Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT True Love and True Lust. Loyalty and Betrayal (by : meguriaufutari)

serasa nonton film mission imposiblenya tom cruise & angels and demonsnya Dan Brown.

Good Job suhu
 
makin seru jalan ceritanya... lanjutkan suhu, makin penasaran nih.
 
weehhh... ijin gelar tiker hu... sambil ngapuccino... joooss lah... ciamik wan de bruk critanya...
 
pembalasan ubtuk PIL nya erna kurang sadis agan ts ... harusnya si Adi itu dibuat tetap hidup tapi ga bisa ngaceng lagi alias lemah syahwat .... itu pembalasan yg sempurna menurutku .... just advice aja ....
 
Yeeeee...2 cerita fav ane jadwal update hri ni...
 
EPISODE 10 : Erna

Jent Zeinal Widoyo



Saiyuna Wijaya



Erna Viola Widoyo


Sudah dua hari sejak kejadian itu. Sekarang, kami berenam menginap di hotel JW Mariott Shanghai. Kembali ke hotel kami sebelum kami ditangkap oleh Myth dua hari lalu. Kami menyewa lima kamar. Abby otomatis sendiri, karena laki-lakinya hanya aku dan dia. Yuna, Diana, dan Fera tidak ada yang mau sekamar dengan Erna. Katanya takut ketularan jadi tukang selingkuh. Yah kasihan juga si Erna, tapi memang aku sebetulnya masih kesal dengannya. Diana dan Fera sekamar, sedangkan Yuna sekamar sendiri. Tadinya Yuna mau sekamar denganku, karena katanya lebih mudah melindungiku jika satu kamar. Tapi aku katakan aku benar-benar lagi ingin sendiri, dan aku yakinkan bahwa aku tidak akan tertangkap siapapun, yah aku sih pede-pede saja karena aku sudah berhasil mendapatkan pedang samuraiku kembali. Kejadian dua hari lalu dianggap sebagai kecelakaan. Entahlah aku juga tidak mengerti bagaimana caranya. Tiba-tiba ditemukan mobil polisi yang tadinya dikemudikan Satyr untuk membawaku ke pelabuhan, dalam kondisi terbakar. Di dalamnya terdapat 5 mayat. Dua mayat cocok dengan dua polisi yang dibunuh oleh Satyr. Mayat pertama merupakan salah satu anggota kepolisian Shanghai, sedangkan dua mayat lagi sangat cocok spesifikasinya dengan aku dan Yuna, meskipun polisi Shanghai belum bisa mengidentifikasikannya. Semua ini berkat Abby, yang mampu meretas ke dalam database kepolisian Shanghai. Betul-betul menyeramkan si Abby itu, sampai bisa meretas ke jaringan kepolisian Shanghai. Kembali ke permasalahan tadi. Kejadian tadi dianggap sebagai kecelakaan... Ada lima mayat didalam mobil polisi itu, dimana dua dari lima mayat itu memiliki spesifikasi yang cocok dengan aku dan Yuna... Seolah politik yang ditutup-tutupi dengan sangat rapi... Semua tidak mungkin dicover tanpa bantuan pihak kepolisian... Hmmm. Tidak lama kemudian, aku mendapatkan jawabannya. Begitu ya? Jadi anggota Myth pasti ada didalam kepolisian. Pasti dia juga yang mengatur sehingga aku dan Yuna terbebas dari tuduhan pembunuhan terhadap Profesor Wang, karena bisa bahaya jika aku memberikan kesaksian yang bisa menyulitkan mereka, walaupun hanya sedikit sih karena tidak akan ada yang percaya akan adanya eksistensi organisasi rahasia dan berbahaya seperti itu. Saat aku sedang sibuk berpikir, tiba-tiba telpon kamarku berbunyi.

"Ni hao. (Halo : dalam bahasa Mandarin)" Kataku.

"Ni hao. (wong cang cing cung ceng cong...)" Kata seorang perempuan di telpon.

"Apa artinya itu, Yuna?" Tanyaku.

"Hehehe, ketahuan ya? Mau kubuatin teh, pak?" Tanya Yuna.

Memang, si Yuna ini seperti embun yang menyejukkan ditengah panas. Aku ingat rasa teh buatannya sangat enak.

"Boleh Yun. Lemon tea hangat dengan gula yang pas ya." Kataku.

"Baik pak, mohon ditunggu sekitar dua sampai tiga menit." Kata Yuna sambil menirukan pelayan restoran.

Tidak sampai tiga menit, Yuna sudah mengetuk pintuku dan membawakan teh. Aku mengambilnya dan langsung menyeruputnya.

"Masuk, Yun." Tanyaku.

Yuna mengangguk dan kemudian ia masuk. Hari ini ia mengenakan baju kaos putih dan celana pendek selutut berwarna coklat. Baju putihnya cukup ketat, sehingga bentuk buah dadanya yang indah terlihat mencuat. Ah sudahlah, aku mengajaknya masuk bukan untuk memelototi buah dadanya. Setelah ia masuk, aku menutup pintu kamar, ia hanya berdiri saja didalam.

"Kaku amat sih kamu. Duduk kenapa?" Kataku.

"Sorry pak, kebiasaan hehehe." Kata Yuna sambil kemudian duduk di ranjang.

"Aku mao bahas tentang apa yang kita alami Yun." Kataku.


"Iya pak, aku tidak menyangka kita akan terlibat dengan mereka." Kata Yuna.

"Persis seperti apa yang aku pengen denger Yun. Darimana kamu pertama kali mendengar organisasi itu?" Tanyaku.

"Hahaha. Kayaknya disembunyiin pun percuma ya pak. Aku cuma pernah denger desas-desusnya aja sih pak. Waktu aku dapet kursus dulu. Sepertinya kepala desa yang ngasih aku kursus itu, berhubungan sama Myth, pak." Kata Yuna.

"Siapa nama kepala desa kamu?" Tanyaku. Aku tidak menyangka Yuna ini orang desa, karena sama sekali tidak terlihat.

"Kita tidak tahu nama aslinya. Yang pasti, kita memanggilnya dengan sebutan Cockatrice." Kata Yuna.

Hmmm, sudah kuduga. Bukannya berhubungan, tapi ternyata kepala desa itu adalah anggota Myth itu sendiri. Cockatrice adalah hewan mitologi setengah ayam dan setengah ular, yang bisa membunuh orang lain hanya dengan tatapan matanya.

"Yuna, apa kamu masih berhubungan dengan desa yang memberikan kursus kepadamu?" Tanyaku.

"Sudah tidak, pak. Ketika kami selesai kursus, secara otomatis kami menjadi pengembara, tidak terkait lagi dengan desa tempat kami lahir. Walaupun nanti ternyata kita ends up menjadi lawan dari teman seperjuangan kami, atau malah kepala desa sendiri, then so be it." Kata Yuna.

"Oke deh Yun. Itu aja kok yang mao aku bahas. Kamu boleh balik, yah kalo kamu mao." Kataku.

Yuna mengangguk sambil tersenyum, dan mulai berdiri untuk meninggalkan kamarku. Tetapi, saat dia berjalan menuju pintu keluar, aku langsung memeluknya dari belakang. Yuna pun menghentikan langkahnya, dan memeluk tanganku yang sedang memeluknya.

"Yun, makasih ya Yun. Kalo ga ada kamu, ga jelas deh nasibku kaya apa." Kataku.

"Ah, bapak terlalu mengdiskreditkan diri bapak. Aku yakin kalopun nggak ada aku, bapak tetep selamat." Kata Yuna.

"Yah, tetap saja deh, makasih banyak." Kataku sambil mengecup bibirnya, yang juga dibalas dengan kecupan bibirnya.

Setelah itu aku melepaskan pelukannya. Yuna melihat kearahku dan tersenyum, kemudian keluar dari kamarku. Setelah itu, aku merebahkan diriku di ranjang. Sampai akhirnya beberapa menit kemudian, bel kamarku berbunyi. Aku segera menuju ke pintu kamar, dan melihat siapa yang membunyikan bel. Hmmm, ternyata Erna. Yah, kubukakan pintu saja deh.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Gpp. Ada yang mau kubicarakan." Kata Erna.

Aku mengajaknya masuk tanpa membalas kata-katanya, dan mempersilakan duduk.

"Apa? Make it fast. (Jangan bertele-tele.)" Kataku.

"Sayang, aku tahu kamu saat ini pasti kesal sekali sama aku." Kata Erna.

"Yah, aku udah kesel dari hari pertama kamu selingkuh dengan si Adi bangsat itu. Justru sekarang aku cenderung lebih tidak kesal." Kataku.

"Oh begitu, kenapa bisa gitu?" Tanyaku.

"Yah, disaat kamu pergi, untungnya ternyata banyak yang menemaniku. Aku yang memiliki banyak kekurangan begini, ternyata ada yang begitu setia padaku, begitu mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Yah paling tidak, tidak seperti kamu, yang baru saja menghadapi problem seperti itu, tidak diskusi dulu langsung main serong saja. Apa ada kata-kataku yang salah?" Tanyaku.

Erna hanya menggelengkan kepalanya, perlahan-lahan air mata pun mulai mengucur dari kedua matanya.

"Sayang, sebetulnya apa yang terjadi diantara kita?" Tanya Erna.

"Sepele sebetulnya. Hanya saja kamu selalu menolak untuk mendengarkanku, selalu menganggap dirimu sendiri yang paling benar sehingga selalu mengacuhkan aku setiap kali ada masalah. Yah wanita memang begitu sih, wanita itu tidak pernah salah. Jika wanita bersalah, lihat pernyataan sebelumnya. Begitulah dirimu, iya kan?" Tanyaku.

"Maafkan aku. Ya, aku memang selalu berpendapat demikian. Aku sering mengatai kamu bahwa kamu itu paling nggak pernah minta maaf, padahal kamu selalu meminta maaf jika kamu bersalah." Kata Erna.

"Tambahkan, walau itu kesalahanmu, aku juga meminta maaf agar masalahnya cepat selesai." Kataku.

Erna mulai menangis, dan menganggukkan kepalanya.

"Padahal, aku sendiri yang tidak pernah meminta maaf. Dan aku ingat, tiap kali kita ada masalah yang cukup panjang, sebelum tidur malam kamu selalu mendatangiku dan ingin membicarakan sesuatu, tapi tidak pernah kuacuhkan. Aku bersikap angkuh seolah-olah kamu nggak ada, dan yang mau kamu bicarakan itu tidak penting. Dan akhirnya, perkataan yang mau kamu ucapin itu tidak terucapkan, bahkan sampai sekarang." Isak Erna.

"Sayang, aku denger dari atasan kamu, bahwa malam itu kamu dan dia sama-sama saling menikmati. Apakah itu betul?" Tanya Erna.

"Iya, kami saling menikmati satu sama lain, seperti layaknya kamu dan si Adi bangsat itu." Kataku sambil menganggukan kepalaku.

"Kalau aku boleh tanya, kenapa jika bersamaku, aku nggak pernah betul-betul menikmati? Apa kamu sudah nggak cinta sama aku?" Tanya Erna.

"Kalau disini, mungkin ini salahku. Aku paling tidak suka jika kamu sudah ngomel-ngomel. Aku ini orangnya mau cepat beres, aku tidak suka memanjang-manjangkan masalah, jika masalah itu sebetulnya bisa selesai cepat. Dan aku melihatmu itu, kamu suka memanjang-manjangkan masalah, makanya membuat mood-ku itu sangat turun sehingga pada saat kita mau berhubungan, aku sudah kehilangan lebih dari separuh gairahku, sehingga maunya cepat selesai saja. Ini memang salahku, seharusnya aku lebih sabar menghadapi kamu. Hal ini jadinya kamu mencari kepuasan di tempat lain. Maafin aku, kalau saja aku lebih peduli." Kataku.

"Nggak sayang. Harusnya aku yang lebih terbuka, dan lebih melihat diriku sendiri. Aku sudah mempunyai masalah denganmu ini sejak lama, tapi aku tidak membicarakannya denganmu. Setiap kali aku menyadari bahwa aku bersalah dalam suatu masalah, aku selalu melemparkannya kepadamu karena aku terlalu takut disalahkan dan juga nggak mau mengakuinya." Kata Erna.

"Erna, aku selalu bilang dari awal kita sebelom menikah dulu. Kalau ada masalah, diselesaikan dulu, jangan main salah-salahan. Kalo main salah-salahan dulu, bawaannya itu udah males nyelesain masalah juga. Bukannya aku udah pernah bilang gitu dulu, dan kamu setuju?" Kataku.

"Iya. Betul. Maafin aku ya sayang." Kata Erna.

Erna pun mulai mengusap air matanya, dan memandangku.

"Apakah kamu akan menceraikan aku?" Tanya Erna.

Haah, pertanyaan yang sebetulnya malas sekali kujawab.

"Katakanlah apa yang dikatakan pemuka agama kita sewaktu kita selesai mengucapkan janji nikah." Kataku.

"Apa yang dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia." Kata Erna.

"Kalau sudah mengerti, ga usah tanya lagi." Kataku.

Mendengar hal itu, Erna langsung menangis, dan memeluk aku. Yah, sejujurnya sih aku juga ikut terharu. Baru kali ini Erna mau mengakui kesalahannya begini. Erna yang dulu sih, pasti berkata "Ini semua salah kamu. Kamu sih kurang sabar bla bla bla...". Tapi Erna sekarang sudah berubah, sudah menjadi manusia yang baru. Tugaskulah sebagai seorang suami untuk menerimanya kembali, dan menuntunnya untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi, untuk sekarang ini, aku belum bisa memaafkannya. Aku memang masih kesal sekali dengan apa yang diperbuatnya.

"Apa kamu mau maafin aku sayang?" Tanya Erna.

"Sekarang ini aku belum bisa. Aku masih kesal dan betul-betul kesal. Apa yang sudah kamu lakukan dengan si Adi bangsat itu, juga bagaimana kamu menceritakan kekuranganku kepadanya, dan bahkan juga meninggikan dia dan sekaligus merendahkan aku. Aku masih belum percaya, bahkan sampai sekarang pun, bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri." Kataku.

"Iya, sampai sekarang pun, aku juga tidak percaya sudah melakukan hal itu." Kata Erna.

"Bukannya ga percaya, Erna. Tapi kamu terlalu dibutakan oleh nafsu." Kataku.

"Iya. Percayalah, kali ini aku tidak akan main serong lagi. Aku akan buktiin ke kamu kalo yang aku cintai itu hanya kamu saja, tidak ada orang lain." Kata Erna.

Hmm, tentu saja tidak ada orang lain, wong selingkuhannya sudah mati. Jujur saja, rasanya aku belum puas jika belum membalasnya. Tapi yang kurasakan, rasa kesal yang kurasakan tidak sedalam seperti waktu pertama kali aku memergoki mereka selingkuh. Ya, sejak itu aku mulai membuka mataku. Sejak setelah Erna selingkuh, aku baru pertama kali menyadari bahwa aku sebetulnya mempunyai teman yang begitu banyak. Aku bahkan mempunyai atasan yang notabene nya adalah wanita paling outstanding di kantor, dan aku sudah pernah bersetubuh dengannya. Sekarang, aku memiliki sekretaris elit... tidak, aku sudah menganggap Yuna sebagai sahabatku yang paling setia, dan sekretaris elitku yang sangat kuandalkan. Aku memiliki Diana, Fera, dan Abby yang begitu setia denganku walaupun mereka mungkin diiming-imingi dengan sesuatu yang menggiurkan sebelumnya. Mungkin aku yang sebelumnya terlalu family-oriented... tidak, wife-oriented tepatnya... tidak pernah memperhatikan hal itu. Inilah yang dimaksud dengan Pak James dari pertanyaan bahwa sekalipun aku berada didalam kebencian dan kesedihan yang paling dalam, didekatku pasti ada kebahagiaan.

"Sayang, apa kamu suka sama Bu Novi?" Tanya Erna.

"Suka dalam hal apa nih?" Tanyaku.

"Cinta, cinta kepada perempuan." Kata Erna.

"Kalau itu tidak." Kataku.

"Bagaimana kalau sama sekretaris kamu itu?" Tanya Erna.

Aku jadi teringat kembali oleh perkataan Yuna yang diucapkan hanya melalui bibir saja tanpa suara.

"Are you still dying to know why right now? Well, in that case, I'll answer it right now. It's because I love you.

(Apakah bapak masih sebegitu ingin tahu? Baiklah, kalau begitu akan kujawab sekarang. Karena saya mencintai bapak.)"

Jujur saja, kalau ditanya begitu sama Erna, aku sangat bingung akan jawabannya. Yuna baru bersamaku sekitar beberapa hari, belum ada sepuluh hari. Tapi dalam beberapa hari itu, kami sudah menjadi sangat dekat, saling mempercayai satu sama lain, bahkan saling bersetubuh bareng. Akhirnya, sekarang aku ingat nama gelora itu, ya... gelora yang kurasakan saat sedang bersetubuh dengan Yuna. Nama gelora itu adalah cinta, tidak salah lagi.

Dengan mantap, kujawab pertanyaan Erna tadi.

"Iya. Aku mencintainya." Kataku.

"Begitukah?" Kata Erna. Ekspresi wajahnya menunjukkan keputusasaan.

"Tapi hanya sebatas itu saja. Dia berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku." Kataku.

"Bagaimana jika yang terbaik dimatanya itu adalah kamu?" Tanya Erna.

Daritadi, pertanyaannya sulit terus sih. Tapi, yang ini betul-betul yang paling sulit. Aku sendiri betul-betul bingung apa jawaban yang paling pas.

"Sayang, seandainya bukan karena agama kita, akankah kamu menceraikan aku?" Tanya Erna.

"Menurutmu?" Tanyaku balik.

"Tidak, kamu tetap tidak akan menceraikan aku. Aku tahu seperti apa dirimu, dan sedewasa apa dirimu." Kata Erna.

"Kalau sudah tahu, tidak usah tanya." Kataku.

"Apakah kamu akan membalas dendam?" Tanya Erna.

"Entahlah. Jujur saja, sebetulnya aku ingin sekali membalas dendam padamu. Tapi entahlah, seolah-olah ada yang menghalangiku untuk berbuat demikian, aku juga tidak tahu." Kataku.

"Begitu ya." Kata Erna.

"Gantian aku yang tanya." Kataku.

Erna langsung terkesiap, seolah-olah sudah siap dengan pertanyaan yang sangat sulit dariku.

"Jika si Adi bangsat itu tidak mati, apakah kamu akan mengatakan semua itu sekarang?" Tanyaku.

Mendengar pertanyaanku, Erna langsung berpikir dan memejamkan matanya, cukup lama.

"Tahukah kamu sayang, apa yang membuatku sekarang jadi begini? Bukan karena Adi itu dihajar habis-habisan oleh atasanmu itu." Kata Erna.

"Dihajar habis-habisan? Bukankah katanya ditembak sampai mati saja?" Tanyaku.

"Nggak, sayang. Waktu aku dan Adi sedang melakukan perbuatan yang tidak terhormat itu, tiba-tiba pintu kamar hotel yang sudah terkunci itu langsung terbuka dengan kerasnya. Saat kami lihat, ternyata Bu Novi. Mukanya sangat marah, lebih seram dari apapun yang pernah kulihat. Saat itulah Adi mendekat kearahnya." Kata Erna.

"Ada apa? Mau ikutan?" Kata Erna, memperagakan Adi.

"Saat itu, aku merasa betul-betul dipermalukan. Masak si Adi itu mengajak aku threesome begitu, aku paling tidak suka." Kata Erna.

"Aku datang untuk membereskanmu, dan juga membawa wanita rendah itu ke hadapan suaminya." Kata Erna, memperagakan Bu Novi.

"Saat itu, Adi hanya tertawa kecil saja. Kemudian, ia mengangkat tangannya, sepertinya hendak memegang pipinya Bu Novi. Tapi dengan cepat, Bu Novi langsung menangkap tangannya, dan memelintir tangan Adi dan memutar tubuhnya. Dalam sekejap saja, kedua tangan Adi itu sudah patah. Aku ingat sekali bagaimana bunyi menyeramkan dari tulang kedua tangan Adi yang patah. Adi hanya bisa mengerang kesakitan. Sebelum ia sempat minta tolong, Bu Novi langsung melukai tenggorokannya sehingga ia kesulitan berbicara. Sempat terdengar kata 'ampun' keluar dari mulut Adi yang sudah sangat sulit berbicara itu. Tetapi, seolah tidak mempedulikannya, Bu Novi menendang kepala Adi sehingga Adi langsung terpental beberapa puluh sentimeter kebelakang dan terjerembab ke lantai hotel. Saat itulah, baru ia mengeluarkan pistolnya, memasukkan moncongnya ke dalam mulut Adi." Kata Erna.

"Kamu tahu, suami dari wanita rendah ini bisa lho mengatasi serangan seperti ini. Serangan yang kulancarkan itu adalah serangan-serangan yang menurutku masih sangat dasar dan mudah dihindari. Dan kamu, orang yang daritadi dan dari pertama selalu membandingkan betapa besarnya dirimu dengan suami wanita rendah ini, tidak bisa mengatasi serangan seperti ini? Kalau suaminya ada di posisimu, paling tidak aku yakin ia bisa membuatku kerepotan, dan mengulur waktu hingga istrinya kabur. Ya sekarang kita tahu siapa yang lebih rendah. Jika kamu masih bingung siapa yang lebih rendah, coba jawab pertanyaanku, siapa yang lebih hebat diantara orang yang mampu mempertahankan keluarganya dan orang yang mampu mempertahankan EREKSI-nya terhadap wanita murahan? Bagaimana?" Kata Erna, memperagakan Bu Novi.

"Adi hanya bisa megap-megap. Air matanya pun mulai keluar. Aku benar-benar tidak menyangka Adi yang badannya begitu besar, tidak berdaya melawan Bu Novi sama sekali. Bahkan Bu Novi mampu membuat Adi sampai begitu ketakutan hingga menangis." Kata Erna.

Aku hanya diam saja. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar hal itu.

"Nggak lama kemudian, lantai tempat kepala Adi bersandar sudah dibasahi oleh semprotan darah akibat Bu Novi menarik pelatuk pistolnya. Seketika itu juga, Adi berhenti bergerak. Aku tahu, nyawanya sudah pergi dari tubuhnya." Kata Erna.

"Aku betul-betul melihat pemandangan paling menyeramkan selama hidupku. Seumur-umur aku belum pernah melihat orang membunuh di depan mataku." Kata Erna.

"Kemudian setelah itu, Bu Novi langsung menatap mataku dengan sangat tajam. Dirinya sangat marah, aku tahu hal itu." Kata Erna.

"Sekarang, berjanjilah. Kamu tidak akan pernah main serong lagi. Meskipun suamimu main serong sana-sini, meskipun suamimu berubah 180 derajat menjadi tidak benar, meskipun suamimu berubah menjadi momok yang sangat menakutkan, kamu harus tetap berjanji bahwa kamu akan tetap setia padanya. Kalau tidak mau, kuhabisi dirimu disini." Kata Erna, memperagakan Bu Novi.

"Jadi karena kamu ketakutan, makanya kamu berubah 180 derajat sekarang?" Tanyaku dengan sinis.

Erna hanya menundukkan kepalanya. Tapi aku tahu, bukan rasa malu yang nampak, tapi rasa sedih.

"Aku sudah siap mati saat itu. Jika aku saat itu mati, aku sudah menerimanya sebagai pembalasan akibat aku berselingkuh darimu. Tapi yang membuatku menjadi seperti ini adalah... karena Bu Novi." Kata Erna.

"Apa hubungannya?" Tanyaku.

"Sebagai sesama wanita, apalagi sebagai seseorang yang menjadi bagian besar dalam hidupmu, aku bisa mengerti bahwa Bu Novi sangat menyayangimu sayang." Kata Erna.

"Tahu darimana kamu?" Tanyaku dengan heran.

"Memang dia tidak mengatakannya secara langsung. Tapi dengan melihat tatapan matanya, aku tahu bahwa dia sangat marah akibat perbuatanku ini. Kenapa dia sangat marah adalah karena dia begitu menyayangimu, bukan sebagai pria, tapi lebih tepatnya sebagai seorang sahabat, sahabat yang bahkan rela mati." Kata Erna.

"Kemudian dia menyuruhku pakai baju, dan memakaikan tali dileherku, kemudian membawaku kesini." Kata Erna.

Eeeww, wanita memang kalau marah itu menyeramkan ya. Hmmm, akhirnya aku mengerti mengapa Bu Novi semudah itu tertembak oleh Fera. Meskipun dia sedang akan menembak Yuna pada waktu itu, dimana betul kata Fera bahwa saat makhluk hidup paling lengah adalah saat ia sedang menerkam buruannya, aku merasa bahwa harusnya Bu Novi bisa mengantisipasi hal itu. Aku sempat bingung mengapa itu terjadi. Berarti, apakah ini artinya Erna tidak berbohong?

"Oke. Ada lagi yang mau dibicarain?" Tanyaku.

"Oh... Nggak kok. Ya sudah, sepertinya kamu belum mau maafin aku." Kata Erna.

"Memang belum bisa." Kataku.

"Yaudah, aku balik dulu ya. Kalo ada apa-apa, dateng aja." Kata Erna, sambil memalingkan wajahnya. Sepertinya ia menangis lagi.

Setelah Erna keluar, beberapa menit kemudian ada yang menelpon kamarku.

"Ni hao. (Halo)" Kataku.

"(wong chang ching shang shing...)" Kata suara yang sangat berat.

Tapi aku langsung tahu.

"Percuma disembunyiin kaya apapun juga. Ada apaan?" Kataku.

"Kok ketahuan terus sih. Yaudah pak, aku cuma mao ngabarin bahwa katanya besok kita akan diantar oleh kepolisian Shanghai kembali menuju Jakarta. Katanya atas permintaan maaf mereka karena sudah menuduh kita sebagai pelaku pembunuhan." Kata Yuna.

"Baiklah, aku terima tawarannya." Kataku.

"Yakin pak? Mungkin saja ini ulah anggota mereka lagi." Kata Yuna.

"Aku yakin ini memang pasti ulah mereka. Tapi, tak ada cara yang lebih cepat untuk meringkus mereka selain masuk dalam perangkap mereka dan mempersempit jarak antara kita dan mereka. Karena itu, Yuna, aku percayakan Erna, Diana, Fera, dan Abby sama kamu. Tolong jaga mereka baik-baik." Kataku.

Yuna tidak menjawab. Tapi dari napasnya, aku tahu bahwa ia sedang tersenyum.

"Erna sepertinya tidak ada masalah. Diana cenderung tidak memperhatikan sekitar tanpa diberitahu, tolong kamu jadi mata yang baik bagi dia. Fera sangat baik dan setia kawan, tetapi ia terlalu polos, tolong jadi pikiran yang baik bagi dia. Abby terlalu asik dengan komputer dan gadgetnya, tapi percayalah bahwa apa yang dia lakukan itu adalah untuk menyelamatkan dunia, jadi tolong jadilah kepekaan yang baik untuknya." Kataku.

"Baik pak. Serahin semuanya sama aku." Kata Yuna.

"Jangan sampai ada yang tahu. Aku mohon, rahasiakan semua ini dari mereka. Bilang saja bahwa aku akan menyusul mereka." Kataku.

"Oke pak." Kata Yuna.

Kemudian, telpon ditutup. Huah, besok akan jadi hari yang panjang sepertinya.

BERSAMBUNG KE EPISODE-11
 
Terakhir diubah:
EPISODE 11 : Fera

Jent Zeinal Widoyo



Ferawati



Sudah sejam berlalu, sejak aku berbicara dengan Yuna. Aku sudah sempat tidur siang, karena pikiranku sebelumnya menemui jalan buntu. Bagaimanapun juga, aku sendirian menghadapi organisasi seperti mereka. Hanya aku dan pedang samuraiku. Sekuat apapun diriku, jika ada dua atau tiga orang saja anggota selevel Satyr atau Bu Novi, sepertinya aku bisa kesulitan. Yang menambah masalah lagi adalah, medan pertempuran nanti adalah medan mereka, bukan medanku ataupun medan yang sama-sama tidak kita ketahui. Pastilah mereka sudah menyelidiki medan yang nantinya mereka rencanakan untuk pertempuran, dengan begini mereka mempunyai keuntungan yang lebih. Aaahh, terlalu naif-kah aku untuk masuk ke dalam perangkap mereka demi mendapatkan informasi yang lebih sekalian meringkus mereka? Tapi ini kesempatan yang cukup baik, karena kalau aku lari, mereka akan lebih bisa melancarkan serangan gerilya dengan strategi yang lebih matang. Kalau sekarang ini, mungkin mereka tidak mengantisipasi bahwa aku sengaja masuk ke dalam perangkap mereka, yaah atau mungkin juga sudah? Kulihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sebelum makan begini, enaknya berbuat sesuatu yang bikin badan rileks. Setahuku, hotel ini memiliki fasilitas spa, yang ada sauna dan jacuzzi gratisnya. Boleh deh, mending aku sauna dan jacuzzi saja. Saat aku keluar kamar, aku bertemu dengan Fera. Ia mengenakan baju kaos putih dan celana pendek kuning hari ini.

"Hai Fer." Sapaku.

"Halo pak. Mao kemana pak?" Tanya Fera.

"Ada deh." Kataku sambil senyum sok misterius.

"Iiihh bapak nih. Nyebelin." Kata Fera.

"Mao ke sela-sela, Fer." Kataku.

"Jorok." Kata Fera.

"Jorok apanya ya? Kamu mikir selangkangan lagi?" Tanyaku sambil menggoda.

"Iiihhh bapak emang nyebelin deh." Kata Fera.

"Lah. Kok saya yang nyebelin? Jelas-jelas kamu yang mulai, kaya waktu itu." Kataku.

"Hmmm, betul juga ya pak." Kata Fera. Ampun nih anak polosnya kelewatan.

Tiba-tiba, Fera hanya diam saja, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Hoi." Kataku sambil mengibaskan tangan didepan wajahnya untuk membuyarkan lamunannya.

"Eehh... sorry pak. Kenapa ya?" Kata Fera sambil tersadar dari lamunannya.

"Jah, aku yang tanya kenapa. Kamu tiba-tiba ngelamun." Kataku.

"Nggak pak. Aku tiba-tiba mikir lagi aja. Emang bener ya istri bapak itu selingkuh?" Tanya Fera.

"Aku lg ga ingin bahas itu Fer. Aku mao sauna ama jacuzzi nih, mao ikutan?" Tanyaku.

Kemudian Fera menatap mataku selama beberapa detik. Kemudian ia mengangguk sambil tersenyum, senyum yang ceria. Ia pun mengikutiku jalan kearah spa. Saat kami sudah berada di udara terbuka, aku bisa melihat Erna dan Yuna sedang berbicara berhadapan di depan kolam renang, yang jaraknya kira-kira lima puluh meter dari tempatku berada. Hmmm, apa yang sedang mereka bicarakan. Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu. Maka aku berjalan memutar menuju pepohonan yang ada di dekat mereka, dengan berusaha untuk tidak terlihat oleh mereka. Aku memberitahu Fera bahwa jangan sampai kita terlihat oleh mereka. Dalam beberapa menit, aku telah sampai di pepohonan yang jaraknya cuma sepuluh meter dari tempat Yuna dan Erna berbicara empat mata. Fera menepuk pundakku.

"Kita nggak sendirian pak." Bisik Fera.

Aku hanya mengangguk, menyadari hal itu.

"Because today is sunny, a vacation is needed." Kataku.

"So, you had enough? (Jadi, sudah cukup?)" Suara Peter, yang keberadaannya tidak diketahui dimana.

"Yes, please. Well done, Peter. (Ya. Pekerjaan bagus, Peter.)" Kataku.

"Okay then. I shall take my leave then. (Oke. Aku akan pergi kalau begitu.)" Kata Peter.

Dalam sekejap saja, tanda keberadaan Peter sudah menghilang sepenuhnya.

"Itu, Pak Alan kan ya pak?" Bisik Fera.

"Iya betul, Fer. Kita pergi dari sini. Urusan kita sudah selesai disini." Kataku.

"Yuk pak." Kata Fera.

Kami berdua segera menuju ke spa yang jaraknya tidak jauh dari tempat kami ini. Spa-nya sangat bagus. Ruang sauna dan kolam panas dingin laki-laki dan perempuan dipisah. Laki-laki di kiri, dan perempuan di kanan. Sedangkan jacuzzi nya ada di tengah, campur antara laki-laki dan wanita. Aku segera berganti baju mengenakan celana renang yang sudah disediakan oleh spa, membilas tubuhku, dan langsung masuk ke sauna. Cukup menyenangkan, paling tidak bersenang-senang dulu sebelum menghadapi badai besar. Selesai sauna, aku langsung ke jacuzzi. Fera sudah ada disitu. Ternyata, pakaian spa yang diberikan oleh hotel berbentuk bikini, sehingga kini aku bisa melihat tampak lebih detail tubuh Fera. Kulitnya berwarna coklat, wajahnya cukup cantik, buah dadanya yang sebelumnya kutaksir sekitar 34B ternyata tampaknya benar. Perutnya pun cukup indah, tidak terlalu ramping, tapi tidak berlemak juga. Pahanya juga cukup menggoda. Waduh, pikiranku mulai gak bener nih. Sudah-sudah, lupakan. Aku pun segera masuk ke jacuzzi, dan duduk di depan Fera.

"Fer, kalo boleh tau, emangnya kamu diiming-imingi apa sama Bu Novi?" Tanyaku.

"Bonus, promosi, kenaikan gaji, dan tunjangan pak." Kata Fera.

Hmmm, sepertinya cukup menggiurkan sih. Aku tak heran si Lina itu begitu tergiur.

"Lalu, kenapa kamu ga tergiur?" Tanyaku.

"Aku ngerasa itu salah aja pak." Kata Fera.

"Hmmm, hanya itu?" Tanyaku.

Fera tidak menjawab. Ia juga mengalihkan pandangannya dariku. Kemudian aku mendekat, dan mengelus-elus rambutnya.

"Fer, makasih ya. Disaat aku ngerasa gak punya siapa-siapa, kamu, Yuna, Diana, sama Abby tetap setia sama aku. Aku betul-betul menghargai itu." Kataku.

"Aku tadinya nggak tau pak kalo Diana sama Abby itu ada di sisi bapak. Tadinya kupikir aku sendirian doang." Kata Fera.

"Lho? Kalian bukannya kerjasama?" Tanyaku.

"Nggak pak. Aku sendirian doang kok. Aku sengaja nunggu Bu Novi lengah, baru aku tembak dia. Bapak kan pernah ngajarin aku, saat orang menjadi lengah adalah saat orang itu mau menerkam mangsanya. Eh tapi ternyata Diana dan Abby ternyata memihak bapak juga." Kataku.

"Iya, aku juga ga nyangka. Aku pikir aku bakal kehilangan Yuna waktu itu." Kataku.

"Eeemmm... Bapak... suka sama... Yuna ya?" Tanya Fera.

Ya ampun, kenapa dua kali aku mendapatkan pertanyaan yang sama hari ini?

"Hmmm, aku sendiri juga belum bisa jawab dan yakin sih Fer. Karena takutnya, aku cuma menjadikan Yuna itu tempat pelarian, karena istriku." Kataku.

"Kalo kasusnya seperti itu, harusnya bapak nggak mungkin sebingung itu." Kata Fera.

"Jadi, kamu berpendapat bahwa aku suka sama dia?" Tanyaku.

Fera hanya menunduk. Entah kenapa, wajahnya terlihat kecewa. Selama bermenit-menit, tidak ada satupun suara yang keluar dari mulut kami.

"Makan siang yuk Fer." Kataku sambil berdiri dari jacuzzi.

"Oh, iya ayo pak." Kata Fera juga sambil berdiri dari jacuzzi.

Kami menuju ruang ganti pakaian kami masing-masing untuk berganti baju. Setelah selesai berganti baju, kami keluar dari spa untuk menuju restoran di hotel. Sesampainya di restoran hotel, terlebih dahulu aku melihat menu makanannya. Jujur, saat ini aku sedang tidak ingin makan masakan cina. Aku ingin menu barat. Tapi tidak enak karena sudah terlanjur mengajak Fera.

"Mau Fer?" Tanyaku.

"Hmmm, tapi kayanya gak ada menu makanan barat ya pak?" Tanya Fera.

"Kamu lagi mau makanan barat?" Tanyaku.

"Iya sih, tapi gak harus ada juga. Kalo bapak mao disini, aku ikut." Kata Fera.

"Kebetulan. Gimana kalo kita makan di kamar aja pake menu room-dining? Aku juga lagi kepengen barat nih." Kataku.

"Wah, gitu aja yuk pak." Kata Fera.

Karena sependapat, maka kami meninggalkan restoran itu, dan langsung menuju kamarku. Sesampainya dikamar, kami langsung menelpon room-service dan memesan makanan. Aku memesan chicken cordon bleu, sedangkan Fera memesan spaghetti bolognaise. Kami langsung saja makan begitu makanan kami datang ke kamar. Yah, hotel bintang lima memang beda sih. Makanannya enak sekali, yah walaupun cita rasanya sedikit berbeda dari yang biasanya di Indonesia.

Setelah makan, kami meletakkan dua piring kami di meja.

"Fer, tadi kan kamu tanya ya apa betul istriku selingkuh ato ga. Kenapa kamu pengen tau hal itu?" Tanyaku.

"Oh, nggak sih pak. Habisnya aku ingat, bapak kan selalu membanggakan istri bapak di kantor. Jujur pas waktu kita di aula pulau itu, aku kaget pas tahu istri bapak selingkuh." Kata Fera.

"Yah, begitulah pernikahan Fer. Aku sih tadinya ga mao mengumbar aib ya. Tapi menurutku ini sudah keterlaluan. Aku sendiri sudah bingung apa yang harus dipertahankan lagi." Kataku.

"Bapak ingin menceraikan istri bapak?" Tanya Fera.

"Ga." Kataku singkat.

Fera seperti bingung dengan jawabanku.

"Bapak nggak tahu apa yang harus dipertahankan, tapi bapak nggak mao cerai juga. Jadi gimana dong?" Tanya Fera.

"Yah yang namanya pernikahan itu mutlak Fer. Kalo nikah hanya untuk cerai saja, lebih baik dari awal ga usah nikah. Kita itu nikah dengan menanggung semua resiko yang ada, yah termasuk apa yang sedang aku alami ini. Mungkin sekarang ini aku susah sekali memaafkan, tapi aku berharap suatu saat nanti aku bisa maafin dia. Kalau kamu mengambil jalan cerai sebagai solusi, itu ga menyelesaikan masalah, tapi cuma lari doang. Itu sih menurutku." Kataku.

"Bapak kepikiran nggak untuk... selingkuh balik?" Tanya Fera.

"Jujur, kalo selingkuh, aku pun pernah. Walaupun itu setelah istriku selingkuh. Tapi yang kurasakan waktu itu, aku bukan ingin membalas kelakuan istriku. Aku ga tega kalau harus menggunakan orang lain sebagai alat balas dendamku. Waktu itu aku selingkuh, memang didorong oleh keinginan pribadiku." Kataku.

"Inilah Pak Jent yang aku kenal dan kagumin dari dulu. Tidak mendendam, selalu menyayangi orang lain, baik kasta atas maupun bawah sama saja, tidak ada pembedaan." Kata Fera.

"Aku ga sehebat itu, Fer." Kataku.

"Gak. Bapak sehebat itu, malah lebih hebat lagi." Kata Fera.

"Aku bahkan ga mampu menjaga istriku sendiri, hingga akhirnya dia selingkuh dengan orang lain. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin hal ini ga akan terjadi." Kataku.

"Hmmm, mungkin itu ada benarnya juga pak. Tapi, bukankah kesetiaan dalam pernikahan itu adalah tanggung jawab bersama? Tentunya gak cuma bapak yang salah, tentunya istri bapak juga salah. Kalau sudah nikah, harusnya kan segala sesuatunya ditanggung bersama. Baik buruknya, suka dukanya, untung malangnya, dan kaya miskinnya. Aku belum pernah nikah sih, tapi aku yakin bahwa pendapatku itu benar." Kata Fera.

Ya ampun, wanita yang sifatnya seperti anak kecil begini, bisa mengatakan hal seperti itu. Ya, hal yang tidak pernah disadari oleh Erna, dan mungkin olehku juga. Andai Erna memiliki pemahaman yang demikian, mungkin kehidupan pernikahan kami tidak akan serusak ini. Tetapi, semuanya sudah berlalu. Mungkin ini adalah pelajaran bagi kami. Mungkin setelah ini, Erna akan berubah.

"Makasih Fera. Semoga suatu saat nanti kamu dapet suami yang baik ya." Kataku.

Fera hanya diam saja mendengar perkataanku. Wajahnya ditundukkan kebawah.

"Eh kenapa? Apa aku salah ngomong?" Tanyaku bingung.

Fera menutup matanya, kemudian air mata mengalir dari mata kanannya.

"Nggak akan dalam waktu dekat ini, pak." Kata Fera.

"Oh, gitu ya. Maaf-maaf, Fer. Kayanya aku salah ngomong nih. Aku betul-betul minta maaf ya. Aku ga akan singgung ini lagi." Kataku, sambil memeluk Fera ke dadaku untuk menenangkannya.

"Tahu nggak pak? Baru kali ini aku merasakan pelukan sungguhan dari laki-laki." Kata Fera.

"Oh gitu. Semoga cukup buat nenangin kamu." Kataku.

"Lebih dari cukup, pak. Karena selama ini, aku cuma memimpikannya. Kali ini, aku betul-betul merasakannya." Kata Fera.

"Yah, sayang amat Fer. Harusnya kamu bisa merasakan yang lebih baik. Aku ini cuma orang biasa, ga punya apa-apa. Aku pun gagal menyadarkan Bu Novi, hingga akhirnya ia harus bernasib malang. Memberikan kasih sayang kepada istri sendiri pun gagal, sampai akhirnya ia mencarinya dari orang lain." Kataku.

"Walaupun aku merasa bapak bukan orang biasa, dan lebih banyak yang bapak punya dibandingkan yang tidak punya, tetapi jika bapak berpikiran demikian, aku yakin pak bahwa bapak selalu melakukan yang terbaik." Kata Fera.

"Maksud kamu?" Tanyaku.

Kali ini Fera mengangkat wajahnya dari dadaku dan menghadap kewajahku.

"Bapak selalu melakukan yang terbaik untuk menyayangi, melindungi, dan membela kami. Dalam situasi serumit dan sesulit apapun. Ketika kami jatuh, bapak lah yang selalu mengangkat kami, dan membuat kami berjalan kembali. Buatku, hal itu sudah lebih dari kelebihan-kelebihan apapun. Karena itulah... aku mencintai bapak, dengan sepenuh hatiku." Kata Fera.

Apa? Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Fera mencintaiku? Mencintaiku yang menurutku hanya orang biasa ini.

"You should love another, Fer. (Kamu seharusnya cinta sama orang lain saja, Fer.)" Kataku.

"And why should I? (Dan kenapa begitu?)" Tanya Fera.

"Yah, aku udah beristri." Kataku.

"Apa aku bilang bahwa bapak juga harus mencintaiku?" Tanya Fera.

"Jika ga gitu, apa kamu puas dengan itu?" Tanyaku.

Fera hanya mengangguk sambil tersenyum, air matanya masih terus mengalir.

"I don't need anything from you, as long as I can keep this love for you, and you're here for me, then it will be more than enough. (Aku tidak memerlukan apapun dari bapak, selama aku bisa menjaga perasaan cinta ini untuk bapak, dan bapak ada didekatku, maka itu lebih dari cukup.)" Kata Fera.

Perkataannya membuatku terharu. Kupikir, aku ini begitu payah ketika istriku berselingkuh. Ternyata, diluar sana pun masih ada yang begitu mencintaiku, bahkan dengan sepenuh hatinya dan tidak peduli walaupun cintanya tidak akan pernah terbalas. Aku berpikir, apakah Yuna pun mencintaiku dengan perlakuan yang sama? Kedua air mataku pun mengalir, ini adalah tangis bahagia, bukan tangis sedih.

"Makasih Fer. Makasih." Kataku sambil mengelus rambutnya.

Fera kemudian memajukan wajahnya, tepatnya memajukan bibirnya, dan mencium bibirku. Walau aku cukup kaget dengan perlakuannya itu, tetapi tetap saja aku membalas mencium bibirnya. Lama-kelamaan, kami mulai mengulum bibir masing-masing. Ya ampun, aku tidak betul-betul menyangka akan berciuman dengan Fera seperti ini. Jantungku berdegup dengan keras. Birahiku pun mulai naik sedikit demi sedikit, seiring permainan bibir kami masing-masing. Namun, tiba-tiba kesadaranku menguat. Aku langsung menghentikan permainan kami.

"Fer, sorry Fer, kayanya aku kejauhan nih. Kita ga sepatutnya melakukan hal ini." Kataku.

Fera memegang pipi kiriku dengan tangan kanannya.

"Tadi aku udah bilang, pak. Aku nggak ngarepin balesan apapun dari bapak. Aku hanya ingin di deket sisi bapak aja. Yang aku butuhin itu bapak, bukan status." Kata Fera.

Aku tidak percaya kata-kata yang biasa dijadikan gombalan para lelaki, keluar dari mulut wanita tulen seperti Fera. Atau jangan-jangan aku yang sedang kena gombal yah? Aku melihat matanya, tidak ada kepalsuan sama sekali, hanya ada ketulusan. Kemudian, bibir kami saling beradu lagi. Malah kali ini, lidah kami saling kami julurkan untuk diadu dengan lidah lawan kami. Sensasi yang kurasakan ketika lidahku beradu dengan lidah Fera benar-benar tidak bisa kugambarkan. Mungkin karena semuanya terjadi dengan begitu tiba-tiba, tanpa persiapan apapun. Lama-lama, irama lidahnya semakin cepat, kurasakan nafasnya pun mulai memburu. Aku sendiripun juga sama, birahiku juga sudah semakin naik lagi. Kedua tanganku mulai memeluk pinggangnya, sementara kakinya mulai ia gerakan menaiki tubuhku, dan duduk di pangkuanku. Kini, Fera terduduk di pangkuanku. Bibir kami masih saling bertemu, lidah kami masih saling beradu, kedua tanganku memeluk pinggangnya, sementara kedua tangannya memeluk leherku. Aku sangat nyaman dalam posisi ini. Nafas Fera yang masuk melalui mulutku, ditambah dengan serangan lidahnya, membuat birahiku semakin naik. Tangan kananku mulai meraba-raba daerah dadanya. Aku bisa merasakan bentuk buah dadanya yang bulat, kenyal, dan cukup pas di genggaman. Fera pun sepertinya semakin terengah-engah mendapat seranganku ini. Ini betul-betul gawat, kesadaranku semakin menghilang, sementara birahiku semakin naik. Aku makin tidak tahan. Kini, kuangkat tubuh Fera, dan kubaringkan di ranjang. Aku pun ikut berbaring di ranjang, disebelah Fera. Fera berinisiatif duluan bergerak keatasku, memeluk leherku, dan mencium bibirku. Aku pun mulai membuka kaos putih milik Fera, yang ia permudah dengan mengangkat tangannya sehingga jalannya kaos miliknya yang kubuka berjalan mulus. Setelah kaosnya terbuka sepenuhnya, kubuka juga BH putih miliknya, sehingga memperlihatkan buah dadanya yang cukup bulat, berwarna sama dengan kulitnya, dan puting buah dada yang berwarna merah kecoklatan. Kini jari-jariku mulai memainkan puting susu kedua buah dada Fera. Kurasakan Fera mulai mendesis-desis, napasnya pun semakin tidak karuan, bisa kurasakan dari panasnya udara yang berhembus ke dalam mulutku melalui mulutnya yang masih berpagutan dengan mulutku. Kemudian, aku berguling, membalik tubuh Fera, sehingga kini aku diatas, dan Fera dibawah. Dengan posisi itu, aku mengulum puting buah dada kanan Fera, sementara tangan kananku meremas-remas dan memuntir puting susu buah dada kiri Fera.

"Ssshhhh... uuummmm... eeeehhhhh..." Desah Fera.

Entahlah, sepertinya iblis mulai merasuki diriku, sehingga aku tidak peduli lagi apa yang sedang kulakukan kepada Fera. Setelah itu, ciumanku mulai berpindah ke perut dan pusarnya. Seluruh tubuhnya menggeliat, sementara tangan kanannya menjambak rambutku. Sepertinya perut ini adalah kelemahannya yang cukup vital.

"Uuuhhhh.... Eeeehhhhhh... Uuuummmmmm..." Desah Fera sambil menggeliutkan badannya.

Tanpa sadar, mataku melihat kearah bawah perutnya. Satu-satunya yang menutupi tubuhnya sekarang adalah celana pendek kuning yang ia kenakan. Aku menjadi sangat penasaran apa yang ada dibalik celana pendek kuning itu. Maka, kubuka seleting celana pendek kuning miliknya itu, dan kutarik kebawah beserta celana dalam putihnya. Fera pun hanya meluruskan kakinya, sehingga jalan celana pendek dan celana dalam yang sedang kulepas itu menjadi mudah. Dari yang tadinya dilindungi oleh celana pendek kuning itu, aku bisa melihat gundukan lubang kemaluannya yang indah. Daerah sekitar lubang kemaluannya ditumbuhi rambut yang menggoda. Tanganku mulai menjamah ke daerah lubang kemaluannya, untuk mengelus rambut kemaluannya. Mendapat rangsangan seperti itu, badannya menggeliat makin hebat, sementara tangannya makin keras menjambakku. Tiba-tiba, ada yang memegang pergelangan tanganku. Tetapi, tidak menghentikan tanganku yang sedang mengelus rambut kemaluannya, melainkan mengarahkan tanganku meraba area lubang kemaluannya. Aku ikuti saja permainannya. Aku mulai menggesek-gesekkan jari telunjukku di bibir lubang kemaluannya.

"Eeegghhhhh... Uuuummmmm..." Desah Fera makin tidak karuan.

Lama-kelamaan, aku menggesek-gesekkan jariku semakin kuat diluaran lubang kemaluannya. Napasnya kurasakan semakin tidak teratur, desahannya juga semakin kuat, dan tubuhnya mulai mengejang.

"Uuu...uuaaaahhhhhh..." Erang Fera, disertai dengan semprotan cairan dari lubang kemaluannya. Aku juga merasakan daerah lubang kemaluannya berkedut-kedut. Fera tampak sangat menikmati orgasme-nya.

Kubiarkan dulu ia beberapa saat untuk menikmati orgasme-nya. Kemudian, aku melepaskannya, dan tanganku kembali mengusap-usap rambut kepalanya. Aku betul-betul sayang kepadanya, sampai memanjakannya seperti ini. Fera pun hanya menutup matanya, dan tersenyum, senyum yang sangat puas. Tidak lama kemudian, ia memeluk tubuhku, dan kembali mencium bibirku. Lidah kami pun mulai kembali berpagutan. Kedua tangannya mulai menggenggam pangkal bajuku, dan menariknya keatas, sehingga dalam sekejap saja bajuku sudah terlepas. Belum selesai, kedua tangannya mulai meraih pangkal celana dan celana dalamku dipinggangku, dan menariknya kebawah, sehingga kini aku pun ikut telanjang juga sama sepertinya. Dalam posisi lidah kami masih berpagutan, tangan kanannya mulai meraih batang kemaluanku, dan mengelus-elusnya. Geli sekali rasanya, sehingga dalam sekejap saja, batang kemaluanku sudah tegang sepenuhnya. Tangannya tidak asal mengelus saja, melainkan ada iramanya. Dari ujung, turun kebawah, sampai ke kantong buah zakarku, berpindah ke rambut kemaluanku. Belaian tangannya sangat lembut, sehingga aku sangat menikmatinya. Harus kuakui, dalam urusan membelai, Fera ini lebih lembut dari siapapun, bahkan dari Yuna sekalipun. Gerakan belaian tangannya lama kelamaan berubah menjadi mengocok batang kemaluanku. Kocokannya pun tidak asal saja. Fera ternyata cukup telaten dalam mengocok batang kemaluanku. Bibirnya mulai melepaskan bibirku, dan kini ia menelusupkan kepalanya ke selangkanganku, dan mulai memainkan lidahnya di batang kemaluanku. Saking terkejutnya aku, aku semakin tidak bisa menahan birahi yang makin lama makin menguasaiku ini.

"Ssshhh... Feerr..." Desisku yang makin lama makin tak tahan akan rangsangan ini.

Kini, ia mulai mengulum batang kemaluanku, layaknya seperti sedang makan permen lolipop. Mataku hanya bisa merem melek mendapatkan kenikmatan ini. Aku yang kini mulai dikuasai oleh nafsu birahi, meraih kedua kaki Fera untuk kuputar, sehingga kini aku menghadap selangkangannya, sedangkan Fera masih sibuk mengulum batang kemaluanku. Dalam posisi itu, aku pun ikut mengulum lubang kemaluannya. Kulihat masih sangat rapat sekali lubang kemaluannya, apakah ia masih perawan? Mendapat rangsangan yang kuberikan, Fera pun makin sadis mengulum batang kemaluanku. Mendapat kuluman yang semakin cepat dari Fera, aku juga semakin giat memainkan lidahku di lubang kemaluannya.

Setelah puas berada pada posisi 69 itu, aku melepaskan selangkangan Fera. Aku memposisikan tubuh Fera untuk berbaring di ranjang. Kemudian, aku menindih tubuhnya, dan mulai mencium bibirnya dengan lembut sambil mengusap-usap rambutnya.

"Fer... kamu cantik banget sekarang." Kataku. Bukan menggombal atau apa, tapi aku memang merasa bahwa dia sekarang ini sangat cantik.

"Makasih bapak. Aku cinta bapak, nggak ada lagi di bumi ini orang yang lebih kucintai dari bapak." Katanya sambil mengecup bibirku dengan lembut.

Kami terus berciuman bibir satu sama lain, tanpa memainkan lidah kami sedikitpun. Entah kenapa, tapi aku merasa pada momen ini, ada gelora lain yang lebih menguasai diriku selain birahi. Gelora yang betul-betul kurasakan saat aku sedang bercinta dengan Erna dan Yuna. Cinta, itulah nama gelora itu, tidak salah lagi. Aku merasakan Fera mulai membuka kedua pahanya, sehingga kini selangkanganku berhadapan dengan selangkangannya.

"Pak, aku persembahkan virginity ku ini untuk bapak, enjoy please." Kata Fera sambil tersenyum lembut.

Ya ampun, ternyata betul ia masih perawan. Kini, aku malah tidak tega untuk berbuat sesuatu yang lebih jauh lagi. Ia pun ternyata sama seperti Yuna, rela menyerahkan apapun demi aku. Tapi aku tidak mau membiarkan nafsu menguasaiku.

"Fer, untuk yang satu ini sebaiknya jangan. Aku ga ingin merenggut keperawanan kamu. Untuk yang ini sebaiknya kamu persembahkan ke calon suami kamu nanti." Kataku.

"Sekalipun nanti suamiku bukan bapak, aku yakin cintaku padanya tidak akan sebesar cintaku sama bapak. Jangan bapak ngerasa bersalah kalo harus ngerenggut virginity aku, anggaplah ini sebagai keinginanku seumur hidupku, yang kalau tidak dipenuhi, aku akan menyesal seumur hidup." Kata Fera.

Ya ampun, sebegitukah Fera mencintaiku? Disaat aku kehilangan cinta Erna, aku mendapatkan cinta yang sangat tulus dari Yuna dan Fera. Mungkin, seperti inikah jalan yang ditunjukkan oleh takdir kepadaku? Apakah takdir sengaja menempatkan Erna di jalan yang membuatnya tersandung, sehingga aku bisa melihat adanya cinta yang begitu tulus dari dua orang wanita lain? Yah, takdir memang tidak terbaca.

Fera kembali memeluk tubuhku, dan menggulung tubuhnya sehingga kini aku ada dibawah dan dia diatas. Wew, tenaganya kuat juga ya, mampu menggulung tubuh seorang laki-kaki. Ia yang kini berada diatas, mulai mengarahkan lubang kemaluannya ke batang kemaluanku yang sedang tegak mengacung. Ia tersenyum kepadaku, tanda untuk memintaku agar rileks saja. Kini, selangkangannya sudah menempel dengan selangkanganku. Karena masih rapat, ia tampak kesulitan melahap batang kemaluanku dengan lubang kemaluannya. Ekspresi wajahnya pun mulai meringis, sepertinya ia sedikit kesakitan. Aku mulai mengecup bibirnya dan mengelus rambutnya untuk membuatnya lebih rileks. Selain juga memang mau, aku ingin memberikan yang ia inginkan, kepadanya yang mencintaiku dengan begitu tulus. Akhirnya, Fera sedikit memaksa untuk mendorong pantatnya sehingga kini lubang kemaluannya telah berhasil melahap batang kemaluanku. Uuh, saking masih rapatnya, aku merasakan rongga kemaluan Fera yang kini telah melahap batang kemaluanku seolah-olah seperti menekan batang kemaluanku kuat-kuat. Kini, Fera mulai menggoyang-goyangkan pantatnya. Naik, turun, berputar ke kiri menuju kanan, naik, turun, berputar ke kanan menuju kiri. Bukan main nikmatnya, aku hanya bisa merem-melek dan megap-megap saja. Fera pun tampak mulai menikmatinya. Genjotannya lama-kelamaan semakin cepat. Kedua tangannya mulai mendekap tubuhku, sementara bibirnya tidak henti-hentinya menciumi bibirku. Tangan kiriku pun ikut memeluk tubuhnya, sementara tangan kananku bergantian membelai dan meremas buah dada kiri dan kanannya.

"Ssshhh... uummmm... aauuhhhhh..." Desahnya sambil menggenjot batang kemaluanku.

Sangat terasa sekali gesekan batang kemaluanku dengan rongga kemaluan Fera. Ditambah dengan goyangan pantat dan genjotan Fera, rasa yang kudapat menjadi benar-benar nikmat. Setiap kali kumainkan puting susu buah dada Fera, genjotannya menjadi semakin kencang, tanda bahwa dia semakin terangsang. Hingga akhirnya, kurasakan napas Fera menjadi betul-betul tidak beraturan. Irama genjotan pantatnya pun juga semakin kencang dan tidak beraturan. Aku yang menjadi semakin terangsang juga makin liar menciumi bibir Fera. Tanganku pun juga semakin liar meremas-remas buah dada Fera kiri dan kanan bergantian.

"Oooohhhh.... oouuuuhhhhhh..." Hingga akhirnya terdengar lenguhan panjang dari Fera. Aku merasa batang kemaluanku seperti dipijat-pijat dengan kuat. Cairan kenikmatannya yang hangat pun menyemprot ujung batang kemaluanku.

"Ayoohhh... lepaassiin semuaaa Feerr..." Erangku sambil meremas-remas buah dada Fera yang semakin kenyal itu.

Beberapa belas detik setelahnya, tubuh Fera menjadi sangat lemas. Ia pun tergulai lemas diatas tubuhku, sementara aku memeluk tubuhnya.

"Bapak belum keluar yah... Sebentar ya pak, aku istirahat sebentar..." Kata Fera dengan napas yang terengah-engah.

"Udah, kamu santai aja Fer... Yang penting kamu nya puas..." Kataku sambil mengecup pipi kanan Fera.

Sementara Fera tergulai lemas diatas tubuhku. Tanganku mengelus-elus rambutnya. Seluruh wajahnya yang terlihat sangat cantik itu kuciumi.

"Aku cinta bapak." Kata Fera.

"Aku juga cinta sama kamu, Fer." Kataku.

Mendengar hal itu, Fera memeluk tubuhku dengan sangat erat, seolah-olah tidak ingin melepas pelukannya. Batang kemaluanku masih tegak mengacung didalam lubang kemaluan Fera. Kemudian, aku bergulung kekanan, sehingga kini Fera dibawahku dan aku diatas. Dengan posisi diatas, kuciumi dan kuraba-raba sekujur tubuh Fera. Kulitnya yang coklat ini sangat halus, rambutnya yang pendek sebahu dan bergelombang tetap bisa mempertahankan bentuknya walaupun daritadi kamu sudah berguling-guling. Mendapat rangsangan yang kuberikan ini, aku bisa merasakan napasnya kembali memburu, sementara pantatnya mulai kembali berputar-putar. Aku yang menyadari bahwa nafsunya mulai bangkit kembali, kini mulai memaju-mundurkan pantatku. Fera pun ikut aktif menggoyang pantatnya. Setiap kali batang kemaluanku menekan lubang kemaluannya, pantatnya ia dorong menyambut batang kemaluanku. Setiap kali aku memundurkan batang kemaluanku, pantatnya ia putar kebelakang. Kejadian itu terus berulang-ulang, sehingga memberikan kenikmatan yang lebih bagiku dan Fera.

"Teeruuss paak... Fera cintaa banggeett sama bapaakkk..." Desah Fera.

"Iya sayaangg... aku jugaa cintaa sama kamu Feerrr..." Desahku.

Kami terus memompa birahi masing-masing menggunakan kemaluan dan pantat kami masing-masing. Hingga akhirnya aku merasakan sensasi yang sangat nikmat di batang kemaluanku. Ini sensasi yang sama seperti yang waktu kualami pada saat aku bercinta dengan Bu Novi ataupun Yuna. Ya, aku merasakan bahwa spermaku sudah hendak menyemprot keluar dengan derasnya.

"Feerr... akuu mao keluaarrr niih... akuu cabutt yaahhh..." Erangku.

Fera makin liar lagi menggoyang pantatnya. Ciumannya dibibirku semakin gila, sementara pelukannya menjadi semakin erat.

"Akuu jugaa mao keluaar paakk... Ga usaahh dicabuutt, kitaa keluaar.. bareng-barengg ajaaahh..." Erang Fera.

Ya ampun, mendapat rangsangan seperti ini dari Fera, aku makin tidak bisa mencabut batang kemaluanku. Aku pun sudah tidak tahan lagi, hingga akhirnya aku keluar.

"Ooooohhhhh.... Uuaaaahhhhhh..." Erangku.

Croott.. croott.. croottt... Spermaku menyemprot dengan derasnya didalam lubang kemaluan Fera. Seiring dengan kontraksi batang kemaluanku yang menyemprotkan sperma, aku juga merasakan rongga dalam kemaluannya berkontraksi memijat-mijat batang kemaluanku. Orgasme bareng begini memang momen klimaks yang paling menyenangkan, dimana batang kemaluanku sibuk menyemprotkan spermanya, sambil juga dipijit-pijit oleh lubang kemaluan Fera. Aku bisa merasakan didalam lubang kemaluan Fera, spermaku dan cairan kenikmatan milik Fera bercampur menjadi satu. Untuk beberapa waktu, aku masih dalam posisi menindih tubuh Fera, berusaha untuk meredakan kenikmatan yang begitu meluap-luap. Setelah kesadaranku mulai timbul, aku mencabut batang kemaluanku. Masih dalam posisi menindih tubuh Fera, aku mengusap-usap rambutnya. Entah kenapa, aku suka sekali mengusap-usap rambutnya, mungkin karena menganggap Fera itu masih anak-anak.

"Maaf Fer, ujung-ujungnya jadi begini." Kataku.

Mendengar perkataanku, Fera hanya tersenyum, sambil memeluk tubuhku kemudian.

"Sampai sekarang, perasaanku nggak berubah pak. Aku nggak ada penyesalan sama sekali, malah aku bahagia sekali bisa memuaskan bapak. Aku cinta bapak, cinta sekali." Kata Fera.

Aku sangat bahagia dan terharu mendengarnya.

"Makasih Fer, aku juga cinta kamu." Kataku.

Kemudian, aku berguling kesamping, lalu menarik tubuh Fera kedalam pelukanku. Kami pun tertidur setelahnya.

Ketika aku bangun, sudah jam 16.30 waktu Shanghai. Rupanya hampir dua jam aku tertidur. Aku pun kemudian membangunkan Fera, dan ia pun bangun setelah kubangunkan.

"Fer, besok aku masih ada urusan disini, karena urusan kantor belum terselesaikan. Dan juga ada urusan dari Bu Novi yang belum aku selesaikan. Besok kamu tolong pulang duluan. Bareng Abby, Diana, dan istriku. Yuna juga akan nemenin kamu semua dan ngejagain kamu." Kataku.

"Aku nggak bisa ikut bapak besok?" Tanya Fera.

"Ga Fer, jangan. Kamu tunggu aku aja ya di Jakarta." Kataku. Aku tidak mau melibatkan Fera ke dalam misi yang berbahaya ini.

Fera tidak berkata apapun. Setelah itu, ia mulai memakai kembali pakaiannya. Dari BH dan celana dalam nya, kemudian celana pendek kuningnya, hingga kaos putihnya. Setelah itu, ia mencium bibirku, kemudian ia keluar kamar. Nah, tinggal perencanaan untuk perang besok nih.

BERSAMBUNG KE EPISODE-12
 
Terakhir diubah:
Saatnya kita bilang sempurna....
Lanjut2...
Hayu hayu...apdet tiap hari pasti jos...
 
:jempol: buat mulustrasinya...

Tp kok kayak ada yg ngeganjel ya pas bacanya...
Kayaknya pas nulis suhu megu kayak da something wrong...soalnya agak gmna gtu ane bacanya...agak datar sepertinya...

Maaf suhu megu ane emang gtu kalo kasih kritik suka ga jelas soalnya ane ga bisa bikin cerita so ane cuma bisa kritik sebagai pembaca aja :ampun:

Itu sih feel yg ane dapet pas baca update terkhir...nah ane ga tahu kalo agan2 atau suhu2 yg lain...kalo ada yg sama dgn yg ane rasain tolong bantu sarannya.
 
ditunggu gan pembalasan jent kepada istrinya .... entah itu mengexe yuna , fera ,diana dan itu diintip oleh sang istri .... atau si Erna dimadu oleh jent (poligami)
 
Bimabet
Wow... dah update ya!
Bookmark dlu ah, bacanya ntar malem ajah tunggu waktu santai... skarang masih sibuk nguli :pusing:
#curhat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd