Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar


Episode 18
Pejuang Kembar


POV Laras

Gue bisa mendengar bunyi-bunyi hewan malam udah menggema di hutan ini. Gue bisa melihat bintang-bintang udah berkelip di langit. Gue bisa merasakan hawa dingin berhembus menerpa tengkuk.

Sekarang udah malam dan kami masih terus digiring memutari Bukit Biru ini. Orang sini seringnya menyebut Blue Mountain. Padahal, tinggi 1000 meter aja nggak sampai. Tapi, biarlah, Blue Mountain lebih terkenal dari Bukit Biru bikin-bikinan Pur.

“Tunggu, please, saya haus.” Erwan terjatuh.
“Jalan!” Gebuk seorang pasukan pemberontak.
“Rosi... Please.” Pinta Erwan.

Kami semua menunggu jawaban Rosi, termasuk saudaranya sendiri yang sama-sama berkuda. berkat mereka berdualah sekarang kami menjadi tahanan begini. Anak buahnya yang

“Kita berhenti. Lima menit.” Seru rosi kepada pasukannya.

Minumlah Erwan dari air pemberian perempuan bersorban. Kemudian, perempuan itu menghampiri Rosi dan berbincang sebentar. Gue rasa biasa-biasa aja perbincangan itu. Jadi, gak perlu nguping. Toh, kami juga gak dalam keadaan terancam, misalnya dirantai dan dipasung.

Dani dan Hari juga sudah kelelahan dari tadi, tapi gak selelah Erwan. Bedanya, Dani lebih banyak mengeluh soal gerah dan gatal. Tentu aja, kita udah 5 jam memutari hutan. Erna sendiri tampak punya fisik dan mental yang lebih kuat soal berjalan di dalam hutan.

Pur lebih banyak diam. Dia mulai punya dendam kesumat sama Rosi.

“Biasa masuk hutan?” Tanya gue ke Erna.
“Ya, begitulah.” Jawabnya.
“Keliatan.” Gue tersenyum tipis.

Gak banyak yang gue bicarain sama Erna. Dia tampak masih gak bisa menerima kami sebagai anak-anak Loki. Bukan salahnya juga. Loki memang pernah menyebabkan kehancuran di Midgard beberapa kali. sehingga dia takut itu terjadi di Indonesia.

Lima menit kemudian, kami kembali berjalan menyusuri gelapnya hutan. Hanya segelintir orang yang memegang pencahayaan, mulai dari senter sampai obor. Itulah yang membuat gue bertanya-tanya bareng Pur. Ngapain juga bawa obor selagi ada senter.

“Welcome.” Begitu kata Rosi.

Kami melihat perkemahan ala tenda-tenda sirkus setelah memutari bukit terakhir. Katanya, di sinilah kami akan menginap. Sayangnya, kami gak paham menginap dengan cara seperti apa. Tahanan ataukah tamu.

Sesampainya di sana, kami dibawa menuju tenda paling besar. Letaknya di tengah-tengah banyak tenda lain yang tak kalah tinggi. Jangan salah, tenda-tenda ini bukanlah tenda dome untuk naik gunung. Bagi orang Midgard, tenda-tenda ini lebih mirip seperti tenda pleton.

Gue sempat mengintip, di dalam tenda besar sana banyak barang-barang keperluan cewek. Berantakan.

“Sorry masih berantakan. Tunggu di luar dulu.” Rosi buru-buru menutup tendanya.

Si perempuan bersorban itu menghela nafas panjang.

Cukup lama kami menunggu di luar. Bahkan, kami disuguhkan minuman hangat beberapa kali karena gelas-gelas kami cepat sekali kosong. Kosong karena diminum akibat udara dingin. Dani dan Erwan bahkan udah habis 4 gelas.

Seterusnya, kami dipersilahkan masuk. Kini kami sudah tanpa pengawalan. Entah apa kami statusnya apa sekarang. Kami mulai berbisik-bisik tentang kondisi kami sekarang. Erwan berbisik dengan adiknya. Dani berbisik dengan Hari. Gue berbisik dengan Pur. Sekali Pur juga nyoba berbisik dengan Erna yang gak ditanggapi apa-apa.

“Silahkan duduk.” Rosi menyuruh kami duduk di depan meja bundar.

Formasi duduknya bebas. kata Rosi. Gue memilih dekat-dekat dengan Pur, lalu di sisi lain ada Dani. Di sebelah Dani ada Erna, lalu nyambung ke Erwan, Rosi, si perempuan bersorban, Hari, Pur, lalu gue lagi.

Mata gue beberapa kali berputar ke penjuru ruangan. Ada dua kasur lipat di sebelah kiri, dua tas carrier besar, dua meja rias. Semuanya serba dua. Terakhir, mata gue terpasung ke pembuka pembicaraan karena diminta perhatian.

Perkenalan adalah hal pertama yang dilakukan dalam formalitas ini. Mungkin cuma buat basa-basi, mungkin juga penting. Entahlah.

“Sebelumnya, nama saya Julia.” Sapa si perempuan bersorban.


Julia

Gue dan Pur sering mendengar nama Julia dan Rosi sebagai saudara kembar dari pasukan pemberontak. Dugaan kami soal mereka pun sudah muncul sejak pertama kali kami bertemu muka tadi siang. Tapi, mendengar secara langsung terasa lebih baik.

“Dia, mungkin kalian udah kenal...” Tunjuk Julia kepada Rosi.
“Kenal banget.” Timpal Pur.

Gue menginjak Pur.

“Rosi namanya. Adik kembar saya.” Lanjut Julia.

Erwan terus aja menunduk. Sesekali dia mencuri pandang ke Rosi. Rosinya sendiri cuek-cuek aja. Iba juga gue lama-lama sama Erwan.

“Kami berdua pemimpin dari apa yang kalian kenal sebagai pemberontak.” Kata Julia lagi.

Ya, gue dan Pur udah tau itu. Tapi penjelasan ini masih hal penting buat orang-orang di sekeliling gue. Julia menjelaskan apa itu pemberontakan, dan ujung-ujungnya penjelasan mengenai perang saudara.

Seperti yang gue duga. Perang ini sama-sama aja kaya perang yang udah gue lalui bareng Pur. Perang perebutan kekuasaan ketika pemimpin terdahulu mangkat. Dalam kasus ini, tahta Raja Frey yang diperebutkan.

Pihak mereka terlambat menemukan surat kuasa Raja Frey hingga saat pengangkatan Ratu Elga. Surat kuasa itu gak lagi berlaku karena Ratu Elga menetapkan banyak peraturan baru yang sifatnya otoriter. Pasukan setia Frey pun mencium adanya pengkhianatan atas raja, lalu mereka semua keluar dari istana.

Raja Odin, entah di mana, berkali-kali mengutus gagaknya ke pihak pemberontak dengan memberi dukungan dan sumber daya. Salah satunya adalah kumpulan rune milik Odin yang diberikan kepada Julia. Si kembar, sebagai penyihir kerajaan, punya kapabilitas menggunakan rune itu untuk mempercepat pergerakan mereka.

“Jadi rune itu sebenernya gak dicuri?” Potong gue.
“Info dari mana?” Tanya balik Julia.
“Istana.” Jawab gue.
“Oh. Oke.”

Julia memberi isyarat memaklumi. Dia melanjutkan ceritanya. Dari salah satu ramalan rune, pihak pemberontak bisa dan harus meminta bantuan dari Midgard kalau mau menang. harus bantuan dari Midgrad karena ramalannya begitu. Gak bisa dari dunia yang lain. Selain itu, kerajaan Asgrad memang sedang sibuk-sibuknya mengurusi Ragnarok.

Sayangnya, petunjuk dari rune yang ada sangat sedikit. Rosi, yang memiliki kelebihan hasut menghasut juga harus datang sendiri ke Midgrad mencari-cari bala bantuan dari orang yang tepat. Lalu, sampailah cerita bagaimana Rosi bertemu Alan. Orang yang salah.

“Gimana caranya Rosi bebas dari Asgrad?” Tanya Pur.
“Untungnya kalian ngirim Rosi ke Asgrad.” Julia menunjuk kami.

Ternyata ada beberapa pihak di Asgard yang mengetahui konspirasi ini, termasuk komandan kami. Oleh karena itu juga, kami berhenti dikabari sejak tiba di Vanaheim. Katanya, itu krusial untuk menghindari kecurigaan keberpihakan Asgard.

Jadi, simpel aja, Rosi dibebaskan dari Asgrad tanpa syarat. Dia kembali ke Vanaheim dan bergabung kembali dengan pihak pemberontak. Asgard cukup melaporkan bahwa Rosi kabur di tengah jalan saat masa pengiriman tahanan.

“So, kalo sampai Asgard berpihak...” Gue bergumam.
“Artinya kelompok ini yang benar.” Potong Pur.
"Dan kita harus bantu, ya kan?” Sambung gue lagi.
“Bantu banget.” Timpal Pur.
“Wait! Wait!” Hari memotong.

Hari membicarakan tentang rencana kepulangan mereka. Mereka sedari siang tadi harusnya udah kembali ke Midgard. Mereka memiliki hal lebih penting, katanya. Banyak kericuhan yang terjadi di sana. Hari juga sampai menyebutkan secara spesifik organisasi A.T.C.U., Hammer tech, hingga Roxxon yang sedang saling berseteru.

Erna juga angkat bicara bahwa mereka gak ada urusan dengan dunia lain. Dunia Vanaheim ini. Kedatangan mereka ke sini merupakan kecelakaan gara-gara mengintili Erwan. Kakaknya Erna itu masih mengharapkan jawaban atas kekasihnya, Rosi, yang kini duduk berselebahan tanpa sedikitpun ada interaksi.

“Sayangya, kepulangan kalian harus ditunda.” Julia menyimpulkan jari-jarinya.
“Kami sekarang tahanan?” Tanya Hari.
“Lebih berharga dari itu.” Kata Julia lagi.
“Apa?”
“Kalian harus bantu kami.” Julia menajamkan pandanganya ke Hari

Hening sepersekian detik.

“BULLSHIT! ”Hari menggebrak meja dengan kedua tangannya.

Terjadilah perdebatan antara Hari dan Julia. Hari menanggapinya dengan emosi, sedangkan Julia justru sangat tenang. Aura kepemimpinannya sangat kuat sekali. Dani bahkan sampai harus menahan acungan tangan Hari yang berkali-kali menunjuk Julia dan arah-arah lain yang sembarang.

Kalau kemarin-kemarin Erna yang meledak, sekarang Hari yang meledak.

Kami para einherjar terlatih membaca emosi lawan saat pertempuran. Jadi, wajar kalau kami mirip semacam psikolog. Wajar kalau Pur bisa menghakimi Erna yang kecewa sama dirinya sendiri. Gue pun wajar bisa menghakimi kalau Hari sekarang menyimpan dendam kepada lawan-lawannya di Midgard sana. Dia pasti ingin menuntaskan kematian ibu dan adiknya dengan menghabisi Hammer tech dan Roxxon.

“Rune meramalkan....” Julia menjelaskan.
“Fuck that rune! Gue mau pulang!” Teriak Hari lagi.

Hari keluar dari tenda, disusul Dani dan Erna.

Julia mengusap keningnya. Gue bisa melihat raut-raut kelelahan di mukanya. Memimpin perang bukanlah hal yang mudah. Gak seperti si ratu itu yang sembarangan memberi perintah. Mengirim cuma 15 orang ke Hutan Tepi Barat? Jadilah kami duduk di meja bundar ini.

Si Ratu memang sembarangan. Dia cuma seorang politisi yang pintar mencari celah dalam perebutan kekuasaan. Tapi, dia punya panglima yang lumayan hebat dalam perang ini. Dialah yang menunda pasukan pemberontak masuk sampai Kraun selama berhari-hari, berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun. Dan, mereka tentunya punya teknologi.

Erwan melihat Rosi sebentar dengan tatapan yang tajam dan penuh keprihatinan, lalu dia akhirnya ikut keluar tenda menyusul kawan-kawan Midgardnya.

Tak disangka, Rosi menyusul.

---

POV Rosi

“Lewat sini!”

Aku menarik Erwan di antara kerumunan prajurit yang seliweran.

Aku merangsek ke dalam salah satu tenda ukuran kecil di pinggiran. Erwan kutarik juga ke dalam. Di sini sepi, cocok untuk membicarakan hal-hal pribadi. Apalagi setelah resleting tendanya kutarik naik hingga tertutup rapat.

“Kamu marah?” Tanyaku.
“Aku butuh jawaban.” Jawab Erwan.
“Oke, aku jawab semua sekarang.”

Erwan mulai menyecar banyak pertanyaan mengenai kehidupanku yang asli. Bukan kebohongan yang kuceritakan di awal masa pendekatan dulu.. Kujawablah semuanya, bahwa aku bukan orang Midgard, bukan orang Indonesia, bukan semua yang dikira Erwan. Aku berbohong soal mencintainya. Aku cuma mencari-cari keperluan perang saudara yang kami lalui di sini.

“You fucked with him!” Erwan lantang.

Pastilah Pur yang dimaksud Erwan.

“Aku ml sama siapa aja demi keperluanku. Sama Alan, sama Purnawarman itu,... sama kamu.”
“BUAT APA??!” Erwan semakin getir bersuara.

Erwan pikir aku jatuh dalam cintanya. Dia pikir kami bisa menikah dan punya dua anak. Dia pikir aku bisa luluh diceritakan begitu. Dia gak sampai berpikir aku bukanlah wanita lemah yang mudah dibuat gamang dengan hal-hal sentimentil. Dia gak berpikir aku adalah prajurit, tangan kanan Raja Frey yang sekarang hilang.

Aku sampai juga menjelaskan keperluanku dengan Alan waktu dulu itu. Kemudian keperluanku dengan Pur yang seharusnya justru harusnya kabur dari dia. Favor sialan, obat-obat spesial Einherjar itu.

“Terus, apa pentingnya kamu deketin aku?” Erwan melemah, bergetar suaranya.

Ya ampun, cowok gak perlu nangis lah.

“Ini soal ramalan itu.” Jawab gue.

Erwan gak peduli. Dia berbalik badan. Dia menutup matanya dan mulai menangis. Aku menghelas nafas. Kemudian, kuambil dua gelas minuman dingin rasa-rasa yang kebetulan ada di atas meja, di sudut tenda.

“Minum dulu.” Aku menyodorkan satu gelas.

Erwan menerima gelasku tanpa menjawab. Jadilah kami duduk di atas masing-masing kursi tanpa interaksi. Selesai Erwan menangis, yang mana itu lama banget, barulah kami bicara secara logis.

“Ramalan apa maksudnya?” Tanya Erwan.
“Ramalan yang tadi dibilang Julia.” Jelasku.
“Soal mereka gak boleh pulang dulu?” Tanya Erwan sekali lagi.
“Iya, itu.”

Kujelaskan singkat bahwa ramalan terbaru telah mengatakan bahwa penolong kami sudah berada di Vanaheim. Siapa lagi kan orang Midgard yang sedang berada di Vanaheim selain mereka berempat. Selain itu, ramalan kali ini menyebutkan lebih spesifik bahwa penolong kami nanti merupakan ras campuran.

“Aku?” Tunjuk Erwan ke mukanya sendiri.
“Gak usah mimpi.” Kataku.
“Ya terus siapa lagi?” Erwan mulai tertawa.
“Di antara mereka. Inhuman.” Kataku.

Erwan tersedak minumannya.

“Siapa?” Erwan bertanya lagi
“Mungkin Hari, mungin Erna.”
“ERNA?!”

Erwan pasti gak menyangka bahwa adiknya sendiri adalah inhuman. Adiknya punya ras alien. Dia pun mendadak geli dengan dirinya sendiri. Dia beranggapan mungkin dirinya juga berupa alien, yang dari dulu ditakut-takutkan karena disetarakan dengan hantu.

"Ah, yang bener?" Erwan pusing sendiri.
“Tanya sendiri nanti sama orangnya.” Jawabku.

Sejenak kemudian, Erwan kemudian kembali serius. Dia bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya di dunia ini dan di antara kami berdua.

Kujelaskan prediksi kami tentang peperangan ini bahwa besok atau lusa, mungkin kami akan merangsek menuju jalur selatan. Jalur itu akan kami putus setelah kemarin jalur barat dan barat daya. Jalur-jalur tersebut sangat berguna bagi mereka karena banyak sekali mengirimkan suplai makanan dan sumber daya dari desa-desa ke kota Kraun.

Kemudian, kami akhirnya akan menginvasi kota dan menyebarkan propaganda mengenai surat kuasa Raja Frey yang sebenarnya.

“Adik gue ikut?” Tanya Erwan terus.
“Mereka berdua harus ikut.” Gue menuangkan minum lagi
“Caranya?”
“Itu yang belum kita tau.” Gue minum lagi.

Erwan menghela nafas. Dia bertanya-tanya mengenai jangka waktu mereka akan tinggal di sini. Erwan gak boleh terlalu lama berdiam di sini karena dia punya bisnis yang harus diurus.

Aku perlahan terlarut dalam cerita tentang rencana hidupnya. Harusnya gak boleh. Entah bagaimana tahapnya, ceritanya kali ini terasa lebih tulus dan gak terasa dipaksakan. Dia pun lebih halus dibanding ceritanya tadi yang dilakukan sambil menangis-nangis getir.

“Artinya kita.. goodbye kan?” Erwan menatap langit-langit.
“Kamu mau apa nanti?” Tanyaku.
“Cari istri kali, hehe.” Tawanya pahit.

Aku menatapnya dalam-dalam, berharap semoga rencana hidupnya sukses. Kudekatkan wajahku, kuberikan kecupan terindah, sekali lagi, sebelum Erwan kembali ke Midgard. Erwan membalasnya dengan lembut pula. Bibir kami kemudian saling melumat dengan basahnya.

Tanpa bicara lagi, tubuhku dan tubuhnya setuju untuk menjalin kenikmatan sesaat. Malam ini, di punggung gunung Blue Mountain, dan di tengah suhu dingin. Aku melepaskan pakaian serba putihku dan Erwan melepaskan kaos serta celana jeansnya. Kami berguling di atas pembaringan. Kami saling meraba-raba permukaan kulit leher, payudara, dan selangkangan.

“Try me, Erwan.” Nafsuku sudah di ubun-ubun.

Erwan dengan senang hati menghujamkan penisnya keras-keras, sementara aku menangkang. Lama penisnya menerobos masuk dan dalam, lalu hanya sebentar dimundurkan. Hujamannya membuatku sekarang harus mendesah-desah meledakkan gairah. Karena kalau suaraku ditahan nanti kurang terasa nikmatnya.

Aku hanya peduli dengan Erwan untuk malam ini. Aku tidak peduli di luar ada siapa. Tak perlu lah dipikirkan apa-apa lagi, karena sekarang lubang vaginaku sudah banjir dan meleleh sampai ke lubang anus.

“Rosi, I love you… ahhhh..” Racau Erwan.

Aku tak mau membalasnya karena nanti terkesan memberi harapan. Aku cuma harus mengantarkan dirinya hingga puncak kenikmatan. Puncak satu, puncak dua, dan puncak-puncak seterusnya kalau kami masih kuat. Atau sampai Julia mencariku karena sudah pagi.

Erwan memintaku menungging. Kuturuti maunya. Posisi apa pun buatku juga pasti enak. Apalagi ini Erwan yang melakukan sambil memberikan cintanya sampai habis. Supaya tidak disisakan lagi setelah sampai Midgard.

“Aku. ahh.. boleh keluar?? Ahhh…” Tanyanya.
“Ngghh.. Tungguu..” Jawabku.

Kusuruh Erwan berbaring supaya dia bisa melihatku bermain secara aktif.

Kini, mulutku yang bermain di penisnya sambil kutatap matanya lekat-lekat. Kubasahi kepala penisnya sambil lidahku membuka-buka lubang kencingnya. Lalu, kuberikan seluruh lubang mulutku untuk bisa dia masukkan penisnya secara utuh. Beberapa kali kulakukan itu bergantian sampai Erwan melenguh keras.

“ROS! Aku mau keluarhh… aaahh….”

Kukocok penisnya cepat-cepat. Mukaku kutempelkan dengan penisnya yang sudah berkedut. Muncratlah spermanya cukup tinggi untuk membasahi muka sampai poniku. Kemudian lengket.

“Ross… ahhh…” Suara Erwan melemah.
“Puas?” Tanyaku nakal.
“Makasih ya.”

Aku membasuh mukaku dengan kain. Kemudian, aku berbaring di sebelah Erwan sampai dia tidur atau meminta ronde kedua. Malam ini akulah miliknya.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 19
Ide Cemerlang


POV Dani

“Hari, tunggu!”

Gue memanggil Hari di tengah kerumunan prajurit yang lagi makan-makan di depan tenda mereka.

Hari gak mau menjawab. Dia terus berjalan cepat untuk sengaja menghilang. Padahal, sangat bahaya kalau dia menghilang di tengah hutan begini. Erna mungkin masih bisa balik lagi kalau hilang di hutan. Tapi Hari belum tentu bisa seperti Erna.

“Mana Hari?” Erna menyusul gue.
“Itu. Ayo kejar.” Tunjuk gue ke kejauhan, gak karuan.

Erna lantas berlari, menyebabkan gue jadi ikut berlari sambil ketinggalan tiga langkah. Untungnya, Erna berhasil meraih lengan Hari sebelum si laki-laki satu itu lenyap dalam kegelapan. Selanjutnya, Erna menoleh ke belakang, ke arah gue, untuk memberi kode agar segera mengikutinya ke pinggiran kerumunan tenda.

“Gue mau balik!” Hari berontak.
“Kalem dulu!” Kata Erna.
“Urusan kita bukan di sini!” Bantah Hari.
“Urusan kita di sini!” Jawab Erna.

Hari melihat Erna dengan tatapan ‘sumpeh lu’nya, dan dibalas dengan gestur ‘gue serius’ oleh Erna. Gue sendiri bingung kenapa malah jadinya anak berdua itu sama-sama keras kepala begini.

Erna terus mengatakan kalau tadi dia menguping pembicaraan kakaknya dengan Rosi. Dia mendapati satu percakapan tentang ramalan rune. Mereka butuh batuan inhuman, katanya. Erna bicara kembali dengan nada seserius waktu dulu dia menebak-nebak kalau Hari merupakan inhuman.

“Kalo lu ngarep bisa jadi pahlawan di sini, silahkan. Gue tetep balik!” Hari tegas.

PLAK! Erna menampar Hari keras-keras.

Hari gak sepatutnya bicara begitu. Erna memang terasa ingin berguna beberapa waktu belakangan. Tapi berbicara secara frontal kepada Erna seperti itu bukanlah solusi untuk masalah seperti ini. Erna sendiri, dia, pasti punya pandangan obyektif tentang ikut berperan dalam perang saudara di sini. Dia masih berasa dapat berguna dalam satu hal. Sebaliknya, Hari ingin cepat-cepat pulang ke bumi untuk menghajar Hammer Tech.

Hari menatap Erna sayu.

“Puas!? Puas ngomong gitu!?” Erna bicara begitu ke Hari.

Hari diam aja. Memang dia harus diam dan mendengarkan. Kalau dia malah menjawab, artinya dia bukan orang dewasa untuk seenggaknya malam ini.

“Erna, tolong jelasin lengkap yang tadi lu bilang.” Gue merendah.

Erna bicara pelan, sepertinya dia sadar kalau dia punya salah juga. Cuma gue di sini yang bisa dibilang gak punya salah karena gue memang ikut-ikut mereka aja. Gue ini tokoh pembangun cerita untuk Hari yang merasa hidupnya seketika rumit, dan Erna yang merasa dirinya bisa lebih penting dalam kelompok ini.

Erna mulai bicara soal ramalan rune tentang Erna, Hari, atau keduanya yang bisa membantu kelompok pemberontak menang dalam perang saudara Vanaheim ini. Ini bisa dibilang juga mengalkulasi peluang beraliansi dengan bangsa Vanir supaya suatu waktu bersedia diminta bantuan.

Tapi, sayangnya Hari tetap diam mau bagaimana pun Erna bicara. Erna akhirnya pergi.

“Har, liat gue.” Gue memanggil Hari.

Hari ragu-ragu.

“Udah banyak kasusnya, Har, orang-orang ditinggal orang kesayangannya. Gak perlu merasa spesial. Hammer Tech emang isinya orang-orang jahat. Tapi kalo lu mau balik cuma karena balas dendam, itu elu sama jahatnya. Lu pikir nyokap sama Kenia bakal seneng?” Gue mendadak bisa berceramah.

Dengan gue menyelesaikan ceramah, Hari langung terduduk lesu di tanah. Dia menghela nafas banyak-banyak. Kemudian, gue lebih memilih pergi mencari Erna untuk memberinya ceramah yang lain lagi.

Di dekat situ, gue bertemu Pur dan Laras. Gue arahkan mereka ke Hari supaya dia ada temen ngobrol.

Gue menemukan Erna ada di pinggiran tenda yang lain, lumayan jauh dari tempat dia dan Hari tadi bertengkar. Erna terduduk menatap langit berbintang yang cerah. Gugus galaksi menyerupai milky way di bumi tertampang jelas dan indah. Tapi indahnya tertutupi remang api unggun jika kami mencoba melihat langit di tengah-tengah kerumunan tenda.

Gue duduk pelan-pelan di sebelah Erna.

“Cantik ya bintangnya?” Gue membuka obrolan.
“Gue gak pernah pake istilah cantik. Terlalu manja itu.” Jawab Erna.

Gue tersenyum tipis.

“Biasanya gue selalu bawa kamera sama tripod buat foto bintang-bintang itu. Kaya waktu di Halmahera.” Erna lanjut bercerita.
“Pasti seru.” Tebak gue.
“Situasinya juga mirip begini, ada tenda, banyak orang bikin api unggun....”

Erna melihat-lihat sekeliling. Di sini memang ada banyak tenda, api unggun, dan orang-orang yang bersenang-senang karena mungkin mereka bahagia setelah tadi siang berhasil menangkap kami.

“Ini asing buat gue sih.” Respon gue.
“Pasti.” Erna balas tersenyum.
“Lu tau, sebenernya gue juga mau pulang.” Kata gue.

Erna menoleh ke gue. Dia pasti mulai berpikir kalau dia sudah berada di posisi yang kalah suara. Sudah ada dua suara yang meminta pulang, dan sebentar lagi kakaknya pasti juga meminta pulang setelah puas dengan banyak jawaban yang didapat.

Erna kemudian kembali melihat ke langit malam.

“Gue gak pernah betah ada di tengah hutan begini.” Lanjut gue.
“Iya.” Jawabnya singkat.
“Banyak nyamuk, ya kan.” Gue menepuk satu nyamuk di tangan kiri.
"Iya." Jawabnya lagi.

Erna menghirup nafas dalam-dalam. Katanya itu bagus buat dirinya yang sudah jarang ke hutan. Meski pun ini bukan hutan di bumi, tapi katanya kesegaran di sini sama aja.

“Tapi, ada juga bagusnya kita nolong orang dulu. Berbuat baik semampu kita.” Gue menyelesaikan kalimat.

Erna sangat tidak percaya dengan kalimat terakhir yang gue sampaikan itu. Tapi ekspersi senangnya tertera dari senyum yang tertahan. Mukanya terwarna merah kekuningan karena hanya ada cahaya-cahaya api unggun yang lumayan jauh di belakang kami. Sesaat dia merasa bahagia, namun sesaat dia merasa cemas lagi.

“Hari gimana?” Tanyanya.
“Biarin aja dia pulang duluan lah.” Jawab gue

Kami lalu berpelukan layaknya perempuan-perempuan normal. Sebentar kemudian kami menikmati lagi gugusan bintang-bintang yang tak jelas lagi rasinya. Erna sudah mulai nyaman bercerita satu-satu tentang pengalamannya mengamati bintang saat di Halmahera.

Berceritalah dia tentang rasi bintang yang sama sekali berbeda dengan langit bumi waktu malam. Kata Erna, di sini gak ada rasi bintang Pari, yang bentuknya mirip kerangka layang-layang, yang menunjukkan arah selatan. Gak ada rasi bintang scorpio yang paling jelas terlihat saat malam cerah. Gak ada rasi ini-itu yang dijadikan zodiak untuk ramalan-ramalan horoskop.

---

POV Laras

“Masalah lagi?”

Pur duduk dan menyapa Hari yang saat itu sendirian gara-gara ditinggal Dani. Gue ikut duduk di posisi paling kiri dari mereka berdua. Hari sendiri menjawab sapaan Pur dengan hanya mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

“Kita semua pernah bikin salah.” Pur membuka obrolan.
“Salah apa?” Tanya Hari.
“Banyak, Har.” Jawab gue.
“Lu tahu, ribuan tahun umur kita berdua, pasti pernah bikin salah.” Timpal Pur.

Hari belum lega tampaknya. Dia masih banyak berpikir. Itu terlihat dari mukanya yang tampak berat.

“Udah berapa lama jadi agen?” Tanya gue.
“Aktifnya baru awal tahun ini.” Kata Hari.
“Tahun masehi?” Tanya Pur.
“Ya iya lah.” Gue menonjok lengan Pur.
“Hehehe.”

Yes, Hari tertawa. Setelah ini, kami cukup menambahkan beberapa canda lagi untuk menenangkan hatinya.

Kemudian, barulah kami menyampaikan kabar penting buat para orang-orang Midgard ini. Mereka diizinkan pulang setelah barusan kami selesai berdebat panjang dengan Julia. Gue menjelaskan susah payah masalah yang sedang terjadi di Midgard, termasuk masalah kehilangannya Hari atas orang tua dan adiknya. Termasuk kesalahan kami berdua yang gak tau kondisi sebenarnya di Vanaheim.

Julia bukannya gampang luluh. Dia juga pusing memikirkan bagaimana mereka bisa mempercepat penyerangannya, supaya bisa menang. Sementara itu, pihak istana selalu dengan cepat merestorasi hal-hal yang rusak karena pemberontak. Jelas mereka timpang dari segi teknologi. Oleh karena itu mereka butuh bantuan.

“Mereka butuh teknologi?” Tanya Hari.
“Ya itu, baju-baju zirah robot itu mungkin.” Jelas Pur.
“Mobil terbang.” Tambah gue.
“Ruang terbuka hijau.” Tambah Pur lagi.

Hari melihat ke belakang, ke arah orang-orang yang sedang bersenang-senang. Dia mengonfirmasi apa yang telah dilihatnya sejak tadi siang. Orang-orang yang hanya berbaju kulit-kulit beruang. Besi-besi yang jumlahnya terbatas untuk dijadikan pelindung kepala dan pedang. Kayu-kayu yang banyak dijadikan perisai, tombak, dan set panah.

“Kita berdua salah waktu ngebela pihak istana.” Cerita Pur.
“Waktu itu kita laper.” Tambahan gue.
“Makan musang terus.” Timpal Pur.
“Belum mandi juga.” Tambah gue lagi.
“Stop! Stop!”

Hari menghentikan cerita kami. Dia mendadak bersemangat, tapi dia bilang harus hemat-hemat bicara supaya dia gak lupa apa yang sedang melintas di kepalanya. Dia pun meminta Pur untuk diantar lagi ke tempatnya Julia, juga menyuruh gue mencari Dani dan Erna untuk segera menyusul.

“Ayo, cepetan! Sebelum gue lupa lagi.” Kata Hari.

Berjalan cepatlah gue mencari Dani dan Erna. Kemudian, setelah ketemu, gue memanggil mereka supaya ikut berjalan cepat di sebelah gue. Kami sampai di tenda Julia ketika Hari sedang sibuk menulis sesuatu dan menatap langit-langit tenda bergantian.

---

POV Hari

Kami berkumpul lagi di tenda milik pimpinan pasukan pemberontak itu. Mungkin bisa dinamakan kumpul-kumpul versi 2.0, karena kini kami semua dalam keadaan yang lebih baik. Terkecuali Julia yang saat itu udah mau tidur.

Gue menemukan solusi terbaik untuk memenangkan perang ini sekaligus mewujudkan ramalan dari batu rune keparat itu. Gue menulis-nulis di kertas, merumuskan apa aja yang ada di kepala, lalu disatukan dengan strategi yang udah dimiliki pasukan pemberontak.

“Kalian tau dari mana...?” Julia masih kebingungan.

Gue menunjuk kepala gue sendiri supaya terkesan pintar dan cerdas. Lumayan untuk jualan harga diri.

“Bisa ngeramal juga?” Tanya Julia lagi.
“Hah?” Gue gantian bingung.
“Ngeramal?” Julia belum dapat jawaban.
“Maksudnya?” Pur ikut-ikutan.

Kami saling lihat-melihat seolah-olah telepati bisa mengklarifikasi segalanya. Realitanya gue kan gak punya telepati. Jadi, ini merupakan sekedar ekspresi tolol yang merusak ide-ide gue cemerlang, yang setengahnya masih belum tertulis.

“Gini, maksudnya, tau dari mana ramalan rune itu merujuk ke inhuman?” Tutur Julia.
“Ooh.” Kata gue.
“Ooh.” Kata Pur.

Ceritalah gue kalau ramalan itu gue dengar dari saudari kembarnya, si Rosi. Maksudnya, dengar dari Erna yang mendengar dari sumber aslinya, lalu kemudian diceritakan selengkap-lengkapnya kepada gue dan Dani dengan sengaja. Julia paham, mengangguk, dan membuat huruf O dari mulutnya.

Kemudian, gue menulis-nulis lagi sambil melihat langit-langit tenda akibat lupa. Di saat itulah geng perempuan yang gue suruh nyusul, pada datang. Mereka antusias karena mendengar-dengar dari Laras kalau gue berubah pikiran.

“Iya, gue berubah pikiran.” Kata gue ke Dani.
“Demi apa?” Dani menonjok gue.
“Demian” Jawab gue.
“Apaan?” Dani gak ngerti.

Gue memang sedang garing. Maklumkanlah, kepala ini sedang masanya bercampur banyak urusan. Senda gurau bukanlah salah satu yang dicampur itu. Semoga Dani bisa ngerti tanpa gue jelasin lagi, karena nanti jadi makin gak lucu.

Gara-gara itu, ide-ide gue makin buyar, mengendap lagi di sudut otak yang terdalam. Butuh waktu untuk kembali berpikir bagaimana dan apa caranya untuk melengkapi kekurangan pasukan pemberontak. Tapi, supaya Julia gak kembali ngantuk, gue mulailah penjelasan yang idenya belum seratus persen ini jadi.

“Oke gini, demi batu rune ajaib...”

Gue menjelaskan bagaimana pasukan lawan sangat mengandalkan teknologi. Gue dan yang lain juga sama-sama udah melihat sangat fungsionalnya alat itu, meski kalah jumlah saat mengantar kami pulang. Menurut gue, itulah lemahnya. Mereka sangat mengandalkan teknologi. Teknologi punya daya yang yang harus selalu tersedia. Entah apa bentuknya, semisal baju besinya Tony Stark yang butuh daya dari ark reactor di dadanya.

Solusinya, gue memang harus maju di barisan terdepan, menyerap daya-daya dari baju mereka. Tapi, permasalahnya adalah gue butuh pelindung supaya gak mati konyol setelah baru dua atau tiga langkah.

“Lu minta pasukan ini jadi tameng?” Tanya Julia

Julia pastilah gak setuju mengorbankan pasukan yang jumlahnya gak terlalu banyak dan sangat penting. Tapi bukan itu idenya.

“Bukan, bukan.” Jawab gue.
“Oke? Terus?” Tanya Julia.
“Gue butuh salah satu baju mereka untuk maju.”
“Tapi mereka punya sinyal.” Potong Laras.

Rencana gue, kami bisa memancing salah seorang pasukan berzirah robot untuk terpisah dari kelompoknya. Atau merebut paksa dalam satu perkelahian kelompok kecil. Kemudian, zirah itu gue pakai untuk menghindari serangan-serangan jarak jauh yang sangat cepat saat kedua tangan gue sibuk menyerap energi baju-baju zirah lain milik lawan.

Tapi, benar juga itu. Mereka punya sinyal dari baju zirah robot yang tersambung ke pemancar di suatu tempat, yang kemudian terhubung lagi ke alat pengendali jarak jauh. Kalau gue menggunakan zirah itu sembarangan, gue bisa kesetrum dari dalam zirah itu sewaktu-waktu.

“Bentar.. Bentar..” Kata gue.

Inilah bagian yang hilang karena gue lupa tadi.

“Sinyal kan bagian gue.” Erna menambahi.
“Naaaaah!” Itu dia.

Erna bisa melihat sinyal. Dia bisa menemukan frekuensi mana yang bisa menginterupsi zirah yang dicuri. Kemudian, dibantu Dani dan teknologi laptopnya, pasti dia bisa merusak frekuensi itu. Terbebaslah zirah yang dicuri dari pemancarnya.

“Idenya bagus, tapi... kayanya mustahil.” Tanggapan Julia.
“Mustahil gimana?” Laras balik bertanya.

Julia menjelaskan kalau dia tahu pasti bahwa pengendali jarak jauh, pemancar, dan baju zirah itu punya frekuensi spesifik. Alih-alih mudah dicari, justru frekuensi spesifik itu sulit untuk diganggu dari pemancarnya. Julia turut mengingatkan bahwa dia dan Rosi sama-sama orang dalam istana. Julia tahu seluk beluk pasukan lawan sehingga dia sadar bahwa kota Kraun sulit ditaklukkan.

“Kalo sadar susah, kenapa dilawan?” Tanya Pur.
“Kekuatan kepercayaan.” Jawab Julia.
“Gila. Yang bener aja.” Tanggap Pur.
“Kami semua di sini setia sama Raja Frey.” Jawab Julia lagi.

Sepi sebentar.

“Bebas, bebas.” Pur menanggapi lagi dengan gayanya yang ngeselin.
“Tunggu, tadi ramalannya apa?” Gue memotong.

Gue mengingatkan bahwa ramalan rune mengatakan bahwa bantuan mereka akan datang dari inhuman. Siapa inhuman yang datang? Gue dan Erna. Maka, gue tekankan bahwa percaya sajalah dengan kami. Dengan kekuatan kepercayaan yang Julia bilang sendiri, pasukan setia Raja Frey pasti menang. Lalu kami bisa pulang.

“Sekali lagi, ramalan itu Rosi sendiri yang bilang kan.” Tutup gue.
“Rosinya mana?” Julia teralihkan.
“Eh, itu.. sama kakak gue.. di situ, apa namanya, itu.. tenda..” Erna menjawab terbata-bata.

Julia geleng-geleng kepala, lalu dia mengurut keningnya sendiri. Julia banyak sekali berpikir. Ada sekitar 3 menit lamanya, atau lebih. Lalu dia akhirnya memutuskan untuk mengikuti taktik gue dengan syarat. Syaratnya, penyerangan dilakukan mengikuti ekspedisi mereka di jalur-jalur penghubung logistik menuju kota Kraun. Selain itu, penyerangannya harus dilakukan besok setelah matahari terbit.

Jadi kami sebaiknya cepat tidur supaya sehat. Bubarlah kami dari tendanya Julia.

“Erna.” Panggil gue.

Tanpa basa-basi, gue mangajaknya berjabat tangan tanda kami bermaaf-maafan. Lalu, sebelum kami berpisah, barulah kami tau kalau gue, Dani, dan Erna harus tidur dalam satu tenda. Secepat-cepatnya gue berbisik ke Dani supaya jangan macam-macam. Apalagi besok akan menjadi penting.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
numpang tanya
kenia sama ibu hari ada kemungkinan idup ga??

kan mayatnya ga ketemu
 
Dani ama si hari kayanya ada hati nih cuma si hari rada sungkan kayanya:bata:

Asal jangan keulang lagi kaya mantannya si puri yg ditinggal mati :ngupil:

Nice job suhu lanjut :jempol:
 
ooo, brarti positip ga bakal idup lagi ya hu, poor kenia masi perawan
blm rasain nikmat dunia
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd