Yong__lek
Semprot Addict
- Daftar
- 22 Oct 2017
- Post
- 431
- Like diterima
- 849
PART 2
[HIDE]Setelah perjanjian diikat, Sapto pun kembali ke Jakarta.
Aneh, tak lama kemudian Sapto pun mendapatkan rezeki. Ada orang yang menawarinya modal untuk membuka usaha. Sapto pun membuka warung dan bengkel. Usahanya ternyata maju sehingga dalam waktu singkat Sapto dapat mengembalikan modalnya dan memiliki sendiri seluruh usahanya. Kehidupan ekonomi mereka pun semakin membaik. Tentu saja Sapto tak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada Maya.
Sementara itu, setiap menjelang bulan purnama, Sapto memiliki kebiasaan baru. Ia akan mendatangi kuburan dan menggali makam bayi yang baru saja dikuburkan. Jasad bayi yang masih baru itu lalu dipersembahkannya kepada Ki Edan sebagai tumbal.
Bulan demi bulan pun berlalu. Semakin lama Sapto pun semakin merasa sulit untuk memenuhi janjinya. Bukan saja ia harus mencari mayat bayi ke daerah yang semakin jauh, penduduk pun mulai resah dan curiga dengan maraknya penggalian kuburan bayi yang baru meninggal. Akibatnya, Keamanan pun semakin diperketat. Ruang gerak Sapto pun semakin terbatas.
Sampai suatu ketika, Sapto akhirnya gagal memenuhi janjinya pada Ki Edan tepat pada malam bulan purnama yang ketujuh sejak perjanjiannya.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Sapto merasa sangat gelisah karena tahu akan terjadi sesuatu. Maya yang saat itu sedang di sampingnya juga merasa curiga melihat gelagat suaminya yang dari tadi tampak menyembunyikan sesuatu. Wanita itu baru saja selesai menyusui anaknya yang sempat terbangun beberapa waktu yang lalu.
Tanpa ada tanda apa pun, Ki Edan tiba-tiba muncul diikuti oleh para pengikutnya. Walau sudah menduga hal itu, Sapto tetap saja merasa terkejut. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada istrinya. Maya yang tak mengetahui pokok permasalahannya tentu saja tak kalah terkejutnya.
“Sapto, kau tahu apa yang telah kau lalaikan malam ini?” suara Ki Edan terdengar menggema di tengah malam yang hening.
Sapto hanya diam dengan tubuh gemetar dan tegang.
“Kalau kau tak mampu memenuhi janjimu dalam pesugihan ini, aku sudah mengatakannya dengan jelas apa yang harus kau bayar…”
“Aku akan mengambil nyawa anakmu sebagai tumbal…” kata jin tua itu mengingatkan.
“Atau akan mengambil istrimu untuk menjadi budakku di alam gaib sana… sebagai ganti atas semua kekayaan yang telah kuberikan padamu…”
Maya yang terkejut mendapati kenyataan itu tentu saja tak merelakan nyawa anak semata wayangnya diambil oleh Ki Edan.
“Mas Sapto…. Benarkah…?” tanya Maya seperti tak percaya sambil memandang ke arah suaminya. “Teganya kau… Jadi selama ini….?”
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sapto hanya menunduk. Ia tak berani membalas pandangan istrinya. Tubuhnya terasa gemetar.
“Baiklah, sekarang aku akan mengambil anakmu…” kata Ki Edan sambil melangkah mendekati ranjang tempat anak Sapto dan Maya sedang tidur.
Maya sangat terkejut mendapati kenyataan anaknya akan diambil secara paksa. Dihalanginya jin tua yang besar itu dalam langkahnya menuju ranjang. Naluri keibuannya untuk melindungi anaknya serta merta muncul.
“Aku tak rela nyawa anakku hilang demi melunasi hutangmu…” tegas wanita itu sambil memandang suaminya.
“Biar aku saja yang ikut dia untuk menebusnya…”
Sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu, Maya sempat terkejut. Bagaimana bisa ia membuat keputusan seperti itu? Keputusan yang spontan dikeluarkannya untuk melindungi jiwa putri satu-satunya. Dalam hati ia sebetulnya sangat khawatir akan nasibnya jika mengikuti setan itu. Bagaimanapun, saat itu ia tak melihat cara lain sebagai jalan keluarnya.
“Baiklah, tak masalah bagiku,” kata Ki Edan sambil memeluk bahu Maya yang ada di dekatnya.
“Anakmu atau istrimu, salah satu saja…. Sudah cukup bagiku…” kata Ki Edan.
Sapto tak mampu berkata apa-apa. Mulutnya serasa terkunci.
Ki Edan lalu melucuti seluruh pakaian Maya. Maya sama sekali tak menolak… Maya tak tahu mengapa ia tak melawan saat direndahkan seperti itu…. Apakah ia berada di bawah pengaruh hipnotis?
Sapto hanya bisa memandangi peristiwa itu tanpa daya sama sekali. Begitu istrinya telah bugil, ia melihat Ki Edan mengeluarkan seuntai rantai yang besar lalu mengalungkannya ke leher wanita cantik itu…
Siluman sakti itu kemudian menyerahkan rantai itu kepada seekor kera jantan besar yang setia mengikutinya. Entah dari mana datangnya, segumpal asap yang tebal tiba-tiba muncul memenuhi ruangan. Ki Edan pun berjalan menembus asap itu. Diikuti oleh si kera besar yang menuntun istrinya… menghilang ditelan kegelapan….
Sapto hanya bisa memandang seluruh kejadian itu sambil menangis… Kedua kakinya benar-benar kaku tak bisa digerakkan. Sekujur badannya gemetar menahan perasaan takut, geram, dan tak berdaya yang bercampur aduk. Beban yang demikian beratnya membuatnya terjatuh. Perlahan-lahan asap pun menghilang tanpa bekas. Sama seperti istrinya yang raib dibawa Ki Edan… Pandangannya pun menjadi gelap. Ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Maya memulai kehidupan barunya di alam jin. Setelah melalui asap tebal yang mengantarkannya meninggalkan alam manusia, sampailah ia di kediaman jin tua itu. Tempat tinggal Ki Edan ada di tengah-tengah hutan. Hutan yang aneh dalam pandangannya sebagai manusia. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di situ tak pernah dijumpainya di alam manusia. Semuanya dari jenis yang berbeda…
Pondok Ki Edan terbuat dari kayu dan menyatu dengan sebuah pohon besar yang dikelilingi oleh sepetak lapangan yang agak luas. Lapangan yang merupakan pekarangan rumah itu menjadi pemisah antara rumah dengan hutan lebat yang mengitarinya.
Ki Edan membawa Maya berkeliling meninjau rumahnya yang cukup besar dan pekarangan di sekelilingnya. Dijelaskannya satu per satu tugas yang akan menjadi kewajibannya sehari-hari.
Dengan penuh perhatian wanita itu menyimak setiap penjelasan dan instruksi dari tuan barunya. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu-nunggu sesuatu dari penjelasan jin tua itu.
Sampai Ki Edan selesai menjelaskan, apa yang ditunggunya dengan harap-harap cemas ternyata tak juga keluar.
Jelas bahwa Ki Edan sama sekali tak berniat untuk ‘menyentuh’-nya. Padahal Maya tadinya mengira ia juga harus melayani jin itu di tempat tidur. Wajar saja jika ia mengira demikian. Saat ia diambil dari suaminya, Ki Edan telah melucutinya hingga bugil. Begitu pula saat memberikan penjelasan, Ki Edan telah menegaskan padanya bahwa ia tak diperkenankan mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya selama berada di alam gaib itu. Suasana yang dibangun memang seolah mengarahkannya untuk menjadi seorang pelayan seks.
Nyatanya ia hanya harus melayani Ki Edan seperti seorang pembantu rumah tangga atau baby sitter. Ia tiap hari harus memasak makanan untuk Ki Edan, membersihkan rumahnya, mencuci pakaiannya, menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan sehari-harinya… tapi tidak melayani nafsu birahinya…
Seolah bisa membaca pikiran wanita itu, Ki Edan menceritakan penyebabnya. Rupanya jin tua itu sedang menjalani ritual tertentu yang tidak memungkinkannya untuk melakukan hubungan seks sama sekali.
Sejenak Maya menarik nafas lega… Memang sejak dibawa oleh Ki Edan ia telah mengantisipasi jika dirinya akan dijadikan sebagai pelayan seks. Toh ia tetap merasa gentar juga saat semakin sering berdekatan dengan Ki Edan dan dapat melihat ukuran penisnya. Alat kelamin itu menggelantung-gelantung seperti belalai gajah di balik kain tipis yang menutupi pangkal pahanya…
Sayangnya kelegaan wanita itu tak berlangsung lama. Ki Edan rupanya menyadari sosok wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar cantik dengan postur tubuh yang sangat indah. Sangat mubazir jika tidak dimanfaatkan. Dengan demikian, bukan berarti Maya benar-benar bebas dari kewajiban yang berhubungan dengan seks…. karena ternyata Ki Edan akhirnya menghadiahkan Maya kepada Wanara, kera jantan piaraannya…
Dengan demikian kera peliharaan Ki Edan lah yang akhirnya ketiban untung mendapatkan Maya.
Itu pun sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi Maya. Sudah jadi pengetahuan umum, birahi seekor hewan lebih tinggi frekuensinya daripada seorang manusia.
Belakangan Maya belajar bahwa lima kali hubungan seks adalah jatah minimal yang harus diberikannya kepada hewan itu tiap harinya. Maya pun jelas harus bersusah payah beradaptasi dengan kebiasaan itu. Dulu saat masih di alam manusia, tidak setiap hari ia harus melayani Sapto suaminya.
Sekarang dengan frekuensi hubungan seks minimal lima kali sehari, Maya biasanya hanya dapat ikut menikmati sampai hubungan yang kedua atau ketiga. Selebihnya, dirasakannya semata-mata untuk memenuhi kewajibannya melayani birahi kera itu.
Untunglah Ki Edan pun mengamati hal itu. Suatu hari ia memberikan wanita itu ramuan untuk meningkatkan daya tahan dan nafsu seksualnya supaya ia bisa mengimbangi pasangan barunya itu…
“Minumlah…” kata Ki Edan pada Maya.
“Apa ini, Ki…?” tanya Maya sambil melihat minuman berwarna kecoklatan yang disodorkan padanya.
“Jamu ramuanku… untuk menambah daya tahan tubuhmu dan meningkatkan birahimu…” kata Ki Edan tersenyum.
“Aku lihat kau agak kewalahan melayani si Wanara…” lanjutnya.
Maya tersipu malu. Mukanya yang putih bersemu kemerahan seperti udang rebus. Ia baru sadar bahwa Ki Edan mengamati setiap aktifitasnya bersama kera itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh majikannya itu.
“Minumlah, tak usah ragu… Setelah kau rutin minum ramuan ini… bahkan nanti kau lah yang akan minta jatah kepada keraku itu…” jelas Ki Edan.
“Sekarang ini kan dialah yang selalu mendatangimu untuk minta bersetubuh… Nanti bisa terbalik…” kata jin tua itu sambil terkekeh.
Dalam hati Maya agak sangsi dengan kata-kata Ki Edan. Benarkah bisa seperti itu? Sekarang saja rasanya ia sudah sangat kewalahan melayani nafsu seks kera jantan itu. Alat kelaminnya pun rasanya hampir-hampir lecet karena terus-menerus digunakan sepanjang hari…
“Kita lihat saja nanti kalau kau tak percaya,” lanjut Ki Edan.
“Kalau alat kelaminmu yang terasa lecet, itu masalah biasa… karena kau selama ini tak menggunakannya secara maksimum,” jelas Ki Edan seolah bisa membaca pikiran Maya.
“Seperti kau berolah raga, kau harus membiasakannya sedikit demi sedikit… Kemampuan tubuhmu akan beradaptasi sendiri nantinya…”
“Memang aku tahu, selama ini suamimu jarang memanfaatkanmu semaksimal mungkin…” goda Ki Edan.
Maya pun kembali tersipu malu. Ia akhirnya bisa menerima penjelasan Ki Edan. Lagipula apa salahnya ia mencoba ramuan itu. Jika benar apa yang dikatakan jin tua itu, bukankah manfaatnya juga bagi dirinya sendiri. Karena itu ia pun memutuskan meminumnya tanpa banyak pikir lagi.
Rasanya bercampur antara pahit dan pedas. Terasa hangat di tenggorokan seperti arak.
“Minumlah ramuan itu tiap hari. Cukup sekali saja sehari. Nanti kutunjukkan tempat penyimpanannya,” kata Ki Edan setelah wanita itu menghabiskan isi gelasnya.
Maya hanya mengangguk sambil tersenyum berterima kasih.
Baru saja Maya meletakkan kembali gelasnya di atas meja, tiba-tiba terdengar bunyi pintu dibuka dengan keras. Ternyata Wanara telah berdiri di muka pintu dengan wajah yang beringas menahan nafsu… Maya tersenyum melihat kekasih barunya itu… Ia tahu kalau kera itu bermaksud meminta jatah padanya.
“Maaf, Ki Edan… Permisi dulu,” katanya meminta izin pada jin tua itu sambil geli melihat raut wajah kera itu yang tampaknya sudah tak kuat lagi membendung nafsunya….
“Waah, panjang umur… baru saja kauminum ramuanku, ternyata sekarang kau bisa praktekkan langsung… Baiklah, selamat bersenang-senang….” jawab Ki Edan penuh pengertian.
Wanara bergegas melompat mendekati gendaknya. Tangannya yang panjang kekar dan berbulu menggapai ke atas menyentuh punggung Maya yang telanjang lalu mendorongnya. Maya yang sudah mengerti segera mengubah posisinya dari berdiri jadi menyentuh lantai dengan kedua lutut dan tangannya sambil membelakangi kera itu. Wanita itu mengambil posisi untuk disebadani oleh Wanara dari belakang, sebagaimana layaknya sepasang hewan yang akan kawin.
Maya memang selalu siap untuk disetubuhi setiap saat karena selama tinggal di kediaman Ki Edan, ia tak pernah mengenakan pakaian sehelai pun, alias senantiasa bugil… Satu-satunya aksesori yang menempel di tubuhnya adalah seuntai kalung yang mirip kalung anjing. Itu dikenakannya sebagai penanda bahwa ia adalah piaraan Ki Edan. Wanara pun mengenakan kalung yang sama pula.
Maya tersenyum nikmat ketika merasakan penis kekasihnya yang besar dan tumpul memasuki dirinya… Inilah yang memang ditunggu-tunggunya… Terasa panas dan kasar…
Maya mendesis merasakan kekasihnya menyentuh dan memasuki dirinya…
Maya merasakan rambutnya yang panjang terurai itu ditarik Wanara ke belakang… Ia pun memasrahkan sepenuhnya tubuhnya kepada kera jantan yang sedang birahi itu… Sementara tangannya memegangi rambut Maya, pinggul Wanara mulai bergerak maju mundur menggesekkan penisnya di dalam alat kelamin wanita itu…
Maya pun sesekali tertahan nafasnya. Matanya merem melek sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan itu…
Beberapa waktu kemudian, Wanara meningkatkan genjotannya pada tubuh wanita itu. Demikian kuatnya hingga tubuh putih mulus itu terhempas-hempas… Kedua tangan Wanara yang kekar lalu memegangi pinggang Maya supaya tak terlepas. Maya pun tak kuat untuk tak mengeluarkan suara-suara erangan dan jeritan nikmat sebagai reaksi genjotan itu… Vagina Maya terasa makin panas… Runtutan orgasme pun tak terelakkan lagi… Sementara kedua tangannya mencengkeram lantai, jeritan-jeritan nikmat pun terlontar dari mulutnya…
Ki Edan hanya tersenyum mengamati tingkah polah kedua makhluk yang berbeda spesies dan berbeda kelamin itu. Lalu ditinggalkannya sepasang kekasih yang sedang kawin di ruang tamu itu…
Wanara adalah seekor kera jantan bertubuh kekar. Bulu-bulunya yang berwarna kelam bertekstur kasar dan lebat. Tinggi badannya hanya sebatas dada Maya. Akan tetapi tenaganya menyamai kekuatan dua orang pria yang kuat. Demikian pula kekuatan seksnya yang beberapa kali lipat kekuatan seorang pria normal.
Berhubungan seks dengan seekor kera tentu saja berbeda dengan melakukannya bersama seorang pria. Maya harus membiasakan diri bertempelan dengan bulu-bulu Wanara yang kasar… Ia pun harus membiasakan diri dengan bau badan seekor kera yang tentu saja berbeda jauh dengan bau badan seorang manusia…
Belum lagi wajah seekor kera yang tentu saja jauh dari gambaran ketampanan seorang pria yang ada di dalam benak seorang wanita muda seperti Maya…
Satu hal yang sangat terasa adalah kekuatan seksual Wanara. Kera itu dapat menyetubuhinya dalam waktu yang lama hingga Maya dapat mengalami orgasme berkali-kali sebelum kera itu menyudahinya dengan menyemprotkan cairan spermanya yang banyak ke dalam rahimnya…. Selain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kera itu membutuhkan hubungan seks dalam frekuensi yang tinggi tiap harinya…
Hal lain yang harus dibiasakan oleh Maya adalah perilaku Wanara yang tak mengenal tempat jika ingin menuntaskan birahinya kepadanya… Saat hidup bersama Sapto, Maya biasa melakukannya hanya di seputar tempat tidur. Sekarang, bersama Wanara, praktis mereka bisa melakukannya di mana saja… Di dalam rumah, di pekarangan, di dalam hutan, di sungai, di atas pohon… dan sebagainya…
Maya pun harus membiasakan dirinya untuk berhubungan seks di muka umum. Tak jarang sehabis ia menyiapkan makanan bagi Ki Edan, Wanara langsung menaiki dirinya untuk meminta jatah. Maka, biasanya saat itu juga mereka akan menuntaskan nafsu birahinya di depan Ki Edan.
Sebenarnya awalnya Maya merasa malu… Pada mulanya ia selalu mengajak kera itu untuk mencari tempat yang tersembunyi terlebih dahulu. Akan tetapi Ki Edan sendiri yang mengajarkan Maya untuk tidak menunda-nunda hajat kera itu terhadap dirinya. Karena sekarang ia telah diperistri oleh kera itu, sudah jadi kewajiban Maya untuk melayaninya sesegera mungkin…
“Sebenarnya aku malu, Ki… makanya aku selalu mengajaknya pergi dulu mencari tempat yang tersembunyi… Barulah kubiarkan ia menyebadaniku…” kata Maya suatu waktu.
“Lagipula apakah kegiatan kami tak akan mengganggu seandainya dilakukan di depan Ki Edan?” tanya wanita itu.
“Tentu saja tidak… Kau kira aku tidak terbiasa melihat pasangan yang sedang kawin?” kata Ki Edan sambil tersenyum.
“Lakukan saja langsung jika si Wanara menginginkannya… Anggap saja itu tontonan pengantar makanku…” kata Ki Edan penuh pengertian.
Sebenarnya Maya khawatir jika Ki Edan jadi tergoda saat melihat aksinya yang panas bersama kera itu. Padahal tentulah ia sungguh-sungguh ingin menuntaskan ritual itu untuk menyempurnakan kesaktiannya. Bagaimanapun, karena Ki Edan sendiri sudah menyatakan tak keberatan, Maya pun mengikutinya saja.
“Baiklah, Ki… Kalau begitu,” kata Maya menyanggupi instruksi majikannya. Sejak itulah wanita itu akan serta-merta melayani Wanara kapan saja dan di mana saja kera itu menginginkannya.
Untunglah ada jamu ramuan Ki Edan yang kini rutin diminum oleh Maya. Benarlah apa kata jin tua itu… Maya tak pernah merasakan gairahnya setinggi ini seumur hidupnya. Setiap hari birahinya selalu naik sampai ke ubun-ubun… Jika itu terjadi, maka harus segera dilampiaskan… Jika tidak, pusinglah kepalanya ditambah dengan rasa gelisah yang tak henti-henti…
Maya bersyukur karena di situ ada Wanara yang kini memiliki libido yang sama dengannya dan dengan demikian mengerti akan kebutuhan seks dirinya… Ki Edan tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhannya karena sedang menjalankan ritualnya. Bahkan Maya pun berandai-andai, jika Sapto suaminya ada di sini, tentulah ia pun kewalahan dan tak akan sanggup melayani nafsunya yang sekarang jadi menggebu-gebu.
Kini Wanara dan Maya jadi bergantian saling meminta terlebih dahulu untuk berhubungan seks. Jika kera itu yang birahi, ia akan segera mencari Maya yang biasanya beristirahat di pondok Ki Edan jika sedang tak ada pekerjaan. Sebaliknya, jika Maya sudah merasa suntuk dan pusing, dialah yang akan mencari Wanara di pepohonan atau di pekarangan rumah Ki Edan untuk minta disetubuhi saat itu juga di tempat.
Jika kera itu sedang tidak bernafsu, Maya tak segan untuk berusaha membangkitkan nafsunya dengan segala cara. Biasanya ia akan menggodanya dengan membelai-belai dan menciumi seluruh tubuh kera jantan itu lalu mengulumi penisnya sampai benar-benar berdiri mengeras…
Tenyata kebiasaan mereka bersetubuh di tempat terbuka dan disaksikan oleh siapa saja yang berada di sekitarnya itu memicu suatu peristiwa. Peristiwa yang akan mengubah hidup Maya di alam gaib itu[/HIDE]
[HIDE]Setelah perjanjian diikat, Sapto pun kembali ke Jakarta.
Aneh, tak lama kemudian Sapto pun mendapatkan rezeki. Ada orang yang menawarinya modal untuk membuka usaha. Sapto pun membuka warung dan bengkel. Usahanya ternyata maju sehingga dalam waktu singkat Sapto dapat mengembalikan modalnya dan memiliki sendiri seluruh usahanya. Kehidupan ekonomi mereka pun semakin membaik. Tentu saja Sapto tak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada Maya.
Sementara itu, setiap menjelang bulan purnama, Sapto memiliki kebiasaan baru. Ia akan mendatangi kuburan dan menggali makam bayi yang baru saja dikuburkan. Jasad bayi yang masih baru itu lalu dipersembahkannya kepada Ki Edan sebagai tumbal.
Bulan demi bulan pun berlalu. Semakin lama Sapto pun semakin merasa sulit untuk memenuhi janjinya. Bukan saja ia harus mencari mayat bayi ke daerah yang semakin jauh, penduduk pun mulai resah dan curiga dengan maraknya penggalian kuburan bayi yang baru meninggal. Akibatnya, Keamanan pun semakin diperketat. Ruang gerak Sapto pun semakin terbatas.
Sampai suatu ketika, Sapto akhirnya gagal memenuhi janjinya pada Ki Edan tepat pada malam bulan purnama yang ketujuh sejak perjanjiannya.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Sapto merasa sangat gelisah karena tahu akan terjadi sesuatu. Maya yang saat itu sedang di sampingnya juga merasa curiga melihat gelagat suaminya yang dari tadi tampak menyembunyikan sesuatu. Wanita itu baru saja selesai menyusui anaknya yang sempat terbangun beberapa waktu yang lalu.
Tanpa ada tanda apa pun, Ki Edan tiba-tiba muncul diikuti oleh para pengikutnya. Walau sudah menduga hal itu, Sapto tetap saja merasa terkejut. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada istrinya. Maya yang tak mengetahui pokok permasalahannya tentu saja tak kalah terkejutnya.
“Sapto, kau tahu apa yang telah kau lalaikan malam ini?” suara Ki Edan terdengar menggema di tengah malam yang hening.
Sapto hanya diam dengan tubuh gemetar dan tegang.
“Kalau kau tak mampu memenuhi janjimu dalam pesugihan ini, aku sudah mengatakannya dengan jelas apa yang harus kau bayar…”
“Aku akan mengambil nyawa anakmu sebagai tumbal…” kata jin tua itu mengingatkan.
“Atau akan mengambil istrimu untuk menjadi budakku di alam gaib sana… sebagai ganti atas semua kekayaan yang telah kuberikan padamu…”
Maya yang terkejut mendapati kenyataan itu tentu saja tak merelakan nyawa anak semata wayangnya diambil oleh Ki Edan.
“Mas Sapto…. Benarkah…?” tanya Maya seperti tak percaya sambil memandang ke arah suaminya. “Teganya kau… Jadi selama ini….?”
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sapto hanya menunduk. Ia tak berani membalas pandangan istrinya. Tubuhnya terasa gemetar.
“Baiklah, sekarang aku akan mengambil anakmu…” kata Ki Edan sambil melangkah mendekati ranjang tempat anak Sapto dan Maya sedang tidur.
Maya sangat terkejut mendapati kenyataan anaknya akan diambil secara paksa. Dihalanginya jin tua yang besar itu dalam langkahnya menuju ranjang. Naluri keibuannya untuk melindungi anaknya serta merta muncul.
“Aku tak rela nyawa anakku hilang demi melunasi hutangmu…” tegas wanita itu sambil memandang suaminya.
“Biar aku saja yang ikut dia untuk menebusnya…”
Sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu, Maya sempat terkejut. Bagaimana bisa ia membuat keputusan seperti itu? Keputusan yang spontan dikeluarkannya untuk melindungi jiwa putri satu-satunya. Dalam hati ia sebetulnya sangat khawatir akan nasibnya jika mengikuti setan itu. Bagaimanapun, saat itu ia tak melihat cara lain sebagai jalan keluarnya.
“Baiklah, tak masalah bagiku,” kata Ki Edan sambil memeluk bahu Maya yang ada di dekatnya.
“Anakmu atau istrimu, salah satu saja…. Sudah cukup bagiku…” kata Ki Edan.
Sapto tak mampu berkata apa-apa. Mulutnya serasa terkunci.
Ki Edan lalu melucuti seluruh pakaian Maya. Maya sama sekali tak menolak… Maya tak tahu mengapa ia tak melawan saat direndahkan seperti itu…. Apakah ia berada di bawah pengaruh hipnotis?
Sapto hanya bisa memandangi peristiwa itu tanpa daya sama sekali. Begitu istrinya telah bugil, ia melihat Ki Edan mengeluarkan seuntai rantai yang besar lalu mengalungkannya ke leher wanita cantik itu…
Siluman sakti itu kemudian menyerahkan rantai itu kepada seekor kera jantan besar yang setia mengikutinya. Entah dari mana datangnya, segumpal asap yang tebal tiba-tiba muncul memenuhi ruangan. Ki Edan pun berjalan menembus asap itu. Diikuti oleh si kera besar yang menuntun istrinya… menghilang ditelan kegelapan….
Sapto hanya bisa memandang seluruh kejadian itu sambil menangis… Kedua kakinya benar-benar kaku tak bisa digerakkan. Sekujur badannya gemetar menahan perasaan takut, geram, dan tak berdaya yang bercampur aduk. Beban yang demikian beratnya membuatnya terjatuh. Perlahan-lahan asap pun menghilang tanpa bekas. Sama seperti istrinya yang raib dibawa Ki Edan… Pandangannya pun menjadi gelap. Ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Maya memulai kehidupan barunya di alam jin. Setelah melalui asap tebal yang mengantarkannya meninggalkan alam manusia, sampailah ia di kediaman jin tua itu. Tempat tinggal Ki Edan ada di tengah-tengah hutan. Hutan yang aneh dalam pandangannya sebagai manusia. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di situ tak pernah dijumpainya di alam manusia. Semuanya dari jenis yang berbeda…
Pondok Ki Edan terbuat dari kayu dan menyatu dengan sebuah pohon besar yang dikelilingi oleh sepetak lapangan yang agak luas. Lapangan yang merupakan pekarangan rumah itu menjadi pemisah antara rumah dengan hutan lebat yang mengitarinya.
Ki Edan membawa Maya berkeliling meninjau rumahnya yang cukup besar dan pekarangan di sekelilingnya. Dijelaskannya satu per satu tugas yang akan menjadi kewajibannya sehari-hari.
Dengan penuh perhatian wanita itu menyimak setiap penjelasan dan instruksi dari tuan barunya. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu-nunggu sesuatu dari penjelasan jin tua itu.
Sampai Ki Edan selesai menjelaskan, apa yang ditunggunya dengan harap-harap cemas ternyata tak juga keluar.
Jelas bahwa Ki Edan sama sekali tak berniat untuk ‘menyentuh’-nya. Padahal Maya tadinya mengira ia juga harus melayani jin itu di tempat tidur. Wajar saja jika ia mengira demikian. Saat ia diambil dari suaminya, Ki Edan telah melucutinya hingga bugil. Begitu pula saat memberikan penjelasan, Ki Edan telah menegaskan padanya bahwa ia tak diperkenankan mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya selama berada di alam gaib itu. Suasana yang dibangun memang seolah mengarahkannya untuk menjadi seorang pelayan seks.
Nyatanya ia hanya harus melayani Ki Edan seperti seorang pembantu rumah tangga atau baby sitter. Ia tiap hari harus memasak makanan untuk Ki Edan, membersihkan rumahnya, mencuci pakaiannya, menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan sehari-harinya… tapi tidak melayani nafsu birahinya…
Seolah bisa membaca pikiran wanita itu, Ki Edan menceritakan penyebabnya. Rupanya jin tua itu sedang menjalani ritual tertentu yang tidak memungkinkannya untuk melakukan hubungan seks sama sekali.
Sejenak Maya menarik nafas lega… Memang sejak dibawa oleh Ki Edan ia telah mengantisipasi jika dirinya akan dijadikan sebagai pelayan seks. Toh ia tetap merasa gentar juga saat semakin sering berdekatan dengan Ki Edan dan dapat melihat ukuran penisnya. Alat kelamin itu menggelantung-gelantung seperti belalai gajah di balik kain tipis yang menutupi pangkal pahanya…
Sayangnya kelegaan wanita itu tak berlangsung lama. Ki Edan rupanya menyadari sosok wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar cantik dengan postur tubuh yang sangat indah. Sangat mubazir jika tidak dimanfaatkan. Dengan demikian, bukan berarti Maya benar-benar bebas dari kewajiban yang berhubungan dengan seks…. karena ternyata Ki Edan akhirnya menghadiahkan Maya kepada Wanara, kera jantan piaraannya…
Dengan demikian kera peliharaan Ki Edan lah yang akhirnya ketiban untung mendapatkan Maya.
Itu pun sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi Maya. Sudah jadi pengetahuan umum, birahi seekor hewan lebih tinggi frekuensinya daripada seorang manusia.
Belakangan Maya belajar bahwa lima kali hubungan seks adalah jatah minimal yang harus diberikannya kepada hewan itu tiap harinya. Maya pun jelas harus bersusah payah beradaptasi dengan kebiasaan itu. Dulu saat masih di alam manusia, tidak setiap hari ia harus melayani Sapto suaminya.
Sekarang dengan frekuensi hubungan seks minimal lima kali sehari, Maya biasanya hanya dapat ikut menikmati sampai hubungan yang kedua atau ketiga. Selebihnya, dirasakannya semata-mata untuk memenuhi kewajibannya melayani birahi kera itu.
Untunglah Ki Edan pun mengamati hal itu. Suatu hari ia memberikan wanita itu ramuan untuk meningkatkan daya tahan dan nafsu seksualnya supaya ia bisa mengimbangi pasangan barunya itu…
“Minumlah…” kata Ki Edan pada Maya.
“Apa ini, Ki…?” tanya Maya sambil melihat minuman berwarna kecoklatan yang disodorkan padanya.
“Jamu ramuanku… untuk menambah daya tahan tubuhmu dan meningkatkan birahimu…” kata Ki Edan tersenyum.
“Aku lihat kau agak kewalahan melayani si Wanara…” lanjutnya.
Maya tersipu malu. Mukanya yang putih bersemu kemerahan seperti udang rebus. Ia baru sadar bahwa Ki Edan mengamati setiap aktifitasnya bersama kera itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh majikannya itu.
“Minumlah, tak usah ragu… Setelah kau rutin minum ramuan ini… bahkan nanti kau lah yang akan minta jatah kepada keraku itu…” jelas Ki Edan.
“Sekarang ini kan dialah yang selalu mendatangimu untuk minta bersetubuh… Nanti bisa terbalik…” kata jin tua itu sambil terkekeh.
Dalam hati Maya agak sangsi dengan kata-kata Ki Edan. Benarkah bisa seperti itu? Sekarang saja rasanya ia sudah sangat kewalahan melayani nafsu seks kera jantan itu. Alat kelaminnya pun rasanya hampir-hampir lecet karena terus-menerus digunakan sepanjang hari…
“Kita lihat saja nanti kalau kau tak percaya,” lanjut Ki Edan.
“Kalau alat kelaminmu yang terasa lecet, itu masalah biasa… karena kau selama ini tak menggunakannya secara maksimum,” jelas Ki Edan seolah bisa membaca pikiran Maya.
“Seperti kau berolah raga, kau harus membiasakannya sedikit demi sedikit… Kemampuan tubuhmu akan beradaptasi sendiri nantinya…”
“Memang aku tahu, selama ini suamimu jarang memanfaatkanmu semaksimal mungkin…” goda Ki Edan.
Maya pun kembali tersipu malu. Ia akhirnya bisa menerima penjelasan Ki Edan. Lagipula apa salahnya ia mencoba ramuan itu. Jika benar apa yang dikatakan jin tua itu, bukankah manfaatnya juga bagi dirinya sendiri. Karena itu ia pun memutuskan meminumnya tanpa banyak pikir lagi.
Rasanya bercampur antara pahit dan pedas. Terasa hangat di tenggorokan seperti arak.
“Minumlah ramuan itu tiap hari. Cukup sekali saja sehari. Nanti kutunjukkan tempat penyimpanannya,” kata Ki Edan setelah wanita itu menghabiskan isi gelasnya.
Maya hanya mengangguk sambil tersenyum berterima kasih.
Baru saja Maya meletakkan kembali gelasnya di atas meja, tiba-tiba terdengar bunyi pintu dibuka dengan keras. Ternyata Wanara telah berdiri di muka pintu dengan wajah yang beringas menahan nafsu… Maya tersenyum melihat kekasih barunya itu… Ia tahu kalau kera itu bermaksud meminta jatah padanya.
“Maaf, Ki Edan… Permisi dulu,” katanya meminta izin pada jin tua itu sambil geli melihat raut wajah kera itu yang tampaknya sudah tak kuat lagi membendung nafsunya….
“Waah, panjang umur… baru saja kauminum ramuanku, ternyata sekarang kau bisa praktekkan langsung… Baiklah, selamat bersenang-senang….” jawab Ki Edan penuh pengertian.
Wanara bergegas melompat mendekati gendaknya. Tangannya yang panjang kekar dan berbulu menggapai ke atas menyentuh punggung Maya yang telanjang lalu mendorongnya. Maya yang sudah mengerti segera mengubah posisinya dari berdiri jadi menyentuh lantai dengan kedua lutut dan tangannya sambil membelakangi kera itu. Wanita itu mengambil posisi untuk disebadani oleh Wanara dari belakang, sebagaimana layaknya sepasang hewan yang akan kawin.
Maya memang selalu siap untuk disetubuhi setiap saat karena selama tinggal di kediaman Ki Edan, ia tak pernah mengenakan pakaian sehelai pun, alias senantiasa bugil… Satu-satunya aksesori yang menempel di tubuhnya adalah seuntai kalung yang mirip kalung anjing. Itu dikenakannya sebagai penanda bahwa ia adalah piaraan Ki Edan. Wanara pun mengenakan kalung yang sama pula.
Maya tersenyum nikmat ketika merasakan penis kekasihnya yang besar dan tumpul memasuki dirinya… Inilah yang memang ditunggu-tunggunya… Terasa panas dan kasar…
Maya mendesis merasakan kekasihnya menyentuh dan memasuki dirinya…
Maya merasakan rambutnya yang panjang terurai itu ditarik Wanara ke belakang… Ia pun memasrahkan sepenuhnya tubuhnya kepada kera jantan yang sedang birahi itu… Sementara tangannya memegangi rambut Maya, pinggul Wanara mulai bergerak maju mundur menggesekkan penisnya di dalam alat kelamin wanita itu…
Maya pun sesekali tertahan nafasnya. Matanya merem melek sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan itu…
Beberapa waktu kemudian, Wanara meningkatkan genjotannya pada tubuh wanita itu. Demikian kuatnya hingga tubuh putih mulus itu terhempas-hempas… Kedua tangan Wanara yang kekar lalu memegangi pinggang Maya supaya tak terlepas. Maya pun tak kuat untuk tak mengeluarkan suara-suara erangan dan jeritan nikmat sebagai reaksi genjotan itu… Vagina Maya terasa makin panas… Runtutan orgasme pun tak terelakkan lagi… Sementara kedua tangannya mencengkeram lantai, jeritan-jeritan nikmat pun terlontar dari mulutnya…
Ki Edan hanya tersenyum mengamati tingkah polah kedua makhluk yang berbeda spesies dan berbeda kelamin itu. Lalu ditinggalkannya sepasang kekasih yang sedang kawin di ruang tamu itu…
Wanara adalah seekor kera jantan bertubuh kekar. Bulu-bulunya yang berwarna kelam bertekstur kasar dan lebat. Tinggi badannya hanya sebatas dada Maya. Akan tetapi tenaganya menyamai kekuatan dua orang pria yang kuat. Demikian pula kekuatan seksnya yang beberapa kali lipat kekuatan seorang pria normal.
Berhubungan seks dengan seekor kera tentu saja berbeda dengan melakukannya bersama seorang pria. Maya harus membiasakan diri bertempelan dengan bulu-bulu Wanara yang kasar… Ia pun harus membiasakan diri dengan bau badan seekor kera yang tentu saja berbeda jauh dengan bau badan seorang manusia…
Belum lagi wajah seekor kera yang tentu saja jauh dari gambaran ketampanan seorang pria yang ada di dalam benak seorang wanita muda seperti Maya…
Satu hal yang sangat terasa adalah kekuatan seksual Wanara. Kera itu dapat menyetubuhinya dalam waktu yang lama hingga Maya dapat mengalami orgasme berkali-kali sebelum kera itu menyudahinya dengan menyemprotkan cairan spermanya yang banyak ke dalam rahimnya…. Selain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kera itu membutuhkan hubungan seks dalam frekuensi yang tinggi tiap harinya…
Hal lain yang harus dibiasakan oleh Maya adalah perilaku Wanara yang tak mengenal tempat jika ingin menuntaskan birahinya kepadanya… Saat hidup bersama Sapto, Maya biasa melakukannya hanya di seputar tempat tidur. Sekarang, bersama Wanara, praktis mereka bisa melakukannya di mana saja… Di dalam rumah, di pekarangan, di dalam hutan, di sungai, di atas pohon… dan sebagainya…
Maya pun harus membiasakan dirinya untuk berhubungan seks di muka umum. Tak jarang sehabis ia menyiapkan makanan bagi Ki Edan, Wanara langsung menaiki dirinya untuk meminta jatah. Maka, biasanya saat itu juga mereka akan menuntaskan nafsu birahinya di depan Ki Edan.
Sebenarnya awalnya Maya merasa malu… Pada mulanya ia selalu mengajak kera itu untuk mencari tempat yang tersembunyi terlebih dahulu. Akan tetapi Ki Edan sendiri yang mengajarkan Maya untuk tidak menunda-nunda hajat kera itu terhadap dirinya. Karena sekarang ia telah diperistri oleh kera itu, sudah jadi kewajiban Maya untuk melayaninya sesegera mungkin…
“Sebenarnya aku malu, Ki… makanya aku selalu mengajaknya pergi dulu mencari tempat yang tersembunyi… Barulah kubiarkan ia menyebadaniku…” kata Maya suatu waktu.
“Lagipula apakah kegiatan kami tak akan mengganggu seandainya dilakukan di depan Ki Edan?” tanya wanita itu.
“Tentu saja tidak… Kau kira aku tidak terbiasa melihat pasangan yang sedang kawin?” kata Ki Edan sambil tersenyum.
“Lakukan saja langsung jika si Wanara menginginkannya… Anggap saja itu tontonan pengantar makanku…” kata Ki Edan penuh pengertian.
Sebenarnya Maya khawatir jika Ki Edan jadi tergoda saat melihat aksinya yang panas bersama kera itu. Padahal tentulah ia sungguh-sungguh ingin menuntaskan ritual itu untuk menyempurnakan kesaktiannya. Bagaimanapun, karena Ki Edan sendiri sudah menyatakan tak keberatan, Maya pun mengikutinya saja.
“Baiklah, Ki… Kalau begitu,” kata Maya menyanggupi instruksi majikannya. Sejak itulah wanita itu akan serta-merta melayani Wanara kapan saja dan di mana saja kera itu menginginkannya.
Untunglah ada jamu ramuan Ki Edan yang kini rutin diminum oleh Maya. Benarlah apa kata jin tua itu… Maya tak pernah merasakan gairahnya setinggi ini seumur hidupnya. Setiap hari birahinya selalu naik sampai ke ubun-ubun… Jika itu terjadi, maka harus segera dilampiaskan… Jika tidak, pusinglah kepalanya ditambah dengan rasa gelisah yang tak henti-henti…
Maya bersyukur karena di situ ada Wanara yang kini memiliki libido yang sama dengannya dan dengan demikian mengerti akan kebutuhan seks dirinya… Ki Edan tentu saja tak bisa memenuhi kebutuhannya karena sedang menjalankan ritualnya. Bahkan Maya pun berandai-andai, jika Sapto suaminya ada di sini, tentulah ia pun kewalahan dan tak akan sanggup melayani nafsunya yang sekarang jadi menggebu-gebu.
Kini Wanara dan Maya jadi bergantian saling meminta terlebih dahulu untuk berhubungan seks. Jika kera itu yang birahi, ia akan segera mencari Maya yang biasanya beristirahat di pondok Ki Edan jika sedang tak ada pekerjaan. Sebaliknya, jika Maya sudah merasa suntuk dan pusing, dialah yang akan mencari Wanara di pepohonan atau di pekarangan rumah Ki Edan untuk minta disetubuhi saat itu juga di tempat.
Jika kera itu sedang tidak bernafsu, Maya tak segan untuk berusaha membangkitkan nafsunya dengan segala cara. Biasanya ia akan menggodanya dengan membelai-belai dan menciumi seluruh tubuh kera jantan itu lalu mengulumi penisnya sampai benar-benar berdiri mengeras…
Tenyata kebiasaan mereka bersetubuh di tempat terbuka dan disaksikan oleh siapa saja yang berada di sekitarnya itu memicu suatu peristiwa. Peristiwa yang akan mengubah hidup Maya di alam gaib itu[/HIDE]