Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Truth (Kebenaran)

Status
Please reply by conversation.
Part 1. Tempat Bau



“Hei, kenapa elo bangun?.” tegur Randi yang melihatku berjalan tertatih keluar dari kamar mandi. “Sudah gue bilang, jangan banyak gerak dulu. Tuh lihat luka du kaki elo ngeluarin darah lagi!.”

Dengan sabar, Randi membantuku berjalan sampai ke kamar. Luka di kakiku segera di bersihkannya lagi, dan kali ini dia membalut lukaku dengan perban.

“Untung semalem gue beli nih perban, berguna juga ternyata.” ungkap Randi.

“Thank Ran, lo memang baik orang.” pujiku.

“Gak usah muji, lo pikir gue nanti suka gitu sama elo. Sorry ya, gue normal!.”

“Anjing lo yah, gue juga normal!.” seruku, dan kamipun tertawa bersama.


“Nih lo ganti pakaian lo yang dah kotor. Badan kurus banget, tapi gede juga otot-otot elo. Banyak makan biar gendutan!.” tutur Randi, seraya menyerahkan baju dan celana ganti padaku.

Padahal badanku juga tidak kurus-kurus banget, masih ada dagingnya juga.

“Kurus-kurus gini, semalem dah gebukin banyak orang.”

“Iya percaya, tapi elo tuh gampang habis tenaga!.” ungkap Randi.

“Gue akuin tenaga gue memang cepat habis, dan itu kelemahanku yang paling fatal. Benar apa kata elo, gue mesti nambah porsi makan, dan nguatin fisik gue.”

“Ya, gue setuju. Tapi sebelum itu, elo buruan ganti baju, sekarang juga kita ke Yogja.”

Dengan gerakan perlahan aku mengganti bajuku dan celanaku. Baju, dab celana bekasku aku buang begitu saja di bawah tempat tidurku.

“Ran, udah nih!.” aku memanggil Randi, karena dia tadi menyuruhku memanggilnya kalau mau berjalan. Katanya supaya lukaku tidak berdarah lagi.

Randi segera datang dan membantuku berjalan menuju mobilnya.

“Perjalanan kita mungkin agak lama, soalnya kebun teh elo tuh agak di plosok, dan itu juga yang membuat gue telat menerima kabar kematian Ayah dan Ibu. Di sana sinyal masih sulit.” ucap Randi.

“Tuh kebun Ayah Ran, bukan kebun gue!.”

“Kebun itu atas nama elo Ka, jadi gak salah kan gue bilang itu kebun elo?.”

“Terserah elo Ran, yang penting sekarang gue tuh laper, dan butuh makanan!.”

“Tuh ambil di kursi belakang, gue tadi dah beli makanan, cemilan dan air minum buat nemanin perjalanan kita.” ucap Randi, dan akupun segera mengambil makanan dari kursi belakang.

Kami berdua menikmati makan pagi di dalam mobil. Selesai makan, Randi langsung memacu mobilnya ke arah tujuan kami.

Sesekali mobil berhenti di rest area sekedar untuk istirahat, isi BBM, atau mengisi perutku dan Randi dengan makanan.

Sepanjang perjalanan, jarang terjadi obrolan antara aku dan Randi. Aku yang lebih banya tidur, dan Randi yang fokus mengendarai mobilnya.

“Ka, Raka, bangun!, dah nyampek kita.” suara lirih Randi terdengar olehku, dan aku merasa ada yang menggoyang-goyang tubuhku.

“Hooaahhmmmmm... Udah nyampek ya Ran?.” tanyaku.

“Dasar kebo, cepat bangun gih!.” seru Randi.

Aku membuka mataku, pemandangan sore yang sangat indah tersaji di depan mataku. Sebuah rumah berdesain klasik, dengan halaman yang di penuhi tumbuhan hijau, menyambut kedatanganku. Matahari yang bersinar ke emasan, semakin menambah indah tempat ini.

“Pak, Pak Naryo, sini dulu pak, nih bantuin saya!.” panggil Randi ke seorang lelaki paruh baya yang dengan sigapnya berjalan ke arah Randi.

“Wonten nopo mas?. ‘ada apa mas’.” tanya lelaki yang bernama Naryo.

“Pak, bahasa Indonesia saja!. Saya gak ngerti bahasa jawa.” ucap Randi.

“Inggih mas, sepurane. Ada apa mas Randi manggil saya?.”

“Pak Naryo tolong bilangin ke Mbak Wati, suruh dia beresin kamar sebelah kamar saya. Ini ada Mas Raka, dia akan tinggal di sini mulai hari ini.”

“Mas Raka anak Pak Wira mau tinggal di sini?. Bercanda yo mas Randi ki.”

Bukannya menjawab, Randi justru berjalan ke arah kiri mobilnya, dan membuka pintu mobil di sampingku.

“Ka, sini gue bantu lo keluar!.” Randi kembali memapah tubuhku.

“Waduh, beneran mas Raka!. Eh kakinya mas sakit?.” tanya Pak Naryo yang terkejut saar melihatku dan melihat kakiku yang luka.

“Mas Raka habis kecelakaan Pak, sudah Pak Naryo ke dalam dulu, bilangin mbak Wati seperti pesanku tadi!.”

“Siap mas, di laksanakan.” dengan sedikit berlari, Pak Naryo masuk ke dalam rumah.

“Kenapa Pak Naryo langsung ngenalin gue Ran?. Ketemu juga baru sekarang.”

“Lo gak usah bingung, waktu gue pertama kali kemari, gue bawa foto besar keluarga kita. Dari situ gue beritau ke mereka siapa saja yang di foto itu, dan sekarang fotonya aku pajang di ruang keluarga rumah ini.”

“Ohhh, gitu ceritanya.” ucapku.

Saat aku berjalan dengan di bantu Randi, beberapa orang yang lewat di jalanan depan rumah kami, menatapku dengan tatapan penasaran. Mungkin seperti itu yang aku tangkap dari sorot mata mereka saat melihatku.

“Ngelihat gue yang kayak gini aja cewek-cewek sini klepek-klepek. Ini ngelihat elo, meleleh deh mereka.” ucap Randi yang menyadarkanku dari lamunan.

“Hahaha.... Dasarnya orang ganteng, mau diapain lagi Ran.”

“Malah sombong ni anak.” ucap Randi. “Sudah lo duduk di sinu dulu!, gue mau ke dapur, mau lihat masakan orang dapur.” akupun duduk santai di sofa ruang keluarga rumah ini.

Tak lama setelah Randi berjalan ke arah dapur, seorang wanita yang aku kira usianya sedikit di atasku, berjalan ke arahku. Kulitnya cukup putih, hidung mungil dan intinya lumayan cantik orangnya. Apalagi bentuk tubuhnya, sempurna.

“Ah sial, dasar otak mesum!.” sindirku ke diriku sendiri.

“Permisi mas!.” ucap wanita yang baru aku omongin, lewat di depanku.

“Oh iya mbak, silahkan.” ucapku.

Dengan melempar senyuman, wanita itu berjalan memunggungiku dan masuk ke salah satu kamar.

“Dasa omes, lihat yang seger dikit langsung gerrr.” sindir Randi yang sepertinya melihatku masih memandangi wanita tadi.

“Tuh namanya mbak Wati, doi dah janda, anaknya satu. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan, rapet tuh dia punya goa.” ucap Randi setengah berbisik padaku.

“Lo tuh yang omes parah, sono deh kalo lo mau!. Tidurin, terus nikahin. Sepertinya elo dan mbak Wati seumuran.

“Kita memang seumuran, doi janda muda umurnya baru 24 tahun, samalah ama gue, hehehehe.” ungkap Randi. “Lo kemudaan kalau sama mbak Wati, umur juga baru 20 kan elo?. Sono deh elo cari ABG, banyak wanita cantik di desa ini.”

“Anjir lo tuh ya, tapi cariin satu yang masih gadis buat gue!. Biar sukses gue lepas perjaka gue, hehehehe.” candaku.

“Bilang anjir, tapi suruh nyariin. Tuh sembuhin dulu kaki, baru nyari. Dah yuk makan dulu!.” ajak Randi.

Dengan di bantu Randi, aku berjalan ke tempat makan.

Beberapa makanan tradisional tersaji di atas meja. Seorang wanita setengah baya, yang masih terlihat begitu cantik, menyajikan makanan di meja.

“Padat bener tuh tubuh!.” ucapku dalam hati memuji kemolekan tubuh wanita yang barusan menarik sedikit kursiku ke belakang, untuk memudahkan aku duduk.

“Ini mbak Laila, tuh istrinya Pak Naryo.! ucap Randi.

“Beruntung bener tuh aki-aki, bening bener istrinya. Sekali goyang muncrat tuh aki-aki.” batinku.

“Mas Raka kok diem saja, ada apa?.” seketika aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara lembut wanita memanggil namaku.

“Biasa mbak, kelamaan jomblo, lihat wanita langsung mupeng mbak.” sindir Randi.

“Ngempeng, walah mas Raka ini sudah gede kok mau ngempeng, gak malu to mas ama anak kecil?.” tutur mbak Laila.

“Mupeng mbak bukan ngempeng. Kalau ngempeng, ke enakan nih orang mbak.”

“Woi...woi... Mulai gak bener lo tuh Ran. Lagian ngenpeng tuh apa artinya?.” tanyaku polos.

“Ngempeng tuh, anak kecil minum susu dari ini mas.” ucap mbak Laila seraya memegang salah satu gunung kembarnya, dan di situ saya faham maksutnya.

“Mbak, panggil yang lain!. Kita makan bersama.” perintah Randi.

“Walah mas, ada mas Raka ini loh, masak makan bersama babu. Yang lain makan di belakang saja mas!.” tolak mbak Laila.

“Sudah mbak, ajak semua makan. Makan rame-rame tuh lebih enak mbak!.” ucapku.

Tak lama, tiga orang pekerja berkumpul denganku dan Randi. Pak Naryo sebagai tukang kebun dan penjaga rumah ini. Mbk Laila dan mbak Wati sebagai pembantu di rumah ini.

Tahu goreng, tempe goreng, oseng kanggkung, ayam goreng, dan tidak ketinggalan sambal oreg, habis kita makan.

“Wah, mas Raka banyak juga makannya!.” seru pak Naryo.

“Oh, hehehehe.... Lagi pengen gendutin badan Pak, ini kekurusan badan aku pak.” ucapku.

“Tapi, biar kurus gitu, badane mas Raka iku berotot ya.” puji mbak Wati.

“Maklum mbak, kurus-kurus begini, masih rajin olah raga mbak. Kalau otot, gak bakalan kalah sama si Randi, hehehehe.” tawaku cengengesan.

“Tuh mbak, jangan di puji nih bocah!. Ngelunjak kan jadinya.” tutur Randi.

Acara makan sore hari yang cukup meriah, canda dan gelak tawa silih berganti mewarnai acara makan kami.

“Mas kami balik ke belakang dulu, ini makannya juga sudah. Biar Wati dan Laila bereskan dulu!.” tutur Pak Naryo.

“Iya pak. Ini aku juga mau bantu si Raka ke kamarnya buat istirahat. Dan aku nanti juga mau istirahat saja pak. Jadi nanti bapak jangan lupa kunci gerbang dan kunci semua pintu ya pak. Buat mbak Laila dan mbak Wati, kalau udah beres-beresnya, istirahat saja, ini sudah mau maghrib juga, gak baik kalau kerja.” ucap Randi.




“Ini mas kopinya!.” ucap mbak Wati yang meletakkan secangkir kopi di atas meja. “Pagi-pagi minum kopi bikin hangat mas.”

Setelah semalam aku tertidur cukup nyenyak, dan bangun saat subuh. Belum juga mandi, sudah ada kopi hitam tersaji di hadapanku.

“Terimakasih mbak.” ucapku. “Oh iya mbak, itu jalan di depan selalu ramai gitu ya mbak kalau pagi?.” tanyaku.

“Ya seperti itu mas, namanya orang desa, pagi-pagi udah pada gawe mas. Ada yang ke sawah, atau ke kebun.”

“Pada rajin orang di desa, kalau di kota, jam segini masih pada tidur.” ungkapku.

“Ya besa to mas. Di desa jam segini tidur, mau makan apa nanti siang.” ucap mbak Wati. “Oh iya, mas Raka sukaya bangun pagi dan duduk santai di teras seperti ini?. Soalnya dari tadi saya lihat mas Raka nyaman banget duduk di sini.”

“Sebenarnya jarang mbak saya seperti ini. Mungkin karena lihat pemandangan yang lain dari di kota, aku jadi menikmati duduk di tempat ini mbak.”

“Luka mas Raka apa sudah membaik?.” tanya mbak Wati yang saat ku lirik, orangnya sedang melihat luka di kakiku yang terlihat karena aku memakai celana pendek.

“Tadi pagi-pagi, Randi sudah ganti perbannya. Lukanya sudah membaik mbak, ini saja tadi sudah bisa jalan sendiri ke sini.”

“Syukur mas kalau begitu. Ya sudah saya kembali kerja dulu mas!.”

“Oh iya, silahkan mbak.”

Sejak kedatanganku di tempat ini, kenyamanlah yang aku rasakan di tempat ini. Keramahan dan kehangatan orang-orang di sini entah kenapa membuatku betah tinggal di sini.

“Orang itu memang terlalu kuat, apa yang aku miliki saat ini, tidak sebanding dengan kekuatannya. Aku masih perlu banyak belajar, dan menghimpun kekuatan untuk melawannya. Mungkin di tempat ini aku bisa melakukan itu semua.” gumamku lirih. “Dendam, aku memang dendam dengan orang itu. Tapi, kebenaranlah yang ingin aku tuntut dari orang itu.”

“Woi, jangan bengong!.” tegur Randi yang membuatku terkejut.

“Sialan lo tuh, kalau gue jantungan gimana?. Masih perjaka nih gue. Mati penasaran ntar gue!.”

“Wehehehe.... Mati ya sono mati, perjaka kok di bawa-bawa. Emang setelah lepas perjaka, mati elo bisa nyaman?.”

“So pasti nyaman, apa lagi kalo gue mati di temanin elo, makin nyaman gue matinya. Hehehehe. ” candaku.

“Sialan lo tuh, mati ajak-ajak.”

“Hehehehe.... Kan enak bersama, sama. Lagian dari mana lo tuh, pagi-pagk dah jalan saja?. Gak ajak-ajak juga.” tanyaku.

“Olah raga Ka, sekalian ngecek kebun. Bentar kebun cengkeh elo mau panen. Lagian kalo gue ajak elo, tuh bisa gak sembuh-sembuh luka elo.” tutur Randi.

“Oh gitu, gue kira elo tadi lagi godain gadis desa, habis pakek dandan segala.” sindirku.

“Kan seperti pepatah Ka, sambil berenang, minum air. Sambil olahraga, gue tebar pesona, hehehehe.... ”

“Terus dapat gak ceweknya?.”

“Cewek apaan, ceweknya belum pada keluar, tuh kebo yang dah jalan-jalan menuju sawah.” jawab lesu Randi seraya duduk di kursi sebelahku.

“Makan tuh kerbau, hehehehe.” tak bisa aku menahan tawa mendengar ucapan Randi.

“Wah, ada apa ini mas, kok mas Raka kelihatan seneng banget?.” ucap pak Naryo yang muncul dari arah dalam rumah.

“Ini pak, ada lelaki kesepian sedang nyari pasangan, eh dapatnya kerbau, hehehehe. ” sindirku ke Randi.

“Terus sindir gue, padahal situ saja juga belum laku.”

“Belum ada yang laku ya mas, masnya ini!. Nanti bapak carikan, di desa tuh banyak loh mas gadis-gadis yang suka ngomongin mas Randi. Apa lagi kalau mereka lihat mas Raka, bisa pada ngantri deh buat minta di kawinin. Maklum mas, orang desa, jarang yang seganteng mas Raka dan mas Randi. Orang sini kebanyakan di sawah, jadi kulitnya mirip kulit kerbau mas. Lihat nih bapak, item kayak pantat panci.” ucap pak Naryo.

“Bisa saja pak Naryo ini mujinya, tapi gak ada kenaikan gaji loh pak!, hehehehe.” ungkap Randi.

“Mas Randi tuh tau saja, padahal udah ngarep kenaikan gaji tadi!.” ucap pak Naryo dengan ekspresi kecewa yang di buat-buat.

“Pak yuk temanin aku jalan-jalan di sekitaran sini. Nanti kalau bayaran, aku kasih bonus deh buat bapak!.” ucapku.

“Ini nih, yo ayuk mas, kita jalan!.”

“Jangan cepat-cepat jalannya!. Luka kamu memang sudah mengering, tapi takutnya nanti berdarah lagi.” tutur Randi.

“Siap bos, nih jalan santai.” ucapku.

Dengan di temanin pak Naryo aku berjalan di sekitan tempat tinggalku. Jalanan desa yang belum di aspal, sedikit becek karena hujan tadi malam.

“Ini kalau jalan lurus, satu kiloan meter. Kita sudah sampai di kebun tehnya mas Raka. Terus, kalau ini belok kiri sekitaran lima ratusan meter, itu kebun kopi dan kebun cengkehnya mas Raka juga.” ungkap pak Naryo saat aku dan dia sampai di sebuah pertigaan.

“Gak jauh ya pak, tapi nanjak gitu jalannya.” ucapku.

“Nanti mas, kalau sudah sembuh, bapak anterin ke sana. Kita jalan ke depan lagi mas, tuh di depan ada pertigaa lagi, nanti kita belok kanan, muter dan balik ke rumah mas.” ajak pak Naryo.

“Ya ayuk pak, kakiku juga gak kerasa sakit. Lagian pemandangan indah gini, bikin lupa rasa sakit, hehehehe.” ucapku.

Tepat di pertigaan jalan yang tadi di beritahu pak Naryo, aku dan pak Naryo belok kanan. Belum sempat aku dan pak naryo sampai di sebrang jalan, sebuah motor melaju cukup kencang dan hampir menabrakku. Untungnya itu motor berhenti beberapa centi sebelum menabrakku.

“Eneng opo Din?, ojo mbalap-mbalap!. Nubruk uwong, ciloko awakmu engko.” ada apa Din?, jangan kencang-kencang!. Nabrak orang, celaka kamu nanti. tegur pak Naryo ke pengendara motor.

“Sepurane pak, mas!. Kulo kesusu pak. Mas Randi nopo wonten teng griya?.” ma'af pak, mas. Saya buru-buru pak. Mas Randi apa ada di rumaj?. ucaap orang itu bertanya ke pak naryo.

Aku yang tidak tau apa yang mereka ucapkan hanya diam sambil melihat mereka ngobrol.

“Mas Randi ono nang umah, eneng opo to Din?.” Mas Randi ada di rumah, ada apa ya Din?. ucap pak Naryo.

“Iku pak, wonten tiang tawuran teng kebun teh mas Randi!.” itu pak, ada orang tawurang di kebun teh mas Randi.

“Penting iku, sek aku bareng neng panggome mas Randi.” penting itu, sebentar aku nebeng ke tempat mas Randi. ucap pak Naryo.

Selesai berucap pak Naryo menatapku, dan yang pasti, aku jelas terlihat seperti orang bingung. Tapi kemudian pak Naryo tersenyum saat melihat ke arah belakangku.

“Dek, tolong temanin mas Raka pulang!. Aku mau pulang cepat ikut si Udin. Ada yang penting!.” pinta pak Naryo ke seseorang di belakangku.

Aku menoleh dan melihat ke belakangku. Di belakangku ternyata ada mbak Laila dan beberapa ibu-ibu yang sepertinya habis pulang belanja di pasar, terlihat dari barang belanjaan yang mereka bawa.

“Iya mas, biar mas Raka pulang ikut saya.” ucap mbak Laila.

“Mas saya duluan!.” ucap pak Naryo.

“Oh iya pak.” karena aku tidak mengerti apa tujuan orang tadi, yang menurut pak Naryo penting. Akupun akhirnya berjalan pulang bersama mbak Laila dan empat ibu-ibu temannya.

“Mas bukan orang asli sini ya?. Baru hari ini lihat.” tanya salah satu teman mbak Laila yang menurutku dia paling muda di antara yang lain.

“Eleng umur Sri, eneng cah bagus jek enom, langsung ndemeni.” ingat umur Sri, ada orang ganteng masih muda, langsung suka. tegur wanita yang paling tua diantara mereka berlima, dengan bahasa daerah sini yang aku tidak tau apa maksutnya.

“Hus, yang sopan sedikit kamu itu Sri!. Mas Raka ini yang punya kebun teh tempat kamu bekerja.” terang mbak Laila.

“Bukannya mas Randi itu pemiliknya mbakyu?.” tanya Sri.

“Mas Randi sendiri yang bilang dek, kalau semua kebun yang di jaganya di sini tuh, kebunnya mas Raka ini.” ucap mbak Laila.

“Mbak Laila di bohongin tuh sama si Randi. Semua kebun yang ada di sini, itu milik aku dan Randi. Jadi, mbak Sri juga gak salah kalau bilang kebun itu punya Randi.” tuturku.

“Mas Randi mirip banget dengan pak Wira. Selalu bijak dalam berucap.” ucap wanita yang sedari tadi hanya diam dan melihat ke arahku.

“Mbak kenal Ayah?.” tanyaku penasaran.

“Dulu waktu kamu masih kecil, mbak itu yang kerja di rumah kamu itu, sebelum di ganti si Wati, karena mbak nikah dan pindah ikut suami, ya meski akhirnya di cerain juga.”

“Curhat nih ceritanya mbak?.” ucapku.

“Sekalian mas hihihihi. Waktu saya kerja itu, saya begitu senang dengan sikap Ayah dan Ibu mas, mereka baik, dan bijaksana orangnya. Waktu itu saja, mbak lagi sakit, di anter sampai rumah sakit di kota. Kata pak Wira, biar mbak cepat sehat.”

“Tunggu, tunggu, jadi dulu aku pernah kesini ya mbak?. Tapi kenapa aku lupa!.”

“Dulu mas, dulu banget waktu mas masih kecil. Ya wajar kalau mas lupa.” ucapnya.

Saat aku mendengar wanita itu berucap. Pak Naryo dengan di bonceng lelaki yang tadi hampir menabrakku, melintas ke arah berlawanan denganku. Tak lama Randipun lewat menggunakan menyusul pak Naryo dengan buru-buru.

“Ada apa dengan mereka?. Serius banget wajah-wajah mereka tadi!.” ucapku dalam hati, dan sambil berjalan aku tetap menoleh ke belakan ke arah Randi yang terlihat menjauh.

“Mas..!!..” teriak suara Sri dari arah depanku.

Reflek aku menoleh dan melihat ke arah depan.

“Bugh...” aku menabrak tubuh mbak Sri yang ternyata berdiri di depanku sampai hampir jatuh ke arah belakang.

Dengan cepat tangan kiriku merangkul pinggang mbak Sri, dan menahannya supaya tidak jatuh.

“Untung mbak gak jatuh!.” ucapku lega.

“Mas tangan.” ucap mbak Sri, dan eh kenapa semua melihat ke arahku.

“Ini tanganku jagain mbak biar gak jatuh!. Makanya mbak cepat berdiri yang bener.” ungkapku.

“Bukan yang kiri, itu mas itu!.”

“Eh maksutnya Mbak?.”

“Lepasin mas!.”

“Jatuh kamu nanti mbak kalau aku lepasin.”

“Lepasin mas, tapi bukan tangan kirinya!.”

“Bukan kiri, eh trus!.” batinku.

“Jangan di remas, sakit!.”

Eh, di remas, sakit?. Aku kemudian kembali menggerakkan telapak tangan kananku.

“Empuk, kenyal, gede, apa ini?, eh ini.....”



Bersambung.....
 
Terakhir diubah:
Amankan pertamak pageone ;)
Pertamak om...

izin baca suhuu
Silahkan om...

Ijin mantau
Mangga om... Dipantau...

Wahhh asyik tiap rabu dapat dua cerita...
Semoga semua lancar, biar lancar om updatenya...

Sepertinya ke depan akan lebih banyak adegan pedang2an lagi,, semoga bukan pedang2an yang lain..
Pedang beneran om, enakan beradu tameng om :) ...

Setelah baca part pertama sesuai judul truth???
apakah sesimple itu si randy mengetahui rencana raka?
apakah randy berkomplot membunuh ke dua orang tua raka dan apa motifnya khu...khu... humuh :pandaketawa:
Di tunggu aja om.... Biar jelas semuanya. Cerita ini gak akan sepanjang cerita sebelah om...

Permisi sista....
Ijin nikmat'n karya'y sist@manis_manja

Moga tetap sehat & tersenyum bahagia....amin
Amin om, sehat selalu dan bahagia selalu juga buat om...
 
Karya manis manja emang selalu bikin penasaran... Keep stong buat updatenya yaa sist di tunggu kelanjutannya...
Siap om, semoga bisa lanjut tepat waktu...

Pasang CCTV dulu.
Cerita ini kyknya bakal penuh gore. Berdarah2. :pedang:
Seperti sebuah permainan, darah akan tumpah di sini. Sesuai urutan. Yang lemah mati duluan.

lanjutkan karya terbaik mu neng
Siap om...

Ikut mantau di mari
Silahkan om di pantau....

Up up up bikin kapling dl ah.
Sudah bikin kapling aja nih si om....
 
Wahh... keren ini. Ikut nyimak ya...
Silahkan di simak om...

Ijin bikin tenda d mari Ya Sis
Silahkan om, tempat tidak terbatas.

Woi woy yang penting pasang tiker lah
Tikernya di pojok ya om, hihihi....

Nitip pasang patok meskipun rawan macet
Di usahakn tidak mcet om....

Wih cerita baru lagi....

Yg sebelah jgn ditinggal ya om
Di usahan update bersamaan om,
 
Lancrooot kan...
Siap om...

Lanjutkan karyanya sis @manis_manja semoga tetap sehat dan bahagia. Terima kasih yah buat cerita barunya.
Terimakasih juga dah mampir om.

Sehat dan bahagia selalu juga buat om...

Mantap sekali
Makasih om...

nungguin lanjutannya lg ah
pesen kopi dulu deh
Kopi susu, apa kopi item om??....
:mindik::mindik: intip dulu...
Hati-hati bintitan om....
 
ijin ninggalin jejak Hu.
Silahkan om....

Tangkringan barumerapat euy...ayu neng lanjut
Part 1 udah tuh om...

Nyimak dulu, kyknya bakal seru...
Silahkan om...

Ada yang baru nih

Izin masang tenda disini
Pasang j om. Tempat msih luas...

wah ndak bilang2 ada yang baru dari neng @manis_manja , ijin nyimak ya, semoga lancar sampai tamat
Silahkn di simak om. RL lancar, up lancar om...

Empuk,kenyal dan gede itu apa,Mbak Yu?Dan di thread sebelah jangan lupa updatenya....
Kue lapis om.... Hihihihi....
 
Non Manja yang Manis bikin rumah baru ndak bilang2....
Ijin berteduh yang Non @manis_manja
Silahkn neduh om...

Suwun up'y sist...

Tetap sehat dan trus makan2 njiplak pk bondan
Gak faham om maksutnya!!

beda pertama membaca, kesannya mantap, lanjut ya neng, jangan sampai macet, dan nanti diberi label tamat, asik nih cerita, sedikit ada gambaran, banyak2 eksplor ini cerita, kerangka awa sudah apik,tinggal memasaknya saja, selamat atas karyanya, satu kata :mantap::tepuktangan:
Siao om... Cerita ini gak sepanjang dan serumit yang sebelah om....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd