Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Vanquish 2 : The Next Level

Bimabet
Gw udah update Lan...

Monggo giliran lu...

:ngeteh: sambil nunggu Alan pake jilbab...
 
Aiiissshh pindah haluan ke bu polwan :ngupil:
Ati2 om banyak saingannya lho :pandaketawa:

Gpp bang Alan,,
Nganu,,,
Sebenernya marto itu masih sodara sama ane,,
Namanya aja marto87, jadi kata dia silahkan aja kalo mau icip icip
:pandaketawa:

Tak tunggu Update mu nanti malam bung
:ngeteh:
 
Mana updatenya wooooyyyy...

Gw bakarin menyan nih...

Apa mau gw goyang :pantat: biar update?
 
Chapter 9
Who The Hell Are You?


Aliya


Nadya

Triintiiing.. Triintiiing..

Lia yang sedang sibuk dengan pekerjaannya sedikit dikejutkan oleh ringtone ponselnya, sebuah pesan SMS masuk. Akhir-akhir ini memang dia sedikit parno dengan bunyi notifikasi di ponselnya itu. Penyebabnya tak lain adalah kelakuan Hendri, suami Nadya yang beberapa kali mengirimkan foto-foto persetubuhan mereka saat acara gathering tempo hari.

Nampaknya Hendri ingin lebih jauh mengintimidasi Lia agar mau tunduk padanya, dan sejauh ini cara itu cukup berhasil. Memang Hendri belum lagi meminta Lia untuk menemuinya, namun dia tahu, cepat atau lambat saat itu pasti akan datang juga. Dia sudah pasrah karena tak tahu harus minta tolong siapa. Lagipula pastinya akan sangat memalukan jika skandalnya sampai diketahui orang lain, meskipun dia melakukan itu dalam keadaan terpaksa.

Sementara itu di kantor, Nadya bersikap biasa, seolah peristiwa malam itu dimana dia bertindak sebagai kameramen, seperti tidak pernah terjadi. Hal ini sedikit banyak membantu Lia untuk juga bersikap sewajarnya, agar tidak sampai menimbulkan gelagat yang mencurigakan.

Sejenak Lia memandangi ponselnya. Hmm, SMS, berarti bukan Hendri. Biasanya Hendri akan menghubunginya melalui WhatsApp. Begitupun teman-temannya yang lain, yang menggunakan berbagai sosial media untuk menghubunginya. Sudah lama sekali dia tidak menerima SMS, kecuali dari orang tuanya, dan juga SMS promo.

Penasaran, Lia pun mengambil ponsel dan segera membuka SMS tersebut. Matanya terbelalak, isi pesan yang cukup panjang itu hampir membuatnya terlonjak kalau saja tidak ingat dia sedang di kantor saat ini. Dia terkejut, tapi bukan terkejut takut atau semacamnya, dia terkejut senang, bahagia, seolah beban berat yang dia tanggung terangkat dan hilang begitu saja.

Dear Aliya,
Saya tidak memiliki niat apapun selain hanya membantu.
Saya telah menghapus semua foto dan video kamu di ponsel Hendri, bahkan saya sudah membuat ponsel dan memory card di dalamnya tidak bisa dipakai lagi.
Jangan lagi takut, dan jangan lagi menuruti kemauan Hendri dan Nadya.
Tidak perlu tahu siapa saya, yang jelas sekarang kamu aman.
Salam.

Meskipun mencoba untuk bersikap sewajarnya, namun dia tetap tak bisa menahan senyum, bahkan air matanya hampir saja menetes. Dia begitu bahagia, bersyukur karena ternyata masih ada orang baik yang menolongnya. Dia tak tahu siapa orang itu, tapi dia sangatlah berterima kasih kepadanya. Pesan itu seperti sebuah pesan promo dari provider yang tidak bisa dibalas, dan di kolom pengirim, tertulis nama E-coli.

*****

Disaat yang bersamaan dengan Lia menerima pesan dari E-coli, Nadya pun mendapat telpon dari Hendri suaminya. Merasa bahwa ada hal penting karena selama ini jarang Hendri menelponnya di jam kerja, terlebih, nomor yang dipakai adalah nomor yang jarang digunakan oleh Hendri, Nadya pun bergegas menuju ke toilet yang sepi untuk menerima telpon itu.

"Iya Pah, ada apa? Kok telpon pake nomor ini?"
"Mah, gawat Mah. Ponsel Papah yang satunya rusak."

"Loh, rusak gimana Pah?"
"Nggak bisa nyala sama sekali, bahkan memorinya juga rusak, filenya ilang semua."

"Lho kok bisa gitu Pak?"
"Tadi ada bunyi notifikasi SMS, pas Papah buka, isinya gini, this is E-coli, say goodbye to your phone, abis itu tiba-tiba layarnya nge-blank, trus sempet panas gitu, nggak lama mati. Papah coba hidupin lagi nggak bisa, diambil memorinya dipasang di ponsel ini, udah ilang semua filenya."

"E-coli? Pah, bukannya itu yang nyerang ponselnya Mas Ramon dulu ya?"
"Ya makanya itu Mah, seinget Papah juga gitu. Kayaknya ada kemungkinan, si E-coli ini tahu soal Lia, makanya dia nyerang ponsel Papah."

"Yah terus gimana dong? Semua foto sama video Lia kan ada disitu, kita nggak bisa ngancem dia lagi nanti?"
"Selama Lia nggak tahu, dia pasti masih nurut sama kita. Mamah bilangin sama Lia, nanti pulang kerja suruh ke rumah, kita rekam lagi tapi pake handycam, biar nggak bisa diganggu lagi sama hacker kampret itu."

"Yaudah, bentar lagi istirahat, nanti Mamah bilangin ke dia."
"Oke kalau gitu, nanti kabarin Papah."

Telponpun terputus. Nadya berusaha menenangkan diri sejenak sebelum kembali ke meja kerjanya, supaya tidak kelihatan seperti orang panik. E-coli. Kenapa nama ini muncul lagi setelah sekian lama? Siapa sebenarnya orang ini? Pikiran Nadya terus memunculkan berbagai pertanyaan yang sama sekali tak bisa dia jawab.

"Nad, ngapain bengong aja disini?" ujar Eko yang ternyata sudah ada di belakang Nadya.

"Eh Eko, ih ngagetin aja sih?" Nadya terlonjak, terkejut tak menyadari ada orang di belakangnya.

"Lah, dipanggil gitu aja kok kaget sih, haha. Ada apa?"

