip dan langsung menghadang mobil Budi. Dengan sigap Budi menginjak rem yang mengagetkan ketiga orang lainnya. Belum hilang kekagetan mereka mobil Budi ditabrak oleh mobil SUV hitam lainnya.

“Anjriiit, apaan ni?” teriak Sakti yang langsung tersulut emosinya dan keluar dari mobil, diikuti Budi dan kedua temannya.

“Woy njing, keluar lu!” bentak Sakti sambil memukul kaca samping mobil SUV yang menghadangnya.

Namun sambutan yang tak kalah kasarnya diterima oleh Sakti. Pintu mobil itu terbuka dengan keras cukup mengagetkan Sakti. Belum berhenti disitu orang yang keluar dari mobil itu langsung menghantam wajah Sakti dengan pukulanya. Sakti yang tak siap menerima bogem itu mentah-mentah hingga terjatuh di jalan.

“Wanjing lu!” maki Sakti lalu berdiri dan menyerang pria yang memukulnya tadi.

Serangan sporadis dari Sakti cukup membuat pria itu kewalahan hingga wajah dan dadanya terkena pukulan Sakti. Namun sesaat sebelum Sakti melancarkan pukulan pamungkasnya tiba-tiba seorang pria lainnya menghujami kepala Sakti tanpa mampu dia mengelak. Sakti pun kembali limbung meskipun tak sampai terjatuh.

Melihat Sakti sedang dikeroyok membuat ketiga temannya berniat membantu. Namun tiba-tiba saja Candra mengaduh saat punggungnya ditendang oleh seseorang. Rupanya dari SUV yang menabrak mobil dari belakang sudah keluar empat orang. Dua orang menuju ke arah Candra dan dua orang ke arah Dipta.

Sedangkan Budi berlari ke arah Sakti untuk menolongnya sebelum dihadang oleh seorang pria yang keluar dari SUV yang menghadang mobilnya tadi. Perkelahian yang tak seimbang pun tak terhindarkan, dan orang-orang yang lewat disitu tak berani untuk ikut campur, terutama saat melihat orang-orang yang menyerang Budi dan teman-temannya memakai stelan jas serba hitam mirip mafia.

Candra dan Dipta yang cukup menguasai beladiri silat terlihat cukup mampu mengatasi lawan-lawan mereka. Meskipun dikeroyok namun mereka terlihat lebih tenang dan bisa menghindar dari serangan para penyerangnya ini, dan sesekali balas menyerang yang masuk dengan telak di badan maupun wajah para penyerangnya.

Mengetahui Candra dan Dipta tak bisa dianggap remeh, para penyerang yang pada dasarnya juga bukan orang sembarangan ini pun mulai serius. Masing-masing memasang kuda-kuda dan sikap waspada terhadap lawannya, lalu satu persatu menyerang Candra dan Dipta. Candra cukup terkejut mendapatkan serangan ini, karena dia salah mendung level kemampuan lawannya, yang ternyata setara dengan dirinya maupun Dipta, ditambah lagi jumlah mereka lebih banyak, dia harus berpikir cepat untuk mengatasi ini semua.

Namun serangan demi serangan yang dia terima tak memberikan waktu padanya untuk berpikir, hingga dia bergerak berdasarkan instingnya saja. Sebuah pukulan menyasar ke wajahnya berhasil dia tangkis ke samping, namun ketika hendak melancarkan pukulan balasan sebuah sepakan mengarah ke bagian samping badannya, dan berhasil dia tangkis.

Tak berhenti sampai disitu sebuah jab kembali mengarah ke wajahnya, dan masih berhasil dia tangkis. Bersamaan dengan itu sebuah kaki berusaha menendang dadanya. Candra hanya bisa berusaha untuk menangkis serangan-serangan dari lawannya tanpa diberi kesempatan untuk membalas, hingga akhirnya membuatnya lengak saat pahanya ditendang oleh salah seorang lawannya membuat keseimbangannya goyah.

Saat itulah sebuah jab berhasil masuk menembus pertahanannya dan mendarat mulus di wajahnya, membuat Candra sedikit terpental, lalu disusul dengan sebuah tendangan yang tepat mengarah di dadanya, yang membuat dia benar-benar terpental. Darah segar keluar dari hidung dan bibirnya.

Kondisi Dipta tak jauh berbeda dengan Candra, yang hanya bisa menangkis semua serangan yang mengarah kepadanya tanpa bisa sekalipun membalas. Terlebih lawan yang dihadapi Dipta ini lebih tangguh daripada lawan Candra, gerakan mereka cepat sekali membuat Dipta cukup kerepotan menahan serangannya. Akibatnya beberapa pukulan dan tendangan sempat mengenainya meskipun tak terlalu telak.

Dipta berfikir bagaimana agar dia bisa membalas serangan lawannya ini. Sebuah kesalahan karena hal itu menyebabkan Dipta menjadi sedikit lengah hingga pertahanannya terbuka dan itu terlihat oleh lawannya. Sepersekian detik kemudian sebuah uppercut masuk dengan telak di rahangnya membuat pandangannya menjadi sedikit kabur, kemudian disusul sebuah tendangan di perutnya yang membuatnya terbungkuk, dan diakhiri oleh sebuah sikutan yang mengantam telak di tengkukna.

Dipta roboh seketika, dia masih sempat melihat Candra yang juga sudah roboh menerima tendangan di wajahnya membuatnya kehilangan kesadaran. Dan sesaat kemudian dia pun menerima tendangan yang sama, dan semua menjadi gelap.

Tak jauh dari situ, Sakti mati-matian menahan serangan dari dua orang yang mengeroyoknya. Sakti yang memang tak memiliki pengalaman maupun kemampuan beladiri yang mumpuni tentu saja bukan menjadi lawan yang seimbang bagi lawan-lawannya itu, hingga sebuah jab telak mengenai wajahnya disusul dengan sebuah hook yang mengakhiri perlawanannya. Sakti roboh namun belum kehilangan kesadarannya sehingga dia masih bisa melihat bagaimana Budi sekarang dikeroyok oleh tiga orang.

Budi ternyata cukup memiliki teknik beladiri yang mumpuni sehingga masih mampu melayani ketiga lawannya. Dia bahkan sempat beberapa kali mendaratkan pukulan dan tendangan yang membuat lawannya menjadi goyah. Namun jumlah lawan yang tak seimbang tentu saja menjadi kesulitan sendiri bagi Budi. Terlebih konsentrasinya terpecah saat dia mengetahui ketiga temannya telah roboh, bahkan Candra dan Dipta mendapat serangan yang cukup parah.

Budi hanya berharap kedua teman kerjanya itu tak sampai harus kehilangan nyawanya. Kalau untuk Sakti, dia yakin mereka tak akan melakukan sesuatu yang fatal karena bagaimanapun Sakti adalah anak dari Baktiawan, orang yang diketahui Budi merencanakan semua ini.

Kembali Budi dihujani oleh serangan-serangan yang membuatnya mulai kewalahan. Apalagi kondisi fisiknya sudah mulai terkuras dikarenakan dia sendiri sudah jarang berlatih. Serangan demi serangan itu akhirnya membuat pertahanan Budi sedikit goyah sehingga dia tidak menyadari saat dari sudut matinya sebuah tendangan mendarat disana, membuatnya limbung.

Limbungnya Budi dimanfaatkan oleh pria di depannya. Budi menyadari itu dan masih bisa menangkisnya, namun tak dapat berbuat apa-apa saat sebuah bogem mentah dari sisi lain menghujam ke pipinya, disusul oleh sebuah pukulan dari arah sebaliknya. Belum berhenti disitu saat sebuah hook tepat mengenai pelipisnya membuat dia roboh. Budi tak bangkit lagi. Dia pura-pura pingsan. Namun kemudian terdengar suara orang yang cukup familiar baginya.

“Pakai ini buat mereka berdua.”

Ramon. Itu suara Ramon. Dia sudah sudah sampai disini, berarti semua korban sudah dia dapatkan, termasuk istriku, batin Budi.

“Itu dua orang lainnya gimana boss?”

“Udah biarin aja, nggak ada urusan. Paling bentar lagi juga mampus. Ayo cepat.”

Budi tak tahu apa yang diperintahkan Ramon kepada anak buahnya karena dia masih menutup matanya. Namun tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang dingin dan tajam menusuk tengkuknya. “Sial!” pekik Budi dalam hati. Ini obat bius. Mereka benar-benar tidak ingin diketahui tempat pestanya rupanya, sisanya kuserahkan padamu Mas Jaka, batin Budi, dan tak lama kemudian dia benar-benar tak sadarkan diri.

Budi memang sudah mengetahui rencana penculikan ini, karena itulah dia berpura-pura pingsan agar bisa mengetahui kemana dia akan dibawa. Karena sebab itulah sebenarnya mengapa Budi mengajak Candra dan Dipta yang cukup ahli dalam beladiri silat untuk ikut bersama mereka, yaitu untuk melindungi Sakti.

Namun rupanya dia salah perhitungan. Jumlah lawannya lebih banyak daripada yang dia perkirakan. Dan lagipula ternyata Sakti juga akan dibawa serta oleh Ramon dan para anak buahnya ini. Kini tubuh mereka dibawa oleh kedua mobil SUV warna hitam itu, lalu pergi meninggalkan mobil Budi dan kedua temannya begitu saja, yang tak lama mendapat bantuan orang-orang yang sedari tadi hanya diam menonton kejadian itu, kejadian yang berlangsung cepat, tak sampai 15 menit.

“Hallo Mon, gimana
“Hallo boss. Udah beres. Semua paket menuju TKP.”

“Ada masalah nggak
“Aman boss, seperti biasanya, silent and clean, ya kecuali si Budi sama anak boss sih, kita bikin keramaian dikit.”

“Haha, great job. Lumayan buat pengalih perhatian polisi. Oke, sampai ketemu nanti malam, kami masih dua cewek ini jadi wanita dewasa, haha
“Oke siap boss.”

Ramon tersenyum mengetahui maksud bossnya Baktiawan, apalagi kalau bukan mengerjai kedua wanita yang dari semalam menjadi mainan kedua bossnya itu. Kini dia sudah dalam perjalanan menuju ke lokasi akan diadakannya pesta malam ini. Dia akan memeriksa semua telah siap. Tapi yang lebih penting, tentu saja menjaga agar para wanita yang mereka bawa tidak disentuh oleh preman-preman itu, sebelum mendapatkan ijin dari bossnya nanti malam.

***

to be continue…
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mantap gan, ini yg ane tunggu2 :D


Udah menjelang klimaks nih, makin tegang aja ceritanya :mantap:
 
Mengalir dengan Smooth suhu No 14
Kalo buat ane sih nyaman dibaca,
Tinggal nunggu kelanjutan sama pengungkapan misteri jati diri Budi,
Dan sepertinya énte masih punya banyak kejutan nih
:pandajahat:

Nice update suhu no 14
:beer:
 
Wasemmmmm penasaran suhu
Gimna finalx
Wah sekalinya bapakx sakti ikutan
Apakh sakti ikutan di balik misteri
Nunggu update selanjutnya ajh dh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd