1
Tokoh dalam cerita ini ada empat orang. Salah satunya Dodi yang tidak sengaja saya temui ketika saya sedang menjenguk teman saya yang sakit. Profesi saya sebagai agen asuransi mengharuskan saya stay di rumah sakit dari jam 10 pagi sampai kira-kira jam 3 sore untuk mengurusi klaim teman saya itu. Kebetulan di hari yang sama, teman saya itu dijenguk oleh Dodi. Kami akhirnya kenalan dan Dodi mengenalkan saya kepada tiga orang temannya.
Teman dia yang pertama bernama Amanda, seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut sebahu dicat cokelat gelap. Lalu ada Budi, laki-laki tinggi, berambut ikal, dan berkacamata. Yang terakhir Candra, badannya penuh otot, botak, tapi tampan. Bersama Dodi, keempat orang ini punya geng yang disebut geng kaya raya karena di usia mereka yang belum 35 tahun, mereka sudah mapan secara bisnis dan finansial. Dodi cerita pada saya kalau banyak teman mereka yang iri terhadap pencapaian mereka, sehingga mereka tidak punya banyak teman dan lebih nyaman nongkrong berempat saja.
Pada suatu hari di tahun 2018, Dodi dan ketiga temannya ini sedang makan di kafe Ibukota dan ada seorang perempuan tinggi semampai langsing dan cuantik luar biasa lewat di depan meja mereka. Dodi, Candra, dan Budi langsung menoleh dan lupa napas.
“Anjir, cakep banget,” kata Budi. “Punya pacar kayak begitu gimana rasanya, ya?”
“Cakepan mantan gue,” kata Candra.
“Percuma cakep tapi putus,” kata Amanda.
Dodi ingat sekali pada saat itu tidak ada satupun dari mereka yang sedang punya pacar.
“Udah lama enggak asik-asik, nih, semenjak putus. Pengen cari pacar yang tampangnya kayak begitu,” kata Budi.
“Cewek begitu mana mau sama orang macam lu, Bud,” ejek Candra.
Budi memang tidak tampan tapi menurut saya tidak jelek juga. Mukanya kayak Nadiem Makarim tapi versi putih karena dia blasteran Tionghoa.
“Sembarangan. Kalo gue mau itu cewek bisa jadi pacar gue. Gue ajak tidur bahkan,” sergah Budi.
“Berani taruhan gue kalo lu enggak akan bisa punya pacar macam begitu, apalagi bobo,” tantang Candra.
“Deal, ya. Gue ajak kenalan, tuh, cewek,” kata Budi.
“Itu dia sama cowoknya, Budi,” kata Amanda.
“Ya, udah, gue cari cewek lain yang lebih cantik. Gimana, Candra? Jadi taruhan?”
“Deal! Siapa takut?” kata Candra.
“Hadiahnya apa, nih?” tanya Amanda.
“Mobil,” kata Candra.
“Mobil, mah, enak di lu. Lu, kan, tinggal comot dari dealer,” kata Budi.
Memang benar karena Candra punya bisnis jual beli mobil.
“Ya, udah, lu mau apa?” tanya Candra.
“Rumah,” kata Budi.
“Anjir, sinting.”
“Berani enggak?”
“Berani! Tapi lu kalo gagal mesti beliin gue rumah juga. Deal?” kata Candra.
“Gini aja, kalian berdua lomba buat dapetin cewek paling cantik. Yang kalah beliin rumah,” Amanda memberi ide.
Candra dan Budi diam sebentar.
“Deal!” seru Budi.
“Deal juga!” kata Candra. “Dod, nanti kalo gue kalah kita patungan, ya?”
“Kenapa gue dibawa-bawa?” kata Dodi.
“Atau lu juga ikutan, deh,” kata Budi.
Dodi melirik Amanda. Amanda tidak bilang apa-apa.
“Fine, hajarlah. Rumah doang, mah, siapa takut?” kata Dodi.
“Mantap, gue jadi jurinya,” kata Amanda.
“Elu juga ikut, ah. Cari cowok yang tertampan,” kata Budi.
Amanda menoleh pada Dodi. Dodi tidak bereaksi.
“Tampan itu relatif. Yang kata gue ganteng menurut kalian bisa jadi enggak. Lagian kalian cowok, mana bisa nilai laki,” kata Amanda.
“Kalo gitu, ya, soal cantik juga sama,” kata Budi.
“Makanya gue jadi juri. Deal?” kata Amanda.
Budi, Candra, dan Dodi saling lihat-lihatan lalu semuanya mengangguk.
“Deal,” kata mereka.
Sesuai diskusi, Amanda membuat peraturan yang dia ketik di kertas lalu dia print dan diberikan kepada ketiga temannya untuk dibaca. Mereka kemudian ketemuan lagi keesokan harinya. Isi peraturan taruhan itu kira-kira seperti ini:
Maka dimulailah taruhan dapat wanita paling cantik dengan hadiah rumah senilai 800 juta rupiah.
Tokoh dalam cerita ini ada empat orang. Salah satunya Dodi yang tidak sengaja saya temui ketika saya sedang menjenguk teman saya yang sakit. Profesi saya sebagai agen asuransi mengharuskan saya stay di rumah sakit dari jam 10 pagi sampai kira-kira jam 3 sore untuk mengurusi klaim teman saya itu. Kebetulan di hari yang sama, teman saya itu dijenguk oleh Dodi. Kami akhirnya kenalan dan Dodi mengenalkan saya kepada tiga orang temannya.
Teman dia yang pertama bernama Amanda, seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut sebahu dicat cokelat gelap. Lalu ada Budi, laki-laki tinggi, berambut ikal, dan berkacamata. Yang terakhir Candra, badannya penuh otot, botak, tapi tampan. Bersama Dodi, keempat orang ini punya geng yang disebut geng kaya raya karena di usia mereka yang belum 35 tahun, mereka sudah mapan secara bisnis dan finansial. Dodi cerita pada saya kalau banyak teman mereka yang iri terhadap pencapaian mereka, sehingga mereka tidak punya banyak teman dan lebih nyaman nongkrong berempat saja.
Pada suatu hari di tahun 2018, Dodi dan ketiga temannya ini sedang makan di kafe Ibukota dan ada seorang perempuan tinggi semampai langsing dan cuantik luar biasa lewat di depan meja mereka. Dodi, Candra, dan Budi langsung menoleh dan lupa napas.
“Anjir, cakep banget,” kata Budi. “Punya pacar kayak begitu gimana rasanya, ya?”
“Cakepan mantan gue,” kata Candra.
“Percuma cakep tapi putus,” kata Amanda.
Dodi ingat sekali pada saat itu tidak ada satupun dari mereka yang sedang punya pacar.
“Udah lama enggak asik-asik, nih, semenjak putus. Pengen cari pacar yang tampangnya kayak begitu,” kata Budi.
“Cewek begitu mana mau sama orang macam lu, Bud,” ejek Candra.
Budi memang tidak tampan tapi menurut saya tidak jelek juga. Mukanya kayak Nadiem Makarim tapi versi putih karena dia blasteran Tionghoa.
“Sembarangan. Kalo gue mau itu cewek bisa jadi pacar gue. Gue ajak tidur bahkan,” sergah Budi.
“Berani taruhan gue kalo lu enggak akan bisa punya pacar macam begitu, apalagi bobo,” tantang Candra.
“Deal, ya. Gue ajak kenalan, tuh, cewek,” kata Budi.
“Itu dia sama cowoknya, Budi,” kata Amanda.
“Ya, udah, gue cari cewek lain yang lebih cantik. Gimana, Candra? Jadi taruhan?”
“Deal! Siapa takut?” kata Candra.
“Hadiahnya apa, nih?” tanya Amanda.
“Mobil,” kata Candra.
“Mobil, mah, enak di lu. Lu, kan, tinggal comot dari dealer,” kata Budi.
Memang benar karena Candra punya bisnis jual beli mobil.
“Ya, udah, lu mau apa?” tanya Candra.
“Rumah,” kata Budi.
“Anjir, sinting.”
“Berani enggak?”
“Berani! Tapi lu kalo gagal mesti beliin gue rumah juga. Deal?” kata Candra.
“Gini aja, kalian berdua lomba buat dapetin cewek paling cantik. Yang kalah beliin rumah,” Amanda memberi ide.
Candra dan Budi diam sebentar.
“Deal!” seru Budi.
“Deal juga!” kata Candra. “Dod, nanti kalo gue kalah kita patungan, ya?”
“Kenapa gue dibawa-bawa?” kata Dodi.
“Atau lu juga ikutan, deh,” kata Budi.
Dodi melirik Amanda. Amanda tidak bilang apa-apa.
“Fine, hajarlah. Rumah doang, mah, siapa takut?” kata Dodi.
“Mantap, gue jadi jurinya,” kata Amanda.
“Elu juga ikut, ah. Cari cowok yang tertampan,” kata Budi.
Amanda menoleh pada Dodi. Dodi tidak bereaksi.
“Tampan itu relatif. Yang kata gue ganteng menurut kalian bisa jadi enggak. Lagian kalian cowok, mana bisa nilai laki,” kata Amanda.
“Kalo gitu, ya, soal cantik juga sama,” kata Budi.
“Makanya gue jadi juri. Deal?” kata Amanda.
Budi, Candra, dan Dodi saling lihat-lihatan lalu semuanya mengangguk.
“Deal,” kata mereka.
Sesuai diskusi, Amanda membuat peraturan yang dia ketik di kertas lalu dia print dan diberikan kepada ketiga temannya untuk dibaca. Mereka kemudian ketemuan lagi keesokan harinya. Isi peraturan taruhan itu kira-kira seperti ini:
- Setiap orang harus dapat pacar yang bisa ditiduri sampai akhir tahun (waktu itu bulan Agustus jadi sekitar lima bulan)
- Kriteria pacar yang dicari adalah pacar yang beneran di-PDKT-in terus jadian terus tidur bareng secara sukarela (jadi enggak boleh sewa PSK)
- Juri penilai tampang pacar adalah Amanda
- Yang kalah harus belikan pemenang rumah seharga 800 juta (lokasi menyesuaikan)
- Setiap hari Rabu, semua harus ketemuan untuk laporan progress dan tunjukin bukti foto
Maka dimulailah taruhan dapat wanita paling cantik dengan hadiah rumah senilai 800 juta rupiah.