"Nggak kok nggak ada apa-apa. Aku balik ke meja dulu ya," Nadya langsung saja pergi meninggalkan Eko. Sementara itu Eko hanya tersenyum saja melihat Nadya yang salah tingkah. Terlebih lagi dia tahu apa yang membuat Nadya begitu terkejut dan salah tingkah, karena dialah penyebab yang sebenarnya.

*****​

Jam 12 siang, sudah saatnya istirahat makan siang. Kebanyakan pegawai sudah pergi meninggalkan kantor untuk mencari makan siang di kantin maupun beberapa warung yang berada di sekitar kantor. Nadya nampak menunggu kondisi sepi untuk berbicara dengan Lia. Sejenak dilihatnya nampak Ara masuk ke ruangan Pak Hamid, mungkin ada keperluan, entahlah.

"Li, ikut benar, ada yang mau aku omongin," Nadya langsung menarik tangan Lia begitu suasana sepi.

"Eh eh mau kemana?"

"Udah ikut aja, bentar kok."

Lia pun akhinya menurut saja. Dia sepertinya sudah menebak apa yang ingin dibicarakan Nadya, pasti tak jauh dari skandalnya dengan Hendri. Nadya menarik Lia, mengajaknya ke toilet tempat ia menerima telpon dari suaminya tadi. Setelah melihat suasana benar-benar sepi, barulah dia berbicara pada Lia.

"Entar pulang kantor, kamu ikut aku."

"Kemana? Dan mau ngapain?"

"Ke rumahku. Diminta sama suamiku tadi. Rasanya kamu udah ngerti deh bakal ngapain."

"Nggak Nad, aku nggak mau lagi ngikutin kalian."

"Heh, kamu tahu kan kalau kami punya foto sama video kamu. Kamu mau itu semua kesebar hah?" Nadya mulai mengancam Lia, namun dia heran melihat Lia nampak tenang-tenang saja, bahkan sedikit tersenyum.

"Iya aku tahu. Dan aku juga tahu, pasti suamimu sudah bilang ke kamu kalau semua foto dan video itu hilang kan?"

Nadya terkejut mendengar perkataan Lia. Bagaimana mungkin dia bisa tahu? Padahal Nadya baru saja diberi tahu oleh suaminya, tidak mungkin suaminya akan memberi tahu orang lain. Tapi darimana Lia bisa tahu?

"Apa maksudmu hilang? Jangan ngarang kamu Li."

"Udah deh Nad nggak usah maksa lagi. Aku tahu kok, foto sama video itu udah nggak ada kan. Bukan cuma itu, ponsel sama memorinya juga udah nggak bisa dipakai kan?" ucapan Lia semakin membuat Nadya terkejut, karena apa yang diucapkan itu memang benar adanya.

"Da,, darimana kamu tahu?"

"Ada yang ngasih tahu aku. Aku nggak tahu siapa dia, tapi yang jelas aku sudah tahu. Udah Nad, stop semua ini. Aku nggak akan bilang ini ke orang lain, tapi tolong kamu hentikan kegilaan ini, dan kembalilah menjadi Nadya yang dulu."

Lia mencoba untuk menyadarkan sahabatnya itu. Memang Lia merasa marah dan benci dengan Nadya, terlebih lagi kepada Hendri. Namun dia merasa punya kewajiban untuk mengingatkan sahabatnya agar tak semakin salah jalan, tak semakin jauh tersesat. Entah apa yang membuat Nadya seperti sekarang ini, dia tak tahu, dia hanya mau sahabatnya ini kembali seperti dulu lagi.

Nadya terdiam, sama sekali tak bisa menjawab perkataan Lia. Dia benar-benar terkejut dengan semua ini. Jika ada yang memberi tahu Lia, satu-satunya orang yang bisa melakukannya adalah orang yang telah membajak dan merusak ponsel suaminya, yaitu si hacker E-coli. Tapi bagaimana hacker itu bisa mengenal Lia?

Merasa tak akan mampu menjawab pertanyaan di kepalanya, Nadya pun langsung pergi meninggalkan Lia. Dia bahkan juga meraih tasnya dan langsung meninggalkan kantor. Lia menatapnya dengan sedih. Sedih kenapa sahabatnya bisa seperti itu. Juga sedih karena sepertinya akan sangat sulit untuk bisa mengingatkan dan menyadarkan sahabatnya itu.

Saat Lia kembali ke mejanya, dia melihat Ara keluar dari ruangan Pak Hamid dengan wajah merah. Wajah itu seperti menahan amarah. Terlihat mata Ara juga berkaca-kaca. Lia heran melihat itu, apa yang terjadi? Tak lama kemudian Pak Hamid pun keluar dari ruangannya dengan membawa tasnya, lalu berlalu begitu saja. Ketika berpapasan juga sama sekali tak menyapa, tersenyum pun tidak.

Ara juga terlihat merapikan barang-barangnya, dan bergegas pergi. Tinggal kini Lia sendirian terbengong-bengong. Ada apa ini? Kenapa hari ini aneh sekali? Nadya pergi begitu saja dari kantor. Tapi dia tahu apa alasan Nadya. Lalu Pak Hamid dan juga Ara, dengan ekspresi wajah menahan emosi mereka juga pergi dari kantor. Lia semakin bingung. 'Aah apalagi ini, kenapa hari ini begitu aneh. Menyenangkan iya, tapi membingungkan juga,' keluhnya dalam hati.

Sementara itu di luar kantor Ara berpapasan dengan Eko yang baru saja selesai makan siang. Melihat Ara yang nampak buru-buru Ekopun mengejarnya. Ara mengucapkan sesuatu yang membuat Eko tersentak terkejut, seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan Ara.

"Bener kayak gitu Ra?"

"Iya Ko, aku lihat sendiri tadi."

"Yaudah, aku bakal bantu, tapi kasih tahu suamimu dulu. Kalau dia ngasih perintah nanti, aku bakal langsung beresin."

"Makasih Ko, aku pulang dulu ya. Kalau Indah nyari, bilang aja aku nggak enak badan."

"Iya. Yaudah kamu hati-hati."

Eko menatap Ara yang berjalan menuju mobilnya. Sejurus kemudian mobil itu pergi meninggalkan kantor. Eko terdiam, memutar otak bagaimana untuk membantu Ara. Tapi lebih daripada itu, dia tak habis pikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Dia sangat yakin dan percaya Ara jujur, tapi entah bagaimana ceritanya bukti-bukti itu bisa sampai ada. Dia benar-benar harus membantu Ara keluar dari masalah ini, entah bagaimanapun caranya.

*****​

Hari ini Marto bersama dengan para anak buahnya serta dibantu dengan beberapa tukang yang dia sewa nampak sibuk membenahi arena permainan paintball miliknya. Bukan karena ada kerusakan, tapi karena dia ingin sedikit merombak dan memberikan beberapa tambahan di arena itu. Sudah 3 hari ini mereka mengerjakannya, 3 hari ini pula arena permainan ini ditutup.

Beberapa bulan terakhir arena permainan ini memang semakin ramai oleh pengunjung. Biasanya hanya di akhir pekan saja ramai, sekarang hampir setiap hari. Pelanggannya pun berasal dari berbagai macam kalangan. Mereka cukup senang bermain disini, karena arenanya cukup lengkap dan menantang, peralatannya juga selalu dalam kondisi prima, hal ini tentu tak lepas dari pengalaman Marto yang dulu sangat akrab dengan berbagai macam senjata sehingga tahu bagaimana harus merawatnya.

Selain itu, Marto dan para anak buahnya juga sangat terbuka untuk menerima berbagai masukan dari para pelanggannya. Renovasi yang sedang mereka kerjakan inipun tak lain adalah kumpulan dari ide-ide pelanggannya. Setelah dibahas dengan anak buahnya, maka disepakati sebuah konsep baru untuk arena ini. Konsep yang lebih segar dan tentu saja menantang.

Karena kesulitan untuk menambah luas area permainan, maka modifikasi di dalamnya lebih dipilih oleh mereka. Dengan adanya penyegaran dan suasana yang berbeda, diharapkan para pelanggan akan lebih senang dan betah bermain disini. Diharapkan juga para pelanggan ini turut membantu promosi dari mulut ke mulut kepada rekan-rekan mereka sehingga tempat ini akan semakin ramai.

Untuk keperluan renovasi ini sendiri, jauh-jauh hari Marto sudah memberitahukan bahwa tempat ini akan tutup untuk seminggu. Para pelanggan bisa memaklumi itu dan justru antusias untuk segera mencobanya. Bahkan, 2 minggu pertama pasca penutupan ini sudah habis dipesan oleh para pelanggan. Yang baru saja mau memesan, tentunya harus rela untuk menunggu lebih lama lagi.

Progres pengerjaan renovasi sendiri sudah mencapai 70%, dan rencananya sebelum dibuka kembali untuk umum, Marto dan para anak buahnya yang akan mencobanya terlebih dahulu. Mereka ingin mencari tahu apakah masih ada kekurangan dari hasil renovasi ini sehingga bisa cepat diselesaikan sebelum dibuka.

Para anak buah Marto terlihat sangat antusias dengan ide baru ini. Terlebih mereka memiliki boss seperti Marto yang tak sungkan untuk turun langsung sendiri, seperti mengaduk semen, mengecat dan beberapa pekerjaan kasar yang lainnya. Memiliki boss yang begitu dekat dengan anak buahnya, yang tak hanya bisa memerintah tapi juga bisa dan selalu memberi contoh, siapa yang tak suka. Mereka pun bisa dengan bebas bercanda dengan Marto, namun kembali menjadi profesional jika itu sudah menyangkut urusan pekerjaan.

"Mas Martoo, Mas," terdengar Tutik berteriak dari dalam kantor.

"Apa Tik?" sejenak Marto menghentikan pekerjaannya.

"Ini Mbak Fitri telpon."

"Oh iya, bentar. Eh tolong lanjutin yaa," Marto meminta salah seorang anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaannya, kemudian dia menuju ke kantor untuk menerima telpon dari istrinya.

"Halo Ma, ada apa?"
"Halo, Papa darimana kok lama?"

"Ini lagi dibelakang tadi bantuin ngecat. Ada apa Ma?"
"Ini Pa, Mama dapat telpon dari sekolahnya Andin, katanya Andin tadi masuk UKS. Papa bisa kesana nggak? Mama lagi nggak bisa ditinggal nih kerjaannya."

"Loh Andin kenapa Ma?"
"Nggak tahu Pa, katanya sih demam tinggi tadi, sempet muntah juga. Papa kesana ya."

"Walah. Iya iya, Papa langsung kesana sekarang."
"Yaudah Pa, entar kabarin Mama ya."

Setelah menutup telpon Marto segera membersihkan diri dan mengganti bajunya. Dia kemudian memanggil Agus, memberitahukan apa yang terjadi dan meminta pada Agus untuk menghandle sisa pekerjaan hari ini, dan berpesan kalau ada apa-apa untuk segera menghubunginya. Setelah semuanya beres Marto pun beranjak ke mobilnya untuk segera menuju ke sekolah Andin.

Siang yang cukup macet, membuat Marto harus menempuh perjalanan hampir 1 jam untuk sampai di sekolah anak tirinya itu. Setelah menyampaikan maksudnya kepada satpam sekolah, Marto pun segera diantar ke UKS. Disana masih ada petugas jaga yang menunggui Andin.

"Selamat siang Bu, saya Papanya Andin," Marto mengenalkan diri kepada petugas jaga itu.

"Oh iya siang Pak, saya Nita petugas TU," sahut wanita yang sedang menjaga Andin itu.

"Gimana keadaan Andin Bu?"

"Sekarang udah turun demamnya Pak. Tadi sekitar 2 jam yang lalu demamnya tinggi sekali, muntah-muntah juga. Ini sudah dikasih obat sama susu. Saya curiga dia keracunan makanan Pak, sebaiknya dibawa ke dokter untuk memastikan."

"Hmm baiklah kalau gitu Bu. Bisa saya bawa Andin sekarang? Atau harus ijin dulu?"

"Oh bisa kok Pak, tadi kepala sekolah juga bilang kalau ada orang tuanya Andin bisa langsung dibawa pulang."

"Baik kalau gitu, dan terima kasih atas bantuannya Bu."

"Iya Pak sama-sama."

Marto pun segera menggendong Andin yang masih tertidur, sementara Bu Nita membantu membawakan tas Andin menuju mobil. Sebelumnya Marto menghubungi ibu mertuanya terlebih dahulu, memberi pesan kepada Yani, memintanya untuk menjemput Zainal karena sebentar lagi anak itu juga akan pulang sekolah.

Marto kemudian mengemudikan mobilnya ke arah rumah. Dia merasa tak perlu membawa Andin ke dokter, karena saat ini dia memiliki obat-obatan yang cukup lengkap di rumah. Dia juga memiliki sedikit pengetahuan medis untuk mendeteksi apa penyakit yang diderita anaknya itu.

Sampai di rumah dia segera membawa Andin ke kamarnya. Ibu mertuanya yang menyambut menanyakan keadaan Andin, dan dijawab tidak kenapa-kenapa oleh Marto. Setelah meletakkan Andin di ranjangnya, Marto mengambil kotak medis, sekaligus kotak yang berisi obat-obatan yang dia punya. Tak lupa dia mengabari istrinya dan memintanya untuk tenang karena sekarang kondisi Andin baik-baik saja.

Sebenarnya Marto bisa saja kembali ke tempat arena permainan paintball miliknya, namun dia memutuskan untuk tetap di rumah saja menjaga Andin. Dia ingin bertanya kepada anaknya apa saja yang dimakannya sehingga sampai muntah dan demam tinggi seperti itu. Selama ini Andin selalu membawa bekal dari rumah dan tak pernah jajan di sekolah. Uang saku yang diberikan pun selalu utuh dan ditabungnya.

Merasa penasaran Marto ingin memeriksa isi tas Andin. Apakah bekalnya masih utuh? Apakah uang sakunya juga masih utuh? Saat membuka kantong depan tas itu, dia mendapati uang saku Andin masih utuh, berarti anak ini tidak jajan tadi. Dia kemudian kembali membuka tas Andin dan mengambil kotak bekalnya. Kosong. Artinya Andin memang memakannya.

Tapi apa mungkin dia keracunan bekal makanannya? Kalau iya, harusnya Zainal juga, karena mereka membawa bekal yang sama. Saat sedang terdiam tiba-tiba saja tubuh Andin bergerak-gerak. Tak lama kemudian anak itu membuka matanya. Marto memberikan usapan di kening Andin.

"Eh Papa, Andin dimana?"

"Andin udah di rumah sayang. Gimana badannya? Masih sakit? Pusing nggak sayang?"

"Pusing Pa dikit."

"Andin tadi makan apa sayang? Kok kata bu guru sampai muntah-muntah?"

Andin terdiam. Dia seperti menyembunyikan sesuatu, dan takut akan kena marah bila menceritakan kepada papanya. Marto yang menyadari hal itu kemudian tersenyum.

"Udah Andin nggak usah takut, Papa nggak akan marah kok."

"Hmm, Andin tadi ketemu orang pas istirahat. Dia pake baju polisi, katanya temennya Mama. Dia ngasih Andin cokelat, kan Andin suka sama cokelat, jadi langsung aja Andin makan."

"Oh gitu. Andin kenal sama orang itu?"

"Nggak kenal Pa. Oh iya, om itu tadi juga ngasih amplop, katanya titip buat Papa."

"Amplop?"

"Iya Pa, tadi Andin taruh di tas."

"Oh yaudah, entar biar Papa ambil. Sekarang Andin istirahat dulu aja ya kalau masih pusing."

"Iya Pa."

Andin pun kembali memejamkan matanya. Dia lega karena tak sampai kena marah papanya. Padahal sebelumnya baik papa maupun mamanya sudah berpesan untuk tidak menerima apapun dari orang yang tidak dikenal. Tapi orang itu tadi mengaku teman mamanya, Andin yang polos tentu percaya begitu saja.

Setelah memastikan Andin tertidur, Marto kembali membuka tas Andin, mencari amplop yang tadi dimaksud oleh anaknya. Dia menemukan amplop berukuran sedang warna putih yang tertutup rapat. Amplop ini ditujukan untuk dirinya, tapi orang itu mengaku sebagai teman Fitri? Otak Marto mengetahui ada yang tidak beres. Dia pun segera merobek amplop itu dan mengambil kertas yang ada di dalamnya. Marto terbelalak membaca tulisan di kertas itu. Singkat, namun cukup menjelaskan kondisi Andin saat ini.

Pesan Dalam Amplop said:
'Ini hanya sebuah peringatan. Jika kamu masih ikut campur, kamu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan kamu pasti paham, akan lebih baik jika hanya kamu yang membaca pesan ini.'

Marto meremas-remas kertas itu dengan penuh emosi. Dia bahkan belum apa-apa tapi sudah mendapat ancaman seperti ini. Bukan hanya sekedar ancaman, karena si pengirim pesan itu telah membuat Andin menjadi seperti ini sekarang. Ini sudah menjadi hal yang serius. Marto bertekat untuk mencari si pengirim pesan itu, yang dia belum tahu siapa orangnya.

Ini bukan lagi tentang pertemuannya dengan wanita itu tempo hari, maupun informasi yang diberikan kepadanya. Mereka sudah berani mengusik keluarganya bahkan saat dia belum melakukan apapun. Naluri alamiah untuk melindungi keluarganya muncul. Meskipun dia tahu saat ini harus melakukannya sendiri, tapi kalau memang benar orang yang akan dihadapi benar seperti yang dibicarakan wanita yang menemuinya tempo hari, dia berharap sang penolong yang pernah menyelamatkan hidupnya beberapa tahun yang lalu kembali muncul, dan menolongnya lagi, semoga.

*****​


Marto


Safitri


Yani


Beti

Hari sudah petang ketika Fitri sampai di rumahnya. Tergesa-gesa dia memarkirkan mobilnya karena ingin segera melihat kondisi Andin. Meskipun sudah mendapat kabar dari suaminya kalau Andin baik-baik saja, tapi tetap saja rasa khawatirnya sebagai ibu tak bisa hilang begitu saja. Seharian ini dia tidak terlalu fokus bekerja, namun sayang memang pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.

Setelah mengucap salam kepada ibunya Fitri bergegas ke kamar Andin. Disana sudah ada Marto yang sedang menyuapi Andin. Melihat senyuman dari anaknya membuat hati Fitri menjadi lebih plong. Paling tidak sekarang dia tahu kalau memang kondisi Andin sudah baik seperti sedia kala.

"Andin sayang, gimana kondisi kamu nak?"

"Udah sehat kok Ma, tadi siang dikasih obat sama Papa. Ini abis makan disuruh minum obat lagi."

"Kok bisa sampai kayak gitu tho nak? Andin tadi jajan sembarangan ya?"

"Nggak kok Ma, cuma,,,"

"Nggak Ma, Andin cuma kecapekan aja tadi," Marto memotong ucapan Andin sambil memberikan kode kepada Fitri untuk tak menanyainya lebih jauh.

Dari tatapan Marto Fitri mengerti kalau suaminya itu seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi nanti, tidak di depan Andin. Fitripun mengangguk pertanda mengerti. Kemudian dia memeluk Andin dan mengelusi kepalanya.

"Nah udah abis makannya, sekarang Andin minum obat ya, abis itu bobo. Biar Mama mandi dulu, udah bau acem itu mamanya."

"Hehe nggak apa apa kok Pa, bau acem juga Andin tetep suka kok."

"Duh anak Mama pinter deh. Yaudah, turutin itu apa kata Papa, Andin minum obat ya terus bobo, biar besok udah sehat dan bisa sekolah lagi."

"Iya Ma."

Mereka berdua masih berada di kamar Andin, menunggu hingga anak itu tertidur. Setelah dirasa Andin cukup lelap dalam tidurnya, mereka pun keluar dan menuju ke kamar mereka sendiri.

"Pa, ada apa sebenarnya?"

"Andin tadi keracunan Ma."

"Hah, kok bisa Pa?"

"Tenang dulu. Mama duduk dulu, Papa mau kasih liat sesuatu," Marto menyuruh Fitri duduk dan dia mengambil kertas yang tadi siang sudah dia remas-remas, lalu memberikannya kepada Fitri.

"Astaga, apa ini maksudnya Pa?" tanya Fitri begitu selesai membaca pesan dalam kertas itu.

"Papa juga belum tahu Ma, tapi pasti akan Papa selidiki. Papa cuma minta ini jangan sampai diketahui siapapun. Siapapun. Termasuk ibu, dan juga teman-teman polisi Mama," jawab Marto tegas, menatap tajam Fitri.

"Tapi Pa? Kenapa polisi nggak boleh tahu?"

"Jadi gini Ma, tadi siang ada orang yang pakai seragam polisi datengin Andin. Dia bilang dia itu temennya Mama. Trus ngasih cokelat ke Andin. Karena merasa bahwa itu teman Mama, Andin nerima cokelat itu begitu saja. Yah, memang nggak bisa disalahkan juga sih, anak sekecil itu kan masih polos Ma. Selain itu, orang yang ngaku temen Mama itu ngasih amplop yang isinya surat itu ke Andin, bilang ini titipan untuk Papa."

"Jadi, Andin keracunan dari cokelat itu Pa?"

"Iya Ma. Orang itu bener-bener mau ngasih anceman ke Papa. Entah kenapa sampai mengancam kayak gitu, nanti Papa bakalan cari tahu. Yang penting sekarang, Mama tolong jangan sampai hal ini diketahui orang lain, cukup kita berdua saja, karena keselamatan keluarga kita yang jadi taruhannya. Kalau ada teman Mama yang nanya Andin kenapa, bilang aja Mama nggak tahu, bilang aja Papa ngasih tahunya Andin kecapekan, mengerti kan Ma?"

Fitri hanya mengangguk saja. Dia tahu apa yang dikatakan suaminya itu serius, dan mungkin bisa lebih berbahaya lagi. Benar dia tak bisa menceritakan atau bahkan meminta bantuan ke rekan-rekannya, karena orang yang menjahati Andin memakai seragam polisi. Entah itu benar-benar polisi, atau hanya orang yang menyamar, tapi lebih baik jika dia bersikap waspada.

Fitri tahu kemampuan Marto seperti apa. Meskipun sudah lama tidak digunakan, tapi dia yakin kemampuan itu masih ada, dan dia yakin Marto akan bisa melindungi keluarganya. Dia tahu, tugasnya saat ini adalah bersikap senormal mungkin, seolah tidak terjadi sesuatu yang serius terhadap Andin, seolah tidak ada bahaya besar yang sedang mengintai keluarganya. Dia harus memainkan perannya sebaik mungkin, seperti apa yang sudah dia mainkan selama ini. Meskipun belum tahu bagaimana nanti cara Marto untuk melindungi keluarganya, tapi Fitri mempercayakan semuanya pada suaminya itu.

Bagi Marto sendiri, dengan menceritakan hal ini kepada istrinya, dia telah melakukan langkah awal untuk melindunginya. Dia memang hanya perlu menceritakan perihal ancaman yang didapatkan hari ini. Dia tak perlu untuk menceritakan perihal wanita yang menemuinya di tempat kerja tempo hari. Benar kata wanita itu, semakin banyak yang tahu, akan semakin berbahaya, dan semakin sulit untuk melindungi mereka.

Kini Marto harus mencari cara untuk bisa melindungi keluarganya, tanpa melibatkan orang yang kemungkinan sudah terendus oleh kelompok itu. Dia harus berpikir keras untuk membuat strategi. Sayangnya dia bukanlah ahli strategi seperti temannya di kesatuan dulu, Rio.

Ah benar sekali, Rio. Tiba-tiba sebuah alur rencana mulai tergambar di kepala Marto. Memang hanya gambaran kasar, dan memiliki banyak celah yang harus diisi, tapi sebagai langkah awal, dia harus melakukan itu. Menunggu beberapa saat untuk menunggu dugaannya benar atau tidak, menunggu beberapa saat untuk mengetahui siapa saja yang terlibat, barulah dia melangkah ke tahap selanjutnya.

Rencana ini seperti sebuah perjudian baginya. Kemungkinan benarnya masih 50:50, baik itu di rencana awal maupun lanjutannya. Tapi dia akan mengambil resikonya. Daripada harus berpangku tangan, toh akhirnya mereka akan menjadi korban juga jika dia tidak bergerak. Marto sangat paham dengan isi kepala orang-orang itu, meskipun banyak yang baru dan belum dikenalnya, tapi jika ada hubungannya dengan kelompok yang lama, pastinya tidak akan berbeda jauh dengan apa yang sudah mereka lakukan selama ini. Baginya, saat ini lebih baik mati saat berjuang, daripada harus menunggu peluru yang datang.

*****​

Malam sudah larut sekali. Marto terbangun merasakan perutnya keroncongan karena memang hanya makan sedikit tadi. Dia melihat jam dinding, sudah jam 2 dini hari. Dilihatnya Fitri sudah begitu pulas tidurnya. Tak ingin membangunkan istrinya, diapun bangkit perlahan untuk menuju dapur, siapa tahu ada yang bisa masih dimakan. Kalaupun sudah tak ada, terpaksalah membuat mie instan.

Suasana rumah sudah sepi, semua pasti sudah terlelap. Dia berjalan menuju ke dapur. Lampunya masih menyala, apa mungkin Yani lupa mematikan lampunya? Tidak biasanya, batin Marto. Saat dia sudah sampai di dapur, sayup sayup dia mendengar suara seperti orang berbisik. Marto menajamkan pendengarannya, mencari tahu darimana sumber suara itu.

Dia memastikan sumber suara itu dari kamar pembantu, yang berada tepat di samping dapur. Dia berjalan mengendap endap mendekati kamar itu untuk mendengar lebih jelas tersebut. Semakin jelas bahwa itu adalah suara Yani. Tapi kenapa Yani berada di kamar pembantu, bukankah seharusnya dia tidur bersama dengan Zainal?

Marto pun semakin heran, kalau benar Yani ada di kamar itu, lalu dia berbicara dengan siapa? Apa mungkin dia ada tamu tak diundang malam-malam begini? Atau mungkin dia sedang bertelpon ria dengan seseorang? Tapi malam-malam begini telpon siapa? Eh, telpon? Tunggu dulu, sejak kapan Yani punya ponsel? Seingatku dia tak pernah memiliki ponsel, bahkan dulu dibelikan saja menolak, batin Marto. Marto menempelkan telinganya ke daun pintu, untuk menguping apa yang dibicarakan oleh Yani.

"Yaudah ya Mas Rio, udah malem nih aku mau balik ke kamar, kasihan Zainal tidur sendiri."

"Apa? Belum puas? Yah kan bisa dilanjut besok besok. Udah ah aku ngantuk Mas, disambung besok lagi ya, dadah."

Rio? Belum puas? Apa apaan ini? Beragam pertanyaan muncul di benak Marto. Terdengar langkah menuju pintu, nampaknya Yani akan segera keluara. Marto pun mundur beberapa langkah, dia bersiap untuk mengejutkan Yani, dan sedikit menanyainya tentang apa yang dia lakukan malam ini. Tapi begitu pintu terbuka, bukan saja Yani yang terkejut, tapi Marto juga.

Apa yang dilihatnya ini benar-benar di luar dugaan. Lampu dapur yang masih menyala membuatnya bisa dengan jelas melihat sosok Yani yang keluar dari kamar itu. Yani sama sekali tak memakai sehelai benangpun, telanjang bulat! Dan benar tangannya memegang sebuah ponsel. Mau tak mau, sebagai lelaki normal, insting Marto menuntun matanya untuk menyusuri tubuh Yani diam mematung saking terkejutnya.

Dan keterkejutan Marto semakin bertambah kala matanya terhenti pada satu titik. Berada diantara kedua pangkal paha Yani, beberapa senti di bawah pusarnya. Terlihat sebuah bercak, atau tanda, yang sangat sangat dikenal oleh Marto. Dia tahu seseorang yang memiliki tanda seperti itu. Sama persis, bentuk maupun ukurannya.

Mulut Marto menganga, tak tahu harus bereaksi seperti apa, dia hanya terdiam saja. Yani yang merasa begitu terkejut dan gugup juga terdiam, bahkan tangannya sama sekali tak bergerak hanya untuk sekedar menutupi daerah-daerah pribadinya. Wajahnya tertunduk, entah karena malu atau takut kena marah.

Sementara Marto masih dalam keterkejutannya, matanya masih terpaku pada sesuatu di bagian tubuh Yani itu. Sama. Sama persis. Dia yakin sekali tanda itu sama persis. Setahu dia tak pernah ada seorangpun di dunia ini yang memiliki tanda lahir yang sama persis dengan orang lain. Setiap tanda lahir adalah khas milik orang tersebut.

"Astri!"

Tak sadar mulut Marto bersuara, memanggil sebuah nama yang seharusnya sudah sangat lama pergi meninggalkannya. Yani yang mendengar itu menengadahkan kepalanya menatap Marto, nampak bingung dengan reaksi lelaki itu. Seketika Yani tersadar lalu menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi payudara dan pangkal pahanya. Namun tangannya tak cukup untuk menutup tanda lahir, yang masih saja dipandangi oleh Marto.

"Maaf Mas saya permisi dulu balik ke kamar."

Marto hanya terdiam. Melihat itu Yani langsung saja berlari menuju kamarnya, dimana Zainal anaknya tengah tertidur lelap. Marto sama sekali tak berusaha untuk menahan. Tubuhnya benar-benar mematung. Masih tak percaya apa yang dia lihat. Sampai akhirnya tiba-tiba Marto jatuh terduduk di lantai, punggungnya menyandar ke tembok.

Pandangannya kosong ke depan. Dalam benaknya sedang memutar-mutar memori usang yang telah lama dia lupakan, tapi dengan cepat memori itu muncul kembali. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Yani memiliki tanda lahir yang sama persis dengan yang dimiliki oleh Astri? Astir istrinya, yang seharusnya sudah meninggal belasan tahun silam. Dia yakin itu, karena dia melihat sendiri jasad Astri yang begitu mengenaskan. Dia melihat sendiri bagaimana Astri dimakamkan.

Tapi kenapa? Kenapa bisa seperti itu? Marto kembali teringat, saat dia pernah menatap mata Yani untuk pertama kalinya beberapa tahun yang lalu, dia seolah sedang menatap Astri. Sepasang mata itu sama persis dengan mata Astri. Dan kini, tanda lahir itu, kenapa bisa sama persis? Apakah mungkin mereka adalah orang yang sama?

Tapi tidak mungkin, Astri sudah meninggal. Tapi, Yani. Ah kenapa bisa begini? Tunggu dulu. Astri. Yani. Astri. Yani. Astri. Yani. Bukankah nama istrinya itu adalah, Astri Setyani. Apakah mungkin? Mungkinkah mereka adalah orang yang sama? Jika Yani adalah Astri, lalu siapa Astri yang dulu meninggal itu? Tapi kalau Yani dan Astri adalah orang yang berbeda, lalu siapa Yani yang sebenarnya?

Rio! Tadi Yani menghubungi, atau dihubungi oleh Rio. Apakah jangan-jangan, Rio tahu sesuatu tentang ini? Tapi kalau Rio tahu, kenapa tak memberi tahunya? Padahal saat itu, Riolah yang bersamanya saat melihat jasad Astri. Aah bangsaaaat! Marto memukul mukul kepalanya. Ada apa ini sebenarnya? Siapa? Siapa sebenarnya kaliaaan???

*****​

Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian dimana Marto melihat tubuh telanjang Yani. Bukan, bukan tubuh telanjangnya, tapi tanda lahir yang dimiliki Yani. Sejak saat itu muncul kecanggungan dari keduanya, tapi tak sampai terlihat oleh orang-orang di rumahnya karena mereka sebisa mungkin bersikap sewajarnya. Namun sampai sekarang Marto belum juga mempertanyakan apapun kepada Yani, baik ponsel yang dimiliki Yani, komunikasi Yani dengan Rio, juga mengenai tanda lahir di tubuh Yani.

Di tempat kerja pun Marto lebih banyak diam dan merenung. Pikirannya bercabang kini, memikirkan bagaimana untuk melindungi keluarganya, dan memikirkan siapa Yani yang sebenarnya. Beruntung disaat-saat seperti itu anak buahnya tak ada yang sampai mengganggu dirinya. Sepertinya mereka bisa melihat bahwa boss mereka ini sedang menghadapi persoalan yang berat. Untung juga semua hal di tempat kerjanya ini bisa ditangani dengan baik oleh Agus dan teman-temannya.

Malam ini, sudah satu jam sejak mereka tutup, namun Marto masih bertahan di meja kerjanya. Belum berniat pulang, karena jika pulang pikirannya akan semakin bertambah setiap melihat Yani. Dia harus memastikan siapa Yani yang sebenarnya, tapi dengan cara apa? Sementara Yani sudah benar-benar hilang ingatan. Bagaimana caranya menyembuhkan penyakit yang satu itu?

Tok tok tok

Pintu ruangan Marto diketuk oleh Agus. Tidak seperti sebelumnya yang langsung membentak dan mengagetkan Marto, Agus memilih untuk bersikap lebih sopan karena dia merasa Marto sedang dalam kondisi yang kurang menyenangkan untuk diajak bercanda.

"Ada apa Gus?"

"Itu Mas, ada yang nyari Mas Marto."

"Siapa?"

"Nggak tahu Mas nggak kenal aku. Cewek Mas."

"Cewek? Cewek yang kemarin itu?"

"Bukan Mas, beda lagi ini. Lagi nunggu di kursi tamu dia."

"Yaudah kalau gitu. Yang lain udah pulang?"

"Udah Mas, sekalian aku ijin pulang ya? Mas Marto bawa kunci kan?"

"Iya, yaudah kamu pulang dulu aja, tinggal pintu depan kan?"

"Iya Mas."

Aguspun berlalu, pulang menyusul teman-temannya. Sementara itu Marto membereskan barang-barangnya, kemudian menemui tamunya sebelum menyusul pulang. Siapa lagi ini yang datang, bukan cewek yang kemarin. Kenapa juga sih kok hobinya dateng malem-malem begini, keluh Marto dalam hatinya.

"Hai, lama tak jumpa," sapa wanita itu ketika Marto sudah berada di depannya.

"Loh, Beti?" Marto terkejut mengetahui bahwa yang menemuinya adalah Beti.

"Iya, siapa lagi? Ini aku, Beti, istri Ramon, orang yang kamu bunuh, iya kan?"

Marto terkejut mendengar itu. Mendadak dirinya tersadar, bisa saja situasi ini akan berubah menjadi sangat berbahaya pada dirinya. Dia pun mengambil sikap waspada. Namun Beti justru tersenyum melihat perubahan ekspresi di wajah Marto.

"Kamu tenang saja. Aku kemari bukan untuk balas dendam. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, dan waktuku tak banyak. Lagipula, suamiku memang sudah selayaknya mati, meskipun cara yang kamu ambil itu sedikit, kejam."

"Jadi, kamu mau bicara apa? Kenapa harus malam-malam gini? Dan apa kamu, datang sendiri?" Marto masih bersikap waspada meskipun aura Beti tidak menunjukkan gelagat yang buruk.

"Kamu nggak mempersilahkan tamumu untuk duduk? Tuan rumah macam apa kamu ini?"

"Eh. Iya maaf, silahkan duduk."

"Makasih. Sudah kubilang kan, aku kesini buat ngomongin sesuatu, nggak perlulah bersikap seperti itu."

"Bersikap waspada nggak ada salahnya kan? Kamu sama siapa Bet?"

"Yaah terserah kamu aja sih. Aku sendiri, maksudku, aku yakin aku sendiri."

"Maksudmu?"

"Ini semua ada hubungannya dengan apa yang mau aku ceritakan. Saat ini hanya ada 2 orang yang benar-benar aku percayai, salah satunya adalah kamu. Jadi aku minta buang dulu semua kecurigaanmu kepadaku, karena masalah ini bukan masalah sepele."

Beti mulai menceritakan maksud kedatangannya menemui Marto. Berkali-kali Marto dibuat terkejut dan menggelengkan kepalanya. Marto lebih banyak diam mendengarkan Beti. Banyak hal yang menurutnya janggal, dia juga tidak tahu harus mempercayai Beti atau tidak, tapi paling tidak dari cerita Beti, alur rencana Marto dari langkah awal ke selanjutnya semakin menemui titik terang. Kini hanya tinggal memastikan satu hal untuk melangkah ke tahap yang lebih jauh lagi.

"Itu semua yang ingin aku ceritakan padamu saat ini. Aku tahu kamu pasti sulit untuk mempercayaiku, tapi kamu juga perlu tahu, kalau semua yang aku ketahui sudah aku ceritakan ke kamu, tanpa dikurangi ataupun ditambahi, apa adanya," ujar Beti setelah lebih dari setengah jam mereka berbincang.

"Terus terang Bet, aku masih belum bisa percaya 100% sama kamu. Tapi paling nggak, ceritamu barusan udah ngasih aku gambaran untuk rencanaku selanjutnya."

"Jadi kamu sudah punya rencana sendiri?"

"Iya, tapi maaf, aku nggak bisa ngasih tahu ini ke kamu, ke siapapun."

"Bagus, itu justru lebih bagus. Semakin sedikit yang tahu, akan semakin lancar nantinya. Akupun tak peduli apa yang kamu rencanakan, yang jelas, aku juga ikut senang jika ini semua bisa membantumu."

"Yaudah, kalau gitu tetep seperti ini aja. Dan kamu juga harus tetap waspada Bet."

"Aku? Haha, justru kamu To, kamu yang harus sangat sangat waspada mulai dari sekarang. Kamu tahu orang yang akan kamu hadapi itu macam apa, belum lagi orang-orang di belakang mereka yang mungkin kamu belum mengenal dan mengetahui sepak terjangnya."

Beberapa saat kemudian keduanya menyudahi obrolan, lalu meninggalkan arena permainan milik Marto ini. Meski masih dengan pikiran yang bercabang, namun Marto merasa lebih lega karena tidak sedikit pertanyaan yang sempat menjadi ganjalan dalam rencananya kini semakin jelas. Waktunya sudah tak lama lagi, Marto harus bergegas mempersiapkan perlindungan untuk keluarganya. Dan yang lebih penting lagi, menyiapkan dirinya sendiri, baik itu secara fisik maupun mental.

Benar-benar sudah lama dia tidak merasakan hal seperti ini. Adrenalinnya terasa memompa lebih cepat dari biasanya. Antara ketakutan, kebimbangan serta keinginan untuk melindungi orang-orang yang dia sayangi. Dan akhirnya secara sadar dia memilih untuk menanamkan keinginan melindungi keluarganya itu di dalam dadanya.

Marto benar-benar berharap jika rencananya ini bisa berjalan dengan sangat baik karena dia tidak menyiapkan rencana cadangan. Pikirannya yang bercabang memikirkan tentang Yani membuatnya kurang bisa berpikir jernih tantang rencananya. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, mau tidak mau, siaap tidak siap, dia akan segera siap untuk menghadapi semua itu.

*****​


Sebastian


David McArthur


Steve McArthur


Dokter Lee

"Hohoho, selamat malam Bastian."

"Selamat malam Dokter Lee, bagaimana kabar anda?"

"Yah, seperti yang kamu lihat, masih segar bukan?"

"Ya ya, masih segar. Entah benar-benar segar atau hasil operasi, hahaha."

Tawa kedua orang itupun pecah, diikuti oleh beberapa orang lagi yang berada di ruangan itu. Bastian bersama dengan kakak beradik Steve dan David mendatangi orang yang dipanggil Dokter Lee itu di rumah yang memang sengaja disiapkan oleh Bastian untuk sang dokter. Dokter Lee, atau nama lengkapnya Lee Sung Eul, adalah orang yang dijemput oleh Steve dan David beberapa bulan silam atas perintah Bastian. Ada sedikit kejadian lucu yang selalu diingat oleh Dokter Lee setiap kali bertemu dengan kedua kakak beradik itu.

Steve dan David berada di terminal kedatangan internasional Bandara Soekarno Hatta dengan hanya berbekal foto yang diberikan oleh Bastian. Hari ini mereka bertugas menjemput seseorang yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Seorang Dokter yang berasal dari Korea Selatan.

Setelah beberapa kali memperhatikan tiap-tiap penumpang yang keluar, akhirnya mereka melihat seseorang yang mirip sekali dengan yang di foto. Usianya belum terlalu tua, mungkin kira-kira seusia dengan mereka. Saat keluar dari terminal orang itu langsung dihampiri oleh Steve dan David.

"Dokter Lee?" tanya David saat mereka sudah berpapasan, dan sang dokter hanya mengangguk saja.

"My name is David, and this is my brother Steve. Mr Bastian told us to pick you," David melanjutkan memperkenalkan diri dan juga menyebutkan tujuannya kemari, namun sang dokter hanya terlihat melongo, seperti tidak memahami ucapan David, yang membuat kedua kakak beradik itu juga bingung.

"Annyeonghaseyo. Dangsin-eun mueos e daehan iyagi?" ucap Dokter Lee, yang kini berbalik membuat David dan Steve melongo.

"Hey bro, what's he talking about?" tanya Steve menatap David.

"I don't know, I can't speak Korean," jawab David yang kini semakin bingung bagaimana harus bicara dengan dokter dari Korea ini.

"Halah, kalian ini bikin bingung saja. Yaudah ayo kita pergi, aku sudah lapar ini," tiba-tiba saja dengan sangat fasih Dokter Lee bicara dengan bahasa Indonesia, membuat Steve dan David kembali melongo.

"Lho dokter bisa bahasa Indonesia?" tanya David.

"Ya bisalah, saya ini orang asli Indonesia."

Begitulah pertemuan awal mereka. Sesampainya di apartemen Bastian kedua kakak beradik ini mengamuk, karena tentu saja malu dengan kejadian di bandara tadi. Bastian yang mendengar cerita itu malah tertawa terbahak-bahak, dia tidak menyangka kalau Dokter Lee sejahil itu mengerjai kedua anak buahnya.

"Geulaeseo, deibideu wa seutibeu, dangsin-eun jigeum hangug-eo leul malhal su issseubnikka? (Jadi, David dan Steve, kalian sudah bisa bahasa Korea sekarang?)" tanya Dokter Lee sambil menatap ke arah David dan Steve.

"Ne, jogeum, (Ya, sedikit)" jawab Steve.

Bastian hanya tertawa saja mendengarnya. Dia kembali teringat cerita mereka di bandara beberapa bulan yang lalu. Dia sendiri tak mengira kalau Steve dan David tidak bisa bahasa Korea, karena sepengetahuannya, sebagai mantan pasukan elit mereka berdua menguasai banyak bahasa, namun ternyata bahasa Korea menjadi pengecualian.

Setelah puas bercanda, merekapun mulai membahas hal yang sedikit lebih serius, yaitu hasil pekerjaan yang dilakukan oleh Dokter Lee selama beberapa bulan ini di salah satu daerah di bagian timur Indonesia.

"Jadi Dok, apa yang kemarin itu sudah beres?" tanya Bastian memulai pembicaraan mereka.

"Sudah, sesuai permintaan. Memang waktunya sedikit molor karena kesulitan mencari orang yang suaranya sama, tapi beruntung kami bisa menemukannya. Sekarang tugasku sudah selesai, tinggal tugas kalian bagaimana melatih orang itu," jawab Dokter Lee dengan lugas.

"Apakah hasil operasinya terlihat sempurna?"

"Kamu masih mempertanyakan kemampuanku Bas? Kamu pikir apa kerjaku di Korea sana? Kamu juga sudah melihat hasilnya sendiri kan? Setelah belasan tahun, apakah ada masalah dengan hasil kerjaku itu?"

"Hahaha, tentu saja tidak Dok, saya sangat percaya pada anda. Hasil pekerjaan anda yang dulu memang luar biasa, sampai sekarang terlihat begitu alami, seperti bukan hasil operasi. Dan lagi, bukan hanya itu, bahkan anda juga bisa membuat sebuah tanda lahir yang sangat mirip dengan aslinya, hahaha."

*****​

to be continue...​
 
Terakhir diubah:
update done! :hore:


di bagian terakhir saya pakai beberapa kalimat bahasa Korea yg ditulis berdasarkan pencerahan dari mbah gugel translete, jika kata2nya salah dan ada yang tau kata2 yang lebih benar mohon berikan masukan, makasih :ampun:
 
Wow ada penyusup di Rumah Marto
Makin seru aja nih.
Tapi inget Ara jangan diapa-apain lho
 
Akhirnya update juga om alan... Izin :baca: dulu ya... Komengnya belakangan... Habis ngelonin nadya duyu...
 
Berarti bener-bener mati istri nya marto... Dan fitri memang dari awal disusupkan untuk mengawasi marto yg tangannya dipake buat beresin ortunya bastian sendiri... Hmmmm
 
Bimabet
Berarti bener-bener mati istri nya marto... Dan fitri memang dari awal disusupkan untuk mengawasi marto yg tangannya dipake buat beresin ortunya bastian sendiri... Hmmmm

Hehehe gitu yaa suhu? :pandaketawa:


Tenang aja, perjalanan masih panjang, entat ketemu jawabannya kok :pandajahat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd