Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Terima kasih updatenya bro pb dan tmn2..luar biasa ..
Wah...7 mau selesai..cerita fav gw bntr lg dapat tag tamat..mantap bgt bro..
Klo udh tamat boleh lah tujuh versi lama dikluarkan om..hehheeh
 
Gak pengen segera tamat, tapi semua char kayaknya udah udah kena semua
Mau gak mau mesti tamat
Semoga lekas update dari suhu @killertomato seminggu sekali juga gpp asalkan rutin, makasih suhu
 
Gak pengen segera tamat, tapi semua char kayaknya udah udah kena semua
Mau gak mau mesti tamat
Semoga lekas update dari suhu @killertomato seminggu sekali juga gpp asalkan rutin, makasih suhu

Sabar, Amy sama Maya juga belum kena, eh
 
Matap updatenya sempet mandek dan bikin deg2an pemirsa takut ga tamat, tapi skrg ngegas terus updatenya, gassss puoooool
 
Ayuuu sedang mengasah pedangnya, siap tempur hadapi mbah Jo...wkwkwk 😂
 
Bimabet
BAGIAN 24-C | HATI YANG LUKA
Story dan editing oleh @killertomato
Story parts dibantu oleh Topi_Jerami





METEUTN_t.jpeg


Obat yang berangsur mulai mereda membuat Nisa tersadar dalam kondisi yang tidak dia inginkan. Dia masih ingat dan sadar dengan jelas apa yang baru saja terjadi. Ia menenggak obat perangsang dosis tinggi dan dipaksa melayani nafsu birahi bejat Uwak Sobri. Seorang pria tua buruk rupa yang sebelumnya juga memperkosanya.

Nisa sesunggukan, ia menangkupkan tangan di wajah. Kenapa dia mengijinkan ini terjadi? Kenapa dia lemah sekali? Kenapa dia justru jatuh ke dalam perangkap birahi sang pria tua ini? Kenapa ini semua terjadi kepadanya? Bukankah dia selama ini sudah berbuat baik kepada semua orang? Bukankah selama ini dia tidak pernah jahat? Kenapa dia menerima nasib yang seperti ini?

Tangan keriput Uwak Sobri masih mengelus-elus tubuh mulus Nisa yang telanjang bulat. Ia tak peduli ibu muda itu menangis sesunggukan dan menutup wajahnya. Dengan penuh rasa sayang yang dipaksakan, Uwak Sobri memeluk tubuh Nisa dari samping dan mengecup pipi mulusnya yang basah oleh air mata.

“Sshhh… cup cup cup… tidak perlu menangis seperti itu. Aku berjanji akan bertanggungjawab seandainya kamu hamil. Heheh. Aku sih berharap kamu akan hamil dan mengandung anakku nanti, Nisaku sayang…”

“Tidak sudi!” Nisa yang jengah menepis tangan Uwak Sobri di tubuhnya, “Kenapa…? Kenapa Uwak tega melakukan ini semua kepadaku? Apa aku pernah berbuat salah sama Uwak? Apakah aku pernah jahat sama Uwak? Bukankah selama ini aku selalu baik sama Uwak?”

“Tidak… tidak…” Uwak Sobri menggeleng dan membenahi rambut Nisa yang berantakan dengan tangannya, “Kamu sangat manis, baik, dan ramah kepadaku, Neng. Kamu segalanya yang aku inginkan. Itu sebabnya aku ingin memberikan kamu kehangatan dan kebahagiaan yang tak pernah diberikan suamimu…”

“Tapi aku tidak mau… aku sudah bahagia… aku sudah bahagia! Aku tidak butuh…” Nisa kembali tersedu-sedu mengingat kehidupannya yang tiba-tiba saja jadi berantakan. Kenapa dia harus mencari pembenaran dari perbuatan Uwak Sobri yang sudah jelas-jelas baidab? Dengan penuh penyesalan Nisa menutup wajahnya dengan menangkupkan tangan, “…Uwak sudah menghancurkan hidupku. Aku bukan lagi istri yang baik, bukan lagi ibu yang baik. Gara-gara Uwak aku menjadi wanita yang seperti ini… kotor dan tak berharga… semua orang… semua orang di kampung ini sudah melihat tubuhku yang…”

“Shhh… shh… tidak seperti itu, sayang. Kamu masih tetap suci dan bersih, bagiku kamu masih tetap anggun dan cantik bak bidadari. Semua orang yang pagi tadi sudah membelamu kan ada benarnya, apa yang terjadi padamu adalah musibah tapi jangan khawatir karena setelah melalui itu semua, maka kehidupanmu akan berlimpahan anugerah. Percayalah, bersamaku kamu akan hidup bahagia.”

Nisa tersedu-sedu dan tidak peduli saat tubuhnya yang indah dan mulus dipeluk oleh sang pria tua. Kaki mereka saling mengait sementara tangan keriput pria tua itu kembali beraksi meremas-remas payudara montok sang bidadari sambil terkekeh-kekeh perlahan.

“Jangan! Wak… aku tidak mau lagi…”

“Ssshhh… apaan sih? Kamu mau. Kamu mau banget. Tadi kan sudah bilang mau sewaktu aku entotin? Masa tidak mau sih?”

“Tidak mau…! Lepasin ih!”

“Lagi yuuuk, sayang. Nisa-ku sayang. Aku cinta kamu, Nisa. Kamu bidadari terindah di tempat ini. Jadikan aku pria paling beruntung di muka bumi. Yuuuk…”

“Tidaaaak! Tidak mauuuu! Tidaaaaak!”

Nisa mencoba meronta dan mendorong Uwak Sobri, tapi dia tak menyangka si musang tua itu masih bertenaga, tangan dan kaki Nisa terkunci tak bisa bergerak.

“Lepasin! Kalau tidak dilepas aku akan berteriak… dan… dan…”

“Hehehe… dan apa? Yang dipertaruhkan di sini adalah reputasimu sebagai wanita jalang, sebagai pelakor, sebagai pelacur berkedok wanita alim. Aku tidak akan menjadi tertuduh, tapi namamu akan tercoreng. Huahahahaha,” Uwak Sobri mengancam Nisa, “…dan satu lagi. Aku punya video rekaman yang bisa kukirim kepada mas Haris. Kamu mau video kita bercinta tadi dikirim? Hahahahaha.”

“Ku-kurang ajar! Biadab! Tega sekali!”

“Hahahahaha, ya sudah! Sekarang renggangkan kakimu. Aku pengen ngentotin kamu lagi! Buka memekmu dengan tangan!”

Nisa terisak, ia memalingkan wajah ke samping, menatap cermin di lemari. Tangannya diletakkan di pintu surgawi, menyiapkannya untuk kedatangan penis raksasa si durjana. Kaki direnggangkan lebar-lebar karena tahu kali ini akan sangat sakit.

“Cepat selesaikan dan segera pergi dari sini!” ketus Nisa berucap.

“Hehehehe… siyaaaap!”



.::..::..::..::..::.



.:: DI BALAI DESA



Aida duduk di depan Ayu sementara teman-teman KKP gadis itu bekerja di Balai Desa untuk keperluan tugas kampus mereka. Gadis berparas jelita itu melirik ke belakang Ayu untuk memastikan teman-teman sang mahasiswi tidak mendengar percakapan keduanya. Dia tidak ingin membuka aib – seandainya saja ada.

Ayu memahami keresahan Aida.

“Tenang saja, mereka tidak akan mengganggu kita. Hihihi.” Ayu mencoba menenangkan.

“Ti-tidak, hanya saja tidak enak kalau…” Aida berkaca-kaca saat berbicara dengan Ayu, “Te-terima kasih, Kak. Kakak benar-benar hebat. Sangat pengertian sekali. Paham apa yang aku inginkan.”

“Kelihatan kok dari gerak-gerik kamu, Aida. Tenang saja, teman-temanku bakal sangat sibuk jadi tidak akan sempat duduk dengan kita.”

“Iya…”

“Jadi? Kenapa kamu ke sini? Menunggu jemputan ke bawah? Kenapa tidak di tempat Tantemu saja?”

“Aku memang menunggu jemputan, Kak. Ada te-teman yang akan datang setelah menyelesaikan urusannya dengan mas Lan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Aku tidak ingin mengganggu Tante Nisa hari ini, mudah-mudahan dia bisa beristirahat setelah pagi tadi mendapatkan cobaan…”

“Mudah-mudahan yaa…”

“A-aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Kakak tadi pagi. Tanteku pasti merasa terbantu dengan pertolongan Kakak. Suasana begitu kacau dan…”

Ayu tersenyum sambil menepuk pelan punggung tangan Aida, “Sama-sama. Senang bisa membantu. Kasihan Tante kamu. Aku memang belum kenal dekat dengan Mbak Nisa atau siapapun di tempat ini, tapi aku merasa tidak ada satu wanita pun yang pantas diperlakukan seperti tadi pagi. Bersalah ataupun tidak, aku merasa yang dilakukan terhadap Mbak Nisa adalah pelecehan.”

“Dia tidak bersalah…” lirih Aida menimpali dengan wajah tertunduk lesu.

“Tahu tidak? Aku setuju sama kamu, Aida. Entah bagaimana aku melihat sosok seperti Mbak Nisa sepertinya tidak akan melakukan hal semacam itu… walaupun aku belum pernah mengenal dekat dirinya. Tapi terlihat kok dari aura-nya, wanita alim yang dijebak itu berbeda dengan wanita nakal yang bersalah.”

Dalam hati, Ayu sebenarnya ragu-ragu.

Gara-gara kejadian tadi, beberapa orang menatapku aneh dan curiga. Kira-kira aman tidak ya? Tapi aku yakin sih dengan keputusanku membantu Tantenya Aida tadi… kondisi sangat tidak kondusif dan kekerasan bisa saja terjadi, aku hanya ingin membantu sesama wanita. Tapi… sebenarnya mungkin juga aku yang keliru menilai Mbak Nisa, bisa saja kan, di balik exterior domba, di dalamnya ada serigala? Tapi sepertinya nggak ah, intuisiku kali ini tidak mungkin salah.

“Percayalah, Kak. Tante tidak akan melakukan hal semacam itu. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang sejahat itu menyebarkan berita hoax mengenai tante yang sangat aku sayangi. Tante adalah orang baik yang telah menyelamatkan aku dari keterpurukan karena keluarga aku broken home. Tante memberikan aku pekerjaan dan menyekolahkan aku, memberikan aku dan teman-teman aku ilmu tata boga… aku tidak… aku tidak pernah berpikir Tante akan mengalami hal buruk semacam ini. Hoax ataupun tidak, reputasi Tante pasti hancur setelah ini.”

Ayu mengangguk-angguk. Ia baru pertama kali ini berbincang-bincang dengan Aida tapi ia merasa mereka berdua seharusnya bisa menjadi teman baik yang senasib dan sepenanggungan.

“Bagaimana kondisi Tante-mu?”

“Sudah agak tenang saat aku tinggal tadi.”

“Habis ini kesana lagi?”

Aida menggeleng, “Seperti tadi aku bilang, aku nunggu jemputan. Setelah ini aku harus pulang. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan di rumah, Kak. Aku punya banyak tugas termasuk membelikan obat untuk ibuku.”

“Oh gitu…”

Aida lantas mendongak dan menatap Ayu dengan lekat.

“Aku tidak tahu penelitian apa yang Kakak dan teman-teman kerjakan di sini, tapi pastikan berhati-hati. Tempat ini bukanlah taman bunga, tempat ini tidak se-asri dan se-harum namanya,” bisik Aida pada Ayu, “aku tidak ingin menakut-nakuti. Tapi tempat ini sangat mengerikan untuk wanita seayu Mbak Ayu. Mbak lihat sendiri apa yang terjadi tadi Tanteku. Mbak dan teman-teman harus ekstra hati-hati. Ada orang-orang jahat di tempat ini.”

Ayu menghela napas panjang. Setelah pengalamannya dengan Mbah Jo dan Ganep, ia paham apa yang disampaikan oleh Aida kepadanya. Meskipun peringatan itu sebenarnya datangnya terlambat karena ia sudah mengalami sendiri pelecehan dari laki-laki tua itu.

“Be-begitu ya?” Ayu meneguk ludah, dia tidak ingin Aida yang baru dikenalnya mengetahui kalau dia sendiri sebenarnya telah terkena jerat asmara seorang laki-laki tua di tempat ini.

“Terutama sekali berhati-hatilah terhadap keluarga Sukir. Keluarga mereka… terutama sekali dimulai dari Pak RT Sukirman, pak Sukirno, dan adik mereka mas Sukirlan. Ketiganya yang memegang tempat ini. Aku sedikit banyak tahu setelah mendapatkan informasi dari… dari… pacarku…”

“Pacar? Pacar Aida penghuni kampung ini? Siapa namanya?”

Aida meneguk ludah, “Bu-bukan sih. Pak Sarma… ma-maksudku pa-pacarku tidak tinggal di sini. Dia… err… pemerhati tempat ini, dia punya kepentingan di sini. Jadi aku banyak tahu mengenai bahayanya tempat ini. Tolong dipertimbangkan lagi jika tetap KKP di sini, Kak.”

Entah kenapa, Aida merasa dia harus memperingatkan Ayu setelah melihatnya membantu sang Tante di keramaian pagi tadi. Apalagi saat melihat kalau Ayu begitu cantik dan bertubuh indah, Aida langsung paham bahaya yang mengancamnya. Teman-teman Aida di toko kue sendiri sering menyayangkan keputusan Tante Nisa untuk tinggal di tempat yang sepertinya adem ayem ini, karena di sebaliknya, banyak sekali intrik menjijikkan terjadi.

Aida menepuk bibirnya dengan telunjuk, “Yah, bagaimana ya… sepertinya tidak bisa, Aida. Kami sudah terlanjur mengajukan ijin dan melalui banyak prosedur untuk bisa melakukan penelitian KKP di tempat ini. Akan sangat repot jika ijinnya ditangguhkan dan kami pindah ke tempat lain. Mudah-mudahan sih tidak terjadi apa-apa selama masa penelitian kami nanti.”

“Amin. Mudah-mudahan ya, Kak…” Aida mengajukan satu pertanyaan lagi, “tapi kenapa Kakak sampai bela-belain mengerjakan KKP di sini?”

Ayu tersenyum, “Karena tempat ini menyediakan banyak peluang penelitian. Lokasinya indah, potensinya masih banyak yang belum tergali, dan orangnya ramah-ramah. Aku yakin kami akan bisa menghasilkan penelitian yang terbaik di kampus jika mampu dapat mengumpulkan data-data penting dari tempat ini. Hihihi. Salah satu dosen pembimbing akademik kami yang mengusulkan.”

“Oh begitu. Tapi… kenapa terbaik? Bukankah ada tempat KKP lain?”

“Karena aku akan membuat penelitian terbaik mengenai Kembang Arum Asri, Desa Bawukan, dan Desa Growol. Tempat ini sungguh menarik… bahkan berkesan mistis tidak sih?”

“Wah. Sepertinya kakak kompetitif juga ya? Selalu ingin yang terbaik.”

“Harus. Aku ingin memperoleh prestasi sebanyak-banyaknya supaya melapangkan jalanku untuk mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri. Aku ini mahasiswi yang lapar sertifikat, hihihi. Selama belum kenyang, harus berusaha terus dan terus. Kalau Maudi Ayunda bisa, maka aku juga harus bisa. Hhihihi.”

“Wow… begitu ya, Kak.”

Aida dan Ayu saling bertatapan, keduanya sama-sama cantik, sama-sama ingin punya masa depan yang lebih baik. Tapi masa depan seperti apa yang akan mereka berdua dapatkan di jalan hidup yang sekarang?

Tidak ada yang tahu.



.::..::..::..::..::.



.:: DI BAWAH CAHAYA BULAN



Mang Juki mengendap-endap.

Ia memastikan tidak ada orang yang menyaksikan ia masuk ke rumah Nisa saat rembulan mulai bertahta di langit Kembang Arum Asri. Dia beruntung, tidak ada seorangpun yang melihatnya karena secara kebetulan sedang ada event sepakbola yang melibatkan timnas bertanding melawan kesebelasan negara besar sehingga banyak orang yang tidak keluar rumah.

Rumah Nisa terlihat gelap dan sepi. Kedua anaknya pasti masih dititipkan di rumah Yuna, situasi pun pasti aman. Juki sempat mengintip tadi, ia melihat motor Nisa berada di garasi. Ibu muda itu pasti masih berada di rumah. Kebetulan sekali ia pegang kunci cadangan sehingga bisa masuk ke rumah dengan mudah.

Ruangan demi ruangan ia lewati, semua gelap dan lampu tak dinyalakan, seakan-akan tidak ada orang di dalam. Hanya ada satu ruangan yang menyala di dalam rumah itu, kamar milik sang empunya kediaman.

Mang Juki memasuki ruangan itu dengan perlahan-lahan. Hatinya langsung pedih dan tersayat-sayat melihat suasana di dalam. Seorang wanita terbaring tertelungkup di atas ranjang, tubuhnya yang indah terlihat basah – entah oleh keringat atau cairan lain yang kental, seperti halnya ranjang tempatnya berada yang juga basah.

Untung bau wangi harum semerbak di seluruh ruangan sehingga tidak ada kesan jorok. Entah siapa yang memasang pewangi ruangan atau aroma therapy.

Mang Juki mendekat ke arah sosok di atas ranjang itu, tanpa harus mendekat pun sebenarnya dia sudah tahu apa yang terjadi. Tubuh telanjang indah itu “Bu Nisa…”

Sekali lagi? Beneran terjadi sekali lagi?

Sungguh Uwak Sobri manusia jahanam yang tidak perlu dikasihani. Tega-teganya ia sekali lagi memperkosa Nisa? Manusia macam apa dia? Tubuh wanita ayu bertubuh indah yang menjadi idola Mang Juki dan bapak-bapak di tempat ini tergolek tak berdaya di ranjang.

Mang Juki mendekatinya, dengan lembut menegakkan tubuh wanita yang ia puja itu.

“Bu Nisa. Bu Nisa tidak apa-apa?” tanya Mang Juki dengan lembut.

Nisa lemah dan hampir tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya mampu menangis dan menggeleng di pelukan Mang Juki. Ia sesunggukan sampai-sampai baju Mang Juki basah oleh airmatanya. Pria tua itu mengelus-elus rambut indah Nisa dan mencoba menenangkannya.

“Shh. Sudah. Tidak apa-apa. Aku di sini sekarang, untuk kamu. Tenanglah. Semua akan baik-baik saja, aku akan menjagamu, tak akan ada lagi yang bisa menyakitimu, bidadariku. Aku di sini sekarang.”

“Dia… dia… dia melakukannya lagi, Mang… Dia… dia juga…”

“Aku tahu… aku tahu. Bajingan tua itu memang brengsek dan tak termaafkan. Aku sudah berusaha mencarinya seharian tapi tak menemukannya. Tapi ibu tak perlu khawatir sekarang. Aku pasti akan menemukan persembunyian musang tua itu dan…”

“Hhh… hhh… hhh… hh…”

“Bu Nisa?”

Mang Juki mengerutkan kening, mencoba memahami kondisi wanita dalam pelukannya. Napas Nisa masih terdengar tak karuan, tubuhnya bergetar dan gemetar. Tubuh telanjang sang bidadari surga itu terasa sangat hangat dan panas. Mang Juki mencoba menatap matanya, terlihat kekosongan di sana, tapi juga api yang membara.

“Ah!” Mang Juki terkejut.

Tangan Nisa tiba-tiba saja turun ke selangkangan tukang serabutan itu dan meremas batang kejantanannya yang masih berada di balik celana. Mang Juki berusaha mencegah dengan menahan pergelangan tangan Nisa.

“Ja-jangan, Bu. Ini tidak baik. Ibu masih dalam kondisi…”

Nisa meneteskan air mata, “A-aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Mang… aku masih seperti ini… aku masih harus merasakannya. Ma-maksudku aku harus merasakan pe-penis di dalam vaginaku supaya sembuh dan tidak penasaran… aku harus mendapatkan penis di dalam vaginaku, Mang. Kalau tidak aku bisa mati… aku harus… aku harus bagaimana? Uwak Sobri memberikan aku dosis sangat tinggi…”

Mang Juki kebingungan. Di satu sisi tentunya ia sangat ingin merasakan memek sang ibu muda jelita bertubuh indah ini, tapi di sisi lain dia masih punya akal sehat dan nurani untuk menolak Nisa yang masih tenggelam dalam pengaruh obat yang pekat. Kesempatan dalam kesempitan, haruskah ditolak ataukah digunakan?

“Ja-jangan, Bu. Saya tidak ingin Bu Nisa…”

“Hhh… hh… be-besar sekali… besar sekali punya kamu, Mang,” wajah Nisa mendekat ke wajah Mang Juki, “Sekali ini saja… hh… hhhh… ma-masukkan ke punyaku…”

Nisa sudah tak karuan. Apa yang harus dilakukan Mang Juki? Jelas dia ingin merasakan kemaluannya dijepit memek sempit sang ibu muda. Tapi apakah dia berhak melakukannya? Apakah dia…

“Ja-jangan berpikir terus, aku butuh sekali… hhh… hhh… Mang… tolong aku…” Nisa merajuk manja, dia benar-benar sudah bukan dirinya sendiri karena pengaruh obat jahanam itu, dia bahkan tanpa sadar mengemis minta disetubuhi oleh Mang Juki.

Mang Juki geram sekali. Uwak Sobri memang bajingan! Bangsat! Tidak tahu diri! Tua bangka sialan! Edan! Sialan! Sialan! Sialan! Mana mungkin dia bisa bertahan jika wanita paling anggun dan diidam-idamkan sebagai istri nomor satu di Kembang Arum Asri ini minta ia setubuhi? Siapa yang bisa menolaknya?

Mang Juki maju dan mengecup bibir lunak Nisa, mereka berpagutan. Bibir tebal sang tukang menangkup bibir tipis Nisa dan melahap seakan hendak menelan seluruh kemungilan dan keindahan sang ibu muda itu. Ciuman sesaat itu bagaikan trigger yang memulai chain of events selanjutnya. Mang Juki ikut tenggelam dalam birahi. Dia tahu ini salah, tapi demi Nisa dia akan melakukan apapun.

Mang Juki melepas ciumannya dan menatap wajah ayu sang bidadari, “Apa yang harus aku lakukan, Bu?”

“Bu-buka bajunya. Semuanya.” Wajah Nisa memerah, sebenar-benarnya ia sangat malu. Tapi dia harus melakukannya karena rangsangan di dalam tubuhnya sangat menyiksa. Tangan Nisa yang awalnya meremas-remas kemaluan Juki kini meraba-raba dada bidang sang tukang berkulit gelap itu, ia sadar kalau ia juga harus memastikan dirinya siap. Nisa duduk di ranjang dan melebarkan pahanya supaya Mang Juki bisa melihat langsung bibir surgawinya telah siap untuk dibuahi, “la-lalu kesinilah dan masukkan sekarang juga…”

Nisa memejamkan mata. Bagaimana bisa dia mengucapkan kalimat semenjijikkan itu? Kalau saja tidak ada obat perangsang itu, Nisa pasti masih bisa mempertahankan kesuciannya sebagai seorang istri yang setia. Tapi sekarang?

Mang Juki bertelanjang bulat. Setelah meneguk ludah ia naik ke atas ranjang dan mulai merangkak mendekat ke arah Nisa.

“Hhh… hhh… hh… Ma-Mang Juki… selamatkan aku…” Nisa merintih dan meneteskan segaris air mata di pipinya, “Aku tidak kuat lagi…”

Mang Juki sebenarnya kasihan melihat wanita yang sehari-harinya tampil anggun, elegan, dan baik hati itu kini terjatuh ke dalam lautan birahi yang sedemikian menyiksa, tapi dia juga manusia biasa yang punya nafsu dan bisa membedakan mana wanita mulia dan mana yang biasa-biasa saja. Betapa sangat ingin dia merasakan barang premium seperti tubuh Nisa.

Akhirnya Mang Juki tersenyum.

Sesungguhnya, ia juga bukan pria baik-baik. Sejak awal dia sudah ingin menjamah tubuh Nisa dan menidurinya sampai puas, siapa orangnya di kampung ini yang tidak menginginkan Nisa? Heheh. Kini dia bisa melakukannya tanpa campur tangan si Sobri bajingan itu.

Mang Juki yang awalnya bersimpati akhirnya tidak bisa menahan gelegak birahi yang membuncah di dalam hati saat menyaksikan tubuh indah Nisa yang sudah tersedia di hadapannya.

Ia mendekati ibu muda itu dengan nafsu yang mulai membakar hebat, “Tenanglah, Bu. Aku datang. Heheh. Aku akan menuntaskanmu dengan kontolku. Akan kubuat kau melupakan suamimu dan Uwak Sobri. Akan kubuat kamu jatuh cinta hanya padaku seorang. Si kambing tua memang bajingan. Dia mendahuluiku menidurimu. Tapi tidak apa-apa. Sekarang tubuhmu hanya untukku seorang. Benar kan?”

“Hhhh… hhh… hhh… bo-boleh, Mang. Hanya untuk Mang Juki seorang… cepet…”

“Heheh. Si tua bangka itu sudah membuatmu seperti ini. Dasar bajingan tua kampret. Tapi ya sudahlah… heheheh… akan kumanfaatkan saja situasinya, baru akan kuhajar dia nanti kalau ketemu. Seenaknya saja mengambil jatah orang.”

METEUTI_t.jpg


Mang Juki memeluk Nisa dan menciumnya lagi. Nisa tenggelam dalam lautan birahi yang masih belum tuntas. Ia menerima saja ketika pria yang bukan suaminya itu memeluk dan meremas-remas sekujur tubuhnya, terutama buah dada sentosa yang kini dimainkan oleh sang tukang.

Bibir Mang Juki kembali melepas bibir mungil sang ibu muda, ia berbisik perlahan sembari mengecup dan menciumi daun telinga Nisa. “Sejak pertama kali melihatmu… aku sudah langsung ingin menidurimu. Meskipun kamu istri majikanku, tapi tubuhmu terlampau indah dan wajahmu kelewat cantik.”

“Hhh… hhh… jahatnya… padahal aku berusaha baik hati sama Mang Juki…”

Mang Juki meremas kuat payudara Nisa. Sungguh nikmat merasakan buah dada ranum membulat yang kenyal itu berada di tangkupan telapak tangannya. Sungguh sempurna tubuh Nisa memang.

“Teruslah berbuat baik kepadaku supaya aku semakin menginginkan tubuhmu…”

“Aaah! Jangan kasar-kasar, Mang… aku…”

“Kalau boleh jujur, sebenarnya aku suka sekali melihat Bu Nisa yang terhormat menjadi binal dan haus seks. Tapi aku tidak suka kalau itu hanya untuk si musang tua! Heheh. Maukah Bu Nisa menjadi budak seksku hari ini dan seterusnya?”

“Ma-Mang Juki ngomong apa sih? A-aku seperti ini karena pengaruh dari obat yang… hhh! Ah sudahlah!! Sama sajaaa! Kupikir kalian berbeda… bukannya menolongku, sedari tadi… hhh… hhh… malah ngomong tidak jelas… hhh… hhh… kok malah jadi seperti Uw… Ahhh!”

Protes Nisa terhenti ketika bibir monyong sang tukang mengulup pentil payudara sang ibu muda. Tubuh Nisa bagaikan tersentak oleh ribuan volt listrik yang setrumnya tak tertahankan. Bidadari itu pun mendekap kepala sang tukang.

“Aaaahhh! Ahahhhhh!! Aaahhh! Maaaang! Maaaaaang!”

Cpphh. Cppph. Cppph.

Mang Juki tak banyak bicara, ia terus bekerja dengan rajin memuaskan sang majikan. Tukang serabutan itu melahap buah dada Nisa dengan rakus. Nisa yang sudah sangat tinggi tingkat birahinya makin menjadi-jadi. Ia benar-benar dilonjakkan ke langit ketujuh. Setelah dipermainkan oleh Uwak Sobri seharian, ingin rasanya ia menuntaskan semuanya secara utuh dan sempurna… walaupun itu dengan Mang Juki dan bukan suaminya.

Mang Juki tersenyum, ia memang dengan sengaja sok jahat seperti Uwak Sobri agar Nisa tak merasa bersalah bermain cinta dengannya. Dengan seperti ini seakan-akan Nisa bebas berlaku karena masih dalam pengaruh obat.

Tanpa menunggu terlalu lama, Mang Juki mengarahkan rudalnya ke target sasaran utama. Ujung gundul kemaluannya perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam liang cinta sang ibu muda. Mang Juki merem melek. Uaaaah, enak sekali rasanya! Jadi seperti ini vagina seorang bidadari? Tukang berkulit gelap itu menenggelamkan kepalanya di leher sang ibu muda sementara penisnya perlahan-lahan menusuk memek Nisa. Terasa harum dan wangi sekali tubuh Nisa saat ini.

“Bagaimana rasanya, bidadari surgaku? Enak? Kamu suka tidak?”

“Hhhh… hhh… a-aku suka… ini enakk…”

“Oh ya? Padahal baru masuk ujungnya saja. Aku masukkan semuanya ya? Kamu suka kan sama kontolku, sayang?”

“TI-tidak… suamiku lebih…” Nisa menggeleng, perasaannya berkecamuk. Dia tidak ingin ini terjadi, tapi obat perangsang brengsek itu membuatnya jadi begitu rendah seperti pelacur. Dia bahkan dipermainkan Juki yang kini menggodanya.

“Tidak suka?” tanya Juki lagi. “Kalau tidak suka akan aku keluarkan saja.”

“Ja-jangaaaan! Ma-masukkan… sampai dalam… hhh… hhh…”

“Jadi suka nih?”

Nisa memejamkan mata, dengan berat hati dia harus mengatakannya, “Su-suka…”

“Suka apa?”

Sial. Mang Juki malah menggodanya. Nisa sudah benar-benar tidak tahan. Obat yang dicekokkan padanya membuat tubuh ibu muda itu sangat panas dan terangsang hebat. Dia tidak bisa lagi bertahan kalau begini terus. Dia butuh pelampiasan.

“Suka pe-penis… Mang Juki…” entah kenapa setiap ucapan Nisa jadi terdengar manja.

“Heheheh. Ini bukan penis. Ini kontol… kalau penis itu punya mas Haris, yang bersih, rapi, dan selalu dicuci, yang ini sih kotor, buluk, besar, hitam, dan pastinya memuaskan. Kamu suka tidak, bidadari surgaku?”

“Sss… su-suka… aku suka kontolmu… hhh… hhh…”

“Mau dimasukkan semuanya?”

“Semuanya… hhh… hhh… semuanya…”

“Lebih besar mana? Punyaku atau suamimu?”

“Pu-punya… Mang Juki.”

“Panggilnya pakai sayang…”

“Le-lebih besar punya Mang Juki sa… sayang…”

“Nah, begitu.” Mang Juki bersiap menusukkan batang kejantanannya ke dalam rahim Nisa hingga ujung terdalam. Saat ini saja meskipun hanya ujung gundulnya yang sudah masuk, nikmatnya sudah tiada tara.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN!?”

Mang Juki dan Nisa sama-sama terkejut. Secara reflek Mang Juki menarik kemaluannya keluar dari liang cinta sang ibu muda. Pintu kamar terbuka dan ada sosok pria berdiri di sana.

Nisa terkejut!

Ia tidak menduga sosok pria itu akan datang. Bukankah seharusnya dia baru pulang besok…? Ah, Nisa begitu tenggelam dalam nafsu birahi yang menggelora sampai-sampai dia lupa tanggal dan waktu. Dia juga yakin video dan foto yang disebarkan di grup meyakinkan orang ini untuk pulang lebih awal.

Wajah ibu muda itu berubah menjadi pucat pasi saat ingat apa yang baru saja ia lakukan dengan Mang Juki.

Celaka.

Tas jinjing dan ransel di punggung sang pria yang baru datang dilepaskan dengan kasar karena saking terkejutnya. Dia sudah tak peduli jika tas ransel itu berisi laptop dan peralatan lain. Orang itu menatap tak percaya pada sosok wanita telanjang dan Mang Juki yang juga sama-sama telanjang.

Beginikah Nisa selama ia tinggal? Beginikah sesungguhnya wanita yang sangat ia puja itu?

Nisa bagaikan melihat hantu tepat di depan matanya. Sosok yang baru datang itu tentunya tak lain dan tak bukan… adalah Haris, suaminya.

“A-Abi…!? Abi kok sudah datang…?” secara reflek Nisa mengambil selimut dan menggunakannya untuk menutup tubuhnya yang tadinya tanpa sehelai benang pun. Tergambar ketakutan di wajah wanita berparas ayu itu. Adrenalin yang memacu membuat efek obat memudar sedikit demi sedikit karena rasa takut dan khawatir lebih menguasai diri dibandingkan nafsu yang menggelegak.

“I-ini tidak seperti yang terlihat! Aku bisa jelaskan! Ini semua karena pengaruh obat yang… obat yang…” Nisa mencari-cari sesuatu yang mungkin ditinggalkan oleh Uwak Sobri, terutama botol obat yang membuatnya menjadi sangat haus belaian. Tapi ia tidak menemukan apapun, Uwak Sobri pasti sudah mengamankan semua barang bukti – termasuk botol jus jeruk.

Nisa bergerak dengan gugup dan gelisah kesana dan kemari, mencari barang bukti yang tak ada. Dia panik.

“A-aku bisa jelaskan! Aduuuh kemana sih botolnyaaa?”

Haris mendengus kesal melihat istrinya.

“Bagaimana menurut anda, Pak?” tanya Haris.

Nisa terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh suaminya itu. Kepada siapa dia bertanya? Nisa mengerutkan kening. Apakah…

Tiba-tiba saja terdengar suara dari balik tubuh Haris, suara yang sangat dikenal Nisa, “Ya… kalau mau njenengan bisa mendengarkan apa yang akan dijelaskan oleh garwo njenengan, Mas. Istri njenengan kan seharusnya bisa dipercaya, seharusnyaaa lho yaaaa. Tapi ya nggak tahu kalau sekarang. Situasi ini kan malah semakin memperjelas dan membuktikan kalau video dan foto itu benar-benar terjadi. Silakan njenengan tentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan.”

Haris menatap Nisa dengan geram. Dia sudah sangat ingin menampar istrinya itu. “Kalau Bapak?”

“Kalau saya? Kalau saya sih pengen menanyakan kronologinya secara detail pada Mang Juki. Dia yang harus saya interogasi karena dengan seenak wudelnya berani mengejar-ngejar bini orang.”

Satu tangan menepuk pundak Haris dari belakang.

Nisa dan Mang Juki sama-sama terbelalak melihat di belakang suami Nisa itu kini muncul sosok sang ketua RT, Sukirman. Ia menatap Mang Juki dengan pandangan galak.

“SINI KAMU JUKI! BAJINGAN KOWE!”

Mang Juki menggemeretakkan gigi. Dia punya firasat buruk. Sangat buruk. Ini tak akan berakhir dengan baik.

Sial.



.::..::..::..::..::.



.:: BEBERAPA SAAT SETELAH ITU
.:: DI KAWASAN HUTAN LERENG GUNUNG MANDIRI




Mang Juki terengah-engah.

Sejak tadi dia dikejar-kejar oleh beberapa orang sekaligus. Dia tahu siapa mereka dan apa yang mereka inginkan. Mereka ingin menjadikannya kambing hitam permasalahan Nisa. Kepulangan Haris menambah runyam masalah bagi Mang Juki.

Bukannya dapat memek si molek Nisa, yang ada malah dikejar rombongan mafia desa. Awalnya dia berhasil lolos dari pak RT, tapi saat sampai di depan rumah, semuanya berubah menjadi runyam. Dia tidak bisa pulang ke rumah. Meski nama baiknya untuk sementara berhasil dipulihkan setelah peristiwa mengerikan pagi tadi, tapi Winda sang istri ternyata masih tetap mengunci pintu rumah dan tidak mengijinkannya masuk.

Mang Juki hanya bisa duduk termenung di depan rumah.

Ketika duduk di teras itulah ia melihat beberapa orang mencurigakan mendekati dan berniat buruk kepadanya. Itu sebabnya dia lari sampai ke hutan ini.

Sialnya, mereka berhasil memojokkannya di salah satu kawasan paling rimbun di hutan Gunung Mandiri. Di belakangnya kini, ada tebing dan jurang. Dia tidak bisa kemana-mana lagi. Mereka berhasil mendapatkannya.

Pilihannya dua, melawan atau mati.

“Sial! Maju kalian semuaaaaa! Biar kuhadapi kaliaaaan! Apa yang kalian inginkan!?” Mang Juki yang mulai putus asa berteriak-teriak. Tukang serabutan itu menyingsingkan lengan baju untuk memperlihatkan otot yang sebenarnya tak seberapa.

Gek yo ngopo mbengak-mbengok, Mang? Teriak-teriak di sini jelas percuma. Tidak akan ada yang dengar. Kamu sudah tidak bisa kemana-mana lagi.”

Mang Juki terperangah.

Di hadapannya kini ada sosok keluarga paling powerful dan berkuasa di kawasan Lereng Gunung Mandiri. Mbah Jo, Ganep, dan ketiga kakak beradik Sukir. Tidak hanya mereka saja, di belakang mereka kini ada barisan pemuda preman kampung yang mendukung keluarga tak beradab ini. Mang Juki jelas tidak punya kesempatan melawan mereka semua.

Seorang pria tua terkekeh-kekeh sembari menyeruak maju di antara kerumunan.

Mang Juki menatap bengis ke arah Uwak Sobri sembari mendesis kesal, “Bajingan sampeyan, Wak. Sampai sebegininya mau menyingkirkan aku, he? Tidak cukup kamu menghancurkanku, merudapaksa bu Nisa, dan melakukan semua tudingan kejimu? Aku pikir kamu orang baik-baik… ternyata bajingan luar dalam.”

Pria tua itu terkekeh. “Apa maksudmu? Jangan menuduh yang tidak-tidak, Juki. Ayolah kamu menyerah saja. Kita semua di sini keluarga. Bukan musuh bukan lawan. Kenapa kamu memandang aku dengan sebegitu rendahnya dengan tuduhan tak beralasan? Mereka datang karena merasa prihatin dengan peristiwa yang menimpamu. Itu adalah masalah yang harus diselesaikan secepatnya. Aku ikut karena aku juga merasa bersalah. Hehehe.”

Mang Juki merasakan gerakan perlahan dari orang-orang suruhan keluarga Sukir yang sedikit demi sedikit mulai mengelilinginya. Ganep bertepuk tangan dan berteriak-teriak kegirangan. Bahkan orang bodoh seperti dia pun tahu apa yang akan segera terjadi.

“Sialan.” Mang Juki geram. Sejak awal dia tahu ini tidak akan berakhir baik.

Sukirman mengangguk dan orang-orang itu meloncat untuk menyerang Mang Juki dan mulai memukulnya. Dia tidak punya kesempatan. Kerumunan itu membuat Mang Juki terjatuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia dihajar habis-habisan. Pukulan dan tendangan menembus pertahananannya dan membuat pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pekerja serabutan itu terkapar tak berdaya sembari bersimbah darah.

“Sudah. Cukup. Wes… wes… mundur… mundur kabeh! MUNDUR!”

Sukirman mengucapkan perintah pelan yang membuat semua orang mundur. Pria itu menunjukkan posisinya sebagai salah satu orang yang paling berkuasa di kawasan lereng Gunung Mandiri meskipun hanya memangku jabatan sebagai seorang ketua RT.

Kerumunan itu mundur sesuai perintah.

Mang Juki yang terbaring di tanah terbatuk-batuk, tubuhnya memar, berdarah, bengkak, dan tak karuan. Ia mencoba duduk, meski sangat sulit. Badannya yang meski kurus tapi tegap dan kencang membuatnya tak mudah menyerah, tapi dia tak akan mungkin melawan semua orang. Matanya bengkak dan hampir tak bisa dibuka, bibirnya pecah dan berlumuran darah.

Salah satu dari orang di samping Sukirman maju.

Mang Juki yang kesulitan melihat memberontak, tapi orang itu menepuk pelan pundaknya dan berujar dengan tenang, membuat Mang Juki merasa aman.

“Mang! Mang! Iki aku.”

Mang Juki gemetar, “Ma-Mas Lan?”

“Iyo. Wes lereno sek. Tenang dulu. Santai dulu. Kami semua paham kamu shock. Kamu marah, kamu jengkel. Aku ngerti. Ngerti tenan karo kondisimu. Aku paham. Kowe mestine nesu toh? Kenapa kamu justru dipukuli begini sementara kamu sendiri adalah korban?”

Mang Juki bergetar, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya meradang. Nyeri di sekujur badan. Rasa-rasanya dia memang tak pantas diperlakukan seperti ini. Kenapa dia dihajar keluarga Sukir? Apa salahnya? Hanya gara-gara berusaha meniduri Nisa? Lalu mereka ini apa? Keluarga Sukir jauh lebih penjahat kelamin dibandingkan dirinya.

“Ke-kenapa aku diserang? Mas Lan biasanya adil kalau…”

Lan menghela napas panjang. “Ngene lho, Mang. Siapapun yang membuat kekacauan di kampung ini dan membuat kampung kita rentan didatangi pihak berwajib, harus dikasih paham. Supaya tahu – siapa sebenarnya yang pegang tempat ini. Wong panggonan ayem tentrem kok digawe masalah.”

“Tapi aku kan tidak…”

“Iyo, kami tahu. Makanya tenang dulu. Kami ada tawaran,” Sukirlan maju dan jongkok di hadapan Mang Juki yang duduk bersila di tanah.

“Heheh. Maksud njenengan nopo, Mas? Tawaran apa? Apa yang diinginkan Tuan-tuan yang terhormat di sini dengan mengajukan tawaran setelah menghancurkan saya seperti ini?” Mang Juki menyeringai, dia menyeka bibirnya yang pecah, “Nama saya sudah hancur dan tak akan bisa dikembalikan lagi meski sudah dibela habis-habisan tadi. Saya tahu saya sudah hancur, hubungan dengan keluarga saya hancur, orang-orang di tempat ini pasti tak akan lagi menganggap saya manusia. Meski dibantah video itu akan tetap viral. Saya juga sudah tertangkap basah mau meniduri istri orang. Semua berita sudah terlanjur tersebar. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Saya juga tak akan pernah bisa menyelamatkan Nisa dari nasib buruk yang...”

Uwak Sobri tertawa. “Hahahahahahaha… Nisa itu sudah ku… hmm.”

Tawa pria tua yang beberapa kali berhasil memperkosa Nisa itu terhenti setelah ia melirik ke arah Sukirno yang menggeleng kepala. Bukan saat yang tepat untuk menghina Juki saat ini. Sukirno merangkul Uwak Sobri untuk menjauh dari Sukirlan dan Mang Juki. Orang-orang yang tadinya mengerumuni mereka pun menyebar, termasuk Sukirman, Mbah Jo, dan Ganep.

Sukirman geleng kepala pada Sukirlan tapi Mbah Jo membawa anak tengahnya itu menjauh.

Opo seng dadi pikiranmu, Le? Apa yang kamu pikirkan?”

“Aku tidak suka ini. Haris itu adalah salah satu aset yang harus dijaga bukannya malah…”

“Kalau yang jelek bisa dimanfaatkan, kenapa tidak, Le? Video itu akan viral kemana-mana dengan segala macam kemajuan jaman baru yang aku tidak paham,” Mbah Jo terkekeh, “Akan ada orang yang percaya dan ada yang tidak. Tapi aku tidak peduli dan rasa-rasanya memang kita tidak perlu peduli. Orang-orang yang penasaran akan datang tanpa bisa kita kendalikan dan itu yang justru harus kita manfaatkan. Peristiwa ini akan membuat nama Kembang Arum Asri populer meski berkonotasi negatif. Ini membuat Pager Jurang sangat potensial dibangun sebagai kawasan merah, itulah arah yang harus kita tuju. Kita bangun Lereng Gunung Mandiri yang asri ini sebagai surga. Heheh. Kamu kan wes ngerti, sawah mulai susah berkembang, musim sudah tidak menentu. Tapi yang namanya serabi kempit akan terus terjual laris. Wahahahhaha.”

“Oalah… aku itu hanya memikirkan soal Haris yang sebenarnya…”

“Heheheh… sudah-sudah… apapun yang kamu pikirkan, ya memang sudah harus begini jalannya, Le. Kita tidak bisa membiarkan hal seperti ini heboh terus secara negatif, kita ubah menjadi positif meskipun memanfaatkan hal-hal negatif, hahaha. Kita pasti menemukan jalan keluar. Keluarga kita kan keluarga tangguh, tarung mesti menang. Sudah turun temurun kita tinggal di sini. Lereng Gunung Mandiri sudah menjadi milik keluarga kita selama bertahun-tahun dan akan selamanya begitu. Kalau Haris mau bergabung, kita berikan seorang istri sebagai pengganti. Kebetulan aku ada stok gadis yang ayu yang datang untuk KKP… hehehe…”

Wedhus. Oke. Kalau Haris beres, bagaimana dengan Sarmanto? Bos Lele itu kan…”

“Itu urusannya si Lan. Dia aset berharga yang harus terus kita ajak bekerjasama karena dia juga punya koneksi yang banyak. Selain membantu dibangunnya kawasan merah di Pager Jurang, Bos Lele bisa mengembangkan tanaman-tanaman untuk obat bangsatnya di Lereng Gunung Mandiri.”

“Hmm… kita kasih sehektar?”

Mbah Jo mengangguk.

“Kalau menurut Pak’e, gimana Uwak Sobri si bajingan itu?”

Mbah Jo tertawa, Ganep yang di sebelahnya ikut tertawa meskipun tidak paham apa-apa. Mbah Jo menggeleng kepala, “Siapa sih Uwak Sobri itu? Dia tidak lebih dari bajingan tengik sange’an yang membuat kekacauan di kampung kita. Suasana tenang jadi kacau gara-gara dia.”

“Persis.”

“Ada waktunya yang tua harus istirahat, Le. Kowe ngerti lah apa yang harus dilakukan.”

Hrmph. Aku tidak mau ikut urusan yang kayak begitu. Aku ini ketua RT.”

“Heheheh. Ya wes, biar saja si Lan yang bereskan, dia juga harus cuci tangan dan membuat Sarmanto kembali percaya ke kita. Walaupun untuk itu kita butuh menumbalkan orang lain yang memang bersalah.”

Saat Mbah Jo, Sukirman, dan Ganep melangkah pergi, Lan kembali fokus dengan Mang Juki. Kerumunan yang mengitari kini menyebar dan bubar, meninggalkan keduanya bercakap-cakap satu lawan satu.

“Begini, Mang…” Sukirlan menepuk pundak Mang Juki. “Kita semua sama-sama tahu kowe memang tidak bisa tinggal di sini lagi karena kasus tadi pagi. Kita semua sama-sama pengen menghindari keributan. Tapi jangan khawatir, kami akan menjamin keluargamu tetap aman jika mereka memutuskan tinggal di sini. Kamu juga boleh meninggalkan Lereng Gunung Mandiri dengan keluargamu tanpa adanya gangguan dari kami. Kami akan membiarkanmu pergi dengan bebas tanpa syarat.”

Mang Juki mengerutkan kening dengan pedih, tidak mungkin si Lan dan keluarganya akan semurah-hati itu, pasti ada udang goreng tepung di balik bakwan. “Asal…?”

Lan menyeringai, “Asalkan kamu mau membantu kami. Kami butuh bantuan.”

“Bantuan apa itu, Mas Lan…?” Mang Juki curiga.

“Kami akan membangun tiga ruko sederhana baru di Pager Jurang. Kami mau yang bentuknya agak bagusan dikit. Rukonya dibikin kamar-kamar.”

Mang Juki jelas heran. Ruko? Buat apa? Bukankah sudah cukup warung di sana?

“Kamu handal, Mang. Jadilah salah satu pekerja kami di sana sampai proyeknya selesai. Aku yang akan bayar jadi kamu bisa tetap menghidupi keluargamu. Kamu tidur dan tinggal di proyek tanpa boleh pulang ke Kembang Arum Asri. Setelah proyek itu selesai barulah kamu boleh pergi…”

Mang Juki mendengus, ini ancaman untuk bekerja paksa. Tapi sepertinya tidak masalah, keluarga Sukir punya reputasi cukup tinggi. Dia yakin sekali hanya akan dibayar murah, tapi setidaknya tetap dibayar. Kalau boleh jujur, hanya ada satu hal lagi yang ia ingin tanyakan.

Sukirlan sudah menebak arah pikiran sang tukang serabutan.

“Kamu mengkhawatirkan si Nisa? Dasar bodong. Tidak perlu mengkhawatirkan dia, lebih baik kamu memikirkan Winda dan Rano yang benar-benar keluargamu. Bu Nisa-mu itu akan fokus pada pekerjaan barunya setelah ruko yang kamu bangun nanti selesai, heheh,” Sukirlan mengedipkan mata, “Bagaimanapun nasibnya, itu sudah bukan urusanmu. Itu urusan antara kami dan Haris selaku suam…”

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan.

Mang Juki terkesiap.

“Jangaaaaan! Jangaaaaaaaaaan, Pak!! Jangaaaaan! Ampuuuun! Ampuuuun! Saya tidak akan melakukannya lagi! Saya akan lebih berhati-hati! Jangaaaaaaaan!!”

Teriakan penuh kengerian itu terdengar menyayat hati tak jauh dari posisi mereka berdua saat ini berada. Mang Juki kenal dengan jelas suara itu. Itu suara laki-laki tua bajingan yang telah dengan tega memperkosa bidadari surganya.

“I-itu suara U-Uw…”

“Sshh…” Sukirlan untuk kesekian kalinya menepuk pundak Mang Juki, “Tidak ada suara apa-apa yang kamu dengar. Barangkali itu hanya suara angin saja. Di sini suara angin menampar tebing jurang mirip seperti suara manusia.” Sukirlan menyeringai.

Mang Juki terperangah dan mulai gemetar.



.::..::..::..::..::.



.:: DI SEBUAH RUMAH
.:: DI CLUSTER KEMBANG ARUM ASRI




Nisa mendongak dan berlinang air mata yang tak terbendung, “Abi… dengerin aku dulu, Bi… aku…”

Ibu muda yang kini mengenakan daster rumahan itu sudah tampil jauh lebih baik dibandingkan saat ketahuan telanjang dan bermesraan dengan Mang Juki. Tapi Haris masih tetap mengenakan pakaian yang sama tanpa berganti. Meskipun terlihat sangat lelah dan capek, tapi Haris masih meladeni percakapan dengan istrinya.

“Tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan bukan? Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadaku. Kupikir semua sudah jelas, tidak hanya melalui video dan foto-foto itu, aku juga sudah menangkap tangan kalian berdua sedang bermesraan di depan mataku sendiri. Jadi sudah sangat jelas dan gamblang apa yang telah kamu lakukan di belakangku. Aku bahkan mendengarkan percakapan kalian dan bagaimana kamu menghinaku.”

“Ta-tapi aku tidak akan pernah melakukannya kalau kondisiku biasa-biasa saja! Aku tidak akan pernah mengkhianati Abi. Tidak akan pernah! Aku dijebak oleh obat yang…”

“Dijebak atau tidak dijebak, kamu sudah melakukannya di depan mataku. Aku sudah mendengar yang kamu katakan. Kamu telah menyakitiku, menghinaku, menjatuhkan martabatku di hadapan laki-laki lain hanya karena kamu tiba-tiba saja haus seks.”

“Abi! Aku tidak…”

“Aku tidak butuh istri seperti kamu.”

Nisa duduk bersimpuh di hadapan Haris, ia mendekap lutut sang suami yang duduk di kursi di ruang tamu. Ia menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Bagaimana ia bisa meyakinkan suaminya bahwa semua terjadi di luar kendalinya? Apa yang harus ia lakukan tanpa saksi dan orang yang bisa mendukungnya? Satu-satunya orang yang sangat memperhatikannya adalah Mang Juki tapi jelas dia tidak bisa membawa laki-laki itu ke sini – bisa-bisa Haris tambah ngamuk, dan itu sangat berbahaya jika suami Nisa itu gelap mata.

Dia merasa bahwa jalan terbaik bagi Mang Juki adalah melarikan diri dan itu sudah ia lakukan tadi. Kini hanya tinggal penentuan nasibnya sendiri.

Haris yang baru saja pulang dari perjalanan dinas ke luar kota itu menangkupkan tangan di atas wajahnya. Padahal hanya ditinggal sebentar saja, kenapa sampai begini kejadiannya? Haris menepis tangan Nisa yang mencoba meraih tangannya.

“JANGAN SENTUH AKU!”

Nisa terkejut dan mundur ke belakang sembari memegang tangan, “A-Abi… beri aku kesempatan untuk… aku tadi baru saja diperkosa! Aku baru dibius dengan obat perangsang yang juga membuatku… Abi… percayalah! Aku ini korban. Beri aku kesempatan…”

“Jangan membuat cerita sembarangan! Kesempatan? Cih. Memang kamu pikir aku ini orang bodoh macam apa? Orang lain bisa kamu bohongi dengan mengatakan bahwa video dan foto-foto yang tersebar adalah buatan AI. Tapi aku bukan orang bodoh seperti mereka-mereka yang tinggal di kampung ini. Aku tidak bisa kamu bohongi… aku ini dosen! Orang berpendidikan! Berani-beraninya kamu meragukan kompetensiku sebagai seorang dosen dan akademisi dengan kebohongan yang menjijikkan!? Lonte kamu!!”

Nisa terperangah, ia tidak mengira sang suami akan menuduhnya dengan sangat menyakitkan. Orang yang paling ia percaya malah menghancurkan percaya dirinya yang sudah sangat tipis.

“Abi… berikan aku waktu untuk menjelaskan! Ini semua adalah ulah dari Uw…”

“AKU BUKAN ORANG BODOH!!” kembali Haris membentak sang istri, “aku sudah melihat dengan jelas dan dengan mata kepalaku sendiri apa yang sudah kamu lakukan dengan laki-laki lain! APA YANG TADI KAMU LAKUKAN DENGAN SI JUKI!? BERANI-BERANINYA KAMU BERSELINGKUH DI BELAKANGKUUU!? SETELAH SEMUA YANG SUDAH AKU BERIKAN KEPADAMU!?”

“Abi! Sudaaaaah, Bi! Nanti anak-anak dengar kalau Abi teriak-teriak seperti ini…! Yuna sudah membawa mereka pulang! Aku tidak mau kalau mereka…”

“KENAPA!? KAMU MALU KALAU MEREKA SAMPAI TAHU? PADAHAL KAMU YA MEMANG LONTE! KAMU ITU TAK UBAHNYA SEORANG PELACUR YANG MEMBUKA PAHA LEBAR-LEBAR UNTUK LAKI-LAKI LAIN! SUDAH BEGITU LAKI-LAKI RENDAH SEPERTI JUKI! JIJIK BANGET! MEMEK MURAHAN! PELACUR KAMU! PELACUUUUR!!”

Plaaaaaaaaaaaaaaakkk!

Nisa menampar Haris dengan kencang untuk menghentikan teriakan demi teriakan yang ia lontarkan. Ia tak bermaksud melakukannya, tapi dia merasa sangat terluka sehingga dia harus menghentikan sang suami. Tangannya sampai bergetar hebat, air matanya berderai. Bagaimana menyembuhkan hati yang luka?

“Ah!” Nisa baru sadar ia melakukannya secara reflek.

“Kurang ajaaaar! Sudah berani kamu sekarang yaaaa!?” Haris memegang pipinya yang pedih.

“Ma-maaf, Abi! Maaf! Aku tidak akan pernah berani karena…. Karena…” Nisa berusaha menatap wajah sang suami dengan tulus karena ia merasa sangat bersalah, tapi ketika melihat mata nanar memerah Haris, Nisa tak dapat menguasai dirinya, ia semakin merasa bersalah dan hancur, “Ma-maafkan aku… aku benar-benar tidak sengaja. Ini kulakukan dengan terpaksa. Tadi Abi terus mendesak jadi aku kelepasan dan…” Nisa mengulurkan tangan untuk meraih pipi sang suami, “Sakitkah? Ma-maaf! Maafkan aku, Abi. Tapi aku tidak pernah berselingkuh darimu… aku tidak akan pernah…”

“Jangan sentuh!”

Nisa tetap berusaha menyentuh bekas tamparannya dengan berderai air mata. Ia merasa sangat bersalah terhadap suaminya. “A-Abi… sakitkah? Maafkan aku…”

“JANGAN SENTUH!! KUBILANG JANGAN SENTUH YA JANGAN SENTUH!” Haris menepis tangan Nisa. “Dasar sundal! Lonte!”

Ibu muda itu menangis tanpa bisa terkendali, “Abi… aku harus bagaimana lagi supaya kamu percaya? Kamulah satu-satunya orang di hatiku, satu-satunya yang aku puja, satu-satunya yang aku cinta. Dengan kamulah aku ingin menua selamanya, merawat anak-anak kita sampai dewasa…”

Haris tersenyum sinis. Dengan kasar ia mendorong Nisa sampai terjatuh.

“Aduh!”

“Sudah! Tidak perlu lagi bersandiwara, kamu sudah ketahuan belangnya! Dasar lonte sok baik! Tadinya aku pikir aku bakal bisa menyelamatkan kamu dari nasib buruk dirajam orang-orang kampung ini karena berita tidak benar, tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, aku jadi…” Haris menghela napas panjang dan memalingkan wajah. Ia berkacak pinggang, “Ya sudahlah… aku menyerah. Kalau kamu memang lebih menikmati kontol laki-laki lain aku bisa apa? Aku tidak akan pernah memaksamu lagi. Toh kamu bilang sendiri, kontolku tidak bisa memuaskanmu. Aku yang mengalah! Aku bebaskan kamu! Aku yang akan membawa anak-anak, kamu tidak perlu mempedulikan mereka seperti kamu tidak peduli padaku. Hubungan ini sudah sepantasnya berakhir.”

“ABI!!” Nisa terbelalak.

“Abi? Ummi?”

Kedua anak Harismereka dan Nisa tiba-tiba saja berdiri di dekat pintu, melihat pertengkaran kedua orang tua mereka dengan air mata berlinang, “kenapa teriak-teriak?”

Haris menatap kedua anaknya dan meneteskan air mata, ia tidak tega menatap wajah kedua anaknya.

“Ka-kalian masuk dulu ya. Tidak apa-apa, Abi hanya sedang sangat capek.. Umi akan…”

Pria itu berbalik untuk menatap istrinya dan berucap dengan tegas, “Kulepaskan kamu dari tugasmu sebagai istriku dan kukembalikan kepada orangtuamu jika memang itu lebih baik untuk kita berdua. Kuceraikan kamu… Kuceraikan kamu… Kuceraikan kamu!”

Nisa menjerit histeris, tangisannya deras mengalir di pipi. Wanita cantik yang sehari-harinya kalem, anggun, dan ramah itu kini kehilangan jati-dirinya. Seluruh dunianya tiba-tiba hancur berantakan. “TIDAAAAAK! AKU TIDAK MAUUU! ABI!! INI BUKAN SALAHKU!! AKU INI KORBAN! ABI!! AKU INI TIDAK BERSALAAAH!”

Haris tidak peduli, dia menarik tangan Nisa dan melepaskannya dengan kasar di luar pintu depan. Nisa tersungkur di teras depan. Ia menunjuk ke arah wanita yang pernah sangat ia puja dan dambakan itu dengan pandangan galak dan jijik, “Pergi dari hadapanku! Jangan pernah kembali lagi kemari! Dasar lonte murahan! Pergi kamu ke neraka! PERGI!!”

Braak!

Pintu ditutup dengan kencang.

Nisa menjerit, ia menggedor-gedor pintu dengan histeris. Ia mendengar anak-anaknya juga menangis di dalam rumah, mereka memanggil-manggil Bunda mereka, tapi ditahan oleh sang suami yang sudah tak lagi percaya pada Nisa, wanita berparas ayu itu terus menggedor, ia tak peduli pandangan tetangga yang kini sudah pasti menganggapnya sebagai wanita yang tidak baik.

“KAKAAK ADEEEK! BUKAIN PINTUUU! TOLOONG! BUKAIN!! KAKAK! ADEEEEEKK!! ABI!!”

Tapi pintu rumah itu tak terbuka.

…dan mungkin tak akan pernah lagi terbuka untuknya.

Selamanya.

METEUTP_t.jpg






BAGIAN 24-C SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 25
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd