Episode 18
Pejuang Kembar
POV Laras
Gue bisa mendengar bunyi-bunyi hewan malam udah menggema di hutan ini. Gue bisa melihat bintang-bintang udah berkelip di langit. Gue bisa merasakan hawa dingin berhembus menerpa tengkuk.
Sekarang udah malam dan kami masih terus digiring memutari Bukit Biru ini. Orang sini seringnya menyebut Blue Mountain. Padahal, tinggi 1000 meter aja nggak sampai. Tapi, biarlah, Blue Mountain lebih terkenal dari Bukit Biru bikin-bikinan Pur.
“Tunggu, please, saya haus.” Erwan terjatuh.
“Jalan!” Gebuk seorang pasukan pemberontak.
“Rosi... Please.” Pinta Erwan.
Kami semua menunggu jawaban Rosi, termasuk saudaranya sendiri yang sama-sama berkuda. berkat mereka berdualah sekarang kami menjadi tahanan begini. Anak buahnya yang
“Kita berhenti. Lima menit.” Seru rosi kepada pasukannya.
Minumlah Erwan dari air pemberian perempuan bersorban. Kemudian, perempuan itu menghampiri Rosi dan berbincang sebentar. Gue rasa biasa-biasa aja perbincangan itu. Jadi, gak perlu nguping. Toh, kami juga gak dalam keadaan terancam, misalnya dirantai dan dipasung.
Dani dan Hari juga sudah kelelahan dari tadi, tapi gak selelah Erwan. Bedanya, Dani lebih banyak mengeluh soal gerah dan gatal. Tentu aja, kita udah 5 jam memutari hutan. Erna sendiri tampak punya fisik dan mental yang lebih kuat soal berjalan di dalam hutan.
Pur lebih banyak diam. Dia mulai punya dendam kesumat sama Rosi.
“Biasa masuk hutan?” Tanya gue ke Erna.
“Ya, begitulah.” Jawabnya.
“Keliatan.” Gue tersenyum tipis.
Gak banyak yang gue bicarain sama Erna. Dia tampak masih gak bisa menerima kami sebagai anak-anak Loki. Bukan salahnya juga. Loki memang pernah menyebabkan kehancuran di Midgard beberapa kali. sehingga dia takut itu terjadi di Indonesia.
Lima menit kemudian, kami kembali berjalan menyusuri gelapnya hutan. Hanya segelintir orang yang memegang pencahayaan, mulai dari senter sampai obor. Itulah yang membuat gue bertanya-tanya bareng Pur. Ngapain juga bawa obor selagi ada senter.
“Welcome.” Begitu kata Rosi.
Kami melihat perkemahan ala tenda-tenda sirkus setelah memutari bukit terakhir. Katanya, di sinilah kami akan menginap. Sayangnya, kami gak paham menginap dengan cara seperti apa. Tahanan ataukah tamu.
Sesampainya di sana, kami dibawa menuju tenda paling besar. Letaknya di tengah-tengah banyak tenda lain yang tak kalah tinggi. Jangan salah, tenda-tenda ini bukanlah tenda dome untuk naik gunung. Bagi orang Midgard, tenda-tenda ini lebih mirip seperti tenda pleton.
Gue sempat mengintip, di dalam tenda besar sana banyak barang-barang keperluan cewek. Berantakan.
“Sorry masih berantakan. Tunggu di luar dulu.” Rosi buru-buru menutup tendanya.
Si perempuan bersorban itu menghela nafas panjang.
Cukup lama kami menunggu di luar. Bahkan, kami disuguhkan minuman hangat beberapa kali karena gelas-gelas kami cepat sekali kosong. Kosong karena diminum akibat udara dingin. Dani dan Erwan bahkan udah habis 4 gelas.
Seterusnya, kami dipersilahkan masuk. Kini kami sudah tanpa pengawalan. Entah apa kami statusnya apa sekarang. Kami mulai berbisik-bisik tentang kondisi kami sekarang. Erwan berbisik dengan adiknya. Dani berbisik dengan Hari. Gue berbisik dengan Pur. Sekali Pur juga nyoba berbisik dengan Erna yang gak ditanggapi apa-apa.
“Silahkan duduk.” Rosi menyuruh kami duduk di depan meja bundar.
Formasi duduknya bebas. kata Rosi. Gue memilih dekat-dekat dengan Pur, lalu di sisi lain ada Dani. Di sebelah Dani ada Erna, lalu nyambung ke Erwan, Rosi, si perempuan bersorban, Hari, Pur, lalu gue lagi.
Mata gue beberapa kali berputar ke penjuru ruangan. Ada dua kasur lipat di sebelah kiri, dua tas carrier besar, dua meja rias. Semuanya serba dua. Terakhir, mata gue terpasung ke pembuka pembicaraan karena diminta perhatian.
Perkenalan adalah hal pertama yang dilakukan dalam formalitas ini. Mungkin cuma buat basa-basi, mungkin juga penting. Entahlah.
“Sebelumnya, nama saya Julia.” Sapa si perempuan bersorban.
Julia
Gue dan Pur sering mendengar nama Julia dan Rosi sebagai saudara kembar dari pasukan pemberontak. Dugaan kami soal mereka pun sudah muncul sejak pertama kali kami bertemu muka tadi siang. Tapi, mendengar secara langsung terasa lebih baik.
“Dia, mungkin kalian udah kenal...” Tunjuk Julia kepada Rosi.
“Kenal banget.” Timpal Pur.
Gue menginjak Pur.
“Rosi namanya. Adik kembar saya.” Lanjut Julia.
Erwan terus aja menunduk. Sesekali dia mencuri pandang ke Rosi. Rosinya sendiri cuek-cuek aja. Iba juga gue lama-lama sama Erwan.
“Kami berdua pemimpin dari apa yang kalian kenal sebagai pemberontak.” Kata Julia lagi.
Ya, gue dan Pur udah tau itu. Tapi penjelasan ini masih hal penting buat orang-orang di sekeliling gue. Julia menjelaskan apa itu pemberontakan, dan ujung-ujungnya penjelasan mengenai perang saudara.
Seperti yang gue duga. Perang ini sama-sama aja kaya perang yang udah gue lalui bareng Pur. Perang perebutan kekuasaan ketika pemimpin terdahulu mangkat. Dalam kasus ini, tahta Raja Frey yang diperebutkan.
Pihak mereka terlambat menemukan surat kuasa Raja Frey hingga saat pengangkatan Ratu Elga. Surat kuasa itu gak lagi berlaku karena Ratu Elga menetapkan banyak peraturan baru yang sifatnya otoriter. Pasukan setia Frey pun mencium adanya pengkhianatan atas raja, lalu mereka semua keluar dari istana.
Raja Odin, entah di mana, berkali-kali mengutus gagaknya ke pihak pemberontak dengan memberi dukungan dan sumber daya. Salah satunya adalah kumpulan rune milik Odin yang diberikan kepada Julia. Si kembar, sebagai penyihir kerajaan, punya kapabilitas menggunakan rune itu untuk mempercepat pergerakan mereka.
“Jadi rune itu sebenernya gak dicuri?” Potong gue.
“Info dari mana?” Tanya balik Julia.
“Istana.” Jawab gue.
“Oh. Oke.”
Julia memberi isyarat memaklumi. Dia melanjutkan ceritanya. Dari salah satu ramalan rune, pihak pemberontak bisa dan harus meminta bantuan dari Midgard kalau mau menang. harus bantuan dari Midgrad karena ramalannya begitu. Gak bisa dari dunia yang lain. Selain itu, kerajaan Asgrad memang sedang sibuk-sibuknya mengurusi Ragnarok.
Sayangnya, petunjuk dari rune yang ada sangat sedikit. Rosi, yang memiliki kelebihan hasut menghasut juga harus datang sendiri ke Midgrad mencari-cari bala bantuan dari orang yang tepat. Lalu, sampailah cerita bagaimana Rosi bertemu Alan. Orang yang salah.
“Gimana caranya Rosi bebas dari Asgrad?” Tanya Pur.
“Untungnya kalian ngirim Rosi ke Asgrad.” Julia menunjuk kami.
Ternyata ada beberapa pihak di Asgard yang mengetahui konspirasi ini, termasuk komandan kami. Oleh karena itu juga, kami berhenti dikabari sejak tiba di Vanaheim. Katanya, itu krusial untuk menghindari kecurigaan keberpihakan Asgard.
Jadi, simpel aja, Rosi dibebaskan dari Asgrad tanpa syarat. Dia kembali ke Vanaheim dan bergabung kembali dengan pihak pemberontak. Asgard cukup melaporkan bahwa Rosi kabur di tengah jalan saat masa pengiriman tahanan.
“So, kalo sampai Asgard berpihak...” Gue bergumam.
“Artinya kelompok ini yang benar.” Potong Pur.
"Dan kita harus bantu, ya kan?” Sambung gue lagi.
“Bantu banget.” Timpal Pur.
“Wait! Wait!” Hari memotong.
Hari membicarakan tentang rencana kepulangan mereka. Mereka sedari siang tadi harusnya udah kembali ke Midgard. Mereka memiliki hal lebih penting, katanya. Banyak kericuhan yang terjadi di sana. Hari juga sampai menyebutkan secara spesifik organisasi A.T.C.U., Hammer tech, hingga Roxxon yang sedang saling berseteru.
Erna juga angkat bicara bahwa mereka gak ada urusan dengan dunia lain. Dunia Vanaheim ini. Kedatangan mereka ke sini merupakan kecelakaan gara-gara mengintili Erwan. Kakaknya Erna itu masih mengharapkan jawaban atas kekasihnya, Rosi, yang kini duduk berselebahan tanpa sedikitpun ada interaksi.
“Sayangya, kepulangan kalian harus ditunda.” Julia menyimpulkan jari-jarinya.
“Kami sekarang tahanan?” Tanya Hari.
“Lebih berharga dari itu.” Kata Julia lagi.
“Apa?”
“Kalian harus bantu kami.” Julia menajamkan pandanganya ke Hari
Hening sepersekian detik.
“BULLSHIT! ”Hari menggebrak meja dengan kedua tangannya.
Terjadilah perdebatan antara Hari dan Julia. Hari menanggapinya dengan emosi, sedangkan Julia justru sangat tenang. Aura kepemimpinannya sangat kuat sekali. Dani bahkan sampai harus menahan acungan tangan Hari yang berkali-kali menunjuk Julia dan arah-arah lain yang sembarang.
Kalau kemarin-kemarin Erna yang meledak, sekarang Hari yang meledak.
Kami para einherjar terlatih membaca emosi lawan saat pertempuran. Jadi, wajar kalau kami mirip semacam psikolog. Wajar kalau Pur bisa menghakimi Erna yang kecewa sama dirinya sendiri. Gue pun wajar bisa menghakimi kalau Hari sekarang menyimpan dendam kepada lawan-lawannya di Midgard sana. Dia pasti ingin menuntaskan kematian ibu dan adiknya dengan menghabisi Hammer tech dan Roxxon.
“Rune meramalkan....” Julia menjelaskan.
“Fuck that rune! Gue mau pulang!” Teriak Hari lagi.
Hari keluar dari tenda, disusul Dani dan Erna.
Julia mengusap keningnya. Gue bisa melihat raut-raut kelelahan di mukanya. Memimpin perang bukanlah hal yang mudah. Gak seperti si ratu itu yang sembarangan memberi perintah. Mengirim cuma 15 orang ke Hutan Tepi Barat? Jadilah kami duduk di meja bundar ini.
Si Ratu memang sembarangan. Dia cuma seorang politisi yang pintar mencari celah dalam perebutan kekuasaan. Tapi, dia punya panglima yang lumayan hebat dalam perang ini. Dialah yang menunda pasukan pemberontak masuk sampai Kraun selama berhari-hari, berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun. Dan, mereka tentunya punya teknologi.
Erwan melihat Rosi sebentar dengan tatapan yang tajam dan penuh keprihatinan, lalu dia akhirnya ikut keluar tenda menyusul kawan-kawan Midgardnya.
Tak disangka, Rosi menyusul.
---
POV Rosi
“Lewat sini!”
Aku menarik Erwan di antara kerumunan prajurit yang seliweran.
Aku merangsek ke dalam salah satu tenda ukuran kecil di pinggiran. Erwan kutarik juga ke dalam. Di sini sepi, cocok untuk membicarakan hal-hal pribadi. Apalagi setelah resleting tendanya kutarik naik hingga tertutup rapat.
“Kamu marah?” Tanyaku.
“Aku butuh jawaban.” Jawab Erwan.
“Oke, aku jawab semua sekarang.”
Erwan mulai menyecar banyak pertanyaan mengenai kehidupanku yang asli. Bukan kebohongan yang kuceritakan di awal masa pendekatan dulu.. Kujawablah semuanya, bahwa aku bukan orang Midgard, bukan orang Indonesia, bukan semua yang dikira Erwan. Aku berbohong soal mencintainya. Aku cuma mencari-cari keperluan perang saudara yang kami lalui di sini.
“You fucked with him!” Erwan lantang.
Pastilah Pur yang dimaksud Erwan.
“Aku ml sama siapa aja demi keperluanku. Sama Alan, sama Purnawarman itu,... sama kamu.”
“BUAT APA??!” Erwan semakin getir bersuara.
Erwan pikir aku jatuh dalam cintanya. Dia pikir kami bisa menikah dan punya dua anak. Dia pikir aku bisa luluh diceritakan begitu. Dia gak sampai berpikir aku bukanlah wanita lemah yang mudah dibuat gamang dengan hal-hal sentimentil. Dia gak berpikir aku adalah prajurit, tangan kanan Raja Frey yang sekarang hilang.
Aku sampai juga menjelaskan keperluanku dengan Alan waktu dulu itu. Kemudian keperluanku dengan Pur yang seharusnya justru harusnya kabur dari dia. Favor sialan, obat-obat spesial Einherjar itu.
“Terus, apa pentingnya kamu deketin aku?” Erwan melemah, bergetar suaranya.
Ya ampun, cowok gak perlu nangis lah.
“Ini soal ramalan itu.” Jawab gue.
Erwan gak peduli. Dia berbalik badan. Dia menutup matanya dan mulai menangis. Aku menghelas nafas. Kemudian, kuambil dua gelas minuman dingin rasa-rasa yang kebetulan ada di atas meja, di sudut tenda.
“Minum dulu.” Aku menyodorkan satu gelas.
Erwan menerima gelasku tanpa menjawab. Jadilah kami duduk di atas masing-masing kursi tanpa interaksi. Selesai Erwan menangis, yang mana itu lama banget, barulah kami bicara secara logis.
“Ramalan apa maksudnya?” Tanya Erwan.
“Ramalan yang tadi dibilang Julia.” Jelasku.
“Soal mereka gak boleh pulang dulu?” Tanya Erwan sekali lagi.
“Iya, itu.”
Kujelaskan singkat bahwa ramalan terbaru telah mengatakan bahwa penolong kami sudah berada di Vanaheim. Siapa lagi kan orang Midgard yang sedang berada di Vanaheim selain mereka berempat. Selain itu, ramalan kali ini menyebutkan lebih spesifik bahwa penolong kami nanti merupakan ras campuran.
“Aku?” Tunjuk Erwan ke mukanya sendiri.
“Gak usah mimpi.” Kataku.
“Ya terus siapa lagi?” Erwan mulai tertawa.
“Di antara mereka. Inhuman.” Kataku.
Erwan tersedak minumannya.
“Siapa?” Erwan bertanya lagi
“Mungkin Hari, mungin Erna.”
“ERNA?!”
Erwan pasti gak menyangka bahwa adiknya sendiri adalah inhuman. Adiknya punya ras alien. Dia pun mendadak geli dengan dirinya sendiri. Dia beranggapan mungkin dirinya juga berupa alien, yang dari dulu ditakut-takutkan karena disetarakan dengan hantu.
"Ah, yang bener?" Erwan pusing sendiri.
“Tanya sendiri nanti sama orangnya.” Jawabku.
Sejenak kemudian, Erwan kemudian kembali serius. Dia bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya di dunia ini dan di antara kami berdua.
Kujelaskan prediksi kami tentang peperangan ini bahwa besok atau lusa, mungkin kami akan merangsek menuju jalur selatan. Jalur itu akan kami putus setelah kemarin jalur barat dan barat daya. Jalur-jalur tersebut sangat berguna bagi mereka karena banyak sekali mengirimkan suplai makanan dan sumber daya dari desa-desa ke kota Kraun.
Kemudian, kami akhirnya akan menginvasi kota dan menyebarkan propaganda mengenai surat kuasa Raja Frey yang sebenarnya.
“Adik gue ikut?” Tanya Erwan terus.
“Mereka berdua harus ikut.” Gue menuangkan minum lagi
“Caranya?”
“Itu yang belum kita tau.” Gue minum lagi.
Erwan menghela nafas. Dia bertanya-tanya mengenai jangka waktu mereka akan tinggal di sini. Erwan gak boleh terlalu lama berdiam di sini karena dia punya bisnis yang harus diurus.
Aku perlahan terlarut dalam cerita tentang rencana hidupnya. Harusnya gak boleh. Entah bagaimana tahapnya, ceritanya kali ini terasa lebih tulus dan gak terasa dipaksakan. Dia pun lebih halus dibanding ceritanya tadi yang dilakukan sambil menangis-nangis getir.
“Artinya kita.. goodbye kan?” Erwan menatap langit-langit.
“Kamu mau apa nanti?” Tanyaku.
“Cari istri kali, hehe.” Tawanya pahit.
Aku menatapnya dalam-dalam, berharap semoga rencana hidupnya sukses. Kudekatkan wajahku, kuberikan kecupan terindah, sekali lagi, sebelum Erwan kembali ke Midgard. Erwan membalasnya dengan lembut pula. Bibir kami kemudian saling melumat dengan basahnya.
Tanpa bicara lagi, tubuhku dan tubuhnya setuju untuk menjalin kenikmatan sesaat. Malam ini, di punggung gunung Blue Mountain, dan di tengah suhu dingin. Aku melepaskan pakaian serba putihku dan Erwan melepaskan kaos serta celana jeansnya. Kami berguling di atas pembaringan. Kami saling meraba-raba permukaan kulit leher, payudara, dan selangkangan.
“Try me, Erwan.” Nafsuku sudah di ubun-ubun.
Erwan dengan senang hati menghujamkan penisnya keras-keras, sementara aku menangkang. Lama penisnya menerobos masuk dan dalam, lalu hanya sebentar dimundurkan. Hujamannya membuatku sekarang harus mendesah-desah meledakkan gairah. Karena kalau suaraku ditahan nanti kurang terasa nikmatnya.
Aku hanya peduli dengan Erwan untuk malam ini. Aku tidak peduli di luar ada siapa. Tak perlu lah dipikirkan apa-apa lagi, karena sekarang lubang vaginaku sudah banjir dan meleleh sampai ke lubang anus.
“Rosi, I love you… ahhhh..” Racau Erwan.
Aku tak mau membalasnya karena nanti terkesan memberi harapan. Aku cuma harus mengantarkan dirinya hingga puncak kenikmatan. Puncak satu, puncak dua, dan puncak-puncak seterusnya kalau kami masih kuat. Atau sampai Julia mencariku karena sudah pagi.
Erwan memintaku menungging. Kuturuti maunya. Posisi apa pun buatku juga pasti enak. Apalagi ini Erwan yang melakukan sambil memberikan cintanya sampai habis. Supaya tidak disisakan lagi setelah sampai Midgard.
“Aku. ahh.. boleh keluar?? Ahhh…” Tanyanya.
“Ngghh.. Tungguu..” Jawabku.
Kusuruh Erwan berbaring supaya dia bisa melihatku bermain secara aktif.
Kini, mulutku yang bermain di penisnya sambil kutatap matanya lekat-lekat. Kubasahi kepala penisnya sambil lidahku membuka-buka lubang kencingnya. Lalu, kuberikan seluruh lubang mulutku untuk bisa dia masukkan penisnya secara utuh. Beberapa kali kulakukan itu bergantian sampai Erwan melenguh keras.
“ROS! Aku mau keluarhh… aaahh….”
Kukocok penisnya cepat-cepat. Mukaku kutempelkan dengan penisnya yang sudah berkedut. Muncratlah spermanya cukup tinggi untuk membasahi muka sampai poniku. Kemudian lengket.
“Ross… ahhh…” Suara Erwan melemah.
“Puas?” Tanyaku nakal.
“Makasih ya.”
Aku membasuh mukaku dengan kain. Kemudian, aku berbaring di sebelah Erwan sampai dia tidur atau meminta ronde kedua. Malam ini akulah miliknya.
BERSAMBUNG