Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
BAGIAN 25 | LILIN-LILIN KECIL
Cerita oleh @pujangga2000 | Disunting oleh @killertomato






“Ayoo telanjangiii!!”

“Bugili diaaa!!! Jangan sampai suami-suami kita menjadi korban selanjutnya!”

“Betuullll!! Telanjangii diaaa!! Ayo beri pelajaran pada lonte murahan itu!”

“Jangaaaaan! Lepaskaaann Bu! Lepaskaaannn aku! Ampuun! Ampuuun! Maaf! Maafkan aku! Maaf…” Nisa hanya bisa menangis. Ia merintih, memohon, meminta, dan mencari pengampunan. Nisa harus memelas agar bisa dibebaskan dari amukan ibu-ibu tersebut.

Kobaran api kemarahan yang sudah Bu Juminten letupkan membuat para ibu-ibu itu melampiaskannya pada diri Nisa. Tangan Nisa dipegangi. Rok dasternya mulai diangkat hingga paha mulusnya terlihat. Saat roknya terangkat hingga ke perut. Amarah ibu-ibu itu makin menjadi saat bidadari cantik bertubuh indah itu mencoba meronta.

“Emang ya sekalinya lonte yang tetep lonte…! Mau sealim apapun pakaiannya kalau dalemannya lonte ya lonte…!”

Sudah jatuh ditimpa tangga. Sudah malamnya difitnah, paginya dituduh yang tidak-tidak. Bermacam kesialan menghampiri Nisa dan Mang Juki yang memang tidak memiliki ikatan pernikahan itu.

Daster Nisa ditarik ke atas dengan paksa. Daster itu pun hampir lolos dari tubuh indah Nisa. Kedua tangan Nisa diangkat. Tapi Nisa berusaha bertahan, dia melawan terus. Sampai akhirnya ada yang merobek daster Nisa di bagian paha dan dadanya, menunjukkan kemolekan sang bidadari.

Para bapak-bapak yang ada di sana terdiam membisu melihat keindahan tubuh molek Nisa. Bahkan ada yang nyaris bersiul setelah melihat keindahannya. Nisa sendiri jatuh terduduk sambil menangis menutupi tubuh indahnya sebisa mungkin. Mang Juki lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa. Ia begitu kesal karena melihat bidadari surganya dipermalukan dihadapan banyak orang tepat di depan matanya.

“Hentikaannn…! Jangan gila kalian! Dia tidak bersalah! Bu Nisa tidak bersalah! Hentikaann kaliaaannn…! Tolongg hentikaannn…! Ini cuma kesalahpahaman…! Saya tidak pernah berzina dengan Bu Nisa!!! Tidak pernah sekalipun!!!”

Mang Juki berteriak di depan kerumunan orang yang berdiri menatap ketelanjangan mereka berdua. Pria itu sudah tidak peduli lagi kalau ia telanjang, tapi ia tak akan pernah mengijinkan laki-laki lain melihat Nisa telanjang.

Nisa hanya bisa menangis. Ia terduduk malu di depan tatapan mata kerumunan massa yang selain marah tapi juga menikmati keindahan tubuhnya. Para ibu-ibu itu sudah tidak memegangi Nisa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan hapenya lalu merekam ketelanjangannya untuk membuat Nisa merasa malu.

“Sa-saya tidak pernah melakukannya… saya setia dengan suami saya… saya mohon ibu-ibu dan bapak-bapak mendengarkan saya… saya mohon…” Nisa terisak.

“Tidak pernah berzina…? Lha kok iso-isone ngapusi! Tidak pernah apanya? Sudah jelas-jelas itu di foto dan video kamu sama Nisa lonte ini! Masih mau mengelak? Kamu ini memang…”

Salah satu ibu-ibu di kerumunan yang terbawa emosi hendak menampar pipi Nisa. Beruntung sebuah suara teriakan yang keras menghentikan niatan itu.

“Jangan sakiti Tantekuuuuuu!”

Seorang perempuan muda berlari untuk melindungi Nisa dari amukan warga yang tengah main hakim sendiri kepada pasangan yang dituduh berzina itu. Perempuan itu adalah Aida. Dengan gagah dia berdiri dan membentangkan tangannya melindungi Nisa.

“Ka-kalian punya bukti apa untuk menyakiti Tante Nisa, hah!? Apakah kalian sudah tahu dengan pasti foto dan video itu asli? Bukan hoax? Jangan main hakim sendiri! Aku mohon hentikan semua ini!”

“Aish! Jangan dengarkan diaaaa! Dia kan keponakan Nisa! Jelas lah mau membantu Tante-nya!” salah satu ibu-ibu yang tengah emosi mendorong Aida menyingkir sampai-sampai gadis itu terjatuh!

“AIDA!” Nisa hendak bangkit dan menolong Aida tapi di saat bersamaan, ibu-ibu mulai buas mendekat hendak menelanjanginya.

Saat itulah ada satu lagi sosok perempuan muda hadir di depan Nisa dan melindunginya.

Sttooppppp! Bapak dan Ibu! Mo-mohon jangan dilanjutkan! Jangan sampai anda-anda semua menghakimi seseorang tanpa ada bukti yang kuat! Bukankah seorang polisi pun harus mengumpulkan bukti yang valid sampai benar-benar tak terbantahkan agar bisa menghukum seorang penjahat? Kalau belum terbukti bersalah, tidak bisa dituduh bersalah! Saya mohon hentikan!”

Perempuan muda itu adalah Ayu yang berdiri dengan teman-teman KKP-nya di hadapan penghuni kampung yang emosi. Dia tahu tindakannya itu sangat berbahaya. Tapi dia adalah seorang idealis yang tak ingin melihat ada seorang wanita dilecehkan di depan matanya. Dengan mengajak teman-temannya yang kebetulan sudah datang, Ayu langsung pasang diri.

Seorang wanita cantik lekas berlari lalu menutupi ketelanjangan Nisa dengan daster yang tadi dipakai olehnya. Wanita cantik itu lekas memeluk tubuh Nisa. Wanita cantik yang tidak lain adalah kawan dekat Nisa itu pun menenangkan Nisa dengan mengelus punggung mulusnya.

“Ma-maaf aku terlambat, Kak. Maaf aku selalu saja terlambat bereaksi. Tadi aku takut sekali. A-aku takut. Tapi sekarang aku tidak lagi takut. Sekarang yang tenang ya… ada aku di sini… Kak Nisa tidak usah khawatir,” ucap Amy sambil memeluk tubuh polos Nisa.

Nisa menangis tersendu-sendu. Ia tak kuasa menahan beban berat yang memenuhi rongga dadanya. Ia menangis di pelukan Amy.

Rupanya, selain Aida, Ayu, dan Amy… Ge suami Amy juga hadir di sana.

“Mbak ini benar, Bapak dan Ibu,” ujar Ge menimpali. “Kita tidak bisa semena-mena berlaku tanpa bukti yang pasti dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan hanya gara-gara hoax, justru njenengan-njenengan yang nantinya kena pasal!”

“Tapi mas Ge… Sudah jelas-jelas loh buktinya… Mas Ge sendiri juga liat kan?” Ujar salah satu bapak-bapak yang didukung oleh mayoritas lelaki di kerumunan itu.

“Iya betul itu.”

“Sudah pasti mereka berzina!”

“Lihat saja mereka berdua keluar bersama dari rumah si Nisa!”

Ge dengan sabar pun berusaha meredam amukan masa.

“Oke, anggap saja seperti itu. Tapi kalian juga mesti tahu. Sekarang itu sudah zamannya AI! Bisa saja kan foto dan video itu dipermak di aplikasi AI?” Ayu kembali bersikokoh membela Nisa. Wanita yang sebenarnya tidak ia kenal sama sekali, “Menggunakan AI itu bisa kalian lakukan segampang memencet tombol di hape! Sudah gampang sekali sekarang! Jangan gegabah!”

Ge mengangguk untuk membantu, “Njenengan-njenengan tahu AI mboten? AI meniko singkatan, Bapak Ibu. Singkatan dari Artificial intellegence, kecerdasan buatan. Jadi gampangannya AI itu program komputer yang dapat membantu kita membuat foto dan video tapi tidak asli, semuanya dibuat oleh komputer tapi bisa seakan-akan asli. Tidak kelihatan seperti gambar, kelihatannya seperti asli. Nah, dengan menggunakan AI, mudah sekali bagi kita untuk memfitnah orang dengan menukar wajah orang itu dengan wajah orang lain.”

Massa mulai bercakap-cakap, mempertimbangkan ucapan Ge dan Ayu. Bisikan demi bisikan terdengar. Mereka mulai ragu-ragu.

Sesosok pria datang untuk menambahkan, ia berdiri di samping Ayu. Sosok berwibawa itu adalah Sukirman, sang ketua RT. “Lagipula seandainya mereka beneran berzina, apakah kalian bisa memastikan di mana mereka melakukannya?” Pak Man menunjuk ke rumah Haris dan Nisa, “Di rumah ini? Ada tidak satu orang pun yang sudah memeriksa apakah ranjang yang ada di dalam rumah Bu Nisa itu sama dengan ranjang yang ada di grup WA?”

Para kerumunan itu kembali terdiam. Bahkan beberapa saling memandang. Sebagian dari mereka sudah pernah masuk ke rumah Nisa, memang berbeda sekali suasana di video dan suasana rumah Nisa.

Ge mengangguk, “Coba pak Irwan dan pak Gunawan bisa memeriksa ke dalam rumah… Oh ya, Kak Nisa. Bolehkan mereka masuk ke dalam untuk memastikannya?”

Nisa mengangguk lemah.

Pak Irwan dan pak Gunawan pun bergegas masuk untuk memeriksa ranjang di dalam rumah Nisa. Tak lama kemudian mereka berdua kembali keluar. Aida, Ayu, Ge, Amy, dan Pak Man yang sudah menunggu pun bertanya kepada mereka berdua.

“Bagaimana? Apakah ada kemiripan?” tanya Pak Man.

Kedua bapak-bapak yang tadi memeriksanya itu menggelengkan kepala yang membuat kerumunan heboh.

Sang Ketua RT berujar kembali, “Oke, sekarang perwakilan dari ibu-ibu deh bisa memeriksa sendiri ke dalam.”

Bu Juminten dan Bu Sarminem pun bertugas mewakili para ibu-ibu untuk memeriksa ranjang di dalam. Setelah mereka memeriksanya. Mereka keluar dengan raut wajah menyesal.

“Bagaimana bu? Mirip dengan ada yang di video?” tanya Pak Man dengan nada tegas.

Keduanya menggelengkan kepala.

Pak Man yang ikut kesal karena kerumunan massa yang ada di hadapannya terlampau cepat mengambil kesimpulan dan sudah menghakimi ibu muda jelita itu pun mulai berbicara.

“Bapak dan Ibu mohon didengarkan. Sekarang itu sudah tahun 20xx. Nopo-nopo niku sampun maju sanget. Semuanya sudah sangat maju. Njenengan-njenengan niku seharusnya sudah tidak bisa dibodohi lagi oleh teknologi. Semua harus dicek ulang dengan seksama tanpa terprovokasi dengan mudah. Saya memohon dengan sangat kepada Bapak dan Ibu semua. Tolong, jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Sebagai orang yang didapuk memimpin kawasan ini jujur saya tidak nyaman. Saya tidak mau kejadian ini terulang, entah kepada siapapun. Tolong kalau ada berita menyesatkan, silakan crosscheck dulu. Jangan langsung main hakim sendiri. Tolong atur emosinya. Demi kenyamanan kita bersama dalam tinggal di cluster ini maupun di desa Growol dan Bawukan.”

Satu persatu orang yang memprotes Nisa dan memenuhi halaman rumah sang ibu muda itu akhirnya mulai paham. Mereka pun saling berbicara, saling berbisik. Satu persatu mulai menyesali tindakan mereka barusan.

Pak RT kembali berucap, “Sekarang saya mau kalian semua meminta maaf ke Bu Nisa juga kepada Mang Juki. Saya benar-benar kesal. Asli. Saya kecewa pada keputusan kalian yang main hakim sendiri.Bagaimana kalau hal ini terjadi pada diri kalian, istri-istri kalian, anak-anak kalian. Apa kalian puas dengan berbuat barbar begini? Apa kalian senang? Kalian juga pasti sedih kan?”

Para kerumunan terdiam. Mereka tak bisa menjawab apa-apa. Memang ucapan Sukirman begitu masuk akal. Mereka belum memastikan kevalidan beritanya, tapi sudah tersulut. Mereka hanya terpancing emosi sesaat. Mereka juga tidak memberikan Nisa dan Mang Juki kesempatan untuk berbicara, setidaknya untuk menjelaskan kenapa ada Mang Juki di rumah Nisa.

Pak Man meggertak semuanya, “Sekarang minta maaf!”

“Maafkan kami, Bu Nisa… Mang Juki…”

“Maaf. Saya emosi.”

“Maaf… maaf…”

Njaluk ngapuro yo, Juk…”

Sepurane, Juk.”

“Maaf, cantik. Aku tidak sengaja menarik bajumu tadi…”

Setelah sudah banyak yang meminta maaf, Pak Man melambaikan tangannya. “Sudah sudah! Bubar semuanya! Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi!”

Para kerumunan pun bubar. Satu persatu mulai meninggalkan rumah Nisa untuk kembali ke rumah masing-masing.

Ayu terengah-engah dan menggemeretakkan giginya dengan geram. Sejak awal kejadian ini dia tegang sekali, Ia menatap semua kejadian yang berlangsung di depan matanya dengan seksama. Semua yang persis terjadi di depan matanya. Dia tentunya tidak ingin ada seorang wanita yang dilecehkan begitu rupa meski kenyataannya belum terbukti. Dia percaya pada fakta, bukan asumsi. Dia butuh pembuktian, bukan omong kosong belaka. Semua pasti ada datanya dan hanya berdasarkan data-lah, penghakiman bisa dilakukan.

Aida menyentuh pundak Ayu perlahan.

“Kamu tidak apa-apa?”

Ayu menengok ke arah Aida dan tersenyum.



.::..::..::..::..::.



.:: DI BALAI DESA



Siangnya, di Balai Desa, Ayu dan kawan-kawan disibukkan oleh persiapan mereka untuk melakukan KKP yang akan berlangsung selama kurang lebih satu hingga dua bulan.

“Gila, Nek. Berani banget dirimu tadi loooh. Hati akuh yang rapuh ketar-ketir kayak kertas layangan. Hanyuuut aku, Nek. Hanyuuuut. Menggelayuuuuut. ” Dedi mengipaskan jemarinya ke wajah sendiri seakan itu akan membantunya lebih tenang, “Aku tuh ga bisa digituin, ga bisa banget.”

Aida duduk di depan Ayu sementara teman-teman KKP gadis itu bekerja di Balai Desa untuk keperluan tugas kampus mereka. Gadis berparas jelita itu melirik ke belakang Ayu untuk memastikan teman-teman sang mahasiswi tidak mendengar percakapan keduanya. Dia tidak ingin membuka aib – seandainya saja ada.

Ayu memahami keresahan Aida.

“Tenang saja, mereka tidak akan mengganggu kita. Hihihi.” Ayu mencoba menenangkan.

“Ti-tidak, hanya saja tidak enak kalau…” Aida berkaca-kaca saat berbicara dengan Ayu, “Te-terima kasih, Kak. Kakak benar-benar hebat. Sangat pengertian sekali. Paham apa yang aku inginkan.”

“Kelihatan kok dari gerak-gerik kamu, Aida. Tenang saja, teman-temanku bakal sangat sibuk jadi tidak akan sempat duduk dengan kita.”

“Iya…”

“Jadi? Kenapa kamu ke sini? Menunggu jemputan ke bawah? Kenapa tidak di tempat Tantemu saja?”

“Aku memang menunggu jemputan, Kak. Ada te-teman yang akan datang setelah menyelesaikan urusannya dengan mas Lan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Aku tidak ingin mengganggu Tante Nisa hari ini, mudah-mudahan dia bisa beristirahat setelah pagi tadi mendapatkan cobaan…”

“Mudah-mudahan yaa…”

“A-aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Kakak tadi pagi. Tanteku pasti merasa terbantu dengan pertolongan Kakak. Suasana begitu kacau dan…”

Ayu tersenyum sambil menepuk pelan punggung tangan Aida, “Sama-sama. Senang bisa membantu. Kasihan Tante kamu. Aku memang belum kenal dekat dengan Mbak Nisa atau siapapun di tempat ini, tapi aku merasa tidak ada satu wanita pun yang pantas diperlakukan seperti tadi pagi. Bersalah ataupun tidak, aku merasa yang dilakukan terhadap Mbak Nisa adalah pelecehan.”

“Dia tidak bersalah…” lirih Aida menimpali dengan wajah tertunduk lesu.

“Tahu tidak? Aku setuju sama kamu, Aida. Entah bagaimana aku melihat sosok seperti Mbak Nisa sepertinya tidak akan melakukan hal semacam itu… walaupun aku belum pernah mengenal dekat dirinya. Tapi terlihat kok dari aura-nya, wanita alim yang dijebak itu berbeda dengan wanita nakal yang bersalah.”

Dalam hati, Ayu sebenarnya ragu-ragu.

Gara-gara kejadian tadi, beberapa orang menatapku aneh dan curiga. Kira-kira aman tidak ya? Tapi aku yakin sih dengan keputusanku membantu Tantenya Aida tadi… kondisi sangat tidak kondusif dan kekerasan bisa saja terjadi, aku hanya ingin membantu sesama wanita. Tapi… sebenarnya mungkin juga aku yang keliru menilai Mbak Nisa, bisa saja kan, di balik exterior domba, di dalamnya ada serigala? Tapi sepertinya nggak ah, intuisiku kali ini tidak mungkin salah.

“Percayalah, Kak. Tante tidak akan melakukan hal semacam itu. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang sejahat itu menyebarkan berita hoax mengenai tante yang sangat aku sayangi. Tante adalah orang baik yang telah menyelamatkan aku dari keterpurukan karena keluarga aku broken home. Tante memberikan aku pekerjaan dan menyekolahkan aku, memberikan aku dan teman-teman aku ilmu tata boga… aku tidak… aku tidak pernah berpikir Tante akan mengalami hal buruk semacam ini. Hoax ataupun tidak, reputasi Tante pasti hancur setelah ini.”

Ayu mengangguk-angguk. Ia baru pertama kali ini berbincang-bincang dengan Aida tapi ia merasa mereka berdua seharusnya bisa menjadi teman baik yang senasib dan sepenanggungan.

“Bagaimana kondisi Tante-mu?”

“Sudah agak tenang saat aku tinggal tadi.”

“Habis ini kesana lagi?”

Aida menggeleng, “Seperti tadi aku bilang, aku nunggu jemputan. Setelah ini aku harus pulang. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan di rumah, Kak. Aku punya banyak tugas termasuk membelikan obat untuk ibuku.”

“Oh gitu…”

Aida lantas mendongak dan menatap Ayu dengan lekat.

“Aku tidak tahu penelitian apa yang Kakak dan teman-teman kerjakan di sini, tapi pastikan berhati-hati. Tempat ini bukanlah taman bunga, tempat ini tidak se-asri dan se-harum namanya,” bisik Aida pada Ayu, “aku tidak ingin menakut-nakuti. Tapi tempat ini sangat mengerikan untuk wanita seayu Mbak Ayu. Mbak lihat sendiri apa yang terjadi tadi Tanteku. Mbak dan teman-teman harus ekstra hati-hati. Ada orang-orang jahat di tempat ini.”

Ayu menghela napas panjang. Setelah pengalamannya dengan Mbah Jo dan Ganep, ia paham apa yang disampaikan oleh Aida kepadanya. Meskipun peringatan itu sebenarnya datangnya terlambat karena ia sudah mengalami sendiri pelecehan dari laki-laki tua itu.

“Be-begitu ya?” Ayu meneguk ludah, dia tidak ingin Aida yang baru dikenalnya mengetahui kalau dia sendiri sebenarnya telah terkena jerat asmara seorang laki-laki tua di tempat ini.

“Terutama sekali berhati-hatilah terhadap keluarga Sukir. Keluarga mereka… terutama sekali dimulai dari Pak RT Sukirman, pak Sukirno, dan adik mereka mas Sukirlan. Ketiganya yang memegang tempat ini. Aku sedikit banyak tahu setelah mendapatkan informasi dari… dari… pacarku…”

“Pacar? Pacar Aida penghuni kampung ini? Siapa namanya?”

Aida meneguk ludah, “Bu-bukan sih. Pak Sarma… ma-maksudku pa-pacarku tidak tinggal di sini. Dia… err… pemerhati tempat ini, dia punya kepentingan di sini. Jadi aku banyak tahu mengenai bahayanya tempat ini. Tolong dipertimbangkan lagi jika tetap KKP di sini, Kak.”

Entah kenapa, Aida merasa dia harus memperingatkan Ayu setelah melihatnya membantu sang Tante di keramaian pagi tadi. Apalagi saat melihat kalau Ayu begitu cantik dan bertubuh indah, Aida langsung paham bahaya yang mengancamnya. Teman-teman Aida di toko kue sendiri sering menyayangkan keputusan Tante Nisa untuk tinggal di tempat yang sepertinya adem ayem ini, karena di sebaliknya, banyak sekali intrik menjijikkan terjadi.

Aida menepuk bibirnya dengan telunjuk, “Yah, bagaimana ya… sepertinya tidak bisa, Aida. Kami sudah terlanjur mengajukan ijin dan melalui banyak prosedur untuk bisa melakukan penelitian KKP di tempat ini. Akan sangat repot jika ijinnya ditangguhkan dan kami pindah ke tempat lain. Mudah-mudahan sih tidak terjadi apa-apa selama masa penelitian kami nanti.”

“Amin. Mudah-mudahan ya, Kak…” Aida mengajukan satu pertanyaan lagi, “tapi kenapa Kakak sampai bela-belain mengerjakan KKP di sini?”

Ayu tersenyum, “Karena tempat ini menyediakan banyak peluang penelitian. Lokasinya indah, potensinya masih banyak yang belum tergali, dan orangnya ramah-ramah. Aku yakin kami akan bisa menghasilkan penelitian yang terbaik di kampus jika mampu dapat mengumpulkan data-data penting dari tempat ini. Hihihi. Salah satu dosen pembimbing akademik kami yang mengusulkan.”

“Oh begitu. Tapi… kenapa terbaik? Bukankah ada tempat KKP lain?”

“Karena aku akan membuat penelitian terbaik mengenai Kembang Arum Asri, Desa Bawukan, dan Desa Growol. Tempat ini sungguh menarik… bahkan berkesan mistis tidak sih?”

“Wah. Sepertinya kakak kompetitif juga ya? Selalu ingin yang terbaik.”

“Harus. Aku ingin memperoleh prestasi sebanyak-banyaknya supaya melapangkan jalanku untuk mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri. Aku ini mahasiswi yang lapar sertifikat, hihihi. Selama belum kenyang, harus berusaha terus dan terus. Kalau Maudi Ayunda bisa, maka aku juga harus bisa. Hhihihi.”

“Wow… begitu ya, Kak.”

Aida dan Ayu saling bertatapan, keduanya sama-sama cantik, sama-sama ingin punya masa depan yang lebih baik. Tapi masa depan seperti apa yang akan mereka berdua dapatkan di jalan hidup yang sekarang?

Tidak ada yang tahu.

Ayu menunduk.

Seandainya saja

Seandainya saja mereka semua tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Ayu merasa sangat kotor, bodoh, dan dipermainkan. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya berlaku, tapi dia tahu ada sesuatu di kawasan ini yang membuat para wanita seakan dengan mudahnya dimangsa bak lalapan oleh orang-orang yang menjijikkan. Orang-orang tua kotor dan cabul yang memanfaatkan kondisi, situasi, dan asupan tak jelas yang menjerumuskan wanita-wanita tak bersalah ke dalam dunia gelap bergelimang dosa.

Meskipun saat ini Ayu terlihat suci, tapi… dia sebenarnya salah satu dari korban itu. Ancaman keluarga Sukir nyata dan tidak main-main. Keberadaan mereka di kawasan ini membuat tempat ini berbahaya bagi siapapun khususnya bagi para wanita berwajah ayu dan menawan.

Ayu tidak merasa dirinya cantik, dia tahu dia menarik, karena banyak pria sering menyatakan cinta kepadanya, tapi dia sudah memilih Erik sebagai pasangannya. Jelas saja dia mengkhawatirkan keselamatannya – persis seperti pesan Aida kepadanya.

Tubuh gadis muda itu bergetar karena rasa bersalah, rasa takut, dan rasa marahnya bercampur di dalam hati dan batinnya. Ayu jelas tidak ingin ini semua terjadi dan tidak ingin ada seorang pun yang tahu.

Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku malah terus melakukan ini semua?

Ayu berkeringat dingin, jelas-jelas Ia sudah terjebak tapi dia tidak ingin menyerah begitu saja. Dia adalah seorang penantang dan dia harus menang. Dia harus bisa mendapatkan apa yang dia inginkan yaitu semua prestasi yang disediakan oleh kampus dan masyarakat, dia harus mendapatkan semua kejayaan dan pengakuan, meskipun untuk itu dia harus mengorbankan semuanya.

Harus.



.::..::..::..::..::.



MERA0ZP_t.jpg


.:: BEBERAPA HARI SEBELUMNYA



Yungalah, kok bisa pakaianmu basah begini toh, Nduk Cah Ayu?”

Mbok Giyem tergopoh-gopoh membimbing Ayu masuk ke dalam rumah dengan pakaian yang basah kuyup sementara hujan turun deras di luar.

Mbah Jo yang tersenyum lebar mengikuti di belakang gadis muda itu. Dia menikmati keindahan pantat bulat sang dara.

Ha iyo toh Bune. Tadi sudah tak bilangi kalau sebaiknya menunggu reda, tapi mbak Ayu ini nggak sabar. Aku wes bilang kalau masih hujan, tapi yo malah nekat bablas wae, lari menerobos hujan,” ucap Mbah Jo dengan senyuman yang terlihat begitu licik. Laki-laki tua itu ternyata punya mulut yang ampuh saat mengatakan hal-hal di luar nurul. Dengan mudahnya ia mengarang cerita, mungkin semasa muda ia biasa menulis cerita panas.

Ayu menatap Mbah Jo dengan tatapan kesal dan galak. Matanya yang bulat indah melotot. Bisa-bisanya aki-aki tua itu mengarang cerita seenak wudelnya!

Nduk cah ayu… sebaiknya kamu ganti pakaian dulu, takutnya nanti masuk angin. Kalau tidak salah sepertinya masih ada pakaian si Ganep yang bisa dipakai. Pakaiannya bersih kok,” Mbok Giyem perhatian pada sang mahasiswi jelita itu.

“Ohh… ehhmm… nd-ndak usah, Mbok. Ayu sebentar lagi sudah mau pulang kok. Ada yang akan menjemput...”

“Lah piye toh, Nduk…? Malah mau pulang dalam konidsi begini? Suara gludug-nya jelas-jelas masih bersahutan gitu! Pasti hujannya juga belum bakal berhenti. Apa kamu yakin mau pulang hujan-hujan begini? Selain gelap, nanti jalanan turun ke kota juga licin lho. Mau naik mobil atau motor tetap saja berbahaya. Sudahlah, menginap di sini saja.”

“Ta-tapi…” Ayu kebingungan. Dia benar-benar merasa jengah tinggal di lokasi ini. Bukan apa-apa, dia tidak takut dengan kondisi rumah yang sudah tua dan dimakan rayap, dia tidak takut takhayul dan hal-hal supranatural, dia lebih takut pada pria tua yang masih getol mencicipi tubuh gadis muda. Dia sebenarnya takut dengan dirinya sendiri yang entah kenapa makin tak karuan perasaannya, Ayu melirik ke arah Mbah Jo yang cengengesan menatap keindahan tubuh sang dara di balik bajunya yang basah.

Dasar laki-laki, tidak tua tidak muda, di mana-mana sama aja.

Mbok Giyem masih terus memaksa Ayu, “Bagaimana, Nduk? Apa nggak sebaiknya menginap saja di sini? Hujannya deres lho. Langitnya gelap banget. Besok pagi saja baru kamu pulang, atau lusa sekalian sembari menunggu teman-temanmu datang. Simbok itu khawatir kalau kamu kenapa-kenapa nanti kalau memaksakan pulang di tengah hujan deras begini.”

Justru kalau di sini mungkin lebih berbahaya, keluh Ayu dalam hati, terlalu banyak predator meskipun hanya dalam lingkup satu kawasan rumah.

Tempat ini benar-benar berbahaya.

Ayu melirik ke arah luar, pintu masih terbuka, terlihat pemandangan gelap dan hujan yang turun dengan amat deras.

Sebenarnya Mbok Giyem benar – tidak memungkinkan pulang dalam kondisi seperti sekarang. Di luar sudah gelap, hujan, penerangan kurang, jalanan licin dan meliuk-liuk dengan berbatas jurang. Bukan hal yang mudah bagi yang tidak biasa.

Mbah Jo menyeringai.

“Betul itu Bune. Kalau kondisi begini, jalan ke kota itu licin. Belum lagi jarak pandang kalau sedang hujan gini kan terbatas. Sudah sering terdengar kecelakaan fatal masuk ke jurang. Lha mbok wes, lebih baik menginap saja, Nduk.” ujar Mbah Jo.

Mbok Giyem manggut-manggut menyetujui ucapan suaminya, Ayu melirik ke Mbah Jo, senyum licik penuh makna cabul terlihat kembali di wajah keriputnya. Ayu merinding dan bergidik melihatnya. Laki-laki tua ini benar-benar berbahaya, tidak sesuai dengan penampilannya yang terlihat lemah dan lusuh.

Kalau tidak hati-hati, Ayu bisa terjebak dengan mudahnya.

“Ta-tapi, Mbok….” Ayu bimbang. Bagaimana menolak ajakan Mbok Giyem? Ibu-ibu satu itu masih oke, tapi Ayu sungguh tidak percaya jika berada di sekitar Mbah Jo dan Ganep, apalagi jika harus sampai menginap – apalagi anak-anak Mbah Jo yang lain.

“Ya wes begini saja, Nduk. Terserah mau menginap di sini atau tidak, tapi sebaiknya kamu ganti pakaian dulu. Kalau basah kuyup seperti sekarang, yang ada Nak Ayu nanti masuk angin. Yuk, Mbok bantu.” Mbok Giyem menarik tangan Ayu sehingga membuat dara jelita itu tak kuasa lagi untuk menolak. Dengan terpaksa ia mengikuti sang wanita tua, “Nah ini baju si Ganep, kayaknya sih muat. Ini celana training. Seadanya saja ya, yang penting bersih.”

Mbok Giyem meletakkan pakaian yang diambilnya tadi ke sebelah Ayu, gadis cantik itu merasa tersentuh dengan kebaikan Mbok Giyem, rasanya tak sampai hati menolak. Apalagi setelah melihat pakaian yang disediakan untuknya memang bersih dan layak. Mungkin Ganep bahkan tak pernah mengenakan pakaian itu.

“Ini ya, Nduk. Wes ndak usah dipikir, tidak perlu banyak dipikir. Ganti baju saja di kamar, nanti pakaian yang basah dikasih ke Mbok biar dijemur dulu.”

“I-iya, Mbok, terima kasih,” Ayu celingak-celinguk sambil tersenyum malu-malu, “Anu… kamar mandinya di mana ya, Mbok?”

“Ayo Mbok antar ke kamar mandi, Nduk. Nanti sekalian ganti baju saja di kamar mandi,” Mbok Giyem mengajak sang dara.

Ayu pun menurut dan mengikuti Mbok Giyem. Menurut gadis itu, dari semua orang di rumah ini, sang ibu adalah yang paling aman dan tentunya normal. Mereka sampai di sebuah ruangan yang merupakan gabungan dari dapur basah dan kamar kecil.

“Itu kamar mandinya, Nduk.” Mbok Giyem menunjuk ke suatu ruangan di pojok, ia mengambil handuk bersih dari tumpukan baju yang ada di samping meja setrika dan menyerahkannya pada sang dara, “handuknya pakai yang ini. Bersih.”

Ayu pun tersenyum dan mengangguk. Ia melangkah masuk ke kamar mandi.

Saat menutup pintu kamar mandi, Ayu mulai memperhatikan bilik yang ternyata cukup lebar itu. Kamar mandi milik keluarga Mbok Giyem ini jelas tak sebagus kamar mandi di rumah atau bahkan di tempat kost-nya. Aksen warna luntur dengan dinding tembok telanjang tanpa polesan warna membuat kamar mandi itu kurang bersahabat, tapi Ayu bersyukur ruangan itu cukup bersih untuk ukuran kamar mandi di desa.

Uniknya, di dalam kamar mandi itu ada sebuah sumur yang ditutup dengan seng, dengan keran air yang tertancap di dinding. Ada juga pipa pralon yang mengarah dari sumur menuju ke satu mesin pompa air.

Ayu membuka kran yang langsung mengucurkan air yang cukup deras, Ayu menadahkan air di kedua tangannya. Bersih dan dingin. Air itu terasa sejuk di tangannya, pasti segar sekali mandi dengan air sebersih ini.

Ayu melirik ke sekeliling kamar mandi seolah takut ada yang mengintip.

“Lebih baik sekalian mandi saja, Nduk. Kalo keujanan itu sebaiknya langsung mandi biar tidak masuk angin,” ujar Mbok Giyem dari luar bilik mandi.

Iya juga sih, apalagi airnya segar banget.” pikir Ayu dalam hati.

Ayu membuka satu persatu pakaiannya yang basah, saat tiba di pakaian dalam yang dikenakannya Ayu sempat ragu karena ia tidak membawa baju ganti, namun rasa lembab yang tak nyaman membuat Ayu tak memiliki pilihan, sesaat kemudian tubuhnya sudah benar-benar telanjang bulat, tak ada sehelai pakaianpun menempel menutupi tubuh indahnya.

Ayu yang polos spontan menutupi kedua bukit indahnya, meskipun saat ini dia berada dalam ruangan yang tertutup, wajah Ayu celingukan seolah ragu dengan kondisi kamar mandi ini.

“Di rumah ini cuma ada Mbah Jo dan Ganep yang agak-agak, dan mereka sedang ada di luar. Seharusnya aman. Duh, mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja yang terlalu parno.”

Ayu melipat pakaiannya yang basah, sepasang pakaian dalamnya disembunyikan dalam lipatan pakaiannya yang basah supaya lebih aman. Ayu sedikit bingung mencari tempat untuk meletakkan pakaiannya itu karena setelah celingak-celinguk tidak ada tempat untuk menaruhnya.

Tiba-tiba terdengar suara Mbok Giyem di luar, “Nduk cah ayu… pakaian basahnya biar Mbok jemur.”

“I-iya… Mbok… sebentar…” ujar Ayu yang agak bingung, kok si mbok tau aja dia sudah melepas pakaian?

Hati Ayu sedikit bimbang dan matanya kembali mengelilingi setiap sudut kamar mandi untuk memastikan tak ada lubang atau celah untuk mengintip. Ayu membuka sedikit pintu kamar mandi yang terbuat dari triplek dilapisi seng, Ayu menjulurkan pakaian basahnya.

Mbok Giyem menerima pakaian itu.

“Amit mbok…” bisik Ayu lirih.

“Oalah basah kaya gini kok ndak mau ganti…” gerutu si Mbok sembari meninggalkan kamar mandi menuju ke dapur.

Ayu tersenyum salah tingkah mendengar gerutuan Mbok Giyem.

Setelah semua urusan dengan Mbok Giyem selesai, Ayu kembali fokus pada dirinya sendiri. Ia sedang telanjang di bilik mandi rumah orang. Tanpa sehelai benang pun! Sebaiknya segera cepat mandi! Perlahan gadis itu memainkan air di dalam bak lebar yang terbuat dari semen.

Ayu berjongkok dan menggunakan gayung bergagang panjang untuk mengambil air. Sedikit demi sedikit ia menyiram tubuhnya dengan air yang lumayan sejuk. Tubuh Ayu tersentak merasakan dinginnya air yang membasahi tubuhnya.

Meski kedinginan, tapi Ayu mengakui kalau air ini benar-benar bening dan segar khas lereng gunung. Gayung demi gayung air sumur yang ditampung dalam bak itu membasahi tubuh mulus Ayu. Ahhh, setelah semua yang ia lalui hari ini… rasa-rasanya ia berhak mandi dengan segar seperti ini, menjernihkan pikirannya yang kalut.

Perempuan muda itu tak lama kemudian berdiri dan mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk. Ia melirik ke arah gantungan baju dan terkesiap.

Lho? Baju gantinya mana? Bukankah tadi ia sudah diberikan baju ganti milik Ganep? Baju yang diberikan oleh Mbok Giyem? Kok tidak ada!? Jangan-jangan…?

Ayu menepuk dahinya sendiri, wajahnya langsung gelisah.

Ayuuuuuu! Kamu itu…! Aduhh bodohnya! Pasti pakaian ganti tadi ketinggalan di kamar! Ceroboh banget sih!

Ayu menggigit telunjuknya yang lentik, hawa dingin membuat Ayu buru-buru membalut tubuhnya dengan handuk lebar. Gadis itu pun merasa bingung apakah sebaiknya buru-buru keluar atau meminta tolong Mbok Giyem mengambilkan pakaian gantinya.

Duhh rasanya kurang sopan juga kalau menyuruh Mbok Giyem. Ya ampuuun gimana enaknya nih….?”

Sayangnya walaupun berteriak, Mbok Giyem tidak akan mendengar suara Ayu karena ia berada jauh di depan. Wanita tua itu sedang bersama sang suami yang sedang menyiapkan petromax dan menutupnya dengan kurungan ayam. Lampu petromax itu beberapa kali dipompa oleh Mbah Jo.

Heheheh. Mudah-mudahan hujannya tambah deras, biar si cantik itu tak bisa pulang heghh… heghh… heghhh…” Mbah Jo terkekeh melihat Hujan tak menunjukkan tanda berhenti. Ia celingukan ke kanan kiri, “Si Ganep kemana ya? Kenapa belum pulang sudah gelap begini? Heleh, tapi mau pulang tidak pulang juga sebodo amat lah. Mending gak usah pulang tuh bocah gemblung… hegh heghh….”

Mbah Jo berdiri dan kembali menghembuskan asap usai menghisap rokok yang tadi ia letakkan di asbak. Mbah Jo melirik ke arah istrinya yang tengah meletakkan baju-baju Ayu di atas kurungan ayam bersih yang menangkup petromax.

Bune iso wae. Itu nanti bajunya bau sangit. Orang kota tidak biasa dengan hal-hal yang seperti itu! Mengko ambune ra karuan.”

Yo wes men lah, Pak’e. Yang penting kering. Kalau mau wangi yang nanti sampai kota biar dicuci ulang. Kita hanya bisa menolong sebisanya, bukan semau dia.”

Mbah Jo mencibir sambil manggut-manggut. Ia melirik ke arah dalaman Ayu yang juga digelar di atas kurungan ayam itu. Hmm, benda semungil itu pasti wangi sekali setelah seharian menangkup selangkangan sang dara jelita. Sialnya sekarang akan berbau sangit.

Awas mripate.”

“Hehehe.”

“Sana, Pak’e.” kata Mbok Giyem secara tiba-tiba sembari mengambil payung yang ada di pojokan, dia melenggang dengan santai dan memberikan payung itu kepada sang suami yang kebingungan.

Mbah Jo bengong melihat sang istri. “Hlo? Lha udan deres e. Aku mau disuruh kemana to?”

“Nyari si Ganep. Mesakne bocah kae. Dia pasti tidak tahu jalan pulang. Sudah beberapa kali kan dia seperti ini. Sudah kewajiban kita mencarinya.”

Yungalah. Mbok ya udah to, nanti juga pasti pulang kalau hujannya sudah reda. Kamu juga bilang sendiri, ini bukan pertama kalinya. Paling-paling si Ganep ngeyup di mana gitu. Paling banter di warung buahnya si Lan.”

“Ya pokoknya ada usaha nyari lah. Wes kono. Biar aku yang mengawasi si Ayu. Kita tidak bisa membiarkan cah ayu itu pergi begitu saja. Itu kan mau kamu? Dasar bocah tua nakal.” Seloroh Mbok Giyem sembari menyindir sang suami, wanita tua itu mendengus, “aku juga ngerti kalau bocah bening seperti dia bisa dijadikan dagangan. Tapi ya ndak buru-buru juga. Kulakan yang model begitu susah dicari, jadi jangan sampai dirusak dulu, pelan-pelan. Pakai otakmu, Pak’e.”

Mbah Jo garuk-garuk kepala.



.::..::..::..::..::.



Duhhh gimana nih? Ahh bego amat dahhh…

Ayu kebingungan, saat ini dia hanya bermodalkan handuk. Tentu saja dia tidak ingin Mbah Jo melihat dirinya hanya berbalut handuk seperti ini.

Ayu membuka pintu kamar mandi perlahan, diintipnya keadaan di luar, dia tidak melihat Mbok Giyem karena yang bersangkutan tengah menjemur pakaiannya yang basah di ruang depan. Lagipula Ayu merasa tidak enak.

Masa aku nyuruh-nyuruh orang tua sih? Duhh mana dingin banget, kalau kelamaan begini bisa-bisa aku masuk angin. Hmm mudah-mudahan aki-aki mesum itu masih di luar…”

Ayu memutuskan untuk keluar kamar mandi, gadis itu berjalan cepat menuju kamar Mbok Giyem. Karena kakinya yang basah dan lantai tempatnya berpijak cukup licin, gadis muda itu terpeleset saat berjalan terburu-buru.

Beruntung ada sepasang tangan menangkap tubuh Ayu yang limbung, Ayu terkesiap dan terbelalak saat menyadari dirinya tengah berada dalam dekapan seorang lelaki.

“Hehehe… hati-hati, Mbak.”

Ayu buru-buru melepaskan diri dari dekapan pria itu, dia bukan Mbah Jo dan jelas sekali bukan Ganep ataupun pak RT. Siapa dia? Ayu memegang kuat-kuat handuk yang menutup tubuhnya, ia khawatir handuk itu akan terlepas.

Pria itu adalah salah satu dari trio Sukir – Sukirno, anak mbarep Mbah Jo dan Mbok Giyem. Tentu saja Ayu tidak menyadari hal itu dalam kondisinya yang sekarang.

“Ma-maaf. Terima kasih.”

Ayu berjalan cepat tanpa menoleh lagi, dia bahkan tidak peduli siapa orang itu. Sukirno tersenyum mesum, lidahnya menjilat bibirnya yang tebal, seolah melihat Ayu sebagai hidangan lezat dalam lapar syahwatnya, fokus pria tua itu terganggu saat mendengar suara berisik dari dapur, pemuda itu pun berjalan ke arah suara tadi.

Lagi ngopo toh, Bu? Gedombrang-gedombreng bengi-bengi. Malam-malam bukannya istirahat malah ramai banget. Sedang ngapain ibu itu?”

Oalah kowe toh, Le. Iki kuping pancine ucul. Pegangan pancinya lepas. Padahal aku lagi mau buat wedang uwuh buat mbak Ayu, kasihan dia. Kehujanan tadi.”

“Oh begitu toh. Itu yang namanya Ayu? Yang mau penelitian di Balai Desa ya?”

“Iyoh.” Mbok Giyem melirik ke arah sang pembarep. “Lha kowe ngopo mrene udan-udan, Le? Hujan-hujan kok ke sini?”

“Mau nyariin Bapak.”

“Bapakmu keluar, nyari si Ganep ga tau lagi di mana. Piye to?”

“Heheheh. Mau minta obatnya si Lan kalau Bapak masih nyimpen.”

Mbok Giyem terdiam sejenak, ia menghela napas, dan menggeleng kepala, “Anak bapak sama saja.”

“Heheheh.”

“Hla kok nyari di sini? Kenapa ndak langsung minta saja ke si Lan? Hujan-hujan begini pula. Wes ra kuat leh mu ngaceng po piye? Mantumu wes ngangkang?”

“Heheheh,” Sukirno cengar-cengir, “si Lan tidak ada di rumah, pintunya dikunci. Paling-paling di Pager Jurang. Aku males ke sana.”

“Ya wes itu, di kaleng wafer. Siapa tahu masih ada.”

Sukirno mengangguk dan langsung menuju ke lokasi yang sudah sangat ia hapal. Mbok Giyem melap tangannya dengan secarik kain,lalu bergegas meninggalkan dapur.

Pak No tersenyum, seringai senyumnya menyiratkan kalau sebuah rencana busuk tengah tersusun dalam otaknya yang mesum. Pria tua itu membuka dan merogoh-rogoh ke dalam kaleng wafer, mencoba mencari sesuatu. Sesaat kemudian senyumnya kembali tersungging, Ia mengambil sesuatu yang terselip dalam sebilah bambu potong, tangannya kini mengenggam sebuah plastik kecil berisi serbuk kecoklatan.

Akhirnya dapat juga.



.::..::..::..::..::.



.:: KEMBALI KE MASA KINI



“Jadi beneran dia menghilang? Di mana nih si Ayu? Kita bakal tidur di mana malam ini? Yang dia bilang kamar di balai desa sama sekali masih kotor.” tanya Eva sembari memegang cermin dan merapikan rambutnya, “aku tidak melihatnya lagi sejak dia jalan bareng Aida tadi. Masa kita ditinggal begini aja nih? Gimana sih si Ayu?”

Usai merapikan rambut indahnya, Eva memonyong-monyongkan bibir di depan cermin. Ia juga merapikan pakaian yang ia kenakan – yang sengaja ataupun tidak, membuat belahan dada-nya terlihat sangat memukau dan menggairahkan. Tidak bisa dipungkiri memang, ia memiliki dada yang sedemikian sentosa dan membuat mata pria mengembang bagaikan dipupuk… kecuali bagi Dedi.

“Aqiqah juga sudah nyariin, tapi ga ketemu. Sudah coba telpon, tapi gak aktif hp dia, cyinnn… confuse deh harus ngapain lagi,” Dedi memanyunkan bibirnya lalu duduk di depan Eva, “Kalau tidak salah ada tempat tinggal kan buat kita? Masa iya di balai desa? Kamarnya bau kecoaaaak. Banyak kardus busuk! Iih, emoh akuuu. Emohhhh.”

“Kalian ini manja banget sih? Tinggal nungguin bentar aja berisik. Selama ini kan dia juga yang bantuin kita mengurus semua hal di sini. Positive thinking aja kenapa? Kali-kali aja ada hal mendadak yang harus diurus dan dia tidak bisa menghubungi kita karena baterai ponsel dia habis. Kalau tidak salah tadi Pak RT juga datang ke sini kan buat mencari dia,” Vina meletakkan tasnya yang sudah rapi di meja Eva dan Dedi, “kalau memang ada sesuatu, aku yakin Ayu pasti bakal menghubungi kita. Dia bukan tipe yang akan meninggalkan teman-temannya.”

“Nah terus kemana dia sekarang? Sudah mulai gelap lho, takutnya hujan deres kayak tempo hari,” Eva kini duduk di samping Dedi, berseberangan dengan Vina. Eva menggigit telunjuknya, sepasang kakinya bergoyang menandakan kecemasan yang dirasakan hatinya.

“Dah gak usah kuatir gitu donk, cyinnn. Aqiqah jadi ikut gelinjang eh gelisah…” Dedi menggigit bibirnya.

“Apa jangan-jangan dia balik ke rumah yang tadi pagi ramai itu ya?” kata Eva tiba-tiba, “Ayu kan paling getol ngurusin urusan orang yang bukan urusan dia sama sekali.”

“Nah Aqiqah juga mikir gitu cyn, dese mungkin balik ke sana lagi sama si Aida,” Dedi setuju dengan ucapan sang teman.

Sesaat kemudian hujan benar-benar turun. Eva, Vina, dan Dedi terjebak di Balai Desa yang sudah gelap dan sepi senyap, memandang ke arah parkiran dengan pandangan lelah.

“Aqiqah lapeeer.”

“Sabar ya, Ded. Mudah-mudahan sebentar lagi Ayu balik, itu ransel dan perlengkapan dia masih di sini, jadi dia pasti akan balik ke sini. Lagipula kamu kan tadi udah habisin sendirian mie goreng delapan bungkus. Aku sama Eva aja ga kebagian.” Vina mencoba menenangkan sang sahabat.

“Hihihihi… maklumlah ceu, Aqiqah kan sedang dalam masa pertumbuhan.”

“Tumbuh itu ke atas, say. Bukan ke samping.”

“Ihhh! Komentar julid netizen tuh yaaaah! Paling bisaaaaaah!”

Eva dan Vina tertawa sementara Dedi manyun sambil membolak-balik badannya yang memang akhir-akhir ini terlihat semakin tambun. Vina melirik ke samping, ke arah parkiran kosong. Suasana makin temaram dan sepi, agak horror juga kalau begini terus. Dia berusaha menjadi yang dewasa di antara mereka bertiga karena Ayu tidak ada. Kemana sebenarnya dia? Apakah masih bersama Aida? Kenapa Ayu meninggalkan mereka di sini?

Tiba-tiba saja dari arah parkiran Balai Desa, muncul beberapa orang mengenakan jas hujan dan payung datang. Beberapa orang bapak-bapak tua yang hanya mengenakan sendal jepit, kaos dan celana pendek menjemput ketiga teman Ayu.

Salah seorang yang terdepan segera membuka penutup kepala untuk menunjukkan wajah pria tua yang tirus cenderung kurus, kumis dan jenggotnya mirip ijuk berwarna abu.

Vina, Eva, dan Dedi saling bertatapan.

“Permisi Mbak dan Mas. Saya dan rekan-rekan diutus oleh Pak RT untuk menjemput Mas dan Mbak.”

Dedi mendekat dan memegang lengan Vina dengan erat. Pemuda itu pun berbisik, “Eike kok jadi deg-degan yah, Cyin? Apakah ini yang namanya cinta? Eh maksudnya… apakah ini yang namanya pirasat bahaya? Mereka teh siapa? Kenapa menjemput kita?”

“Haish! Apaan sih kamu curiga melulu.” Vina membalas bisikan Dedi.

Gadis cantik yang rambutnya dikucir kuda dan berpenampilan atletis itu pun segera menghampiri pria yang baru datang, “Maaf. Saya Vina, maksudnya mau dijemput kemana ya, Pak? Kami tidak ada kabar apa-apa dari rekan kami. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini tanpa kejelasan dan tanpa teman kami.”

“Maksudnya Mbak Ayu ya? Beliau sudah dijemput sewaktu bertemu pak RT tadi di cluster Kembang Arum Asri. Mbak Ayu menitipkan salam katanya hape batrenya habis jadi tidak bisa menghubungi kalian.”

“Oalaaaah, tuh kaaaaaaan!” Dedi mengayunkan tangannya dengan melambai.

“Deeeed! Diam dulu napa sih?” Vina menghardik sang teman. Ia mengangguk ke arah Dedi dan Eva, “Maaf ini dengan Bapak siapa ya? Lalu kenapa kami dijemput hujan-hujan begini? Bukankah kami sudah disiapkan kamar untuk ditempatin di Balai Desa ini?”

“Saya Parmin, Mbak. Saya dan teman-teman ini bagian dari Linmas.” Pria tua berkumis ijuk itu menunjuk teman-teman di belakangnya yang masih mengenakan tudung jas hujan mereka, “Kami mendapatkan info dari pak RT jika bilik yang sudah disiapkan ternyata bocor dan banyak bangkai tikus. Belum sempat dibersihkan oleh rekan-rekan staf desa.”

Dedi menggoyang-goyang pundak Eva. Ia kembali berbisik, “Tikuuuuus!? No no no…! Eike paling jijik lihat itu Mickey Mouse! Mana ga pake celana lagi! Idiiih! Gemeees! Eh… geli aing! Ih no no no!”

“Apalagi aku, Ded. Idih, nggak banget. Ga ada hotel ya dekat sini?”

Vina memilih untuk tidak menghiraukan kedua temannya. Ia mengangguk-angguk ke arah Pak Parmin, “lalu kami mau dijemput kemana?”

“Ke tempat tinggal sementara, Mbak.”

“Syukurlah kalau begitu.” Vina tersenyum, ia mengayunkan tangan pada Dedi dan Eva, “yuk kita ikut Bapak-Bapak ini.”

Eva dan Dedi mengangguk.

Pak Parmin mempersilakan, “Mbak yang depan bisa sepayung sama saya. Mas-nya sepayung sama Mas Rais yang di sana, dan Mbak yang di belakang bisa ikut Pak Wolu. Sementara Mang Dharma akan membawakan tas Mbak Ayu ke rumah Mbok Giyem.”

Vina dan teman-temannya saling berpandangan. Dengan canggung Vina yang merasa aneh segera bertanya, “Kira-kira apa boleh saya dan Eva pinjam satu payung, Pak? Supaya bisa membawa barang bersama? Kebetulan ada beberapa perangkat yang cukup berat.”

Pak Parmin menggeleng, “tujuannya beda-beda, Mbak. Barang-barang yang berat biar kami bawakan.”

“Ha?” Eva mengerutkan kening, “kok tujuannya beda-beda, Pak?”

“Iya, Mbak. Di luar rumah orang tuanya pak RT yang sudah menampung Mbak Ayu, kebetulan hanya ada tiga rumah lain yang bersedia menampung Mbak-Mbak dan Mas ini, kebetulan lagi masing-masing hanya bisa menampung satu orang. Di situasi mendesak seperti sekarang, rasanya itu solusi terbaik. Kami akan mengantarkan Mbak dan Mas ke rumah-rumah itu. Arahnya berbeda-beda.”

Dedi menggeleng, “Tidaaak tidaaaak tidaaaaak. Aku tidaaaak maaau. Aku tidak mau berpisah sama kalian. Aku tidak mau terpisah dari kalian semua!! Kita adalah kesatuan, kita adalah persatuan. Aku tidak mau berpisah. Kalau berpisah tidak bisa pinjam skincare mahalnya Eva lagi. Oh tidaaaak.”

“Haish! Dedi apaan sih! Kalau sudah niat penelitian di sini ya harus siap dengan segala kondisi,” hardik Vina kembali. Ia pun mengangguk kepada pak Parmin, “Baik, Pak. Kami bertiga ikutin Bapak-Bapak.”

Dengan rengekan Dedi yang tak henti, ketiga mahasiswa itu pun berpisah ketiga arah yang berbeda. Masing-masing menuju rumah yang siap untuk menampung mereka. Vina sebenarnya merasa aneh dengan pengaturan yang tiba-tiba ini, tapi mereka bertiga butuh tempat tinggal malam ini.

Sayang Vina dan Eva gagal melihat senyum aneh dari pak Parmin dan pak Wolu. Kedua pria tua itu saling mengedipkan mata, sementara Rais yang sepayung dengan Dedi bersungut-sungut. Dedi sendiri malah deg-degan dan salah tingkah sepayung dengan sang pemuda desa.

Mereka tidak melihat keanehan dan tidak menghiraukan kejanggalan.

Sayang sekali.



.::..::..::..::..::.



.:: DI RUMAH MBAH JO DAN MBOK GIYEM



Seperti dejavu.

Baru beberapa hari yang lalu Ayu berada di rumah ini, mandi setelah basah kuyup, dan mengenakan baju milik Ganep. Kini ia berada di sini kembali sementar hujan mengguyur deras di luar sana. Kalau kemarin ia dijemput Erik, malam ini tidak mungkin karena dia dan teman-teman sudah harus menginap di sini.

Pak RT sudah mengutus rekan-rekan Linmas untuk menjemput dan menyebar kawan-kawannya ke tempat tinggal sementara. Terpaksa Ayu harus tinggal di sini bersama keluarga yang unik ini.

Satu hal yang agak teledor, tasnya masih tertinggal di Balai Desa. Baju dan pakaian yang lain ada di sana. Jadi sekali lagi ia harus mengenakan baju milik Ganep yang disediakan oleh Mbok Giyem.

Benar-benar seperti dejavu.”

Ayu tampak gelisah memandang dirinya di depan cermin, kaos yang dikenakan lumayan gombrong, namun celana yang dipakainya terlihat menggantung, maklum Ayu tinggi semampai. Tapi bukan itu yang membuat Ayu gelisah, di balik kaos dan celana yang digunakannya ini, Ayu sama sekali tak mengenakan dalaman apapun, bra dan celana dalam yang dipakainya kembali diambil dan dijemur oleh Mbok Giyem.

Angin dingin yang masuk di sela-sela lubang angin kamar, membuat tubuh Ayu yang baru mandi agak kedinginan, dan celakanya udara dingin malah membuat puting susunya menjadi merengket dan terlihat menonjol di balik kaos yang dikenakannya, Ayu berusaha menjaga kaosnya agar tak terlalu menempel di tubuh bagian depannya.

Ayu mengambil HP dari dalam tas jinjing yang untungnya selalu ia bawa kemana-mana, sesaat kemudian dia membongkar isi tas itu dan menggeleng kepala. Ia sudah melakukan hal ini tadi dan ternyata memang benar tidak ada charger ponselnya.

Kenapa juga charger aku tinggal di Balai Desa? Duh teledor banget. Kayaknya gak mungkin juga orang-orang di sini punya charger Iphone. Ahhhh, kenapa semua jadi berantakan begini sih? Mudah-mudahan temen-temen gak kenapa-kenapa.”

Ayu menggaruk kepalanya, tiba-tiba terdengar suara orang bercakap-cakap di luar kamar, Ayu berjalan pelan mendekati pintu kamar untuk mencoba mendengarkan.

“Si Man sempat mampir sebelum hujan tadi, kata dia Ganep masih belum mau pulang. Dia sedang senang tidur di kios buahnya si Lan, sedari lusa kemarin kan. Tidak perlu khawatir juga karena ada yang nemenin, anak buahnya si Lan. Malam ini dia dan Ganep tidur di sana. Kata si Kirman itu bocah juga sudah pulas tidur, Ganep kan susah dibangunin kalau sudah tidur begitu,” ujar Mbok Giyem. “Aku juga sudah bilang ke si Lan untuk menyiapkan makan dan minum seandainya tiba-tiba Ganep kelaparan.”

“Ya wes. Baguslah kalau begitu.” gumam Mbah Jo pelan.

“Jangan berpikiran yang aneh-aneh, sampeyan.” ketus Mbok Giyem berujar pada aki-aki mesum di depannya, “aku tidak akan tanggung kalau sampai sampeyan kena getahnya nanti. Apalagi kalau urusannya bakal panjang.”

Welaaaah, aku ra ngomong opo-opo lho yo! Aku ambil jaket dulu wae lah, adem-e ora umum,” Mbah Jo ngeloyor pergi ke kamarnya.

Ayu yang mendengar pembicaraan kedua manula itu agak sedikit lega karena Ganep dipastikan tak ada malam ini di rumah. Tapi ancaman masih belum usai.

Ganep sih tidak ada, tapi… duhhhh gimana kalau Mbah Jo macem-macem? Ahhh sepertinya gak mungkin berani. Kan ada Mbok Giyem disini. Ya kan? Gak mungkin berani kan?” Ayu mencoba meyakinkan dan menenangkan dirinya sendiri.

“Nduk? Sudah selesai ganti pakaiannya? Ayo keluar sini. Mbok sudah buatkan wedang jahe, biar ndak masuk angin.” Mbok Giyem tiba-tiba mengetuk pintu kamar yang ditempati oleh sang dara.

“Hmmm? I-iya, Mbok. Sebentar.” Ayu sedikit sungkan dan tak kuasa menolak tawaran Mbok Giyem yang sudah susah payah membuatkan minuman hangat untuknya. Ia pun mengenakan sarung milik Ganep untuk menutup paha mulusnya dan mengenakan kerudung instan yang untung saja sudah ia sediakan di tas jinjing. Ia mengenakan kemeja lengan panjang milik Ganep untuk menutup bagian atas tubuhnya supaya lebih terlindung, ia tidak bisa mengancingkannya karena bagian dadanya yang montok. Mudah-mudahan saja ia aman dan terlindung.

Ayu membuka pintu dan tersenyum pada Mbok Giyem yang menggandengnya ke ruang depan. Di ruang tamu, Ia duduk di sebuah kursi tepat di depan kamar Mbok Giyem. Ruangan yang berdempetan dengan ruang belakang sepertinya kamar Mbah Jo dan Ganep.

Mata gadis itu segera bergerak berkeliling, ia memandangi ruangan tamu yang sederhana ini, lantainya sudah dilapisi keramik ukuran 40x40 berwarna putih, ada sebuah lemari kaca yang terlihat tua dengan barang-barang hiasan yang juga berdebu.

Di sebelah kursi Ayu ada sebuah meja lecil berlapis kaca yang kelihatannya cukup antik dan di atas meja kaca itu terdapat 3 buah cangkir kaleng hijau burik berisi wedang jahe yang dibuat oleh Mbok Giyem.

“Ayo diminum, Nduk. Dibuka dulu tutupnya biar cepat hilang uap panasnya. Minum selagi hangat akan terasa nikmat apalagi kalau hujan begini,” ujar Mbok Giyem dengan senyum khasnya. Dia ikut duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan Ayu.

“Aduh jadi repot kan, Mbok. Terima kasih banyak,” balas Ayu sambil meniup dan meminum wedang jahe seruput demi seruput. Ia tersenyum pada sang wanita tua, “Enak mbok wedangnya, kalau kemarin wedang uwuh, sekarang wedang jahe ya. Ayu jadi tidak enak merepotkan terus.”

“Oalah ndak usah merasa begitu toh. Kita sama-sama saling bantu, Nduk. Mbok kan tidak punya anak wedhok, jadi saat ada Ayu, Mbok merasa senang bisa membantu seperti anak sendiri.” Ayu tersenyum lembut, Mbok Giyem pun membalas senyumannya, “Sebentar lagi mang Dharma datang untuk mengantarkan tas-nya Ayu, ditunggu saja ya di sini, Mbok ke belakang sebentar. Mau menyiapkan makanan unuk kita semua nanti, termasuk Mang Dharma.”

Wanita tua itu pun bangkit hendak menuju dapur. Ayu yang merasa tidak enak mencoba bangkit untuk mengikuti, namun dilarang oleh Mbok Giyem.

“Sudah di sini saja. Dinikmati saja nduk wedangnya. Biar tubuhmu hangat.”

Ayu duduk lagi dan mengangguk sambil tersenyum.

Gadis itu mencoba menikmati wedang jahenya, pandangan Ayu menyapu ke seluruh ruangan, sejak tadi dia tak melihat Mbah Jo sehingga terasa tenang. Kalau sudah begini kan dia bisa aman. Sebenarnya sejak awal Ayu tidak ingin tinggal bersama Mbah Jo, tapi tiba-tiba saja pak RT memaksanya untuk menetap sementara di rumah ini. Siapa Ayu sehingga bisa menolak?

Ayu mendesah kecewa, diam-diam ia berdoa dan berharap Mbah Jo sudah tidur.

Namun baru saja terucap, aki-aki tua mesum itu muncul dan duduk menggelosor di lantai dan menyender di lemari tua tepat di samping Ayu, Mbah Jo tersenyum penuh arti, Ayu sedikit jengah dan berusaha memperbaiki duduknya, terutama pakaiannya. Ayu benar-benar mati kutu dan serba salah. Ia memegang kemeja yang ia kenakan dengan lebih erat.

Mbah Jo sebenarnya tahu kalau Perempuan muda itu tak mengenakan dalaman apapun di balik pakaiannya, saat meracik wedang jahe dia melihat perkakas pribadi Ayu di jemur oleh sang istri.

Tatapan Mbah Jo begitu tajam ke arah betis mulus Ayu yang sedikit terlihat karena sarungnya tersingkap, Mbah Jo terbayang tubuh Ayu yang hanya mengenakan luaran.

Ayu ketakutan melihat tatapan Mbah Jo. Ia khawatir aki-aki busuk itu sedang mengatur siasat untuk mendapatkan kehangatan tubuh indahnya malam ini.

Suasana ruang tamu menjadi sangat hening dan awkward dengan kedatangan sang lelaki tua, Ayu benar-benar merasa tak nyaman dengan keberadaan Mbah Jo. Untungnya tak berapa lama kemudian, Mbok Giyem kembali muncul.

“Bagaimana wedangnya, Nduk? Sudah lebih hangat kan tubuhmu?”

“Sudah, Mbok. Terimakasih banyak,” balas Ayu dengan ramah dan sopan. Suaranya yang merdu bagaikan musik di telinga sang pria tua yang kini tersenyum senang.

“Kalau begitu terimakasihnya ke Mbah Jo, Nduk. Itu yang buat Mbah Jo loh. Kuwi Pakne, denger ndak? Jare mbak Ayu wedang jahene enak.”

“Yo pastilah Bune. Ndak bakal ada yang bisa menyamai racikan wedang jaheku, hahahaha.”

Ayu hanya mencibir saja sementara Mbah Jo tertawa jumawa. Pria tua itu lantas bangkit dan mengambil sesuatu dari dalam lemari. Ayu mencoba mengamatinya. Seperti obat nyamuk?

Tiba-tiba saja Mbok Giyem mendesah, “Oalah. Dipuji wedange enak malah sombong. Kebangeten pancene. Ya wes, aku wes ngantuk, nak Ayu apa sudah ngantuk?” tanya Mbok Giyem.

Meski lelah setelah banyaknya kejadian sedari pagi, Ayu sebenarnya belum merasa ngantuk, namun dia juga tak ingin berduaan dengan aki-aki mesum itu, “Hmm… iya kayaknya, Mbok. Kalau Mang Dharma datang bagaimana ya?”

“Biar nanti Mbah Jo yang menunggu. Kamu istriahat saja, biar Mbok rapihkan kamarnya dulu.”

“Biar Ayu bantu, Mbok.”

Ayu bergegas mengikuti Mbok Giyem masuk ke dalam kamar, namun entah mengapa sesaat sebelum masuk kamar, Ayu malah sempet-sempetnya menoleh kembali ke arah Mbah Jo.

Saat melihat Mbah Jo menyeringai, Ayu sedikit bergidik. Kenapa aki-aki tua itu tersenyum? Ayu pun buru-buru masuk ke dalam kamar.



.::..::..::..::..::.



“Kebetulan sepereinya juga baru diganti, jadi rasanya tidak perlu diganti lagi. Ini seprei yang kamu pikir pas terjebak hujan itu. Ada selimut juga buat kamu. Tidak perlu malu-malu di sini, anggap saja rumah sendiri.”

Mbok Giyem memberikan selimut tipis nan khas garis-garis berwarna putih abu yang mulai agak kusam namun terlihat bersih dan lumayan wangi. Ayu memandang sekeliling, kamar ini memang sederhana tapi cukup nyaman. Ia sudah merasakannya kemarin tempo hari.

“Terima kasih banyak Mbok, Ayu bener-bener merasa tak enak sudah merepotkan. Sungkan banget. Ayu berterima kasih sudah banyak dibantu oleh Mbok Giyem selama di sini.”

“Eladalah, masih aja berpikiran seperti itu. Sudah dibikin santai saja. Kita tidur saja ya, Simbok sudah sangat mengantuk.” Mbok Giyem mulai berbaring sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang khas orang tua.

Ayu memandang Mbok Giyem sambil tersenyum, melihat Mbok Giyem, Ayu teringat dengan almarhum mbah putrinya, sifatnya persis sama dengan Mbok Giyem, ramah dan tulus.

Ayu juga ikut membaringkan tubuhnya, walau tak ada kipas angin namun udara kamar ini cukup sejuk, malah terasa agak dingin, lubang angin di atas jendela menjadi tempat masuknya udara dingin dari luar, sebenarnya kalau tidak hujan udara kamar ini cukup sejuk, namun karena hujan lebat tadi anginnya memang terasa agak dingin.

Setelah melepas sarung, kemeja lengan panjang, dan kerudung instannya, Ayu pun mencoba memejamkan mata.

30 menit berlalu.

Ayu menghela napas karena kecewa pada diri sendiri. Bukankah badannya capek? Kenapa sulit sekali memejamkan mata?

Ayu menoleh ke Mbok Giyem yang asik mendengkur pertanda nenek itu telah melanglang buana ke alam mimpinya, Ayu tidak terganggu dengan suara dengkuran Mbok Giyem. Ia justru senang perempuan tua itu bisa beristirahat setelah seharian ia ganggu.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

Aku ini kenapa ya?

Entah kenapa Ayu merasa gelisah. Walau udara sejuk namun tubuh Ayu mulai berkeringat, jantungnya berdegup kencang, ulu hatinya terasa bergerumut seperti menginginkan sesuatu. Ayu menyibakkan selimutnya karena merasa gerah.

“Kenapa kok tiba-tiba badanku terasa seperti ini?” Ayu melirik ke arah Mbok Giyem yang semakin nyaman dan mendekap selimutnya.

Ayu berbaring dengan gelisah, gerumut di ulu hatinya semakin membuatnya resah, degup jantungnya berpacu cepat, Ayu menggigit bibir. Ke kanan, ke kiri, rasanya sama saja, tetap gelisah.

“Bau apa ini? Seperti ada yang membakar sesuatu yang wangi…? Apakah ini obat nyamuk Mbah Jo tadi? Baunya membuat pusing dan… dan…”

Badan Ayu terasa begitu aneh, sepasang kakinya bergerak merespon rasa gatal yang muncul di sekitar kewanitaannya. Rasa gelisah itu juga mulai menggerumut di ujung putting susunya. Tanpa sadar tangan Ayu meraba putingnya sendiri.

Ayu terlonjak! Putingnya terasa sensitif dan rasanya… rasanya seperti gatal dan geli berbarengan, Ayu mendesah-desah perlahan. Ia memilin putingnya semakin kuat untuk meredakan rasa gatal yang teramat sangat, namun semakin Ayu memilin, gatal itu semakin menjadi, rasanya begitu nikmat dan menagih, Ayu menggelinjang sambil merapatkan kedua pahanya untuk menekan rasa gatal yang juga muncul di vaginanya.

Aduuuh, kenapa ini? Kenapa aku jadi seperti ini?

Ayu yang polos sama sekali tak mengerti kenapa tubuhnya tiba-tiba seperti ini.

Terdengar suara pintu terbuka.

Mbah Jo membuka perlahan pintu kamar, senyum culas tersungging di bibirnya saat melihat Ayu gelisah merespon gelombang syahwatnya yang tiba-tiba menyerang. Dia tidak tahu Mbah Jo telah menjebaknya dengan serangan double combo. Dari minuman dan wewangian.

Perlahan-lahan Mbah Jo mendekati gadis cantik itu, Ayu benar-benar tak sadar kalau Mbah Jo sudah berada di dekatnya. Ayu jelas terlonjak keget ketika sebuah telapak tangan menangkup payudaranya dengan kasar!

Ayu menoleh, sosok wajah yang jauh sekali dari tampan muncul dihadapannya, sosok itu cengengesan memamerkan giginya yang tinggal gusi

Mbah Jo!?

Ayu memandang Mbah Jo dengan tatapan bingung, antara takut tapi anehnya juga bergairah. Ia pun menatap ketakutan pada sang lelaki tua.

Mbah Jo pun mendekati telinga Ayu “Nikmati saja cah Ayu. Simbah akan membawamu terbang tinggi ke puncak kenikmatan.”

Ayu jelas menggelengkan kepala berulang-ulang.

Mbah Jo tak mempedulikan gelengan kepala Ayu, tangannya sibuk meremas lembut buah dada Ayu yang meskipun tak terlalu besar tapi cukup menggairahkan itu, Ayu berusaha menahan tangan Mbah Jo, namun sepertinya Ayu juga tak mampu melakukannya. Yang terlihat malah Ayu hanya memegang tanpa berusaha kuat menolak perlakuan Mbah Jo itu.

“Bagaimana rasanya, Nduk? Enak kan Mbah giniin? Hahahaha.” goda Mbah Jo perlahan.

“Jangannn mbah…tolong…jangannn…hentikan….” Ayu memelas dalam bisikan.

“Opo nduk? Jangan hentikan? Baik.. baikkk! Tidak akan Mbah hentikan. hagh.. haghhh.. haghh..” Mbah Jo tertawa mengejek.

Ayu menoleh ke arah Mbok Giyem, nenek tua itu sama sekali tak terganggu dengan kegiatan tak senonoh yang sedang terjadi, dengkurannya terdengar normal seperti tadi. Kok bisa selelap itu? Ayu bingung apa sebaiknya membangunkan Mbok Giyem sekarang juga atau bagaimana?

Kalau Mbok Giyem tahu, mungkin dia akan bisa menolong Ayu dan…

“Ahhhhhggg…”

Ayu hampir saja menjerit, buru-buru dia menutup mulutnya, matanya mendelik ke Mbah Jo! Betapa tidak, lelaki tua nakal itu kinitTengah meraba-raba selangkangan Ayu, karena Ayu tak mengenakan celana dalam, tangan Mbah Jo begitu telak menyentuh belahan vaginanya.

Ayu yang belum pernah tersentuh oleh lelaki sebelumnya menjadi terkejut bukan kepalang. Sentuhan Mbah Jo di belahan vaginanya terasa seperti strum yang mengejutkan seluruh sendi tubuhnya.

Ayu kembali sadar dan berusaha mati-matian menahan tangan kekar Mbah Jo, tanpa sadar Ayu mendesah saat rabaan dan tekanan Mbah Jo begitu tepat menyentuh pusat rasa gatalnya, tenaga Ayu yang sejak tadi menahan gempuran Mbah Jo mulai melemah, Ayu menutup mulutnya agar tak mendesah.

Ahhhh kenapa ini enak sekali….?” Ayu mengutuk dirinya sendiri.

Ayu memejamkan mata, hatinya bingung dan bimbang antara menolak dan membiarkan, sentuhan Mbah Jo benar-benar mengobati rasa gatal di memeknya, gadis muda itu benar-benar sedang dalam bahaya besar.

Tiba-tiba Ayu merasakan benda kenyal dan basah menempel di bibirnya, bau napas Mbah Jo membuat Ayu mual, namun Mbah Jo sama sekali tak berniat mundur, di lumatnya bibir Ayu dengan kasar dan brutal, tangannya terus menggesek belahan memek gadis polos itu, Ayu sekuat tenaga mengunci mulutnya, lidah Mbah Jo terasa menyapu seluruh permukaan bibirnya, lidah itu berusaha masuk ke celah bibir Ayu yang terkunci rapat.

Gempuran Mbah Jo di belahan memeknya membuat Ayu tak tahan lagi untuk mendesah, momen itu dimanfaatkan Mbah Jo untuk memasukkan lidahnya ke mulut Ayu, gadis cantik itu tak kuasa lagi menahan gempuran mulut Mbah Jo, wajahnya bergerak kekiri ke kanan untuk menghindari lidah Mbah Jo, namun kini tangan Mbah Jo mulai menyelinap masuk ke selangkangannya.

“Aghhhhhhhhh…”

Ayu mengerang lirih lagi, jemari besar Mbah Jo kini mendarat langsung di klitorisnya, tangan berpengalaman itu langsung saja menekan dan menggesek klitoris sang gadis polos.

Ayu semakin larut dengan permainan Mbah Jo, rasa gatalnya kini semakin menjadi. Ia terangsang hebat. Tekanan jari Mbah Jo di klitorisnya membuat rasa gatal di dalam lubang senggamanya terasa begitu menyiksa. Ayu berharap jemari itu masuk dan menggaruk rasa gatal yang tak tertahankan itu.

Tanpa Sadar Ayu mulai menyerah dengan lumatan Mbah Jo, lidahnya kini malah aktif begerak mengimbangi lidah sang kakek tua, rangsangan birahi yang semakin kuat membuat Ayu tak peduli lagi dengan bau napas Mbah Jo.

Tapi… tidak semudah itu.

Tiba-tiba Mbah Jo melepaskan bibirnya, begitu pula tangan dan jari-jari nakalnya kini meninggalkan memek Ayu.

Ayu menatap Mbah Jo dengan nanar seolah protes kenapa Mbah Jo berhenti. Napasnya tersengal-sengal, Mbah Jo tersenyum sambil menunjukkan jari telunjuknya pada Ayu.

“Memek kamu sudah basah banget, Nduk. Kamu pasti sudah kepengen sekali dientot sama laki-laki tua ini kan? Hagh.. haghh.. hagghhh..” ejek Mbah Jo.

Ayu hanya diam, dadanya naik turun karena mengatur irama napasnya yang ngos-ngosan, pelecehan verbal Mbah Jo itu malah membuat syahwatnya semakin menggelora, dan Ayu berusaha mati-matian mempertahankan kewarasannya saat ini untuk tak memohon disetubuhi oleh lelaki tua yang pantas menjadi kakeknya itu.

Ayu memalingkan muka sembari terus mendesah-desah, napasnya terasa berat.

“Jangan di sini. Tidak enak sama istriku, nanti dia bangun. Haagh.. haghhh… Di kamarku saja,” bisik Mbah Jo sambil tertawa mengejek.

Ayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mbah Jo mendekatinya sambil tersenyum. Ayu berusaha menghindar, tangan Ayu menepis tangan Mbah Jo yang berusaha meremas payudaranya, Mbah Jo mencengkeram kedua tangan Ayu dengan sebelah tangannya, dipelintir dan dikunci. Tenaga Ayu kalah kuat dengan Tenaga Mbah Jo, Ayu meringis saat merasa pergelangan tangannya sedikit nyeri. Melihat Ayu tak berkutik lagi, Mbah Jo langsung menyelinapkan tangan ke selangkangan Ayu.

Kembali Mbah Jo memainkan dan menggesek klitoris Ayu dengan kuat, Ayu benar-benar tak kuasa lagi menahan gempuran Mbah Jo. Gadis muda itu mengatupkan mulutnya agar suara erangannya tak terdengar, Mbah Jo menambah serangannya. kini payudara Ayu diremas olehnya dengan lembut, tangannya yang lain terus menggesek antara klitoris dan belahan memek Ayu, walau Ayu menolah mati-matian, namun tubuhnya sangat jujur merespon gejolak birahinya, lendir kenikmatan Ayu semakin deras membasahi lubang senggamanya.

“Yo wes, kalo memang kamu mau dientot di sini, akan aku turuti kemauanmu.”

Mbah Jo mulai menurunkan melepas sarungnya.

Ayu menatap sayu dan memelas, wajahnya menggeleng lemah, tangannya berusaha menahan diri. Ayu melirik ke arah Mbok Giyem, menggigit bibirnya sendiri, dan sesaat kemudian gadis cantik itu berbisik lirih.

“Jangan di sini, Mbah.”

Seketika kemudian wajah cantiknya memerah menahan malu, Ayu benar-benar telah menyerah dengan gejolak syahwatnya.

Mbah Jo tersenyum menatap sang dara.

“Kamu benar-benar cantik luar dalam,” batin Mbah Jo melihat wajah Ayu yang memerah, Mbah Jo yang berpengalaman dengan wanita sangat paham sorot mata yang dipancarkan Ayu, sorot mata seorang betina yang begitu ingin disetubuhi oleh sang pejantan. Malam ini, betina itu adalah gadis muda molek yang cantik bak bidadari dan bertubuh indah, sedangkan sang lelaki adalah perwujudan kakek tua yang tak pantas menjadi pasangannya.

Ayu membiarkan tangannya digenggam lembut oleh Mbah Jo.

“Ke kamarku saja. Aku akan memuaskan semua keinginan dan hasratmu malam ini, Nduk cah Ayu.”

Hati Ayu berdesir-desir mendengar ucapan Mbah Jo, Kembali gadis cantik itu menggigit bibirnya, perlahan tubuhnya bangkit mengikuti langkah Mbah Jo. Ayu menoleh kembali ke arah Mbok Giyem, tidur nenek itu sangat pulas sehingga sama sekali tak terganggu oleh aktifitas mesum suaminya.

Ayu menutup pintu.

Ia tidak tahu saat itu Mbok Giyem sudah membuka mata dan menghela napas panjangnya.



.::..::..::..::..::.



Vina memainkan ponselnya, memastikan kedua temannya sudah sampai di tempat mereka masing-masing. Ia duduk di pembaringan dan menatap ke arah cermin. Saat ini mahasiswi muda jelita itu tengah mengenakan celana training ketat selutut dan kaos olahraga kutung tanpa lengan. Suasana memang dingin, tapi Vina terbiasa tidur seperti ini.

Tidak ada yang menjawab, mudah-mudahan mereka tidak apa-apa. Apalagi si Ayu, sudah sejak sore tadi ponselnya tidak aktif. Aku juga tidak bisa menghubungi Erik. Dia kemungkinan besar tidak akan datang menemui Ayu malam ini.”

Batin Vina dalam hati. Ia merasa gelisah. Merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Tapi apa?

Saat ini ia tinggal di rumah satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri sepuh dan putri mereka yang juga sudah berumur. Ia tinggal di rumah Mbah Winarsih dan kedua orang tuanya. Berdasarkan informasi, sehari-hari Mbak Winarsih berjualan pecel di dekat Puskesmas.

Vina mendengus. Dia tidak akan bisa tidur dengan kondisi pikiran tidak tenang. Sebaiknya ia berolahraga saja. Vina menatap teh yang disediakan oleh Mbak Winarsih di meja yang ada di depan kaca, ia pun bangkit, lalu mengambil gelasnya, dan meneguk teh itu sampai habis.

Vina kemudian mulai gerakan pemanasan sederhana, yang selanjutnya diikuti oleh gerakan taichi dan ilmu beladiri yang ia kuasai. Ya, Vina bukanlah seorang gadis lemah. Ia sudah punya bekal cukup banyak untuk…

Untuk…

Bau apa ini?

Hidung Vina mengendus-endus. Ada aroma yang asing, ada sesuatu yang dibakar. Ini bau gosong bukan sih? Seperti ada sesuatu yang terbakar dan sesuatu itu berada di dekat kamar Vina.

Gadis itu pun menghentikan latihannya, ia mencoba mencari arah bau-bauan. Ia baru menyadari sesaat kemudian kalau bau itu berasal dari sesuatu yang mirip obat nyamuk bakar. Mungkin dipasang Mbak Winarsih untuk mengusir nyamuk. Wangi dari obat nyamuk ini agak asing, seperti lavender tapi bukan.

Vina menghela napas dan berniat melanjutkan latihannya.

Tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Vina menghampirinya. Ada panggilan dari… Eva? Vina menekan tombol terima.

“Halo, bestie. Bagaimana tempatmu? Nyaman tidak? Bisa tidur kan?” Vina langsung menghujani Eva dengan pertanyaan. Tapi tidak ada jawaban. “Eva? Say? Kamu tidak apa-apa kan?”

Intuisi Vina langsung menyala. Ia siaga.

“Eva? Eva? Kamu tidak apa-apa kan? Eva?”

Vi… Vin… to-tolong akuuuu… tolooong! Tolooong! Tolooong!!” Eva terdengar panik, ia menjerit, menangis, dan berontak dari sesuatu.

“EVA!?”

A-aku di pinggir jurang!! Aku diancam! Ada ba-banyak laki-laki… mereka menelanjangiku… mereka…. Mereka… sejak tadi aku diperko…

Sambungan terputus.

“EVAAA!?”

Vina terbelalak! Celaka! Ia buru-buru mencari pakaiannya dan mencoba bergegas untuk menolong Eva. Dia harus mencari di mana Dedi berada – Ayu juga! Dia harus mencari Ayu!

Dia harus… dia harus… dia…

Kepala Vina berputar-putar seperti gasing, ada rasa pusing amat sangat yang menyengat. Tenggorokannya terasa kelu. Ia juga merasa sangat gatal di bagian-bagian vital tubuhnya, ia terangsang hebat. Dada dan kemaluannya serasa terbakar. Ia sangat ingin disetubuhi. Vina mendengus kesal.

Ia terjebak. Gadis itu menatap ke arah gelas teh dan obat nyamuk bakar.

Ia terjebak… terjebak…

Pandangan Vina berkunang-kunang.

Terje…

Vina jatuh terjerembab. Ia tak sadarkan diri. Semua daya upayanya menghilang. Gadis itu pingsan di dalam kamar. Tak berdaya, tak kuasa menahan rasa. Ia terjatuh dalam jebakan yang telah dipasang.

Pintu kamar terbuka. Beberapa sosok yang mengenakan masker masuk ke dalam, termasuk sosok Mbak Winarsih dan pak Parmin.

“Lama benar jatuhnya. Cewek satu ini benar-benar tangguh. Lama banget nungguinnya sampai ngantuk,” ujar Mbak Winarsih, “Mas Lan sudah aku kabarin. Dagangan yang ini juga sudah boleh dipakai sekarang. Pastikan kalian tidak mabuk kena asap ini, sudah minum obat anti maboknya kan?”

“Heheh. Sudah. Aku sudah tidak sabar. Heheh. Sampaikan terima kasih ke mas Lan dan Pak RT.”

Pak Parmin dan beberapa orang pria tua di belakangnya ikut masuk ke kamar. Mereka menyerahkan beberapa lembaran uang lima puluhan ribu ke tangan Mbak Winarsih yang mengangguk-angguk dan tersenyum. ia menutup pintu ruangan sambil ketawa geli melihat Vina yang sudah diangkat ke pembaringan dan dilucuti pakaiannya.

“Selamat berbulan madu, Vina. Selamat datang di desa kami.”

Vina tak sadarkan diri ketika banyak pria mulai melingkari sosok telanjangnya. Nasibnya sudah di ujung tanduk.



.::..::..::..::..::.



Tubuh Ayu rebah di bawah tubuh kekar namun keriput milik Mbah Jo, mereka saling bertatapan bagaikan dua orang pengantin yang hendak memulai malam pertama, dengan mesra Mbah Jo menurunkan wajahnya untuk mengulum bibir Ayu.

Sang jelita itu entah kenapa hanya bisa pasrah dan membalas lumatan sang kakek dengan sepenuh jiwa, akal sehat Ayu sudah terenggut oleh kekuatan syahwat yang mengendalikan setiap syaraf tubuhnya. Entah oleh pengaruh guna-guna atau memang karena suasana.

Bagi Ayu, saat ini dia hanyalah seorang wanita biasa yang butuh segera menuntaskan semua kegelisahan birahinya, entah dengan siapa ia mengarungi biduk kenikmatan itu. Ayu yang polos benar-benar tak kuasa lagi mengendalikan dirinya. Dia menjelma menjadi seekor domba dan Mbah Jo yang sangat paham bagaimana memperlakukan sang jelita yang polos sepertinya adalah seekor serigala buas.

Mbah Jo begitu lembut mengulum bibir indah merekah sang jelita, tak ada kekasaran dalam setiap perlakuannya, kuda betina yang liar ini harus diperlakukan dengan penuh kesabaran dan kelembutan sehingga kelak bisa jinak untuk dikendalikan.

Mbah Jo melepaskan pagutannya, mereka saling menatap, tanpa diduga, Ayu menegakkan kepalanya menjemput bibir Mbah Jo. Mereka saling berpagutan kembali, Ayu terlihat mulai sedikit liar berciuman dengan Mbah Jo, tanpa jijik Ayu menghisap lidah Mbah Jo dengan penuh perasaan, liur keduanya bercampur semakin membakar birahi mereka.

Mbah Jo menarik tangan Ayu hingga duduk, Mbah Jo membuka kaos yang dipakai Ayu hingga terlepas, buah dada yang berukuran sedang terlihat bulat merekah dengan putting kemerahan yang menegang kencang, Ayu spontan menutup payudaranya, Mbah Jo mengambil tangan Ayu sambil tersenyum, Jari-jari lentik sang jelita dihisapnya dengan penuh napsu, Ayu terperangah dan mendesis merasakan kegelian yang mengguncang sukmanya, tak pernah terbersit dalam benak sang jelita kalau jari-jarinya bisa senikmat itu.

Lidah Mbah Jo melumasi setiap jengkal kulit halus tangan Ayu, jejak liur terlihat membekas di kulit putih mulus sang jelita, Mbah Jo mengangkat tangan Ayu, wajah Mbah Jo mendekat ke ketiak mulus Ayu.

“Hmmmm sedapnya aroma tubuhmu nduk…”

Ayu hanya tersipu namun sesaat kemudian Ayu merintih lirih, kulit ketiaknya basah oleh jilatan lidah Mbah Jo, Ayu merasakan geli dan nikmat bercampur menjadi satu.

Ayu Kembali berbaring, jantungnya berdegup kencang, desir-desir terasa membuat ngilu hatinya, Mbah Jo mulai menjilati tubuh Ayu Kembali, Mbah Jo benar-benar geregetan dengan tubuh Ayu, betapa tidak kulit gadis jelita itu sungguh lembut halus dan terawat, beda sekali dengan perempuan-perempuan kelas kampung yang biasa disetubuhinya sejak muda, apalagi kalau dibandingkan dengan Mbok Giyem muda sangat jauh kelasnya.

Tubuh gadis jelita ini benar-benar berkualitas super, tak ada sedikitpun cela di kulitnya, Ahhhhh puting kecil berwarna merah muda segar ini sungguh sayang untuk dilewatkan, Mbah Jo menghisap kuat pentil susu sang dara jelita itu, Ayu mendesis dan mengerang lirih, gadis itu semakin terbuai oleh kenikmatan.

Sejengkal demi sejengkal Mbah Jo menjilati tubuh mulus Ayu, ntah sejak kapan, Ayu sudah benar-benar telanjang bulat, kini Mbah Jo memegang kaki jenjang Ayu, Mbah Jo menatap jemari kaki Ayu yang Panjang dan lentik, kontolnya bergerak-gerak, dengan gemas Mbah Jo menghisap satu persatu jemari kaki yang halus dan bersih itu, Ayu mengerang kegelian, belum pernah jari kakinya dihisap seperti itu, dan bagi Ayu rasanya sungguh hebat.

Ahhhhhh Ayu tak mampu menguraikan rasa nikmatnya selain mengerang dan mendesis nikmat, lidah Mbah Jo mulai melumasi betis, paha dan kini sampai di liang kemaluan Ayu, lagi-lagi wajah Ayu merah padam saat menyadari Mbah Jo menatap nanar memeknya, spontan Ayu menutupi dengan kedua tangannya.

Mbah Jo menyingkirkan tangan Ayu dengan lembut, Ayu hanya menggigit bibirnya, Mbah Jo mendekatkan wajahnya ke memek Ayu, dengus napas hangat Mbah Jo terasa menyapu permukaan memeknya.

“Ahhhhh...” Ayu menutup wajahnya karena malu, namun jauh di dalam hatinya Ayu ingin lidah yang tadi menjilati sekujur tubuhnya kini berbuat yang sama pada memeknya.

Namun tiba-tiba Ayu kaget Ketika Mbah Jo membalikkan tubuhnya, hingga kini posisi Ayu telungkup.

“Nungging, Nduk.” perintah Mbah Jo.

Ayu yang kebingungan hanya diam, Mbah Jo mengangkat pinggul Ayu hingga membuat gadis jelita itu kemudian bertumpu dengan lututnya, Ayu menoleh karena bingung apa yang hendak dilakukan pejantannya itu.

“Aghhhhhh…aduhh ahhhhh geli Mbahhh aahhhhh ssss..”

Ayu merintih hebat saat rasa geli teramat sangat dirasakan olehnya, lidah Mbah Jo mengelus lembut lubang pantatnya.

“Ahhhhh sss mbahhhhh jangannnn kotorrrrr mbahhhh ahhhh sssss.”

Ayu meracau bagai kesurupan, tubuhnya bergoyang karena rasa geli yang dirasakannya. Mbah Jo menjilati lubang anus dan memek Ayu dengan bergantian, sang jelita begitu kewalahan merespon rasa geli dan nikmat yang brutal menyerang, Ayu telungkup Kembali, Mbah Jo terus menjilati pantat Ayu membuat Ayu tak tahan dan berbalik sambil melipat kakinya, Mbah Jo tersenyum menatap respon polos Ayu.

“Piye, Nduk? Nikmat kan? Enak jamanku to?” tanya Mbah Jo sambil mengelus paha Ayu.

Ayu menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa mampu menjawab, Mbah Jo Kembali meregangkan paha Ayu dalam posisi berbaring, telunjuk Mbah Jo mengusap belahan memek Ayu, Sambil tersenyum Mbah Jo kemudian menghisap telunjuknya yang basah oleh lendir kenikmatan Ayu.

“Hmm gurih tenan lendirmu, Nduk. Rasanya sudah siap dikawini,” ujar Mbah Jo dengan senyum menyeringai nakal.

Mbah Jo membuka celana kolornya.

Seketika batang hitam miliknya mencuat tegak.

Ayu menutup matanya dengan tangan, Mbah Jo terkekeh, Ayu perlahan membuka tangan yang menutupi matanya. Untuk sesaat Ayu terpesona dengan batang hitam yang cukup kekar dan besar itu. Mungkin karena pengaruh syahwat sehingga membuat Ayu terpana dengan kontol Mbah Jo.

Mbah Jo mengelus dan mengocok kontolnya sambil terkekeh, namun dia juga tak ingin memaksa pengantinnya untuk menghisap kontolnya sekarang, masih banyak waktu untuk itu, Mbah Jo hanya ingin membuat sang jelita mendapatkan pengalaman pertama yang membekas sehingga dia akan ketagihan.

“Kamu mau dientot kontol ini, Nduk?” tanya Mbah Jo sambil terkekeh.

Ayu hanya diam menggeleng-gelengkan kepalanya, ada percampuran rasa takut dan bergairah melihat kontol itu, memeknya benar-benar gatal saat ini.

Ahhhhhhh ini gak benar..ini gak benar!” batin Ayu menolak hebat.

Ayu menjerit pelan saat Mbah Jo menarik kakinya, Mbah Jo kemudian mengarahkan kontolnya ke memek Ayu, agak kesulitan Mbah Jo menembus memek Ayu yang masih perawan itu. Mbah Jo meludahi tangannya dan membalurkan liurnya ke batang kontolnya sendiri, Mbah Jo meregangkan sepasang kaki Ayu, dan mulai kembali mencoba menembus lubang senggama sang gadis jelita.

Ayu merintih dan mencoba menarik pantatnya, rasa sakit teramat kuat terasa olehnya, “Mbahhhhh sakitt aahhhhh mbahhhhhhhh…..”

Ayu mulai menangis menghiba, memeknya benar-benar teramat perih, namun Mbah Jo sama sekali tak mempedulikan rengekan Ayu, kontolnya sudah hampir menembus rajutan keperawanan Ayu, dan akhirnya dengan perlahan Mbah Jo mulai bisa menembus lubang senggama Ayu.

Rasanya? Luaaaaaaaarrr biasa!

Gadis jelita itu justru tersedu-sedu menangis.

Mbah Jo mendiamkan sejenak batang kontolnya yang baru masuk sekitar setengah, terasa otot memek Ayu menjepit kuat kontolnya, Mbah Jo terpejam merasakan sensasi seperti dipijat, lubang memek Ayu terasa hangat dan basah.

Setelah dirasa rileks, Mbah Jo mulai memompa pelan memek Ayu, gadis jelita itu masih terisak-isak karena sakit yang mendera memeknya, namun perlahan gesekan urat tebal di kontol Mbah Jo mulai terasa seperti menggaruk bibir memeknya, rasa gatal didalam mmeknya yang terasa menyiksa tadi seolah digaruk oleh kontol Mbah Jo.

“Aghhhhhh..”

Ayu mulai sedikit nyaman, rasa sakit mulai berangsur hilang, dan kini berganti dengan rasa yang aneh - seperti kita menggaruk rasa gatal yang hebat – mungkin seperti itu yang dirasakan Ayu, tubuh Ayu semakin basah oleh keringat.

Mbah Jo rebah menindih tubuh Ayu, perpaduan kontras kulit mereka terlihat harmoni dalam alunan birahi, tubuh tua Mbah Jo yang keriput menindih tubuh putih mulus gadis cantik jelita, Mbah Jo mengayun memompa lembut memek betinanya, dan Ayu mulai terasa nyaman dengan ayunan kontol Mbah Jo dalam memeknya, Ayu tanpa sadar mengunci pantat Mbah Jo dengan kedua kaki jenjangnya pertanda kalau gadis jelita itu sudah menerima utuh dan sepenuhnya gairah syahwat pejantannya, keduanya saling berpagutan mesra dan penuh perasaan.

Ayu begitu lugas saat berganti posisi, Ayu menggeliatkan pantat dan pinggulnya dengan erotis saat berada di atas tubuh pejantannya, tangannya naik menjambak rambutnya mulutnya mengerang dan merintih gemas saat terasa gejolak orgasmenya akan datang, dengan jeritan tertahan tubuh Ayu menegang dan ambruk di dada Mbah Jo.

Punggung ayu yang mengkilap oleh peluh bergerak naik turun mengatur irama napasnya yang memburu, Mbah Jo begerak meninggalkan Ayu yang telungkup lelah, diangkatnya pinggang Ayu hingga menungging.

Mbah Jo dengan segera memasukan kontolnya Kembali ke memek Ayu yang merekah basah, Ayu mengerang dan merintih nikmat seiring pompaan kontol Mbah Jo didalam memeknya.

“Sss aahhhhh aaaaohhhh oohhhh aahhhh mbahhhhhh enakkk mbahhhhhh ohhhhhh mbahhhhh…”

Ayu benar-benar telah lupa karakternya sebagai gadis pemalu dan pendiam, kini di kasur dekil Mbah Jo, Ayu tak ubahnya seperti bintang porno binal yang tengah dimabuk kenikmatan kontol lawan mainnya, Mbah Jo juga terlihat ingin segera menuntaskan permainan ini, dipacunya kontolnya dengan cepat keluar masuk memek Ayu, sang jelita menutup mulutnya agar tak berteriak, rasa nikmat sungguh luar biasa dirasakan Ayu.

“Aghhhhhhhhhhh…. Lontekuuuu kamu lontekuuu, aghhhhhhhhhhhhh….”

Mbah Jo menghentak-hentakkan pantatnya menyemprotkan benih-benihnya yang berebutan membuahi rahim sang betina, begitupun Ayu yang mencapai orgasme dahsyatnya, Ayu terengah-engah telungkup di atas kasur dekil, perlahan cairan putih merembes keluar dari memeknya.

Dengan napas yang masih berpacu, Ayu terbangun dan menatap ruangan tempat dirinya sekarang berada. Ia mengejapkan mata.

Untuk sesaat Ayu bingung karena pikirannya masih belum selaras dengan fokusnya, namun tak lama kemudian dia menyadari apa yang telah terjadi.

Astaga! Apa yang telah ia lakukan!?

Ayu menatap dengan panik ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya ia menemukan orang yang tengah ia cari. Dengan keberadaan orang itu, sudah pasti pula kalau apa yang ia khawatirkan sudah benar-benar menjadi kenyataan.

Ataukah tidak demikian? Dia tidak ingat apa-apa.

Dilihatnya Mbah Jo mendengkur pulas tanpa mengenakan busana, Ayu terduduk dan menundukkan wajahnya, pungungnya terlihat naik turun pertanda dia sedang menangis, Ayu menggapai pakaiannya yang berserakan dan berdiri menuju ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi kembali Ayu menangis menyesali apa yang telah terjadi tadi, Ayu menyiramkan tubuhnya dengan air dingin, Ayu tak peduli dengan dinginnya air sumur ini, Ayu merasa tubuhnya telah kotor, sambil menangis Ayu menggosok seluruh tubuhnya yang dipenuhi oleh bekas liur Mbah Jo.

Erik… di mana kamu saat aku membutuhkan?

Kibasan angin menggoyang asap di obat nyamuk bakar yang tertancap di banyak ruangan di rumah itu. Ayu saat itu tidak paham apa yang telah terjadi.

Suatu saat nanti gadis jelita itu akan memahami hubungan antara wedang jahe dan obat nyamuk bakar. Tapi tidak sekarang dan tidak saat ini.

Saat ini, dia menjadi milik sang kakek tua.

Terdengar ketukan di pintu kamar mandi.

“Nduk?”

Ayu yang menangis menghapus air matanya. Suara itu? Mbah Jo? Ia tidak mau. Ia tidak mau bertemu dengan laki-laki tua yang brengsek itu! Ia tidak mau! Ia tidak…

Pintu kamar mandi terbuka. Ayu lupa kalau Mbah Jo adalah pemilik rumah ini dan dia punya akses kemanapun. Ayu terbelalak dan terkejut. Matanya melotot saat melihat penis Mbah Jo masih menegak kencang ke atas.

“A-apa yang…!?” Ayu kehabisan kata-kata, ia ketakutan terutama saat melihat wajah sang pria tua yang buas menatapnya, “Tidak…! Tidak! Aku tidak mau! Tidaaaaak!”

“Hehehe. Saatnya ronde kedua, sayang. Bentangkan kakimu lebar-lebar. Kali ini aku akan lebih kasar. Hahahahahaha!”

Ayu berteriak kencang.

Pintu kamar mandi tertutup dan terkunci.

Ayu tidak sadar kalau Mbok Giyem-lah yang mengunci pintu itu kali ini.





BAGIAN 25 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 26
 
Wedaan, semua perempuan cantik jadi korban
episode kali ini banyak banget korban bergelimpangan
 
Mntap suhu pb dkk...luar biasa semua disikat..masih tanda tanya ending ceritanya yg menang yg org benar atau sang penjhat kelamin berkuasa..
 
Memek Ayu juga wajar dientot Tengkurap atas kasur ranjang lalu disemprot peju kental Mbah Jo.
Ganep & Pak Sukirno juga bisa juga dapat menggarap tubuh montok Ayu lalu dientot paksa hingga semprot peju dalam memeknya Ayu
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd